PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PKN MENURUT PARA AHLI

Cara flexi-----Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Para Ahli

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan itu Berawal berdasarkan istilah “Civic Education” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan akhirnya sebagai Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili sang Azra dan Tim ICCE (Indonesia Center for Civic Education) berdasarkan Universitas Islam Negeri Jakarta, menjadi pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan kata ”Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili sang Winaputa dkk menurut Tim CICED (Center Indonesia for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6) 

Menurut Kerr, citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning ) in that preparatory process. (Winataputra serta Budimansyah, 2007: 4) 

Dari definisi Kerr tadi dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas yang mencakup proses penyiapan generasi muda buat mengambil peran serta tanggung jawab menjadi rakyat negara, dan secara spesifik, peran pendidikan termasuk pada dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, pada proses penyiapan rakyat negara tadi. 

Menurut Azis Wahab, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah media pengajaran yg meng-Indonesiakan para anak didik secara sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Lantaran itu, program PKn memuat konsep-konsep generik ketatanegaraan, politik serta aturan negara, serta teori umum yg lain yg cocok dengan target tersebut (Cholisin, 2004:18) 

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 mengenai Standar Isi buat Satuan Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan dalam pembentukan masyarakat negara yang tahu dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya buat menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, serta berkarakter yg diamanatkan sang Pancasila dan UUD 1945. 

Berbeda dengan pendapat pada atas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai penyiapan generasi belia (siswa) buat menjadi rakyat negara yg mempunyai pengetahuan, kecakapan, serta nilai-nilai yg diperlukan buat berpartisipasi aktif pada masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28). 

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan adalah: “Pendidikan demokrasi yg bertujuan buat mempersiapkan rakyat rakyat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui kegiatan menanamkan kesadaran pada generasi baru, bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan rakyat yang paling menjamin hak-hak rakyat warga ”. 

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan dalam pembentukan masyarakat negara yg tahu serta bisa melaksanakan hak-hak serta kewajiban buat menjadi masyarakat negara Indonesia yg cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 (Depdiknas, 2006:49).

Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha buat membekali siswa menggunakan pengetahuan serta kemampuan dasar berkenan dengan interaksi antar masyarakat negara menggunakan negara dan pendidikan pendahuluan bela negara menjadi rakyat negara supaya dapat diandalkan oleh bangsa serta negara (Somantri, 2001: 154) 

Pendidikan Kewarganegaraan bisa diharapkan mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat negara yang mempunyai komitmen yang bertenaga serta konsisten buat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat NKRI merupakan negara kesatuan terkini. Negara kebangsaan adalah negara yg pembentuknya didasarkan pada pembentukan semangat kebangsaan dan nasionalisme yaitu dalam tekad suatu masyarakt buat menciptakan masa depan beserta dibawah satu negara yang sama. Walaupun warga masyarakaat itu bhineka kepercayaan , ras, etnik, atau golongannya. 

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan pengertian pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran yang adalah satu rangkaian proses buat mengarahkan siswa menjadi masyarakat negara yg berkarakter bangsa Indonesia, cerdas, terampil, dan bertanggungjawab sehingga bisa berperan aktif pada masyarakat sinkron ketentuan Pancasila dan UUD 1945.

Referensi :

Winataputra serta Budimansyah, 2007. Civic Education. Bandung, Program Pascasarjana UPI.
Branson,  Margaret  S,  dkk.  (1999).  Belajar  Civic  Education  menurut  Amerika.  Yogyakarta  : Kerjasama LKIS serta The Asia Foundation.
Broad Based Education.(2001).  Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup  (Life Skill Education). Jakarta : Tim Broad Based Education – Departemen Pendidikan Nasional.center for Civic Education (1994). National Standards for Civics and Government. Calabasas : CCE.
Center for Indonesian Civic Education. (2000).  A Needs Assesment for New Indonesian Civic Education  :  A  National  Survey  1999  –  2000.  Bandung  :  Conducted  by  CICED  in Collaboration with United States Information Agency/Service USIA/USIS.
Cholisin  (2004).  PPKn  Paradigma  Baru  dan  Pengembangannya  pada  KBK,  Jurnal  Racmi,

PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER

1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan sebuah perjuangan bagi setiap individu buat menghayati kebebasannya pada relasi mereka dengan orang lain dan lingkungannya, sebagai akibatnya beliau dpat semkain mengukuhkan dirinya menjadi eksklusif yang unik dan spesial dan memiliki integritas moral yang bisa dipertanggung jawabkan.
Pengertian pendidikan karakter tersebut selain sejalan dengan pengertian karakter itu sendiri, yakni menjadi cetak biru, format dasar, sidik jari, sesuatu yang spesial dan chemistry, juga adalah struktur antropologi manusia; karena disanalah insan menghayati kebebasannya serta mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur ontropologis ini melihat bahwa karakter  bukan sekadar hasil menurut sebuah tindakan, melainkan secara struktur merupakan hasil dan proses. Menurut Doni Koesoema A., (2007: tiga) dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia buat menghayati kebebasannya serta mengatasi keterbatasannya.

Lebih lanjut pendidikan karakter jua terkait menggunakan tiga matra pendidikan, yaitu pendidikan individual, pendidikan social dan pendidikan moral. Selanjutnya pendidikan social terkait dengan kemampuan mnusia pada membangun hubungan dengan insan serta lembaga lain secara harmonis dan funngsional yg selanjutnya menjadi cermin kebebasannya dalam mengorganisasi dirinya.
Dengan demikian, karakter yg didapatkan melalui tiga matra pendidikan tadi merupakan syarat dinamis berdasarkan struktur antropologi individu, yaitu individu yg tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melaikan juga sebuah uusaha hayati buat sebagai semakin integral mengatasi determinasi alam pada dirinya, dan proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus. Pendidikan karakter dalam arti yang demikian itu, dari Ahmad Amin, pada etika (1983:143) adalah pendidikan yang semenjak usang sudah diperjuangkan oleh para filusuf, ahli pikir, bahkan para Rosul utusan Tuhan. Yaitu pendidikan karakter yang bersifat integral, keseluruhan, dinamis, komprehensif dan monoton hingga terbentuk sosok insan yang terbina semua potensi dirinya, serta memiliki kebebasan dan tanggung jawab buat mengekspresikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam pendidikan agama memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter pada hal menanamkan fondasi yang lebih kokoh, kemertabatan yg paling luhur, kekayaan yang paling tinggi serta sumber kedamaian insan yg paling dalam. Pendidikan kepercayaan berperan amat penting dibandingkan pendidikan moral dan nilai sebagaimana tadi di atas, pada hal mempersatukan diri insan dengan empiris terakhir yg lebih tinggi, yaitu Tuhan Sang Pencipta yg sebagai fondasi kehidupan insan. Pendidikan kepercayaan yg menaruh sumbangan bagi pendidikan karakter tesebut, menurut Nurcholis Madjid, dalam menciptakan pulang Indonesia, (2004: 39), merupakan pendidikan kepercayaan yg tidak hanya berhenti dalam sebatas simbol-simbol dan pelaksanaan ritualistic. Melaikan pendidikan agama yang bisa mengajak siswa buat bisa menangkap makna hakiki yang terdapat pada baliknya.
Pendidikan karakter yang ditopang sang pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan kepercayaan , dan pendidikan kewarganegaraan sama-sama membantu anak didik buat tumbuh secara lebih matang serta kaya, baik menjadi individu, juga menjadi makhluk sosial dalam konteks kehidupan bersama.
2. Pilar-pilar Pendidikan Moral
Berbagai fenomena serta realitas yang sebagai penghambat bagi terlasananya pendidikan moral, pendidikan nilai pendidikan agama serta pendidikan kewarganegaraan sebagai pilar-pilar pendukung pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin parah dan lemah.
Realisasi pendidikan karakter tersebut jua harus ditopang oleh 3 pilar utama lembaga pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah serta warga (negara). Pendidikan dirumah tangga dilakukan sang orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya menggunakan dasar tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak menjadi titipan dan amanah Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan. Dilihat berdasarkan segi kecenderungannya, terdapat orang tua yang menginginkan anaknya dididik pada konteks lingkungan yang multicultural, ada juga orang tua yg ingin anaknya dididik dengan pendidikan yang diterimanya dirumah dan terdapat juga orang tua yg nir puas menggunakan pelayanan penddidikan yang diberikan sang sekolah, sehingga mereka menginginkan sebuah pendidikan cara lain yang selanjutnya dikenal dengan home schooling dan sebagainya.
Bertolak dari berbagai kekurangan yg dimiliki orang tua pada rumah, maka pendidikan karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, menggunakan pertimbangan selain lantaran adalah institusi yg dibangun menggunakan tugas utamanya mendidik karakter bangsa, jua disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM, manajemen, system, dan lainnya yang berkaitan menggunakan urusan pendidikan. Budaya sekolah yang buruk, seperti kultur tidak jujur, menyontek, mengatrol nilai, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis kitab pelajaran yg merugikan siswa, tidak disiplin, kurang bertanggung jawab terhadap kebersihan serta kesehatan lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai lembaga pendidikan yg bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka seseorang anak yg sebelum masuk sekolah terlihat jujur, taat beribadah, sopan dan santun, namun sesudah tamat sekolah malah akhlak serta karakternya semakin merosot.

Selanjutnya karena tempat tinggal tangga dan sekolah menjadi pilar-pilar utama bagi pendidikan karakter tadi telah kurang efektif lagi, bahkan telah musnah, maka pemerintah serta warga pula harus bertanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya manusia dan system yg dimilikinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih akbar buat menyelenggarakan pendidikan karakter  bangsa. Tetapi demikian, pilar pemerintah ini pun pada keadaan ringkih dan nir efektif. Banyaknya pejabat pemerintah mulai menurut atas hingga bawah, mulai berdasarkan pusat hingga kedaerah yg terlibat dalam tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan serta kewenangan yang berdampak dalam kerusakan lingkungan, serta adanya sejumlah kebijakan yg dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, dan pola hidup foya-foya, mengakibatkan bagi pendidikan karakter  sebagai amat merosot.

Sumber : Dari Berbagai asal !!

PENGERTIAN PENDIDIKAN

Cara flexi --- Pendidikan : (dalam arti sesungguhnya) adalah kata Pendidikan atau 'Edukasi' diambil menurut istilah 'education' atau 'pendidikan' pada bahasa Latin 'educo' yang berarti meng-'edusi', menarik keluar, menyebarkan menurut pada.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan asal berdasarkan kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ serta akhiran ‘an’, maka kata ini memiliki arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan perilaku dan rapikan laku seseorang atau grup orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran serta pelatihan.
Pada dasarnya pengertian Pendidikan adalah bisnis sadar buat menyiapkan peserta didik melalui aktivitas bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yg akan tiba. Menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pendidikan adalah bisnis sadar dan terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya peserta didik secara aktif berbagi potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menyebutkan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hayati tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada dalam anak-anak itu, agar mereka menjadi insan dan sebagai anggota warga dapatlah mencapai keselamatan serta kebahagiaan dengan tinggi-tingginya.
Sedangkan pengertian pendidikan berdasarkan H. Horne, adalah proses yg terus menerus (kekal) berdasarkan penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk insan yang telah berkembang secara fisik dan mental, yg bebas dan sadar pada vtuhan, seperti termanifestasi pada alam kurang lebih intelektual, emosional serta humanisme menurut insan.
Dalam pengertian yg sederhana dan umum makna pendidikan adalah sebagai bisnis manusia buat menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani serta rokhani sesuai dengan nilai-nilai yg ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-bisnis yang dilakukan buat menanamkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan tersebut dan mewariskannya pada generasi berikutnya buat dikembangkan pada hayati dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan. Lantaran bagaimanapun peradaban suatu rakyat, pada dalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan menjadi bisnis manusia buat melestarikan hidupnya. Atau dengan istilah lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasi peradaban bangsa yg dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan kebiasaan masyarakat) yg berfingsi menjadi filsafat pendidikannya atau menjadi hasrat dan pernyataan tujuan pendidikannya (Djumransyah Indar, 1994 : 16).

Dari beberapa pengertian pendidikan dari ahli tadi maka bisa disimpulkan bahwa Pendidikan merupakan Bimbingan atau pertolongan yang diberikan sang orang dewasa kepada perkembangan anak buat mencapai kedewasaannya dengan tujuan supaya anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak menggunakan bantuan orang lain. 

Pengertian Pendidikan Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :
Dalam perspektif teoritik, pendidikan acapkali diartikan serta dimaknai orang secara majemuk, bergantung pada sudut pandang masing-masing serta teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan pada konteks akademik merupakan sesuatu yg masuk akal, bahkan bisa semakin memperkaya khazanah berfikir insan dan bermanfaat buat pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi buat kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan bisa dirumuskan secara jelas serta gampang dipahami sang semua pihak yg terkait menggunakan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat serta benar pada setiap praktik pendidikan.
Untuk mengatahui definisi pendidikan pada perspektif kebijakan, kita telah mempunyai rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni:
    Pendidikan merupakan usaha sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif menyebarkan potensi dirinya buat memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, warga , bangsa serta negara.
Berdasarkan definisi pada atas, saya menemukan tiga (tiga) utama pikiran utama yg terkandung di dalamnya, yaitu: (1) bisnis sadar serta bersiklus; (dua) mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya siswa aktif berbagi potensi dirinya; dan (3) mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, warga , bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tadi.
1. Usaha sadar dan bersiklus.
Pendidikan menjadi bisnis sadar dan terencana memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yg disengaja serta dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karenanya, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik pada tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi serta kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) juga operasional (proses pembelajaran sang guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), dalam dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun wajib direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran mencakup penyusunan silabus dan rencana aplikasi pembelajaran (RPP) yg memuat bukti diri mata pelajaran, baku kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi saat, metode pembelajaran, aktivitas pembelajaran, penilaian output belajar, dan asal belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif menyebarkan potensi dirinya
Pada utama pikiran yg kedua ini aku melihat adanya pengerucutan kata pendidikan sebagai pembelajaran. Jika dipandang secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai pada setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran ke 2 ini, aku menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki merupakan pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) serta humanis, yaitu berusaha membuatkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, aku juga melihat ada dua kegiatan (operasi) primer dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
a. Mewujudkan suasana belajar
Berbicara mengenai mewujudkan suasana pembelajaran, nir dapat dilepaskan menurut upaya menciptakan lingkungan belajar, diantaranya meliputi: (a) lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang ketua sekolah, ruang pengajar, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kolaborasi, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, ketenangan, kebahagiaan serta aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan siswa buat melakukan kegiatan belajar.
Baik lingkungan fisik juga lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan supaya peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan pengajar dalam mengelola kelas (classroom management) menjadi amat krusial. Dan pada sini juga, tampak bahwa peran pengajar lebih diutamakan menjadi fasilitator belajar murid .
b. Mewujudkan proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan buat menciptakan kondisi serta pra syarat agar murid belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi murid. Dalam konteks pembelajaran yg dilakukan guru, maka pengajar dituntut buat bisa mengelola pembelajaran (learning management), yg meliputi perencanaan, aplikasi, serta penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 mengenai Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan menjadi agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi pada hal ini saya lebih senang memakai istilah manajer pembelajaran, dimana pengajar bertindak sebagai seseorang planner, organizer dan evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun seyogyanya dirancang supaya siswa bisa secara aktif membuatkan segenap potensi yg dimilikinya, menggunakan mengedepankan pembelajaran yang berpusat dalam anak didik (student-centered) dalam bingkai contoh serta strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang sang peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yg ketiga ini, selain merupakan bagian berdasarkan definisi pendidikan sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yg berdasarkan hemat aku telah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, eksklusif, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan juga pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yg mencari ekuilibrium diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, menggunakan melihat utama pikiran yang ketiga berdasarkan definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter telah tersirat dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan pada bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran yang dilaksanakan sang guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian pada atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang pada UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya nir hanya sekedar mendeskripsikan apa pendidikan itu, namun memiliki makna dan implikasi yg luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa siswa (murid) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.


Baca Selengkapnya !!

PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengertian Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi membuatkan serta membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta sebagai rakyat negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal tiga UU Sisdiknas). Sedangkan budaya merupakan nilai, moral, kebiasaan serta keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa dan mendasari konduite seseorang sebagai dirinya, anggota rakyat, dan warganegara. Budaya mengatur perilaku seorang tentang sesuatu yang dipercaya benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter merupakan tabiat yang terbentuk menurut nilai, moral, serta norma yg mendasari cara pandang, berfikir, sikap, serta cara bertindak seorang serta yg membedakan dirinya menurut orang lainnya. Karakter bangsa terwujud berdasarkan karakter seorang yg menjadi anggota rakyat bangsa tersebut. 

Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan pendidikan yang menyebarkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri siswa sebagai akibatnya menjadi dasar bagi mereka pada berpikir, bersikap, bertindak pada menyebarkan dirinya menjadi individu, anggota rakyat, serta warganegara. Nilai-nilai budaya serta karakter bangsa yg dimiliki siswa tersebut menjadikan mereka menjadi warganegara Indonesia yang mempunyai kekhasan dibandingkan menggunakan bangsa-bangsa lain.

A. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar buat mengembangkan potensi siswa secara optimal. Usaha sadar tersebut nir boleh dilepaskan menurut lingkungan peserta didik berada terutama dari lingkungan budayanya (Ki Hajar Dewantara; Pring; Oliva). Pendidikan yg nir dilandasi oleh prinsip tadi akan mengakibatkan mereka tercerabut berdasarkan akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak akan mengenal budayanya menggunakan baik sehingga beliau sebagai orang “asing” pada lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yg lebih mengkhawatirkan adalah beliau sebagai orang yg nir menyukainya budayanya.

Budaya yang mengakibatkan siswa tumbuh serta berkembang merupakan budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsanya serta budaya universal yang dianut sang ummat manusia. Jika siswa sebagai asing terhadap bulat-lingkaran budaya tadi pada gilirannya maka beliau tidak mengenal dengan baik budaya bangsanya dan dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat rentan terhadap dampak budaya luar serta bahkan cenderung buat menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki kebiasaan dan nilai budaya nasional nya yg dapat digunakan menjadi dasar buat melakukan pertimbangan (valueing) tersebut. 

Semakin bertenaga dasar pertimbangan yang dimilikinya semakin bertenaga juga kecenderungannya untuk sebagai warganegara yg baik. Pada titik kulminasinya, kebiasaan serta nilai budaya tersebut akan sebagai norma dan nilai budaya bangsanya. Dengan demikian maka warganegara Indonesia akan mempunyai wawasan, cara berpikir, cara bertindak dan menuntaskan kasus yg sesuai dengan kebiasaan dan nilai karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal ini sinkron dengan fungsi primer pendidikan yang diamanatkan pada UU Sisdiknas yaitu “menyebarkan kemampuan dan menciptakan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” . Oleh karena itu aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (Undang-Undang Dasar 1945 serta UU Sisdiknas) telah memberikan landasan yang kokoh buat membuatkan holistik potensi diri seseorang menjadi anggota rakyat serta bangsa. 

Proses pengembangan nilai-nilai yang sebagai landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yg berkelanjutan (never ending process), dilakukan melalui banyak sekali mata pelajaran yang ada pada kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, kepercayaan , pendidikan jasmani serta olahraga, seni serta ketrampilan). Dalam membuatkan pendidikan karakter bangsa kesadaran akan siapa dirinya serta bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Prof Dr Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tersebut hanya bisa terbangun menggunakan baik melalui pendidikan sejarah lantaran sejarah bisa menaruh kesadaran dan penerangan mengenai siapa dirinya serta bangsanya di masa lalu yang membuat dirinya serta bangsanya di masa kini . Selain itu pada pendidikan karakter bangsa harus terbangun jua kesadaran, pengetahuan, wawasan, serta nilai berkenaan dengan lingkungan pada mana dirinya serta bangsanya hayati (geografi), nilai yang hayati pada masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/ politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang sebagai dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yg demikian maka nilai dan karakter yang dikembangkan dalam diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki efek nyata pada kehidupan dirinya, rakyat, bangsa serta bahkan ummat manusia. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan (virtue) yang sebagai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter dalam dasarnya adalah nilai. Oleh karenanya pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yg dari menurut pandangan hidup/ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan pada tujuan pendidikan nasional. 

B. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan budaya serta karakter bangsa berfungsi menjadi:
  1. Perluasan pengembangan potensi peserta didik supaya mereka mempunyai kepeduliaan terhadap nilai-nilai yg mendasari kehidupan budaya serta karakter bangsa
  2. Memperkuat peran pendidikan nasional buat bertanggungjawab dalam pengembangan ranah yg lebih luas berdasarkan ranah kognitif.
  3. Wahana pada membuatkan potensi humanisme siswa sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara 
Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa 
Tujuan pendidikan budaya serta karakter bangsa merupakan:
  1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik menjadi insan dan warganegara yg memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa 
  2. Mengembangkan kemampuan peserta didik sebagai insan yg mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
  3. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah menjadi lingkungan belajar yg aman, jujur, penuh kreativitas serta persahabatan, dan menggunakan rasa kebangsaan yg tinggi serta penuh dignity.
C. Nilai-nilai Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan pada pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari:
  • Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu kehidupan individu, warga , serta bangsa selalu didasari pada ajaran kepercayaan . Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari dalam nilai-nilai yg dari dari agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya serta karakter bangsa wajib berdasarkan pada nilai-nilai serta kaedah yang asal menurut kepercayaan .
  • Pancasila: negara Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan serta kenegaraan yang dianggap Pancasila. Pancasila masih ada pada Pembukaan UUD 1945 serta dijabarkan lebih lanjut pada pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut. Artinya, nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya serta karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa sebagai warganegara yg lebih baik dan warganegara yang lebih baik adalah warganegara yg menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warganegara.
  • Budaya adalah suatu kebenaran bahwa nir terdapat manusia yang hidup bermasyarakat yg nir didasari oleh nilai-nilai budaya yg diakui warga tersebut. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar pada memberi makna terhadap suatu konsep dan arti pada komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian krusial dalam kehidupan rakyat mengharuskan budaya sebagai asal nilai-nilai dari pendidikan budaya dan karakter bangsa.
  • Tujuan Pendidikan Nasional merupakan kualitas insan Indonesia yg wajib dikembangkan sang aneka macam satuan pendidikan di banyak sekali jenjang dan jalur. Di dalam tujuan pendidikan nasional masih ada banyak sekali nilai kemanusiaan yang wajib dimiliki seseorang warganegara. Oleh karenanya, tujuan pendidikan nasional merupakan asal yang paling operasional pada pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut maka didapatkan sejumlah nilai buat pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu:
  • Religius : suatu perilaku serta konduite yang patuh dalam melaksanakan ajaran kepercayaan yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah kepercayaan lain, serta hidup rukun menggunakan pemeluk kepercayaan lain.
  • Jujur: konduite yang didasarkan pada kebenaran, menghindari konduite yang salah , dan mengakibatkan dirinya menjadi orang yang selalu bonafide dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 
  • Toleransi: suatu tindakan dan sikap yg menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari pendapat, sikap, serta tindakan dirinya.
  • Disiplin: suatu tindakan tertib serta aptuh pada banyak sekali ketentuan serta peraturan yg wajib dilaksanakannya.
  • Kerja keras: suatu upaya yang diperlihatkan buat selalu menggunakan saat yang tersedia buat suatu pekerjaan menggunakan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yg dilakukan terselesaikan dalam waktunya
  • Kreatif: berpikir buat membentuk suatu cara atau produk baru berdasarkan apa yang telah dimiliki
  • Mandiri: kemampuan melakukan pekerjaan sendiri menggunakan kemampuan yang telah dimilikinya
  • Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak serta kewajiban dirinya dan orang lain pada kedudukan yang sama
  • Rasa ingin tahu: suatu sikap serta tindakan yang selalu berupaya buat mengetahui apa yg dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas pada berbagai aspek terkait. 
  • Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, serta wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  • · Cinta tanah air: suatu perilaku yg menampakan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, serta politik bangsanya.
  • · Menghargai prestasi: suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yg bermanfaat bagi warga , dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
  • Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yg menerangkan rasa senang berbicara, bergaul, dan berafiliasi menggunakan orang lain.
  • Cinta damai: suatu sikap serta tindakan yg selalu mengakibatkan orang lain senang dan dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, rakyat serta bangsa
  • Senang membaca: suatu norma yg selalu menyediakan waktu buat membaca bahan bacaan yg memberikan kebajikan bagi dirinya.
  • Peduli sosial: suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan donasi untuk membantu orang lain serta rakyat dalam meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
  • Peduli lingkungan: suatu sikap serta tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan dalam lingkungan alam di sekitarnya, serta menyebarkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yg sudah terjadi.

PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengertian Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi berbagi dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa supaya sebagai insan yg beriman dan bertakwa pada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Pasal tiga UU Sisdiknas). Sedangkan budaya adalah nilai, moral, kebiasaan serta keyakinan (belief), fikiran yang dianut sang suatu masyarakat/bangsa dan mendasari perilaku seorang sebagai dirinya, anggota warga , serta warganegara. Budaya mengatur perilaku seorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, serta indah. Selanjutnya, karakter merupakan tabiat yang terbentuk dari nilai, moral, serta kebiasaan yang mendasari cara pandang, berfikir, perilaku, dan cara bertindak seseorang serta yg membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud berdasarkan karakter seseorang yg menjadi anggota masyarakat bangsa tadi. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa adalah pendidikan yang membuatkan nilai-nilai budaya dan karakter dalam diri peserta didik sehingga sebagai dasar bagi mereka pada berpikir, bersikap, bertindak dalam berbagi dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki siswa tadi mengakibatkan mereka sebagai warganegara Indonesia yang mempunyai kekhasan dibandingkan menggunakan bangsa-bangsa lain.

A. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar buat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar tersebut tidak boleh dilepaskan dari lingkungan siswa berada terutama menurut lingkungan budayanya (Ki Hajar Dewantara; Pring; Oliva). Pendidikan yg tidak dilandasi sang prinsip tersebut akan mengakibatkan mereka tercerabut berdasarkan akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka nir akan mengenal budayanya menggunakan baik sebagai akibatnya beliau sebagai orang “asing” pada lingkungan budayanya. Selain sebagai orang asing, yg lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang nir menyukainya budayanya.

Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh serta berkembang merupakan budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yg lebih luas yaitu budaya nasional bangsanya serta budaya universal yang dianut oleh ummat insan. Jika peserta didik sebagai asing terhadap bulat-lingkaran budaya tersebut pada gilirannya maka dia tidak mengenal menggunakan baik budaya bangsanya serta dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat rentan terhadap dampak budaya luar dan bahkan cenderung buat menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi lantaran beliau nir mempunyai kebiasaan serta nilai budaya nasional nya yang bisa dipakai menjadi dasar buat melakukan pertimbangan (valueing) tadi. 

Semakin kuat dasar pertimbangan yg dimilikinya semakin bertenaga juga kecenderungannya buat menjadi warganegara yg baik. Pada titik kulminasinya, norma serta nilai budaya tersebut akan menjadi kebiasaan dan nilai budaya bangsanya. Dengan demikian maka warganegara Indonesia akan mempunyai wawasan, cara berpikir, cara bertindak dan menuntaskan masalah yang sinkron menggunakan norma serta nilai karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal ini sinkron dengan fungsi primer pendidikan yg diamanatkan dalam UU Sisdiknas yaitu “berbagi kemampuan dan menciptakan tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” . Oleh karenanya anggaran dasar yang mengatur pendidikan nasional (Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yg kokoh buat menyebarkan holistik potensi diri seseorang menjadi anggota warga dan bangsa. 

Proses pengembangan nilai-nilai yg sebagai landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan (never ending process), dilakukan melalui aneka macam mata pelajaran yg ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni dan ketrampilan). Dalam membuatkan pendidikan karakter bangsa pencerahan akan siapa dirinya serta bangsanya merupakan bagian yang teramat krusial. Prof Dr Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tadi hanya bisa terbangun menggunakan baik melalui pendidikan sejarah lantaran sejarah bisa memberikan pencerahan serta penjelasan tentang siapa dirinya serta bangsanya di masa lalu yg membuat dirinya serta bangsanya pada masa sekarang. Selain itu pada pendidikan karakter bangsa wajib terbangun juga kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan di mana dirinya dan bangsanya hidup (geografi), nilai yg hayati pada masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/ politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, serta seni. Artinya, perlu terdapat upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yg sebagai dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian maka nilai dan karakter yg dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh serta mempunyai dampak nyata pada kehidupan dirinya, rakyat, bangsa dan bahkan ummat insan. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan (virtue) yg menjadi dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang sebagai atribut suatu karakter dalam dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yg dari berdasarkan pandangan hidup/ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, serta nilai-nilai yg terumuskan pada tujuan pendidikan nasional. 

B. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan budaya dan karakter bangsa berfungsi sebagai:
  1. Perluasan pengembangan potensi siswa supaya mereka memiliki kepeduliaan terhadap nilai-nilai yang mendasari kehidupan budaya dan karakter bangsa
  2. Memperkuat peran pendidikan nasional buat bertanggungjawab pada pengembangan ranah yang lebih luas menurut ranah kognitif.
  3. Wahana pada mengembangkan potensi humanisme peserta didik menjadi individu, anggota warga , serta warganegara 
Tujuan Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa 
Tujuan pendidikan budaya serta karakter bangsa merupakan:
  1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik menjadi insan serta warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa 
  2. Mengembangkan kemampuan peserta didik sebagai manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
  3. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah menjadi lingkungan belajar yang aman, amanah, penuh kreativitas serta persahabatan, serta menggunakan rasa kebangsaan yg tinggi serta penuh dignity.
C. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yg dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari:
  • Agama: rakyat Indonesia adalah warga beragama. Oleh karenanya kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran kepercayaan . Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari dalam nilai-nilai yg dari menurut agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya serta karakter bangsa wajib berdasarkan dalam nilai-nilai dan kaedah yang berasal menurut agama.
  • Pancasila: negara Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yg dianggap Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 serta dijabarkan lebih lanjut pada pasal-pasal yang masih ada pada Undang-Undang Dasar 1945 tadi. Artinya, nilai-nilai yg terdapat pada Pancasila sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, serta seni. Pendidikan budaya serta karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warganegara yg lebih baik dan warganegara yang lebih baik merupakan warganegara yang menerapkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupannya menjadi warganegara.
  • Budaya merupakan suatu kebenaran bahwa nir terdapat insan yg hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui warga tadi. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti pada komunikasi antar anggota rakyat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan rakyat mengharuskan budaya sebagai asal nilai-nilai dari pendidikan budaya serta karakter bangsa.
  • Tujuan Pendidikan Nasional merupakan kualitas manusia Indonesia yang wajib dikembangkan sang banyak sekali satuan pendidikan pada berbagai jenjang dan jalur. Di pada tujuan pendidikan nasional masih ada berbagai nilai kemanusiaan yg wajib dimiliki seseorang warganegara. Oleh karenanya, tujuan pendidikan nasional merupakan sumber yg paling operasional pada pengembangan pendidikan budaya serta karakter bangsa. 
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut maka dihasilkan sejumlah nilai untuk pendidikan budaya serta karakter bangsa, yaitu:
  • Religius : suatu sikap serta konduite yang patuh pada melaksanakan ajaran agama yg dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah kepercayaan lain, serta hidup rukun menggunakan pemeluk agama lain.
  • Jujur: perilaku yg didasarkan dalam kebenaran, menghindari konduite yg keliru, dan berakibat dirinya sebagai orang yg selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, serta pekerjaan. 
  • Toleransi: suatu tindakan serta perilaku yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yg tidak selaras dari pendapat, perilaku, serta tindakan dirinya.
  • Disiplin: suatu tindakan tertib serta aptuh pada banyak sekali ketentuan serta peraturan yang wajib dilaksanakannya.
  • Kerja keras: suatu upaya yang diperlihatkan buat selalu memakai saat yg tersedia buat suatu pekerjaan menggunakan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan terselesaikan pada waktunya
  • Kreatif: berpikir buat membuat suatu cara atau produk baru menurut apa yang sudah dimiliki
  • Mandiri: kemampuan melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya
  • Demokratis: sikap serta tindakan yang menilai tinggi hak serta kewajiban dirinya dan orang lain pada kedudukan yg sama
  • Rasa ingin tahu: suatu perilaku dan tindakan yg selalu berupaya buat mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih mendalam serta meluas dalam berbagai aspek terkait. 
  • Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, dan wawasan yg menempatkan kepentingan bangsa dan negara pada atas kepentingan diri serta kelompoknya.
  • · Cinta tanah air: suatu sikap yg memperlihatkan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yg tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  • · Menghargai prestasi: suatu sikap serta tindakan yang mendorong dirinya buat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat, serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
  • Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yang memperlihatkan rasa bahagia berbicara, berteman, serta bekerjasama dengan orang lain.
  • Cinta tenang: suatu perilaku serta tindakan yang selalu mengakibatkan orang lain bahagia dan dirinya diterima menggunakan baik sang orang lain, rakyat serta bangsa
  • Senang membaca: suatu norma yang selalu menyediakan waktu buat membaca bahan bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
  • Peduli sosial: suatu sikap serta tindakan yg selalu ingin menaruh donasi untuk membantu orang lain serta warga pada meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
  • Peduli lingkungan: suatu sikap serta tindakan yg selalu berupaya mencegah kerusakan dalam lingkungan alam pada sekitarnya, serta mengembangkan upaya-upaya buat memperbaiki kerusakan alam yg telah terjadi.

PEMAHAMAN TENTANG PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

Cara flexi---Pendidikan berbasis warga (community-based education) adalah prosedur yang menaruh peluang bagi setiap orang buat memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi  melalui pembelajaran seumur hayati. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipacu oleh arus bear modernisasi yg menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan insan, termasuk pada bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan menaruh loka yg seluas-luasnya bagi partisipasi warga .



Sebagai implikasinya, pendidikan sebagai usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi warga di dalamnya. Partisipasi dalam konteks ini berupa kerjasama antara warga dengan pemerintah pada merencanakan, melaksanakan, menjaga dam membuatkan aktivitas pendidikan. Sebagai sebuah kolaborasi, maka rakyat diasumsi memiliki aspirasi yang wajib diakomodasi dalam perencanaan serta pelaksanaan suatu acara pendidikan.

Dalam konteks pendidikan nonformal berbasis masyarakat ini, secara pribadi juga tidak langsung, melibatkan warga mulai berdasarkan proses perencanaan, proses pembelajaran sampai evaluasi akhir, yang melihat implikasi langsung imbas menurut program pendidikan yang dilakukan.

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan bebedak masyarakat adalah perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan sebagai sebuah gerakan penyadaran rakyat buat terus belajar sepanjang hayat dalam mengisi tantangan kehidupan yg berubah-ubah.

Secara konseptual, Pendidikan berbasis warga merupakan contoh penyelenggaraan pendidikan bertumpu pada prinsip "menurut warga , oleh rakyat serta buat masyarakat". Pendidikan menurut rakyat merupakan pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh warga ialah warga ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, rakyat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap acara pendidikan. Adapun pengertian pendidikan buat warga ialah masyarakat diikut sertakan dalam semua program yang didesain buat menjawab kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan, warga perlu diberdayakan, diberi peluang serta kebebasan buat mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola serta menilai sendiri apa yg diperlukan secara khusus pada dalam, buat dan oleh rakyat sendiri.

Di pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 16, arti menurut pendidikan berbasis rakyat merupakan penyelenggaraan pendidikan dari kekhasan kepercayaan , sosial, budaya, aspirasi, serta potensi rakyat menjadi perwujudan pendidikan berdasarkan, sang, serta buat masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dalam dasarnya adalah suatu pendidikan yang menaruh kemandirian dan kebebasan dalam warga buat memilih bidang pendidikan yang sesuai menggunakan impian warga itu sendiri.

Sementara itu dilingkungan akademik para pakar juga menaruh batasan pendidikan berbasis warga . Menurut Michael W. Galbraith sebagai berikut:

"Community-based aducation could be  defined as an educational prosess by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and consepts in an effort to live in and gain more control over local aspect of their communities through democratic participation."

Artinya, pendidikan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan dimana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompetens pada keterampilan, sikap, serta konsep mereka dalam upaya buat hayati serta mengontrol aspsek-aspek lokal dari rakyat melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas mengenai pendidikan berbasis rakyat dikemukakan sang Mark K. Smith menjadi berikut:

"... As a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities,  determined by their personal social, econornic and political need."

Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis warga adalah sebuah proses yang dirancang buat memperkaya kehidupan individual dan gerombolan menggunakan mengikutsertakan orang-orang dalam daerah geografi, atau menyebarkan mengenai kepentingan umum, buat berbagi menggunakan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh langsung, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.

Dengan demikian, pendekatan berbasis warga merupakan salah satu pendekatan yg menduga warga sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan menjadi proses serta menduga masyarakat sebagai fasilitator yg bisa mengakibatkan perubahan sebagai lebih baik. Dari sini bisa ditarik pemehaman bahwa pendidikan dipercaya berbasis rakyat bila tanggung jawab perencanaan hingga aplikasi berada pada tangan warga . Pendidikan berbasis warga bekerja atas asumsi bahwa setiap rakyat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah mempunyai potensi buat mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan asal daya yg mereka miliki serta menggunakan memobilisasi aksi bersama buat memecahkan masalah yg mereka hadapi.

Dalam UU sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat dinyatakan menjadi berikut:
  1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis rakyat pada pendidikan nonformal dan nonformal sesuai dengan kekhasan kepercayaan , lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan warga .
  2. Penyelenggaraan pendidikan berbasis warga mengembangkan serta melaksanakan kurikulum serta evaluasi pendidikan, serta manajemen serta pendanannya sinkron dengan standar nasional pendidikan.
  3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis warga bisa bersumber dari penyelenggara, masyarakat. Pemerintah, pemerintah wilayah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Lembaga pendidikan berbasis rakyat bisa memperoleh donasi teknis, subsidi dana serta asal daya lain secara adil dan merata serta Pemerintah serta/atau pemerintah wilayah.
  5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (dua), ayat (tiga), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.


Dari kutipan pada atas tampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dala jarul formal maupun nonformal, sert dasar dari pendidikan berbasis warga merupakan kebutuhan serta kondisi masyarakat, dan rakyat diberi wewenang yg luas buat mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yg sinkron dengan kepentingan masyarakat setempat.

Untuk tujuan berdasarkan pendidikan nonformal berbasis masyarakat bisa menunjuk pada gosip-info rakyat yang khusus misalnya training karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik serta kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serta korban narkotika, HIV/AIDS dan sejenisnya. Sementara itu forum yang menaruh pendidikan kemasyarakatan bisa menurut kalangan bisnis serta industri, lembaga-lembaga berbasis rakyat, perhimpunan petani, organisasi kesehatan, organisasi pelayanan humanisme, organisasi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, forum-forum keagamaan dan lain-lain.


Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat

Model pendidikan berbasis rakyat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7 jalur yg dipakai bisa formal serta atau nonformal.

Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis rakyat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan sang rakyat warga yang memerlukan layanan pendidikan dan befungsi sebagai pengganti, penambah serta pelenggkap pendidikan pendidikan formal pada rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal befungsi menyebarkan potensi peserta didik menggunakan penekanan pengetahuan serta keterampilan fungsional dan pengembangan perilaku serta kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan kepemudaan, pendidikan pembedayaan wanita, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pembinaan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yg ditujukan buat mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga training, kelompok belajar, sentra kegiatan warga , majelis taklim serta satuan pendidikan yg sejenis.

Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal dalam dasarnya lebih cenderung menunjuk pada pendidikan berbasis masyarakat yg merupakan sebuah proses dan program, yg secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis warga akan sejalan menggunakan keluarnya pencerahan tentang bagaimana hubungan-interaksi sosial mampu membantu pengembangan hubungan sosial yg membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan menggunakan kasus yang dihadapi rakyat dalam kehidupan sosial, politik, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis rakyat menjadi acara harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari masyarakat masyarakat adalah hal yg pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi masyarakat wajib didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keinginan berpartisipasi.


Prinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat

Menurut Michael W. Galbraith pendidikan masyarakat mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Self determination (memilih sendiri)
Semua anggota masyarakat mempunyai hak serta tanggung jawab buat terlibat dalam memilih kebutuhan rakyat serta mengindentifikasi sumber-sumber masyarakat yang mampu dipakai buat merumuskan kebutuhan tersebut.

Self help (menolong diri sediri)
Anggota warga dilayani menggunakan baik ketika kemampuan mereka buat menolong diri sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi serta membentuk kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah buat kesejahteraan mereka sendiri.

Leadership development (pengembangan kepemimpinan)
Para pemimpin lokal wajib dilatih pada berbagai keterampilan buat memecahkan kasus, menciptakan keputusan, dan proses gerombolan menjadi cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus menerus dan menjadi upaya menyebarkan warga .

Localization (lokalisasi)
Potensi terbesar buat taraf partisipasi masyarakat terjadi waktu masyarakat diberi kesempatan dalam melayani, program serta kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan loka rakyat hayati.

Integrated delivery of sevice (keterpaduan hadiah pelayanan)
Adanya hubungan antaragensi pada antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.

Reduce duplication of service
Pelayanan warga seharusnya memanfaatkan secara penuh asal-asal fisik, keuangan dan sumber daya manusia pada lokalitas mereka serta mengoordinir bisnis mereka tanpa duplikasi pelayanan.

Accept diversity (menerima perbedaan)
Menghindari pemisahan warga berdasarkan usia, pendapatan kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga warga perlu dilakukan seluas mungkin serta mereka didorong/dituntut buat aktif pada pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan acara pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.

Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan)
Pelayanan terhadap kebutuhan warga yang berubah secara terus menerus adalah sebuah kewajiban dan forum publik semenjak mereka terbentuk untuk melayani warga . Lembaga wajib dapat menggunakan cepat merespon banyak sekali perubahan yang terjadi pada masyarakat supaya manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.

Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup)
Kesempatan pembelajaran formal dan informal hrus tersedia bagi anggota rakyat untuk semua umur pada aneka macam jenis latar belakang rakyat.

Dalam perkembangannya, community based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkembang misalnya Indonesia. Community based education dibutuhkan dapat menjadi salah satu fondasi pada mewujudkan masyarakat madani (Civil society). Dengan sendirinya, manajemen pendidikan yg menurut pada community based education akan menampilkan paras menjadi lembaga pendidikan berdasarkan rakyat. Untuk melaksanakan kerangka berpikir pendidikan berbasis rakyat pada jalur nonformal dipengaruhi pula menggunakan kondisi-syarat yang memadai.


Demikian tentang pendidikan nonformal berbasis masyarakat yg bisa admin blog cara flexi sampaikan, semoga bermanfaat. Mohon dishare, apabila sekiranya artikel ini krusial buat orang-orang dan warga disekitar kita. Terimakasih.

Referesi:
Ace Suryadi, "Pendidikan Investasi SDM dan Pembangunan." Jakarta: Balai Pustaka. 1999.
Dirjen PLSP. "Menuju rakyat yg cerdas, terampil dan mandiri "Direktorat Pendidikan Masyarakat. Depdiknas.2004.
Ditjen PLS, "Standar Minimal Manajemen PKBM Berbasis Masyarakat" Bandung: BPKB Jayagiri. 2003 hlm 1-2
DR. Umberto Sihombing. "Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan" Jakarta: PD. Mahkota, 1999
Finger dan Asun. "Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa" Yogyakarta; Pustaka Kendi.2004
Sudjana SF, Djudju. Pendidikan Nonformal (Wawasan Sejarah-Azas), Theme, Bandung. 1983.
Tilar, H.A.R. "Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama. 1997
Undang-undang Nomo 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan.

PENGERTIAN MULTIKULTURALISME APA ITU MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[1] Sebenarnya, terdapat 3 kata yg kerap digunakan secara bergantian buat menggambarkan warga yg terdiri keberagaman tadi –baik keberagaman agama, ras, bahasa, serta budaya yg berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga aktualisasi diri itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yg lebih menurut satu’ (many); keragaman memperlihatkan bahwa keberadaan yg ’lebih berdasarkan satu’ itu bhineka, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan 2 konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya nisbi baru. 

Secara konseptual masih ada disparitas signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti menurut multikulturalisme adalah kesediaan mendapat kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan disparitas budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Jika pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih menurut satu), multikulturalisme menaruh penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama pada dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan istilah lain, adanya komunitas-komunitas yg berbeda saja tidak relatif; karena yang terpenting merupakan bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. 

Oleh karenanya, multikulturalisme menjadi sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua disparitas sebagai entitas dalam masyarakat yg harus diterima, dihargai, dilindungi dan dijamin eksisitensinya.[2] 

Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme timbul pertama kali di Kanada serta Australia, kemudian pada Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi 3 perkiraan mendasar yg wajib diperhatikan pada kajian tentang multikulturalisme, yaitu: Pertama, dalam dasarnya insan akan terikat menggunakan struktur serta sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia nir mampu bersikap kritis terhadap sistem budaya tadi, akan namun mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai serta cara pandang mengenai kebaikan yang tidak selaras juga. Oleh karenanya, suatu budaya adalah satu entitas yg relatif sekaligus partial serta memerlukan budaya lain buat memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yg berhak memaksakan budayanya pada sistem budaya lain.[3] Ketiga, dalam dasarnya, budaya secara internal adalah entitas yg plural yg merefleksikan interaksi antar disparitas tradisi serta untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi serta bukti diri budaya, akan namun budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses serta terbuka.[4] 

1. Multikulturalisme pada Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yg cukup kontekstual menggunakan empiris warga kontemporer waktu ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap disparitas adalah prinsip nilai yg dibutuhkan insan pada tengah himpitan budaya global. Oleh karenanya, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme merupakan bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam rakyat yg keliru satunya pada pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.

Pendidikan menggunakan wawasan mutlikultural pada rumusan James A. Bank merupakan konsep, ilham atau falsafah menjadi suatu rangkaian agama (set of believe) dan penjelasan yg mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membangun membangun gaya hidup, pengalaman sosial, identitas langsung, kesempatan-kesempatan pendidikan berdasarkan individu, kelompok juga negara.[5] Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komperhensif serta fundamental bagi semua siswa. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk subordinat di sekolah, rakyat dengan mendapat serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, kepercayaan , ekonomi, gender serta lain sebagainya) yang terefleksikan pada antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-pengajar. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan taktik pedagogi, termasuk juga dalam setiap hubungan yg dilakukan di antara para pengajar, siswa serta keluarga serta keseluruhan suasana belajar­mengajar. 

Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam warga , pendidikan multikultural berbagi prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.[6] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur menjadi “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7] 

Dari beberapa dua definisi di atas, hal yg harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan merupakan bukti diri, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas menjadi salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa siswa dan pengajar adalah satu individu atau kelompok yg merepresentasikan satu kultur tertentu pada warga . Identitas pada dasarnya melekat dengan sikap eksklusif ataupun grup rakyat, lantaran menggunakan bukti diri tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mensugesti satu sama lain, termasuk pula pada interaksi antar budaya yg tidak sinkron.

Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, bukti diri-bukti diri tersebut diasah melalui hubungan, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karenanya, identitas lokal atau budaya lokal adalah muatan yg sine qua non pada pendidikan multikultur.

Dalam rakyat ditemukan aneka macam individu atau gerombolan yang berasal berdasarkan budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut nir bisa dielakkan. Diversitas budaya itu sanggup ditemukan di kalangan peserta didik juga para guru yg terlibat -secara langsung atau nir- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu jua sanggup ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang terdapat dan berkembang pada konstelasi budaya, lokal, nasional serta global. Oleh karenanya, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai pada pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yg ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yg terdapat buat terlibat pada satu proses pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan 5 dimensi yang sine qua non yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan pada kurikulum (content integration) yang pada dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yg tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan menggunakan mengetahui serta tahu secara komperhensif keragaman yg terdapat. Ketiga, pengurangan berpretensi (prejudice reduction) yg lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang serta kesempatan yang sama pada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yg kelima ini merupakan tujuan berdasarkan pendidikan multikultur yaitu supaya sekolah sebagai elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur rakyat yang tak seimbang pada struktur yang berkeadilan.[8]

Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa contoh pendidikan yang diperlukan pada Indonesia wajib memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan bukti diri lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yg menjadi, merupakan kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung yg terus berproses dan adalah bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali buat mengoptimalisasikan budaya lokal yg beriringan menggunakan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat bukti diri nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan bukti diri budaya lokal yang terdapat. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, merupakan pendidikan multikultural nir boleh terjebak dalam xenophobia, fanatisme serta fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun kepercayaan . Kelima, pendidikan multikultural adalah pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) serta pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yg majemuk (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang diajak mengenal budayanya sendiri serta selanjutnya dipakai buat berbagi budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diharapkan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama serta majemuk perbedaan yang terdapat. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan buat mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yg dipahami sang holistik komponen sosial-budaya yang beragam. [9]

Pendidikan Multikultur di Pesantren
1. Terminologi serta Histori Pesantren
Kata “pesantren” berasal dari “pe-santri-an”. Awalan “pe” dan akhiran “an” yg dilekatkan dalam istilah “santri” ini sanggup menyiratkan 2 arti. Pertama, pesantren sanggup bermakna “loka santri”, sama misalnya pemukiman (tempat bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (loka beristirahat), pemondokan (loka mondok) serta lain-lain. Kedua, pesantren juga mampu bermakna “proses mengakibatkan santri”, sama seperti kata pencalonan (proses membuahkan calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) serta lain-lain. Jelasnya, “santri” pada sini bisa menjadi objek menurut usaha-usaha yg dilakukan di suatu loka, tetapi pula mampu menjadi sosok personifikasi berdasarkan sasaran/tujuan yg akan dicapai lewat bisnis-bisnis tersebut.[10] 

Pada kenyataannya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam menggunakan karakteristik khas Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya nir ada lembaga pendidikan yg memiliki karakteristik dan tradisi persis misalnya pesantren, walau mungkin terdapat lembaga pendidikan tertentu pada beberapa negara lain yg dianggap mempunyai kemiripan menggunakan pesantren, misalnya ribâth, sakan dâkhilî, atau jam’iyyah. Tetapi ciri pesantren yang ada di Indonesia jelas spesial keindonesiaannya lantaran berhubungan erat menggunakan sejarah dan proses penyebaran Islam pada Indonesia.[11] 

Sejak tahap-tahap awal pengembangan Islam di Nusantara, para ulama pelaksana misi dakwah Islam (du’ât ilallâh), termasuk Wali Songo, telah melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Pelaksanaan dakwah ini, dalam mulanya mereka lakukan dengan cara berpindah-pindah berdasarkan satu tempat ke tempat yg lain (as-safar wat-tajwwul). Dengan cara ini, mereka sanggup menangani eksklusif duduk perkara umat secara kondisional serta regional, sebagai akibatnya Islam kemudian dikenal serta dipeluk sang banyak sekali lapisan rakyat dan suku pada Nusantara. 

Tetapi cara ini tidak bisa terus mereka lakukan. Seiring menggunakan usia yg semakin menua, para du’ât itu pun mulai menetap di suatu tempat guna melakukan pelatihan umat serta kaderisasi calon-calon du’ât di loka mereka masing-masing. Mereka bertempat tinggal, melaksanakan dakwah serta pendidikan. Para du’ât yg memilih jalur pendidikan ini lalu melahirkan banyak forum yang bernama “pesantren”, dan mereka pun mulai diklaim ”Kiai”.[12] 

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Selain menjadi lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama sebagai forum pendidikan. Fungsi ini memiliki 2 misi: Pertama, pendidikan umat secara umum buat mendidik serta menyiapkan pemuda-pemudi Islam sebagai umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, sebagai forum pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Dalam hal ini, tugas pesantren merupakan mendidik serta menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang bisa mewarisi sifat dan kepribadian para Nabi, serta siap melaksanakan tugas indzârul qawm.

Selain itu, pesantren juga dituntut buat berusaha mengembalikan gambaran serta fungsi forum-lembaga pendidikan Islam menjadi sentra pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama, sebagai realisasi dari wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip harapan supaya pesantren sebagai loka rujukan warga pada menjawab perseteruan-perseteruan keseharian mereka dari perspektif dan pandangan kepercayaan . 

Sejarah mencatat, pondok pesantren yg telah berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan output berdasarkan proses akulturasi tenang antara ajaran Islam yg dibawa para wali dan pedagang yg umumnya bernuansa mistis, menggunakan budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yg bersumber berdasarkan agama Hindu serta Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yg berdiri pada pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan adalah satu-satunya sistem pendidikan yg befungsi sebagai lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh rakyat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah bisa menerapkan sistem pendidikan berjenjang, dari pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak terdapat peraturan wajib belajar, pada budaya Indonesia masa lalu, anak yg berusia tujuh tahun ke atas, baik pria juga wanita, harus dipesantrenkan pada desanya.

Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara konstan serta sistematis, yg dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi spesifik kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka pula mengemban misi misionari, yg dimotori sang gerombolan Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit mulus (penjajah) versus pribumi, priyayi lawan warga biasa, Kristen versus Islam, dan tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren buat pindah menurut kota ke desa sampai pengaruh psikologis yang negatif pun nir terhindarkan. Seperti keluarnya kesamaan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik serta lain sebagainya. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif serta kezhaliman ini, pesantren terus bertahan dan melawan dalam bentuk sikap non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat pada sini sebagai model perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, pemberontakan umat Islam di Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat dan Aceh. Lantaran peran inilah, maka syahdan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan supaya pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.

Sebagai dampak dari pengaruh psikologis yang ada berdasarkan output propaganda kolonial pada atas, maka dalam era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yg sungguh ironis dan amat merugikan interaksi harmonis rakyat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri dan abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, sampai tercuatlah upaya sistematis yg bertujuan melakukan balik stigmatisasi Pesantren.

Dari hasil penilaian nir adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai dari UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, hingga UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya nir mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional, serta menafikan jasa berabad-abad pesantren dalam pembentukan sistem pendidikan nasional.[13] 

Namun, fenomena faktual ketika ini justru tengah menunjukkan kian bertenaga, akbar serta pentingnya kiprah Pesantren. Terbukti dengan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren menggunakan banyak sekali corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya pada pedesaan namun jua di perkotaan. Minat para orang tua buat mengirimkan putra-putrinya ke pesantren jua kian meningkat, termasuk di kalangan elit rakyat.

Dari hasil pengamatan serta kajian, para ahli serta pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun sekarang telah poly bermunculan sebagai tokoh krusial pada banyak sekali sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi donasi sangat akbar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren sang global pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan global internasional yg terus terjalin mulus. Hingga tak ayal bila banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren menjadi objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.

3. Pendidikan Multikuturalisme di Pondok Modern
Hingga sekarang, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yang secara garis akbar dapat diklasifikasi pada dua sistem primer: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren terkini. Ciri berdasarkan pesantren tradisinal adalah konsistensinya dalam melaksanakan sistem pendidikan murni dan nir terikat formalitas pengajaran (kelas) juga strata pendidikan serta ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri dalam pengkajian ilmu-ilmu kepercayaan . Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas serta modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran pada pada kelas) dan kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu. Dikotomi ilmu agama serta umum pula dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, tetapi dengan proporsi pendidikan agama lebih mendominasi. Sistem pendidikan yg digunakan pada pondok terbaru dinamakan sistem Mu’allimin. 

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah sebagai pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam guru formal pada kelas saja. Tapi pula dilakukan pada kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan dalam bentuk pedagogi materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pedagogi pada pondok terbaru yg didominasi bahasa asing (Arab serta Inggris) menjadi pengantar, nir melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme murid (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer serta wajib diajarkan menggunakan medium bahasa Indonesia pula.

Dalam bidang non formal, pesantren menggunakan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki poly saat buat menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola generik yang nyaris diberlakukan pada banyak sekali pondok terbaru merupakan sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam anggaran serta disiplin pondok. Salah satunya pada urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok terkini, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, semua santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.

Seperti halnya pada Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor jua memutuskan regulasi supaya setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka jua akan mengalami perpindahan antarkamar pada asrama yang mereka huni. Hal ini ditujukan buat memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan serta membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi serta budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri tidak berdasarkan pada daerah dari atau suku. Bahkan, penempatan sudah diatur sedemikian rupa oleh pengasuh pondok, serta secara aporisma diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri menurut wilayah eksklusif menempati sebuah kamar yang sama. 

Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar maksimal nir boleh dihuni sang tiga orang lebih santri dari satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke pada semangat yg lebih universal. Di samping itu, supaya santri pula dapat belajar kehidupan bermasyarakat yg lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional beserta para santri mancanegara.[14] Namun, penerapan pola pendidikan ini, menurut Syukri Zarkasyi, tidak berarti menafikan unsur daerah. Lantaran unsur kedaerahan sudah diakomodir dalam aktivitas wilayah yg dianggap “konsulat”, yg ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya buat diarahkan menolaknya sebagai sumber fanatisme kedaerahan.

Pendidikan multikulturalisme lainnya pada intensitas pendidikan pondok terbaru merupakan diberlakukannya aturan mengikat yg melarang santri berbicara memakai bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan Inggris, saat masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia pada beberapa kesempatan dan kepentingan. Pendisiplinan santri pada pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yg melanggarnya akan diberi sanksi bervariasi yg edukatif.

Pendidikan toleransi atas disparitas jua kental diajarkan pada sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran serta ijtihad diajarkan pada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka buat memaksakan wangsit. Sikap toleransi terhadap disparitas pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok terkini.

Dengan sistem Mu’allimin yg didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan pada pendidikan formal, bisa dilalui pondok terkini. Pada KBK, hambatan utamanya merupakan keterbatasan saat ajar buat memberi pemahaman penuh sebuah materi pada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding saat formal pembelajaran pada dalam kelas. Keterbatasan masa pedagogi pada kelas ini pun dapat tertanggulangi pondok pesantren menggunakan adanya banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan para guru buat melengkapi pedagogi pada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan saat serta menciptakan pedagogi sebagai efektif. Ditambah lagi dengan arus utama sistem pendidikan pada pondok terkini yang tidak mengenal dibagi dua pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler.[15] 

Keutamaan pendidikan multikulturalisme di pondok terkini jua tercermin menurut muatan/isi kurikulum yg jelas mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam grup bidang studi Dirasah Islamiyah, menjadi contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, kenyataan serta dinamika keagamaan pada global. Materi ini sangat substansial pada pendidikan multikulturalisme, lantaran santri diwawaskan berbagai disparitas fundamental keyakinan agama mereka (Islam) dengan agama-agama lain di dunia. Materi ini sangat potensial membangun pencerahan toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui ketika hidup bermasyarakat kelak.

Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok terbaru menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni besar Khutbatul ‘Arsy menggunakan galat satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya seluruh elemen santri, menurut kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah dan budaya loka domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan buat menjadi pencerah awal serta pewawasan kebhinekaan budaya pada lingkungan yg akan mereka huni.

Keadaan Pendidikan Islam pada Indonesia
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam nir terlepas menurut sejarah Islam dalam umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tadi dalam dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam dalam masa itu dan pada masa yang akan tiba yg dianggap menjadi kebutuhan hayati (need of life). Usaha yang dimiliki, jika kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya buat melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yg tertuang dalam surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yg mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril pada gua Hira. Ini adalah keliru satu model berdasarkan opersionalisasi penyampaian berdasarkan pendidikan tersebut.

Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis akbar membagi sejarah Islam ke dalam 3 periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan terkini.

Selanjutnya, pembahasan mengenai lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan menjadi berikut:
  1. Periode pelatihan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama sekitar dari 23 tahun, yaitu semenjak dia mendapat wahyu pertama menjadi tanda kerasulannya hingga wafat.
  2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yg diwarnai oleh penyebaran Islam ke pada lingkungan budaya bangsa pada luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli
  3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung semenjak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai menggunakan jatuhnya kota Bagdad yg diwarnai sang perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai zenit kejayaannya.
  4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung semenjak jatuhnya kota Bagdad hingga menggunakan jatuhnya Mesir sang Napoleon sekirat abad ke-18 M. Yg ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya sentra-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban insan ke global Barat.
  5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon dalam akhir abad ke-18 M. Hingga kini , yg pada tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya serta pendidikan terkini berdasarkan global Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan menggunakan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tadi adalah pengalaman serta pengetahuan yang krusial bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas juga kualitas.

Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya pada aneka macam aspek sosial, politik, budaya. Oleh karenanya, untuk melacak sejarah pendidikan Islam pada Indonesia menggunakan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi serta kelembagaannya nir mungkin dilepaskan berdasarkan fase-fase yang dilaluinya.

Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi sebagai;
  1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
  2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi
  3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
  4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
  5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
  6. Periode kemerdekaan I Orde usang (1945 – 1965)
  7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), h. 2-6.
[2] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 pada depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya merupakan gagasan politik yg lalu berkembang pada kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya serta lainnya. Gagasanya ditentukan sang padangan Jean-Jacques Rousseau pada Discourse Inequality dan kesamaan prestise (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber dalam pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia merupakan sama. Kedua, pada dasarnya budaya pada warga merupakan bhineka, sang karenanya membutuhkan hal yg ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh seluruh element sosial-budaya, termasuk jua negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” pada Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), h. 18.
[3] Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 375.
[4] Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), h. 177.
[5] James A.bank serta Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), h. 28.
[6] Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
[7] Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
[8] James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” pada James A. Banks dan Cherry A. McGee, op. Cit., h. 3-24.
[9] H.A.R. Tilaar, op. Cit., h. 185-190.
[10] KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, Masa Depan Pendidikan Pesantren Agenda yg Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] KH Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, Jakarta: Taj Publishing, 2008.
[14] KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005. H. 125
[15] Ibid. H. 155. Didukung sang output wawancara menggunakan KH Nurhadi Ihsan MA, Direktur KMI Pondok Modern Gontor, Penanggungjawab bidang kurikulum Pondok Modern Gontor, lepas 18 Oktober 2008.