Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian bisa didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat mempertinggi status dan kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat membuatkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui pemugaran (improvement), pertumbuhan (growth) serta perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai syarat utama dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian mencakup: (1) adanya pasar buat output-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (tiga) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (lima) tersedianya pengangkutan yang lancar serta kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian mencakup: (1) pendidikan pembangunan, (dua) kredit produksi, (tiga) aktivitas gotong royong petani, (4) pemugaran dan ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yg disarankan oleh Mosher.
Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terjadwal dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) serta PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian.
2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan menaikkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan serta menaikkan industri pengolah bahan baku sebagai bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan menaikkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.
Menurut Suhendra (2004) di banyak negara, sektor pertanian yg berhasil adalah prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tadi, sebagai akibatnya pembangunan jangka panjang didesain secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan dalam pembangunan sektor pertanian serta industri pembuat sarana produksi peratnian. Pada tahap ke 2, pembangunan dititikberatkan dalam industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang serasi serta seimbang, andal menghadapi gejolak internal serta eksternal.
Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara terjadwal dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan planning, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan.
Kebijakan buat memutuskan sektor pertanian menjadi titik berat pembangunan ekonomi sinkron menggunakan rekomendasi Rostow pada rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas.
Pentingnya kiprah sektor pertanian pada pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) menggunakan menyediakan surplus yang bisa diinvestasikan berdasarkan tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yg berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk menurut sektor yang berkembang, dan (4) menggunakan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor.
Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, menggunakan harga yg relatif murah, menaruh donasi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yg membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian sudah mempertinggi penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, dalam taraf tertentu sektor pertanian sudah sanggup menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri.
Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tadi mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produkproduk pertanian yang mengakibatkan negatif pada pendapatan petani, misalnya yg ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di taraf petani berkisar antara 0.28-10.08 persen dan akan menurunkan pendapatan tempat tinggal tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi nir selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, misalnya yg ditunjukkan sang hasil penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani berdasarkan tahun ke tahun justru mengalami penurunan yg ditunjukkan oleh nilai tukar petani (NTP) yang mempunyai tendensi (isu terkini) yg menurun (negatif) sebanyak –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yg protektif, memerlukan subsidi serta mendapat hegemoni yg sangat mendalam, sebagai akibatnya sektor pertanian dipercaya sebagai most-heavily regulated.
Menurut Arifin (2004) nir berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dasa warsa sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas menurut dampak kerangka berpikir pembangunan waktu itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya dalam sektor industri, yang kemudian diterjemahkan pada aneka macam kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan akbar-besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani.
Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan sang aplikasi pembangunan pertanian menurut pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) nir memperhatikan pedoman horizontal, vertikal serta spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani.
Oleh karenanya, pengembangan komoditas acapkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, dan kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.
Menyadari akan hal tadi pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah menurut pendekatan komoditas sebagai pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian pula akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Memasuki era globalisasi yg dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga serta berbagai proteksi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian.
Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik juga internasional, akan membawa dampak yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan aplikasi acara pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan modal serta energi kerja terampil dan berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.
Sejak awal 1990-an, seiring menggunakan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih poly diarahkan pada sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi serta intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yg bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang membentuk kesengsaraan serta penderitaan rakyat, maka Indonesia balik mengakibatkan sektor pertanian menjadi landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005).
Peran penting sektor pertanian sudah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian dalam saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok pada jumlah yg memadai serta taraf pertumbuhannya yang positif pada menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005).
Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan sang Simatupang (1997) sebagai berikut:
1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran.
2. Sektor pertanian adalah penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa pada rangka menaikkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia serta sekaligus pengentasan kemiskinan.
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan utama penduduk, sebagai akibatnya dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan dalam pasar global.
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yg besar pada indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah krusial dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini bisa membantu menjaga ekuilibrium neraca pembayaran.
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu menaikkan kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi serta investasi.
Kabinet Indonesia Bersatu sudah menetapkan program pembangunannya menggunakan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yg lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.
Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tadi dirancang melalui hal-hal menjadi berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui akselerasi investasi dan ekspor.
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan membangun lapangan kerja baru.
3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan buat berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan.
Revitalisasi pertanian diartikan menjadi kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional menggunakan nir mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama semua stakeholder dan mengganti kerangka berpikir pola pikir warga dalam melihat pertanian nir hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dipandang menjadi sektor yang multi-fungsi serta sumber kehidupan sebagian besar warga Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga acara, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (dua) Program pengembangan agribisnis, dan (tiga) Program peningkatan kesejahteraan petani.
Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yg cukup kondusif serta halal di setiap wilayah setiap waktu, serta antisipasi supaya nir terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi acara peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan bisnis, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi serta promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005c).
Industrialisasi Pertanian
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan fenomena industrialisasi serta pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus ditinjau bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun pula menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan distribusipendapatan yang lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya tenaga kerja non pertanian, bahan baku buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat mendapatkan lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); serta memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan memilih transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang.
Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di aneka macam negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006).
Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian tidak sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan hasil pertanian oleh sektor industri, tetapi jauh lebih luas berdasarkan itu karena mencakup proses peningkatan nilai tambah, sampai dalam koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yg memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan seluruh rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada jua yg beranggapan bahwa proses industrialisasi merupakan suatu keniscayaan seiring dengan proses transformasi struktur ekonomi serta adalah tuntutan efisiensi dalam bidang bisnis melalui integrasi vertikal dari hulu hingga hilir.
Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga ciri produk akhir yg dipasarkan bisa dijamin serta diadaptasi dengan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis berdasarkan pola dispersal sebagai pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa tidak selaras menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal tetapi memadukan diri menggunakan perusahaan-perusahaan lain yang berkecimpung dalam seluruh bidang bisnis yang terdapat pada satu alur produk vertikal (menurut hulu sampai hilir) dalam satu gerombolan bisnis.
Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir semua negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduk yang sedikit dan kekayaan minyak atau sumber daya alam (SDA) lainnya yang melimpah, seperti Kuwait dan Libya, dapat berharap mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta di banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor utama (pertanian serta pertambangan) yg mampu mencapai taraf pendapatan per kapita di atas 500 US $ selama jangka panjang.
Sektor industri diyakini bisa dijadikan menjadi sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yang didapatkan sang sektor industri memiliki dasar tukar (term of trade) yg tinggi atau lebih menguntungkan, dan mampu menciptakan nilai tambah (value added) yang akbar dibandingkan dengan produk-produk yg didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri mempunyai variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri pula menaruh marjin keuntungan yg lebih menarik bagi para pelaku bisnis, dan proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan sang manusia yg tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.
Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, industrialisasi bukanlah adalah tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu taktik yang wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis pada proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian dalam pembentukan PDB menurut waktu ke waktu serta peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia telah memasuki proses industrialisasi.
Proses industrialisasi pada Indonesia telah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I hingga krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita masyarakat mengalami peningkatan yg relatif pesat setiap tahunnya. Apabila hanya mengandalkan berdasarkan sektor pertanian dan sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih menurut 200 juta orang, nir akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-homogen sebanyak 7 % per tahun dan taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001).
Menurut Simatupang dan Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu pada kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini bisa pula disebut menjadi pembangunan menggunakan pendekatan sistem agribisnis.
Definisi agribisnis dari Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yang saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, serta subsistem jasa dan penunjang. Subsistem agribisnis hulu merupakan aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian misalnya industri perbenihan serta pembibitan flora, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), serta industri alat serta mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang menghasilkan komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah kegiatan ekonomi yang memasak komoditas atau produk pertanian primer sebagai produk olahan. Termasuk dalam subsistem tadi merupakan industri kuliner, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, serta industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan serta struktur pasar. Adapun subsistem jasa dan penunjang merupakan kegiatan ekonomi yg menyediakan jasa atau layanan yg diperlukan buat memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan dan premi, penelitian serta pengembangan, pendidikan serta penyuluhan, dan transportasi serta pergudangan.
Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tersebut bisa dilihat dalam Gambar.
Gambar Sistem Agribisnis
Sumber: Badan Agribisnis (1995)
Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yg dalam umumnya nir berlokasi di perdesaan, padat modal, dan berskala akbar misalnya industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, serta (b) industri pengolahan hasil pertanian, seperti pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan buah, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain.
Tambunan dan Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi pada Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, dan kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, hingga ketika ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yang mandiri. Hal ini disinyalir karena para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dianggap menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan.
Senada dengan hal tersebut di atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa keliru satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia adalah lantaran kesalahan industrialisasi yang tidak berbasis dalam pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih sanggup mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang kecil, sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yg negatif di atas satu digit. Banyak pengalaman pada negara-negara maju di Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai model, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali dengan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi pada Jepang berlangsung bersamaan dengan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian jua pada Taiwan pada dekade 1950-an, yang menerangkan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala kecil serta berlokasi di perdesaan sanggup membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh.
Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang bertenaga sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi antara lain menjadi berikut (Tambunan, 2001):
1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah salah satu prasyarat krusial agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada biasanya mampu berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti tidak terdapat kelaparan dan ini mengklaim kestabilan sosial serta politik.
2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg kuat menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tadi tinggi yang adalah keliru satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian akbar penduduk berada di perdesaan serta memiliki asal pendapatan langsung maupun tidak eksklusif menurut aktivitas pertanian, jelas sektor ini merupakan motor utama penggerak industrialisasi.
Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian jua berfungsi sebagai sumber pertumbuhan pada sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: hasil berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian.
3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah salah satu sumber input bagi sektor industri pertanian yg mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, contohnya industri kuliner serta minuman, industri tekstil serta sandang jadi, industri kulit, serta sebagainya.
4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor pertanian sanggup membentuk surplus di sektor tersebut serta ini sanggup menjadi sumber investasi pada sektor industri, khususnya industri skala mini pada perdesaan (keterkaitan investasi).
Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa bisnis buat memajukan serta memperluas sektor industri haruslah sejajar dengan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yg lebih maju diperlukan oleh sektor industri, baik menjadi penyedia bahan standar maupun menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yg sangat erat. Keterkaitan tadi terutama didominasi sang dampak keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar.
Pada Gambar, jumlah output berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah makanan yang dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox merupakan bahan baku atau komoditas pertanian yang diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yg bersangkutan buat impor sebesar Om, dengan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa membentuk output sebanyak Oi. Misalkan volume produksi pada sektor industri meningkat ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yg wajib diimpor, yakni sebesar Om'. Produksi semakin tinggi berarti juga kesempatan kerja serta pendapatan rakyat pada negara tersebut juga semakin tinggi, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner juga meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian nir semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebanyak Om' tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu, pada usaha meningkatkan volume produksi pada sektor industri (ke Oi'), maka hasil pada sektor pertanian jua harus ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi kuliner ke Om' serta berarti jua output di sektor industri bisa naik ke Oi'.
Gambar Keterkaitan antara Sektor Pertanian serta Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001)
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) nir bisa menaikkan outputnya (atau pertumbuhan yg tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat krusial pada proses industrialisasi pertanian.
Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan
Konsep dan Ukuran Kemiskinan
Konsep mengenai kemiskinan sangat beragam, mulai menurut sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar serta memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial serta moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau syarat yg dialami seorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak bisa memenuhi hak-hak dasarnya buat mempertahankan dan menyebarkan kehidupan yg bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air higienis, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman berdasarkan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi pada kehidupan social politik, baik bagi wanita juga pria.
Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tadi saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, nir memiliki loka tinggal, bila sakit nir memiliki dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena nir bisa bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak lantaran sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak mempunyai rasa bebas.
Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) adalah sebagai berikut:
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya bisa memenuhi makannya kurang dari dua 100 kalori per kapita per hari.
2. BKKBN: Kemiskinan adalah famili miskin prasejahtera, nir bisa melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak mempunyai pakaian berbeda buat di rumah, bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah serta nir sanggup membawa anggota keluarga ke wahana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota famili memperoleh paling kurang satu setel pakaian baru, serta (c) luas lantai rumah paling kurang 8 m buat tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan famili yang karena alasan ekonomi nir dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi:
(a) dalam umumnya semua anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih, (b) anggota keluarga mempunyai sandang tidak selaras buat pada tempat tinggal , bekerja/sekolah serta bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan berdasarkan tanah.
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yang layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari.
Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam 5 kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan ad interim. Kemiskinan mutlak, merupakan jika tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), antara lain kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan serta pendidikan yg diperlukan buat hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun nisbi lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan masalah pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan dampak kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam sikap seseorang atau rakyat yg ditimbulkan sang faktor budaya tidak mau berusaha buat memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan sang beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup rakyat yg tidak produktif, (b) keterbatasan asal daya serta keterisolasian (daerah-daerah kritis sumber daya alam dan daerah terpencil), dan (c) rendahnya tingkat pendidikan dan derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidak berdayaan rakyat pada mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan ad interim, terjadi dampak adanya: (a) perubahan daur ekonomi menurut syarat normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman misalnya dijumpai pada perkara kemiskinan nelayan serta pertanian flora pangan, dan (c) bencana alam atau dampak berdasarkan suatu kebijakan tertentu yang mengakibatkan menurunnya taraf kesejahteraan suatu warga .
Menurut Darwis dan Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan memakai 3 pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan serta pengeluaran. Garis kemiskinan yg ditentukan menurut taraf produksi, misalnya produksi padi per kapita, hanya bisa menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hayati. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini nir mudah dilakukan karena kesulitan buat memperoleh data pendapatan tempat tinggal tangga yg seksama. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka garis kemiskinan dipengaruhi menggunakan pendekatan pengeluaran yang dipakai sebagai proksi atau perkiraan pendapatan rumah tangga.
Garis kemiskinan yang dipergunakan BPS dinyatakan menjadi jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang setara dengan dua 100 kalori per kapita ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori menggunakan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya telah diperkenalkan sang Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan masyarakat yg sesungguhnya lantaran pengeluaran pokok di luar kebutuhan pangan pula diperhitungkan (Yusdja et al., 2003).
Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, dapat dihitung jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara daerah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai dengan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok warga pada kedua daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi dari perkembangan tingkat harga kebutuhan pokok warga (Sumedi dan Supadi, 2004).
Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas merupakan menjadi berikut (Yudhoyono dan Harniati, 2004; Nanga,2006; dan Foster et al., 1984):
1. Incidence of poverty, yang mendeskripsikan persentase berdasarkan populasi yang hayati dalam famili menggunakan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya dianggap poverty headcount index, yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, lantaran hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yg ada pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan berukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak terdapat perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin.
2. Depth of poverty, yang menggambarkan taraf kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur menggunakan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak atau disparitas rata-homogen pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yg dinyatakan sebagai suatu proporsi berdasarkan garis kemiskinan tadi. Kelemahan indeks ini merupakan mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan pada antara penduduk miskin.
3. Severity of poverty, yang memperlihatkan kepelikan kemiskinan pada suatu wilayah, yang merupakan rata-homogen dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jeda yang memisahkan orang miskin menurut garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan pada antara orang miskin tadi. Indeks ini jua acapkali dinamakan menjadi indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index).
Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan pada distribusi pendapatan, yang bisa dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu asiomatic approach dan stochastic dominance. Pendekatan yang sering dipakai pada studi-studi realitas adalah pendekatan pertama dengan 3 indera ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (dua) the Atkinson measure, dan (tiga) Gini coefficient.
Rumus GE dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di dalam sampel, yi adalah pendapatan menurut individu (1, dua, ....., n), dan y = (1/n) ∑ yi merupakan berukuran homogen-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan berdasarkan semua individu pada dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yg sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari kelompok yg tidak sama di pada distribusi tadi.
Dari persamaan (dua.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan berdasarkan Atkinson sebagai berikut:
dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), semakin tinggi nilai ε maka semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 hingga 1. Nilai A sama dengan nol berarti nir terdapat ketimpangan pada distribusi pendapatan.
Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan pada setiap studi realitas mengenai kesenjangan pada pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:
dimana: G adalah nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan semua sampel, dan F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yg sempurna (setiap orang menerima porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yg paripurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati seluruh pendapatan negara tadi.
Dengan memakai grafik, rasio Gini bisa digambarkan dengan Kurva Lorenz seperti yang disajikan dalam Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara daerah pada pada grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz dan garis kemerataan paripurna (yang membentuk sudut 45 menurut titik 0 sumbu Y dan X) terhadap daerah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y serta X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz menurut garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz
Sumber: Tambunan (2001)
Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tadi merupakan Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yg dapat dirumuskan menjadi berikut:
Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat ditinjau dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) berdasarkan masing-masing individu dengan tingkat kemiskinan p yang berbeda.
Kontribusi tadi ditunjukkan sang (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yang miskin dan 0 buat yang kaya (yang mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama menggunakan pendapatan Q(p) yang melebihi z).
Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 kontribusi seorang pada tingkat kemiskinan p, persis sama menggunakan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yang dinormalkan merupakan yg berada pada wilayah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yg lebih besar , contohnya kontribusi buat P(z;α=3) berdasarkan individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=3) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).
Gambar Poverty Gaps dan FGT Indeks
Sumber: Foster et al. (1984)
Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang bisa dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hidup berdasarkan masyarakat dimana pendapatan menjadi acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps serta mengelompokkannya pada kesejahteraan warga .
Kemiskinan Perdesaaan
Desa hingga ketika ini permanen sebagai kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49.lima juta jiwa penduduk miskin di Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal pada wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49.5 juta jiwa menjadi 37.5 juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi persentase kemiskinan di wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan dari 60 persen tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara pada wilayah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tadi diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih menurut 60 % penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, wilayah perdesaan hingga ketika ini permanen menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan.
Menurut Sumedi dan Supadi (2004), taraf pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (kenyal) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini ditimbulkan lantaran sebagian akbar masyarakat miskin di perdesaan memiliki taraf pendapatan di kurang lebih batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh pada bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur perekonomian yang berhasil mempertinggi pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin di perdesaan jua lebih akbar.
Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yg rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis dan Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih menurut 70 % kepala rumah tangga miskin di perdesaan tidak tamat SD serta kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, jika diasumsikan bahwa jumlah anggota rumah tangga adalah beban tanggungan pengeluaran, maka bisa disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin mempunyai beban yg lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan rumah tangga yg tidak tergolong miskin.
Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja tempat tinggal tangga miskin bekerja pada sektor pertanian di perdesaan, disusul pada kegiatan pada sektor perdagangan sebagai pedagang mini (10 %), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada umumnya sebagian besar anggota tempat tinggal tangga miskin bekerja dalam kegiatan-aktivitas yg mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap dominasi faktor-faktor produksi.
Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik menggunakan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif dan permodalan.
Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan pada perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yg disebabkan sang ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian hingga menggunakan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 persen berdasarkan 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian pula ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas jua sebagai penyebab daya suntik sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit buat sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik 2 persen tahun 2000 sebagai 10 %.
Kondisi tadi pada atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yang menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai pada perdesaan serta sangat herbi: (a) pola kepemilikan huma serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, serta (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari aneka macam golongan tempat tinggal tangga memiliki disparitas pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya dominasi huma (land endowment) dan kapital insan (human capital). Hal ini berarti terdapat hubungan yang tinggi antara standar hayati menggunakan jumlah serta kualitas huma yg dimiliki, serta korelasi antara standar hayati menggunakan tingkat pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yang tergolong tidak mempunyai huma serta menggunakan taraf pendidikan serta keahlian yang terbatas, apabila nir mendapat bantuan serta transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus tenggelam dalam kemiskinannya.
Model Keseimbangan Umum
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan ekuilibrium dalam suatu pasar tidak hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, namun jua berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, efek suatu kebijakan lebih tepat dianalisis dari teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori ekuilibrium parsial.
Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri menurut beberapa macam pasar yang saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi ekuilibrium secara simultan. Tingkat harga keseimbangan yg terwujud merupakan solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg mendeskripsikan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar.
Menurut paham teori keseimbangan generik, jika pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yang menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti sang penyesuaian pada pasar yang bersangkutan serta selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan balik dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian ekuilibrium dalam semua jenis barang pada seluruh pasar yg berlaku bagi penghasil dan konsumen dianggap sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis).
Analisis keseimbangan umum adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model ekuilibrium umum sudah dimulai semenjak pertengahan abad ke-19, antara lain rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), serta Menger (1871). Abraham Wald serta Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi model ekuilibrium umum sebagai sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi solusinya. John von Neuman selanjutnya berhasil membuktikan adanya keseimbangan umum, menggunakan sebuah model dan membentuk solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun contoh ekuilibrium umum versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri menurut empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar energi kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik model ini memakai perkiraan Walras, yaitu andaikan terdapat n pasar, dan jika n-1 pasar sudah berada pada keseimbangan, maka semua n pasar akan berada pada keseimbangan.
Pembuktian Walras mengenai adanya titik keseimbangan umum tersebut dilakukan menggunakan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand tidak tergantung dalam fungsi lainnya.
Formula ini bisa dituliskan sebagai berikut:
Persamaan (2.5) di atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi dalam seluruh jenis barang atau komoditas yg diproduksi (Nicholson, 1994). Jika nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui pada saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka pada pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula.
Fondasi yg kokoh menurut contoh keseimbangan generik berhasil dibangun sang Arrow serta Debreu (1954) serta McKenzie (1959) yg menandakan bahwa model ekuilibrium generik secara teoritis “terdapat, memiliki solusi tunggal, dan stabil”. Arrow serta Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium generik jika perekonomian pada keadaan kompetitif paripurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta nir terdapat skala pengembalian yang semakin tinggi (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yg nir kompetitif sempurna, titik ekuilibrium generik tidak selalu terdapat.
Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), terdapat tiga ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan oleh Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun menjadi sebuah model linier simultan, serta menurut solusi model diperoleh harga serta kuantitas dari setiap barang yang diidentifikasi menjadi keseimbangan umum. Kedua, Herbert Scarf pada tahun 1970 merumuskan penyelesaian model CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman serta Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE sebagai sebuah contoh simultan non linier (nonlinier programming solution), serta penyelesaiannya membentuk harga bayangan (shadow prices) yg diinterpretasikan menjadi harga dalam syarat ekuilibrium umum.
Uraian tadi pada atas menampakan bahwa model CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yg merangkum model multimarket serta menggunakan ekuilibrium pasar menjadi elemen dasar analisisnya. Sebuah contoh CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi serta perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg berbeda ke pada suatu keseimbangan.
Pada formulasi contoh CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, tempat tinggal tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yg berbeda. Seluruh pasar berada dalam keadaan keseimbangan serta memiliki struktur yg khusus buat mencapai keseimbangan jika terdapat guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001).
Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen serta parameter, variabel-variabel endogen, dan bentuk-bentuk fungsi berdasarkan persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara generik meliputi produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga serta pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, ekuilibrium pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yg membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, serta blok kliring pasar.
Lebih lanjut Sadoulet serta de Janvry (1995) mengemukakan bahwa dengan sitem persamaan yang komprehensif, contoh CGE mempunyai keunggulan dalam menyampaikan pengaruh produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara keseluruhan dari suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Lantaran itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan dampak sosial ekonomi dari sebuah skenario yg luas yang mencakup beberapa hal.
Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (misalnya kenaikan pada harga impor minyak atau penurunan dalam harga komoditas ekspor primer suatu negara) serta keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan pada kebijakan ekonomi. Pajak serta subsidi adalah instrumen kebijakan yang sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini pula sudah digunakan buat melihat perubahan berukuran dan komposisi pada pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan dalam struktur sosial ekonomi domestik, seperti perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, dan pembentukan modal sumberdaya insan.
Buehrer serta Mauro (1995) mengemukakan bahwa model CGE bisa digunakan buat mensimulasi impak berdasarkan kebijakan perdagangan dan dampak perubahan ekonomi berdasarkan aneka macam paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan model CGE tidak hanya dalam contoh perdagangan internasional tetapi juga dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, dan perubahan transisi dan ekonomi pasar.
Model tersebut dapat menganalisis sensitivitas dari alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan berdasarkan sektor eksternal, ad interim analisis ekuilibrium parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat tetap. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang dipakai meliputi parameter elastisitas serta input-output data, sehingga contoh CGE merupakan alat analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi.
Penggunaan anggaran baku contoh CGE, ekuilibrium ekonomi makro pada masing-masing pasar dapat diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi berdasarkan Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yg dikutip oleh Sadoulet dan de Janvry (1995).
Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE
Menurut Nicholson (1994), properties berdasarkan kondisi ekuilibrium umum adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yg membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik tetapi tidak seorangpun sebagai lebih tidak baik. Dengan demikian, bila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka kondisi ini dianggap pareto optimum.
Efisiensi pareto terjadi dalam waktu keseimbangan generik tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup 3 jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi sumber (keseimbangan produksi), efisiensi distribusi komoditas (keseimbangan konsumsi) dan efisiensi kombinasi produk (ekuilibrium simultan di sektor produksi serta konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut dalam perkara satu konsumen, 2 faktor produksi serta 2 komoditas.
Keseimbangan Produksi
Nicholson (1994) beropini bahwa penghasil akan berada pada syarat keseimbangan jika marginal rate of technical substitution (MRTS) antara dua faktor produksi yg digunakan sama dengan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L serta w2 harga faktor K.
Pada masalah 2 perusahaan yang masing-masing membentuk komoditas yg tidak sinkron yaitu x1 dan x2, keseimbangan simultan yang terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8).
Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi
Sumber: Nicholson (1994)
Paga Gambar, nampak bahwa keseimbangan simultan antara dua produk x1 dan x2 tercapai dalam ketika isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf hasil. Titik-titik singgung tadi menciptakan kurva yg disebut contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yang akan diproduksi dipengaruhi oleh rasio harga faktor. Secara matematis perseteruan di atas bisa diformulasikan menjadi berikut:
dimana MRTS merupakan slope berdasarkan isoquant. Rumusan di atas merupakan rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yg tercapai dalam saat MRTS buat semua jenis output adalah sama. Apabila harga faktor diketahui, maka jumlah output x1 serta x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, dapat dipengaruhi.
Tingkat output x1 dan x2 yg diproduksi perusahaan wajib sinkron dengan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen dipengaruhi sang harga nisbi p1 dan p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, dibutuhkan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)
Gambar Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994)
PPC diderivasi dari CC yg terbentuk pada kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yg mendeskripsikan aneka macam tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC diklaim pula kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT).
Berdasarkan definisi:
Keseimbangan Konsumsi
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka harus diketahui konsep tingkat pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS menunjukkan kesediaan seseorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat menerima beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS menggunakan harga relatif ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yg secara matematis bisa dipengaruhi menjadi berikut:
Fungsi kepuasan U = f(X) dengan pendapatan (I), sehingga didapatkan:
Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi
Keseimbangan simultan di sektor produksi serta konsumsi tercapai pada waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menunjukkan bagaimana suatu produk ditransformasikan sebagai produk lain, sedangkan MRS memperlihatkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi bila rencana produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi dari ekuilibrium simultan ini merupakan bahwa kombinasi hasil x1 serta x2 wajib optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis ekuilibrium simultan pada sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.
Gambar Keseimbangan Simultan Sektor Produksi dan Konsumsi
Sumber: Nicholson (1994)