SEJARAH PENGERTIAN DAN DAKWAH TABLIGH

Sejarah, Pengertian Dan Dakwah Tabligh
Jama’ah Tabligh didirikan pada akhir dekade 1920-an oleh Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi pada Mewat, sebuah provinsi di India. Nama Jama'ah Tabligh hanyalah adalah sebutan bagi mereka yang acapkali membicarakan, sebenarnya usaha ini tidak memiliki nama namun relatif Islam saja nir terdapat yang lain. Bahkan Muhammad Ilyas mengatakan andai saja saya harus memberikan nama dalam usaha ini maka akan aku beri nama "gerakan iman". Ilham buat mengabdikan hidupnya total hanya buat Islam terjadi saat Maulana Ilyas melangsungkan Ibadah Haji ke 2-nya pada Hijaz dalam tahun1926. Maulana Ilyas menyerukan slogannya, ‘Aye Musalmano! Musalman bano’ (pada bahasa Urdu), yg ialah ‘Wahai umat muslim! Jadilah muslim yang kaffah (menunaikan semua rukun dan syari’ah misalnya yang dicontohkan Rasulullah)’. Tabligh resminya bukan adalah grup atau ikatan, tapi gerakan muslim untuk menjadi muslim yg menjalankan agamanya, dan hanya satu-satunya gerakan Islam yang nir memandang berasal-usul mahdzab atau genre pengikutnya. Dalam ketika kurang dari 2 dekade, Jamaah Tabligh berhasil berjalan pada Asia Selatan. Dengan dipimpin oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Ilyas sebagai amir/pimpinan yang ke 2, gerakan ini mulai berbagi aktivitasnya pada tahun 1946, dan pada saat 20 tahun, penyebarannya telah mencapai Asia Barat Daya dan Asia Tenggara, Afrika, Eropa, serta Amerika Utara. Sekali terbentuk dalam suatu negara, Jamaah Tablih mulai membaur dengan masyarakat lokal. Meskipun negara barat pertama yang berhasil dijangkau Tabligh merupakan Amerika Serikat, tapi fokus primer mereka adalah pada Britania Raya, mengacu pada populasi padat orang Asia Selatan disana yang datang pada tahun 1960-an serta 1970-an.

Jamaah ini mengklaim mereka tidak menerima bantuan dana menurut manapun untuk menjalankan aktivitasnya. Biaya operasional Tabligh dibiayai sendiri oleh pengikutnya. Tahun 1978, Liga Muslim Dunia mensubsidi pembangunan Masjid Tabligh di Dewsbury, Inggris, yang kemudian menjadi markas besar Jama’ah Tabligh di Eropa. Pimpinan mereka diklaim Amir atau Zamidaar atau Zumindaar.

Ada yg mengatakan bahwa jamaah tabligh adalah penganut khurafat karna pungkasnya kuburan maulana Ilyas pada Nizamudin di tawafkan padahal pada Nizamudin ada 2 masjid yg pertama merupakan masjid suatu gerombolan yang pada dalammya terdapat kuburan serta yang kedua adalah masjid yang didalamnya jangankan kuburan bahkan goresan pena pun bersih dan sudah dijadikan sentra penyebaran usaha da'wah Rasulullah Muhammad SAW yang kini sudah menyebar ke seluruh dunia. 

Usaha ini telah merubah banyak kalangan mulai menurut orang miskin, kaya, pemulung, pejabat, polisi, tentara, bahkan partikelir serta pembunuh bayaran.

a) Aktivitas Dakwah
Markas internasional sentra tabligh merupakan di Nizzamudin, India. Kemudian setiap negara jua memiliki markas pusat nasional, berdasarkan markas sentra dibagi markas-markas regional/wilayah yg dipimpin sang seorang Shura. Kemudian dibagi lagi menjadi ratusan markas kecil yang dianggap Halaqah. Kegiatan di Halaqah merupakan musyawarah mingguan, serta sebulan sekali mereka khuruj selama tiga hari. Khuruj merupakan meluangkan saat untuk secara total berdakwah, yang umumnya berdasarkan masjid ke masjid dan dipimpin oleh seseorang Amir. Orang yang khuruj tidak boleh meninggalkan masjid tanpa seizin Amir khuruj. Tapi para karyawan diperbolehkan permanen bekerja, dan pribadi mengikuti aktivitas sepulang kerja.

Sewaktu khuruj, aktivitas diisi menggunakan ta'lim (membaca hadits atau kisah teman, umumnya berdasarkan kitab Fadhail Amal karya Maulana Zakaria), jaulah (mengunjungi tempat tinggal -tempat tinggal di kurang lebih masjid tempat khuruj menggunakan tujuan mengajak kembali pada Islam yang kaffah), bayan, mudzakarah (menghafal) 6 sifat sahabat, karkuzari (memberi laporan harian pada amir), serta musyawarah. Selama masa khuruj, mereka tidur pada masjid. Aktivitas Markas Regional adalah sama, khuruj, tetapi umumnya hanya menangani khuruj dalam jangka saat 40 hari atau 4 bulan saja. Selain itu mereka pula mengadakan malam Ijtima' (berkumpul), dimana pada Ijtima' akan diisi dengan Bayan (ceramah agama) sang para ulama atau tamu dari luar negeri yang sedang khuruj disana, dan pula ta'lim wa ta'alum.

Setahun sekali, digelar Ijtima' generik di markas nasional pusat, yang umumnya dihadiri oleh puluhan ribu umat muslim menurut semua pelosok wilayah. Bagi umat muslim yg sanggup, mereka diperlukan buat khuruj ke poros markas sentra (India-Pakistan-Bangladesh/IPB) buat melihat suasana keagamaan yang kuat yang mempertebal iman mereka.

b) Asas 6 Sifat
1. Yakin terhadap kalimat Thoyyibah Laa ilaaha ilallah Muhammadur rasulullah.

Artinya: Tiada Tuhan selain Allah serta Nabi Muhammad utusan Allah.

· Laa ilaaha ilallah 
o Maksudnya: Mengeluarkan keyakinan pada makhluk berdasarkan dalam hati dan memasukkan keyakinan hanya kepada Allah di pada hati.

· Muhammadar rasulullah 
o Maksudnya: Mengakui bahwa satu-satunya jalan hidup buat menerima kejayaan dunia dan akhirat hanya menggunakan mengikuti cara hayati Rasulullah SAW.

2. Salat khusyu' serta khudu'. Artinya: Salat dengan konsentrasi batin serta rendah diri menggunakan mengikuti cara yg dicontohkan Rasulullah.
· Maksudnya: Membawa sifat-sifat ketaatan kepada Allah dalam salat kedalam kehidupan sehari-hari.

3. Ilmu ma'adz dzikr
· Ilmu, Artinya: Semua petunjuk yg datang dari Allah melalui Baginda Rasulullah.
· Dzikir, Artinya: Mengingat Allah sebagaimana Agungnya Allah.

Melaksanakan perintah Allah pada setiap waktu serta keadaan dengan menghadirkan ke-Agungan Allah mengikuti cara Rasulullah.

4. Ikramul Muslimin, Artinya: Memuliakan sesama Muslim.
· Maksudnya: Menunaikan kewajiban dalam sesama muslim tanpa menuntut hak kita ditunaikannya.

5. Tashihun Niyah Artinya: Mengikhlaskan niat agar jauh menurut riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan). Akan namun, mereka meninggalkan Sunnah serta mengikuti cara-cara tulus di pada tashawwuf.
· Maksudnya:Membersihkan niat dalam beramal, semata-mata karena Allah.

6. Dakwah dan tabligh. Dakwah, Artinya: Mengajak, sedangkan Tabligh, Artinya: Menyampaikan 

Maksudnya: 
  • Memperbaiki diri, yaitu memakai diri, harta, serta waktu seperti yang diperintahkan Allah.
  • Menghidupkan kepercayaan pada diri sendiri serta manusia di seluruh alam dengan memakai harta dan diri mereka

PENGERTIAN DAN PENJELASAN SYIRKAH

Pengertian Dan Penjelasan Syirkah 
Syirkah, menurut bahasa, merupakan ikhthilath (berbaur). Adapun berdasarkan kata syirkah (kongsi) adalah perserikatan yang terdiri atas 2 orang atau lebih yg didorong sang pencerahan buat meraih laba.

Dasar Hukum Syirkah.
Al-Qur’an
Ayat-ayat Al Quran yg memerintahkan agar ummat islam saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan, misalnya pada QS. Al maaidah:2 dapat dijadikan dasar hukum syirkah karena syirkah merupakan galat satu bentuk pelaksanaan perintah tolong menolong berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.



“ Hai orang-orang yg beriman, janganlah engkau melanggar syiar-syiar Allah, serta jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hewan-hewan had-ya, serta hewan-binatang qalaa-id, serta jangan (juga) mengganggu orang-orang yg mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya serta bila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu berdasarkan Masjidil Haram, mendorong engkau berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu pada (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, serta jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu pada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. 5:dua)

Hadis
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. Berupa taqrîr (pengakuan) dia terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang dalam saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. Membenarkannya. Nabi saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.: 

Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yg ber-syirkah selama galat satunya tidak mengkhianati yg lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar berdasarkan keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, serta ad-Daruquthni). 

Syarat dan Rukun Syirkah
a. Syarat Syirkah 
1. Orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat serta merdeka.
2. Utama juga kapital yang kentara.
3. Orang yg bersyirkah harus mencampur ke 2 harta (sahamnya) sehingga tidak bisa dibedakan satu dengan yg lainnya.
4. Anggaran dasar serta anggaran tempat tinggal tangga jelas supaya terhindar menurut penyimpangan-penyimpangan.
5. Laba serta rugi diatur dengan perbandingan kapital masing-masing. 
Rukun Syirkah 

1. Anggota yang bersyirkah.
2. Utama-utama perjanjian
3. Sighat (akad).

Macam-macam syirkah
A. Syirkah Inan atau syirkah harta artinya akad dari dua orang atau lebih buat berserikat harta yg ditentuka oleh keduanya menggunakan maksud menerima laba (tambahan), serta keuntungan itu buat mereka yang berserikat itu. Akad ini terjadi dua orang atau lebih pada permodlan bagi suatau bisnis atas dasar membagi untung dan rugi sesuai dengan jumlah modalnya masing-masing.

B. Syirkah Abdan atau syirkah kerja adalah perserikatan antara dua orang atau lebih buat melakukan suatau usaha/pekerjaan yg hasilnya dibagi antara mereka dari perjanjian. Serikat ini terjadi jika 2 orang tenaga ahli atau lebih bermufakat atas suatu pekerjaan agar keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan itu. Penghasilan (upah-nya) buat mereka bersama menurut perjanjian antara mereka.

C. Syirkah Mufawadhah adalah bergabungnya 2 orang atau lebih buat melakukan kolaborasi dalam suatu urusan, menggunakan kondisi-kondisi:
  • Samanya kapital masing-masing
  • Mempunyai wewenang bertindak yang sama
  • Mempunyai agama yg sama
  • Bahwa masing-masing sebagai si penamin lainnya atas apa yg dibeli dan yang dijual.
D. Sirkah Wujuh merupakan bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan yg terdapat hanyalah berpegang pada nama baik mereka serta kepercayaan para pedagang terhadap mereka menggunakan catatan bahwa keuntungan buat mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerja atau modal.

E. Syirkah Mudhârabah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih menggunakan ketentuan, satu pihak menaruh konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).

Hikmah dari Syirkah antara lain:
  • Terciptanya kekuatan serta kemajuan khususnya dibidang ekonomi.
  • Pemikiran buat kemajuan perusahaan bias lebih mantap, karena output pemikiran menurut poly orang.
  • Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa soldaritas buat kemajuan beserta.
  • Jika bisnis berkembang menggunakan baik, jangkauan operasi rasionalnya semakin meluas, maka menggunakan sendirinya membutuhkan energi kerja yg poly, ini berarti syirkah akan menampung banyak energi kerja sehingga dapat mensejahterakan sebagian warga .

EKSISTENSI DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Eksistensi Dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam
Pengertian Cara Belajar
Dalam kamus bahasa Indonesia, cara adalah jalan ( aturan, sistem ) melakukan ( berbuat ) sesuatu, gaya, ragam, tata cara norma, usaha atau ikhtiar. Sedangkan belajar merupakan suatu proses bisnis yang pada lakukan seorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara holistik, menjadi output pengalamannya sendiri pada berinteraksi menggunakan lingkungannya.

Dengan demikian cara belajar siswa yg di maksud sang penulis, merupakan perilaku individu siswa yang lebih khusus berkaitan dengan usaha yang sedang atau telah biasa dilakukan sang murid untuk memperoleh ilmu pengetahuan. 

Pada umumnya setiap orang pada melakukan suatu usaha terpengaruh oleh efisiensi. Efisiensi merupakan sebuah pengertaian atau konsepsi yanag mengggambarkan perbandingan terbaik antara suatu bisnis menggunakan hasilnya, yaitu jika output yg diinginkan bisa tercapai dengan usaha terkecil, atau menggunakan usaha eksklusif memberikan kwalitas serta kwantitas output terbesar

Pengertian tadi dapat diterapkan pada banyak sekali bidang aktivitas termasuk usaha belajar. Apabila diterapkan pada belajar, maka terdapatlah efisiensi belajar, yaitu perbandingan terbaik antara suatu usaha belajar menggunakan hasilnya yang dicapai. ( The Liang Gie, 1985:14 ). 

Adapun berdasarkan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam ( 1980 : 220 ) mengartikan cara belajar yg efisien, yaitu cara belajar yang sempurna, praktis, ekonomis, terarah, sinkron dengan situasi dan tuntutan yg terdapat guna mencapai tujuan belajar. 

Masing masing siswa mempunyai potensi, kemampuan, situasi, kondisi serta latar belakang individu yg tidak sinkron beda. Dengan istilah lain, murid itu adalah individualitas yang unik. Sehingga cara belajarpun sebagai tidak sinkron beda juga sesuai dengan apa adanya siswa. Tugas siswa selanjutnya merupakan berbagi dirinya, sebagai akibatnya menemukan cara belajar yang cocok bagi dirinya. Bimbingan guru dalam hal ini amat pada perlukan. Dengan anugerah bimbingan dari pengajar, siswa akan mengenal dirinya dan segala yg memungkinkan dirinya dapat berkembang secara utuh dan menemukan gaya belajarnya sendiri. Penemuan itu wajib secepatnya beliau peroleh karena tuntutan belajar itu makin usang makin meningkat dan makin kompleks. 

Supaya cara belajar yang efisien tadi bisa pada terapkan pada masing masing anak didik, maka murid perlu buat terus dimotivasi baik secara mental juga psikomotorik oleh pengajar atau orang tua. Karena Syaiful Bahri Djamarah (2002 : 9 ) mengungkapkan, bahwa misteri sukses belajar terletak pada pemikiran perilaku mental cendekia dan satu kata kunci, yaitu dominasi cara belajar yg baik sebagai penuntun ke arah dominasi ilmu yg optimal.

Setelah anak didik dapat memilih dan memposisikan dirinya dalam kondisi yg aman, maka murid perlu memakai cara belajar yg efektif.

Berdasarkan syarat belajarnya, cara belajar mencakup cara belajar pada rumah, pada sekolah dan cara belajar bersama (grup)

a. Cara belajar berdikari di rumah
1. Pemenuhan fasilitas dan perabot belajar
Fasilitas serta perabot belajar adalah indera perlengkapan belajar yang penting buat dipenuhi sang seorang pelajar, lantaran bila nir terpenuhi bisa menimbulkan impak negatif bagi kelancaran proses belajar. Proses belajar bisa berhenti dan setidaknya mengganggu motivasi serta konsentrasi pada belajar.

Fasilitas belajar ini menurut The Liang Gie (1985 :43), terdiri dari peralatan tulis dan perabot buat kamar yaitu meja, kursi serta lemari buku.

2. Mengatur waktu belajar
Agar belajar dapat berjalan dengan baik dan berhasil, perlulah anak didik mempunyai jadwal yang baik dan bisa melaksanakannya dengan teratur dan disiplin. Adapun cara buat menciptakan jadwal yg baik, adalah :

3. Membaca buku
Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang paling poly dilakukan selama belajar. Dan persoalannya yg utama ketika dia sudah dapat membaca merupakan bagaimana cara membaca yang baik serta efisien.

Hary dexter Kitson dalam bukunya How to use Your Mind, Yang dikutip the Liang Gie (1985; 94), mengemukakan ketentuan-ketentuan mengenai reading hygiene :
a. Sewaktu membaca hendaknya pembaca sekali-kali memejamkan matanya atau melihat ke loka yang jauh.
b. Cahaya penerang hendaknya datang menurut arah belakang
c. Pada pagina buku tidak masih ada bayangan
d. Buku dipegang sang tangan dan nir terletak mendatar diatas bagian atas meja.

Terhadap ketentuan-ketentuan diatas dibubuhi hal-hal berikut ini 
e. Ada cahaya penerangan yang cukup, tidak terlalu gelap dan nir terlalu terperinci sebagai akibatnya menyilaukan dan bergetar.
f. Jarak antara mata dan yg dibaca kira-kira 25-30 cm
g. Tidak sembari tiduran
h. Beristirahat sementara waktu, kira-kira seperempat jam sesudah membaca selama satu hingga satu setengah jam.

Langkah pertama (survei), siswa memeriksa atau meneliti secara singkat seluruh struktur teks. Tujuannya supaya siswa mengetahui panjangnya teks, judul bagian, judul sub bagian, kata dan istilah kunci, serta sebagainya. Dalam melakukan survei ini murid dianjurkan menyiapkan pensil, kertas serta indera pembuat karakteristik, seperti stabilo buat menandai bagian-bagian tertentu yg penting.

Langkah ke 2 (question), siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yg jelas, singkat dan relevan dengan bagian-bagian teks yg sudah ditandai dalam langkah pertama.

Langkah yang ketiga (Read), siswa membaca secara aktif dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah tersusun. Membaca secara aktif berarti membaca yg difokuskan pada paragraf-paragraf yang diperkirakan relevan menggunakan pertanyaan tersebut.

Langkah selanjutnya recite, anak didik menjelaskan lagi jawaban atas pertanyaan yang sudah tersusun.
Dan langkah terakhir review, siswa meninjau ulang semua pertanyaan serta jawaban secara singkat. (Muhibbin Syah, 2004: 141). Jika materi telah tersusun pada sebuah modul, maka hal ini lebih memudahkan bagi murid, karena materi sudah tersusun dalam sebuah kompendium, tetapi buat menguatkan pemahaman dan memotivasi keingintahuan mengenai materi itu, maka boleh menggunakan metode tadi.

4. Membuat Ringkasan
Kegiatan ini tidak kalah pentingnya berdasarkan seluruh aktivitas belajar anak didik. Siswa menciptakan ringkasan merupakan bertujuan buat memudahkannya dalam menghafal dan mengulangi pelajaran.

Adapun langkah-langkah menciptakan kompendium yg baik, merupakan :
a. Membaca pelajaran yang akan diringkas menggunakan penuh perhatian, pengertian serta konsentrasi sembari memberi pertanda-pertanda pada hal-hal yang dipercaya pokok dan penting. Dalam hal ini murid bisa menggarisbawahi kalimat-kalimat krusial atau menggunakan stabilo atau menuliskan kata-istilah kunci pada pinggir paragraf.
b. Membuat kerangka ringkasan menggunakan membaca sekali lagi serta menuliskan di atas kertas hal-hal yg sudah ditandai.
c. Membaca kalimat-kalimat yg sudah ditulis di kertas tadi sembari menyelipkan kata-istilah atau pertanda-tanda penghubung yang perlu, sehingga terdapat pertalian yg erat antara kalimat-kalimat itu.
d. Kalu masih tebal page luas dan banyak, maka tulisan tersebut bisa dipersempit dengan merogoh pokok-pokoknya saja serta menghilangkan hal-hal yang dipercaya kecil atau kurang penting. (Judi Al Falansani serta Fauzan Naif,2002: 38).

5. Menghafal Bahan Pelajaran
Dalam belajar, menghafal merupakan galat satu aktivitas dalam rangka penguasaan bahan pelajaran.

Ada beberapa syarat buat dapat menghafal menggunakan baik, yaitu:
a. Menyadari sepenuhnya tujuan belajar
b. Mengetahui benar -benar mengenai makna bahan yg dihafal
c. Mencurahkan perhatian sepenuhnya sewaktu menghafal
d. Menghafal secara teratur sinkron syarat badan yang sebaik-baiknya dan daya serap otak terhadap bahan yang wajib dihafal. (Slamento, 1995: 86).

Sedangkan berkaitan dengan metode menghafal agar sinkron menggunakan karakter siswa dibagi sebagai 3 macam :
a. Menghafal melalui pandangan. Bahan pelajaran dibaca di dalam batin penuh perhatian sembari otak bekerja untuk mengingat-ingat. Dapat juga menggunakan cara membuat catatan besar yg menarik, kemudian disampingkan atau ditempelkan pada loka-loka yang acapkali dipandang.
b. Menghafal menggunakan indera pendengaran melalui penyimakan sendiri. Siswa dapat menggunakan cara lain yg bertujuan sama, misalnya menyuruh temannya membacakan kompendium atau mendengarkan rekaman kaset yg dibuat sendiri.
c. Menghafal malalui gerakan-gerakan tangan, yatu menggunakan menulis-nulis ringkasan berulang-ulang hingga hafal atau menggerakkan jari tangan sembari berfikir.

Ada jua metode yang lain, yaitu metode cantol, metode lokasi, akronim serta kalimat-kalimat kreatif 

Metode cantol digunakan buat menghafal daftar apa saja. Caranya, yaitu menggunakan mencocokkan angka-angka menggunakan kata-istilah berirama sama atau petunjuk-petunjuk visual eksklusif. Contohnya paku mirip menggunakan suara satu dan paku menyerupai nomor satu.

Metode lokasi merupakan metode yang menggunakan tempat yg paling dikenal serta paling mengesankan sebagai model (1) pendahuluan tentang hal yg akan dipelajari (dituliskan pada pintu depan), (2) Tombol lampu mengungkapkan serta meyoroti mengenai ciri-karakteristik khusus suatu fakta, konsep atau suatu prinsip dalam materi yang sedang dipelajari, dan seterusnya.

Akronim atau singkatan adalah kata yg dibentuk berdasarkan huruf atau huruf-alfabet awal atau masing-masing bagian menurut sekelompok kata atau istilah gabungan Misalnya, Program Pembangunan Lima Tahun pada Indonesia dianggap PELITA. PSSI merupakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.

Sedangkan kalimat-kalimat kreatif digunakan buat menghafal kata-kata yg berurutan, contoh : untuk menghafal susunan planet maka dapat menggunakan kalimat kreatif yaitu Memainkan Violin Bisa Memunculkan Jalinan Suara Unik Tetapi Pasti (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Uranus, Neptunus, Pluto).

6. Mengulangi Bahan Pelajaran
Siswa sepulang sekolah jangan lupa buat mengulangi bahan pelajarannya di tempat tinggal , karena tidak seluruh materi pelajaran yang disampaikan guru terkesan dengan baik.

Cara mengulangi bahan pelajaran merupakan dengan cara membaca pulang catatan yg telah ditulis saat pengajar sedang menunjukkan pelajran, atau bila bahan pelajaran berupa tatacara, cara menghafalnya merupakan dengan cara mempraktekkannya pada kehidupan sehari-hari agar pelajaran tetap dalam ingatan.

7. Mengerjakan Tugas
Selama belajar, siswa tidak akan pernah terlepas berdasarkan keharusan mengerjakan tugas-tugas belajar, baik itu tugas harian, pekerjaan rumah, tugas semesteran, tugas gerombolan juga tugas individu. Siswa harus mengerjakan sinkron perintah pengajar dengan tepat waktu. Mengabaikan tugas tadi boleh jadi murid akan mendapatkan sangsi menurut pengajar.

8. Persiapan Menghadapi Ujian
Dalam menghadapi ujian, murid harus mempersiapkan segala sesuatu yg berhubungan dengan perkara-perkara perbaikan buat mengingat pulang bahan-bahan yang telah dipelajari dengan cara membaca kembali, memperbaiki catatan, menciptakan ikhtisar serta menyusun pengetahuan yg lengkap dan akhirnya tinggal menghafal. Pada saat-saat menjelang ujian siswa usahakan menghindari belajarterlalu poly lantaran bisa mengganggu syarat kesehatan. Siswa jua tidak boleh lupa mempersiapkan seluruh alat tulis untuk kelancaran ujian.

9. Menempuh Ujian
Setelah anak didik melaksanakan persiapan menghadapi ujian dengan matang, selanjutnya sampailah pada waktu ujian. Maka dalam saat hari ujian, anak didik seharusnya tiba lebih awal dan menunggu dengan tenang. Masuklah menggunakan tertib serta duduk pada tempat yang sudah dipengaruhi, kemudian baca serta pahami petunjuk soal dengan baik dan menjawabnya sinkron petunjuk tadi. Jangan lupa murid memperhitungkan ketika yang disediakan, supaya lebih berhemat saat soal-soal yg mudah usahakan dikerjakan lebih dahulu. Tulisan wajib kentara, baik serta rapi. Apabila telah terselesaikan murid wajib mempertimbangkan lagi apakah jawaban yang telah dikerjakan sinkron dengan permintaannya. Segera kumpulkan jawaban, jika waktu ujian sudah habis.

Siswa dalam menempuh ujian haruslah mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Dan rasa percaya diri itu ada waktu mereka melakukan persiapan yg matang jauh sebelum ujian dan penyempurnaan ketika mendekati ujian. Sehingga nir ada kecurangan-kecurangan misalnya menyontek atau melihat pekerjaan orang.

b. Cara Belajar pada Sekolah
Adapun beberapa hal yg berkenaan dengan cara belajar yang dilakukan oleh anak didik pada sekolah.

1. Masuk kelas tepat waktu
Masuk kelas tepat ketika merupakan suatu perilaku mental yg poly mendatangkan keuntungan. Pengajar memuji lantaran disiplin, kawan-mitra nir terganggu waktu sedang memperhatikan pelajaran guru, konsentrasi pun akan terpelihara menggunakan baik. Kondisi tubuh akan tenang, jauh menurut keringat dan alam pikiran anak didik sudah siap mendapat pelajaran dari guru Oleh karena itu kedisiplinan masuk kelas mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

2. Memperhatikan penerangan guru
Setelah pelajaran dimulai, siswa wajib telah siap untuk memperhatikan semua pelajaran pengajar, yaitu dengan melihat mobilitas-geriknya, mendengarkan penjelasannya dan ingat menulis istilah-kata penting dari penjelasan itu.

3. Bertanya tentang hal-hal yang belum jelas dan menjawab setiap pertanyaan dari guru.
Bertanya tentang hal yang belum kentara merupakan salah satu cara buat bisa mengerti bahan pelajaran yang belum dimengerti. Siswa jangan membuat malu buat bertanya kepada pengajar mengenai bahan pelajaran atau liputan pengajar yang belum jelas, karena membuat malu akan Mengganggu penguasaan bahan yang akan diterima menurut guru dalam rendezvous yg akan tiba. Bertanyalah dengan spesifik jangan berbelit-belit, bila perlu pertanyaan ditulis terlebih dahulu menggunakan singkat serta kentara, lalu dibacakan atau dihafalkan.

Berkaitan dengan semua pertanyaan yg diutarakan oleh guru dalam waktu proses belajar mengajar, anak didik harus berani menjawab seluruh pertanyaan itu dengan baik dan jelas sebagai bukti bahwa dirinya memperhatikan pelajaran. Cara menjawabnya menggunakan sistematis sesuai apa yang telah diterangkan sang guru menggunakan bahasa yg sederhana dan mudah dimengerti.

4. Memanfaatkan waktu istirahat
Di sekolah masih ada bebarapa waktu untuk istirahat supaya syarat siswa segar kembali. Menghilangkan kelelahan mata serta pengalihan konsentrasi anak didik buat ad interim. Untuk itu murid wajib memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya, yaitu menggunakan cara bersantai, mengarahkan pandangan mata ke angkasa biru, mengerak-gerakkan badan agar bisa memperlancar peredaran darah pada pada tubuh, sehingga rasa lelah serta rasa kantuk dapat diusir dengan segera. Apabila haus atau lapar maka segera pergi ke kantin buat minum atau makan secukupnya agar kesehatan tubuh tetap terjaga. Atau saat istirahat itu dimanfaatkan untuk berkunjung ke perpustakaan.

5. Memanfaatkan perpustakaan sekolah
Perpustakaan sekolah memiliki tiga manfaat, yaitu :
a. Sebagai sumber belajar,
b. Sebagai asal keterangan,
c. Sebagai asal rekreasi (Choiruddin Hadhiri Suprapto, 2003 : 68)

Perpustakaan dapat dipakai buat memperdalam pemahaman serta pengahayatan pengetahuan yang diperoleh anak didik berdasarkan pengajar, memeperluas cakrawala pengetahuan dan keterampilan siswa serta buat menaruh hiburan, memupuk keterampilan, nilai serta sikap hidup melaluli koleksi ringan dan segar,

Sedangkan cara memanfaatkan perpustakaan tergantung jua pada kesempatan atau waktu-saat eksklusif, misalnya ketika jam-jam istirahat kalu masih ada waktu lebih dari kepentingan yg lain, seperti makan dan minum, jam-jam kosong serta jika terdapat tugas dari pengajar.

c. Cara Belajar Bersama (grup)
Belajar bersama sanggup dilakukan pada tempat tinggal atau pada loka lain contohnya pada perpustakaan, di sekolah atau di loka eksklusif yg disepakati bersama.

Belajar beserta dalam dasarnya memecahkan problem secara bersama, artinya setiap anggota turut memberikan sumbangan pikiran pada memecahkan problem tersebut, sebagai akibatnya diperoleh output atau jawaban yang lebih baik. Pikiran dari banyak orang umumnya lebih sempurna daripada satu orang.

”Ada beberapa petunjuk buat belajar beserta yg lebih efektif, yaitu :
a. Pilih sahabat yang cocok buat bergabung pada satu grup yang terdidri berdasarkan 3-lima orang. Anggota yang terlalu poly umumnya kurang efektif.
b. Tentukan serta sepakati kapan, pada mana dan apa yang akan pada bahas dan apa yang diharapkan pada diskusi itu. Lakukan secara rutin minimal satu kali pada seminggu.
c. Setelah berkumpul secara bergilir, tetapkan siapa pemimpin gerombolan yg akan mengatur diskusi serta siapa penulis yg akan mencatat diskusi.
d. Rumuskan pertanyaan atau konflik yang akan dipecahkan bersama serta batasi ruang lingkupnya agar pembahasan tidak menyimpang.
e. Bahas serta pecahkan setiap persoalan satu persatu hingga tuntas, menggunakan cara memberi kesempatan setiap anggota mengajukan pendapat. Dari setiap pendapat yang ada dikaji secara beserta manakah yg paling sempurna. Kesimpulan jawaban yang sudah disepakati beserta dicatat sang penulis. 
f. Jika terdapat persoalan yang nir bisa dipecahkan, tangguhkan persoalan itu buat dimintakan pendapatnya pada guru. Lanjutkan saja pada duduk perkara berikutnya supaya nir membuang saat.
g. Kesimpulan hasil diskusi dicatat sang penulis, kemudian dibagikan kepada anggota kelompok buat dipelajaridirumah masing-masing.” (Nana Sudjana, 1989: 168-169).

2. Pengertian Prestasi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan sang suatu pelajaran yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau nomor yg diberikan sang guru. (Depdikbud, 1993 : 700).

Prestasi belajar merupakan berukuran keberhasilan murid sesudah mengikuti suatu mata pelajaran tertentu yang ditunjukkan dengan nilai tes berupa angka yang diberikan sang pengajar, menjadi model nilai mid semester, nilai semester, nilai tugas, nilai ulangan, nilai raport serta sebagainya.

Prestasi dalam arti luas merupakan kemampuan murid sehabis mengalami belajar. Hal ini dapat diperoleh atau diketahui dari akhir aktivitas serta diperoleh atau diketahui menurut akhir aktivitas serta diperoleh bukan lantaran kebetulan, namun prestasi diperoleh menggunakan penuh menggunakan pencerahan serta mengalami proses eksklusif.

Pada prinsipnya, pengungkapan output belajar mencakup tiga ranah, yaitu ranah cipta, rasa maupun karsa (kognitif, afektif, psikomotorik). Walaupun pengungkapan tingkah laris seluruh ranah tadi, khususnya ranah rasa siswa, sangat sulit. Hal ini ditimbulkan perubahan hasil belajar itu terdapat yang bersifat intangible (tak bisa diraba), tetapi yang dapat dilakukan sang guru adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yg dianggap penting dan bisa mencerminkan perubahan yg terjadi menjadi output belajar anak didik.

Secara global, faktor yg mempengaruhi prestasi belajar murid, merupakan :
a. Faktor intern siswa
1) Fisiologis, seperti kesehatan mata dan telinga.
2) Fsikologis, seperti intelegensi, sikap, bakat, minat serta motivasi siswa

b. Faktor ekstern siswa
1). Lingkungan sosial, misalnya: pengajar, sahabat-tema sekelas, tetangga, orang tua dan keadaan rakyat.
2). Lingkungan non sosial, misalnya: tempat tinggal , gedung sekolah, wahana dan prasarana, dan sebagainya.

c. Faktor pendekatan belajar (approach to learn), yakni jenis upaya belajar murid yang mencakup taktik serta metode yg dipakai anak didik buat melakukan aktivitas pembelajaran materi-materi pembelajaran.

Pendekatan belajar terdapat tiga yaitu :
1) Pendekatan surface. Manusia belajar lantaran dorongan dari luar antara lain takut tidak lulus yg menyebabkan dia membuat malu. Oleh karenanya, gaya belajarnya santai, dari hafal serta nir mementingkan pemahaman yg gampang.
2) Pendekatan deep. Siswa ini dimotivasi dari dalam dirinya (intrinsik). Oleh karenanya, gaya belajarnya berfokus dan berusaha tahu materi secara mendalam dan memikirkan cara mengaplikasikannya. Bagi anak didik ini yg lebih penting merupakan mempunyai pengetahuan yg relatif banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya dibanding lulus dengan nilai baik.
3) Pendekatan achieving. Pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri spesifik yang dianggap ego-enhanchment, yaitu ambisi eksklusif yg akbar dalam menaikkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi stinggi-tingginya. Gaya belajarnya lebih berfokus, mempunyai keterampilan belajar (study skill) pada arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur saat, ruang kerja dan perangkat silabus. Baginya, berkompetisi menggunakan temannya pada meraih nilai tertinggi adalah krusial, sehingga beliau sangat disiplin, rapi serta sistematis serta berencanauntuk terus maju ke depan (plans ahead).

3. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Ada beberapa pengertian Pendidikan Agama Islam menurut pakar pendidikan, yaitu :
a. Chabib Thoha (1999: 4), Pendidikan Agama Islam adalah sebutan yang diberikan dalam slaah satu pelajaran siswa muslim pada menuntaskan pendidikannya dalam tingkat eksklusif.
b. Ahmad D. Marimba (1986: 47), Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani rohani menurut hukum-aturan kepercayaan Islam menuju terbentuknya kepribadian primer berdasarkan ukuran-ukuran Islam.
c. Zuhairini dkk. (1983 : 27), Pendidikan agama berarti bisnis-usaha secara sistematis serta pragmatis dalam membantu murid supaya agar mereka hidup sesuai denagn ajaran Islam.

Jadi, Pendidikan Agama Islam, adalah usaha-usaha secara sistematis serta pragmatis yang sudah terbentuk mata pelajaran berisi bimbingan jasmani rohani yang menurut hukum-aturan Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sejati.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

Abin Syamsuddin Makmun, (2001), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdarkarya.
Ahmad D. Marimba, (1997), Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. AL-MA’arif
Anas Sudjiono, (2000), Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Bobbi De Porter, Mike Hernacki (2003), Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman serta Menyenangkan, Bandung : Kaifa. 
Bobbi De Porter dkk., (2001), Mempraktekkan Quantum Learning pada Ruang-ruang Kelas, Bandung : Kaifa.
Chabib Thoha dan Abdul Muti, (1999), PBM-PAI pada Sekolah, , Yogyakarata: Pustaka Belajar.
Choiruddi Hadhiri Suprapto, (2003), Jalan Pintas Menjadi Bintang Pelajar, Panduan Untuk Pelajar Islami, Bandung: Mujahid Press.
Departemen Agama RI, (1996), Al-Qur’an Al-Karim serta Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Departemen Pendidikan serta Kebudayaan (1993), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (tanpa tahun), Laporan Penilaian Hasil Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tanpa penerbit.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, (1980), Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama / IAIN Pusat.
Gordon Dryen dan Jeannete Vos, (2001), The Learning Revolution (Terjemahan ration service) Bandung: Kaifa.
Muhaimin, (2002), Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Muhibbin Syah, (2004), Psikology Belajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perasada.
Nana Sudjana, (1991), Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru.
Rohmad Qomari, (1999), Insania, ”Tehnik Penentuan Ukuran Sampel Dalam Penelitian” Edisi Mei-Juli, Purwokerto : P3M STAIN.
Sanafiah Faisal, (1982), Metode Penelitian Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Slamento, (1995), Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sugiyono, (2004), Statistika Untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta.
Suharsimi Arikunto, (1998), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah, (2002), Rahasia Sukses Belajar, Jakarta : PT Rineka Cipta.
The Liang Gie, (1985). Cara Belajar Yang Efisien, Yogyakarta : Pusat Kemajuan Study.
Thursan Hakim, (2002), Belajar Secara Efektif: Panduan Menemukan Teknik Belajar, Memilih Jurusan, serta Menentukan Cita-cita, Jakarta: Puspa Swara.
Zuhairini dkk, (1983), Metodology Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani.

ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS STUDI ATAS PEMIKIRAN HUKUM FAZLUR RAHMAN

Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tidak bisa dipungkiri mempunyai pula dimensi teologis serta inilah yang membedakan aturan Islam menggunakan hukum pada terminologi ilmu hukum terbaru, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya mampu mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam adalah anggaran yang sakral, bahkan pada keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap anggaran-anggaran hkum Islam yang terdapat, lantaran secara psikologis telah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang bisa mengantarkan dalam cara pandang yg sahih mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yg awal, aturan Islam merupakan suatu kekuatan yg bergerak maju dan kreatif. Hal ini bisa dicermati menurut keluarnya sejumlah mazhab hukum yg memiliki corak sendiri-sendiri sesuai menggunakan latar belakang sosiokultural serta politik dimana mazhab hukum itu tumbuh serta berkembang.

Dalam kerangka berpikir usul fiqh klasik masih ada 5 prinsip yang memungkinkan Hukum Islam sanggup berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum menggunakan berubahnya masa. Kelima prinsip ini menggunakan kentara menerangkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1]

Dengan Berlalunya saat, perkembangan Hukum Islam yang bergerak maju serta kreatif dalam masa awal kemudian berkembang menjadi kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli aturan populer, tetapi menggunakan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak buat berijtihad mulai dibatasi serta pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2] 

Selanjutnya dalam makalah ini dibahas mengenai aturan Islam dalam masa kemunduran atau dikenal menggunakan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan serta statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)

A. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada 2 bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara menggunakan Mesir sebagai pusatnya serta bagian Persia yg terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia serta Asia Tengah menggunakan Iran sebagai pusatnya. Pada saat ini kebudayaan Persia merogoh bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]

Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian dalam ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yg tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen serta atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun dalam masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya 3 kerajaan besar Islam menggunakan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani pada Turki, Kerajaan Safawi pada Persia serta kerajaan Mughal pada India.

Bersamaan dengan fenomena ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin semakin tinggi serta meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai sentra Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris sudah mulai menanamkan kekuasaannya pada India.[4] Sampai pada taraf ini, umat Islam mengalami kemunduran yg paling tidak baik pada sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah pada beberapa mazhab dimana antara satu menggunakan yg lainnya saling menjamin merekalah yg sahih serta saling menyalahkan. Demikian jua kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya rakyat sebagai jumud dan statis yang hanya menyerah pada nasib.

Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yg menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada ketika ini pula keluarnya pemberontakan yang dari menurut keturunan Bani Hasim, serta gerombolan ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan keluarnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa dampak yg tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah buat berbuat. Rasa putus harapan ada menyelimuti akibatnya kemunduran serta keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama nir lagi menyelidiki buku-buku tertentu yang diharapkan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pulang kenegara-negara besar sehingga terwujud serta terjalin interaksi yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]

Siapapun yang mengamati insiden serta sejarah Islam dalam periode ini tentu melihat bahwa yang mengakibatkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan yg menyebabkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan politik yang mengakibatkan negara Islam terpecah sebagai beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yg diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini mampu dilihat lemahnya negara Islam ketika telah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan serta keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yg kecil. Di timur terdapat negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, serta di Anfuleusia terdapat negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yg ada pada utara Afrika.

Pada masa kemunduan ini pula dianggap periode epilog ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula pada bidanag kebudayaan Islam, lalu berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini telah lemah kemauannya buat mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka. 

A. Sebab-karena kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat menurut segi sejarah pemikiran aturan Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini adalah masa yg dilihat sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, lantaran pada masa ini aktivitas ijtihad telah mulai menurun serta mengendur, dan bahkan tidak aktif. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh 3 faktor krusial. 

a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana dalam awalnya memang memberitahuakn semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yg tidak kondusif, sehingga terjadi disparitas-disparitas antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak sporadis terjadi kontradiksi antar mazhab, yg kadang-kadang membawa imbas negative pada masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke pada banyak sekali mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yg sahih dan menyalahkan yg lainnya. 

b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama nir mau serta tidak bisa melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan sang mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab timbul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yg ada disetiap mazhab sebagai tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yg menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad serta pemikiran pada Islam. Pada ketika ini, kalaupun terdapat ijtihad yang dilakukan sang ulama, namun nir lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab pada warga . Kemandirian ulama buat melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang terdapat dalam mazhab mereka. Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri sudah menciptakan aneka macam macam persyaratan buat dijadikan acuan pada melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sebagai akibatnya dalam operasionalnya tidak gampang buat dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar nir muncul orang-orang yang nir mempunyai otoritas dalam melakukan ijtihad dan menduga gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang terdapat semacam kecenderungan berdasarkan sebagian orang yg menggampangkan problem ijtihad ini, dan bisa dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir bila ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yg tidak memiliki persyaratan, maka akan menyebabkan malapetaka bagi umat Islam, sebagai akibatnya akhirnya pintu ijtihad ditutup.

c. Disintegrasi dan penguasaan bangsa asing faktor yang paling parah yang mengakibatkan kemunduran umat Islam merupakan terjadinya disintegrasi serta perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan sang Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun serta bahkan khilafah menjadi symbol serta lambing kesatuan Politik umat Islam sebagai hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin semakin tinggi. Perbedaan antara Sunni serta Syi’ah dan demikian pula antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. 

B. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran aturan Islam ada tokoh-tokoh penting yang hayati pada zamannya dan mewarnai kegiatan pemikiran hukum Islam menggunakan dengan keluarnya teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya pada merumuskan hukum-aturan Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri pada ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah menjadi alasan logis bagi rumusan, suatu aturan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat insan.

Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan sang para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan menjadi pakar ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan sanggup menetapkan aturan dalam Islam, sebelum ia dapat memahami sahih tujuan Allah memutuskan perintah-perintah dan larang-laranganNya.

Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) pada kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya menggunakan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal pada global Islam, namun jua pada luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik buat-menulis dan menyelidiki pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik berdasarkan kalangan Muslim, juga dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]

Sebagai pemikir akbar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran dampak Al-Ghazali tersebut dapat ditinjau serta gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan sang penulis serta pemikir kepadanya, pula cercaan serta orang-orang yang nir senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]

Pada masa al-Ghazali, nir saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga pada bidang sosial-keagamaan. Umat Islam waktu itu terpilah-pilah pada beberapa golongan mazhab fiqh dan genre kalam yg masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan pada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat menggunakan segala daya upaya, bahkan menggunakan cara kekerasan. Sebagai model, apa yg dilakukan sang Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yg beraliran Mu’tazilah sebagai akibatnya mazhab serta aliran lainnya (misalnya mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi stress, bahkan poly korban serta tokoh-tokohya.

Akibat dari fanatisme golongan yg melibatkan pada masa itu, seringkali muncul perseteruan antara golongan mazhab dan genre, malah meningkat hingga sebagai permasalahan fisik yg meminta korban jiwa. Permasalahan tadi terjadi antara banyak sekali mazhab serta aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, lebih banyak didominasi penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana serta Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan pada Bagdad dan daerah Iraq, mazhab Hambali lebih lebih banyak didominasi.

Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka beliau digolongkan relatif produktif pada hal penulisan karya ilmiah, lantaran dia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (getol akan ilmu pengetahuan), beliau juga memiliki kemampuan menulis yg sangat tinggi, hal ini dibuktikan sang al-Ghazali, menulis semenjak umur 20 tahun.

Dari warta yang diperoleh, nampaknya memang masuk akal, apabila dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan keliru seseorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yg tinggi, karena dia masih relatif muda, serta tulisan pertamanya menerima kebanggaan berdasarkan gurunya al-Juwaini.

Tentang jumlah karangan al-Ghazali, hingga saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan ditimbulkan lantaran masih adanya karya-karya al-Ghazali yg belum diterbitkan serta masih pada bentuk naskah yg tersimpan pada perpustakaan, baik pada negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, lantaran sebahagian pada antara karya-karyanya sudah lenyap dibakar dalam waktu tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan menjadi karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti kitab al-Ghazali, sebanyak 31 buah.

Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa menjadi seseorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu jua ia mempergunakan logika (al-ma’quI) menjadi landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yg menggabungkan antara wahyu menggunakan nalar menjadi dasar krusial pada membahas sesuatu.

Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang primer) untuk ijma’ dia menempuh tiga (3) jalan, menjadi berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang dalam pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat nir akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh dalam metode ma’nawy.

Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa rukun Ijtihad terdapat tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad artinya mendeskripsikan sesuatu yg diperjuangkan dan menghabiskan bisnis pada sebuah aktifitas dan nir bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.

Menurut al-Ghazali Orang yg berijtihad, memiliki dua kondisi, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang harus dikemudiankan.. Kedua : seorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan pada berfatwa, apabila tidak adil, maka sama sekali nir diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid menjadi syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seseorang mujtahid bahwa beliau harus mengetahui seluruh kitab yg herbi hukum-aturan, tetapi mengetahui lebih kurang 500 ayat, juga nir disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui loka ayat ketika dibutuhkan. 

Adapun mengenai hadis, wajib mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan buat menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua insiden ijma’ dan perbedaanperbedaannya, namun kebalikannya mengetahui fatwa-fatwa yang mana nir bertentangan dengan ijma’ 

Al-Mujtahidu Fihi, atau masalah Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa seluruh aturan agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka nir diharuskan berijtihad bagi Nabi serta juga menjadi kondisi Ijtihad nir terjadi pada zaman Nabi; maka ada 2 masalah: terjadi perbedaan pendapat pada kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad dalam zaman Rasulullah Saw. Pada hal ini terjadi 2 versi: Sekelompok yg melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh pada hal tetapkan kasus dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak terdapat. Pendapat ke 2: yang membolehkan menggunakan mengungkapkan dengan biar Rasulullah cukup menggunakan diamnya Rasulullah Saw.

Menurut Al-Ghazali pada menerima hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya terdapat ke-ijmalan, menjadi contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik serta Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh semua rambut dalam setiap berwudhu, ad interim itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar serta Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah memutuskan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka harus membasuh sebahagian rambut. Lantaran itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh berdasarkan segi bahasa merupakan sebahagian seperti halnya mandi yg berarti holistik.

Secara Al-Bayan, menggunakan merogoh contoh sah kabar menggunakan perbuatan sama jika menggunakan dengan perbuatan. Contoh yg lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat serta haji menggunakan perbuatannya (dengan misalnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., pada riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menampakan bahwasanya Rasulullah saw., menyebutkan melalui perbuatan. 

Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:

harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang poly dan nir berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur namun dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.

Terkait menggunakan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan pada pada ber-Ijma’ menggantungkan diri, namun permanen melegitimasi yang nir adil seperti di dalam buku Al-Amidi dan Al-Ghazali menyebutkan bahwa adil yg menampakan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq nir boleh dijadikan hujjah.

Al-Ghazali secara etimologi memberi penerangan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu menggunakan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, beliau membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yg di ketahui pada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan aturan pada keduanya atau meniadakan aturan berdasarkan keduanya disebabkan terdapat hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan aturan atau peniadaan hukum”

Dari definisi yang diberikan sang Al-Ghazali, secara panjang serta rumit, demikian pula penggunaan istilah: hamala (menanggungkan), ada jua pakai isbath (memutuskan), ilhaq (menghubungkan) serta sebagainya. Tadi mengandung arti bahwa qiyas itu adalah bisnis atau mujtahid.

Penggunaan istilah ma’lum, oleh Al-Ghazali merupakan dimaksudkan buat menjangkau pada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), lantaran bila dikatakan istilah “sesuatu” berdasarkan mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal serta furu’ dengan istilah (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu membentuk lawan hukum dari sesautu yg diketahui dalam tempat lain lantaran keduanya tidak sama pada illat, hukum. 

Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara buat menetapkan aturan yang kasusnya tidak terdapat pada nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) menggunakan perkara hokum yang terdapat pada nash, disebabkan adanya persamaan illat aturan.

Selain al-Ghazali timbul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi adalah keliru seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang kentara, beliau berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah berasal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak pada tempat Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh semua pendidikannya pada ibukota kerajaan Nashr, Granada, yg adalah benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan menggunakan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang adalah masa keemasan umat Islam setempat lantaran Granada menjadi sentra kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yg berkembang dengan baik pada kota tadi sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi pada menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami banyak sekali ilmu, baik yg berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi serta hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya menggunakan belajar dan mendalami bahasa Arab berdasarkan Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, serta Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, beliau belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam serta falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, dan banyak sekali ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, beliau pula melakukan interaksi korespondensi buat meningkatkan dan menyebarkan pengetahuannya, misalnya mengirim surat pada seseorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari serta mendalami banyak sekali ilmu, asy-Syatibi lebih berminat buat mempelajari bahasa Arab serta, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yg sangat memilih kekuatan serta kelemahan fikih pada menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan pada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, beliau juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat dalam lepas 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri menurut 2 istilah, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah asal utama kehidupan. Menurut kata, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan buat mewujudkan kemaslahatan insan di dunia serta di akhirat”

Dari pengertian tadi, bisa dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi merupakan kemaslahatan umat insan. Lebih jauh, dia menyatakan bahwa nir satu pun aturan Allah swt yg nir memiliki tujuan karena aturan yg nir mempunyai tujuan sama menggunakan membebankan sesuatu yg nir bisa dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki insan, pemenuhan Penghidupan manusia, serta perolehan apa-apa yang dituntut sang kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang dalam gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan insan. Asy-Syatibi menyebutkan bahwa syariah berurusan dengan proteksi mashalih, baik menggunakan cara yang positif, misalnya demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun menggunakan cara preventif, seperti syariah merogoh berbagai tindakan buat melenyapkan unsur apa pun yg yg secara aktual atau potensial menghambat mashalih.

Menurut al-Syatibi [11]maqasidul syariah terbagi kepada 3 strata kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah taraf kebutuhan yg harus ada atau disebut menggunakan kebutuhan utama. Bila tingkat kebutuhan ini nir terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di global juga pada akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara logika, kehormatan, keturunan serta harta.
b. Kebutuhan Hajiyat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan nir sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat artinya tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi nir mengancam eksistensi salah satu menurut 5 utama diatas dan tida jua menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang adalah kepatutan menurut adat norma, menghindarkan hal-hal yang nir lezat dilihat mata, dan berhias menggunakan estetika yg sinkron menggunakan tuntutan kebiasaan dan akhlak.

Pengetahuan mengenai maqasid syari’ah, misalnya ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, merupakan hak sangat penting yg dapat dijadikan indera abntu buat memahami redaksi Al-Qur’an serta sunnah menuntaskan dalil-dalil yg bertentangan serta sangat penting lagi merupakan buat menetapkan hukum terhadap perkara yang nir bertampung sang Al-Qur’an serta sunah secara kajian kebahasan. [12] 

Beberapa ulama ushul sudah mengumpulkan beberapa maksud yg generik berdasarkan menasyri’kan aturan menjadi 3 kelompok, yaitu :
  • Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi insan dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yg dharuri itu adalah segala yg diharapkan buat hidup manusia, yang jika nir diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, serta berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yg dharuri itu pulang pada lima pokok : Agama, jiwa, nalar, keturunan serta harta
  • Menyempurnakan segala yang dihayati insan. Urusan yang dihayati insan ialah segala sesuatu yang diharapkan manusia buat memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif serta beban hayati. Jika urusan itu nir diperoleh, nir Mengganggu peraturan hayati dan nir menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
  • Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diharapkan oleh rasa humanisme, kesusilaan, dan keseragaman hayati. Jika yang demikian ini nir diperoleh tidaklah cidera peraturan hayati serta nir jua ditimpa kepicikan. Hanya dilihat tidak boleh oleh logika yg bertenaga dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan estetika ini dalam arti balik kepada soal akhlak serta adat adat yg rupawan serta segala sesuatu buat mencapai keseragaman hayati melalui jalan-jalan yg primer.
Urusan dharuri adalah sepenting-pentingnya maksud, lantaran bila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan, menghilangkan keamanan serta merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, nir dipelihara hukum yg bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat buat keperluan berobat. Menutup aurat adalah urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis buat obat serta dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis merupakan urusan yg mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]

Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, lantaran harus kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan adalah urusan tahsini yg mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, jika menghambat dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali jika suatu dharuri yang lebih krusial menurut padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad buat memeliharanya sebab memelihara kepercayaan adalah lebih penting dari dalam memelihara jiwa. Meminum bir dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih krusial menurut dalam memelihara akal. Apabila perlu buat memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang lantaran memelihara jiwa lebih penting dari dalam memelihara harta.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS

[1]Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35 
[2]Periode ini dianggap juga menjadi periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan tidak aktif yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) serta hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.L : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam aneka macam kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam syarat yg demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai pada banyak sekali tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad pada mazhab, dua) taraf kedua, mujtahid dalam beberapa perkara yang tidak terdapat riwayat berdasarkan imam mazhab, 3) taraf ketiga, ahlu at-tahriej yg nir melakukan ijtihad buat mengambil aturan pada beberapa masalah serta hanya melakukan restriksi mazhab yang dianutnya pada menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) taraf keempat ahlu at-tarjiehyang bisa mempertimbangkan serta membandingkan diantara riwayat-riwayat berdasarkan para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dievaluasi paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan aturan Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pelatihan dan pembukuan hukum Islam serta keluarnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, menjadi dampak merajalelanya taqlid serta kebekuan sampai lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu buku yang mengintrodusir perundang-undangan terbaru dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai berdasarkan lahirnya buku al-Majallah sampai sekarang. 
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15 
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori serta Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran serta Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13. 
[9]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34. 
[10]Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57 
[11]Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75 
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
[13]Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19

PENGERTIAN MULTIKULTURALISME APA ITU MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[1] Sebenarnya, terdapat 3 istilah yang kerap dipakai secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yg terdiri keberagaman tadi –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), serta multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya nir merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yg lebih dari satu’ (many); keragaman memberitahuakn bahwa keberadaan yg ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, serta bahkan tidak dapat disamakan. Dibandingkan 2 konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. 

Secara konseptual masih ada perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, serta multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Jika pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yg lebih menurut satu), multikulturalisme menaruh penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka merupakan sama di pada ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang tidak sama saja nir relatif; karena yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. 

Oleh karenanya, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap seluruh perbedaan sebagai entitas dalam warga yg wajib diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.[2] 

Sebagai sebuah gerakan, berdasarkan Bhikhu Parekh, baru lebih kurang 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali pada Kanada dan Australia, lalu di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, serta lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi 3 asumsi mendasar yg wajib diperhatikan dalam kajian mengenai multikulturalisme, yaitu: Pertama, pada dasarnya insan akan terikat dengan struktur serta sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini nir berarti bahwa insan nir sanggup bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan namun mereka dibuat oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu dari budayanya tadi. Kedua, disparitas budaya adalah representasi menurut sistem nilai dan cara pandang mengenai kebaikan yang tidak selaras jua. Oleh karenanya, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial serta memerlukan budaya lain buat memahaminya. Sehingga, nir satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain.[3] Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yg plural yang merefleksikan interaksi antar disparitas tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan bukti diri budaya, akan tetapi budaya dalam dasarnya merupakan sesuatu yang beragam, terus berproses serta terbuka.[4] 

1. Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hayati, multikulturalisme sebagai gagasan yang cukup kontekstual menggunakan empiris masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip fundamental tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang diperlukan manusia pada tengah himpitan budaya dunia. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme merupakan bagian integral pada pelbagai sistem budaya dalam rakyat yg keliru satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.

Pendidikan dengan wawasan mutlikultural pada rumusan James A. Bank merupakan konsep, ilham atau falsafah menjadi suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yg mengakui serta menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hayati, pengalaman sosial, identitas eksklusif, kesempatan-kesempatan pendidikan berdasarkan individu, gerombolan maupun negara.[5] Sementara dari Sonia Nieto, pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk subordinat pada sekolah, masyarakat dengan menerima dan mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, kepercayaan , ekonomi, gender serta lain sebagainya) yang terefleksikan pada antara peserta didik, komunitas mereka, dan pengajar-pengajar. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum serta strategi pengajaran, termasuk jua pada setiap hubungan yang dilakukan di antara para pengajar, siswa serta famili dan keseluruhan suasana belajar­mengajar. 

Karena jenis pendidikan ini merupakan pengajaran kritis, refleksi serta sebagai basis aksi perubahan dalam warga , pendidikan multikultural membuatkan prisip-prinsip demokrasi pada berkeadilan sosial.[6] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur menjadi “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7] 

Dari beberapa dua definisi pada atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme pada pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya serta transformasi sosial. Identitas menjadi galat satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru adalah satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur eksklusif pada masyarakat. Identitas dalam dasarnya inheren dengan sikap langsung ataupun gerombolan rakyat, lantaran menggunakan bukti diri tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula pada hubungan antar budaya yg tidak sama.

Dengan demikian pada pendidikan multikultur, bukti diri-bukti diri tadi diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) juga eksternal budaya. Oleh karena itu, bukti diri lokal atau budaya lokal merupakan muatan yg sine qua non pada pendidikan multikultur.

Dalam rakyat ditemukan berbagai individu atau grup yang asal menurut budaya tidak sama, demikian jua dalam pendidikan, diversitas tadi tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan pada kalangan peserta didik maupun para pengajar yang terlibat -secara pribadi atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu jua bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada serta berkembang pada konstelasi budaya, lokal, nasional serta global. Oleh karenanya, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi contoh pendidikan yg berjalan pada atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan apabila pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yg terdapat, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yg terdapat buat terlibat pada satu proses pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan 5 dimensi yang harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan pada kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman pada satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus berpretensi. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yg diwujudkan menggunakan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yg ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir menurut interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yg memberi ruang serta kesempatan yg sama pada setiap elemen yg beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan berdasarkan pendidikan multikultur yaitu supaya sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) menurut struktur rakyat yg tak seimbang kepada struktur yg berkeadilan.[8]

Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa contoh pendidikan yang diharapkan pada Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan bukti diri lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, ialah kebudayaan Indonesia adalah Weltanshauung yg terus berproses dan merupakan bagian integral berdasarkan proses kebudayaan mikro. Oleh karenanya, perlu sekali buat mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan menggunakan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yg memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yg terdapat. Keempat, pendidikan multikultural adalah suatu rekonstruksi sosial, merupakan pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) serta pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang majemuk (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya dipakai buat berbagi budaya Indonesia pada dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tadi diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama serta majemuk disparitas yang terdapat. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan dan etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan buat mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yg majemuk. [9]

Pendidikan Multikultur pada Pesantren
1. Terminologi serta Histori Pesantren
Kata “pesantren” asal dari “pe-santri-an”. Awalan “pe” dan akhiran “an” yang dilekatkan dalam kata “santri” ini mampu menyiratkan 2 arti. Pertama, pesantren bisa bermakna “tempat santri”, sama misalnya pemukiman (loka bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (tempat beristirahat), pemondokan (tempat mondok) dan lain-lain. Kedua, pesantren jua bisa bermakna “proses mengakibatkan santri”, sama seperti istilah pencalonan (proses membuahkan calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) dan lain-lain. Jelasnya, “santri” di sini mampu sebagai objek berdasarkan bisnis-bisnis yg dilakukan pada suatu tempat, namun pula sanggup menjadi sosok personifikasi dari sasaran/tujuan yang akan dicapai lewat usaha-bisnis tersebut.[10] 

Pada kenyataannya, pesantren adalah forum pendidikan Islam menggunakan ciri khas Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya tidak terdapat forum pendidikan yg mempunyai ciri dan tradisi persis misalnya pesantren, walau mungkin terdapat lembaga pendidikan eksklusif di beberapa negara lain yg dipercaya memiliki kemiripan dengan pesantren, seperti ribâth, sakan dâkhilî, atau jam’iyyah. Namun ciri pesantren yg terdapat di Indonesia kentara khas keindonesiaannya karena berafiliasi erat menggunakan sejarah serta proses penyebaran Islam di Indonesia.[11] 

Sejak termin-termin awal pengembangan Islam pada Nusantara, para ulama pelaksana misi dakwah Islam (du’ât ilallâh), termasuk Wali Songo, telah melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, serta lain sebagainya. Pelaksanaan dakwah ini, pada mulanya mereka lakukan menggunakan cara berpindah-pindah menurut satu tempat ke loka yang lain (as-safar wat-tajwwul). Dengan cara ini, mereka bisa menangani langsung dilema umat secara kondisional serta regional, sehingga Islam kemudian dikenal serta dipeluk sang berbagai lapisan warga serta suku pada Nusantara. 

Tetapi cara ini nir mampu terus mereka lakukan. Seiring menggunakan usia yg semakin menua, para du’ât itu pun mulai menetap pada suatu loka guna melakukan training umat serta kaderisasi calon-calon du’ât di loka mereka masing-masing. Mereka berdomisili, melaksanakan dakwah serta pendidikan. Para du’ât yg menentukan jalur pendidikan ini kemudian melahirkan poly lembaga yg bernama “pesantren”, dan mereka pun mulai diklaim ”Kiai”.[12] 

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Selain sebagai lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama menjadi forum pendidikan. Fungsi ini mempunyai 2 misi: Pertama, pendidikan umat secara umum buat mendidik dan menyiapkan pemuda-pemudi Islam sebagai umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, menjadi lembaga pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, serta pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kepercayaan . Dalam hal ini, tugas pesantren merupakan mendidik serta menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang sanggup mewarisi sifat serta kepribadian para Nabi, dan siap melaksanakan tugas indzârul qawm.

Selain itu, pesantren jua dituntut buat berusaha mengembalikan gambaran serta fungsi forum-lembaga pendidikan Islam menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan kepercayaan , menjadi realisasi berdasarkan wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip asa supaya pesantren sebagai loka acum rakyat dalam menjawab permasalahan-konflik keseharian mereka menurut perspektif serta pandangan kepercayaan . 

Sejarah mencatat, pondok pesantren yg sudah berdiri sezaman menggunakan masuknya Islam ke Indonesia, serta adalah output berdasarkan proses akulturasi damai antara ajaran Islam yg dibawa para wali serta pedagang yang biasanya bernuansa mistis, menggunakan budaya orisinil (indigenous culture) bangsa Indonesia yang bersumber menurut kepercayaan Hindu serta Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yang berdiri di pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan adalah satu-satunya sistem pendidikan yg befungsi menjadi lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh masyarakat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah bisa menerapkan sistem pendidikan berjenjang, menurut pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak ada peraturan harus belajar, pada budaya Indonesia masa kemudian, anak yg berusia tujuh tahun ke atas, baik laki-laki juga wanita, wajib dipesantrenkan di desanya.

Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara konstan serta sistematis, yg dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi spesifik kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka jua mengemban misi misionari, yang dimotori sang gerombolan Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit putih (penjajah) lawan pribumi, priyayi versus masyarakat biasa, Kristen versus Islam, serta tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren untuk pindah dari kota ke desa hingga imbas psikologis yg negatif pun tidak terhindarkan. Seperti munculnya kesamaan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik dan lain sebagainya. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif serta kezhaliman ini, pesantren terus bertahan serta melawan pada bentuk perilaku non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat di sini menjadi contoh perjuangan Pangeran Diponegoro pada Jawa, pemberontakan umat Islam pada Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat serta Aceh. Lantaran peran inilah, maka konon menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan agar pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.

Sebagai dampak dari efek psikologis yang muncul menurut hasil propaganda kolonial pada atas, maka dalam era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yg sungguh ironis dan amat merugikan hubungan serasi masyarakat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri serta abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, hingga tercuatlah upaya sistematis yg bertujuan melakukan balik stigmatisasi Pesantren.

Dari output evaluasi nir adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai berdasarkan UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, sampai UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya nir mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional, serta menafikan jasa berabad-abad pesantren pada pembentukan sistem pendidikan nasional.[13] 

Namun, fenomena faktual saat ini justru tengah memperlihatkan kian bertenaga, akbar dan pentingnya kiprah Pesantren. Terbukti menggunakan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren dengan banyak sekali corak, nama, sistem dan strata pendidikan, bukan hanya pada pedesaan namun pula di perkotaan. Minat para orang tua buat mengirimkan putra-putrinya ke pesantren jua kian meningkat, termasuk pada kalangan elit masyarakat.

Dari hasil pengamatan serta kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini sudah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini sudah banyak bermunculan menjadi tokoh krusial dalam banyak sekali sektor pembangunan, serta terbukti sanggup memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi menggunakan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, serta jalinan kerjasama antara pondok pesantren menggunakan global internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tidak ayal apabila banyak tokoh-tokoh internasional berminat membuahkan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara buat belajar di pesantren.

3. Pendidikan Multikuturalisme pada Pondok Modern
Hingga sekarang, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yg secara garis besar dapat diklasifikasi pada dua sistem primer: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren terbaru. Ciri dari pesantren tradisinal adalah konsistensinya pada melaksanakan sistem pendidikan murni serta tidak terikat formalitas pengajaran (kelas) maupun tingkatan pendidikan serta ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri pada pengkajian ilmu-ilmu kepercayaan . Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di pada kelas) serta kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian eksklusif. Dikotomi ilmu agama dan umum juga dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, namun dengan proporsi pendidikan kepercayaan lebih mendominasi. Sistem pendidikan yg digunakan di pondok terbaru dinamakan sistem Mu’allimin. 

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang nir hanya diajarkan dalam guru formal di kelas saja. Tapi pula dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan pada bentuk pedagogi materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pedagogi di pondok terbaru yang didominasi bahasa asing (Arab serta Inggris) menjadi pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme siswa (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan wajib diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.

Dalam bidang non formal, pesantren menggunakan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki poly saat buat menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola generik yang nyaris diberlakukan di banyak sekali pondok terbaru merupakan sistem pendidikan multikultur yg menyatu dalam anggaran dan disiplin pondok. Salah satunya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok terkini, tidak diberlakukan penempatan tetap santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.

Seperti halnya pada Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor juga tetapkan regulasi supaya setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka jua akan mengalami perpindahan antarkamar dalam asrama yg mereka huni. Hal ini ditujukan buat memberi variasi kehidupan bagi para santri, jua menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi serta budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri nir berdasarkan pada wilayah asal atau suku. Bahkan, penempatan sudah diatur sedemikian rupa sang pengasuh pondok, dan secara aporisma diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri menurut wilayah tertentu menempati sebuah kamar yg sama. 

Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar aporisma tidak boleh dihuni sang tiga orang lebih santri asal satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini buat melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam semangat yang lebih universal. Di samping itu, supaya santri jua dapat belajar kehidupan bermasyarakat yg lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional beserta para santri mancanegara.[14] Namun, penerapan pola pendidikan ini, dari Syukri Zarkasyi, nir berarti menafikan unsur wilayah. Karena unsur kedaerahan sudah diakomodir pada kegiatan daerah yg disebut “konsulat”, yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya buat diarahkan menolaknya sebagai asal fanatisme kedaerahan.

Pendidikan multikulturalisme lainnya pada intensitas pendidikan pondok modern merupakan diberlakukannya anggaran mengikat yg melarang santri berbicara menggunakan bahasa daerah. Selain bahasa primer Arab dan Inggris, saat masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia pada beberapa kesempatan serta kepentingan. Pendisiplinan santri pada pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yg melanggarnya akan diberi hukuman bervariasi yg edukatif.

Pendidikan toleransi atas disparitas pula kental diajarkan pada sistem pendidikan pondok terbaru. Keberagaman pemikiran serta ijtihad diajarkan pada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka buat memaksakan pandangan baru. Sikap toleransi terhadap disparitas pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok modern.

Dengan sistem Mu’allimin yang didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan dalam pendidikan formal, bisa dilewati pondok terbaru. Pada KBK, kendala utamanya adalah keterbatasan ketika ajar buat memberi pemahaman penuh sebuah materi kepada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding saat formal pembelajaran di pada kelas. Keterbatasan masa pengajaran pada kelas ini pun bisa tertanggulangi pondok pesantren dengan adanya poly saat luang yg dapat dimanfaatkan para pengajar untuk melengkapi pengajaran kepada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan ketika dan membuat pengajaran sebagai efektif. Ditambah lagi menggunakan arus primer sistem pendidikan di pondok terkini yang nir mengenal dikotomi pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler.[15] 

Keutamaan pendidikan multikulturalisme pada pondok terbaru pula tercermin dari muatan/isi kurikulum yg jelas mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam grup bidang studi Dirasah Islamiyah, menjadi model, diajarkan materi spesifik Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, kenyataan dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat substansial dalam pendidikan multikulturalisme, lantaran santri diwawaskan banyak sekali disparitas fundamental keyakinan agama mereka (Islam) dengan kepercayaan -agama lain pada dunia. Materi ini sangat potensial menciptakan kesadaran toleransi keragaman keyakinan yg akan para santri temui saat hayati bermasyarakat kelak.

Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni akbar Khutbatul ‘Arsy dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya seluruh elemen santri, dari kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah serta budaya tempat domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat pada aktivitas ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan buat menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya pada lingkungan yg akan mereka huni.

Keadaan Pendidikan Islam di Indonesia
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, serta pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam dalam umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan pada upaya menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan dalam masa yg akan datang yg dipercaya sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, bila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, adalah upaya buat melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-lima. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan keliru satu model menurut opersionalisasi penyampaian menurut pendidikan tadi.

Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis akbar membagi sejarah Islam ke pada 3 periode, yaitu perode klasik, pertengahan, serta terkini.

Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan menjadi berikut:
  1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih kurang menurut 23 tahun, yaitu semenjak beliau mendapat wahyu pertama sebagai pertanda kerasulannya sampai wafat.
  2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yg diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab serta perkembangannya ilmu-ilmu naqli
  3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung semenjak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai menggunakan jatuhnya kota Bagdad yg diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai zenit kejayaannya.
  4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung semenjak jatuhnya kota Bagdad hingga menggunakan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. Yang ditandai sang lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya sentra-sentra pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke global Barat.
  5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya semenjak pendudukan Mesir Oleh Napoleon dalam akhir abad ke-18 M. Sampai kini , yg di tandai sang masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan terkini berdasarkan global Barat ke global Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam pada Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan menggunakan masuk serta berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang krusial bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas juga kualitas.

Pendidikan Islam itu bahkan sebagai tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya pada berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, buat melacak sejarah pendidikan Islam pada Indonesia menggunakan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi serta kelembagaannya nir mungkin dilepaskan dari fase-fase yg dilaluinya.

Fase-fase tadi secara periodisasi bisa dibagi menjadi;
  1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
  2. Periode pengembangan menggunakan melalui proses adaptasi
  3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
  4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
  5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
  6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965)
  7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Scott Lash serta Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), h. Dua-6.
[2] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 pada depan kuliah terbuka pada Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang lalu berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya serta lainnya. Gagasanya ditentukan sang padangan Jean-Jacques Rousseau pada Discourse Inequality dan kecenderungan martabat (equal dignity of human rights) yg dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber dalam pertama, bahwa sesungguhnya harkat serta martabat insan merupakan sama. Kedua, dalam dasarnya budaya dalam warga adalah berbeda-beda, sang karenanya membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk pula negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), h. 18.
[3] Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 375.
[4] Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” pada Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), h. 177.
[5] James A.bank serta Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), h. 28.
[6] Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
[7] Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
[8] James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” pada James A. Banks dan Cherry A. McGee, op. Cit., h. Tiga-24.
[9] H.A.R. Tilaar, op. Cit., h. 185-190.
[10] KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, Masa Depan Pendidikan Pesantren Agenda yg Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] KH Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, Jakarta: Taj Publishing, 2008.
[14] KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005. H. 125
[15] Ibid. H. 155. Didukung sang hasil wawancara menggunakan KH Nurhadi Ihsan MA, Direktur KMI Pondok Modern Gontor, Penanggungjawab bidang kurikulum Pondok Modern Gontor, tanggal 18 Oktober 2008.