SEJARAH PENGERTIAN DAN DAKWAH TABLIGH

Sejarah, Pengertian Dan Dakwah Tabligh
Jama’ah Tabligh didirikan pada akhir dekade 1920-an oleh Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi pada Mewat, sebuah provinsi di India. Nama Jama'ah Tabligh hanyalah adalah sebutan bagi mereka yang acapkali membicarakan, sebenarnya usaha ini tidak memiliki nama namun relatif Islam saja nir terdapat yang lain. Bahkan Muhammad Ilyas mengatakan andai saja saya harus memberikan nama dalam usaha ini maka akan aku beri nama "gerakan iman". Ilham buat mengabdikan hidupnya total hanya buat Islam terjadi saat Maulana Ilyas melangsungkan Ibadah Haji ke 2-nya pada Hijaz dalam tahun1926. Maulana Ilyas menyerukan slogannya, ‘Aye Musalmano! Musalman bano’ (pada bahasa Urdu), yg ialah ‘Wahai umat muslim! Jadilah muslim yang kaffah (menunaikan semua rukun dan syari’ah misalnya yang dicontohkan Rasulullah)’. Tabligh resminya bukan adalah grup atau ikatan, tapi gerakan muslim untuk menjadi muslim yg menjalankan agamanya, dan hanya satu-satunya gerakan Islam yang nir memandang berasal-usul mahdzab atau genre pengikutnya. Dalam ketika kurang dari 2 dekade, Jamaah Tabligh berhasil berjalan pada Asia Selatan. Dengan dipimpin oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Ilyas sebagai amir/pimpinan yang ke 2, gerakan ini mulai berbagi aktivitasnya pada tahun 1946, dan pada saat 20 tahun, penyebarannya telah mencapai Asia Barat Daya dan Asia Tenggara, Afrika, Eropa, serta Amerika Utara. Sekali terbentuk dalam suatu negara, Jamaah Tablih mulai membaur dengan masyarakat lokal. Meskipun negara barat pertama yang berhasil dijangkau Tabligh merupakan Amerika Serikat, tapi fokus primer mereka adalah pada Britania Raya, mengacu pada populasi padat orang Asia Selatan disana yang datang pada tahun 1960-an serta 1970-an.

Jamaah ini mengklaim mereka tidak menerima bantuan dana menurut manapun untuk menjalankan aktivitasnya. Biaya operasional Tabligh dibiayai sendiri oleh pengikutnya. Tahun 1978, Liga Muslim Dunia mensubsidi pembangunan Masjid Tabligh di Dewsbury, Inggris, yang kemudian menjadi markas besar Jama’ah Tabligh di Eropa. Pimpinan mereka diklaim Amir atau Zamidaar atau Zumindaar.

Ada yg mengatakan bahwa jamaah tabligh adalah penganut khurafat karna pungkasnya kuburan maulana Ilyas pada Nizamudin di tawafkan padahal pada Nizamudin ada 2 masjid yg pertama merupakan masjid suatu gerombolan yang pada dalammya terdapat kuburan serta yang kedua adalah masjid yang didalamnya jangankan kuburan bahkan goresan pena pun bersih dan sudah dijadikan sentra penyebaran usaha da'wah Rasulullah Muhammad SAW yang kini sudah menyebar ke seluruh dunia. 

Usaha ini telah merubah banyak kalangan mulai menurut orang miskin, kaya, pemulung, pejabat, polisi, tentara, bahkan partikelir serta pembunuh bayaran.

a) Aktivitas Dakwah
Markas internasional sentra tabligh merupakan di Nizzamudin, India. Kemudian setiap negara jua memiliki markas pusat nasional, berdasarkan markas sentra dibagi markas-markas regional/wilayah yg dipimpin sang seorang Shura. Kemudian dibagi lagi menjadi ratusan markas kecil yang dianggap Halaqah. Kegiatan di Halaqah merupakan musyawarah mingguan, serta sebulan sekali mereka khuruj selama tiga hari. Khuruj merupakan meluangkan saat untuk secara total berdakwah, yang umumnya berdasarkan masjid ke masjid dan dipimpin oleh seseorang Amir. Orang yang khuruj tidak boleh meninggalkan masjid tanpa seizin Amir khuruj. Tapi para karyawan diperbolehkan permanen bekerja, dan pribadi mengikuti aktivitas sepulang kerja.

Sewaktu khuruj, aktivitas diisi menggunakan ta'lim (membaca hadits atau kisah teman, umumnya berdasarkan kitab Fadhail Amal karya Maulana Zakaria), jaulah (mengunjungi tempat tinggal -tempat tinggal di kurang lebih masjid tempat khuruj menggunakan tujuan mengajak kembali pada Islam yang kaffah), bayan, mudzakarah (menghafal) 6 sifat sahabat, karkuzari (memberi laporan harian pada amir), serta musyawarah. Selama masa khuruj, mereka tidur pada masjid. Aktivitas Markas Regional adalah sama, khuruj, tetapi umumnya hanya menangani khuruj dalam jangka saat 40 hari atau 4 bulan saja. Selain itu mereka pula mengadakan malam Ijtima' (berkumpul), dimana pada Ijtima' akan diisi dengan Bayan (ceramah agama) sang para ulama atau tamu dari luar negeri yang sedang khuruj disana, dan pula ta'lim wa ta'alum.

Setahun sekali, digelar Ijtima' generik di markas nasional pusat, yang umumnya dihadiri oleh puluhan ribu umat muslim menurut semua pelosok wilayah. Bagi umat muslim yg sanggup, mereka diperlukan buat khuruj ke poros markas sentra (India-Pakistan-Bangladesh/IPB) buat melihat suasana keagamaan yang kuat yang mempertebal iman mereka.

b) Asas 6 Sifat
1. Yakin terhadap kalimat Thoyyibah Laa ilaaha ilallah Muhammadur rasulullah.

Artinya: Tiada Tuhan selain Allah serta Nabi Muhammad utusan Allah.

· Laa ilaaha ilallah 
o Maksudnya: Mengeluarkan keyakinan pada makhluk berdasarkan dalam hati dan memasukkan keyakinan hanya kepada Allah di pada hati.

· Muhammadar rasulullah 
o Maksudnya: Mengakui bahwa satu-satunya jalan hidup buat menerima kejayaan dunia dan akhirat hanya menggunakan mengikuti cara hayati Rasulullah SAW.

2. Salat khusyu' serta khudu'. Artinya: Salat dengan konsentrasi batin serta rendah diri menggunakan mengikuti cara yg dicontohkan Rasulullah.
· Maksudnya: Membawa sifat-sifat ketaatan kepada Allah dalam salat kedalam kehidupan sehari-hari.

3. Ilmu ma'adz dzikr
· Ilmu, Artinya: Semua petunjuk yg datang dari Allah melalui Baginda Rasulullah.
· Dzikir, Artinya: Mengingat Allah sebagaimana Agungnya Allah.

Melaksanakan perintah Allah pada setiap waktu serta keadaan dengan menghadirkan ke-Agungan Allah mengikuti cara Rasulullah.

4. Ikramul Muslimin, Artinya: Memuliakan sesama Muslim.
· Maksudnya: Menunaikan kewajiban dalam sesama muslim tanpa menuntut hak kita ditunaikannya.

5. Tashihun Niyah Artinya: Mengikhlaskan niat agar jauh menurut riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kebaikan). Akan namun, mereka meninggalkan Sunnah serta mengikuti cara-cara tulus di pada tashawwuf.
· Maksudnya:Membersihkan niat dalam beramal, semata-mata karena Allah.

6. Dakwah dan tabligh. Dakwah, Artinya: Mengajak, sedangkan Tabligh, Artinya: Menyampaikan 

Maksudnya: 
  • Memperbaiki diri, yaitu memakai diri, harta, serta waktu seperti yang diperintahkan Allah.
  • Menghidupkan kepercayaan pada diri sendiri serta manusia di seluruh alam dengan memakai harta dan diri mereka

PENGERTIAN DAN PENJELASAN SYIRKAH

Pengertian Dan Penjelasan Syirkah 
Syirkah, menurut bahasa, merupakan ikhthilath (berbaur). Adapun berdasarkan kata syirkah (kongsi) adalah perserikatan yang terdiri atas 2 orang atau lebih yg didorong sang pencerahan buat meraih laba.

Dasar Hukum Syirkah.
Al-Qur’an
Ayat-ayat Al Quran yg memerintahkan agar ummat islam saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan, misalnya pada QS. Al maaidah:2 dapat dijadikan dasar hukum syirkah karena syirkah merupakan galat satu bentuk pelaksanaan perintah tolong menolong berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.



“ Hai orang-orang yg beriman, janganlah engkau melanggar syiar-syiar Allah, serta jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hewan-hewan had-ya, serta hewan-binatang qalaa-id, serta jangan (juga) mengganggu orang-orang yg mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya serta bila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu berdasarkan Masjidil Haram, mendorong engkau berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu pada (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, serta jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu pada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. 5:dua)

Hadis
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. Berupa taqrîr (pengakuan) dia terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang dalam saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. Membenarkannya. Nabi saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.: 

Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yg ber-syirkah selama galat satunya tidak mengkhianati yg lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar berdasarkan keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, serta ad-Daruquthni). 

Syarat dan Rukun Syirkah
a. Syarat Syirkah 
1. Orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat serta merdeka.
2. Utama juga kapital yang kentara.
3. Orang yg bersyirkah harus mencampur ke 2 harta (sahamnya) sehingga tidak bisa dibedakan satu dengan yg lainnya.
4. Anggaran dasar serta anggaran tempat tinggal tangga jelas supaya terhindar menurut penyimpangan-penyimpangan.
5. Laba serta rugi diatur dengan perbandingan kapital masing-masing. 
Rukun Syirkah 

1. Anggota yang bersyirkah.
2. Utama-utama perjanjian
3. Sighat (akad).

Macam-macam syirkah
A. Syirkah Inan atau syirkah harta artinya akad dari dua orang atau lebih buat berserikat harta yg ditentuka oleh keduanya menggunakan maksud menerima laba (tambahan), serta keuntungan itu buat mereka yang berserikat itu. Akad ini terjadi dua orang atau lebih pada permodlan bagi suatau bisnis atas dasar membagi untung dan rugi sesuai dengan jumlah modalnya masing-masing.

B. Syirkah Abdan atau syirkah kerja adalah perserikatan antara dua orang atau lebih buat melakukan suatau usaha/pekerjaan yg hasilnya dibagi antara mereka dari perjanjian. Serikat ini terjadi jika 2 orang tenaga ahli atau lebih bermufakat atas suatu pekerjaan agar keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan itu. Penghasilan (upah-nya) buat mereka bersama menurut perjanjian antara mereka.

C. Syirkah Mufawadhah adalah bergabungnya 2 orang atau lebih buat melakukan kolaborasi dalam suatu urusan, menggunakan kondisi-kondisi:
  • Samanya kapital masing-masing
  • Mempunyai wewenang bertindak yang sama
  • Mempunyai agama yg sama
  • Bahwa masing-masing sebagai si penamin lainnya atas apa yg dibeli dan yang dijual.
D. Sirkah Wujuh merupakan bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan yg terdapat hanyalah berpegang pada nama baik mereka serta kepercayaan para pedagang terhadap mereka menggunakan catatan bahwa keuntungan buat mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerja atau modal.

E. Syirkah Mudhârabah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih menggunakan ketentuan, satu pihak menaruh konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).

Hikmah dari Syirkah antara lain:
  • Terciptanya kekuatan serta kemajuan khususnya dibidang ekonomi.
  • Pemikiran buat kemajuan perusahaan bias lebih mantap, karena output pemikiran menurut poly orang.
  • Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa soldaritas buat kemajuan beserta.
  • Jika bisnis berkembang menggunakan baik, jangkauan operasi rasionalnya semakin meluas, maka menggunakan sendirinya membutuhkan energi kerja yg poly, ini berarti syirkah akan menampung banyak energi kerja sehingga dapat mensejahterakan sebagian warga .

IKHTIAR MENEGAKKAN RASIONALITTAS ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM

Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr merupakan seorang tokoh pemikir yg unik pada global Islam. Keunikan pribadi serta pemikiran Seyyed Hossein Nasr lantaran lahir berdasarkan tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat terkini. Nasr lahir dari famili berlatar belakang Sufi populer pada Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi pada Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.

Dengan latar belakang misalnya itu, Nasr sanggup mengapresiasi menggunakan baik khazanah keilmuan tradisional Islam misalnya karya Suhrawardi, ibn Arabi serta Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan lalu menjadi model dan poly mensugesti pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yg relatif bertenaga membuatnya sanggup mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural serta intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi spesifik pada berbicara dan berkarya, mempunyai otoritas dalam berbicara tentang banyak topik, terutama tentang perjumpaan Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yg luas, baik dengan muslim juga non-muslim, menjadikan Nasr menjadi figur yang langka dan sporadis ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi acara doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, pada pengamatan saya belum ada yg mengangkat tokoh pemikir menurut kalangan ortodoksi Islam, misalnya Nasr. Tulisan ini diawali menggunakan menguraikan latar belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti dengan uraian tentang utama-utama pikiran Nasr yang bisa ditangkap berdasarkan 2 butir karyanya misalnya tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis dengan 2 "senter", yaitu model-model inegrasi sains dan kepercayaan serta trilogi rastorasionis, rekonstruksionis serta pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan buat mendapatkan peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

A. Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr
Seyyed Hossein Nasr terlahir dalam lepas 7 April 1933 dan dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal dari famili cendekiawan populer. Ayah serta kakeknya merupakan fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga terkenal di kalangan muslim Syi'ah menjadi tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr waktu mini tidak banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, dia belajar pada sekolah dengan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang menciptakan Nasr kecil lebih poly memberikan inspirasi dan semangat.[1] Virus semangat yg disuntikkan ayahnya menciptakan Nasr begitu antusias pergi ke Amerika waktu usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie di Haghtown, New Jersey, serta ketika tahun 1950 beliau lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yg adalah penghargaan tertinggi bagi anak didik berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.

Berbeda dengan ketika beliau belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun ke 2 kuliah strata satu-nya dalam jurusan fisika, dia merasa tertekan dan bosan lantaran menurutnya terlalu hiperbola dalam mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menduga poly pertanyaan mengenai masalah-kasus metafisik yang sebagai minatnya, tidak menerima loka pada jurusan ekamatra tersebut. Oleh karena itu beliau mulai mencurigai apakah fisika bisa menghantarkan manusia pada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang sanggup sedikit memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr merupakan Bertnard Russell, filosof Inggris yg suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di loka Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya wajib merogoh keputusan merogoh bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku pada rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat dia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains serta sejarawan dari Italia, Nasr poly memeriksa filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme serta pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik dalam Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu dan filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi pada Harvard yg terakhir ini Nasr banyak herbi para penulis dan tokoh philosophia perennis misalnya Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg banyak menaruh sumbangan dan efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya. 

Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard menggunakan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi dipakai pula sang Nasr untuk menulis sebuah kitab yang kemudian diterbitkan dengan judul Science and Civilization in Islam, yg nanti akan kita lihat dalam bab berikutnya. 

Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi lalu kembali ke Iran, diangkat sebagai pengajar akbar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seseorang perempuan berdasarkan famili terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr sebagai orang termuda yang menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yang baru ditawarkan sang Nasr pada forum ini, yakni bahwa ia menganggap pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yg berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya nir mengharapkan dapat tahu serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri berdasarkan sudut pandang orang lain, seperti pula tidak mungkinnya seorang dapat melihat sesuau dengan mata orang lain.[4] Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan minat buat menyelidiki filsafat Timur pada program studi filsafat. Nasr jua terlibat dalam program doktor bidang bahasa serta sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di bidang ini yang menjadi cendekiawan krusial diantaranya berdasarkan Amerika William Chittick, dan cendekiawati menurut Jepang Sachiko Murata.[5] 

Seyyed Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr, universitas sains serta teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu, menginginkan supaya Nasr menyebarkan Universitas Aryamehr menggunakan model perguruan tinggi populer pada Amerika tetapi memiliki dasar yang kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana dengan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya di global Islam, bahkan di dunia pada umumnya. 

Seyyed Hossein Nasr pada sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu hikmah, pada bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-pengajar terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yg mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam serta filsafat, yg adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, ahli aturan Islam yang menguasai pula matematika, astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr sudah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan menggunakan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka saat berbicara dan menulis, yg menguasai poly info yang terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.

Nasr jua menulis secara aktif ketika berada pada Iran pada bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis balik dalam bahasa Persia yang kemudian menerima penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis kitab -kitab Suhrawardi serta Mulla Sadra pada bahasa Persia serta karya Ibnu Sina dan al-Biruni pada bahasa Arab. 

Kiprah Seyyed Hossein Nasr nir terbatas dalam Iran saja namun merambah global "luar" baik kawasan muslim juga bukan. Ia pernah sebagai direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr seringkali keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 beliau membicarakan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, beliau berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, waktu meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis pada sana. 

Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi pada forum prestisius yg dianggap Gifford Lectures, lantaran diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, serta Nasr adalah orang Timur dan orang Islam pertama yg menerima kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred merupakan judul yang telah dipresentasikannya pada forum Gifford Lectures tersebut. Nasr menyampaikan bahwa Knowledge and The Sacred merupakan bantuan gratis menurut langit karena penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang berdasarkan 3 bulan.

Sebenarnya poly sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, tetapi karena mengingat banyak sekali keterbatasan, nir mungkin diampilkan serta diulas seluruh pada sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr pada dalam buku yg sebagai pusat perhatian artikel ini.

B. Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
Kaum modernis Islam umumnya memiliki kesamaan ingin memberitahuakn kesesuaian antara Islam menggunakan sains terbaru. Dianara bukti yg mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang pada bumi Islam dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam niscaya mendukung sains modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seseorang tokoh yg paling berpengaruh pada kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak setuju menggunakan argumen generik kaum modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tadi. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengganti agama Islam agar sinkron menggunakan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja buat menunjukkan bahwa Islam bagaimanapun juga adalah kepercayaan 'modern' dan, berbda menggunakan Kristen, sama sekali nir bertentanagan menggunakan sains.[6]

Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang menjamin Islam sesuai menggunakan sains terkini, yaitu sains yg dianggap dipelopori oleh Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung cacat. Kesalahan mereka, dari Nasr, adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sinkron menggunakan kewajiban kepercayaan , sengaja diubah agar sebagai sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menduga galat lantaran term ilm, nir hanya menyangkut kasus duniawi teapi jua menyangkut pengetahuan mengenai Tuhan, dan lain-lain hal mistik lainnya. Apabila mengikuti pandangan kaum Islam modernis, berdasarkan Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains modern, bila nir hati-hati akan menghancurkan struktur kepercayaan Islam. Masalahnya, sains terkini hanya mengandalkan akal serta pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda menggunakan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah sebagai tanangan bagi Islam seperti halnya sains terkini. Para pelajar Islam pada madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia berdasarkan Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka sesudah menyelidiki matematika dan kimia terkini.[8]

Jika kita ingat perbedaan fundamental kerangka konseptual sains abad pertengahan dan abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja pada batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yg ciri-cirinya sudah ditetapkan sang apa yang diyakini menjadi wahyu. Secara generik., sains secara prinsip dipandang sebagai cara buat menggambarkan kebenaran teologis. Maka sains, menjadi kaki tangan teologi, harus membuktikan bahwa iman didukung sang alasan dan faka-fakta fisik.[9] 

Sains modern pada pandangan Nasr, terutama yg berkembang pada Barat, semenjak Renaissance sudah membentuk bentuk serta paradigma baru yg adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu dalam konsepsi Barat misalnya inilah yg diklaim sang Nasr sudah menempati mode khusus, yaitu sama sekali nir berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yang terjadi di Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan dengan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tadi menggempur peradaban Barat pada waktu itu sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori diantaranya oleh Lutherian, nir bisa mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tadi.[12] Pemikiran yg bercorak rasional serta realitas jua ikut menymbangkan kiprah bagi proses sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yg berkembang pada Barat, terutama di Inggris, membuat fungsi suci intelek tidak lagi bermanfaat. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yg menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu pula turut berperan pada proses desakralisasi ilmu.[13] 

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes adalah orang yg sangat poly menaruh andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, menggunakan memunculkan pencerahan individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan serta sama sekali nir meruuk kepada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yang dimunculkan Descartes ini tidak selaras jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak hal profan dan muncullah "Aku" dewa.[14] mengacu dalam diri manusia, yang memiliki makna semu pada pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan onto

Kata "aku " pada ucapan Descartes logi, epistemologi serta asal kepastian. Akibat berdasarkan imbas pikiran Descartes ini poly orang yang menjadikan pikiran individu sebagai baku dan mengganti arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi dari bentuk pemikiran seperti ini tak jarang obyek diketahui lain sama sekali menggunakan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, dan tak jarang juga banyak persoalan yg direduksi sekedar sebagai "it" atau "thing" dalam dunia yg mekanistik, padahal mungkin saja bila melihanya menurut sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat menggunakan nilai-nilai sakral.[15] 

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni semenjak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa simbolis yg diserukan Plato, pengosongan kosmos menurut unsur suci pada agama Olympia yg membawa kepada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan transformasi lain, merupakan beberapa bukti proses desakralisasi ilmu pada Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam menjadi basis krusial bagi penekanan pulang sakralitas pengetahuan dan intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina hingga pada Barat beliau berupah hanya sekedar sebagai potongan-potongan pengetahuan yg bercorak rasionalistik. Begitu pula dalam masalah ibn Rusyd, beliau kelihatan lebih rasional serta sekuler di Barat ketimbang ibn Rusyd orisinil yg dibaca pada dunia Arab.[16] 

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat diantaranya diandai menggunakan pereduksian intelek sebagai logika (reason) serta intelligence dibatasi menggunakan sekedar cunning serta cleverness, yang semua itu Mengganggu teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam maupun Kristen. Pencabutan pengathuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, menciptakan orang lupa akan keunggulan spiritual pada banyak sekali tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan sebagai sentral sementara bisikan hati dan unsur-unsur yang bercorak dewa sebagai periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan sampai pada bahasa pun terkena efek desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yg berkembang pada Barat kehilangan ragam makna mendalam karena pengaruh desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam evaluasi bahwa ilmu pada Barat mengalami kritis yang, pada pandangannya, membawa ancaman serius menjadi dampak skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat menggunakan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya dia menunjukkan konstruksi ilmu Islam menjadi alternatif, yang dianggapnya sanggup mengatasi krisis humanisme yg diderita insan terkini.

Ilmu Islam berdasarkan Nasr bukanlah sesuatu yg lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan serta hubungan mendalam dengan pradaban lain misalnya Yunani, Persia, India, Kalde, serta Cina. Ketika berjumpa dengan aneka macam peradaban tadi umat Islam terbuka terhadap banyak sekali perkembangan ilmu dan peradaban namun pula menyeleksinya menggunakan seksama sehingga adonan menurut keterbukaan serta daya selektif yg ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18] 

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sebagai akibatnya hubungan menggunakan empiris yang lebih tinggi tidak hilang. Alam semesta tidak bisa direduksi menjadi sekedar kabar realitas, tetapi lebih menurut itu harus membantu intelektual insan untuk hingga pada banyak sekali eksistensi, bukan hanya sebagai informasi meninggal namun beliau pula menjadi simbol, sebagai cermin yang memantulkan wajah agung sang pencipta.[19]

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi nalar serta intelek. Intelek merupakan indera, akal merupakan aspek pasifnya serta refleksinya pada diri insan. Intelek adalah dasar akal, akal perlu dilatih secara sehat buat dapat sampai pada intelek. Itulah sebabnya pakar fisika muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia sampai kepada yang tuhan.

Intelek, pada pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun seringkali dikaitkan dengan fungsi analitis pikiran sebagai akibatnya dianggap nir ada sangkut pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini sering menyebabkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, interaksi antara ilmuwan dengan alam bersifat intelektif, tidak tak berbentuk, tidak analitis serta nir sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan dengan terma lain misalnya qalb, fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik dengan sesuatu indera untul memahami realitas dan nilai-nilai. Sehingga konsep intelek pada terminology Islam tidak selaras dengan reason, karena intelek dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi jua berhubungan erat menggunakan duduk perkara wahyu,[21] sehingga bagi seorang muslim kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan misalnya tersebut pada atas merupakan pondasi yang paling kuat serta telah terbukti keampuhannya waktu berhadapan menggunakan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini jua tidak bertentangan dengan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, lantaran konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".[22]

Perbedaan fundamental konstruksi ilmu pada Barat menggunakan Islam, jika pada Barat sains identik menggunakan teknologi serta aplikasinya, kebalikannya sains dalam pandangan Islam, disamping bermakna misalnya pengertian sains dalam perspektif Barat pula bermakna pengetahuan yang berkaitan dengan apiritualitas.[23] 

C. Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Ada poly contoh yang diajukan orang buat integrasi sains dan kepercayaan . Model-contoh itu dapat diklasifikasikan menggunakan menghitung jumlah konsep dasar yg menjadi komponen utama model itu. Jika hanya ada satu, model itu diklaim contoh monadic.apabila ada 2, tiga, empat atau 5 kompoonen, model itu masing-masingnya bisa diklaim sebagai contoh-model diadik, triadik, tetradik dan pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.[24]

Model pertama yang popular pada kalangan fundamentalis, religius maupun sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa agama adalah holistik yang mengandung seluruh cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yg sekuler memandang bahwa kepercayaan sebagai keliru satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg adalah aktualisasi diri manusia pada mewujudkan kehidupan yg menurut sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan contoh monadik totalistik semacam ini tidak mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan kepercayaan , lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak sanggup tidak berupa pertarungan, seperti yg dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains serta agama.

Gambar Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan contoh monadik tadi, diajukanlah model ke 2, yaitu contoh diadik. Ada beberapa varian model ke 2 ini. Varian pertama mengungkapkan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains menyampaikan keterangan alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris bisa didiagramkan contoh ini menjadi dua butir bulat yang nir berpotongan. Model ini dapat diklaim sebagai model diadik kompartementer.

Gambar Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua contoh diadik ini mungkin bisa dinyatakan sang gambar sebuah bundar yg terbagi oleh sebuah garis lengkung sebagai dua bagian yang bentuk dan luasnya sama, misalnya pada simbol Tao dalam tradisi Cina. Berbeda menggunakan contoh interpendensi, pada varian kedua antara sains dan kepercayaan merupakan bagian yg tidak terpisahkan. Seorang tokoh yang patut dipertimbangkan pada kaitan ini merupakan Fritjof Capra saat ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan tetapi,insan membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini adalah model diadik komplementer.

Gambar Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram menggunakan 2 butir bulat sama akbar yang saling berpotongan. Jika ke 2 bundar itu menggambarkan sains dan agama, akan masih ada sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg merupakan bahan obrolan antara sains serta agama. Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah pada pada buku kudus Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yg menemukan sebuah bagian dalam otak yg disebut menjadi "The God Spot" yg dipandang menjadi sentra pencerahan religius manusia. Model ini dapat dianggap menjadi model diadik dialogis.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga adalah contoh triadik menjadi koreksi terhadap model diadik independent. Dalam model triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu merupakan filsafat. Model ini diajukan oleh para kaum teosofis yg bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kecenderungan antara sains, filsafat serta agama.

Model ketiga ini adalah perluasan saja berdasarkan contoh diadik komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya diantara sains dan kepercayaan .

Sebagai koreksi terhadap model diadik dan triadik komplementer, telah dikembangkan sebuah contoh tetradik. Salah satu interpretasi menurut contoh diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" menggunakan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/pada" identik menggunakan pemilahan "objek/subjek" pada perspektif epistemology. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini tidak mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/banyak", yang sang Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya 2 komplementasi, yang lama dan yg baru, maka empiris budaya dibagi sebagai empat kuadran dimana satu bundar dipecah sang 2 buah sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal serta vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas pada sebelah kiri serta sosialitas di sebelah kanan, dan sumbu interior/eksterior dalam arah vertical menggunakan interioritas pada sedelah kiri dan eksterioritas di sebelah kanan.

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan menggunakan subjektivitas, yang menjadi topic bagi psikologi Barat dan mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas berkaitan menggunakan objektivitas yg sebagai topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan menggunakan intersubjektivitas yang sebagai topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yang menilik adonan objek-objek yang diklaim Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, terdapat empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) serta ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] 

Jika ditinjau menggunakan ketiga contoh di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk pada kategori contoh perama. Bagi Nasr kepercayaan , yang diwakili sang eologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain nir boleh keluar berdasarkan kerangka serta pada rangka membela teologi. 

"Senter" kedua damai trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan di sini buat melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yg digunakan merupakan apa yang sudah dibangun oleh Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains terbaru mengundang asumsi dari banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu ada yg masuk dalam kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori kelompok tanggapan terhadap sains tersebut dicermati secara sepintas pada goresan pena ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sebagai akibatnya peta pemikirannya dalam hal sains terkini mudah dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah gerombolan yg paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka nir bisa memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an merupakan manifestasi yg paling nyata berdasarkan gerakan kaum restorasionis ini. 

Salah satu model gerakan kaum restorasionis merupakan gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu kelompok politik-agama yang menerima dukungan berdasarkan rakyat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan dalam pemilu di Pakistan namun efek gerombolan ini sangat bertenaga di Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, merupakan juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap tentang perkara-perkara sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan insan. Pemujaan insan paling acapkali timbul di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan dalam sains dalam akhirnya akan menganugerahkan dalam mereka kekuatan dewa.[31] Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya nir perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat jahat serta nir bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, ad interim modernitas tidak membuat apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan balik keimanan untuk mendamaikan tuntuan peradaban terbaru menggunakan ajaran serta tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam di masa Nabi dan masa khulafa' al-Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka kelompok yg dogmatis reaksioner dianggap taqlid dan menolak penemuan (ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan beropini bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yg berubah. Sementara Ameer Ali beropini bahwa Islam merupakan kepercayaan revolusioner, rasional dan berorientasi maju. 

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar dari umat Islam, tetapi grup ini lebih poly memilih bungkam terhadap masalah modernitas serta sains. Merekalebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan menjadi sesuatu yang secara esensial nir eksklusif berkaitan menggunakan kasus kehidupan politik ekonomi, atau menggunakan sains dan pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas menggunakan keyakinan samara bahwa Islam serta modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji perkara-perkara tadi menggunakan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains adalah Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dicermati dengan snter trilogi ersebut pada atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini lumrah saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sebagai akibatnya sangat mudah dipahami bila pola berpikirnya berada dalam frame restorianis.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia pada http//www.seriousseekers.com., diakses lepas 18 Juni 2006 pukul 16.00.
[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr menggunakan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, menjadi kawan pada berteman dan berdiskusi. Santillana juga memberikan kata pengantar pada kitab Nasr yang sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. Vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.
[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176. 
[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.
[9] G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. Lima. 
[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.
[13] Ibid., hlm. 29-32.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.
[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta juga merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu terdapat dua macam, ayat yg tertulis pada dalam buku kudus, Al-Qur'an, serta ayat yang nir tertulis, tetapi mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis pada Al-Qur'an umumnya diklaim menggunakan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta disebut dengan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah serta ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" lantaran keduanya sama-sama merupakan cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama dapat menghantarkan manusia hingga pada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-contoh integrasi kepercayaan dan sains yg dipakai dan ditampilkan pada goresan pena ini merujuk kepada apa yang ditulis sang Armahedi Mahzar. Hampir semua diderivasi dari konstruksi Mahzar kecuali yang disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains serta Agama: Model dan Metodologi" pada Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi serta Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga model integrasi antara sains dan kepercayaan seperti tersebut di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi model integrasi agama serta sains yang disebutnya menggunakan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Namun model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sebagai akibatnya nir diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.
[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.
[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada menggunakan Maryam Jameelah di atas merupakan Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.

PLURALISME AGAMA DALAM FILSAFAT ISLAM DAN KRISTEN

Pluralisme Agama Dalam Filsafat Islam Dan Kristen 
I. PLURALISME: SEBUAH PEMAHAMAN AWAL
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat berkaitan erat menggunakan penghargaannya atas pluralisme. Hal ini akan sebagai tolok ukur, apakah bangsa tadi berhasil menegakan nilai-nilai pluralis, seperti: toleransi, kesetaraan serta kooperasi; atau hanya sekedar jargon saja. Penegakan pluralisme adalah “rukun iman” yg nir mampu dinafikan menggunakan alasan apapun. Mengabaikan nilai tadi berarti mencederai demokrasi yang sedang kita bangun.

Namun demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima; khususnya pada negara-negara yg mempunyai taraf kolektifitas serta homogenitas yang tinggi. Nilai-nilai pluralistik bukan sesuatu yang given atau terberikan begitu saja; melainkan wajib diperjuangkan. Dengan kata lain, keterangan bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural nir serta merta menjadikan orang yang hayati didalamnya tahu dan menghargai pluralisme. Oleh karena itu, penegakan pluralisme adalah kewajiban mendasar bagi mereka yang peduli menggunakan demokrasi dan keberlangsungan hidup bangsa ini.

Pluralisme itu sendiri berarti suatu pemahaman yg mengakui adanya keragaman atau eksistensi yg berbeda-beda. Dalam bahasa Ahmad F. Fanani, Pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan insan yg tidak hanya terdiri berdasarkan satu gerombolan , suku, rona kulit, dan kepercayaan saja. Dengan demikian, pluralisme adalah ruh berdasarkan demokrasi yg mengakui adanya disparitas. Disisi lain, pluralisme juga memberikan suatu arahan mengenai bagaimana tahu suatu kebenaran mutlak yg disandingkan menggunakan realitas teologis yg beragam yg termanifestasi dalam kepercayaan -kepercayaan .

Di Indonesia, keterangan bahwa rakyat kita adalah rakyat yg plural adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, misalnya yg saya paparkan diatas, pluralitas bangsa ini nir serta merta menggiring masyarakatnya buat menghargai pluralisme. Menurut Dawam Rahardjo, hal itu disebabkan lantaran pluralitas di Indonesia tidak diimbangi dengan pemahaman mengenai pluralisme. Sehingga, tidak mengherankan jika benturan antar elemen masyarakat seringkali terjadi.

Jemaah Ahmadiyah belakangan ini adalah ciri dari kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme itu sendiri. Lantaran, artikulasi yg benar dari pluralisme bukan hanya membiarkan yang lain, the other, buat hayati menggunakan caranya sendiri, namun jua bagaimana tahu dan menghargai keyakinan the other tersebut pada bingkai kemanusiaan. Ide pluralisme diharapkan membawa paham kesetaraan antar orang beriman kearah kerja sama diantara umat beragama (serta juga yang nir beragama) buat menanggulangi masalah-perkara humanisme misalnya kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sebagainya. Sayangnya, kurangnya pemahaman terhadap pluralisme diperparah sang orang-orang yg justru anti menggunakan pemahaman pluralisme itu sendiri, dan menuduh pluralisme sebagi bagian menurut paham impor yg harus diwaspadai.

II. SYAFII MAARIF DITENGAH PEJUANG PLURALISME
Pemahaman mengenai pluralisme sebenaranya telah relatif lama diperkenalkan pada warga Indonesia. Rintisan ini sudah dimulai sang Dr. Harun Nasution lewat bukunya ”Islam dicermati dari berbagai aspeknya”. Didalam tulisannya, Harun Nasution berpendapat bahwa kepercayaan Islam adalah suatu nilai yg terbuka. Islam adalah keberlangsungan menurut tradisi-tradisi kepercayaan sebelumnya. Dengan demikian, Islam mempunyai hubungan yg erat dengan tradisi agama-kepercayaan lain buat saling melengkapi, bukan membatalkan. Tren pemikiran ini lalu diteruskan oleh generasi ke 2 Cak Nur, Abdurahman Wahid, dan Last but not Least oleh Syafii Maarif yg merupakan perwakilan dari kelompok Reformis-Modernis (Attajdid wal hadatsah). Saya sengaja menempatkan Syafii Ma’arif dengan kedudukan yg tidak sinkron pada jajaran para pejuang pluralisme ini. Hal ini disebabkan lantaran: Pertama, beliau mewakili suatu “tenda” akbar, yaitu Muhammadiyah yang sebagai tenda bagi gerombolan pembaharu (Mujaddid). Hal ini membedakannya menurut Gus dur yg meskipun sama-sama penganut pluralisme, namun latar belakang beliau adalah tradisionalis (turatsniyyun). Sehingga, latar belakang yang tidak sama ini membawa disparitas juga terhadap perspektif keduanya didalam memahami Pluralisme. Sedangkan Caknur, meski banyak pemikirannya yg dipengaruhi sang Modernisme (terutama karena pengaruh Fazlur Rahman) merupakan seseorang akademisi. Caknur tidak seperti Gus dur atau Syafii Maarif yang pernah sama-sama jadi pemimpin Ormas. Sebagai seorang akademisi per se, Cak nur memiliki privilese (yaitu kebebasan akademis) yang nir dimiliki secara otomatis sang seorang pemimpin ormas. Sebagai pemimpin ormas ada kemungkinan impak atau pamornya jatuh hanya gara-gara pendapatnya tidak sinkron dengan ormas yang dipimpinnya. Pendapat keduanya (Syafii Maarif serta Gus dur) mengenai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan humanisme terkadang menuai kritik pedas bahkan caci maki. Resiko inilah yg kemudian wajib ditanggung sang Buya Syafii serta Gus dur. Sebagai pemimpin Ormas besar , keduanya wajib siap buat nir terkenal lantaran lebih menentukan nilai-nilai islam yang substantif dan manusiawi. Tetapi demikian, sejarah mencatat mereka sebagai para pejuang nilai-nilai kemanusiaan. 

Muhammadiyah merupakan tenda bagi kaum puritanis yg cenderung nir toleran dengan pandangan keagamaan yang tidak ortodoks. Puritanisme inilah yang menyebabkan banyak kekhawatiran bahwa ormas yg satu ini akan lebih mendukung pandangan baru negara islam ketimbang ide Nasionalis. Hal ini terbukti dengan generasi awal tokoh-tokoh menurut Ormas ini yg mendukung pemberlakuan Piagam Jakarta. Ini sangat tidak sama menggunakan Nahdhatul Ulama (NU) yg cukup progresif menggunakan menerima NKRI serta asas tunggal pada zaman rejim orba. Tetapi, sejarah ternyata membarui haluan Muhammadiyah serta perkembangan zaman telah memodifikasi genre puritanisme Muhammadiyah sebagai lebih moderat. Pada akhirnya, Muhammadiyah jua mendapat NKRI menjadi bentuk final pada kehidupan bernegara. Kewajiban primer umat islam menurut Muhammadiyah bukan menegakan Islam yg formalistik dalam bentuk negara, melainkan bagaimana menerapkan nilai-nilai islam yang substantif pada rakyat. Sehingga, tujuannya bukanlah menegakan negara Islam, melainkan Masyarakat yg Islami yg pernah digagas oleh rasulullah serta para teman. 

Namun demikian, gerakan puritanisme yg ortodok didalam Muhammadiyah tetap terdapat. Sehingga, Muhammadiyah boleh dibilang telat pada melahirkan kader-kader yang progresif serta liberal. Kalaupun ada, kelompok-gerombolan yang progresif tadi nir terlalu menonjol sebagaimana kader-kader NU. Setelah kran reformasi dibuka, poly kader-kader Muhammadiyah yang mulai muncul dengan ide-ide segar. Menurut Sukidi Mulyadi, meruyaknya kader-kader Liberal-Progresif pada tubuh Muhammadiyah tidak lepas dari peranan Syafii Maarif. Syafii Maarif pada hal ini adalah transformator yg berperan besar pada melahirkan kader-kader Liberal-Progresif. Bermunculannya kader Muhammadiyah yg Liberal serta Progresif hampir bersamaan waktu Syafii Maarif memimpin Muhammadiyah. 

III. RELATIVITAS PEMIKIRAN DAN KEMUTLAKAN PLURALISME
Ketika paper ini dibuat, aku belum sempat membaca buku ”Otobiografi Syafii Maarif” yang syahdan adalah sebuah pledoi mengenai perubahan pemikirannya selama ini. Namun, beberapa tulisannya baik yang tersebar di koran, majalah atau buku, mengindikasikan bagaimana gigihnya pembelaan dia terhadap pluralisme. Maarif sangat menganjurkan perilaku tulus dan santun dalam menghadapi kehidupan ini, dengan nir memandang disparitas latar belakang agama, etnis dan ideologi politik. Dia menduga agama yang digunakan buat membela ”rasisme”, sebagai sesuatu yg destruktif dan harus secepatnya dimasukan dalam museum sejarah. 

Pembelaan Maarif terhadap pluralisme juga terlihat menggunakan jelas pada tulisannya pada Republika mengenai Surat al Baqarah ayat 62 dan Alma’idah ayat 69 bahwa orang-orang yg beriman, orang-orang yahudi, Nasrani serta Shabiin akan sama-sama mendapat ganjaran kebaikan menurut Allah. Disana, Syafii Maarif merujuk pada tafsir Al Azhar karya Buya Hamka yang adalah gurunya. Syafii Maarif dengan kentara sudah melampaui pakem konvensional tentang kasus keselamatan. 

lebih jauh lagi, Syafii Maarif mendeklarasikan sikapnya mengenai kenisbian penafsiran yg dilakukan oleh insan; apakah ia seseorang Mufassir atau seorang Mujtahid. Didalam tulisannya ia beropini demikian: “Iman saya mengungkapkan bahwa al qur’an itu mengandung kebenaran mutlak, karena beliau berhulu dari yg absolut. Tetapi, sekali beliau memasuki otak serta hati manusia yang serba relatif, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi absolut benar, siapapun manusianya, termasuk mufassir yang dievaluasi punya otoritas tinggi, apalagi yang menafsirkannya itu insan-manusia seperti aku ”.

Dengan sangat cemerlang Syafii Maarif membedakan antara Firman Tuhan menggunakan pemahaman insan itu sendiri. Dimana yg pertama bersifat absolut dan tuhan (divine) sedangkan yang kedua bersifat nisbi dan profan. Perbedaan yang “jomplang” inilah yang jarang disadari oleh para apolog Islam. 

Didalam islam, kritikan terhadap sejumlah ulama terpandang (serta karya mereka) memang sebagai tabu tersendiri. Hal ini terlihat dari adagium mereka yang berusaha buat menjaga nama baik para ulama islam (khususnya mereka yang termasuk salafus shalih) dengan mengesampingkan kekurangan mereka lantaran ilmunya. Oleh karena itu, kritikan objektif atau ilmiah mampu dituding menjadi suatu penyimpangan. Bahkan, genre pembaharu yang menjamin Ijtihad sekalipun tidak sanggup keluar menurut “penjara” pengkultusan terhadap generasi awal Islam ini. Absolutisme tafsir inilah yg adalah pangkal segala jenis pemahaman islam yg tertentu dan anti-pluralisme.

Apa yg luput dari pemahaman para apolog islam ialah: mereka nir mempunyai keberanian buat keluar dari bayang-bayang sejarah masa lalu. Bayang-bayang tadi adalah berupa kemapanan otoritas teks serta ulama sekaligus, yang mana sinergi keduanya telah melahirkan masa keemasan peradaban Islam dimasa lampau. Maarif beropini : ”First of all, I want to propose two kinds of Islam : Qur’anic and historical. The Qur’anic islam is the one that represents a total islamic world view based on the genuine and authentic interpretation of the Qur’an. The historical Islam is the one resulted largely from its wrestling and interaction with the blood and flesh of history which is not always necessarily compatible with the prophet’s true mission as a grace towards all mankind”. 

Mereka lupa bahwa lahirnya teks-teks yg berupa penafsiran atas Al Qur’an (termasuk penafsiran atas islam) tidak lahir diruang hampa, melainkan output hubungan yang simultan antara realitas serta idealisme yg dikandung kitab kudus tadi. Dengan kata lain, penafsiran seseorang ulama tentang ayat eksklusif didalam al Qur’an boleh jadi dipengaruhi oleh syarat pada zamannya. Dia melanjutkan, ”From this perspective, what we know then as sunnism, shi’ism, and kharijism were no doubt parts of the historical islam, and every moslem has the right to question the validity and authenticity of their claims for truth when seen from the qur’anic world view”. 

Syafii Maarif beropini bahwa pluralisme adalah liputan keras sejarah. Pluralisme memberikan peluang dalam setiap orang buat tidak sama serta meyakini agamanya menjadi kebenaran absolut. Namun beliau mengingatkan bahwa hak serupa pula harus diberikan pada penganut kepercayaan atau keyakinan lain buat memegang prinsip yg sama. Disini beliau menaruh penekanan mengenai perlunya sikap toleran atau tenggang rasa menggunakan penganut kepercayaan atau agama lain. Bahkan, seorang atheis pada pandangan syafii maarif wajib tetap dihormati hak-haknya selama beliau tidak melanggar hukum positif yg berlaku. Penghakiman terhadap keyakinan seorang merupakan absolut hak prerogatif ilahi. Manusia tidak memiliki hak tadi, dan perampasan hak prerogatif itu adalah sebuah kesombongan yg nir termaafkan.

IV. SYAFII MAARIF DAN SYARIAT ISLAM
Pandangan lain yg menggambarkan Syafii Maarif sebagai tokoh yang membela pluralisme merupakan penolakannya terhadap Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yg ”berbau” Syariat. Alasan yang dikemukakan olehnya bukan karena alasan ketidak tahuan, tetapi justeru karena pemahaman yg mendalam mengenai syariat itu sendiri. Apabila benar Syafii Maarif nir tahu syariat islam, maka akan sangat gasal bila beliau sanggup tampil sebagai orang nomor satu ditubuh Muhammadiyah. 

Dalam pandangan kaum fundamentalis, syariat ditinjau menjadi sekumpulan kodifikasi hukum yg terdapat dalam al Qur’an, sunnah serta buku-kitab para ulama; yg dimulai dari bab thaharah (bersuci) sampai dengan bab daulah (Negara). Pandangan demikian sebenarnya telah mereduksi ajaran Islam sebagai ajaran legal-formal belaka. Pandangan demikian nyaris misalnya pandangan kaum yahudi terhadap agamanya yg dikecam sedemikian rupa oleh para fundamentalis itu. Hanya saja, perbedaanya Sebagai mana kita memahami, meskipun agama yahudi adalah kepercayaan yang legalistik, namun tidak terdapat pandangan keagamaan mereka yang menyangkut masalah-kasus profan seperti ekonomi, politik atau interaksi internasional (Misalnya tidak terdapat pendapat rabbi yahudi mengenai bagaimana menegakan “ekonomi ala yahudi”). 

Kaum fundamentalis juga anti dengan demokrasi, lantaran demokrasi memberi peluang dalam manusia buat hayati tenang pada iklim multikultural dan multiagama. Mereka ingin menegakan pemerintahan yang otoriter. Dengan demikian, agama ditangan mereka tidak lebih menjadi indera kekuasaan buat memonopoli kebenaran. Hal ini ditempuh dengan melakukan islamisasi (atau lebih tepatnya syariatisasi) dalam semua bidang : ekonomi islam, negara islam, sistem islam serta lain sebagainya. 

Pandangan ultra-legalistik seperti ini mengandaikan islam sama seperti ideologi sekuler. Islam dibayangkan sebagai sistem totaliter yang mengatur semua aspek kehidupan manusia; yg berupa blue print serta dapat diterapkan di setiap tempat serta keadaan. Tetapi, pandangan demikian kentara sangat berbahaya, kemungkinan akbar islam akan mengalami kegagalan serupa sebagai mana ideologi Marxisme. Yang nir disadari sang para pengagum syariat ini adalah: kehidupan manusia terus berkembang. Akan tetapi mereka membayangkan islam sebagai sebuah formula atau kapsul ajaib yang mampu menjawab setiap masalah yang dihadapi oleh manusia terkini. Apa yang terjadi pada Arab Saudi, Afghanistan dalam masa Thaliban, Sudan atau Iran adalah contoh par excellence bagaimana syariat yang ideal wajib berhadapan dengan empiris yang terkadang pahit. Alih-alih sebagai negara yg maju yg makmur, bangsa-bangsa tersebut malah terdaftar sebagai bangsa yang banyak melakukan pelanggaran HAM berat. Tentunya hal demikian menjadi sangat kontraproduktif menggunakan tujuan awal islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiin).

Salah satu aspek modernitas yg relatif menonjol adalah berkembangnya kehidupan insan yang multikultur; yg berarti multi etnik dan multi agama. Syariat yang dipahami oleh kalangan pluralis misalnya Syafii Maarif merupakan syariat yang sanggup mengayomi aspek multikultural tersebut pada bingkai kebangsaan yg adil dan manusiawi. Sungguh sangat ironis apabila syariat yg berisi pesan dewa buat kebaikan, maslahat, manusia tetapi hasilnya malah menindas kemanusian itu sendiri. 

Secara nir pribadi, Syafii Maarif menganggap terdapat link atau hubungan antara syariat menggunakan pluralisme. Penerapan perda-Peraturan Daerah syariat yang lebih poly mendiskriminasi (khususnya kaum perempuan ) serta mengakibatkan kecurigaan dan kecemburuan penganut agama lain jelas bertentangan menggunakan semangat pluralisme yg dicita-citakan islam. Syariat menggunakan demikian wajib ditafsir ulang; bukan dalam wujudnya yang harafiah dan kaku, tetapi pada bentuknya yg fleksibel dan dinamis. Boleh jadi suatu anggaran tidak membawa-bawa nama islam atau syariat islam, tetapi isi yang dikandungnya mampu menjamin maslahat bagi manusia banyak. Maka, secara otomatis anggaran tadi islami meski tidak ada label islam disana.

V. DITENGAH PUSARAN KONSERVATISME 
Bangkitnya politik kepentingan selalu disertai menggunakan bangkitnya politik bukti diri. Setiap orang selalu berusaha buat menterjemahkan kepentingan-kepentingan yang dimilikinya sinkron menggunakan afiliasi gerombolan atau golongannya. Tentu saja hal ini akan memuluskan jalan pada tujuan yg ingin dicapai. Lantaran ia tidak bekerja sendiri melainkan secara berkelompok. 

Indonesia sebagai keliru satu negara yang memiliki populasi muslim terbesar, mempunyai ciri politik bukti diri yg sangat kental. Ciri-karakteristik tadi tercermin dalam penghormatan terhadap hari-hari besar perayaan keagamaan, regulasi-regulasi pada kehidupan beragama bahkan dasar negara. Hal tadi mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yg ”agamais”. Tetapi pada kenyataannya perilaku beragama yang ada kepermukaan lebih banyak hadir pada wajah yg formalistik. Sejak bergulirnya reformasi, kemunculan arus islamisme semakin menguat. Partai-partai yg berasaskan islam tidak terhitung banyaknya. Masing-masing memiliki penafsiran tersendiri terhadap asas islam itu. Namun diluar jalur mainstream, kekuatan-kekuatan islam baru bermunculan seiring dengan bebasnya iklim politik pada Indonesia. Kekuatan-kekuatan islam yg baru tadi memiliki poly keterikatan ideologis menggunakan pemikiran keislaman di timur-tengah. 

Meski gerakan-gerakan islam ini mempunyai jumlah massa yang mini , namun mereka adalah vocal minority serta relatif agresif dalam berbagi pemahamannya. Kelompok-grup islam yang baru ini lebih berani menyuarakan islam yg politis dan ideologis. Aspirasi mereka lebih ditujukan kepada bagaimana memperjuangkan kepentingan islam (pada tafsirannya yang sempit) di ranah publik. Pada akhirnya, suara kecil yang vokal ini sedikit-sedikit mensugesti lebih banyak didominasi yang terdapat. 

Kepentingan politik minoritas yg kecil ini tercermin dalam keinginannya buat menegakan syariat pada level mikro (perda syariat), melarang aliran-genre islam yang dianggap sesat, dan pemberlakuan rancangan undang-undang pornografi serta pornoaksi (RUU APP). Secara garis besar , usaha kedua grup islam ini menyebar dalam dua jalur sekaligus: jalur parlemen serta ekstra parlemen. Yang berada pada jalur parlemen seperti PKS, giat melakukan islamisasi pada hal legislasi. Sedangkan grup yg diluar parlemen aktif berbagi ideologinya lewat kajian-kajian keislaman. Didalam jangka waktu yang tidak terlalu lama , grup-kelompok ini telah berhasil merekrut jumlah anggota yg relatif akbar.

Yang lebih mengkhawatirkan, bunyi-suara islam yg konservatif ini telah merasuki forum yg paling vital, yakni Majelis Ulama Indonesia ( MUI ). Didalam tubuh forum tersebut banyak ulama-ulama akbar yang adalah perwakilan menurut ormas-ormas besar yg terdapat di Indonesia. Belakangan, penolakan yang keras terhadap Jemaah Ahmadiyah justru didukung sang fatwa sesat MUI. Tidak sampai disitu, grup-grup konservatif ini pula berhasil membuat aliansi-aliansi baru buat menggalang kekuatan. 

Fenomena grup-grup yang dianggap sesat adalah efek menurut fatwa MUI yg konservatif itu. Yang lebih mengherankan, MUI bukan hanya mengeluarkan fatwa sesat terhadap grup atau jemaah tertentu yg dipercaya sesat; tetapi pula pada sejumlah pemikiran yg dianggap menyimpang. Didalam fatwanya, MUI mengharamkan pluralisme yg direnteng menggunakan sekulerisme serta liberalisme sebagai paham yang sesat. Dimasyarakat perkotaan yang umum aktif di pengajian ada kata yg sangat anekdotal yakni ”sepilis” yang berupa singkatan berdasarkan sekulerisme, pluralisme serta liberalisme. Pendapat mereka: jika dahulu para ulama harus berjuang melawan penyakit ”TBC” ( takhayul, bid’ah, churafat ), maka sekarang mereka wajib berjuang melawan penyakit ”Sepilis”. Ini sungguh merupakan pemahaman yg berbahaya. Pemikiran yg simplistik misalnya ini akan membawa kepada kekaburan makna berdasarkan paham itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat bukan belajar buat memahami, malah lebih bahagia buat menghakimi. Paham pluralisme bahkan sudah di artikan sebagai kepercayaan tersendiri yang memiliki tuhan serta ajaran yang spesifik. 

VI. BENTENG KECIL
Peranan Syafii Maarif sebagai bapak (sekaligus pengajar) bangsa sebagai sangat memilih. Hal ini bukan semata-mata karena ketokohannya, namun pula lantaran percik-percik pemikirannya yg berusaha buat melawan, menggunakan santun, arus konservatisme dan radikalisme yg kian menguat. Sebuah pemikiran tandingan yg ia gagas tidak dipakai buat membinasakan versus tetapi buat memberi penjelasan atau pencerahan. 

Hal yang patut buat direnungkan, bahwa perilaku serta pemikirannya yang pluralis tadi bukanlah relativisme yg a-nilai, melainkan perilaku yg berpihak pada kebenaran, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yg universal. Pluralisme-relativistik yg nir berpihak, hanya akan melahirkan nihilisme akbar yg tidak membawa perubahan apapun. Pluralisme jenis demikian adalah buah menurut era pasca-terkini yg didapat bukan dari output usaha atau perjuangan, tetapi akibat berdasarkan ketidak mampuan dalam tahu realitas. 

Syafii Maarif percaya bahwa jalan keluar terbaik buat menangkal radikalisme dan konservatisme ini merupakan menggunakan menegakan demokrasi yg sehat. Demokrasi yang bukan hanya sekedar perihal, tetapi bisa menaruh keadilan bagi warga seluas-luasnya. Maarif nir menganggap bahwa gerakan-gerakan ortodok dan radikal, yg kini meruyak, sebagai suatu jenis kejahatan yg harus dimusuhi. Dia melarang menghukum kelompok garang ini selama mereka masih taat dalam konstitusi, hukum dan etika pergaulan. 

Radikalisme dan konservatisme merupakan buah berdasarkan ketidak adilan ekonomi, sosial serta politik. Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang berkaitan menggunakan perkara tersebut. Kita tidak sanggup semata-mata berpandangan pluralistik sedangkan disebelah kita masih menderita kelaparan serta kemiskinan. Sebagai sebuah inspirasi, pluralisme merupakan barang glamor yg hanya mampu dinikmati oleh orang-orang terpelajar, orang-orang yang pernah bergaul dengan ”global luar” atau setidaknya orang-orang yang pernah membaca serta memahami (dari kitab -buku mahal tentunya) ”mahluk” yg bernama pluralisme.

Bagi kebanyakan warga , pandangan keagamaan yg konvensional serta hitam-putih jauh lebih memadai. Pandangan bahwa: hanya-kita-yg-sahih-serta-yang-lain-salah , jauh lebih gampang dipahami; apalagi apabila yang dianggap the other itu adalah lebih kaya, kuat serta elok . Pendeknya, segala kelemahan dan ketidak berdayaan yg menerpa umat menjadi tertanggungkan menggunakan mendapat paham yg ekslusif serta ortodok. Pluralisme, bagi masyarakat umum yg lemah, hanya dianggap akan meruntuhkan benteng ketidakberdayaan yg mereka bangun menggunakan susah payah.

Pluralisme yg ingin ditegakan hendaknya dibarengi menggunakan usaha bagaimana membentuk struktur yang berkeadilan pada warga . Masyarakat yg sibuk mengatur urusan ”aqidah” orang lain, kebanyakan, adalah warga yang secara ekonomi lemah. Mereka merasa terancam menggunakan hadirnya orang-orang luar yang tidak sinkron baik dari segi agama, ekonomi maupun tingkatan sosial.

Pengalaman bangsa-bangsa maju didalam mengembangkan pluralisme nir terlepas berdasarkan usaha mereka buat mengurangi kesenjangan dan ketidakadilan. Masyarakat pada Eropa, Amerika serta Jepang populer karena etikanya yang tinggi, penghormatan terhadap hak-hak orang lain serta keuletannya didalam bekerja. Mereka nir mempunyai saat untuk menghakimi seluruh jenis perbedaan, lantaran pribadi seseorang dievaluasi dari kontribusi dan prestasinya di masyarakat.

Disini, pendekatan nilai islam yg mendukung pluralisme wajib dikaji kembali menggunakan memakai pendekatan yang sinkron menggunakan kondisi Indonesia. Maarif dalam hal ini percaya bahwa islam mampu sebagai integrator atau pemersatu kehidupan berbangsa. Terpaan sejarah yg berkali-kali memukul bangsa Indonesia mampu ditemukan akarnya pada kelalaian fatal elite bangsa ini dalam menegakan prinsip keadilan. Padahal menurutnya, islam, apabila ditafsirkan menggunakan benar sanggup sebagai perekat yg sekaligus menguatkan pluralisme itu sendiri.

Sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan sang Syafii Maarif lewat pemikirannya ketika ini, merupakan tonggak awal dari benteng Indonesia yg sedang kita bangun. Benteng tadi merupakan tegaknya pluralisme yg menjadi ruh bagi demokrasi. Syafii Maarif dalam hal ini telah memulainya dengan menuangkan setiap gagasannya lewat tulisan. Kewajiban kita kini merupakan bagaimana mempertahankan benteng tadi supaya nir ambruk. Karena demokrasi yang kokoh harus ditopang sang pluralisme yang kokoh pula.

EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU PRESPEKTIF ALQURAN

Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu Prespektif Al-Qur’an
I. Telaah Ontologis, Epistemologis serta Aksiologis Ilmu
Ketika membicarakan kasus sekularisme, sebagaimana yang dikomentari sang Arkon, bahwa orang tak jarang menggabungkan suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar pada Kaisar serta berikanlah milik Allah kepada Allah", sebab menurut ungkapan inilah, berdasarkan sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara pada global Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) bisa dipahami hanya apabila diketahui dengan baik syarat historis waktu itu. Pada waktu ungkapan itu dikemukakan sang Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama merupakan bergerak pada tataran spritual keagamaan serta nir dalam politik. Ungkapan dalam Injil tadi sesungguhnya memang bertujuan buat mengendalikan kekuasaan spritual.

Realitas yang terjadi di global Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin gereja mengakibatkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spritual. Hal tadi terus berlanjut sampai abad terbaru kini .

Mellenium III merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada banyak sekali bidang jua diklaim abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yg secara teoritis sudah ada sebelum abad modern demikian jua penemuan-inovasi baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan menurut saat ke ketika. Penemuan-penemuan tadi sangat berguna bagi umat insan menjadi donasi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yg sebagai sentral pembahasan khususnya bagi para pemikir Islam merupakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Sains dan filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam, bahwa masih ada arus intelektual pada kalangan orang-orang Islam buat menanggapi pemikir Yunani serta akibat dari rangsangan itu ternyata, mereka lebih membentuk dan kreatif yang pada akhirnya membantu perkembangan-perkembangan pada Eropa. Akan namun dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.

Masalah sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan masih pada suasana polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin melahirkan ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan saintifik, ad interim di sisi lain kecenderungan sementara ilmuan muslin supaya ilmu pengetahuan lahir dari Islam menurut Alquran serta Hadis, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan). Berkenaan menggunakan kajian tentang ilmu pengetahuan dalam kaitannya menggunakan sekularisasi sangat penting buat dikaji, hal tersebut akan mampu dipahami bagaimana urgennya islamisasi ilmu pengetahuan. Berangkat dari keterangan yang telah diuraikan tadi, maka yg menarik buat ditinjau, apa yg dimaksud menggunakan sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ? Kemudian bagaimana sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan dicermati menurut aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya?

II. Defenisi Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi dari menurut bahasa Inggris "Secular" yg adalah kata sifat yang berarti sekuler, duniawi. Dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:

"Secularism is an ethical system founded of the principles of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism" 

"Sekularisme adalah suatu sistem etis (peradaban) yang berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas yg dialami dan terlepas menurut kepercayaan yg diwahyukan atau hal-hal yang mistik".

Dari istilah sekularisme ini dibentuk menjadi kata kerja "Secularize" yang diartikan dengan "menerapkan pendidikan pada hal duniawi (bukan kepercayaan )", atau yang biasa pula diistilahkan menggunakan "sekularisasi". Arti sekularisasi itu sendiri dari segi bahasa yaitu: hal-hal yg membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan dalam ajaran agama. Adapun istilah islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur kepercayaan , pada hal ini agama Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna serta tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam ke pada ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi berdasarkan ilmu-ilmu terkini yang didapatkan oleh global Barat yg cenderung bebas nilai berdasarkan tuntunan wahyu.

Ungkapan islamisasi ilmu dalam awalnya dicetuskan sang Prof. Syed Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. Sebelumnya almarhum Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu tulisan tentang islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodogi keislaman telah ada sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein Nasr. Belakangan, gagasan islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi serta institut yang didirikannya, yaitu "Institut Pemikiran Islam Antarbangsa". Adapun islamisasi ilmu pengetahuan menurut Prof Alatas, pada Jurnal Ulumul Qur'an bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan ilmu yg merujuk pada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep utama yang menciptakan kebudayaan serta peradaban Barat, khususnya pada ilmu-ilmu humanisme. Termasuk dalam unsur-unsur serta konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap empiris yang dualistik, doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan penguasaan drama serta taktik pada kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yg menyebabkan ilmu yg nir sepenuhnya sahih itu tersebar keseluruh global. Setelah melewati proses pada atas, ke pada ilmu tadi ditanamkan unsur-unsur serta konsep-konsep utama keislaman.

Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yang benar, yaitu ilmu yang sesuai menggunakan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep utama keislaman yang dimaksud adalah insan, din, 'ilm, serta ma'rifah, nasihat, 'adl, 'amal, adab, serta sebagainya. Jadi islamisasi ilmu itu adalah pembebasan ilmu berdasarkan pemahaman yang berasaskan kepada idologi, makna serta ungkapan sekular. Adapun ilmu pengetahuan bisa dikatakan menjadi hasil bisnis pemahaman insan yang disusun dalam suatu sistem tentang fenomena, struktur, pembagian, bagian-bagian serta aturan-hukum mengenai hal wacana yang diselidikinya (alam, insan dan jua kepercayaan ) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran insan yg dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara realitas, riset dan ekperimental.

Kata ontologi, epistemologi serta aksiologi, secara etimologis asal dari bahasa Yunani berdasarkan akar kata ontos, berarti "berada". Episte berarti "pengetahuan". Dan kata aksiologi berarti "berguna". Ketiga istilah tadi ditambah menggunakan kata logos berarti "ilmu pengetahuan, ajaran teori". Sedangkan berdasarkan sisi terminologis, ontologi merupakan ilmu hakekat yang menyelidiki alam konkret ini, bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi merupakan ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam bisnis memperoleh pengetahuan. Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai kegunaan ilmu atau hakekat nilai yg terkandung dalam suatu disiplin ilmu. Demikian sekularisasi serta islamisasi ilmu pengetahuan telaah ontologis, epistemologis serta aksiologis bisa diartikan menjadi sebuah upaya melepaskan keterkaitan urusan ilmu pengetahuan dari unsur-unsur agama serta pada sisi lain ada koreksi khususnya berdasarkan kalangan ilmuan muslim buat melakukan usaha kepercayaan , pada hal ini kepercayaan Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hayati manusia berdasarkan ajaran Islam ke pada ilmu pengetahuan. Dan berusaha menciptakan ilmu pengetahuan itu sarat nilai baik menurut segi hakekat empiris, keterangan empiris maupun manfaat yg diperoleh berdasarkan suatu ilmu.

III. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis, berarti membuang segala yg bersifat religius serta mistis, lantaran dicermati nir relevan dalam ilmu. Mitos serta religi disejajarkan serta dipandang sebagai pra ilmu yg hanya bergayut menggunakan bisikan hati (global rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yg berbau mitos dan bernuansa gaib sebagai sesuatu yg berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi mampu juga disebut menggunakan desakralisasi (melepaskan diri menurut segala bentuk yg bersifat sakral). Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan serta maksud. Karena alam merupakan benda mati yg netral. Tujuannya sangat dipengaruhi sang manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia menggunakan segala daya yg dimiliki mengeksploitasi alam buat kepentingan insan semata.

Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobyektifan tujuan maka segala yg terkait menggunakan kepercayaan , pandangan hidup, tradisi serta semua yg bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yg independen, otonom serta obyektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yg dipakai yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa asal pengetahuan yg sah adalah realitas (pengalaman). Sebagai konsekuensi berdasarkan epistemologi sekuler maka dalam tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.

IV. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir menjadi koreksi menurut ilmu-ilmu terbaru yang didapatkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa empiris alam semesta, empiris sosial dan historis terdapat aturan-hukum yg mengatur serta aturan itu merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka empiris alam semesta nir netral akan tetapi memiliki maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir pada firman Allah SWT pada QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا

Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) menggunakan sia-sia"

Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya menelaah ayat-ayat Alquran lantaran sebagian ayat Alquran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sebagai akibatnya kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yg pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat menggunakan nilai-nilai moral (moral value) dengan istilah lain ilmu itu nir netral nilai melainkan pada ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yg mengkristal pada akar-akar Ilahi.

Seorang sarjana terkemuka yang memperhatikan kasus islamisasi ilmu pengetahuan merupakan Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, pada bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yg sifatnya dualisme (sistem Islam serta sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini wajib digabungkan dan diintegrasikan, ad interim sistem yang akan ada harus diwarnai dengan spirit Islam serta berfungsi menjadi bagian integral berdasarkan ideologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna meng-counter imbas-efek sekularisasi Barat yang bebas nilai.