EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU PRESPEKTIF ALQURAN

Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu Prespektif Al-Qur’an
I. Telaah Ontologis, Epistemologis serta Aksiologis Ilmu
Ketika membicarakan kasus sekularisme, sebagaimana yang dikomentari sang Arkon, bahwa orang tak jarang menggabungkan suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar pada Kaisar serta berikanlah milik Allah kepada Allah", sebab menurut ungkapan inilah, berdasarkan sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara pada global Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) bisa dipahami hanya apabila diketahui dengan baik syarat historis waktu itu. Pada waktu ungkapan itu dikemukakan sang Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama merupakan bergerak pada tataran spritual keagamaan serta nir dalam politik. Ungkapan dalam Injil tadi sesungguhnya memang bertujuan buat mengendalikan kekuasaan spritual.

Realitas yang terjadi di global Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin gereja mengakibatkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spritual. Hal tadi terus berlanjut sampai abad terbaru kini .

Mellenium III merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada banyak sekali bidang jua diklaim abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yg secara teoritis sudah ada sebelum abad modern demikian jua penemuan-inovasi baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan menurut saat ke ketika. Penemuan-penemuan tadi sangat berguna bagi umat insan menjadi donasi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yg sebagai sentral pembahasan khususnya bagi para pemikir Islam merupakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Sains dan filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam, bahwa masih ada arus intelektual pada kalangan orang-orang Islam buat menanggapi pemikir Yunani serta akibat dari rangsangan itu ternyata, mereka lebih membentuk dan kreatif yang pada akhirnya membantu perkembangan-perkembangan pada Eropa. Akan namun dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di tangan umat Islam.

Masalah sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan masih pada suasana polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin melahirkan ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan saintifik, ad interim di sisi lain kecenderungan sementara ilmuan muslin supaya ilmu pengetahuan lahir dari Islam menurut Alquran serta Hadis, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan). Berkenaan menggunakan kajian tentang ilmu pengetahuan dalam kaitannya menggunakan sekularisasi sangat penting buat dikaji, hal tersebut akan mampu dipahami bagaimana urgennya islamisasi ilmu pengetahuan. Berangkat dari keterangan yang telah diuraikan tadi, maka yg menarik buat ditinjau, apa yg dimaksud menggunakan sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ? Kemudian bagaimana sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan dicermati menurut aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya?

II. Defenisi Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi dari menurut bahasa Inggris "Secular" yg adalah kata sifat yang berarti sekuler, duniawi. Dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:

"Secularism is an ethical system founded of the principles of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism" 

"Sekularisme adalah suatu sistem etis (peradaban) yang berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas yg dialami dan terlepas menurut kepercayaan yg diwahyukan atau hal-hal yang mistik".

Dari istilah sekularisme ini dibentuk menjadi kata kerja "Secularize" yang diartikan dengan "menerapkan pendidikan pada hal duniawi (bukan kepercayaan )", atau yang biasa pula diistilahkan menggunakan "sekularisasi". Arti sekularisasi itu sendiri dari segi bahasa yaitu: hal-hal yg membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan dalam ajaran agama. Adapun istilah islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur kepercayaan , pada hal ini agama Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna serta tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam ke pada ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi berdasarkan ilmu-ilmu terkini yang didapatkan oleh global Barat yg cenderung bebas nilai berdasarkan tuntunan wahyu.

Ungkapan islamisasi ilmu dalam awalnya dicetuskan sang Prof. Syed Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. Sebelumnya almarhum Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu tulisan tentang islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodogi keislaman telah ada sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein Nasr. Belakangan, gagasan islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi serta institut yang didirikannya, yaitu "Institut Pemikiran Islam Antarbangsa". Adapun islamisasi ilmu pengetahuan menurut Prof Alatas, pada Jurnal Ulumul Qur'an bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan ilmu yg merujuk pada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep utama yang menciptakan kebudayaan serta peradaban Barat, khususnya pada ilmu-ilmu humanisme. Termasuk dalam unsur-unsur serta konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap empiris yang dualistik, doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan penguasaan drama serta taktik pada kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti inilah yg menyebabkan ilmu yg nir sepenuhnya sahih itu tersebar keseluruh global. Setelah melewati proses pada atas, ke pada ilmu tadi ditanamkan unsur-unsur serta konsep-konsep utama keislaman.

Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yang benar, yaitu ilmu yang sesuai menggunakan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep utama keislaman yang dimaksud adalah insan, din, 'ilm, serta ma'rifah, nasihat, 'adl, 'amal, adab, serta sebagainya. Jadi islamisasi ilmu itu adalah pembebasan ilmu berdasarkan pemahaman yang berasaskan kepada idologi, makna serta ungkapan sekular. Adapun ilmu pengetahuan bisa dikatakan menjadi hasil bisnis pemahaman insan yang disusun dalam suatu sistem tentang fenomena, struktur, pembagian, bagian-bagian serta aturan-hukum mengenai hal wacana yang diselidikinya (alam, insan dan jua kepercayaan ) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran insan yg dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara realitas, riset dan ekperimental.

Kata ontologi, epistemologi serta aksiologi, secara etimologis asal dari bahasa Yunani berdasarkan akar kata ontos, berarti "berada". Episte berarti "pengetahuan". Dan kata aksiologi berarti "berguna". Ketiga istilah tadi ditambah menggunakan kata logos berarti "ilmu pengetahuan, ajaran teori". Sedangkan berdasarkan sisi terminologis, ontologi merupakan ilmu hakekat yang menyelidiki alam konkret ini, bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi merupakan ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses dalam bisnis memperoleh pengetahuan. Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai kegunaan ilmu atau hakekat nilai yg terkandung dalam suatu disiplin ilmu. Demikian sekularisasi serta islamisasi ilmu pengetahuan telaah ontologis, epistemologis serta aksiologis bisa diartikan menjadi sebuah upaya melepaskan keterkaitan urusan ilmu pengetahuan dari unsur-unsur agama serta pada sisi lain ada koreksi khususnya berdasarkan kalangan ilmuan muslim buat melakukan usaha kepercayaan , pada hal ini kepercayaan Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hayati manusia berdasarkan ajaran Islam ke pada ilmu pengetahuan. Dan berusaha menciptakan ilmu pengetahuan itu sarat nilai baik menurut segi hakekat empiris, keterangan empiris maupun manfaat yg diperoleh berdasarkan suatu ilmu.

III. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis, berarti membuang segala yg bersifat religius serta mistis, lantaran dicermati nir relevan dalam ilmu. Mitos serta religi disejajarkan serta dipandang sebagai pra ilmu yg hanya bergayut menggunakan bisikan hati (global rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yg berbau mitos dan bernuansa gaib sebagai sesuatu yg berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi mampu juga disebut menggunakan desakralisasi (melepaskan diri menurut segala bentuk yg bersifat sakral). Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan serta maksud. Karena alam merupakan benda mati yg netral. Tujuannya sangat dipengaruhi sang manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia menggunakan segala daya yg dimiliki mengeksploitasi alam buat kepentingan insan semata.

Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobyektifan tujuan maka segala yg terkait menggunakan kepercayaan , pandangan hidup, tradisi serta semua yg bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yg independen, otonom serta obyektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yg dipakai yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa asal pengetahuan yg sah adalah realitas (pengalaman). Sebagai konsekuensi berdasarkan epistemologi sekuler maka dalam tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.

IV. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir menjadi koreksi menurut ilmu-ilmu terbaru yang didapatkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa empiris alam semesta, empiris sosial dan historis terdapat aturan-hukum yg mengatur serta aturan itu merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka empiris alam semesta nir netral akan tetapi memiliki maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir pada firman Allah SWT pada QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا

Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) menggunakan sia-sia"

Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya menelaah ayat-ayat Alquran lantaran sebagian ayat Alquran memasuki wilayah kajian empiris dan historis sebagai akibatnya kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yg pertama turun berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat menggunakan nilai-nilai moral (moral value) dengan istilah lain ilmu itu nir netral nilai melainkan pada ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran Islam yg mengkristal pada akar-akar Ilahi.

Seorang sarjana terkemuka yang memperhatikan kasus islamisasi ilmu pengetahuan merupakan Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, pada bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yg sifatnya dualisme (sistem Islam serta sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan. Dan kedua sistem ini wajib digabungkan dan diintegrasikan, ad interim sistem yang akan ada harus diwarnai dengan spirit Islam serta berfungsi menjadi bagian integral berdasarkan ideologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna meng-counter imbas-efek sekularisasi Barat yang bebas nilai.

EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU PRESPEKTIF ALQURAN

Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu Prespektif Al-Qur’an
I. Telaah Ontologis, Epistemologis serta Aksiologis Ilmu
Ketika membicarakan masalah sekularisme, sebagaimana yg dikomentari sang Arkon, bahwa orang acapkali menggabungkan suatu ungkapan yg sangat terkenal pada Injil "Berikanlah Kaisar pada Kaisar dan berikanlah milik Allah pada Allah", karena dari ungkapan inilah, berdasarkan sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) bisa dipahami hanya jika diketahui dengan baik syarat historis waktu itu. Pada waktu ungkapan itu dikemukakan sang Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama merupakan beranjak dalam tataran spritual keagamaan dan nir pada politik. Ungkapan pada Injil tadi sesungguhnya memang bertujuan buat mengendalikan kekuasaan spritual.

Realitas yang terjadi pada dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol kepercayaan serta nilai-nilai spritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga abad modern kini .

Mellenium III adalah era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di aneka macam bidang pula disebut abad terbaru. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis telah terdapat sebelum abad modern demikian juga penemuan-inovasi baru (discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan menurut saat ke waktu. Penemuan-penemuan tadi sangat bermanfaat bagi umat manusia menjadi kontribusi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang sebagai sentral pembahasan khususnya bagi para pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Sains serta filsafat telah dikenal semenjak awal perkembangan Islam, bahwa masih ada arus intelektual pada kalangan orang-orang Islam buat menanggapi pemikir Yunani dan dampak berdasarkan rangsangan itu ternyata, mereka lebih membuat serta kreatif yang pada akhirnya membantu perkembangan-perkembangan pada Eropa. Akan tetapi dalam perkembangannya sains serta filsafat mengalami kemunduran pada tangan umat Islam.

Masalah sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin melahirkan ilmu pengetahuan yang obyektif dengan pendekatan saintifik, ad interim di sisi lain kecenderungan ad interim ilmuan muslin supaya ilmu pengetahuan lahir berdasarkan Islam menurut Alquran dan Hadis, menggunakan pendekatan teologi normatif (keagamaan). Berkenaan menggunakan kajian tentang ilmu pengetahuan pada kaitannya menggunakan sekularisasi sangat krusial buat dikaji, hal tadi akan sanggup dipahami bagaimana urgennya islamisasi ilmu pengetahuan. Berangkat menurut warta yang telah diuraikan tersebut, maka yg menarik buat ditinjau, apa yg dimaksud menggunakan sekularisasi serta Islamisasi ilmu pengetahuan ? Lalu bagaimana sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan dilihat dari aspek ontologis, epistemologis serta aksiologisnya?

II. Defenisi Sekularisasi serta Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi asal berdasarkan bahasa Inggris "Secular" yg merupakan kata sifat yang berarti sekuler, duniawi. Dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:

"Secularism is an ethical system founded of the principles of natural morality and independent of revealed religion or supernaturalism" 

"Sekularisme merupakan suatu sistem etis (peradaban) yang berdasarkan dalam prinsip-prinsip moralitas yg dialami dan terlepas dari kepercayaan yg diwahyukan atau hal-hal yg gaib".

Dari kata sekularisme ini dibuat menjadi kata kerja "Secularize" yg diartikan dengan "menerapkan pendidikan kepada hal duniawi (bukan kepercayaan )", atau yg biasa pula diistilahkan menggunakan "sekularisasi". Arti sekularisasi itu sendiri menurut segi bahasa yaitu: hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang nir didasarkan pada ajaran kepercayaan . Adapun kata islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan memasukkan unsur agama, pada hal ini agama Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna serta tujuan hayati insan berdasarkan ajaran Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu terkini yg dihasilkan oleh global Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.

Ungkapan islamisasi ilmu dalam awalnya dicetuskan oleh Prof. Syed Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. Sebelumnya almarhum Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu goresan pena tentang islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut metodogi keislaman telah ada sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein Nasr. Belakangan, gagasan islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi serta institut yang didirikannya, yaitu "Institut Pemikiran Islam Antarbangsa". Adapun islamisasi ilmu pengetahuan berdasarkan Prof Alatas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah ilmu yang merujuk pada upaya mengeliminir unsur-unsur dan konsep-konsep pokok yang membangun kebudayaan serta peradaban Barat, khususnya pada ilmu-ilmu humanisme. Termasuk dalam unsur-unsur serta konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin kemanusiaan dan tekanan kepadanya serta penguasaan drama serta strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep misalnya inilah yang mengakibatkan ilmu yg nir sepenuhnya sahih itu beredar keseluruh dunia. Setelah melewati proses pada atas, ke pada ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur serta konsep-konsep utama keislaman.

Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yg sahih, yaitu ilmu yang sesuai menggunakan fitrah. Unsur-unsur serta konsep-konsep utama keislaman yg dimaksud adalah manusia, din, 'ilm, dan ma'rifah, pesan tersirat, 'adl, 'amal, adab, dan sebagainya. Jadi islamisasi ilmu itu adalah pembebasan ilmu menurut pemahaman yg berasaskan pada idologi, makna serta ungkapan sekular. Adapun ilmu pengetahuan dapat dikatakan menjadi hasil bisnis pemahaman insan yg disusun pada suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-aturan tentang hal perihal yang diselidikinya (alam, manusia serta pula kepercayaan ) sejauh yg bisa dijangkau daya pemikiran insan yg dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara realitas, riset serta ekperimental.

Kata ontologi, epistemologi serta aksiologi, secara etimologis asal dari bahasa Yunani berdasarkan akar istilah ontos, berarti "berada". Episte berarti "pengetahuan". Dan istilah aksiologi berarti "berguna". Ketiga istilah tadi ditambah menggunakan kata logos berarti "ilmu pengetahuan, ajaran teori". Sedangkan dari sisi terminologis, ontologi adalah ilmu hakekat yang memeriksa alam nyata ini, bagaimana keadaan yg sebenarnya. Epistemologi adalah ilmu yg membahas secara mendalam segenap proses dalam usaha memperoleh pengetahuan. Aksiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang kegunaan ilmu atau hakekat nilai yang terkandung pada suatu disiplin ilmu. Demikian sekularisasi dan islamisasi ilmu pengetahuan jajak ontologis, epistemologis serta aksiologis bisa diartikan sebagai sebuah upaya melepaskan keterkaitan urusan ilmu pengetahuan berdasarkan unsur-unsur kepercayaan dan di sisi lain muncul koreksi khususnya berdasarkan kalangan ilmuan muslim buat melakukan bisnis kepercayaan , pada hal ini agama Islam, menggunakan pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hayati insan menurut ajaran Islam ke pada ilmu pengetahuan. Dan berusaha membuat ilmu pengetahuan itu sarat nilai baik dari segi hakekat empiris, warta empiris maupun manfaat yang diperoleh menurut suatu ilmu.

III. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis, berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, lantaran dipandang nir relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan serta dicermati sebagai pra ilmu yg hanya bergayut menggunakan intuisi (global rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan serta serta segala yg berbau mitos serta bernuansa gaib sebagai sesuatu yg berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa jua diklaim menggunakan desakralisasi (melepaskan diri berdasarkan segala bentuk yg bersifat sakral). Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak memiliki tujuan dan maksud. Lantaran alam adalah benda mangkat yang netral. Tujuannya sangat dipengaruhi oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam buat kepentingan insan semata.

Sebuah disiplin ilmu pula hendak dipertahankan keobyektifan tujuan maka segala yg terkait dengan kepercayaan , pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan obyektif. Hal ini sinkron menggunakan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme serta empirisme memandang bahwa sumber pengetahuan yg absah adalah empiris (pengalaman). Sebagai konsekuensi menurut epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai.

IV. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi menurut ilmu-ilmu terkini yang didapatkan sang dunia Barat yg cenderung bebas nilai berdasarkan tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa empiris alam semesta, empiris sosial dan historis terdapat aturan-aturan yg mengatur serta hukum itu adalah kreasi Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka empiris alam semesta tidak netral tapi memiliki maksud serta tujuan. Hal ini disinyalir pada firman Allah SWT pada QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا

Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau nir membangun ini (alam) menggunakan sia-sia"

Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mempelajari ayat-ayat Alquran karena sebagian ayat Alquran memasuki daerah kajian empiris serta historis sebagai akibatnya kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka buat dibuktikan serta dihadapkan menggunakan metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca jua segala upaya penelitian ilmiah yg bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-lima). Islamisasi ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat menggunakan nilai-nilai moral (moral value) dengan istilah lain ilmu itu nir netral nilai melainkan pada ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur dari ajaran Islam yg mengkristal dalam akar-akar Ilahi.

Seorang sarjana terkemuka yg memperhatikan kasus islamisasi ilmu pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip sang Ziaduddin Sardan, pada bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yg sifatnya dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan serta dihapuskan. Dan ke 2 sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan, sementara sistem yang akan timbul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi menjadi bagian integral menurut ideologi. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan sebagai krusial bagi kita khususnya umat Islam guna meng-counter pengaruh-impak sekularisasi Barat yang bebas nilai.

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM FAZLUR RAHMAN

Pembaharuan Pendidikan Islam, Fazlur Rahman
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah friksi yg begitu hebat sang penetrasi Barat terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa mundurnya umat Islam itu bila dihadapkan menggunakan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tadi, maka dalam abad ke-20 mulailah diadakan usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan insan termasuk pada bidang pendidikan.

Manurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan bisnis-bisnis pembaharuan Pendidikan Islam, namun global pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-sahih diarahkan pada tujuan yg positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu buat menyelamatkan umat Islam serta pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan sang efek gagasan Barat yg dating melalui aneka macam disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yg mengancam baku-baku moralitas tradisional Islam. (Rahman, 1984 : 86)

Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama menggunakan cabang-cabang ilmu pengetahuan terbaru.

Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler terkini. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mendapat pendidikan sekuler modern yang sudah berkembang pada umumnya pada Barat serta mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan menurut mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk tabiat pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa menggunakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan rakyat, (dua) memungkinkan para ahli yg berpendidikan terbaru menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yg lebih tinggi, memakai perspektif Islam buat membarui kandungan juga orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 : 131)

Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yg satu dengan yang lainnya. Sehingga bila pembentukan tabiat menggunakan nilai-nilai Islam yang dilakukan dalam pendidikan taraf pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia belia serta gampang menerima kesan, tanpa sesuatu pun yg dilakukan buat mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang sudah mencapai taraf yg tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan akbar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yg luas (Rahman, 1984 : 131).

Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang nir perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat eksklusif (misalnya logika), serta segudang karya mengenai hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya pada banyak sekali disiplin zaman pertengahan serta menekankan dalam bidang hadits, bahasa serta kesusastraan Arab dan prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).

Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, usang ketika belajar diperpanjang dan diadaptasi dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah serta akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi sudah dimulai dilakukan upaya-upaya yg ditujukan buat menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138)

Akan namun menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang misalnya diuraikan pada atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis serta hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yg lama dengan ilmu pengetahuan yg terbaru. Situasi ini diperburuk lagi menggunakan masih minimnya jumlah buku-buku yg tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pedagogi akan tetap mandul sekalipun murid memiliki bakat dan kemauan, pada lain pihak pengajar-guru yang berkualitas serta professional dan memiliki pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu tidak akan dihasilkan pada skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat syarat yangh demikian ini, Rahman mencoba memperlihatkan penyelesaiannya.

Oleh karenanya, buat mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tadi, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam terbaru sebagai sangat krusial.

1. Perumusan Masalah
Penelitian ini menyelidiki pandangan seorang sarjana Muslim yg memiliki 2 tradisi lingkungan pendidikan lingkungan pendidikan Deoband, serta lingkungan pendidikan terkini Barat yakni Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yang sangat urgen dibahas di sini merupakan tentang sifat dari sistem pendidikan Islam.

Dari latar belakan kasus yg diuraikan pada atas bisa diketahui bahwa dalam masa terbaru ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada beberapa problerm pendidikan.

Oleh karenanya yg menjadi kasus pokok dalam tulisan ini adalah 
Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman? 
Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu ? 

2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yg perlu dielaborasi atau dijelaskan supaya mampu lebih terfokus yang nir bias sang beragam pengertian serta interpretasi pada menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan Islam
Istilah education pada bahasa Inggris berasal menurut bahasa latin educere berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke pada kepala seorang. Dari pengertian istilah ini terdapat tiga hal yg terlibat ; Yaitu imu, proses memasukkan serta kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk pada ketua (Langgulung, 1992 : 4).

Dalam bahasa Arab terdapat beberapa istilah yang biasa dipergunakan pada pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Namun berdasarkan beberapa ahli pendidikan, terdapat disparitas antara ketiga kata itu. Ta’lim hanya berarti pedagogi, jadi lebih sempit berdasarkan pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah yang lebih sering digunakan di negara-negara berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang, tumbuh-flora menggunakan pengertian memelihara atau membela atau menternak. Sementara pendidikan yang diambilm menurut kata education itu hanya buat insan saja (Langgulung, 1992 : 4-5).

Pemakaian ta’dib, menurut al-Atas, lebih tepat, karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, namun juga nir luas mencakup makhluk makhluk selain manusia. Ta’dib sudah mencakup ta’lim dan tarbiyah. Selain itu kata ta’dib erat hubunganya dengan syarat ilmu pada Islam yg termasuk pada isi pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).

Dalam kamus pada masa ini Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan menjadi proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laris menggunakan cara pedagogi, penyuluhan, serta latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991 : 353).

Kata Islam pada pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan eksklusif yaitu pendidikan yg berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap seorang agar beliau sebagai seorang Muslim yang semaksimal mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan pendidikan Islam menjadi upaya pengembangkan fitrah manusia menggunakan ajaran Islam agar terwujud kehidupan yang makmur dan senang (Zaini, 1986 : 12).

Pendidikan Islam yg dimaksud pada penelitian ini nir jauh tidak sinkron dengan rumusan yang telah dikemukakan sang para ahli pendidikan Islam pada atas. Yang dimaksud pendidikan Islam pada penelitian ini merupakan bimbingan yg diberikan kepada seorang atau grup orang pada orang lain atau rakyat agar orang lain atau warga itu berkembang secara aporisma sinkron dengan petunjuk ajaran Islam. 

2. Modern
Istilah terbaru asal berdasarkan bahasa Ingrris, “modern” yg berrti sejarah terkini (Echols dan Shadily, 1990 : 384). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata terbaru diartikan menjadi yg terkini atau terkini (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan dari Harun Nasution, istilah terbaru berarti masa yang dimuali berdasarkan tahun 1800 M sampai seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yang dimaksud menggunakan kata terkini merupakan misalnya yg dikemukakan sang Harun Nasution yaitu masa atau periode sejarah global yang dimuai dari tahun 1800 M semapai kini ini.

Meskipun pendidikan Islam sudah poly dibahas oleh para ahli pendidikan, tetapi masih sedikit yang menelaah pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.

Buku-buku yang membahas tentang pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam sang Hasan Langgulung, Konsep Pendidikan Islam oleh Naquib al-Attas, Sistem Pendidikan Islam oleh Muhammad Quthb, dan Horison Pendidikan Islam sang S. Ali Asyraf.

Khusus kajian terhadap Fazlur Rahman, kajian yang terdapat tekananya lebih poly dalam gagasannya tentang aturan serta politik. Kajian-kajian tersebut diantaranya The Islamic Concept of The State karya John L. Esposito, Islam serta Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, dan Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.

Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam merupakan salah satu proyek sentralnya, namun penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan. Sehingga pemikiran tentang gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya Fazlur Rahman secara memadai belum banyak dikenal sang kalangan pemerhati Islam kontempoter di Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman dalam bidang filsafat dan aturan Islam. 

Semenatara buat melihat pemikiran Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur Rahman, baik pada bentuk buku, artikel juga makalah. Setelah itu dilakukan telaah dan penjabaran, mana yang membahas atau yang ada kaitannya menggunakan tema pendidikan Islam.

Dari survei kepustakaan mengenai karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan dengan kerangka berpikir pemikiran pendidikan Islam serta latar belakannya, asal uatama yg dipakai diantaranya : (1) Islam, (2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (tiga) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali serta (5) Revival and Reform in Islam. 

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini dalam garis besarnya terdapat tiga, yaitu :
  • Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman 
  • Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman mengenai solusi atas aneka macam problematika pendidikan Islam terbaru itu 
Sedangkan manfaat penelitian diarahkan pada 2 hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik dan perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua, Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan menggunakan teori-teori baru mengenai Pendidikan Islam. Diharapkan menurut sini bisa dimulai proyek akbar pembaharuan pendidikan pada Indonesia yg lebih mengklaim terjadinya kesadaran.

B. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk pada jenis penelitian kepustakaan (library re­search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.

Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam.untuk memperoleh data tentang pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan asal-asal utama berupa kitab -kitab serta makalah-makalah yg terdapat relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan asal-sumber sekunder berupa buku-kitab , kitab -kitab , jurn­al-jurnal yg terkait. 

2. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan historis.

Pendekatan historis untuk menelusuri latar belakang pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam menggunakan mengurai faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya pemikiran tadi..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data dipakai analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yg terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung pada pemikiran Fazlur Rahman tersebut kemudian dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi, pembagian terstruktur mengenai, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman

Penelitian sejarah Islam dalam umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul menurut impak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan rakyat Islam kemudian menumbuhkan semangat kebangkitan Islam. 

Gambaran rakyat Islam pada saat itu ibarat sebuah warga yg semi-mati yg menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-dampak Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh warga muslim dari abad 2 H./8 M. Mereka, dalam waktu itu, dihadapkan menggunakan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Tetapi mereka berhasil mengatasi benturan serta tantangan tadi menggunakan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut merupakan adanya penguasaan politik Islam. Secara mudah Islam pada ketika itu merupakan penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya merupakan syarat serta situasi Islam waktu itu belum terbebani oleh tradisi agama yg semi-meninggal, hal ini sangat tidak selaras dengan syarat serta situasi Islam pada abad 17 M serta lebih spesifik pada akhir abad 18 M.

Akibat kekalahan serta penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis nir mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam serta mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yg baru bangun dan baru bangkit tadi belum siap mengadakan modernisasi yang lebih akbar dan mendasar. Untuk arah kesana diharapkan proses dan ketika yang panjang.

Kondisi obyektif masyarakat Islam yg mengalami stagnasi nir hanya di bidang lahiriyah namun jua pada bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ilham yg berkembang merupakan modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) serta paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yg bhineka. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yg menyerukan peningkatan baku moral dan intelektual buat menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun beliau sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, tetapi seruannya menggugah rakyat Muslim buat mengembangkan serta menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan dia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya sebagai tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) pada Mesir serta Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India buat membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa nalar dan ilmu pengetahuan nir bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan terkini ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119). 

Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini dalam akhirnya melahirkan sejumlah anak didik yg meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yg dimaksudkan oleh kutipan Rahman pada atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya sudah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan serta kemerosotan intelektual.

Ide-inspirasi kreatif yg dimunculkan sang kebanyakan modernis kontemporer dalam biasanya tidak jauh tidak sinkron dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, beserta menggunakan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan pandangan baru membangun peradaban yg Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” global Islam buat maju. 

Karena teknologi yang dipinjam menurut Barat selalu tidak cocok menggunakan rakyat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi nir hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, pula menghambat kebudayaan serta lingkungan Muslim. Solusi yg disampaikan sang Sardar merupakan menyebarkan teknologi yang mencerminkan kebiasaan-kebiasaan budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan serta pemerintahan. 

Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat sudah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang nir terkendali telah menyebabkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban insan, lantaran kehidupan terbaru Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr menentukan spiritualisme menjadi solusi cara lain upaya pembebasan insan modern. Nasr sangat optimis menggunakan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia terkini dalam mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kemarau serta mereka nir menemukan pemuasnya pada ajaran Kristen serta Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak. 

Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi misalnya tercermin melalui kata ruh serta perilaku batin. Inilah yang membedakannya spiritual pada pengertian Barat, yg dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat terbaru bersumber menurut penolakan ruh serta pengingkaran ma’nawiah pada kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri menurut Tuhan dan mereka sebagai tuan bagi kehidupan sehingga terputus menurut spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya buat diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108). 

Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr buat dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yg dikembangkan sang sejumlah pemikir modernis, sebagai akibatnya gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi pada atas, merupakan Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yg paling awal yg menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan. 

Dari dua konsep yg disampaikan dua tokoh tadi tergambar adanya impian memberi rona atau nilai agamis dalam pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan hingga kini , walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar serta kontroversial yg memerlukan ketika usang buat mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”.

Ketiga solusi cara lain di atas masing-masing mengandung karakter yg berbeda. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr serta islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat menggunakan memadukan antara ilmu pengetahuan menggunakan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang membuahkan krisis peradaban terkini menjadi orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga gagasan tadi berada dalam tataran aksiologis.

Kembali ke pokok pertarungan, pemikiran Rahman tokoh modernis yg menjadi sentral penelitian ini nir sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yg membuahkan warta empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana sudah disinggung pada muka. 

Rahman mengakibatkan al-Quran menjadi sentral penelitian (Yuyun, 1993) buat menciptakan konsep-konsep metodologis serta rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” adalah tujuan yg hendak disumbangkan oleh Rahman melalui bisnis keras pada membangun konsep serta merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa 2 tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling populer adalah Rahman bersama dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93). 

Program Rahman yg terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru pada penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada dalam tingkat ontologi serta epistemologi, tidak dalam tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa perkara internal yang wajib diselesaikan sang modernisme pada masa ini. Masalah tersebut, dari Rahman nir relatif diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi wajib diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.

2. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat menurut masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat insan yang serba multi interest serta berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek jua .ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam pada menghadapi barat bekas saingan bila bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yg ada sebagai komplek pihak yg kalah , tidak sama menggunakan kedudakan umat islam klasik dalam ketika itu umat islam merupakan pihak yang menang serta berkuas).

Fenomena tadi, dari Syed Sajjad Husain serta Syed Ali Ashraf, sudah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan .golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan menurut orang -orang yang pikiranya lebih cenderung pada kepercayaan .akibatnya munculah suatu ketergantungan serta kontradiksi antara golongan sekular menggunakan golongan agama.pertentangan ini sudah memperlihatkan diri secara terang-terangan dibeberapa negara misalnya Turki,Mesir,Pakistan serta Indonesia (Arifin, 1993 : 5).

Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam nir diarahkan kepada tujuan yg positip.tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yg dikemukakan oleh Rahman bahwa :

Strategi pendidikan islam yg terdapat kini ini tidaklah benar-sahih diarahkan pada tujuan yg positif,namun lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yg ditimbulkan oleh efek gagasan-gagasan Barat yg datang melalui banyak sekali disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan baku moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).

Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis.akibatnya munculah golongan yg menolak segala apa yg berbau Barat,bahkan adapula yg mengharamkan pengambil alihan ilmu serta teknologinya.sehingga apabila syarat ini terus berlanjut akan dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam.

Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yg bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya pada kehidupan akhirat tadi wajib segera diubah.tujuan pendidikan islam wajib berorientasi kepada klehidupan global serta akhirat sekaligus serta bersumber dalam AL-Qur’an.menurutnya bahwa :

Tujuan pendidikan pada pandangan AL-Qur’an adalah buat membuatkan kemampuan inti insan dengan cara yg sedemikian rupa sebagai akibatnya ilmu pengetahuan yg diperolehnya akan menyatu menggunakan kepribadian kreatifnya (Ibid).

Kedua, beban psikologis umat Islam pada menghadapi Barat wajib segera dihilangkan.untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan agar dilakukan kajian Islam yg menyeluruh secara historis serta sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam misalnya teologi,aturan,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,serta filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an menjadi penilai.sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang sudah berkembang pada sejarah itulah yg memberikan kontiunitas pada wujud intelektual serta spiritual rakyat Muslim.sehingga melalui upaya ini diperlukan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam pada menghadapi Barat. 

Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan nir terdapat yg galat, yg salah merupakan penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, sudah ditemukan saintis Barat, tetapi sebelum mereka memanfaatkan energi listrik menurut penemuan itu (yg dimaksud memanfaatkan tenaga hasil reaksi inti yang bisa ditransformasikan menjadi tenaga listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yg berbguna, mereka membentuk bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan menjadi ajang perlombaan. Para saintis lalu menggunakan cemas mencari jalan buat menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. 

Rahman juga menyatakan bahwa di pada Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan buat semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, saat Allah mengajarkan bagaimana Daud menciptakan baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yg pernah diajarkan sang Harut serta Marut pada manusia, itu pula merupakan galat satu jenis al-’ilm meskipun buruk pada arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak yg menyalahgunakan sihir itu buat memisahkan suami menurut istrinya. Begitu juga hal-hal yang memberi wawasan baru pada logika termasul al-’ilm (Rahman, 1992 : 69) .

b. Sistem Pendidikan
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu sudah melanda semua negara Muslim atau negara yang dominan penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dibagi dua sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut disparitas dalam struktur luarnya saja akan tetapi jua disparitas yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.

Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang asal menurut Al-Qur’an. Di pada Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yg sesungguhnya adalah membentuk insan yang taat kepada Tuhan serta akan selalu berusaha buat patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk memahami seluruh kenyataan di dalam serta pada luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem terbaru, yg tidak secara spesifik mengesampingkan Tuhan, berusaha buat tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya tentang dari-usul alam raya atau kenyataan dengan mana insan selalu berafiliasi setiap harinya.

Di tengah maraknya duduk perkara dikotomi sistem pendidikan Islam tadi, Rahman berupaya buat menawarkan solusinya. Menurutnya buat menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tadi adalah menggunakan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi serta nir bisa dipisah-sisihkan (Nafis, 1995 : 251)

Dengan demikian di pada kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum misalnya ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu kepercayaan seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis. 

Menurut irit penyusun, metode integrasi misalnya yang ditawarkan oleh Rahman itulah yg pernah diterapkan dalam masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh serta seimbang antara ilmu-ilmu yg diperlukan buat mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu generik) maupun ilmu-ilmu buat mencapai kebahagiaan pada akhirat (ilmu-ilmu agama).

Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya interaksi fungsional antara ilmu-ilmu generik serta ilmu-ilmu kepercayaan , sudah berhasil melahirkan ulama-ulama yang mempunyai pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu serta memiliki pengetahuan luas serta mendalam dalam masa klasik. Ibn Sina contohnya, selain ahli agama, pula seorang psikolog, pakar pada ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian jua dengan Ibn Rusyd, dia di samping menjadi pakar aturan Islam, jua pakar pada bidang matematika, ekamatra, astronomi, akal, filsafat serta ilmu pengobatan (Nata, 1993 : 31)

Adanya ekuilibrium antara ilmu-ilmu generik (dunia) dengan ilmu-ilmu kepercayaan pada suatu kurikulum pendidikan Islam, dari Hasan Langgulung, oada gilirannya akan melahirkan spesialisasi dalam bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan, sesuai menggunakan tingkat pendidikan, sesuai menggunakan spesilalisasi sempit pada tingkat pendidikan tinggi, pada masjid-masjid dan rumah-tempat tinggal hikmah (universitas-universitas) lalu hari sampai kini (Hutagalung, 1992 : 117-118)

Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya merupakan satu yaitu dari berdasarkan Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan pada pada Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yg dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah serta sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yg diperoleh manusia menggunakan memakai indera, akal serta hatinya. Pengetahuan yg diwahyukan memiliki kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yg diperoleh, kebenarannya tidak mutlak (Rahman, 1984: 72)

Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari melalui 2 jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :


c. Anak Didik (Peserta Didik) 
Anak didik yang dihadapi sang global pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dibagi dua antara ilmu-ilmu kepercayaan menggunakan ilmu-ilmu generik ditumbangkan di forum-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama menggunakan ilmu-ilmu generik menyebabkan rendahnya kualitas intelektual murid serta keluarnya pribadi-langsung yang pecah (split personality) menurut kaum Muslim. Misalnya seseorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yg sama dia dapat sebagai pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dibagi dua sistem pendidikan tadi mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yg mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. (Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian menurut mereka lebih berperan menjadi pemain-pemain teknis pada perkara-kasus kepercayaan . Sementara ruh kepercayaan itu sendiri jarang sahih digumulinya secara intens dan akrab.

Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan buat mengatasi perkara tadi pada atas. Pertama, murid harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan buku suci bukan hanya dijadikan menjadi sumber pandangan baru moral akan tetapi juga bisa dijadikan menjadi acum tertinggi buat memecahkan perkara-perkara pada kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menunjukkan metode sistematisnya dalam memahami serta menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa sekarang. Gerakan pertama memiliki 2 langkah.
  1. Orang harus memahami arti atau makna menurut suatu pernyataan menggunakan mengkaji situasi serta persoalan historis di mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mempelajari ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro pada batasan-batasan rakyat, kepercayaan , norma-istiadat, forum-lembaga serta tentang kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada waktu kehadiran Islam, khususnya di lebih kurang Mekkah harus dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
  2. Menggenerasikan jawaban-jawaban khusus tadi dan menyatakannya menjadi pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral serta sosial generik yg bisa disaring berdasarkan ayat-ayat spesifik pada sinaran latar belakang sosio-historis yang tak jarang dinyatakan. Selama proses ini, perhatian wajib diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu holistik sehingga setiap arti eksklusif yang difahami, setiap hukum yang dinyatakan serta setiap tujuan yg dirumuskan akan koheren dengan yg lainnya. Al Qur’an menjadi suatu holistik memang menanamkan sikap yg pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan global yg kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika dua momen gerakan ganda ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hayati dan efektif kembali (Ibid) Metode penafsiran yg ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai mekanisme ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki serta Syathibi mengenai betapa mendesaknya tahu Al-Qur’an menjadi suatu ajaran yang padu serta kohesif ke pada gerakan pertama berdasarkan metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, menaruh materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan keseluruhan. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial serta filsafat (Rahman, op.cit : 20)

d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk menerima kualitas pendidik misalnya itu di forum-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam pada beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu yang sanggup menafsirkan hal-hal yang usang dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yg baru sebagai alat yang bermanfaat buat idealita masih sulit ditemukan dalam masa modern (Rahman, Op.cit. : 139). Masalah kelangkaan energi pendidik seperti ini telah melanda hampir seluruh negara Islam.

Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik misalnya itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut serta mempersiapkan murid yang mempunyai bakat-bakat terbaik dan memiliki komitmen yg tinggi terhadap lapangan kepercayaan (Islam). Anak didik misalnya ini wajib dibina serta diberikan bonus yg memadai buat membantu memnuhi keperluannya pada peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Jika hal ini nir segera dilakukan maka upaya buat menciptakan pendidik yang berkualitas nir akan terwujud. Sebab hampir sebagian akbar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yg gagal memasuki karir-karir yg lebih basah.

Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yang nisbi cerdas atau memilih sarjana-sarjana terkini yang telah memperoleh gelar doktor pada universitas-universitas Barat serta sudah berada di forum-forum keilmuan tinggi sebagai guru besar -pengajar besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik wajib dilatih pada sentra-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat (Rahman, Op.cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu beliau menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.cit : 123). Atas gagasan Rahman ini, Institut yg dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal terencana ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku dan suntingan-suntingan menurut naskah-naskah klasik (Rahman, Loc.cit). Kasus institut ini melukiskan sudah lahirnya kesarjanaan yg kreatif dan bertujuan.

Gagasan Rahman itu juga pernah diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN yg potensial buat melanjutkan studinya ke universitas pada negeri Barat yang memiliki pusat-pusat studi Islam. Awal menurut imbas positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa diantaranya seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang pengajaran serta penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.

Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset terkini serta kebalikannya menarik para lulusan universitas bidang filsafat serta ilmu-ilmu sosial serta memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik misalnya Hadis, serta yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini tampak Rahman ingin menaruh bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yg lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.

Kelima, menggiatkan para pendidik buat melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan mempunyai tujuan. Di samping menlulis karya-karya mengenai sejarah, filsafat, seni, juga wajib mengkonsentrasikannya kembali pada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian serta berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang mempunyai karya yang cantik wajib diberi penghargaan antara lain menggunakan meningkatkan gajinya (Rahman, Loc.cit. : 522)

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM FAZLUR RAHMAN

Pembaharuan Pendidikan Islam, Fazlur Rahman
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh penetrasi Barat terhadap global Islam, yg menciptakan umat Islam membuka mata serta menyadari betapa mundurnya umat Islam itu jika dihadapkan menggunakan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tadi, maka pada abad ke-20 mulailah diadakan bisnis-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan insan termasuk pada bidang pendidikan.

Manurut Fazlur Rahman, meskipun sudah dilakukan usaha-bisnis pembaharuan Pendidikan Islam, namun global pendidikan Islam masih saja dihadapkan dalam beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang terdapat kini ini tidaklah sahih-benar diarahkan dalam tujuan yg positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu buat menyelamatkan umat Islam serta pencemaran serta pengrusakan yg disebabkan sang dampak gagasan Barat yg dating melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam standar-baku moralitas tradisional Islam. (Rahman, 1984 : 86)

Pada dasarnya terdapat 3 pendekatan pembaharuan pendidikan yg dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional serta menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern.

Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler terkini. Pendekatan ini dilakukan menggunakan cara mendapat pendidikan sekuler terkini yang sudah berkembang dalam umumnya di Barat serta mencoba buat “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya menggunakan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan sekuler terbaru ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para pakar yg berpendidikan terbaru menangani bidang kajian masing-masing menggunakan nilai-nilai Islam dalam perangkat-perangkat yg lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam buat membarui kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 : 131)

Kedua tujuan tadi berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan tabiat dengan nilai-nilai Islam yg dilakukan pada pendidikan taraf pertama waktu pelajar-pelajar masih pada usia belia serta gampang mendapat kesan, tanpa sesuatu pun yg dilakukan buat mewarnai pendidikan tinggi menggunakan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai taraf yang tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yg pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yg luas (Rahman, 1984 : 131).

Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat menggunakan materi-materi tambahan yg nir perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (misalnya nalar), dan segudang karya tentang hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam banyak sekali disiplin zaman pertengahan dan menekankan dalam bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).

Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam perkara misalnya ini, usang ketika belajar diperpanjang serta disesuaikan menggunakan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi terkini. Di Indonesia pada taraf akademi sudah dimulai dilakukan upaya-upaya yg ditujukan buat menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138)

Akan namun menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yg seperti diuraikan pada atas nir terdapat, lantaran sifat pedagogi yg umumnya mekanis serta hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yg usang dengan ilmu pengetahuan yg terbaru. Situasi ini diperburuk lagi menggunakan masih minimnya jumlah kitab -buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini menyebabkan, pada satu pihak pedagogi akan tetap mandul sekalipun siswa memiliki bakat serta kemauan, pada lain pihak pengajar-pengajar yg berkualitas serta professional dan mempunyai pikiran-pikiran yang kreatif serta terpadu tidak akan dihasilkan pada skala yg mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat kondisi yangh demikian ini, Rahman mencoba menunjukkan solusinya.

Oleh karena itu, buat mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tadi, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam terkini sebagai sangat krusial.

1. Perumusan Masalah
Penelitian ini mempelajari pandangan seorang sarjana Muslim yang mempunyai 2 tradisi lingkungan pendidikan lingkungan pendidikan Deoband, serta lingkungan pendidikan modern Barat yakni Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yg sangat urgen dibahas pada sini adalah mengenai sifat dari sistem pendidikan Islam.

Dari latar belakan perkara yg diuraikan di atas bisa diketahui bahwa dalam masa modern ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan pada beberapa problerm pendidikan.

Oleh karenanya yang menjadi perkara utama pada goresan pena ini merupakan 
Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman? 
Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam terkini itu ? 

2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yang perlu dielaborasi atau dijelaskan agar mampu lebih terfokus yg tidak bias sang majemuk pengertian serta interpretasi pada menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan Islam
Istilah education pada bahasa Inggris asal berdasarkan bahasa latin educere berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke pada kepala seorang. Dari pengertian kata ini terdapat tiga hal yg terlibat ; Yaitu imu, proses memasukkan serta kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk di ketua (Langgulung, 1992 : 4).

Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang biasa dipergunakan pada pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Tetapi dari beberapa ahli pendidikan, masih ada disparitas antara ketiga kata itu. Ta’lim hanya berarti pedagogi, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah yang lebih acapkali digunakan pada negara-negara berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga dipakai buat hewan, tumbuh-flora menggunakan pengertian memelihara atau membela atau menternak. Sementara pendidikan yang diambilm menurut istilah education itu hanya buat insan saja (Langgulung, 1992 : 4-lima).

Pemakaian ta’dib, dari al-Atas, lebih sempurna, karena nir terlalu sempit sekedar mengajar saja, namun pula nir luas meliputi makhluk makhluk selain insan. Ta’dib sudah mencakup ta’lim serta tarbiyah. Selain itu istilah ta’dib erat hubunganya menggunakan syarat ilmu pada Islam yang termasuk pada isi pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).

Dalam kamus kontemporer Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku menggunakan cara pengajaran, penyuluhan, serta latihan proses mendidik (Peter serta Penny, 1991 : 353).

Kata Islam dalam pendidikan Islam memperlihatkan warna pendidikan eksklusif yaitu pendidikan yg berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seorang supaya beliau menjadi seseorang Muslim yang semaksimal mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan pendidikan Islam menjadi upaya pengembangkan fitrah manusia menggunakan ajaran Islam supaya terwujud kehidupan yang makmur serta senang (Zaini, 1986 : 12).

Pendidikan Islam yg dimaksud pada penelitian ini nir jauh tidak sinkron menggunakan rumusan yg sudah dikemukakan oleh para pakar pendidikan Islam pada atas. Yang dimaksud pendidikan Islam pada penelitian ini adalah bimbingan yg diberikan pada seorang atau kelompok orang pada orang lain atau masyarakat agar orang lain atau warga itu berkembang secara maksimal sesuai menggunakan petunjuk ajaran Islam. 

2. Modern
Istilah terbaru asal berdasarkan bahasa Ingrris, “modern” yang berrti sejarah modern (Echols dan Shadily, 1990 : 384). Di pada Kamus Umum Bahasa Indonesia kata terkini diartikan sebagai yg terbaru atau terkini (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan menurut Harun Nasution, kata modern berarti masa yang dimuali dari tahun 1800 M hingga seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yg dimaksud menggunakan istilah modern adalah seperti yg dikemukakan oleh Harun Nasution yaitu masa atau periode sejarah global yang dimuai dari tahun 1800 M semapai sekarang ini.

Meskipun pendidikan Islam sudah poly dibahas oleh para pakar pendidikan, tetapi masih sedikit yang mengkaji pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.

Buku-kitab yang membahas tentang pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam oleh Hasan Langgulung, Konsep Pendidikan Islam sang Naquib al-Attas, Sistem Pendidikan Islam sang Muhammad Quthb, serta Horison Pendidikan Islam sang S. Ali Asyraf.

Khusus kajian terhadap Fazlur Rahman, kajian yg ada tekananya lebih banyak dalam gagasannya mengenai aturan dan politik. Kajian-kajian tadi diantaranya The Islamic Concept of The State karya John L. Esposito, Islam serta Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, serta Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.

Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam adalah galat satu proyek sentralnya, tetapi penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan. Sehingga pemikiran mengenai gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya Fazlur Rahman secara memadai belum poly dikenal oleh kalangan pemerhati Islam kontempoter pada Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman dalam bidang filsafat dan aturan Islam. 

Semenatara buat melihat pemikiran Fazlur Rahman mengenai solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur Rahman, baik pada bentuk kitab , artikel juga makalah. Setelah itu dilakukan telaah dan pembagian terstruktur mengenai, mana yg membahas atau yg terdapat kaitannya dengan tema pendidikan Islam.

Dari survei kepustakaan mengenai karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan menggunakan paradigma pemikiran pendidikan Islam serta latar belakannya, sumber uatama yang digunakan diantaranya : (1) Islam, (2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (tiga) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali dan (lima) Revival and Reform in Islam. 

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini dalam garis besarnya terdapat tiga, yaitu :
  • Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman 
  • Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam terbaru itu 
Sedangkan manfaat penelitian diarahkan pada dua hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik serta perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua, Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan dengan teori-teori baru mengenai Pendidikan Islam. Diharapkan menurut sini bisa dimulai proyek besar pembaharuan pendidikan di Indonesia yg lebih menjamin terjadinya pencerahan.

B. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yg dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini merupakan penelitian termasuk pada jenis penelitian kepustakaan (library re­search), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.

Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha mendeskripsikan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam.untuk memperoleh data mengenai pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan sumber-asal utama berupa buku-kitab serta makalah-makalah yg terdapat relevansinya menggunakan penyusunan penelitian ini, dan asal-sumber sekunder berupa kitab -buku, kitab -kitab , jurn­al-jurnal yang terkait. 

2. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yg dipergunakan adalah pendekatan historis.

Pendekatan historis buat menelusuri latar belakang pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam dengan mengurai faktor-faktor yg sebagai pemicu lahirnya pemikiran tersebut..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data dipakai analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan buat menganalisis makna yg terkandung pada pemikiran Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung pada pemikiran Fazlur Rahman tadi lalu dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi, penjabaran, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman

Penelitian sejarah Islam pada umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam muncul dari dampak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan warga Islam kemudian menumbuhkan semangat kebangkitan Islam. 

Gambaran masyarakat Islam dalam waktu itu ibarat sebuah warga yg semi-meninggal yg mendapat pukulan-pukulan destruktif atau impak-impak Barat yg menekan. Sebetulnya krisis intelektual serta benturan kultural semacam ini pernah dihadapi sang masyarakat muslim menurut abad 2 H./8 M. Mereka, dalam saat itu, dihadapkan menggunakan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan tantangan tersebut menggunakan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tadi merupakan adanya dominasi politik Islam. Secara mudah Islam pada ketika itu merupakan penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi serta situasi Islam ketika itu belum terbebani oleh tradisi kepercayaan yang semi-mati, hal ini sangat tidak sinkron dengan syarat dan situasi Islam pada abad 17 M serta lebih spesifik pada akhir abad 18 M.

Akibat kekalahan dan penyerahan politik, membuahkan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan pulang warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam serta mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tadi belum siap mengadakan modernisasi yang lebih besar serta mendasar. Untuk arah kesana diharapkan proses dan saat yang panjang.

Kondisi obyektif masyarakat Islam yg mengalami kemacetan tidak hanya pada bidang lahiriyah namun pula di bidang intelektual, maka penguasaan politik serta teknologi penjajah Barat segera menerima tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ilham yg berkembang merupakan modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) serta paham rasionalisme, sekalipun pada tatanan yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yg menyerukan peningkatan baku moral serta intelektual buat menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun beliau sendiri nir melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah warga Muslim buat membuatkan serta berbagi disiplin-disiplin filosofis, serta dia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara generik. Maka, selanjutnya sebagai tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir serta Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India buat membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa logika dan ilmu pengetahuan nir bertentangan menggunakan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke pada kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yg sekuler (Abduh, 1970 : 107-119). 

Upaya serta tokoh-tokoh pembaharu ini dalam akhirnya melahirkan sejumlah anak didik yg meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan sang kutipan Rahman di atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya sudah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme menjadi solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual.

Ide-inspirasi kreatif yang dimunculkan sang kebanyakan modernis pada masa ini pada umumnya nir jauh berbeda menggunakan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang eksklusif secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, ahli fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan inspirasi menciptakan peradaban yg Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat bisa “mendongkrak” dunia Islam untuk maju. 

Karena teknologi yang dipinjam berdasarkan Barat selalu nir cocok dengan rakyat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi nir hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, pula Mengganggu kebudayaan dan lingkungan Muslim. Solusi yang disampaikan sang Sardar merupakan mengembangkan teknologi yg mencerminkan norma-kebiasaan budaya Islam, pada aspek sejarah, ekonomi, pendidikan serta pemerintahan. 

Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat sudah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral serta spiritual alam. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali sudah menyebabkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban insan, lantaran kehidupan modern Barat sudah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih spiritualisme menjadi solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr sangat optimis menggunakan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia terkini pada mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat terkini hampir-hampir bosan menggunakan tradisi ilmiah teknologis yg kering dan mereka nir menemukan pemuasnya dalam ajaran Kristen serta Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak. 

Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti tercermin melalui istilah ruh serta perilaku batin. Inilah yang membedakannya spiritual pada pengertian Barat, yg dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat terkini bersumber berdasarkan penolakan ruh serta pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari Tuhan dan mereka sebagai tuan bagi kehidupan sebagai akibatnya terputus menurut spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan menjadi obyek serta sumber daya buat diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108). 

Fenomena inilah yg dipercaya paling krusial oleh Nasr buat dicarikan penyelesaiannya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan sang sejumlah pemikir modernis, sebagai akibatnya gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, 2 tokoh modernis yg paling awal yg menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan. 

Dari 2 konsep yg disampaikan 2 tokoh tersebut tergambar adanya cita-cita memberi rona atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai kini , walaupun telah sebagai tema sentral yg trendi pada kalangan cendekiawan Muslim, masih adalah gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan saat lama buat mencapai apa yg dikehendaki dengan “sains yang Islami”.

Ketiga solusi cara lain di atas masing-masing mengandung karakter yg tidak selaras. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr serta islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat menggunakan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu merupakan posisinya yang berakibat krisis peradaban terkini sebagai orientasi nilai-nilai Islam. Dalam rapikan ilmu, ketiga gagasan tersebut berada dalam tataran aksiologis.

Kembali ke utama permasalahan, pemikiran Rahman tokoh modernis yg menjadi sentral penelitian ini tidak sebagaimana tokoh-tokoh pemikir pada masa ini lainnya yg membuahkan informasi empirik kehidupan terkini menjadi sentral obyek gagasan, sebagaimana telah disinggung pada muka. 

Rahman mengakibatkan al-Quran menjadi sentral penelitian (Yuyun, 1993) buat menciptakan konsep-konsep metodologis serta rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan oleh Rahman melalui usaha keras dalam menciptakan konsep dan merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa dua tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling terkenal adalah Rahman bersama menggunakan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93). 

Program Rahman yg terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru pada penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada dalam taraf ontologi serta epistemologi, tidak dalam tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa perkara internal yang harus diselesaikan sang modernisme kontemporer. Masalah tersebut, dari Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi wajib diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.

2. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan menggunakan tantangan yang jauh lebih berat menurut masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi serta idealisme umat manusia yg serba multi interest serta berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hayati yang multi komplek jua .ditanbah lagi menggunakan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yg kalah , berbeda menggunakan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah pihak yg menang serta berkuas).

Fenomena tadi, dari Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, sudah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan .golongan-golongan ini menggunakan cepat meraih kekuasaan berdasarkan orang -orang yg pikiranya lebih cenderung kepada kepercayaan .akibatnya munculah suatu ketergantungan dan kontradiksi antara golongan sekular dengan golongan kepercayaan .pertentangan ini sudah memberitahuakn diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki,Mesir,Pakistan serta Indonesia (Arifin, 1993 : lima).

Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam nir diarahkan kepada tujuan yang positip.tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata serta bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan sang Rahman bahwa :

Strategi pendidikan islam yg terdapat sekarang ini tidaklah sahih-sahih diarahkan kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu buat menyelamatkan pikiran kaum Muslimin menurut pencemaran atau kerusakan yg disebabkan oleh efek gagasan-gagasan Barat yg tiba melalui berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan baku moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).

Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yg dikembangkan diseluruh global Islam secara universal bersifat mekanis.akibatnya munculah golongan yg menolak segala apa yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan bisa mengakibatkan kemunduran umat Islam.

Menurut Rahman, ada beberapa hal yg haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif serta cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tadi harus segera diubah.tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan global serta akhirat sekaligus dan bersumber dalam AL-Qur’an.menurutnya bahwa :

Tujuan pendidikan pada pandangan AL-Qur’an merupakan buat berbagi kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sebagai akibatnya ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya (Ibid).

Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat wajib segera dihilangkan.untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tadi,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yg menyeluruh secara historis serta sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,aturan,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,menggunakan berpegang pada AL-Qur’an menjadi penilai.sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang pada sejarah itulah yg memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual rakyat Muslim.sehingga melalui upaya ini dibutuhkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat. 

Ketiga, perilaku negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan jua harus dirubah. Sebab dari Rahmah, ilmu pengetahuan nir ada yang keliru, yang galat adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari inovasi itu (yg dimaksud memanfaatkan tenaga hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan sebagai tenaga listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka membentuk bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis lalu dengan cemas mencari jalan buat menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. 

Rahman pula menyatakan bahwa di pada Al-Qur’an istilah al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk seluruh jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yg pernah diajarkan sang Harut serta Marut kepada insan, itu jua merupakan salah satu jenis al-’ilm meskipun buruk pada arti praktek serta pemakaiannya. Sebab poly yang menyalahgunakan sihir itu buat memisahkan suami berdasarkan istrinya. Begitu juga hal-hal yg memberi wawasan baru dalam logika termasul al-’ilm (Rahman, 1992 : 69) .

b. Sistem Pendidikan
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu sudah melanda seluruh negara Muslim atau negara yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dibagi dua sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja akan tetapi pula disparitas yg lahir menurut pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.

Sistem tradisional antik dalam Islam berdasarkan atas seperangkat nilai-nilai yg berasal menurut Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yg sesungguhnya merupakan membentuk insan yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha buat patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yg dituliskan pada kitab kudus. Orang semacam ini akan berusaha buat tahu semua kenyataan pada pada dan di luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang nir secara spesifik mengesampingkan Tuhan, berusaha buat nir melibatkan-Nya pada penjelasannya tentang asal-usul alam raya atau fenomena menggunakan mana insan selalu berhubungan setiap harinya.

Di tengah maraknya dilema dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya buat menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah menggunakan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama menggunakan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi serta nir bisa dipisah-pisahkan (Nafis, 1995 : 251)

Dengan demikian di dalam kurikulum juga silabus pendidikan Islam wajib tercakup baik ilmu-ilmu generik misalnya ilmu sosial, ilmu-ilmu alam serta sejarah global maupun ilmu-ilmu agama misalnya fiqih, kalam, tafsir, Hadis. 

Menurut ekonomis penyusun, metode integrasi misalnya yang ditawarkan oleh Rahman itulah yang pernah diterapkan dalam masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh serta seimbang antara ilmu-ilmu yg diperlukan buat mencapai kesejahteraan di global (ilmu-ilmu umum) juga ilmu-ilmu buat mencapai kebahagiaan pada akhirat (ilmu-ilmu kepercayaan ).

Pendekatan integralistik misalnya itu, yg melihat adanya interaksi fungsional antara ilmu-ilmu generik serta ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif serta terpadu dan memiliki pengetahuan luas dan mendalam dalam masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain pakar kepercayaan , jua seseorang psikolog, pakar dalam ilmu kedokteran serta sebagainya. Demikian pula dengan Ibn Rusyd, ia pada samping menjadi pakar hukum Islam, juga pakar pada bidang matematika, fisika, astronomi, nalar, filsafat serta ilmu pengobatan (Nata, 1993 : 31)

Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu generik (dunia) dengan ilmu-ilmu kepercayaan pada suatu kurikulum pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung, oada gilirannya akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan, sinkron dengan taraf pendidikan, sesuai menggunakan spesilalisasi sempit pada tingkat pendidikan tinggi, di masjid-masjid dan tempat tinggal -tempat tinggal nasihat (universitas-universitas) lalu hari hingga sekarang (Hutagalung, 1992 : 117-118)

Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu dalam prinsipnya merupakan satu yaitu berasal berdasarkan Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya menurut Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan memakai indera, logika serta hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang mutlak sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya nir mutlak (Rahman, 1984: 72)

Dari uraian pada atas dapat dikatakan bahwa ilmu Allah bisa diketahui serta dipelajari melalui 2 jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah serta jalur ayat-ayat kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :


c. Anak Didik (Peserta Didik) 
Anak didik yg dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat menggunakan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu kepercayaan dengan ilmu-ilmu generik ditumbangkan pada forum-forum pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu generik mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual murid dan keluarnya eksklusif-langsung yang pecah (split personality) dari kaum Muslim. Misalnya seseorang muslim yang saleh serta taat menjalankan ibadah, pada ketika yg sama dia dapat sebagai pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yg memiliki komitmen spiritual serta intelektual yang mendalam terhadap Islam dari forum-lembaga pendidikan Islam. (Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian berdasarkan mereka lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam kasus-masalah kepercayaan . Sementara ruh agama itu sendiri sporadis benar digumulinya secara intens dan akrab.

Menurut Rahman, beberapa usaha yang wajib dilakukan buat mengatasi kasus tadi pada atas. Pertama, siswa harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan buku suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber ilham moral akan tetapi jua dapat dijadikan menjadi rujukan tertinggi buat memecahkan kasus-masalah pada kehidupan sehari-hari yg semakin kompleks serta menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman memberikan metode sistematisnya pada memahami dan menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri berdasarkan dua gerakan ganda yaitu berdasarkan situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan balik lagi ke masa sekarang. Gerakan pertama memiliki dua langkah.
  1. Orang harus memahami arti atau makna berdasarkan suatu pernyataan menggunakan mempelajari situasi serta masalah historis pada mana pernyataan AL Qur’an tadi adalah jawaban. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai tentang situasi makro dalam batasan-batasan warga , kepercayaan , adat-norma, forum-lembaga serta tentang kehidupan secara menyeluruh di Arabia dalam waktu kehadiran Islam, khususnya di kurang lebih Mekkah wajib dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
  2. Menggenerasikan jawaban-jawaban khusus tersebut serta menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial generik yang bisa disaring menurut ayat-ayat spesifik pada sinaran latar belakang sosio-historis yang tak jarang dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an menjadi suatu holistik sebagai akibatnya setiap arti eksklusif yg difahami, setiap hukum yg dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren menggunakan yg lainnya. Al Qur’an menjadi suatu holistik memang menanamkan sikap yang pasti terhadap hayati serta memenuhi suatu pandangan dunia yg kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika 2 momen gerakan ganda ini dapat dicapai, dari Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hayati serta efektif pulang (Ibid) Metode penafsiran yg ditawarkan Rahman itulah yg disebutnya sebagai mekanisme ijtihad. Dalam metode tadi Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki serta Syathibi tentang betapa mendesaknya tahu Al-Qur’an menjadi suatu ajaran yg padu dan kohesif ke dalam gerakan pertama menurut metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, menaruh materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis serta keseluruhan. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu mencakup: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Rahman, op.cit : 20)

d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk menerima kualitas pendidik misalnya itu pada lembaga-forum pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam di beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yg berkualitas serta profesional dan mempunyai pikiran-pikiran yg kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal yg usang pada bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi serta berakibat hal-hal yang baru menjadi alat yg berguna buat idealita masih sulit ditemukan dalam masa terbaru (Rahman, Op.cit. : 139). Masalah kelangkaan energi pendidik misalnya ini telah melanda hampir seluruh negara Islam.

Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik misalnya itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut serta mempersiapkan siswa yg mempunyai talenta-talenta terbaik serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan kepercayaan (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan bonus yang memadai buat membantu memnuhi keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Apabila hal ini nir segera dilakukan maka upaya buat membangun pendidik yg berkualitas tidak akan terwujud. Sebab hampir sebagian akbar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama merupakan mereka yg gagal memasuki karir-karir yang lebih basah.

Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yg nisbi cerdas atau memilih sarjana-sarjana terkini yang telah memperoleh gelar doktor pada universitas-universitas Barat serta sudah berada pada lembaga-forum keilmuan tinggi menjadi pengajar akbar-pengajar besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, serta sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat (Rahman, Op.cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu beliau menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.cit : 123). Atas gagasan Rahman ini, Institut yang dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal terencana ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku serta suntingan-suntingan menurut naskah-naskah klasik (Rahman, Loc.cit). Kasus institut ini melukiskan telah lahirnya kesarjanaan yang kreatif dan bertujuan.

Gagasan Rahman itu pula pernah diterapkan pada Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga guru IAIN yg potensial untuk melanjutkan studinya ke universitas pada negeri Barat yang memiliki pusat-pusat studi Islam. Awal dari impak positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa diantaranya seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode serta teknik di bidang pengajaran dan penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.

Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang mempunyai pengetahuan bahasa Inggris serta mencoba melatih mereka dalam teknik riset terbaru dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, serta yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini tampak Rahman ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah juga kepada mereka yang lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif serta memiliki komitmen yang bertenaga terhadap Islam.

Kelima, menggiatkan para pendidik buat melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya pulang pada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik pula harus bersunggguh-benar-benar pada mengadakan penelitian serta berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yg mempunyai karya yg indah wajib diberi penghargaan diantaranya menggunakan menaikkan gajinya (Rahman, Loc.cit. : 522)