PERMATA TASAWUF MUHAMMADIYAH MENELADANI SPIRITUAL LEADERSHIP AR FAKHRUDDIN

Permata Tasawuf Muhammadiyah, Meneladani Spiritual Leadership AR. Fakhruddin 
Muhammadiyah menjadi organisasi serta gerakan sosial keagamaan didirikan sang KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada awal abad ke 2 puluh, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 H, bersesuaian dengan tanggal 18 Nopember 1912. Pendirian organisasi ini, antara lain, dipengaruhi sang gerakan tajdîd (reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yg digelorakan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) pada Arab Saudi, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyîd Ridhâ (1865-1935) di Mesir, serta lain-lain. Masing-masing tokoh tadi memiliki corak pemikiran yg khas, tidak sinkron satu menggunakan yang lain. Jika Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi), maka Muhammad ‘Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya terkini dan menempuh jalur pendidikan, dan karenanya, gerakannya lebih bersifat modernis serta populis. Sementara itu, Rasyîd Ridhâ menekankan pentingnya keterikatan pada teks-teks al-Qurân pada kerangka pemahaman Islam, yg dikenal menggunakan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah (kembali pada al-Qur’an serta al-Sunnah). Oleh karena itu, gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak sebagai akar fundamentalisme (al-ushûliyyah) di Timur Tengah (Syafiq A. Mughni, 1998). Dari jajak biografi KH. Ahmad Dahlan, terlihat bahwa betapa pendiri Muhammadiyah itu sangat terkesan serta sedikit poly terpengaruh sang pemikiran-pemikiran tokoh pada atas yg lalu dipadukan dan dikontekstualisasikan dengan setting sosial serta budaya Jawa, serta rakyat Indonesia dalam umumnya. Ketika itu, warga Indonesia berada pada kondisi terjajah, kolot, mundur, miskin, serta keberagamaan sebagian mereka cenderung mengidap penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).

Sebagai gerakan tajdîd (pembaruan), pada memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah memang menyebarkan semangat tajdîd dan ijtihâd (mendayagunakan akal rasional dalam memecahkan serta merogoh konklusi aneka macam masalah aturan dan lainnya yg tidak ada dalilnya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-sunnah), dan menjauhi sikap taklid (mengikuti ajaran agama secara membabi buta, tanpa disertai pemahaman yang memadai terhadap dalil-dalilnya), sehingga di samping dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan pula dikenal menjadi gerakan tajdîd.

Istilah tajdîd pada dasarnya bermakna pembaruan, penemuan, restorasi, modernisasi serta sebagainya. Dalam konteks ini, berdasarkan Ahmad Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah, tajdîd mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah pada bisnis memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati serta pikirannya menggunakan jalan mengenalkan balik ajaran Islam sinkron menggunakan dasar al-Qur’ân serta al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996). Pencerahan hati, pikiran, serta tindakan dalam berislam sungguh sangat krusial digelorakan dewasa ini, mengingat penetrasi serta akulturasi budaya Barat yg sekuler dan rendahnya kualitas sebagian besar umat Islam masih menghantui kehidupan umat Islam Indonesia.

Tajdîd secara harfiah memang memiliki arti pembaruan. Muhammadiyah menjadi gerakan tajdîd, dituntut buat selalu bisa membuat langkah-langkah yang ditempuhnya permanen segar, kreatif, inovatif serta responsif mengikuti perkembangan zaman. Dengan kata lain, Muhammadiyah diharapkan bisa selalu berdiri di hadapan sejarah, pada arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan rakyat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah sanggup melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual. Al-Qurân dan al-Sunnah nir akan pernah ketinggalan zaman, bila umat Islam selalu berusaha menangkap serta meresponi pesan-pesan kedua asal Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan warga secara antisipatif. Muhammadiyah, memang harus terus menerus melakukan pembaruan. Harus selalu terdapat reorientasi, reevaluasi, revisi serta regenerasi terhadap apa yg sudah dan sedang dikerjakan demikian Amien Rais, sang lokomotif reformasi Indonesia. Di samping itu, Muhammadiyah nir boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian serta prestasinya selama ini, terutama pada bidang pendidikan serta amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan kemerosotan moral (M. Amien Rais, 1995).

Sementara itu, ketika bicara tentang tajdîd masa sekarang, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan serta harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tadi adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd pandangan hidup Muhammadiyah, serta tajdîd kepemimpinan (Amien Rais, 1995). Kelima spektrum tajdîd memang sangat relevan menggunakan tuntutan masa sekarang; mengingat dewasa ini fenomena jahiliyah modern juga bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan-ramalan yg bernuansa klenik serta tahayul, kemerosotan moral moral, pornografi serta pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) terutama anak-anak serta perempuan , dan sebagainya. Semua masalah tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi menggunakan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen serta organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi serta intelektualisasi dalam skala yg lebih besar serta merata ke seluruh penjuru tanah air.

Wilayah ijtihâd serta tajdîd Muhammadiyah semenjak awal sebenarnya selalu terfokus dalam persoalan historisitas humanisme yang sekaligus pula menyentuh problem kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan serta pelayanan kesehatan merupakan duduk perkara keumatan yg kongkrit serta otentik. Sikap dan aksi nyata misalnya itulah yang dilakukan sang pendiri Muhammadiyah dalam awal berdirinya dan terus berlangsung sampai sekarang. Karena pandangan hidup amal humanisme serta keagamaan ini perlu menerima ruang dan respons yang lebih luas menurut warga Muhammadiyah dan lainnya.

Bagi KH Ahmad Dahlan yang aktivis Budi Utomo itu, setiap warga wajib membangun di pada dirinya etos kehidupan serta pandangan hidup sosial sebagai seseorang guru dan murid sekaligus. Etos guru-anak didik merupakan inti kekuatan ijtihâd dan jua inti kekuatan gerakan sosial KHA. Dahlan dalam usahanya mencairkan kebekuan ritual, sehingga mempunyai fungsi pragmatis menjadi pemecahan duduk perkara sosial bagi pencarian feodalisasi keagamaan serta pendidikan yang cenderung maskulin (kelelakian). Seluruh rakyat, pria serta wanita, digerakkan buat bekerja menjadi guru sekaligus siswa di pada poly bidang sosial serta kegamaan. Kasus penafsiran surat al-Mâ’ûn menjadi dasar kelahiran forum panti asuhan mencerminkan ide dasar metodologi pragmatis etos pengajar-anak didik dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an (Abdul Munir Mulkhan, 2003).

Nafas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdîd, sesungguhnya terletak dalam pergumulannya menggunakan masalah historisitas keberagamaan insan. Untuk membangkitkan serta menyegarkan balik gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Muhammadiyah dalam konteks pembangunan umat, nir lain dan nir bukan merupakan dengan cara mencermati kembali makna normativitas teks-teks (nash-nash) al-Qurân dan al-Sunnah secara lebih kontekstual, menggunakan cara mengkaitkan serta mempertautkannya secara pribadi atau kontekstualisasi menggunakan persoalan-dilema sosial-historis keberagamaan Islam kontemporer secara aktual (M. Amin Abdullah, dalam “Muhammadiyah dan Pemikiran Keagamaan”).

Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) juga rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah sudah menyumbangkan sesuatu yg paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman ketika kelahirannya juga pada bepergian kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yg dibawa Muhammadiyah adalah terletak dalam sisi amaliahnya yg menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid dan sarana dakwah lainnya. 

Dalam konteks purifikasi, al-Qurân serta al-Sunnah al-shahîhah (yg valid) secara tekstual normatif adalah kerangka berpikir primer pada komitmen aqidah juga pelaksanaan ibadah mahdhah. Dari kerangka berpikir tekstual normatif ini melahirkan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan apabila terdapat perintah (al-Qurân dan al-Sunnah). Sedangkan pada konteks rasionalisasi, al-Qurân serta al-Sunnah al-shahîhah juga permanen menjadi acum pokok, tetapi pada keyakinan dan pengamalan bidang muamalah duniawiyah ini berlaku kaidah ushul: al-ashl fi al-asyyâ’ al-ibâhah (seluruh urusan muamalah duniawiyah boleh dikerjakan) selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan dengan al-Qurân serta al-Sunnah.

Sebagai sebuah gerakan (harakah), tentu poly faktor yg melatarbelakangi kelahirannya. Berbagai ahli dan penulis mengemukakan teori serta alasan buat menunjang teori mereka. Setiap temuan, masing-masing telah diperkaya dan diperkuat oleh berbagai faktor yang mereka yakini kebenarannya. Di antara nama tadi contohnya A. Mukti Ali (The Muhammadiyah Movement, 1985), mantan Menteri Agama, yang menjelaskan paling tidak ada empat faktor yg mendorong lahirnya Muhammadiyah, yaitu kehidupan beragama yg tidak murni, pendidikan kepercayaan yg nir efisien, kegiatan para misionaris Kristen, serta sikap masa bodoh serta bahkan anti kepercayaan menurut kalangan intelegensia (Mukti Ali, 1985).

Sementara itu, Alwi Shihab pada bukunya, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab, 1998), lebih menekankan faktor penetrasi Kristen yg melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah, di samping sejumlah faktor lain yang sangat kompleks, serta faktor terpentingnya masih tetap diperdebatkan. Dalam perdebatan tersebut menurut Alwi, ada dua pandangan utama yang dalam umumnya diterima. Pandangan pertama, mengungkapkan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa Muhammadiyah timbul sebagai respons terhadap pertentangan ideologis yang sudah berlangsung lama pada warga Jawa. Meskipun ke 2 faktor pada atas memainkan kiprah sangat penting, tetapi terdapat faktor lain yg sama pentingnya yang terabaikan menurut pertimbangan analitis para sarjana, yaitu penetrasi pada misi Kristen pada negeri ini dan impak akbar yang ditimbulkannya. Meskipun sang para sarjana Indonesia faktor ini dipandang nir krusial, namun wajib diakui bahwa faktor ini adalah yg terpenting menurut semua faktor yang telah mendorong KHA. Dahlan mendirikan organisasi ini pada tahun 1912.

Dari pendapat yg dikemukakan baik oleh Mukti Ali maupun Alwi Shihab sepertinya, faktor yang paling dominan yg menyebabkan Muhammadiyah lahir adalah faktor kehidupan beragama yang nir murni, pendidikan kepercayaan yg tidak efisien, dan aktivitas para misionaris Kristen yang melakukan kristenisasi terhadap kalangan Muslim tertentu, seperti: kaum fakir-miskin dan kalangan Islam abangan. Kelompok inilah yang gampang menjadi sasaran garap kaum missionaris, lantaran mereka adalah kaum yang lemah secara ekonomi maupun secara akidah.

Sementara itu, menyoroti tentang persyarikatan Muhammadiyah ini, banyak sekali pandangan serta pendapat telah dilontarkan kepada organisasi ini, baik berdasarkan kalangan luar maupun dari kalangan dalam. Kritik internal yang diarahkan pada persyarikatan akhir-akhir ini misalnya, beliau terkesan kering dan tidak lagi sevokal dan seagresif dahulu pada menyerukan inspirasi-ilham pembaruan pemahaman keagamaan, khususnya pada hubungannya dengan realitas historis masyarakat Muslim yang hayati pada tengah-tengah era modernitas. Kritik ini tentu saja bersifat membentuk (konstruktif). Para aktivis dan penerus gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah ini dikesankan “terjebak” dalam rutinitas menjalankan perputaran roda organisasi keagamaan. Jika kritik ini benar, memang relatif ironis: mengapa organisasi yg dahulunya bebas serta leluasa bergerak, akhirnya wajib terjebak pada liku-liku (mekanisme) birokrasi organisasi yg diciptakannya sendiri buat mencapai tujuan yg telah ditetapkan oleh persyarikatan. Kritik ini tentu wajib diresponi secara positif supaya organisasi ini tidak mau dikatakan mandeg (stagnan). Elan vital pembaruan (tajdîd) harus permanen sebagai “watak dasar” Muhammadiyah.

Sebagai sebuah organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah memang berpandangan bahwa kunci kemajuan serta kemakmuran kaum Muslimin adalah perbaikan pendidikan. Oleh karena itulah, sesungguhnya sejak dulu nama organisasi ini diambil dari nama sekolah yang didirikan sang Ahmad Dahlan satu tahun sebelum didirikannya Muhammadiyah (Alwi Shihab, 1998).

Gerakan Muhammadiyah pula sejak awal dikenal luas sebagai gerakan sosial keagamaan yg didirikan buat mengadaptasikan Islam menggunakan situasi terkini Indonesia, karena gerakan ini menegaskan diri sebagai gerakan pembaruan yg peduli dan konsen (care and concern) terhadap kemajuan Islam dan umat Islam, serta mengakibatkan kebangkitan kembali kaum Muslimin pada Indonesia.

Pengamat lain menegaskan bahwa organisasi ini merupakan sebuah gerakan dakwah menggunakan lingkup aktivitas yang mencakup semua aspek kehidupan sosial: kepercayaan , pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Barangkali lebih pantaslah jika Muhammadiyah ini dikatakan, sebagaimana pendapat Alwi Shihab, bahwa gerakan Muhammadiyah masuk ke dalam kombinasi aneka macam penamaan serta penyifatan, sejalan menggunakan sasaran dan tujuannya yang beragam, yang sudah mengalami banyak perubahan dalam upayanya buat terus memberikan respons terhadap kebutuhan zaman. Organisasi ini tidak membatasi diri kepada dakwah semata pada pengertian yang sempit, tetapi mengambil kiprah pada semua aspek perkembangan rakyat, bergantung kepada atmosfir yang sedang berlangsung (Alwi Shihab, 1998). Kahin pada Nationalism and Revolution in Indonesia menyatakan bahwa Muhammadiyah paling tidak memiliki kiprah pada tiga dataran: “sebagai gerakan pembaruan, menjadi agen perubahan sosial, dan menjadi kekuatan politik (Kahin, h.87-88). Ketiga atribut yang disematkan pada Muhammadiyah tersebut memang adalah keniscayaan. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan kritis terhadap status quo, sehingga eksistensinya juga sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui modernisasi sistem pendidikan Islam. Seiring dengan kekuatan yg semakin diperhitungkan, terutama di kalangan menengah perkotaan, keberadaan Muhammadiyah juga patut diperhitungkan secara politik, meskipun khiththah (garis dan orientasi perjuangan) organisasi ini nir berpolitik mudah.

Sebagai pelopor gerakan pembaruan pemikiran Islam yang lebih mengutamakan aspek rasional pada beragama (meskipun akhir-akhir ini nir sevokal dan seagresif dahulu) dan menekankan pentingnya peranan nalar dan pendidikan logika, ternyata pada praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat menggunakan daerah tasawuf. Keharusan hayati buat mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber berdasarkan ajaran kepercayaan serta berkehendak menaati semua perintah Allah dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. Dan “menyifatkan dirinya menggunakan sifat-sifat Allah”, merupakan karakteristik dan konduite kehidupan tasawuf. Meskipun konduite misalnya itu pada zaman Rasul nir dianggap tasawuf, lantaran kata atau laqab (julukan) Sufi pada waktu itu belum ada. Istilah ini baru timbul pada akhir abad dua atau awal abad 3 hijriyah (Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980). Ibn Taimiyah (661-728 H) menyatakan bahwa pakar agama, pakar ilmu dan pakar ibadah dalam waktu itu dianggap kaum Salaf, yg kemudian diklaim menggunakan “Shufiyah wa al-Fuqarâ” (Ibn. Taimiyah serta Abd. Al-Fattah Ahmad Fuad, 1980).

Perilaku dan kehidupan spiritual sejumlah pemimpin Muhammadiyah, dilakukan seiring dengan aplikasi pemberantasan bid’ah, syirik dan khurafat serta desakralisasi praktik beragama, seperti praktik beragama (baca: bertasawuf) contoh Ibn Taimiyah. Orang-orang yg masuk ke dalam kategori ini (sufi) merupakan mereka yang sungguh-sungguh mentaati Allah. Di antara mereka terdapat yg lebih primer lantaran kesungguhannya pada ketaatannya dalam Allah dan adapula yang masih pada tahap penyempurnaan, mereka dianggap dengan Ahl al-Yamîn (Ibn Taimiyah, 1986). Sementara itu, Imam al-Ghazzâlî (1058-1111 M) menaruh makna tasawuf dengan: “Ketulusan pada Allah dan pergaulan yg baik pada sesama insan”. Setiap orang yang lapang dada kepada Allah serta membaguskan pergaulan menggunakan sesama insan dari al-Ghazzâlî diklaim sufi (Al-Ghazzali, 1988). Sedangkan ketulusan kepada Allah Swt. Berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri sendiri (hawa al-nafs) buat melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Sementara pergaulan yg baik dengan sesama manusia tidaklah mengutamakan kepentingannya pada atas kepentingan orang lain, selama kepentingan mereka itu sesuai menggunakan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at atau beliau mengingkarinya, dari al-Ghazzâlî, beliau bukanlah sufi. Jadi, sufi merupakan orang yang menempuh jalan hayati menggunakan menjalankan syariat secara sahih dan sekaligus merogoh spiritualitas (hakikat) berdasarkan ajaran syariat pada bentuk penyucian dan pendekatan diri secara terus-menerus kepada Allah Swt. Perilaku ketaatan terhadap syariat itu kemudian diwujudkan dalam konduite yg penuh moralitas (akhlak mulia) pada kehidupan sehari-hari (tasawuf akhlaqi).

Apabila pengertian tasawuf mengacu dalam pencanderaan seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah juga al-Ghazzâlî misalnya yg disebutkan di atas, maka di dalam Muhammadiyahpun akan muncul wajah-wajah tasawuf, yakni mereka yg ketaatan dan kehidupan spiritualitasnya cukup intens. Tidaklah mengherankan jika disimak menggunakan akurat penuturan salah seorang siswa K.H.A. Dahlan, yaitu K.R.H. Hadjid, bahwa pada antara referensi pendiri Muhammadiyah adalah kitab -buku yg ditulis oleh tokoh-tokoh misalnya Ibnu Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ‘Abduh dan termasuk pula karya al-Ghazzâlî. Kitab-kitab tasawuf seperti Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah, Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn dan sebagainya sebagai bacaan KHA. Dahlan (Kiyai Hadjid, 1968), sehingga keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan pada Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens pada kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hayati. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), namun perilakunya tidak Islami. Terhadap krisis ini, Ki Bagus menulis mengenai akhlak pada bukunya “Pustaka Ihsan“ yg mengemukakan mengenai istiqâmah, tawakkul, muhâsabah, ‘adl, shidq, tawâdhu’, ikhlâs, amânah, shabr serta qanâ’ah (Farid Ma’ruf, 1990).

Sementara itu, figur A.R. Fakhruddin pula pantas masuk dalam kategori menjadi sosok sufi dalam Muhammadiyah. Lantaran dari hemat penulis, beliau bisa mewakili paras kehidupan spiritual dalam Muhammadiyah, lantaran beberapa alasan. Pertama, praktek hidup eksklusif A.R. Fakhruddin mencerminkan perilaku kehidupan spiritual yg sangat dekat menggunakan daerah tasawuf. Hal ini bisa dilihat, misalnya, pada kehidupannya sehari-hari, baik ketika bertugas, di lingkungan rumah tangganya, di masyarakat maupun di kalangan organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya, ia senantiasa mencerminkan eksklusif mutasawwif dan watak tasawuf yang akhlaqi, mementingkan training serta pengamalan perilaku yg memperlihatkan akhlak mulia.

Kehidupannya mencerminkan hidup dan kehidupan yg sederhana, asketik dan nir ngoyo (zâhid). Ia senantiasa menekankan dalam perilaku akhlak terpuji. Dalam galat satu ceramah A.R. Fakhruddin, Nakamura pernah mengutip inti ceramahnya menjadi berikut (Mitsuo Nakamura, 1983) :

“Bahwa kita dapat berdoa lima kali sehari dengan teratur, namun jika akhlak kita tetap jelek, permanen rakus, kikir, nir mau memperhatikan yang miskin dan susah, maka do’a kita tidak akan diterima sang Allah, tidak akan masuk nirwana, tetapi bahkan masuk neraka. Kita dapat merampungkan puasa, tetapi jika kita permanen membicarakan keburukan orang lain, berdusta, menipu, sombong, maka puasa kita nir berguna dan tidak diakui oleh Allah, marilah kita berdo’a, berpuasa, berhaji, membayar zakat, serta di atas segalanya ini, marilah kita memperbaiki akhlak kita”. 

Selanjutnya A.R. Fakhruddin menambahkan:
“Bahwa jalan yang paling pasti buat membangun akhlak yang mulia merupakan melakukan ibadat, dengan pencerahan penuh kepada Tauhid. Jalan yang wajib dilewati dengan kesadaran adalah hasrat seorang untuk menjadi lapang dada. Ikhlas menunjuk pada orientasi mental yang sepenuhnya tidak terikat pada hal-hal yg bersifat duniawi, kosong, bersih, dan kekosongan inilah yg wajib diisi menggunakan Allah sepenuhnya diisi dengan kebaktian pada Allah, nir dalam yang lain. Bahwa shalat-shalat sunnah, termasuk witir, shalat dhuha dan yg sejenisnya sangatlah dianjurkan. Dan bahwa dzikir, wirid, bukanlah monopoli tarekat, serta boleh diperaktikkan bilamana hal tersebut dapat membantu menaikkan kesalehan seorang dan tulus dalam beribadah maupun dalam bermu’amalah”.

Dalam tindakan serta perbuatannya, A.R. Fakhruddin dapat dicandera lebih mencerminkan pribadi “amal”, figur yang menekankan pada perbuatan nyata, aksis sosial kemanusiaan. Baginya yg penting merupakan bagaimana Islam benar-sahih bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepuasannya yg mendalam merupakan bilamana umat Islam benar-benar-sungguh bisa mencerminkan dirinya menjadi muslim yang baik, Muslim pada keyakinan, dalam ucapan maupun pada tindakannya. Di antara watak muslim “amal” ini agaknya lebih dekat kepada wilayah tasawuf, dibandingkan Muslim “intelektual” yg mungkin lebih dekat kepada wilayah kalam atau filsafat.

Kedua, karya-karya tulisnya, kentara memang diungkapkan dengan narasi yang tidak sama dengan karya al-Ghazzâlî maupun Ibn Taimiyah, tetapi substansinya senafas menggunakan karya-karya tasawuf al-Ghazzâlî, misalnya tentang Adab-Adab dalam Beragama, tentang al-Qawâid al-‘Asyrah, Tindak Kepatuhan, Menghindar berdasarkan Dosa, baik dosa-dosa tubuh juga dosa-dosa jiwa yg berhubungan dengan Allah Swt. Serta insan, tentang tauhid, iman, penyucian diri menurut noda, dosa, maksiat, dan lain sebagainya.

Gaya penulisannya sederhana, namun menarik serta lezat dibaca. Sepintas, lantaran kesederhanaannya, terkesan seolah-olah kurang dilandasi teori-teori yg bisa mencerminkan menjadi tokoh pergerakan modernisme dalam Islam. Padahal, justru pada situlah letak kekuatannya. Sebab, apa yg dikemukakan serta ditulisnya merupakan manifestasi dari kedalaman dan pengamalan Islam yang diyakininya serta bertolak berdasarkan kejujuran serta ketulusan pribadinya, pengalaman keseharian dan masalah-problem aktual keagamaan serta kemasyarakatan yang ditemuinya. Dengan karya-karyanya dalam bentuk tadzkirah (peringatan/pelajaran moral) dan anekdotis, di sana bisa dibaca bahwa sifat-sifat serta pribadinya sendiri adalah karya-karya tulisnya itu.

Ketiga, A.R. Fakhruddin adalah pimpinan puncak pada Muhammadiyah (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) terlama sepanjang sejarah perkembangannya, yaitu selama 22 tahun (1968–1990), ad interim pendiri Muhammadiyah sendiri yakni K.H.A. Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun (1912–1923). Bahkan sebelum dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, relatif usang A.R. Fakhruddin menjadi pimpinan pada wilayah serta tingkat daerah, dan selama 30 tahun diberi tugas sang pengurus besar Muhammadiyah buat menggerakkan dakwah pada pelosok Sumatera Bagian Selatan. Dengan demikian, A.R. Fakhruddin memiliki kesempatan yg relatif buat memberi corak kehidupan yg bernuansa tasawuf dalam kepemimpinan dan kehidupan gerakan Muhammadiyah. Selama periode tadi, melalui kepemimpinannya pada tingkat nasional, banyak sekali aktivitas serta rendezvous, baik di taraf sentra, daerah, wilayah, cabang juga pada tingkat ranting dapat dilakukan secara intensif dan relatif padat. Bahkan beliau seringkali mengisi halaqah-halaqah (pengajian-pengajian pada lembaga-forum terbatas) pada lingkungan famili besar Muhammadiyah, misalnya jamaah perempuan , ‘Aisyiyah, Nasyi’atul 'Aisyiyah, remaja, kaum terpelajar, pengajar-guru serta dalam berbagai komunitas lainnya.

A.R. Fakhruddin adalah simbol dan lambang kepemimpinan Muhammadiyah, menjadi tipe pengembangan kepribadian Muhammadiyah dan tokoh sentral yg lengser menurut zenit piramida persyarikatan secara lapang dada serta legowo. Ia sudah bertiwikrama menjadi trade mark organisasi Islam yang paling rapih di Indonesia. Semua itu, secara langsung ataupun nir, dapat memberi pengaruh dalam kehidupan persyarikatan. Didukung jua sang hampir seluruh karya tulisnya yang lebih banyak ditujukan pada pembaca famili persyarikatan, seperti: Pedoman Muballigh Muhammadiyah, Pedoman Anggota Muhammadiyah, Muhammadiyah Abad ke XV H, Kepribadian Muhammadiyah, Pemimpin Muhammadiyah dan beberapa karya lain dalam bentuk tanya jawab, artikel di majalah Suara Muhammadiyah serta Suara Aisyiyah, serta makalah-makalah yang disampaikan dalam halaqah-halaqah, penataran, seminar baik buat anggota, pengurus, maupun kader-kader Muhammadiyah, seluruhnya cukup efektif dalam kurun yang demikian nisbi panjang dalam menaruh sentuhan tasawuf berdasarkan pancaran pribadinya dalam jiwa dan amalan anggota Muhammadiyah.

Tema-tema majelis halaqah, tabligh, pengajian, kuliah, khotbah, ataupun tulisan-goresan pena yang beredar pada brosur serta majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah, memang tidak mengangkat tema yang secara eksplisit mengenai tasawuf, seperti tokoh lain pada Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran akhlaq yg dekat menggunakan daerah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara karya-karya HAMKA di bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan buat khalayak pembaca yg beragam. Karya-karyanya antara lain : Tasawuf Modern; Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Renungan Tasawuf, Lembaga Budi serta Falsafah Budi.

Tanpa menyebut kata tasawuf sebenarnya beliau telah mempraktekkan serta berbagi ajaran akhlak tasawuf secara inklusif. Waktu yg dimiliki selama menjadi tokoh zenit Muhammadiyah, memberi peluang yang relatif luas buat mensosialisasikan pikiran/ renungan dan seruan-seruannya baik dalam konduite organisasi juga praktik langsung dalam mengamalkan ajaran Islam yg bernuansa tasawuf. Jiwa serta pribadinya merentang cermin eksklusif “sufi” dalam hal taubat, taqwâ, wara, zuhd, rajâ, khauf, khusyu’, tawâdhu’, qanâ’ah, tawakkul, syukr, shabr, ridhâ, istiqâmah, ikhlâs, dan beberapa tahapan lain penempuh jalan sufi misalnya pencanderaan Imam al-Qusyairî al-Naisaburî pada pada Risâlah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi, t.T).

Menurut ekonomis penulis, kehidupan spiritual A.R. Fakhruddin dapat digolongkan pada eksklusif yg hidup berdasarkan pencerahan serta memiliki karakter tasawuf (tasawuf akhlaqi), serta menjadi keliru satu tokoh puncak serta panutan di pada komunitas persyarikatan Muhammadiyah yang menghayati serta “berjiwa sufi”. Namun, perkiraan ad interim pada atas perlu dibuktikan, apakah sahih kehidupan spiritual AR. Fakhruddin itu memang memiliki karakter tasawuf yg dekat dengan dunia Sufi. Lalu, relatif tepatkah pernyataan ini ditujukan pada AR. Fakhruddin. Bukankah karya-karya tulisnya jua nir khusus menulis mengenai tasawuf, meskipun sarat menggunakan dimensi serta pelajaran akhlak.

Dalam berislam serta bermuhammadiyah, memang sangat dibutuhkan adanya acum moral dan keteladanan spiritual yang dapat membina jati diri muslim melalui akhlak tasawuf, lantaran kita berkeyakinan bahwa kehidupan yg Islami dapat terwujud lewat perilaku dan kehidupan spiritual yang luhur, mulia, serta sarat menggunakan amal shalih. Ke depan, dari penulis, Muhammadiyah dan bangsa ini memerlukan figur pemimpin yang dapat diteladani integritas langsung, kedalaman spiritualitas, serta kecanggihan berpikirnya. Spiritual leadership meminjam kata Tobroni barangkali adalah galat satu warisan kepemimpinan AR. Fakhruddin dalam menahkodai dan membesarkan Muhammadiyah. Dengan gaya dan contoh kepemimpinan spiritual serta sufistik inilah, jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan bisa menyentuh aneka macam lapisan warga . AR. Fakhruddin tidak hanya memimpin serta berdakwah, namun jua mendidik serta mencerdaskan umat menggunakan kecerdasan emosi, kedalaman spiritualitas (the corporate mystics), dan keluhuran moralnya yg tercermin pada kepemimpinan spiritual dimaksud (Tobroni, 2005). Umat dan bangsa dewasa ini memang sangat memerlukan figur-figur pemimpin yg dapat diteladani berdasarkan segi pemihakannya terhadap kejujuran, kebenaran, dan integritas moralnya.

Akhirnya, sebagai refleksi bersama: bukankah yang kelak dievaluasi Allah Swt. Pada akhirat adalah amal bakti, prestasi kinerja nyata kita? Muslim yg baik adalah Muslim yang selalu bersikap rendah hati buat mau belajar serta membelajarkan diri sendiri menuju kualitas hidup yang lebih baik. Mudah-mudahan, pembaca dan kita seluruh dapat belajar “Islam amalî” dan “amal Islami” serta merogoh pelajaran moral dan spiritual menurut tokoh-tokoh zenit pimpinan Muhammadiyah khususnya tokoh kita yg satu ini, K.H. AR. Fakhuruddin (Allah yarham).

BEBERAPA SARAN TOPIK KAJIAN FILSAFAT INDONESIA

Beberapa Saran Topik Kajian ‘Filsafat Indonesia’ 
Kajian Filsafat Indonesia masih baru, serta karena itu, masih sangat luas. Setiap pengkaji Filsafat Indonesia nir akan kehabisan bahan kajian, lantaran Filsafat Indonesia adalah ‘tanah air filsafat’ yg baru. Setiap orang bisa sebagai ‘anggota’ dan ‘warganegara’ pada dalamnya serta setiap orang akan menerima ‘huma kajian’ yg berhektar-hektar luasnya. Di bawah ini hanyalah ‘sedikit hektar lahan kajian’ yang bisa dijadikan pertimbangan dalam menentukan judul kajian dalam penulisan ilmiah (seperti makalah, paper, proceedings, tesis, atau disertasi) terhadap kenyataan filsafat yg diklaim Filsafat Indonesia itu.

Filsafat Etnik
1. Metafisika dalam Budaya Jawa
2. Metafisika pada Budaya Sunda
3. Metafisika dalam Budaya Bugis
4. Metafisika dalam Budaya Bali
5. Metafisika pada Budaya Batak
6. Metafisika pada Budaya Riau
7. Metafisika pada Budaya Lombok
8. Metafisika pada Budaya Kalimantan
9. Metafisika pada Budaya Sulawesi
10. Metafisika pada Budaya Papua
11. Etika dalam Budaya Sunda
12. Etika dalam Budaya Batak
13. Etika dalam Budaya Bugis
14. Etika dalam Budaya Kalimantan
15. Etika pada Budaya Papua
16. Teori Pengetahuan dalam Budaya Jawa
17. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bali
18. Teori Pengetahuan pada Budaya Lombok
19. Teori Pengetahuan dalam Budaya Sunda
20. Teori Pengetahuan pada Budaya Papua
21. Teori Pengetahuan pada Budaya Riau
22. Teori Pengetahuan pada Budaya Bugis
23. Teori Pengetahuan pada Budaya Kalimantan
24. Teori Pengetahuan dalam Budaya Batak
25. Konsep Kekuasaan pada Budaya Jawa
26. Konsep Kekuasaan pada Budaya Bali
27. Konsep Kekuasaan pada Budaya Batak
28. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bugis
29. Konsep Kekuasaan pada Budaya Kalimantan
30. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Papua
31. Konsep Manusia pada Budaya Jawa
32. Konsep Manusia dalam Budaya Bali
33. Konsep Manusia dalam Budaya Batak
34. Konsep Manusia pada Budaya Bugis
35. Konsep Manusia pada Budaya Riau
36. Konsep Manusia pada Budaya Papua
37. Kosmologi pada Budaya Jawa
38. Kosmologi dalam Budaya Sunda
39. Kosmologi pada Budaya Bali
40. Kosmologi dalam Budaya Bugis
41. Kosmologi dalam Budaya Lombok
42. Kosmologi dalam Budaya Sulawesi
43. Kosmologi dalam Budaya Papua
44. Konsep Tuhan dalam Budaya Jawa
45. Konsep Tuhan dalam Budaya Bali
46. Konsep Tuhan dalam Budaya Lombok
47. Konsep Tuhan dalam Budaya Lampung
48. Konsep Tuhan dalam Budaya Palembang
49. Konsep Tuhan dalam Budaya Aceh
50. Konsep Tuhan pada Budaya Batak
51. Konsep Tuhan pada Budaya Riau
52. Teleologi dalam Budaya Jawa
53. Teleologi dalam Budaya Bali
54. Teleologi pada Budaya Batak
55. Teleologi pada Budaya Bugis
56. Teleologi dalam Budaya Kalimantan
57. Teleologi dalam Budaya Papua
58. Fungsi Adat dalam Budaya Jawa
59. Fungsi Adat pada Budaya Bali
60. Fungsi Adat dalam Budaya Batak
61. Fungsi Adat pada Budaya Jambi
62. Fungsi Adat dalam Budaya Ambon
63. Fungsi Adat dalam Budaya Bugis
64. Fungsi Adat dalam Budaya Papua
65. Konsep Kematian pada Budaya Jawa
66. Konsep Kematian pada Budaya Sunda
67. Konsep Kematian dalam Budaya Batak
68. Konsep Kematian dalam Budaya Bugis
69. Konsep Kematian dalam Budaya Papua
70. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Jawa
71. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Sunda
72. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bali
73. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Bugis
74. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Papua
75. Makna Perkawinan dalam Budaya Jawa
76. Makna Perkawinan dalam Budaya Sunda
77. Makna Perkawinan dalam Budaya Bali
78. Makna Perkawinan pada Budaya Lombok
79. Makna Perkawinan dalam Budaya Papua
80. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Jawa
81. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Bali
82. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Sunda
83. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Batak
84. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Bugis
85. Konsep Waktu pada Budaya Jawa
86. Konsep Waktu dalam Budaya Sunda
87. Konsep Waktu pada Budaya Batak
88. Konsep Waktu pada Budaya Bugis
89. Konsep Waktu pada Budaya Papua
90. Konsep Kawan serta Lawan dalam Budaya Jawa
91. Konsep Kawan dan Lawan pada Budaya Sunda
92. Konsep Kawan serta Lawan pada Budaya Bali
93. Konsep Kawan serta Lawan dalam Budaya Bugis
94. Konsep Kawan dan Lawan pada Budaya Papua
95. Teori Keberhasilan dalam Budaya Jawa
96. Teori Keberhasilan pada Budaya Sunda
97. Teori Keberhasilan dalam Budaya Bali
98. Teori Kegagalan dalam Budaya Jambi
99. Teori Kegagalan pada Budaya Lampung
100. Konsep Menghormati pada Budaya Papua

Filsafat India-Indonesia
1. Metafisika pada Kakawin Sutasoma
2. Metafisika pada Negarakertagama
3. Metafisika pada Sang Hyang Kamahayanikam
4. Teori Pengetahuan pada Kakawin Sutasoma
5. Teori Pengetahuan pada Negarakertagama
6. Teori Pengetahuan pada Sang Hyang Kamahayanikam
7. Konsep Tuhan dalam Kakawin Sutasoma
8. Konsep Tuhan pada Negarakertagama
9. Konsep Kekuasaan pada Kakawin Sutasoma
10. Konsep Kekuasaan dalam Negarakertagama
11. ‘Agama Lain’ pada Kakawin Sutasoma
12. ‘Agama Lain’ pada Negarakertagama
13. Konsep Waktu pada Kakawin Sutasoma
14. Konsep Waktu dalam Negarakertagama
15. Konsep Manusia pada Kakawin Sutasoma
16. Konsep Manusia dalam Negarakertagama
17. Kosmologi pada Kakawin Sutasoma
18. Kosmologi dalam Negarakertagama
19. Etika dalam Kakawin Sutasoma
20. Etika pada Negarakertagama
21. Teori Sorga pada Kakawin Sutasoma
22. Teori Sorga dalam Negarakertagama
23. Teori Politik pada Kakawin Sutasoma
24. Teori Politik pada Negarakertagama
25. Teori Kebahagiaan pada Kakawin Sutasoma
26. Teori Kebahagiaan dalam Negarakertagama
27. Teori Keberhasilan dalam Kakawin Sutasoma 
28. Teori Kegagalan dalam Negarakertagama
29. Teleologi dalam Kakawin Sutasoma
30. Teleologi dalam Negarakertagama
31. Konsep Sejarah pada Kakawin Sutasoma
32. Spiritualitas dalam Kakawin Sutasoma
33. Spiritualitas pada Negarakertagama
34. Teori Kehidupan pada Kakawin Sutasoma
35. Teori Kematian pada Negarakertagama
36. Ajaran Karma pada Kakawin Sutasoma
37. Konsep Makhluk Halus pada Kakawin Sutasoma
38. Konsep Dewa-Dewi dalam Kakawin Sutasoma

Filsafat Cina
1. Sun Yat-Sen di Mata Tionghoa Indonesia
2. Maoisme Tionghoa Indonesia
3. Teori Politik Tionghoa Indonesia
4. Komunisme pada Mata Tionghoa Indonesia
5. Konfusianisme Tionghoa Indonesia
6. Anti-konfusianisme Tionghoa Indonesia
7. Konsep Keberhasilan Tionghoa Indonesia
8. Konsep Kegagalan Tionghoa Indonesia
9. Konsep Hidup Tionghoa Indonesia
10. Konsep Manusia pada mata Tionghoa Indonesia
11. Etika Tionghoa Indonesia
12. Metafisika Tionghoa Indonesia
13. Teori Pengetahuan orang Tionghoa Indonesia
14. Makna Perkawinan dari Tionghoa Indonesia
15. Makna Kematian menurut Tionghoa Indonesia 

Filsafat Islam
1. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Hamzah Fansuri
2. Pemikiran Metafisika pada Filsafat Ronggowarsito
3. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ki Ageng Selo
4. Pemikiran Metafisika pada Filsafat Suryomentaram
5. Pemikiran Metafisika dalam Puisi-Puisi Emha Ainun Najib & Soetardji Calzoum Bachri

Filsafat Barat
1. Demokrasi pada Indonesia
2. Federalisme: Konsep dan Aplikasinya
3. HAM dan Akar Filosofisnya
4. Feminisme pada Indonesia
5. Eksistensialisme pada Puisi-Puisi Chairil Anwar

Filsafat Kristen
1. Ekaristi dan Filsafatnya
2. Transubstansiasi: Filsafat dan Sejarahnya
3. Hermeneutika Injili: Filsafat dan Aplikasinya

Filsafat Paska-Soeharto
1. Reformasi: Tujuan-Tujuan dan Aplikasinya
2. Filsafat Reformasi

METODE PENGKAJIAN FILSAFAT INDONESIA

Metode Pengkajian Filsafat Indonesia 
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yg dipakai buat memahami gejala atau empiris. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat benar-benar sangat akbar. Filsafat adalah realitas yang terus berkecimpung kekal dan berseliweran pada depan mata seorang filosof, lantaran sejarah (ketika serta ruang) terus berubah kekal. Hanya metodelah yg mampu menciptakan still photo menurut realitas filsafat yg berkecimpung tak pernah mati itu.

Banyak sekali metode yang bisa digunakan buat tahu gejala filsafat pada Indonesia, mulai berdasarkan yg imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar model berdasarkan beberapa metode pengkajian filsafat yang sudah dilakukan sang beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita dalam dibagi dua superstructure-infrastructure pada Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup kepercayaan , seni, dan filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yg menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan artinya ‘feudalisme’, maka kebudayaan yg diproduksi bersamaan menggunakan itu artinya budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode homogen ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat pada Indonesia tergantung pada cara rakyat itu bertahan hidup (survive); cara rakyat itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika warga itu dapat bertahan hayati menggunakan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan herbi sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep trend baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yg dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir rakyat persawahan’, ‘pola-pikir warga perladangan’, ‘pola-pikir warga peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir rakyat pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu masih ada perbedaan yg amat akbar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yg paling kuno buat mempelajari kenyataan kemanusiaan, termasuk kenyataan filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, kemudian diurai pada suatu kronologi, lalu pada kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yg meliputi biografi tokoh, karya-karya tokoh, kiprah-peran tokoh itu pada sejarah filsafat, dan mampu jua ditambahkan data-data mengenai peran historis tokoh itu dalam sejarah global atau dalam sejarah filsafat global. Metode ini sudah dipakai, contohnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry artinya pandangan bahwa filsafat—dimanapun serta kapanpun dia diproduksi—merupakan produk sejarah, dan karenanya, maka konteks sejarah yg melingkari filsafat itu harus ditemukan bila filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: syarat sosial apa yg menyebabkan Karl Marx membentuk filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa pada Jerman serta pada Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa pada era Marx serta Engels hayati yg mendorong mereka membentuk classless society? Apabila seluruh pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme bisa dipahami secara lebih dalam.

Metode Komparasi serta Kontras
Cara lain buat mengkaji Filsafat Indonesia artinya menggunakan cara mencari disparitas dan kecenderungan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, kemudian perbedaannya ditunjukkan, sebagai akibatnya nampak fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen memakai metode perbandingan dan paradoksal buat menunjukkan segi-segi berbeda berdasarkan Filsafat Indonesia yang membedakannya berdasarkan filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, kemudian berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat tidak sama dari dua filsafat lainnya karena mengajarkan ajaran-ajaran orisinil mengenai mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum norma, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia pribadi menurut teks-teks filsafat yang diwariskan seorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, kemudian ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari konklusi itu dibangunlah pengertian mengenai struktur filsafat yg dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, serta Jakob Sumardjo pada karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto pada karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi pada Jawa, mengamati relik-relik candi buat merenungi pesan cerita yang dipahatkan pada atasnya, menghirup udara di kurang lebih candi, bersemadi pada pada area candi buat mencicipi auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan gambaran metafisik berdasarkan candi itu ke dalam badan serta jiwanya, dan ketika itu seluruh berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya serta lalu membentuk konsep-konsep subjektif mengenai konsep kenegaraan Jawa darinya.

PERIODISASI FILSAFAT INDONESIA

Periodisasi Filsafat Indonesia 
Periodisasi yg biasa dilakukan sang sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, serta Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina pada periode-periode seperti Periode Klasik, Periode Pertengahan, serta Periode Modern. Lalu pertanyaannya lalu adalah apakah sejarawan filsafat Indonesia jua harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang harus mengikuti periodisasi Barat dan Cina itu, kapankah periode Klasik menurut Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik berdasarkan Filsafat Indonesia merupakan periode yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) sampai awal abad 19 M, kemudian periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, serta periode Kontemporer semenjak Soeharto lengser sampai dtk ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, akan tetapi bila ditelaah lebih dalam mengandung banyak dilema. Persoalan-masalah yang timbul adalah seperti: perbedaan apakah yg paling signifikan antara Filsafat Indonesia dalam era Klasik, era Modern, serta era Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu berdasarkan pada disparitas point of concern (pusat perhatian) yang dikaji filosof pada era eksklusif? Apakah disparitas antara ‘yang klasik’ menggunakan ‘yg terbaru’ hanyalah disparitas antara ‘yang menolak’ dengan ‘yg menerima’ efek Barat? Apakah disparitas periode hanya sekadar penanda waktu, menurut satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yg membedakan ‘titik pemberhentian’ yang satu menggunakan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yg membedakan ‘yang klasik’ dan ‘yang terbaru’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya masalah yg ada menggunakan mengikuti periodisasi ala Barat serta Cina memberitahuakn, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat buat sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yg dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yg pernah diproduksi sejak era neolitikum sampai sekarang. Di bawah ini akan diajukan dua model periodisasi yang mungkin lebih cocok buat penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia bisa dibentuk menurut datangnya budaya-budaya asing yg berinteraksi menggunakan budaya orisinil Indonesia, dengan cara menciptakan kronologi historis serta menyebutkan berdasarkan budaya dunia mana sumber filosofis itu berasal-mula. Dengan model ini, contohnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia bisa dipecah ke pada periode-periode seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, serta periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik orisinil Indonesia masih dipeluk serta dipraktekkan sang orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, dan periode Barat dimulai saat orang Indonesia mulai kemasukan filsafat menurut sumber-asal budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.

Filsafat Indonesia dalam periode Etnik, misalnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, hukum adat, serta segala yg asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia pada periode Cina meliputi Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, serta Maoisme. Filsafat Indonesia dalam periode India meliputi Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, dan Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme serta Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, serta periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme sampai Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia juga bisa dibuat dari insiden-kejadian krusial pada bepergian sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk pada periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik asli Indonesia, filsafat tata cara etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, serta filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yg masuk dalam periode Kemerdekaan ialah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yang masuk dalam periode Soekarno merupakan filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi dan Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yg sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak dan filsuf mencari cara lain dalam filsafat-filsafat lain misalnya Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, serta Revolusionisme.

ISMEISME DALAM FILSAFAT INDONESIA

Isme-Isme Dalam Filsafat Indonesia 
Sebelum memilih isme-isme apa saja yang dapat dibentuk dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya apabila mengkaji lebih dulu mengenai bagaimana suatu isme dalam filsafat dibuat. Ada dua cara membuat kategori isme yang selama ini dipakai peneliti filsafat: (1) isme dibentuk menggunakan cara menyebut nama seorang filosof eksklusif yg darinya suatu isme bisa dibangun, misalnya Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, dan lain-lain; kemudian, (dua) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yg ditemukan berdasarkan teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat krusial tentang idea, sebagai akibatnya peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat penting itu menggunakan sebutan idealism. Begitu juga menggunakan ajaran krusial Hegel tentang Idea yg darinya asal sebutan idealism. 

Perbedaan ke 2 cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yg dibangun. Jika disebut ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika dianggap ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun dari berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya mempunyai ajaran penting mengenai idea. 

Apakah penyebutan isme-isme pada struktur Filsafat Barat bisa diterapkan pada struktur Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, apabila teks-teks Filsafat Indonesia memang menjelaskan asal-sumber filosofis menurut filosof Barat seperti Marx, Hegel, atau Plato, maka bisa saja menyebut filosof Indonesia yg menganut mereka sebagai filosof Indonesia yang ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat diklaim menjadi filosof Marxist. Kedua, jika teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting tentang idea, contohnya, maka layaklah dianggap menjadi ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah dianggap ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, lantaran ketiganya membahas menggunakan panjang-lebar pada karya-karya mereka berturut-turut mengenai sosialisme, natie, serta fasisme Jerman. Tapi, pada galibnya, filosof-filosof Indonesia memiliki doktrin-doktrin khas, yang berbeda menurut yg biasa ditemukan pada teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya sendiri, sinkron dengan tema-tema yang diangkat sang seorang filosof pada negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan dalam struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan waktu menciptakan isme-isme misalnya Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan saat membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, dan ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme pada Filsafat Indonesia. 

A. Sintesisme
Sintesisme berakar menurut istilah ‘sintesa’ (synthesis), yg berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yg tidak sama buat menciptakan satuan yang kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan menggunakan filsafat lainnya buat menciptakan struktur filsafat yg baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu antagonis sifatnya, tidak selaras isinya, paradoksal nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu pada antara filsafat-filsafat yang tidak selaras itu, akan tetapi lebih poly ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, bila dicampur-baur menggunakan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yg kompleks. Contoh sintesisme yg paling terkenal pada mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seseorang filosof yang hayati pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) menurut Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis kitab berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yg ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yg memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Cara yg sama juga ditempuh oleh Mpu Tantular, seseorang filosof yang hayati di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yang menulis buku Sutasoma, di dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yg amat berbeda itu Buddhisme justru lahir di India menjadi reaksi negatif terhadap Hinduisme sang filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yang baru, yg terkenal menjadi filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seseorang pendiri Republik kita, pula seseorang sintesist. Dia mencoba menyintesa 3 aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), serta Komunisme (NASAKOM), tapi gagal pada tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seorang filosof Islam, pula seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa 3 aliran filsafat yang tidak sama: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), serta Barat Modern (Kemodernan) dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, serta Kemodernan, buat mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda menggunakan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, lantaran amat didukung penguasa waktu itu. 

B. Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar berdasarkan kata ‘adaptasi’ (adaptation), yang berarti menyesuaikan sesuatu buat situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga sebagai sesuai dengan situasi Iindonesia dan bisa digunakan pada konteks Indonesia. Biasanya, yang diubahsuaikan dengan syarat dan situasi Indonesia merupakan filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, dan partikular; tidak terdapat filsafat yang universall secara mutlak. Karena itu jua, kebenaran filsafat tidak pernah universal-mutlak. Menurut logika mereka, contohnya, Marxisme yg lahir berdasarkan sejarah lokal Barat nir sanggup diterapkan atau dicangkok begitu saja dalam sejarah kongkrit Indonesia, lantaran kedua area itu mempunyai struktur budaya dan peradaban yg berbeda. Marxisme yg hendak dibangun akar-akarnya di Indonesia wajib diubah sedemikian rupa, sehingga sinkron dengan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, serta lain-lain adalah contoh berdasarkan filosof adaptasionist yg mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar populer menggunakan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng merupakan makanan asli tradisional yg biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Namun, apabila margarin yg asal berdasarkan Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah lezat , maka tak terdapat alasan seseorang harus menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya adalah orang Indonesia sendiri. Artinya, apabila ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan dengan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ dari Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yang dikumpulkan serta diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno mengenai Marhaen. 

Adaptasionisme jua dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, contohnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia via buku-kitab Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dari Padang Panjang, Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo serta Darsono berdasarkan Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke pada pandangan-global Al-Quran. Begitu jua menggunakan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yg mengadaptasikan Sosialisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia, sehingga membentuk karya Islam serta Sosialisme.

C. Lamaisme 
Isme ini bertolak menurut pandangan, bahwa segala tradisi lama , tradisi primordial, serta tradisi orisinil Indonesia adalah tradisi yang wajib dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal serta tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia, sangkan serta paran dari penciptaan manusia Indonesia. Dalam pandangan filosof yang menganut isme ini, tidak terdapat konsep ‘baru’; nir terdapat ‘yg baru’ yg dapat membatalkan ‘yg usang’. ‘Yang usang’ ialah ‘yg tetap’ absolut. Konsep saat serta ruang historis nir berlaku bagi isme ini, sebab ‘yg usang’ terjadi selama-lamanya, kekal, dan tidak berubah. Segala perubahan adalah pemberontakan terhadap ‘yang usang’, serta karenanya amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (misalnya M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) dapat dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka seluruh menduga bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia permanen baik, permanen relevan, permanen wajib diterapkan dalam situasi terbaru, tetap wajib diwariskan ke generasi baru menjadi ‘penjaga’ bukti diri. Lamaisme sebagai isu terkini pulang pada era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof kepercayaan , baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, serta Konfusianisme, yg menolak pembaruan (religious reforms) pada dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk pada grup lamaisme ini. 

D. Baruisme
Isme ini merupakan versus berdasarkan lamaisme. Apa yg hendak dilestarikan sang lamaisme akan diserang dan dibatalkan sang baruisme, lantaran dia bertolak pada asumsi bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yang nir membawa pada kemajuan, tradisi usang yg nir lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yg jika tetap dilestarikan akan membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik orisinil, lantaran, pada akal tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme serta sukuisme yg justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, adalah Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, serta lain-lain. 

Tan Malaka, pada bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi usang dan mengusulkan tradisi baru yg diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya menggunakan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yg populer di era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga goresan pena-tulisannya sampai dia wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi usang dan mengusulkan tradisi baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, populer menggunakan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak buat ‘…melap-lap hasil kebudayaan usang sampai berkilat dan buat dibanggakan,…’, karena, ‘Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yang lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat pada apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang dalam intinya adalah pemutusan langsung (direct shift) dan penolakan tegas buat melestarikan Masyumisme antik. Sebagai gantinya, Nurcholish membangun prinsip baru yg amat revolusioner pada era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

E. Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ sebagai sentra tentang. Terpimpinisme bertolak berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia masih membutuhkan figur seseorang pemimpin yg dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, serta memandu mereka buat menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa paternalisme menganggap krusial eksistensi seseorang ‘bapak bangsa’ (pater) yg mendidik, membina, menunjuki, memandu, serta memimpin warga menjadi ‘anak-anak mini ’ nya. 

Contoh menurut konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal pada sejarah Filsafat Indonesia adalah konsep ‘keterpimpinan’ yg dapat dijumpai pada sebagian akbar goresan pena serta praktek Soekarno, keliru seseorang pendiri RI kita, yg disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala goresan pena dan praktek Soekarno mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ serta ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ artinya sejenis praktek demokrasi yg dilakukan dengan cara dipimpin sang seseorang sesepuh kata Soekarno yang dapat membimbing, menunjuki, dan memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ artinya sejenis praktek ekonomi-politik yang dilakukan menggunakan cara dipimpin sang lagi-lagi seorang sesepuh yang bisa membimbing dan mengantarkan masyarakat Indonesia menuju keadilan sosial-hemat. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, bila dipimpin sang seseorang sesepuh luar-biasa, yang kuasa yang lahir pada abad modern, yg dipuja rakyat sebagai teladan warga . Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini mudah sekali dituduh menjadi otoritarianisme terselubung, serta itu terbukti menggunakan praktek pengangkatan Soekarno menjadi ‘presiden seumur hayati’. 

Soeharto bisa pula dimasukkan ke pada filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang dapat memandu serta mengantarkan warga pada kemajuan; bapak yg sangat melindungi rakyatnya tapi pula sangat tuli dengan bunyi rakyatnya, karena suara masyarakat hanya bunyi ‘anak kecil’ yang wajib terus dibimbing. Soeharto pun menerima julukan ‘Bapak Pembangunan’, lantaran dia memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seseorang bapak terhadap anak-anak. 

F. Pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’ disebut juga sebagai ‘Soekarnoisme’yang dipercaya gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang menggunakan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia nir lagi meneruskan paham Soekarno mengenai ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik menjadi panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’, akan tetapi menggantinya menggunakan pandangan ‘ekonomi menjadi panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘percepatan pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, serta ‘globalisasi kapital’. 

Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ sudah nir relevan lagi, karena bukan menghasilkan kemajuan akan tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Isme ini memperlihatkan ‘politik pembangunan’ menjadi solusinya, menggunakan fokus bahwa dengan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

G. Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’yang bisa dianggap pula ‘Soehartoisme’dalam membawa warga menuju kesejahteraan serta kemakmuran, sinkron dengan yg dicita-citakan UUD 1945.

MAZHAB SUMBER DAN TOKOH FILSAFAT INDONESIA

Mazhab, Sumber, Dan Tokoh Filsafat Indonesia 
Kini tibalah dalam tempatnya buat membahas cabang-cabang menurut ‘Filsafat Indonesia’ serta tokoh-tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6 mazhab besar , berdasarkan dalam asal-sumber inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, serta Filsafat Paska-Soeharto.

A. Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo sudah menjelaskan pada muka, bahwa yg dimaksud dengan ‘Filsafat Etnik’ adalah ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ menurut suatu kelompok etnik pada Indonesia. Maka, apabila diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu adalah:

filsafat…  terbaca pada cara rakyat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari kitab -kitab sejarah dan sastra yg ditulisnya…

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil berdasarkan Indonesia, yg diproduksi sang local genius primitif sebelum kedatangan dampak filsafat asing. Di era neolitikum, kurang lebih tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia orisinil telah menciptakan komunitas berupa desa-desa mini yang sudah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, serta seni bertenun. Mereka juga telah mulai berspekulasi tentang segala yang mereka perhatikan berdasarkan alam, sehingga merekapun sudah menghasilkan filsafat, sekalipun pada bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia sekarang sudah poly yg dibukukan, sebagai akibatnya para peneliti Filsafat Indonesia kini bisa membacanya, baik pada Bahasa Indonesia maupun pada bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq sudah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997). 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ sudah banyak dilakukan sang filosof Indonesia. M. Nasroen merupakan orang pertama yg memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasa warsa 60-an, lalu Sunoto, yg melakukan kajian serius mengenai Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono menyelidiki Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, serta Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia serta Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga menelaah Filsafat Etnik Jawa, misalnya karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat mengenai Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yg terkandung dalam norma-istiadat suku Bali pada karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder menelaah Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena menelaah Filsafat Etnik Jawa menurut tradisi luriknya dalam buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara menelaah Filsafat Etnik Jawa berdasarkan tradisi peribahasanya pada kitab Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mempelajari Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa pada karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini menyelidiki kearifan tokoh Bima dalam karyanya Citra Bima pada Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami spesial orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, serta masih poly lagi filosof Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga dtk ini. 

B. Filsafat Timur
Yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan sang orang-orang ‘Timur’, menjadi kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan sang bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, nir semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik sang bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan berfokus sang filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap di Indonesia lebih menurut 30 abad yg kemudian! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara terkini dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji oleh filosof Indonesia sejak abad 19 M. Sun Yat-Senisme sudah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji sang Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji sang Oey Gee Hoat serta Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San hingga Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) serta Politik Tionghoa Peranakan pada Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia berdasarkan etnik Cina. 

‘Filsafat India’ pula masih sedikit yg mempelajari. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yang menyelidiki ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, misalnya karya Harun Hadiwidjono yg berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang menyelidiki ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya adalah R. Wahana Wegig yg mengkaji Filsafat Etika berdasarkan Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari adalah karya orisinal output menurut blending antara Filsafat Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau output berdasarkan blending antara Buddhisme dan Hinduisme, yang saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini merupakan output eksperimen filosofis berdasarkan beberapa filosof kreatif berdasarkan Indonesia, yg membentuk corak filosofis yang menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab kudus Buddhisme yang hayati pada kerajaan Medang Hindu pada lebih kurang tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yg Hinduist di pada buku kudus Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama serta Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin artinya terjemahan epik Hindu-India yg diadaptasi menggunakan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama merupakan karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yg mengungkapkan filsafat yg dianut Kertanagara (1268-1292), seseorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seseorang pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis kitab Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yg memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, buat menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) menggunakan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) berdasarkan Sailendra menciptakan Candi Borobudur yg bertingkat 9, buat memuja arwah 9 keluarga moyangnya pada perjalanan mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yang ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yg berjudul Busido, dan ke 2, karya Irmansyah Effendi yg berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

C. Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy adalah tradisi filsafat yg dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad lima SM-lima M), pertengahan (6 M-14 M), serta masa terkini (15 M-sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah sebagai banyak cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, serta lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yg cabang-cabangnya amat poly itu sudah poly dikaji sang filosof Indonesia, bahkan sanggup dikatakan sebagai filsafat yg paling poly dikaji serta yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, ketika kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ seringkali dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang sudah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, sudah dikajii oleh K. Bertens pada karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, misalnya Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga Plotinus, sudah dikaji sang Mohammad Hatta (galat satu founding father kita) pada bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga sosial-politik Indonesia poly yg terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara terbaru, lembaga perwakilan warga , distribusi kekuasaan yg sejalan dengan Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tadi sungguh-sungguh cerminan pengaruh alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji sang Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, serta Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen menyelidiki organisasi buruh komunis pada bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir pada tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji sang Tan Malaka dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ serta perkembangan Kapitalisme pada Indonesia pula dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung pengecap masyarakat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme pada bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat pada pidato Soepomo pada Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh perihal sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, poly sekali cabang filsafat Barat yang dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji sang Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni. Juga sang Wajid Anwar L. Dalam kedua bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji sang K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan Aborsi menjadi Masalah Etika. Juga dikaji sang W. Poespoprodjo pada bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna pada bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan menelaah Filsafat Etika yg diterapkan pada bidang Kehumasan pada karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo mempelajari Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi serta Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta pada bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi menyelidiki Filsafat Epistemologi yang diterapkan pada bidang Geografi pada karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji sang I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir serta Burhanuddin Salam pada bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono dalam karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika pada perspektif Roland Barthes dikaji sang Kurniawan dalam bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno pada bukunya Filsafat Hukum, Suhadi pada bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi pada kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Serta Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Juga sang Moertono pada bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji sang J.H. Rapar pada beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, serta Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno pula punya concern pada Filsafat Politik, sebagaimana terlihat pada bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, misalnya H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo pada bukunya Metodologi Sejarah, serta Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji sang Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, pada Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub pada karyanya Filsafat Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi pada karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy dalam bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah pada bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri dalam dua kitab masterpiece-nya Ilmu pada Perspektif serta Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam 2 karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, serta Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo pada karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib pada bukunya Filsafat Pendidikan, serta Paul Suparno pada bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji sang Zainal Abidin pada bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam pada bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono pada karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji sang satu-satunya filosof Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh 2 orang filosof, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, serta Peranan Para Tokohnya serta Kaelan pada karyanya Filsafat Analitis dari Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra serta Budaya jua dikaji satu-satunya sang FX. Mudji Sutrisno pada karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji sang The Liang Gie pada karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi jua dikaji satu-satunya sang Save M. Dagun pada karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab pada bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian pula Filsafat Administrasi yg dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian pada buku Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terbaru pula sempat mampir pada Indonesia, yang dikaji sang Budi Hardiman F. Dalam karyanya Melampaui Positivisme serta Modernitas, Onno W. Purbo pada karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, serta Ridwan Makassary pada karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang relatif menarik buat dibahas disini adalah Filsafat Barat yg diadaptasikan menggunakan situasi kongkrit Indonesia, yg saya namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini adalah aliran filosofis yang corak Baratnya telah sejauh mungkin dirubah, buat disesuaikan dengan situasi historis kongkrit pada Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat ini antara lain ialah Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka menelaah ‘teori gerilya’ berdasarkan Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno menelaah komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yg dikumpulkan serta diterbitkan sang Penerbit Grasindo menggunakan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika beliau berbicara tentang demokrasi Barat terkini buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia pada bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran serta pada gugusan tulisannya yg diterbitkan Tim LP3ES menggunakan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yg diterapkan Sjahrir dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang diterapkan dalam mempelajari kaum perempuan Indonesia dilakukan sang Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita pada Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman pada bukunya Feminis Laki-Laki serta Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo menyelidiki ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan dalam menelaah Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono menyelidiki pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

D. Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ merupakan filsafat yg lahir di wilayah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga adalah salah satu cabang yg seringkali dikaji dan yg paling dikuasai oleh filosof Indonesia, apalagi waktu ini komunitas Islam di Indonesia menempati posisi menjadi mayoritas. ‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke pada banyak cabang, misalnya Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam pada kategori regional pula cukup menarik, misalnya ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena ke 2 cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya memiliki corak yang tidak selaras. Bahkan, kini jua dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, lantaran dilema filosofis yang dihadapi dalam situasi historis kongkrit sang filosof Islam di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filosof Islam di Arab atau di Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab pada karyanya Islam Sufistik, K. Permadi pada bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Dalam bukunya Salat pada Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar pada karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan sang Asep Salahuddin pada karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah pada bukunya Teori Pendidikan dari Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini pada Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan sang Imam Barnadib dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji sang satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie pada bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji sang Zaini Dahlan pada karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid pada Ibadah Haji pada Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah Hukum Islam, serta oleh Ismail Muhammad Syah pada karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji sang A. Munawwir Sadzali dalam karyanya yg monumental Islam serta Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran serta Kamaruzzaman dalam kitab Relasi Islam serta Negara.

Teori pengetahuan berdasarkan mazhab Islam dikaji sang Imam Syafi’i dalam karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan pada Al-Quran dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji sang Muh. Hanif Dhakiri pada 2 bukunya Islam dan Pembebasan serta Paulo Freire, Islam serta Pembebasan. Juga sang Fachrizal A. Halim pada karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam jua banyak ditulis sang filosof Islam Indonesia seperti sang Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi pada Islam, Soedarsono pada karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah serta Perkembangannya pada Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta sang J.W.M. Bakker dalam karyanya yang klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan sang Ilhamuddin dalam buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran Islam Modern pada Timur Tengah, A. Munir pada bukunya Aliran Modern pada Islam, H.A. Mukti Ali pada buku Islam dan Sekularisme pada Turki Modern serta oleh Harun Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh serta Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ jua poly yang mempelajari, terutama sehabis Syi’isme disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, misalnya ‘Filsafat Islam Indonesia’, telah banyak yang membahas, terutama tentang mazhab-mazhab misalnya ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’, sehingga tidak perlu dibahas lagi pada sini. Hanya saja, ada kesamaan baru saat ini yang penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yg mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka pada buku-kitab tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas sang rakyat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka dalam terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus pula adalah bukti ketololan mereka akan tata-bahasa bahasa Arab—relatif pertanda bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, akan tetapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah homogen filsafat. Hartono Ahmad Jaiz bisa dimasukkan pada mazhab ini. Dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yg pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ serta ‘Neo-modernisme’. Bukunya yg lain Ada Pemurtadan pada IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yg bercorak liberal, modern, serta neo-modern. 

E. Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) merupakan filsafat yg lahir pada wilayah kuasa Kristen dan diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ pula merupakan bidang yg amat dikuasai sang filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi pada beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yg diklaim juga menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans serta Reformasi’, serta ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, misalnya ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yg harus diresponi umat Kristen pada negara-negara itu nir mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, semenjak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, sudah dikaji oleh A. Hanafi pada bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, contohnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi berdasarkan Louis Bouyer. 

Yang tidak kalah menariknya adalah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan dengan situasi riel yg dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ bisa dibagi dalam 4 cabang misalnya ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, serta ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja pada Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ cukup banyak yang mengkaji sejak era Soeharto, seperti yang dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, serta Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani sang Smita Notosusanto, seperti kajiannya pada buku Perempuan dan Pemberdayaan serta St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama. 

F. Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yg lahir buat mengritik paham dan praxis Soehartoisme—modernisasi yg dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—dan hendak menghapus segala sisa-residunya menggunakan cara menggantinya menggunakan paham alternatif. Kritik terhadap Soehartoisme telah mulai merebak semenjak dasawarsa 1970-an menurut kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari pada Jakarta (1974), akan tetapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, balik kritikan dilancarkan sang beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yg lalu dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini adalah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, serta Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran menurut Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, mengikuti keadaan menggunakan situasi Indonesia baru, bahkan hingga waktu ini. Soehartoisme tetap bertahan, yg terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap dianggap ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat berdasarkan kritik warga . Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, saudara tertua kandung berdasarkan Sri-Bintang, sebagai akibatnya ia risi bahwa yang terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser.