HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASIONAL KEEFEKTIFAN ORGANISASIONAL DAN KEPEMIMPINAN TELAAH PERSPEKTIF UNTUK RISET

Hubungan Budaya Organisasional, Keefektifan Organisasional Dan Kepemimpinan, Telaah Perspektif Untuk Riset
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar tiga konstruk krusial dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam aneka macam perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal berdasarkan hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada berbagai setting sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga pada kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, taktik dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi menurut kenyataan yg dapat diamati dari poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tersebut dari beragam perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional adalah pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tersebut menaruh arti tersendiri serta menjadi dasar aturan berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yg ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-kasus yang timbul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yg telah berjalan menggunakan relatif baik, sehingga perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan mencicipi berkenaan menggunakan perkara-masalah tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 taraf, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yg seharusnya bisa mereka berikan pada organisasi”.

Pada taraf ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) serta filosofi berdasarkan pemimpin organisasi untuk bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih dan cara yg tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan pada suatu organisasi yg menciptakan serta mensugesti perilaku dan konduite kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu cognitive framework yg meliputi perilaku, nilai-nilai, norma konduite serta asa-asa yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat seluruh anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yg dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi waktu yg panjang (holistic), dua) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) berhubungan dengan sesuatu yg bersifat ritual serta simbolik, 4) dihasilkan serta dipertahankan sang grup-gerombolan yg secara beserta-sama membangun organisasi (social constructed), lima) halus (soft) serta 6) sukar berubah (hard to change)

Smircich (1983) menampakan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua menjadi “ruh” organisasi lantaran pada sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan seperti jua konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tadi disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, taraf analisis yang appropriate dan kelompok aktivitas organisasional mana yang mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi tidak membuat konsep keefektifan “hengkang” menurut topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), terdapat tiga alasan meliputi teoritis, realitas dan simpel. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada kegiatan riset dan konsep krusial dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements tentang kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak ada dua pandangan yg paling poly dipakai pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis output yang sudah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan gerombolan atau organisasi menurut pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yg lebih tinggi di pada organisasi. 

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual tentang keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak selaras. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman serta Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg acapkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan sang permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Perseteruan tersebut mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam banyak sekali penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar telah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga interaksi keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memberitahuakn dukungan krusial bagi proposisi pada atas bahwa budaya perusahaan mempunyai dampak terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang mempunyai budaya yg sinkron dengan taktik dan bisa menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) menyampaikan bahwa peningkatan kinerja organisasional pula ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tadi sejalan dengan kajian sebelumnya yg dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah utama budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai efek yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yg lebih menentukan sukses atau gagalnya perusahaan dalam masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang apabila di pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yang layak dan cerdas, dan 4) dibentuk buat mempertinggi kinerja perusahaan.

Demikian pula output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger pada dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over seperti yg diperoleh berdasarkan sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan di atas didukung juga oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, misalnya: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara di Indonesia, studi mengenai pengaruh budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan banyak sekali departemen pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti realitas adanya pengaruh positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional bisa mendorong organisasi tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasional memiliki peran yg sangat strategis buat mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial buat memilih arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola asal daya sebagai kekuatan internal dalam memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg lalu menjadikan pula dalam pendefinisian yang beragam serta kadang kurang sempurna secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan aspek menurut fenomena perhatian mereka yg paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite dari seorang individu yg memimpin kegiatan-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yg ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan merupakan dampak antar eksklusif yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam asa dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses mensugesti kegiatan-aktivitas sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) berpendapat bahwa para pemimpin merupakan mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yg efektif terhadap orde sosial dan yang diperlukan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan buat melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi tentang kepemimpinan sebanyak jumlah orang yg telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses imbas sosial (dampak yang sengaja dijalankan sang seseorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-aktivitas dan interaksi-hubungan di pada sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda menurut peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.
1. Pendekatan menurut ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi dalam pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan menurut konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, serta mencoba menjelaskan isi aktivitas-aktivitas manajer menggunakan menggunakan kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yg efektif dan nir efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba mengungkapkan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi dicermati sebagai hal krusial bukan saja buat mempengaruhi bawahan, namun juga kawan sejawat, atasan juga orang yg berada di luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, memberikan fokus pada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang pada para pengikut. Studi ini juga berakar berdasarkan tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menyebutkan mengapa para pengikut menurut pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan usaha yg luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ grup.
7. Kepemimpinan dalam gerombolan pengambil keputusan, mengungkapkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam grup pengambil keputusan.

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

Sejarah Dan Kebudayaan Islam Di Indonesia
Sejarah tidak ubahnya kacamata masa lalu yg sebagai pijakan dan langkah setiap manusia pada masa mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga buat tidak hanya sekedar paham sains tapi pula paham akan sejarah kebudayaan islam di masa lalu buat menganalisa dan merogoh ibrah menurut setiap peristiwa yg pernah terjadi. Seperti yg kita ketahui sesudah tumbangnya kepemimpinan masa khulafaurrasyidin maka berganti jua sistem pemerintahan Islam pada masa itu sebagai masa daulah, dan pada makalah ini akan tersaji sedikit mengenai masa daulah Abbasiyah. 

Dengan segala keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah ini tidak akan dijabarkan satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas inti menurut masa daulah Abbasiyah dalam ketika itu, yaitu mengenai sub pokok bahasan seperti yang telah tertuang pada istilah pengantar, meliputi:
  • Bagaimana kemunculan daulah Abbasiyah, dimana akan diuraikan bagaimana peralihan berdasarkan masa daulah Umayyah ke masa daulah. 
  • Masa kejayaaan daulah Abbasiyah, yaitu membahas mengenai pada masa khalifah siapakah masa kejayaan itu terjadi serta prestasi apa saja yang pernah diraih. 
  • Runtuhnya daulah Abbasiyah, yaitu menyebutkan karena-karena mengapa daulah umayyah runtuh. 
Demikianlah sedikit citra tentang isi makalah ini yang tim penulis buat menggunakan metode literatur kaji pustaka terhadap buku-kitab yang berhubungan dengan tema makalah yg kami untuk.  
Dengan tumbangnya daulah Bani Umayyah maka eksistensi Daulah Bani Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan pada masa kekhalifahan Islam waktu itu, dimana daulah Abbasiyah in sebelumnya sudah menyusun dan menata kekuatan yang begitu rapid an berkala. Dan dalam makalah ini akan diurakan sesikit menganaiberdirinya masa kekhalifahan Abbasiyah, masa kejayaan dan prestasi apa saja yang pernah diraih dan apa saja penyebab runtuhnya daulah Abbasiyah.

Kelahiran Daulah Abbasiyah
Pemerintahan As-Saffah 
Khalifah abbasiyah yg pertama adalah Abu Abbas, dialah yang diberi kepercayaan kepada pamannya Abdullah pada perang melawan Marwan II, khalifah terakhir Bani Umayyah. Hingga akhir khalifah Abbas memberi kepercayaan pada SalihBin Ali untuk membunuhMarwan, yang lalu kepala marwan dikirim ke khalifah Abbas.

Saffah kemudian dipindah ke Anbar, dia memakai sebagian akbar menurut masa pemerintahannya buat memeragi pemimpin-pemimpin arab yang membantu Umayyah. Dia mengusir mereka kecuali Abdurrahman yg tidak berapa usang kemudian mendirikan dinasti Umayyah pada Spayol. Saffah pula menetapkan buat menghabisi nyawa beberapa orang pembantu bani Umayyah. Ia membunuh Abu Salama, dikenal menjadi menteri (Wadi’) dari keluarga Nabi Muhammad, misalnya halnya dia membunuh Abu Hubayra, salahsatu dari pemimpin bani Umayyah zaman Marwan II selesainya memberi kebebasan kepadanya.

Kekhalifahan Saffah bertahan selama 4 tahun sembulan bulan. Dia wafat pada tahun 136 H pada Anbar, satu kota yang telah dijadikan menjadi tmpat kedudukan pemerinyahannya.

Sistem Kekhalifahan Abbasiyah 
Khalifah Abbasiyah ke 2 mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul menggunakan bantuan orang-orang Persia yg merasa bosan terhadap bani Umayyah pada dalam perkara sosial ddan pilitik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang menggunakan gelar”Imam” pemimpinmasyarakat muslim buat menekankan artikeagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyahdi pada mengumumkanlebih dari satu putra mahkota raja.

Mansur dianggap sebagaipendiri ke 2 berdasarkan Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibukota DinastiAbbasiyah danmerupakan sentra perdaganganserta kebudayaan. Hingga Baghdad dipercaya menjadi kota terpenting di dunia dalam ketika itu yang kaya akan ilmu pengetahuan serta kesenian. Hingga beberapa dekade lalu dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.

Kejayaan Daulah Abbasiyah
1. Gerakan penerjemahan
Meski aktivitas penerjemahan telah dimulai semenjak Daulah Umayyah, upaya buat menerjemahkan dan menskrinsip berbahasa asing terutama bahasa yunani dan Persia ke dalam bahasa arab mengalami masa keemasan pada masa DaulahAbbasiyah. Para ilmuandiutus ke daeah Bizantium buat mencari naskah-naskah yunanidalam berbagai ilmu terutama filasafat dan kedokteran. Sedangkan perburuan manuskrip di wilayah timur seperti Persia adalah terutama pada bidang tata Negara serta sastra.

Pelopor gerakan penerjemahan dalam awal pemerintahan daulah Abbasiyah merupakan Khalifah Al-Mansyur yang jua membentuk Ibu kota Baghdad. Pada awal penerjemahan, naskah yg diterjemahkan terutama dalambidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudiannaskah-naskahfilsafat karya Aristoteles serta Plato jua diterjemahkan. Dalam masa keemasan, karya yg poly diterjemahkan mengenai ilmu-ilmu pramatis seperti kedokteran. Naskah astronomi serta matematika jua diterjemahkan namun, karya-karya berupa puisi, drama, cerpen serta sejarah jarang diterjemakan lantaran bidang ini dianggap kurang bermanfa’at dan dalam hal bahasa,arab sendiri perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat maju.

- Baitul hikmah
Baitul pesan tersirat merupakan perpustakaan yangberfungsi menjadi pusat pengembagan ilmu pengetahuan.

- Pada masa harun ar-rasyid
Institusi ini bernama Khizanahal-Hikmah (Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi menjadi perpustakaan serta sentra penelitian.

- Pada masa al-ma’mun
Lembaga ini dikembangkan dari tahun 815 M dan diubah namanya sebagai Bait al-Hikmah, yg digunakan secara lebihmaju yaitu sebagaitempatpenyimpanan buku-kitab kuno yg didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan dariEthiopia danIndia. Direktur perpustakaannya seorang nasionalis Persia dan ahli pahlewi, Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan Al-Ma’mun, lembaga ini menjadi perpustakaan jua menjadi sentra aktivitas study serta riset astronomi serta matematika.

2. Dalam bidang filasafat
Pada masa ini pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yg sangat luas seperti akal, geometri, astronomi, serta musik yang dipergunakan buat mengungkapkan pemikiran tak berbentuk, garis serta gambar, gerak dan su ibn Ishaq al-Kinemasa abbasiyah seperti Ya’kub ibn Ishaq al-Kinl-Farabi,Ibn Bajah, Ibnu Tufaildan Ibn Rushd menyebutkan pemikiran-pemikirannya menggunakan menggunakan model, metamor, analogi, dan gambaranimajinatif.

3. Dalam bidang hukum Islam
Karya pertama yg diketahui merupakan Majmu’ al Fiqh karya Zaid bin Ali (w.122 H/740 M)yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zaidiyah. Hakimagung yg pertama adalah Abu Hanifah (w.150/767).meskidiangap menjadi pendiri madzhab hanafi,karya-karyanya sendiri tidakada yg terselamatkan. Dua bukunya yg berjudul Fiqh alAkbar (terutama berisi artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi pemikiran-pemikirannya terselamatkankarena ditulis sang para muridnya.

4. Perkembangan Ekonomi
Ekonomi imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah masih ada banyak sekali macamindustri sepertikain linen pada mesir, sutra darisyiria dan irak, kertas berdasarkan samarkand, dan banyak sekali produk pertanian sepertigandum menurut mesir dan kurma menurut iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan Negara lain.

Karena industralisasi yg timbul pada perkotaan ini, urbanisasi tidak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang jua semarak. Emas yg ditambang berdasarkan Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.

Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yg sangat penting. Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang pada Cina jua mengalami masa zenit kejayaan sebagai akibatnya interaksi erdagangan antara keduanya menambah semaraknya aktivitas perdagangan global.

5. Dalam bidang Peradaban
Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan menggunakan mendatangkan naskah-naskah antik berdasarkan berbagai pusat peradaban sebelumnya buat lalu diterjemahkan, disesuaikan dan diterapkan pada dunai Islam. Para ulama’ muslim yang ahli dalam banyak sekali ilmu pengetahuan baik agama juga non kepercayaan jua ada pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh kemajua ekonomi imperium yg sebagai penghubung dunua timur serta barat. Stabilitas politik yang nisbi baik terutama dalam masa Abbasiyah awal ini jua menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam

Runtuhnya Daulah Abbasiyah
Sebab –karena keruntuhan daulah Abbasyiah
Keruntuhan dari segi internal ( berdasarkan dalam ) 
Ø Mayoritas kholifah Abbasyiah periode akhir lebih mementingkan urusan eksklusif serta melalaikan tugas serta kewajiban mereka terhadap negara.
Ø Luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Abbasyiah, sementara komunikasi pusat menggunakan daerah sulit dilakukuan.
Ø Semakin kuatnya efek keturunan Turki, menyebabkan grup Arab serta Persia menaruh kecemburuan atas posisi mereka.
Ø Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata ketergantungan khalifah pada mereka sangat tinggi.
Ø Permusuhan antar grup suku dan gerombolan kepercayaan .

BEBERAPA SARAN TOPIK KAJIAN FILSAFAT INDONESIA

Beberapa Saran Topik Kajian ‘Filsafat Indonesia’ 
Kajian Filsafat Indonesia masih baru, serta karena itu, masih sangat luas. Setiap pengkaji Filsafat Indonesia nir akan kehabisan bahan kajian, lantaran Filsafat Indonesia adalah ‘tanah air filsafat’ yg baru. Setiap orang bisa sebagai ‘anggota’ dan ‘warganegara’ pada dalamnya serta setiap orang akan menerima ‘huma kajian’ yg berhektar-hektar luasnya. Di bawah ini hanyalah ‘sedikit hektar lahan kajian’ yang bisa dijadikan pertimbangan dalam menentukan judul kajian dalam penulisan ilmiah (seperti makalah, paper, proceedings, tesis, atau disertasi) terhadap kenyataan filsafat yg diklaim Filsafat Indonesia itu.

Filsafat Etnik
1. Metafisika dalam Budaya Jawa
2. Metafisika pada Budaya Sunda
3. Metafisika dalam Budaya Bugis
4. Metafisika dalam Budaya Bali
5. Metafisika pada Budaya Batak
6. Metafisika pada Budaya Riau
7. Metafisika pada Budaya Lombok
8. Metafisika pada Budaya Kalimantan
9. Metafisika pada Budaya Sulawesi
10. Metafisika pada Budaya Papua
11. Etika dalam Budaya Sunda
12. Etika dalam Budaya Batak
13. Etika dalam Budaya Bugis
14. Etika dalam Budaya Kalimantan
15. Etika pada Budaya Papua
16. Teori Pengetahuan dalam Budaya Jawa
17. Teori Pengetahuan dalam Budaya Bali
18. Teori Pengetahuan pada Budaya Lombok
19. Teori Pengetahuan dalam Budaya Sunda
20. Teori Pengetahuan pada Budaya Papua
21. Teori Pengetahuan pada Budaya Riau
22. Teori Pengetahuan pada Budaya Bugis
23. Teori Pengetahuan pada Budaya Kalimantan
24. Teori Pengetahuan dalam Budaya Batak
25. Konsep Kekuasaan pada Budaya Jawa
26. Konsep Kekuasaan pada Budaya Bali
27. Konsep Kekuasaan pada Budaya Batak
28. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Bugis
29. Konsep Kekuasaan pada Budaya Kalimantan
30. Konsep Kekuasaan dalam Budaya Papua
31. Konsep Manusia pada Budaya Jawa
32. Konsep Manusia dalam Budaya Bali
33. Konsep Manusia dalam Budaya Batak
34. Konsep Manusia pada Budaya Bugis
35. Konsep Manusia pada Budaya Riau
36. Konsep Manusia pada Budaya Papua
37. Kosmologi pada Budaya Jawa
38. Kosmologi dalam Budaya Sunda
39. Kosmologi pada Budaya Bali
40. Kosmologi dalam Budaya Bugis
41. Kosmologi dalam Budaya Lombok
42. Kosmologi dalam Budaya Sulawesi
43. Kosmologi dalam Budaya Papua
44. Konsep Tuhan dalam Budaya Jawa
45. Konsep Tuhan dalam Budaya Bali
46. Konsep Tuhan dalam Budaya Lombok
47. Konsep Tuhan dalam Budaya Lampung
48. Konsep Tuhan dalam Budaya Palembang
49. Konsep Tuhan dalam Budaya Aceh
50. Konsep Tuhan pada Budaya Batak
51. Konsep Tuhan pada Budaya Riau
52. Teleologi dalam Budaya Jawa
53. Teleologi dalam Budaya Bali
54. Teleologi pada Budaya Batak
55. Teleologi pada Budaya Bugis
56. Teleologi dalam Budaya Kalimantan
57. Teleologi dalam Budaya Papua
58. Fungsi Adat dalam Budaya Jawa
59. Fungsi Adat pada Budaya Bali
60. Fungsi Adat dalam Budaya Batak
61. Fungsi Adat pada Budaya Jambi
62. Fungsi Adat dalam Budaya Ambon
63. Fungsi Adat dalam Budaya Bugis
64. Fungsi Adat dalam Budaya Papua
65. Konsep Kematian pada Budaya Jawa
66. Konsep Kematian pada Budaya Sunda
67. Konsep Kematian dalam Budaya Batak
68. Konsep Kematian dalam Budaya Bugis
69. Konsep Kematian dalam Budaya Papua
70. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Jawa
71. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Sunda
72. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Bali
73. Konsep Kelahiran Manusia pada Budaya Bugis
74. Konsep Kelahiran Manusia dalam Budaya Papua
75. Makna Perkawinan dalam Budaya Jawa
76. Makna Perkawinan dalam Budaya Sunda
77. Makna Perkawinan dalam Budaya Bali
78. Makna Perkawinan pada Budaya Lombok
79. Makna Perkawinan dalam Budaya Papua
80. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Jawa
81. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Bali
82. Konsep Dunia Gaib dalam Budaya Sunda
83. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Batak
84. Konsep Dunia Gaib pada Budaya Bugis
85. Konsep Waktu pada Budaya Jawa
86. Konsep Waktu dalam Budaya Sunda
87. Konsep Waktu pada Budaya Batak
88. Konsep Waktu pada Budaya Bugis
89. Konsep Waktu pada Budaya Papua
90. Konsep Kawan serta Lawan dalam Budaya Jawa
91. Konsep Kawan dan Lawan pada Budaya Sunda
92. Konsep Kawan serta Lawan pada Budaya Bali
93. Konsep Kawan serta Lawan dalam Budaya Bugis
94. Konsep Kawan dan Lawan pada Budaya Papua
95. Teori Keberhasilan dalam Budaya Jawa
96. Teori Keberhasilan pada Budaya Sunda
97. Teori Keberhasilan dalam Budaya Bali
98. Teori Kegagalan dalam Budaya Jambi
99. Teori Kegagalan pada Budaya Lampung
100. Konsep Menghormati pada Budaya Papua

Filsafat India-Indonesia
1. Metafisika pada Kakawin Sutasoma
2. Metafisika pada Negarakertagama
3. Metafisika pada Sang Hyang Kamahayanikam
4. Teori Pengetahuan pada Kakawin Sutasoma
5. Teori Pengetahuan pada Negarakertagama
6. Teori Pengetahuan pada Sang Hyang Kamahayanikam
7. Konsep Tuhan dalam Kakawin Sutasoma
8. Konsep Tuhan pada Negarakertagama
9. Konsep Kekuasaan pada Kakawin Sutasoma
10. Konsep Kekuasaan dalam Negarakertagama
11. ‘Agama Lain’ pada Kakawin Sutasoma
12. ‘Agama Lain’ pada Negarakertagama
13. Konsep Waktu pada Kakawin Sutasoma
14. Konsep Waktu dalam Negarakertagama
15. Konsep Manusia pada Kakawin Sutasoma
16. Konsep Manusia dalam Negarakertagama
17. Kosmologi pada Kakawin Sutasoma
18. Kosmologi dalam Negarakertagama
19. Etika dalam Kakawin Sutasoma
20. Etika pada Negarakertagama
21. Teori Sorga pada Kakawin Sutasoma
22. Teori Sorga dalam Negarakertagama
23. Teori Politik pada Kakawin Sutasoma
24. Teori Politik pada Negarakertagama
25. Teori Kebahagiaan pada Kakawin Sutasoma
26. Teori Kebahagiaan dalam Negarakertagama
27. Teori Keberhasilan dalam Kakawin Sutasoma 
28. Teori Kegagalan dalam Negarakertagama
29. Teleologi dalam Kakawin Sutasoma
30. Teleologi dalam Negarakertagama
31. Konsep Sejarah pada Kakawin Sutasoma
32. Spiritualitas dalam Kakawin Sutasoma
33. Spiritualitas pada Negarakertagama
34. Teori Kehidupan pada Kakawin Sutasoma
35. Teori Kematian pada Negarakertagama
36. Ajaran Karma pada Kakawin Sutasoma
37. Konsep Makhluk Halus pada Kakawin Sutasoma
38. Konsep Dewa-Dewi dalam Kakawin Sutasoma

Filsafat Cina
1. Sun Yat-Sen di Mata Tionghoa Indonesia
2. Maoisme Tionghoa Indonesia
3. Teori Politik Tionghoa Indonesia
4. Komunisme pada Mata Tionghoa Indonesia
5. Konfusianisme Tionghoa Indonesia
6. Anti-konfusianisme Tionghoa Indonesia
7. Konsep Keberhasilan Tionghoa Indonesia
8. Konsep Kegagalan Tionghoa Indonesia
9. Konsep Hidup Tionghoa Indonesia
10. Konsep Manusia pada mata Tionghoa Indonesia
11. Etika Tionghoa Indonesia
12. Metafisika Tionghoa Indonesia
13. Teori Pengetahuan orang Tionghoa Indonesia
14. Makna Perkawinan dari Tionghoa Indonesia
15. Makna Kematian menurut Tionghoa Indonesia 

Filsafat Islam
1. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Hamzah Fansuri
2. Pemikiran Metafisika pada Filsafat Ronggowarsito
3. Pemikiran Metafisika dalam Filsafat Ki Ageng Selo
4. Pemikiran Metafisika pada Filsafat Suryomentaram
5. Pemikiran Metafisika dalam Puisi-Puisi Emha Ainun Najib & Soetardji Calzoum Bachri

Filsafat Barat
1. Demokrasi pada Indonesia
2. Federalisme: Konsep dan Aplikasinya
3. HAM dan Akar Filosofisnya
4. Feminisme pada Indonesia
5. Eksistensialisme pada Puisi-Puisi Chairil Anwar

Filsafat Kristen
1. Ekaristi dan Filsafatnya
2. Transubstansiasi: Filsafat dan Sejarahnya
3. Hermeneutika Injili: Filsafat dan Aplikasinya

Filsafat Paska-Soeharto
1. Reformasi: Tujuan-Tujuan dan Aplikasinya
2. Filsafat Reformasi

METODE PENGKAJIAN FILSAFAT INDONESIA

Metode Pengkajian Filsafat Indonesia 
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yg dipakai buat memahami gejala atau empiris. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat benar-benar sangat akbar. Filsafat adalah realitas yang terus berkecimpung kekal dan berseliweran pada depan mata seorang filosof, lantaran sejarah (ketika serta ruang) terus berubah kekal. Hanya metodelah yg mampu menciptakan still photo menurut realitas filsafat yg berkecimpung tak pernah mati itu.

Banyak sekali metode yang bisa digunakan buat tahu gejala filsafat pada Indonesia, mulai berdasarkan yg imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar model berdasarkan beberapa metode pengkajian filsafat yang sudah dilakukan sang beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita dalam dibagi dua superstructure-infrastructure pada Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup kepercayaan , seni, dan filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yg menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan artinya ‘feudalisme’, maka kebudayaan yg diproduksi bersamaan menggunakan itu artinya budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode homogen ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat pada Indonesia tergantung pada cara rakyat itu bertahan hidup (survive); cara rakyat itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika warga itu dapat bertahan hayati menggunakan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan herbi sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep trend baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yg dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir rakyat persawahan’, ‘pola-pikir warga perladangan’, ‘pola-pikir warga peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir rakyat pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu masih ada perbedaan yg amat akbar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yg paling kuno buat mempelajari kenyataan kemanusiaan, termasuk kenyataan filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, kemudian diurai pada suatu kronologi, lalu pada kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yg meliputi biografi tokoh, karya-karya tokoh, kiprah-peran tokoh itu pada sejarah filsafat, dan mampu jua ditambahkan data-data mengenai peran historis tokoh itu dalam sejarah global atau dalam sejarah filsafat global. Metode ini sudah dipakai, contohnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry artinya pandangan bahwa filsafat—dimanapun serta kapanpun dia diproduksi—merupakan produk sejarah, dan karenanya, maka konteks sejarah yg melingkari filsafat itu harus ditemukan bila filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: syarat sosial apa yg menyebabkan Karl Marx membentuk filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa pada Jerman serta pada Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa pada era Marx serta Engels hayati yg mendorong mereka membentuk classless society? Apabila seluruh pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme bisa dipahami secara lebih dalam.

Metode Komparasi serta Kontras
Cara lain buat mengkaji Filsafat Indonesia artinya menggunakan cara mencari disparitas dan kecenderungan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, kemudian perbedaannya ditunjukkan, sebagai akibatnya nampak fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen memakai metode perbandingan dan paradoksal buat menunjukkan segi-segi berbeda berdasarkan Filsafat Indonesia yang membedakannya berdasarkan filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, kemudian berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat tidak sama dari dua filsafat lainnya karena mengajarkan ajaran-ajaran orisinil mengenai mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum norma, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia pribadi menurut teks-teks filsafat yang diwariskan seorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, kemudian ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari konklusi itu dibangunlah pengertian mengenai struktur filsafat yg dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, serta Jakob Sumardjo pada karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto pada karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi pada Jawa, mengamati relik-relik candi buat merenungi pesan cerita yang dipahatkan pada atasnya, menghirup udara di kurang lebih candi, bersemadi pada pada area candi buat mencicipi auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan gambaran metafisik berdasarkan candi itu ke dalam badan serta jiwanya, dan ketika itu seluruh berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya serta lalu membentuk konsep-konsep subjektif mengenai konsep kenegaraan Jawa darinya.

PERIODISASI FILSAFAT INDONESIA

Periodisasi Filsafat Indonesia 
Periodisasi yg biasa dilakukan sang sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, serta Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina pada periode-periode seperti Periode Klasik, Periode Pertengahan, serta Periode Modern. Lalu pertanyaannya lalu adalah apakah sejarawan filsafat Indonesia jua harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang harus mengikuti periodisasi Barat dan Cina itu, kapankah periode Klasik menurut Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik berdasarkan Filsafat Indonesia merupakan periode yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) sampai awal abad 19 M, kemudian periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, serta periode Kontemporer semenjak Soeharto lengser sampai dtk ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, akan tetapi bila ditelaah lebih dalam mengandung banyak dilema. Persoalan-masalah yang timbul adalah seperti: perbedaan apakah yg paling signifikan antara Filsafat Indonesia dalam era Klasik, era Modern, serta era Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu berdasarkan pada disparitas point of concern (pusat perhatian) yang dikaji filosof pada era eksklusif? Apakah disparitas antara ‘yang klasik’ menggunakan ‘yg terbaru’ hanyalah disparitas antara ‘yang menolak’ dengan ‘yg menerima’ efek Barat? Apakah disparitas periode hanya sekadar penanda waktu, menurut satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yg membedakan ‘titik pemberhentian’ yang satu menggunakan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yg membedakan ‘yang klasik’ dan ‘yang terbaru’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya masalah yg ada menggunakan mengikuti periodisasi ala Barat serta Cina memberitahuakn, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat buat sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yg dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yg pernah diproduksi sejak era neolitikum sampai sekarang. Di bawah ini akan diajukan dua model periodisasi yang mungkin lebih cocok buat penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia bisa dibentuk menurut datangnya budaya-budaya asing yg berinteraksi menggunakan budaya orisinil Indonesia, dengan cara menciptakan kronologi historis serta menyebutkan berdasarkan budaya dunia mana sumber filosofis itu berasal-mula. Dengan model ini, contohnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia bisa dipecah ke pada periode-periode seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, serta periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik orisinil Indonesia masih dipeluk serta dipraktekkan sang orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, dan periode Barat dimulai saat orang Indonesia mulai kemasukan filsafat menurut sumber-asal budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.

Filsafat Indonesia dalam periode Etnik, misalnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, hukum adat, serta segala yg asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia pada periode Cina meliputi Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, serta Maoisme. Filsafat Indonesia dalam periode India meliputi Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, dan Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme serta Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, serta periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme sampai Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia juga bisa dibuat dari insiden-kejadian krusial pada bepergian sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk pada periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik asli Indonesia, filsafat tata cara etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, serta filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yg masuk dalam periode Kemerdekaan ialah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yang masuk dalam periode Soekarno merupakan filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi dan Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yg sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak dan filsuf mencari cara lain dalam filsafat-filsafat lain misalnya Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, serta Revolusionisme.

MAZHAB SUMBER DAN TOKOH FILSAFAT INDONESIA

Mazhab, Sumber, Dan Tokoh Filsafat Indonesia 
Kini tibalah dalam tempatnya buat membahas cabang-cabang menurut ‘Filsafat Indonesia’ serta tokoh-tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6 mazhab besar , berdasarkan dalam asal-sumber inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, serta Filsafat Paska-Soeharto.

A. Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo sudah menjelaskan pada muka, bahwa yg dimaksud dengan ‘Filsafat Etnik’ adalah ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ menurut suatu kelompok etnik pada Indonesia. Maka, apabila diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu adalah:

filsafat…  terbaca pada cara rakyat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari kitab -kitab sejarah dan sastra yg ditulisnya…

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil berdasarkan Indonesia, yg diproduksi sang local genius primitif sebelum kedatangan dampak filsafat asing. Di era neolitikum, kurang lebih tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia orisinil telah menciptakan komunitas berupa desa-desa mini yang sudah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, serta seni bertenun. Mereka juga telah mulai berspekulasi tentang segala yang mereka perhatikan berdasarkan alam, sehingga merekapun sudah menghasilkan filsafat, sekalipun pada bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia sekarang sudah poly yg dibukukan, sebagai akibatnya para peneliti Filsafat Indonesia kini bisa membacanya, baik pada Bahasa Indonesia maupun pada bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq sudah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak (Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997). 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ sudah banyak dilakukan sang filosof Indonesia. M. Nasroen merupakan orang pertama yg memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dasa warsa 60-an, lalu Sunoto, yg melakukan kajian serius mengenai Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono menyelidiki Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, serta Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia serta Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga menelaah Filsafat Etnik Jawa, misalnya karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat mengenai Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yg terkandung dalam norma-istiadat suku Bali pada karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder menelaah Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena menelaah Filsafat Etnik Jawa menurut tradisi luriknya dalam buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara menelaah Filsafat Etnik Jawa berdasarkan tradisi peribahasanya pada kitab Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mempelajari Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa pada karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini menyelidiki kearifan tokoh Bima dalam karyanya Citra Bima pada Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami spesial orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, serta masih poly lagi filosof Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga dtk ini. 

B. Filsafat Timur
Yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan sang orang-orang ‘Timur’, menjadi kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan sang bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, nir semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik sang bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan berfokus sang filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap di Indonesia lebih menurut 30 abad yg kemudian! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara terkini dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji oleh filosof Indonesia sejak abad 19 M. Sun Yat-Senisme sudah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji sang Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji sang Oey Gee Hoat serta Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San hingga Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) serta Politik Tionghoa Peranakan pada Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia berdasarkan etnik Cina. 

‘Filsafat India’ pula masih sedikit yg mempelajari. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yang menyelidiki ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, misalnya karya Harun Hadiwidjono yg berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang menyelidiki ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya adalah R. Wahana Wegig yg mengkaji Filsafat Etika berdasarkan Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari adalah karya orisinal output menurut blending antara Filsafat Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau output berdasarkan blending antara Buddhisme dan Hinduisme, yang saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini merupakan output eksperimen filosofis berdasarkan beberapa filosof kreatif berdasarkan Indonesia, yg membentuk corak filosofis yang menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab kudus Buddhisme yang hayati pada kerajaan Medang Hindu pada lebih kurang tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yg Hinduist di pada buku kudus Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama serta Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin artinya terjemahan epik Hindu-India yg diadaptasi menggunakan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama merupakan karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yg mengungkapkan filsafat yg dianut Kertanagara (1268-1292), seseorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seseorang pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis kitab Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yg memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, buat menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) menggunakan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) berdasarkan Sailendra menciptakan Candi Borobudur yg bertingkat 9, buat memuja arwah 9 keluarga moyangnya pada perjalanan mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yang ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yg berjudul Busido, dan ke 2, karya Irmansyah Effendi yg berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

C. Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy adalah tradisi filsafat yg dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad lima SM-lima M), pertengahan (6 M-14 M), serta masa terkini (15 M-sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah sebagai banyak cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, serta lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yg cabang-cabangnya amat poly itu sudah poly dikaji sang filosof Indonesia, bahkan sanggup dikatakan sebagai filsafat yg paling poly dikaji serta yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, ketika kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ seringkali dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang sudah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, sudah dikajii oleh K. Bertens pada karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, misalnya Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga Plotinus, sudah dikaji sang Mohammad Hatta (galat satu founding father kita) pada bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga sosial-politik Indonesia poly yg terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara terbaru, lembaga perwakilan warga , distribusi kekuasaan yg sejalan dengan Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tadi sungguh-sungguh cerminan pengaruh alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji sang Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, serta Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen menyelidiki organisasi buruh komunis pada bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir pada tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji sang Tan Malaka dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ serta perkembangan Kapitalisme pada Indonesia pula dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung pengecap masyarakat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme pada bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat pada pidato Soepomo pada Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh perihal sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, poly sekali cabang filsafat Barat yang dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji sang Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni. Juga sang Wajid Anwar L. Dalam kedua bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji sang K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan Aborsi menjadi Masalah Etika. Juga dikaji sang W. Poespoprodjo pada bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna pada bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan menelaah Filsafat Etika yg diterapkan pada bidang Kehumasan pada karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo mempelajari Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi serta Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta pada bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi menyelidiki Filsafat Epistemologi yang diterapkan pada bidang Geografi pada karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji sang I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir serta Burhanuddin Salam pada bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono dalam karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika pada perspektif Roland Barthes dikaji sang Kurniawan dalam bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno pada bukunya Filsafat Hukum, Suhadi pada bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi pada kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Serta Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Juga sang Moertono pada bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji sang J.H. Rapar pada beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, serta Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno pula punya concern pada Filsafat Politik, sebagaimana terlihat pada bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, misalnya H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo pada bukunya Metodologi Sejarah, serta Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji sang Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, pada Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub pada karyanya Filsafat Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi pada karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy dalam bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah pada bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri dalam dua kitab masterpiece-nya Ilmu pada Perspektif serta Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam 2 karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, serta Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo pada karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib pada bukunya Filsafat Pendidikan, serta Paul Suparno pada bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji sang Zainal Abidin pada bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam pada bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono pada karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji sang satu-satunya filosof Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh 2 orang filosof, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, serta Peranan Para Tokohnya serta Kaelan pada karyanya Filsafat Analitis dari Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra serta Budaya jua dikaji satu-satunya sang FX. Mudji Sutrisno pada karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji sang The Liang Gie pada karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi jua dikaji satu-satunya sang Save M. Dagun pada karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab pada bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian pula Filsafat Administrasi yg dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian pada buku Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terbaru pula sempat mampir pada Indonesia, yang dikaji sang Budi Hardiman F. Dalam karyanya Melampaui Positivisme serta Modernitas, Onno W. Purbo pada karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, serta Ridwan Makassary pada karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang relatif menarik buat dibahas disini adalah Filsafat Barat yg diadaptasikan menggunakan situasi kongkrit Indonesia, yg saya namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini adalah aliran filosofis yang corak Baratnya telah sejauh mungkin dirubah, buat disesuaikan dengan situasi historis kongkrit pada Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat ini antara lain ialah Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka menelaah ‘teori gerilya’ berdasarkan Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno menelaah komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yg dikumpulkan serta diterbitkan sang Penerbit Grasindo menggunakan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika beliau berbicara tentang demokrasi Barat terkini buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia pada bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran serta pada gugusan tulisannya yg diterbitkan Tim LP3ES menggunakan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yg diterapkan Sjahrir dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang diterapkan dalam mempelajari kaum perempuan Indonesia dilakukan sang Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita pada Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman pada bukunya Feminis Laki-Laki serta Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo menyelidiki ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan dalam menelaah Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono menyelidiki pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

D. Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ merupakan filsafat yg lahir di wilayah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga adalah salah satu cabang yg seringkali dikaji dan yg paling dikuasai oleh filosof Indonesia, apalagi waktu ini komunitas Islam di Indonesia menempati posisi menjadi mayoritas. ‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke pada banyak cabang, misalnya Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam pada kategori regional pula cukup menarik, misalnya ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena ke 2 cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya memiliki corak yang tidak selaras. Bahkan, kini jua dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, lantaran dilema filosofis yang dihadapi dalam situasi historis kongkrit sang filosof Islam di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filosof Islam di Arab atau di Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab pada karyanya Islam Sufistik, K. Permadi pada bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Dalam bukunya Salat pada Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar pada karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan sang Asep Salahuddin pada karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah pada bukunya Teori Pendidikan dari Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini pada Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan sang Imam Barnadib dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji sang satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie pada bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji sang Zaini Dahlan pada karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid pada Ibadah Haji pada Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah Hukum Islam, serta oleh Ismail Muhammad Syah pada karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji sang A. Munawwir Sadzali dalam karyanya yg monumental Islam serta Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran serta Kamaruzzaman dalam kitab Relasi Islam serta Negara.

Teori pengetahuan berdasarkan mazhab Islam dikaji sang Imam Syafi’i dalam karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan pada Al-Quran dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji sang Muh. Hanif Dhakiri pada 2 bukunya Islam dan Pembebasan serta Paulo Freire, Islam serta Pembebasan. Juga sang Fachrizal A. Halim pada karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam jua banyak ditulis sang filosof Islam Indonesia seperti sang Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi pada Islam, Soedarsono pada karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah serta Perkembangannya pada Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta sang J.W.M. Bakker dalam karyanya yang klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan sang Ilhamuddin dalam buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran Islam Modern pada Timur Tengah, A. Munir pada bukunya Aliran Modern pada Islam, H.A. Mukti Ali pada buku Islam dan Sekularisme pada Turki Modern serta oleh Harun Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh serta Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ jua poly yang mempelajari, terutama sehabis Syi’isme disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, misalnya ‘Filsafat Islam Indonesia’, telah banyak yang membahas, terutama tentang mazhab-mazhab misalnya ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’, sehingga tidak perlu dibahas lagi pada sini. Hanya saja, ada kesamaan baru saat ini yang penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yg mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka pada buku-kitab tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas sang rakyat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka dalam terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus pula adalah bukti ketololan mereka akan tata-bahasa bahasa Arab—relatif pertanda bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, akan tetapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah homogen filsafat. Hartono Ahmad Jaiz bisa dimasukkan pada mazhab ini. Dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yg pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ serta ‘Neo-modernisme’. Bukunya yg lain Ada Pemurtadan pada IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yg bercorak liberal, modern, serta neo-modern. 

E. Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) merupakan filsafat yg lahir pada wilayah kuasa Kristen dan diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di daerah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ pula merupakan bidang yg amat dikuasai sang filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi pada beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yg diklaim juga menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans serta Reformasi’, serta ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, misalnya ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yg harus diresponi umat Kristen pada negara-negara itu nir mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, semenjak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, sudah dikaji oleh A. Hanafi pada bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, contohnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi berdasarkan Louis Bouyer. 

Yang tidak kalah menariknya adalah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan dengan situasi riel yg dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ bisa dibagi dalam 4 cabang misalnya ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, serta ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja pada Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ cukup banyak yang mengkaji sejak era Soeharto, seperti yang dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, serta Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani sang Smita Notosusanto, seperti kajiannya pada buku Perempuan dan Pemberdayaan serta St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama. 

F. Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yg lahir buat mengritik paham dan praxis Soehartoisme—modernisasi yg dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu—dan hendak menghapus segala sisa-residunya menggunakan cara menggantinya menggunakan paham alternatif. Kritik terhadap Soehartoisme telah mulai merebak semenjak dasawarsa 1970-an menurut kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari pada Jakarta (1974), akan tetapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, balik kritikan dilancarkan sang beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yg lalu dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini adalah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, serta Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran menurut Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, mengikuti keadaan menggunakan situasi Indonesia baru, bahkan hingga waktu ini. Soehartoisme tetap bertahan, yg terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap dianggap ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat berdasarkan kritik warga . Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, saudara tertua kandung berdasarkan Sri-Bintang, sebagai akibatnya ia risi bahwa yang terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser.

KEADILAN DAN HAK MASYARAKAT DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

Keadilan Dan Hak Masyarakat Dalam Administrasi Publik 
Dua puluh lima tahun yang lalu, keadilan masyarakat diperkenalkan menjadi variabel yg dapat dipakai bagi penelitian ilmiah, serta menjadi konsep filosofi menurut administrasi publik, dan panduan bagi tindakan etis bagi pelayanan publik. Bab ini akan dimulai dengan nilai-nilai filosofi serta pengembangan teori, dan menjadi pertimbangan buat diaplikasikan pada aspek-aspek keadilan rakyat.

Nilai-Nilai Filosofi dan Pengembangannya Secara Teoritis
Dwight Waldo [1949] mengemukakan bahwa administrasi publik adalah adonan antara seni dan ilmu-ilmu pemerintahan yang akhirnya berkembang menjadi seni dan ilmu-ilmu manajemen. Efisiensi serta ekonomi sebagai hal yang utama dalam teori manajemen, dan hak masyarakat menjadi hal yg pokok dalam teori pemerintahan. Di awal tahun perkembangan administrasi publik di Amerika yg terbaru, Woodrow Wilson [1887, 1941] menjadi tokoh utamanya. Teori efisiensi usaha dapat digabungkan dengan teori pemerintahan yg demokratis – yg mengemukakan bahwa pemerintah bisa menggabungkan antara efisiensi dengan keadilan. Di pertengahan tahun 1960an, teori manajemen mempertanyakan tentang hak dan keadilan. Meskipun demikian, pendapat generik beranggapan bahwa administrasi publik merupakan bagian menurut proses politik.

Di awal-awal tahun, diyatakan jua bahwa administrasi publik harus netral dan tidak ditentukan sang kebijakan politik, serta mengabaikan keadilan sosial. Administrasi adalah bagian dari politik, yang tak jarang terjadi, pemimpin terlibat pada proses kebijakan, dan diharapkan netralitasnya. Keadilan sosial menjadi panduan bagi tindakan administrasi menggunakan ekuilibrium nilai-nilai ekonomi dan efisiensi. 

Willbern [1973] beropini bahwa hak masyarakat “tidak tepat untuk mendefinisikan tujuan atau nilai-nilai administrasi” [hal 376]. Ia menyatakan bahwa “hak rakyat bisa ditolak menggunakan mengunakan bukti-bukti”. Tetapi kesalahan besar ini bisa dihilangkan oleh kaum intelektual yg menyatakan bahwa terdapat sesuatu yang bernilai dan mempunyai konsekuensi konkret pada pemahaman mengenai konduite insan dalam situasi administratif [378].

Hak rakyat membutuhkan kesempurnaan, sebelum menambahkan efisiensi dan ekonomi pada tiga pilar yang mendasari administrasi publik. Proses ini dimulai dengan Symposium on Social Equity and Public Administration yang dimunculkan pada Public Administration Review [Frederickson, 1974]. Peranan krusial dalam simposium ini mengilustrasikan mengenai teori – proses pengembangan pada administrasi publik.

Pertama, hak rakyat dipahami sebagai [1] dasar dari demokrasi warga , [2] berpengaruh dalam konduite insan pada berorganisasi, [3] menjadi dasar aturan untuk distribusi pelayanan publik, [4] menjadi dasar buat menerapkan pelayanan publik, [5] menjadi dasar menurut pembentukan kelompok, serta [6] menjadi tantangan bagi penelitian serta analisis [Frederickson; 1974].

Kedua, sehabis membicarakan mengenai bagian berdasarkan subyek, bangunan teori bila dikumpulkan secara beserta akan sebagai lebih baik walaupun kita tetap saja tidak dapat menggabungkannya.

Ketiga, kita dapat memulainya dari definisi yang terdapat. Di sini diprioritaskan dalam teori distribusi keadilan. Douglas Rae dan sahabat-temannya [1981] berkata “keadilan merupakan satu hal yg paling sederhana serta tak berbentuk, termasuk didalamnya membentuk global yg konkrit serta kompleks. Dapatkah kita membayangkan deretan pemerintahan sebelumnya? (hal.tiga ) Hak rakyat sebagai pilar ketiga dari administrasi publik.

Kita kembali pada teori deskriptif, yg definisinya dapat digunakan buat teori serta praktek pada administrasi publik. Mengikuti pendapat Ray dan kawan-mitra, kita menyatukan dalam bahasa yg belum paripurna tentang keadilan menggunakan definisi dan model. Kita bisa memperkirakan contoh untuk mengkonstruksikan sebagai adonan teori tentang hak-hak masyarakat. Dalam bab ini, akan disajikan dasar-dasar berdasarkan pertimbangan hukum dan perspektif penelitian mengenai hak masyarakat.

Penggabungan Teori-Teori Hak Sosial
Gabungan tentang teori hak masyarakat menaruh tipe-tipe keadilan dan penerapannya misalnya yang dijelaskan ini dia;

Persamaan Individu
Persamaan individu, model terbaiknya adalah prinsip “satu orang satu bunyi “. The Golden Role serta Emanuel Kant’s mengkategorikannya ke dalam persamaan individu. Pada prakteknya administrasi publik memberi model persamaan individu.

Persamaan Bagian
Masyarakat yang kompleks membutuhkan persamaan bagian yang sama. Petani memiliki sistem yg tidak selaras dalam membayar pajak daripada pemilik perusahaan. Hirarki yang dipakai pada konsep ini adalah: Jenderal bintang 5 yg senior sama dengan masyarakat negara yang lain, serta tidak diperlakukan menjadi masyarakat yang diutamakan. Persamaan ini sangat penting buat kebijakan publik serta administrasi karena pelayanan publik membutuhkan hirarki. Dalam hal ini setiap orang adalah sama.

Perbedaan
Perbedaan mengkategorikan dalam kelompok serta sub kelas. Pada tahun 1896, Plessiy vs Ferguson menetapkan bahwa grup kulit gelap dan kulit tanpa cacat tidak sanggup dipisahkan, karena mereka pada dasarnya sama. Brown ves Topeka Board of Education menyimpulkan bahwa dalam tahun 1954, pemisahan rasial adalah tindakan yg tidak menyamakan kedudukan insan. 

Persamaan Dalam Bidang Hukum
Bagaimana cara tetapkan apa yg dianggap persamaan? Persamaan dalam bidang aturan ditandai sang kebaikan, pelayanan, atau keuntungan. Jika sekolah serta proteksi pemadam kebakaran bisa disediakan pemerintah, kemudian kenapa kursus golf serta fasilitas rekreasi nir? Persamaan pada bidang hukum membutuhkan pemisahan yg kentara termasuk antara lain pekerjaan, investasi, serta honor . Seringkali pemerintah menguasai persamaan ini buat mengoreksi kegagalan yg didapatkan oleh pasar dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 

Persamaan Kesempatan
Persamaan kesempatan dibagi menjadi prospek mendapatkan kesempatan dan arti kesempatan itu sendiri. Prospek mendapatkan kesempatan berarti, dua individu memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Kesempatan itu sendiri berarti 2 orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan jika mereka memiliki bakat yg sama atau kualifikasi yang sama. Tujuan serta imbas menurut persamaan ini tidak sama menggunakan persamaan untuk mencari sukses namun legitimasi menjadi prospek buat sukses (Ray and Associate; 1981, hal.66) Pendapat Aristoteles mengenai persamaan seharusnya diangkat pada konstitusi sebagai model buat mendasari persamaan kesempatan.

Dalam masyarakat yg berbeda, tidak semua bakat dikembangkan secara sama. Menurut John Scharr, “setiap rakyat memiliki kesatuan nilai-nilai, serta mereka rata-rata tidak memperhatikan hirarki yang terdapat, persamaan kesempatan seharusnya direvisi: persamaan kesempatan seharusnya dibangun dari hal yang dimiliki oleh orang-orang.”(1967;231 serta Scharr,1964).

Nilai-nilai Persamaan
Nilai-nilai persamaan diawali menggunakan konsep persamaan. Persamaan berarti individu mendapatkan keadilan. Permasalahannya, persamaan merupakan hal yang sensitif. Ray serta kawan-mitra menganggap persamaan individu didasarkan pada pembagian keadilan tentang apa yang masing-masing individu butuhkan. Misalnya: anak-anak dengan kekurangan (stigma) dapat dibandingkan dengan anak-anak yg sehat atau keterbelakangan mental dibandingkan menggunakan anak pandai . Persamaan akan dihargai sang seorang apabila dipraktekkan pada administrasi publik buat menciptakan peraturan yang lebih humanis.

Hal ini sangat universal. Lebih sederhana daripada sekedar retorika dan slogan, The Compound Theory of Social Equity sangat kompleks buat dikonstruksikan dalam definisi dan konsep persamaan berubah menurut satu konsep ke poly konsep yaitu kebersamaan (Ray serta kawan-kawan 1981). 

Apakah persamaan individu sebagai bagian atau pemisah? Apa hak rakyat dapat dipakai untuk mempertahankan demokrasi pemerintah dan ekonomi pasar ? The Compound Theory of Social Equity akan melayani kerangka-kerangka batasan ini pada teori dan prakteknya buat menjawab pertanyaan dibawah ini.

Beberapa Penerapan Mengenai Penggabungan Teori Hak Sosial
Berdasarkan perkembangan sejarah mengenai administrasi publik dinyatakan: “administrasi publik adalah tindakan aturan.” Oleh karena itu, bukan sesuatu yg baru apabila perkembangan hak rakyat jua herbi hukum [McDowell; 1982]. Menurut Haar dan Fessler [1986], “anggota dewan perwakilan baik di wilayah juga pada pusat – seringkali kali menghindar dari tanggungjawabnya. Hasilnya, nir ada alasan apabila pengadilan yang akan menetapkan supaya mereka bertanggungjawab [hal. 18]. Pengadilan akan menyatakan bahwa keadilan akan diterapkan menjadi perlindungan hukum bagi pelayanan ketetapan. Pegawai – baik forum legislatif juga eksekutif - yg secara alamiah akan mengutamakan kepentingan lebih banyak didominasi. Pilihan pegawai – publik serta administrator – hanya akan berkonsentrasi dalam efisiensi dan ekonomi.

Pegawai
Peraturan berpengaruh dalam pemerintahan buat mempekerjakan pegawai, baik swasta maupun negeri. Yang patut dipertanyakan pada peraturan disini merupakan, siapa yg akan menaruh pekerjaan? Apa kriterianya dan bagaimana cara mengaplikasikannya?

The Civil Rights Act of 1964 serta The Equal Employment Act of 1974 merancang cara untuk menerapkan persamaan antara pegawai partikelir serta pemerintah. Hal ini bisa diselesaikan dengan cara menyatukan perbedaan. Penerapan yg adil bisa diukur dengan bakat, keahlian, dan kemampuan buat mendapat suatu pekerjaan. Tahun 1971, Griggs vs Duke Power, kualifikasi yg ditetapkan buat memperoleh pekerjaan tidak sinkron dengan pekerjaan yang diberikan – khususnya bagi masyarakat kulit hitam – yang menjadi korban kekerasan dalam hukum. Masalah rasial menjadi bentuk dari aksi suatu golongan yang membedakan antara kulit hitam dan kulit bening.

John Nalbandian [1989], menyusun laporan yg didukung oleh Griggs untuk membatasi secara sistematis bahwa “gerombolan akan beraksi jika perseteruan pada kelompok nir bisa diselesaikan” [hal.39]. Tahun 1978, masalah dari University of California Regent vs Bakke yg merayakan kemenangan atas dukungan keadilan yang lebih mengutamakan golongan kulit tanpa cacat, dalam saat yang sama melindungi kaum lebih banyak didominasi yg menyukai persamaan hak dalam masyarakat yg lebih terlindungi.

Kelompok penegak hukum dan dewan tetapkan efek dari persamaan pada kesempatan pegawai antara minoritas serta dominan dalam gerombolan rasial dan etnis tertentu – lebih diakibatkan karena jender [Ingraham dan Rosenbloom, 1989]. Nalbandian memprediksikan bahwa nilai-nilai berdasarkan hak warga akan diputuskan menggunakan ekuilibrium baru pada praktek-praktek pekerja yang ditekankan buat efisiensi [1989, hal. 44]. Pertengahan tahun 1990an, Nalbadian memprediksikan bahwa dewan dan kongres akan menghilangkan kebijakan mengenai “rona kulit”. Dengan kata lain definisi mengenai persamaan ini berdasarkan pada perbedaan yg berdasarkan pada nilai-nilai rasial serta etnis.

Kontrak
Tahun 1977, Public Works Employment Act, pemerintahan federal mendirikan gerombolan bisnis yg diutamakan buat kaum minoritas. 10 % berdasarkan rakyat pekerja dari anggota kelompok minoritas. 10 % ini sudah dibuktikan oleh Fullilove lawan Klutznik (1980). Justice Thurgood Marshall, berdasarkan gerombolan mayoritas menulis; dewan bersama-sama kongres memiliki otoritas buat menggerakkan rakyat di dalam suatu negara yg berarti persamaan kesempatan, bukan subordinat pada masa kemudian yang selamanya akan membeku pada dalam hubungan masyarakat

Suara minoritas dari Justice Voter Steward menyampaikan, dalam pandangan aku , pemilik usaha minoritas tidak perlu menghilangkan perlindungan persamaan di mata hukum. The Fourteen Amendment menyatakan bahwa hukum menurut kepada silsilah. (Fullilove lawan Klutznik).

Hakim Marshall serta Steward menggunakan pengertian yg tidak selaras, serta mereka yang menyimpang dari pertarungan apa yg dimaksud menggunakan persamaan. Bagi Marshall perbedaan adalah hal yang utama. Sedangkan berdasarkan Steward persamaan individu adalah hal yang primer. Akhirnya Marshall wajib beranggapan bahwa kesempatan buat dikontrak berdasarkan pada persamaan prospek dapat disetujui oleh Steward.

Dari 10 % ditahun 1977, Works Employments Act, the Supreme Court semakin tinggi menjadi 30 % bagi kaum minoritas buat bekerja di City of Richmond, Virginia. Program ini disetujui oleh 33 negara bagian dan lebih dari 200 kotamadya (City Richmond vs J.A. Croson Company,1989). The Richmond memutuskan bahwa kekerasan pada Fourteen Amendment lantaran warga kulit bening mengingkari persamaan proteksi dalam aturan (New York Times, Jan.24,1989;hal.1,12). Tidak diragukan lagi bahwa ketetapan ini disetujui sebagai hak warga . Lebih jelasnya hukum digunakan buat menerapkan persamaan hak yang sama di mata warga .

Layanan Pemerintah
Tahun 1968, Andrew Hawkins, seorang blasteran Afrika-Amerika tinggal Promised Land, di lingkungan masyarakat kulit gelap, di Shaw, Mississipi menaruh data yang signifikan mengenai pelayanan di kotamadya bahwa pekerja kasar diperlakukan tidak adil. Lantaran pelayanan di Caucasian dipercaya jelek oleh Hawkins, maka beliau serta kelompoknya mencabut Fourteen Amendment. Fourteen Amendment menjadi perlindungan persamaan di mata aturan namun dewan di daerah tersebut nir putusan bulat dengan Hawkins serta mengatakan bahwa permasalahan tentang administrasi kotamadya akan diselesaikan melalui kotak suara. (Hawkin lawan Town of Shaw,1969).

Bukti adanya subordinat secara kualitatif serta kuantitatif sebagai alasan bahwa pemerintah menjadi pelanan rakyat melanggar prinsip-prinsip dasar. Dewan nir diijinkan oleh pemerintah lokal buat menemukan bukti-bukti statistik yang substansial tentang diskriminasi pembedaan rasial. Tidak ada yang bisa diterima pada sini lantaran bukti-bukti statistik nir membedakan tingkatan dan pelanggaran masyarakat dalam rakyat Negara berdasarkan rona kulit [Haare dan Fessler, 1986; 14].

Pendapat Hawkin ini sebagai dasar buat mengkonstruksikan pertarungan bagi sempitnya pemahaman tentang persamaan tetapi secara signifikan dewan dapat mempengaruhi alokasi pengambilan keputusan mengenai pelayanan secara mendalam bahwa subordinat nir bisa mengakibatkan demokrasi yang lebih baik.

Brwon vs Board of Education menyimpulkan mengenai persamaan. Pembedaan batas antara kulit mulus dan kulit gelap [atau bahkan hispanik – orang spanyol] menjadi area pada mempertahankan lingkungan pada kesatuan integritas. Konflik akbar yang ada bisa diselesaikan dengan cara penggunaan bahasa yg sama.

Di Kansas City, Missouri, sesudah Brown vs Baord Education tetapkan buat memisahkan persamaan ke pada gerombolan sebagai suatu hal yg membedakan serta melanggar konstitusi. Pertanyaan yang muncul, apakah mereka akan relatif dengan memberhentikan pemisahan tadi ke dalam gerombolan -kelompok? Ataukah mereka membutuhkan buat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan karena pembedaan sistem termasuk yang terjadi pada sekolah-sekolah?

United States vs Jefferson City Board of Education, mendefinisikan sekolah yang mendukung Fourteenth Amendment buat membawa pada persatuan di sekolah antara anak-anak negro menggunakan anak-anak kulit putih di sekolah. Anak-anak kulit hitam memiliki kesempatan yg sama pada sekolah formal, termasuk beraktifitas yang sama menggunakan anak-anak kulit bening.

Swan vs Charlotte Mecklnburg Board of Education [1971], anggota dewan, memulai “obyektifitas buat membatasi sekolah umum adalah sisa-sisa jatuhnya pemisahan antara kulit gelap dan kulit tanpa cacat. Dua syarat ini terjadi pula pada Kansas City, Missouri. Pertama perkembangan interaksi antara warga umum dengan partai-partai yg ada pada pemerintah yg membentuk lingkungan yg kebih baik bagi warga kulit gelap [menghilangkan rasisme]. Sekolah bagi warga kulit hitam dalam waktu ini dihadiri sang anak didik dan pengajar yang dari dari campuran African American. 

Berdasarkan pandangan persamaan, beberapa contoh yg dapat digunakan buat melengkapi definisi keadilan ini. Pertama, individu mempunyai persamaan, satu suara, suara yang sama untuk membentuk demokrasi. Kaum dominan nir lagi bisa menyatakan hak konstitusi yang tidak sinkron menggunakan kaum minorotas. Kedua, seiring menggunakan perjalanan saat, timbul persamaan antargenerasi. Perbedaan yg diterima anak-anak kulit hitam di sekolah semakin usang semakin berkurang. Ketiga, sekolah didirikan buat kepentingan generik, menjadi tanggungjawab pemerintah negara bagian.

Sebenarnya poly model yg menerangkan perkembangan persamaan hak, termasuk pada dalamnya persamaan hak antara laki-laki dan wanita di sekolah serta di masyarakat. Lima tahun sebelum U.S Constution ditulis, berdasarkan Haar dan Fesser [1986], Henry III menyusun Fundamental Level of Social Organization, seluruh orang mempunyai kedudukan yang sama. Doktrin ini menjadi dasar peraturan bagi pemerintah buat dipertanggungjawabkan. Di pada hukum, semua monopoli ditiadakan, diganti dengan persamaan hak.

Untuk menerapkan persamaan pada administrasi publik, pertama, menempatkan hak masyarakat menjadi satu-satunya tujuan utama. Kedua, banyak sekali teori tentang hak rakyat harus dijalankan, lantaran sebagai dasar pada persamaan hak. Pada kenyataannya, prinsip lain yang pula harus dipakai adalah efisiensi, lantaran permasalahan jua sangat kompleks. Ketiga, pelayanan yang sama pada administrasi publik, efisinsi dan ekonomi yang terbuka buat persamaan hak masyarakat.

Hak Masyarakat, Analisis, dan Temuan Ilmiah
Konsekuensi berdasarkan pengembangan teori bagi distribusi keadilan dan persamaan hukum menjadi hal yg sangat penting dalam analisis kebijakan. Dua puluh 5 tahun yg lalu, poly dari universitas besar yang mendirikan jurusan kebijakan publik yg khususnya membahas studi interdisipliner dan permasalahan kebijakan. Pada kenyataanya, jurusan dan departemen administrasi publik menaruh fokus dalam perspektif analisis kebijakan. Kebijakan selalu berhubungan dengan – kesehatan, transportasi, penegakan aturan, perlindungan menurut bahaya kebakaran, perumahan, pendidikan, asal daya alam, lingkungan, serta perkara kebangsaan – dalam waktu ini sebagai subyek yg perlu dianalisis. 

Secara ideologi dan prespektif metodologi dalam analisis politik, didominasi sang perkembangan ekonomi. Meskipun pemerintah nir menghipnotis pasar, contoh aplikasi pasar inilah yang banyak digunakan pada analisis kebijakan. Logikanya sederhana. Dalam teori ekonomi, bila individu dan perusahaan memaksimalkan kapasitasnya, maka rakyat negara serta pemerintah akan melakukan hal yg sama. Pandangan ini sangat terkenal menggunakan adanya gagasan pemerintah mengenai deregulasi, privatisasi, beasisiswa sekolah, hubungan antar individu, manajemen, serta minimnya biaya supervisi dalam pemerintahan Amerika.

Model ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya dalam analisis kebijakan. Pemerintahan yang bertenaga mempunyai konsep yg kentara mengenai keadilan, aturan, hak-hak individu, serta persamaan yang dipakai sebagai ukuran bagi indikator warga buat mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Variasi pengukuran ini merupakan distribusi pelayanan publik menggunakan umur, ras, jender, pendapatan serta faktor-faktor lain yang rutin terjadi. Kita dapat memakai hak rakyat sebagai konsep buat memakai teori serta peraturan yg standar dalam variabel penelitian. Permasalahan analisis hak rakyat – dapat dipakai sebagai teori hak warga yg sama dalam hukum – merupakan adonan berdasarkan banyak sekali persamaan karakter.

Dalam strata individu, menurut data serta penelitian ditemukan pemetaan yg belum paripurna. Jennifer Hochschield [1981] menduga bahwa individu memiliki pandangan yang tidak sinkron dalam memandang persamaan hak di rakyat. Individu memiliki opini tentang persamaan yg tergantung dari kehidupan masing-masing dan bagaimana persamaan didefinisikan. Hochschied mendasarkan penemuannya mengenai tiga hal; yaitu sosial – termasuk tempat tinggal , famili, sekolah serta warga ; ekonomi – termasuk pekerjaan, gaji, pajak, dan kekayaan; serta politik – termasuk voting, kehadiran, serta hukum, dan menggunakan 2 konsep mengenai persamaan yaitu [1] persamaan nilai dan prosedur yg sama, serta [2] perbedaan sebagai kombinasi berdasarkan persamaan dan berdasar dalam kesempatan bersama.

Dalam pandangan sosial, individu memiliki prosedur dan norma-norma persamaan. Persamaan untuk merawat anak-anak, suami dan istri, persamaan pengorbanan pada famili, serta persamaan dengan tetangga baik yang kaya maupun miskin, kelas menengah serta kaya. Di sekolah, prosedur persamaan yg adil sangat krusial buat diterapkan dikelas. Di sekolah, anak-anak yg mempunyai keterbatasan pula mempunyai hak yang sama. Ada beberapa bukti bahwa anak-anak berbakat merupakan anak yang potensial. Walaupun demikian anak berbakat serta anak yg memiliki keterbatasan memiliki hak yg sama. Perbedaan persamaan nir bisa diterapkan dalam nilai-nilai ekonomi. Dengan istilah lain, individu yang menginginkan persamaan kesempatan menjadi nir sama. Produkifitas lebih dihargai; warga miskin percaya bahwa apa yang mereka lakukan akan menghasilkan distribusi pendapatan yang sama, warga yg mampu percaya bahwa output yang didapat nir akan sama.

Politikus serta masyarakat adalah orang-orang yg sederajat. Politikus dan rakyat kecil mempunyai hak yg sama, mereka wajib membayar pajak dan menginginkan kesejahteraan, sistem subsidi menggunakan cara orang kaya memberi orang miskin. Visinya merupakan permanen pada persamaan hak pada warga . (Hoschschield; 1981, hal.181). 

Dari seluruh pendapat yg ada, apa yang ditemukan Hoschschield sebagai ambivalen. Masyarakat mengenali bahwa kadang-kadang pendapat tersebut tidak konsisten. Masyarakat dapat merasakan saling membantu, saling marah, atau saling menyalahkan dalam perbedaan, serta mereka tidak tahu caranya bagaimana menjadi lebih baik lagi. Penelitian tentang pelayanan pemerintah daerah memiliki impak dalam hak masyarakat dalam administrasi publik. Perbedaan tidak berkorelasi menggunakan kekuasaan, kekayaan, ataupun rasial.

Reformasi di taraf kotamadya, termasuk didalamnya mengangkat manajer kota, memperhitungkan birokrasi, dan pemilihan non partisan, kekuatan pelayanan publik ditingkat lokal. Pelayanan publik seharusnya dilakukan secara rutin, terencana, serta bisa diprediksikan, bisa dipahami, atau memberi pelayanan yang baik atau peranan pengambilan keputusan. Pelayanan publik sudah seharusnya merespon permintaan masyarakat ( Lineberry;1977, Jones, Greenberg, Kaufman, and Drew; 1978).

Birokrasi menjadi lembaga administrasi publik yang profesional, dapat mendistribusikan pelayanan publik menjadi persamaan generik atau kebutuhan spesifik. Administrator publik tahu serta mempraktekkan hak masyarakat misalnya efisiensi serta ekonomi yang dipahami secara umum pada praktek administrasi publik. Hak masyarakat diterapkan setiap hari tidak hanya saat hari pelayanan.