PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yg terus berubah memunculkan beragam tantangan bagi organisasi, apapun bentuk dan wujud organisasi tadi. Meski sebagian besar berita bukan hal baru, konteks lingkungan yang berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori serta praktik yg berkaitan menggunakan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri sebagai info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yang efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi dalam sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi dengan segala ciri serta kapasitas yang teraktualisasi tidak lain adalah produk yg dapat diidentikkan menggunakan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik sepertinya tidak kalah menariknya (pada beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual maupun mudah kepemimpinan private sector. Apabila seorang pemimpin perusahaan secara penuh sanggup mendasarkan perilaku atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas serta efisiensi organisasi sehingga hiegenis menurut sebuah proses tekanan, kompromi dan persekongkolan dan itu bisa menggunakan mudah ditularkan pada seluruh anggota organisasi yg jua berkepentingan terhadap efektivitas serta efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan di sektor publik. Dalam kasus tertentu, meskipun perhitungan efisiensi sudah merekomendasikan tindakan konkret yg harus diambil, tidak jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin jua memaksakan diri buat merogoh tindakan yang berlawanan menggunakan pilihan yang rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seorang pemimpin harus bertindak serta merogoh suatu keputusan eksklusif lantaran dalam nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik dan legal dari suatu keputusan yang dibentuk. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik tak jarang nir muncul pada bentuk yang nyata serta terbenam di pada sebuah konspirasi yg rapi dan kompleks. Dalam syarat demikian pilihan rasional mampu menjadi nir rasional buat dipilih dan kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru bisa sebagai pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yg terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai akal pembenaran yang linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi dampak dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara pada strata eksekutif seringkali lebih terpesona serta tertarik memakai instrumen politik untuk menyelesaikan dilema masyarakat. Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar dilema politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, pelaksanaan suatu program nir bisa menemukan bentuknya menjadi instrumen yg memang sanggup bekerja dan menyelesaikan kasus publik. Kebijakan serta program acapkali hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta membangun status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yg berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik oleh administrator negara, dalam banyak hal sudah memakan korban kemampuan manajerial serta teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini dapat terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yg lebih luas pertanyaan tersebut bisa diperpanjang dengan pertanyaan bagaimana seseorang administrator negara seharusnya memimpin di tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah ia terjebak pada pragmatisme politik sehingga melupakan bahwa administrasi juga mempunyai sejumlah tantangan yg harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yg mengedepankan knowledge dan mempertemukan rasionalitas tindakan dengan real persoalan yang terdapat? Akal berpikirnya merupakan dilema administrasi tidak akan terselesaikan begitu saja hanya dengan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jikalau dirasa pendekatan politik telah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara pada memecahkan kasus publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri berdasarkan ”zona” politik serta wajib berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif dari putusan-putusan politik yg sudah dibuat sang lembaga lain yg adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang relatif dikatakan ekstreem, akankah kita balik dalam reproduksi konsep ideal weber dengan mengadaptasikan konsep birokrasi ke pada level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tersebut bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara merupakan suatu keniscayaan serta kewajaran lantaran top eksekutif administrasi merupakan jelas adalah jabatan dengan proses rekuitmen politis

Kontroversi yg melibatkan hubungan pendekatan serta penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yang mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, dalam dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan interaksi politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan dan memaparkan konstruksi ilham kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menelaah balik struktur rekanan politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik serta Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran dan evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan tentang struktur dan konfigurasi relasi politik serta administrasi sebagai tema tak pernah mati yang bahkan sampai dewasa ini belum menerima konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yg berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri untuk didiskusikan. Tidak berlebihan, bila perdebatan tersebut kemudian menjadi ide-ilham konstruktif yang melahirkan paradigma-kerangka berpikir eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, ketika Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power berdasarkan ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif. Logika berpikir tadi menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yang menjalankan keputusan-keputusan politis. Tetapi demikian dalam prakteknya, Jackson justru menjadikan wilayah eksekutif menjadi arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tadi Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya nir terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tadi, Jackson banyak menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yang ditinjau bisa memperkuat kekuatan politiknya dan sanggup menghadang versus politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, pula menyoroti secara khusus relasi politik dan administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus fundamental bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi serta menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan dengan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek dan tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tidak ubahnya misalnya menjalankan organisasi-organisasi bisnis di mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson menyampaikan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson mendapat dukungan luas dalam masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yang mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya buku text pertama dalam ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, balik memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tadi secara jelas benderang menampakan bahwa kegiatan administrasi publik adalah aktivitas manajemen, yakni execution, bukan aktivitas politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa buat melakonkan kiprah tadi administrasi publik harus berinteraksi menggunakan kegiatan dari political branch (satu hal yg dalam hal tertentu pula diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, tampaknya perdebatan akademik seputar rekanan politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus balik dalam paradigma ke-3 Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung sebagai ilmu serta praktik yang bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat lalu lebih fokus pada persoalan-dilema organisasi. Gerakan yg cukup revolusioner menggunakan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an kembali melakukan gugatan terhadap netralitas administrasi publik yg sepertinya tidak memberikan donasi terhadap banyak sekali pertarungan kenegaraan dan kemasyarakatan yg muncul pasca perang dunia. Administrasi publik balik dipaksa masuk pada ranah politik di mana beliau wajib memiliki set of value, ethic dan kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan kegiatan politik. Semua atribut tersebut harus teraktualisasi pada produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan nir saja dalam policy implementation melainkan juga pada proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental dengan proses dan aktivitas politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration tampaknya pula nir sepenuhnya memuaskan banyak pihak. Lambannya dan inefisiensi tindakan administrasi karena penguasaan peran dan luasnya lapangan yang wajib dicakup sebagai akibat konsep welfare state, mendorong para pakar dan praktisi mereposisi peran administrasi dengan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dasa warsa 1980-1990an. Arus balik serta gelombang pemikiran yg menekankan pada pendekatan-pendekatan manajerial, pulang menghinggapi administrasi publik. Gaya dan perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dipandang hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas serta efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yang sepertinya waktu ini sebagai mufakat ilmiah belum pasti, pula nir mampu melepaskan diri dari perdebatan panjang pola rekanan administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance berdasarkan sisi politik dengan mengkaitkannya dengan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya serta mensyaratkan keluarnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai untuk mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, namun juga menkonstruksikan bagaimana model teknis yang tepat buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah menurut aneka macam uraian tersebut di atas memberitahuakn bahwa rekanan politik serta administrasi menurut tindakan administrasi public adalah perdebatan panjang yg bahkan selalu hadir dalam kerangka berpikir administrasi yang berkembang. Pada satu sisi, timbul harapan buat mengakibatkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan dalam sisi yang lain menghendaki perilaku politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar empiris akademik melainkan pula sebagai potret bergerak maju administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang timbul, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik harus dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yang harus dipilih ? Dalam nyatanya banyak pandangan yg nir secara eksplisit memperlihatkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yang lain. Paparan Rosenbloom (....) pula mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yg memiliki konsepsi dan konstruksi nilai yg tidak sama, yakni politik, manajemen, serta sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang harus dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya harus dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tadi, poly pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) menjelaskan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration serta lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah wilayah politik karena keberadaan dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan serta lingkup pekerjaannya pun dicermati adalah political action, misalnya misalnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi menggunakan menggunakan aneka macam sumber otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi lantaran memang sebagian administrator level executive dibentuk melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yang didudukinya secara politik, maka jelas pemimpin administrasi juga menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan sebagai proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yg tentunya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan inheren dalam administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik merupakan collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi masalah serta konstruksi kebijakan berdasarkan skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yang dimaksud dalam hal ini merupakan entitas gerombolan dan kekuatan politik yg membangun administrasi publik yg bisa berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik merupakan pemimpin atas seluruh kegiatan politik tadi di dalam tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana dengan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih menunjuk dalam kapasitas manajerial dan profesional, yg menuntaskan kasus menggunakan knowledge nir menggunakan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada adalah dengan meletakkan permasalahan manajerial menjadi permasalahan yang lebih berada dalam level middle administration yang lalu secara technical dioperasionalkan oleh lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), dengan memetakan duduk perkara relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik dan administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dipandang terselesaikan serta terpecahkan. Identitas aktivitas politik dan administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi dicermati telah terkubur dalam tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yg senada juga telah menduga final bahwa tindakan dan perilaku politik berdasarkan administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak terdapat yg keliru dengan tindakan dan pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yang berarti juga menghambakan diri dalam politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan menjadi pilihan yg tidak tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan fakta serta argumen yg menyajikan aneka macam kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang benar-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik di pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun dari administrator negara mendapat pemakluman hanya lantaran jabatan mereka yang diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian tertentu, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-kegiatan administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yg harus diselesaikan dengan knowledge, menggunakan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan dan analisis data, menggunakan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan untung rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan berlebihan pada pilihan pendekatan politik hanya akan membentuk administrasi negara yg pintar bersilat lidah, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pintar meredam amarah publik tanpa merampungkan perkara yang sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat krusial buat nir meletakkan masalah-masalah manajerial menjadi masalah birokrasi belaka. Level eksekutif dalam porsi yang nir bisa dikatakan mini juga wajib memiliki serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dipercaya hanya sebagai tanggung jawab birokrasi, sementara political frame menjadi kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yg terjadi adalah profesionalisasi yg berlangsung pada tubuh birokrasi pada satu sisi nir akan poly memberi manfaat dan pengaruh bagi pemugaran kinerja sektor publik yg lalu memungkinkan aspek profesionalitas nir menjadi sesuatu yang dianggap krusial serta dalam sisi yg lain akan menciptakan ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan serta parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan galat alamat ketika hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang berdasarkan konsep idealnya mempunyai kesamaan ilmiah karena memang tugas primer mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi sebagai nir profesional serta tidak netral waktu kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan sudah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke utama persoalan, pemerintah nir sanggup dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika merogoh sebuah tindakan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial menggunakan perhitungan rasional yg kentara jua harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tersebut. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara serta pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, tetapi bukan berarti harus menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya juga akan memberi efek pada kepercayaan politik rakyat. Dengan kata lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual serta teoritik, ilham serta gagasan tadi mungkin dianggap sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik gosip dikotomi politik dan administrasi yang tampaknya bagi sebagian besar kalangan dipercaya telah terkubur. Atau mungkin pandangan baru tersebut dicermati utopis lantaran membangkitkan pulang pemikiran kaum orthodoxy yang secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dipandang ”aneh” atau bahkan tidak relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara pada masa mendatang justru akan poly menjadi kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab perkara-perkara mudah warga .

Konsep-konsep serta kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam kata Islamy, ...) menunjukkan kesamaan banyaknya instrumen konseptual yg bisa dipakai buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total dalam proses politik. Sektor publik dimaksud tidak dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yg pada hal ini termasuk jua pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yg wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah menjadi lokus dan fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan sering pemikiran tadi mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya dalam birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yg terjadi pada konteks akademik maupun simpel, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, contohnya menggunakan marak keluarnya istilah-istilah reformasi birokrasi, penemuan birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi nir galat, tetapi jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah dan domain yang lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti dari dilema yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, harus rela sebagai target tembak sebagai biang kegagalan sektor publik. Padahal di sisi lain, banyak berita menunjukan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang nir cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yg memandang administrasi publik juga menjadi proses aktivitas politik adalah mainstream yg tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox sekitar tahun 1940an ataupun sebagaimana pula kritik atas new public management. Gugatan pemikiran pada goresan pena ini juga tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Namun penguasaan politik yang tidak disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas sebagai bala besar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yg ketika ini tergambar kentara menurut potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menampakan betapa pemerintah (Presiden serta kabinetnya) banyak menghadapi dan berusaha menuntaskan masalah administrasi publik hanya menggunakan cara-cara politik serta diorientasikan buat kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran acara pembangunan digunakan sebagai alat kenaikan pangkat politik, bahkan hingga penanganan bencana pula nir luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang lawan politik merupakan formasi panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal di sisi lain, dilema-problem tadi adalah duduk perkara yg wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yg dari saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan menjadi obyek kompromi, perundingan , dan ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-benar menyelesaikannya menjadi sebuah masalah. 

Di waktu politik sendiri belum mampu mendewasakan kinerja demokrasi yang diusungnya, sepertinya administrasi wajib bersikap lain berdasarkan sekedar sebagai kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yang terpilih melalui proses politik, absolut harus menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan semua masalah pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman seperti dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu putusan bulat memahami administrasi negara tidak hanya urusan birokrasi melainkan jua yang utama merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yang kemudian mendasari kuatnya pemikiran, tindakan serta praktek politik sang administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui karena kiprah pentingnya tidak hanya sekedar pada urusan eksekusi kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tadi (sesudah dasa warsa 1940-1950an) bahkan dicermati sebagai kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya sebagai robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran pada waktu itu, pendekatan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara sebagai robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran dan keluhan lain adalah pilihan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara bebas nilai, sementara pada sisi lain efektivitas serta efisiensi yang dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sinkron menggunakan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut cukup hiperbola bila lalu menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih buruk ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat menjadi second level and choice. Pendekatan manajerial berada dalam level yang sama serta dalam derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, seksama, sesuai perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas berdasarkan bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis dengan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dicermati menjadi nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi menggunakan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah dari konsep yg diterapkan dalam sektor partikelir. Secara alamiah pun, Simon (.......) sudah berkata bahwa rasionalitas konduite administratif insan sudah pasti akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tadi adalah keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas dan efisiensi ke dalam sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan administrasi negara terutama di negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yang menunjukkan contoh-contoh konseptual penemuan kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada juga kritik yang menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan seperti itulah yang dibutuhkan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, contoh-contoh yg wajib diakui sebagai proponen kerangka berpikir New Public Management, Governance, serta New Public Service, sudah menceritakan optimisme yang beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan pada atas, tentu tidak dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan adalah bahwa jebakan politisasi praktis berdasarkan para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang dalam perangkap ketidakmampuan melakukan penemuan. Padahal pada sisi lain, penemuan merupakan kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yang mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public lantaran tidak adanya kasus ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa dalam era desentralisasi yg membawa dampak sertaan berupa tuntutan kreatifitas serta kompetisi antar wilayah pada pelayanan publik sudah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan wilayah otonom yg tidak sanggup menyelenggarakan layanan public yang baik juga memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sehingga menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca pada pendapat Carter et.al (1992), nir terdapat satu organisasi public pun yang secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tadi adalah tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yang telah barang tentu nir akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur untuk menentukan cara-cara atau pendekatan politik sebagai sumber kekuasaannya.

Inovasi merupakan tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski nir sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tadi, kemampuan politik dipakai hanya buat menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tadi dilakukan menggunakan penguatan komitmen dan dukungan politik untuk manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan inovasi membawa rentetan kinerja organisasi untuk mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yang menjamin organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk pula di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi oleh kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi primer bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan pula bahwa kepemimpinan dimaksud tidak hanya mengarah pada adanya pemimpin yang mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses inovasi yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Pendapat di atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yg dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan jua kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses inovasi itu sendiri. Artinya, kemampuan serta kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan penemuan. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas detail organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print penemuan merupakan kunci yang jauh lebih krusial ketimbang sibuk menggunakan instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang digunakan hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan dan dramaturgi politik menggunakan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan sanggup menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat mengakibatkan birokrasi profesional lantaran profesionalisme tidak hanya menjadi tuntutan bagi birokrasi tetapi juga pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diperlukan sekalipun sang pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik. 

REFORMASI BIROKRAS DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN

Reformasi Birokras Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintahan 
Situasi ekologi eksternal administrasi publik mengalami perkembangan cepat di abad 21 ini yg meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya serta juga perubahan lingkungan fisik seperti adanya dunia warming, polusi, bala alam tsunami serta sebagainya. Arena perubahan tersebut berada dalam pusaran globalisasi yg mengungkapkan situasi abad 21 ini menjadi kenyataan terintegrasinya global ke dalam suatu rapikan nilai yg nisbi sama dan menciptakan batas-batas negara melemah, sehingga interaksi aktor politik, ekonomi, sosial dan budaya terjadi secara langsung melintasi antar negara melalui media perkembangan teknologi informasi serta komunikasi. Kenyataan ini membuat globalisasi adalah kenyataan erosi ruang kelembagaan (deinstitutionalization of space) atau proses lokalisasi dunia menjadi seperti sebuah desa (small village). Sementara sisi ekologi internal administrasi publik cenderung masih terkukung dalam praktek harta benda-administration misalnya budaya korupsi, kolusi, nepotisme, boros, inefisiensi, dis-orientasi, kaku serta lamban. Pertanyaannya adalah bagaimanakah model Reformasi Administrasi Publik pada situasi perubahan lingkungan eksternalnya yang begitu cepat serta disisi lain kondisi internalnya terbelenggu pada stagnasi?. Pada konteks inilah goresan pena ini disusun dengan fokus pembahasan pada kompleksitas Reformasi Administrasi Publik pada merespon perkembangan lingkungan internal serta eksternalnya. 

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK : KONSEP, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Konsepsi Reformasi Administrasi Publik yg digunakan pada goresan pena ini antara lain mengacu dalam pendapat Gerald E. Caiden pada bukunya “Prospects for Administrative Reform in Israel (1969) yg diulas sang Sasli Rais dan Dance Y. Flassy. Menurut Caiden (1969: 69) Reformasi Administrasi Publik didefinisikan sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’. Definisi Caiden ini mengandung beberapa akibat: (1) Reformasi Administrasi Publik adalah aktivitas yang dibuat oleh manusia (man made), nir bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; (2) Reformasi Administrasi Publik merupakan suatu proses; dan (tiga) Resistensi beriringan menggunakan proses Reformasi Administrasi Publik. 

Wallis (1989) sebagaimana dijelaskan oleh Ginandjar (2005) mengartikan reformasi administrasi menjadi induced, permanent improvement in administration. Batasan ini memuat 3 aspek krusial, yakni : (1) Perubahan harus adalah pemugaran dari keadaan sebelumnya. (2) Perbaikan diperoleh dengan upaya yg disengaja (deliberate) serta bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa bisnis. (3) Perbaikan yg terjadi bersifat jangka panjang dan tidak ad interim, buat lalu balik lagi ke keadaan semula. Ada persamaan berdasarkan definisi diatas yaitu memahami Reformasi Administrasi Publik menjadi sebuah proses yang dibuat secara sadar sang manusia buat memperbaiki keadaan. Keduanya jua bertitik tolak berdasarkan kondisi-kondisi yang problematis, misalnya harta benda-administration, patologi administrasi publik, red type, sehingga mendorong pemikiran mengenai perlunya perubahan administrasi publik. Ketika mainstream utamanya adalah perubahan, maka akan memunculkan varian pemikiran misalnya mengembalikan administrasi publik kepada spirit originalnya, misalnya reformasi menggunakan kerangka berpikir old public administration atau reformasi secara mendasar serta komprehensif melalui kerangka berpikir New Public Management atau New Public Service.

Konsepsi serta rumusan Caiden menyebut tujuan Reformasi Administrasi Publik adalah buat “improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly” (Caiden 1969: 12). Apabila dianalisis selanjutnya, tujuan Reformasi Administrasi Publik Caiden adalah menyempurnakan atau mempertinggi performance. Secara detail tujuan Reformasi Administrasi Publik dalam rangka peningkatan kinerja merupakan: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan serta acara aplikasi; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234); Meningkatkan kualitas personel; Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik serta keluhan pihak luar (Mosher, 1967: 497-498). 

Sedangkan kinerja yg dimaksud adalah kinerja individu, grup, dan institusi pada rangka pencapaian tujuan yg lebih efektif, efisien dan cepat. Ini berarti ruang lingkup Reformasi Administrasi Publik meliputi aspek konduite dan aspek kelembagaan yg tercakup didalam Reformasi Administrasi Publik. Catatan terakhir dari Caiden bahwa ada lima hal yg perlu diperhatikan pada Reformasi Administrasi Publik yaitu: (1) Ada pembaru yang asal dari luar, terdapat jua yang asal menurut pada; (dua) Ada pembaruan yg dicanangkan dari bawah, terdapat jua yang asal berdasarkan atas; (tiga) Ada ideologi yg mempengaruhi Reformasi Administrasi Publik, ada jua Reformasi Administrasi Publik yg tidak ditentukan sang ideologi; dan (5) Ada Reformasi Administrasi Publik yang diikuti sang revolusi, terdapat pula yang nir. 

Selain itu terdapat 2 hal pula yg perlu diperhatikan menurut Caiden, bahwa: (1) Reformasi Administrasi Publik berkaitan erat menggunakan lingkungan budaya eksklusif, sebagai akibatnya nir terdapat satu perspektif pun yg bisa dipercaya lebih baik daripada yang lain; (dua) Pendekatan Reformasi Administrasi Publik bersifat terikat pada budaya, sebagai akibatnya tidak bisa diekspor ke negara lain menggunakan begitu saja. Pandangan Caiden di atas sebatas kerangka konseptual yg belum memberikan pilihan-pilihan strategis dalam melakukan Reformasi Administrasi Publik. Caiden jua hanya memberikan suatu peringatan bahwa pada melakukan Reformasi Administrasi Publik sangat tergantung menggunakan lingkungan budaya serta buat itu “resep” reformasi tidak sanggup berlaku secara universal. 

Berbeda halnya menggunakan pandangan yg dikemukakan sang Ali Farazmand (2002) yang membahas analisis teoritis reformasi serta re-organisasi buat tahu reformasi administrasi publik, khususnya Reformasi Administrasi Publik. Menurutnya, reformasi administrasi publik, termasuk administrasi publik didalamnya, dapat merujuk dalam beberapa model teori buat memulai sebuah reformasi serta pula sekaligus sebagai prespektif memahami aneka macam Reformasi Administrasi Publik yg sudah terjadi. Apa yg dikemukakan Ali Farazman mengadopsi dari pandangan Guys Peter (1994) dimana reformasi dan reorganisasi bisa dijelaskan dengan 3 contoh teori, yaitu top-down models, bottom up models serta institutional models. 

Menurut model pertama, yaitu top-down models, Reformasi Administrasi Publik memiliki tujuan berskala luas dan prosesnya di inisiasi menurut struktur kekuasaan pemerintah pusat. Model ini berpijak pada perkiraan bahwa para pemimpin politik tahu serta peka terhadap dilema yg dihadapi serta kemudian membuatkan gagasan buat melakukan Reformasi Administrasi Publik. Model ini acapkali diklaim menggunakan contoh tradisional serta pragmatis dimana biasa diberlakukan dalam sistem administrasi yg memulai perubahan dengan hegemoni menurut pusat pemerintahan semenjak menurut identifikasi, seleksi dan implementasi perubahan administrasi serta administrasi publik. 

Model kedua adalah bottom up, Reformasi Administrasi Publik menurut contoh ini adalah akibat menurut tuntutan lingkungan politik, ekonomi, sosial-yang menghendaki perubahan serta tuntutan harus diadopsi sang struktur administrasi publik pada rangka keberlanjutannya untuk memenuhi tujuan kolektif. Asumsi yg dibangun sangat kentara bahwa lingkungan mempunyai inovasi serta tekanan terhadap kebutuhan akan Reformasi Administrasi Publik, sehingga pemerintah mau nir mau wajib memenuhi permintaan lingkungan tadi. 

Sedangkan model ketiga adalah institutional model yg memulai Reformasi Administrasi Publik sebagai butir dari kesadaran kelembagaan akan kebutuhan perubahan serta buat itu perlu melakukan modifikasi nilai-nilai kolektif, budaya, serta struktur supaya organisasi senantiasa adaptif menggunakan perubahan lingkungan serta berjalan bergerak maju.

ASPEK-ASPEK REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
Secara lebih detail krusial buat diungkap apa sesungguhnya aspek-aspek yang sebagai sasaran dari Reformasi Administrasi Publik?. Penjelasan konseptual dan contoh-contoh desain reformasi publik diatas, seperti top down, bottom up serta institutionalis dalam akhirnya bermuara dalam bagian-bagian menurut the body of bureaucracy yg wajib dirubah. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara structural, Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran–kiprah yang makin terspesialisasikan (role specialization) serta pembagian pekerjaan (division of labor) yg makin tajam dan intens pada masyarkaat terbaru. Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, namun bagaimana kiprah serta pengaruhnya pada kinerja yang lain atau organisasi secara holistik. Ia menekankan pentingnya kerjasama serta teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja beserta (social performance). 

Riggs jua membedakan antara hasil (accomplishment) dengan upaya yg dilakukan (endeavour). Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan dalam upaya, bukan semata–mata hasil. Pandangan ini dianut Eko Prasodjo (2007) yg memetakan dengan lebih jelas dimensi-dimensi Reformasi Administrasi Publik yaitu modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi, downsizing, perubahan manajemen serta organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, aturan berbasis kinerja serta proses perencanaan partisipatif. Kemudian pula dilanjutkan menggunakan Kwik Kian Gie (2003) dengan rinci mengurai Reformasi Administrasi Publik yang mencakup 3 point krusial, yaitu : (1) Kebijakan Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, meliputi redefenisi kelembagaan administrasi publik dalam melakukan pelayanan pada rakyat, melakukan audit kelembagaan terhadap organisasi administrasi publik pemerintah pada sentra dan wilayah, perampingan organisasi administrasi publik pemerintah menggunakan memperhatikan output audit kelembagaan administrasi publik pemerintah pusat dan wilayah, membangung suatu sistem rekruitmen dan promosi pegawai sinkron menggunakan kecakapan serta kemampuannya, terdapat penghargaan terhadap birokrat yang berbuat baik dan sanksi bagi yg berbuat jelek; (dua) Kebijakan di bidang Sumber daya manusia mencakup peningkatan kesejahteraan aparat administrasi publik pemerintah, meningkatkan etika dan moral administrasi publik, mendorong kemampuan profesionalisme administrasi publik; serta (3) Kebijakan pengawasan administrasi publik yang meliputi pengawas forum internal pemerintah yamg adalah aparat audit internal pemerintah. 

Sejalan serta melengkapi aspek-aspek Reformasi Administrasi Publik adalah apa yg diungkapkan sang Miftah Thoha (2002) bahwa Reformasi Administrasi Publik menyangkut pertama, kepemimpinan forum departemen pemerintah baik dipusat dan pada wilayah yang harus dibedakan dengan jelas antara pejabat politik serta pejabat karier administrasi publik. Kedua, desentralisasi wewenang baik desentralisasi politik maupun administrasi perlu dilakukan pada dalam kelembagaan pemerintah ini. Ketiga, perlunya perampingan susunan kelembagaan administrasi publik pemerintah. Pandangan-pandangan pada atas menaruh pemetaan sederhana mengenai Reformasi Administrasi Publik mulai dari pemahaman konseptual, tujuan, ruang lingkup, variabel-variabel penunjang keberhasilan serta penghambat serta model-model memulai Reformasi Administrasi Publik. Kerangka ini tentunya bersifat teoritis serta perlu dikombinasi menggunakan kepiawaian pada implementasinya atau membutuhkan art (seni) dalam melaksanakan Reformasi Administrasi Publik dalam global konkret. 

Pada bagian selanjutnya coba buat dibahas perjalanan Reformasi Administrasi Publik dalam kerangka berpikir klasik, New Public Management serta New Public Service. Masing-masing kerangka berpikir akan melahirkan sosok administrasi publik yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandangnya dan yang perlu digarisbawahi sebagaimana diungkap sang Caiden, nir terdapat suatu model pun yg dapat diberlakukan tanpa mengkonfirmasikan menggunakan budaya yang terdapat pada masyarakat. Artinya, contoh administrasi publik klasik, NPM serta NPS bukanlah model yang saling meniadakan, tetapi pilihan-pilihan yang aplikasinya tergantung menggunakan konteks ruang serta saat.

PARADIGMA KLASIK, NPM DAN NPS
Konsisten dengan pendapat Caiden bahwa budaya serta kondisi sosial, politik dan ekonomi memilih pilihan kerangka berpikir reformasi yg akan digunakan, maka model administrasi publik klasik, NPM dan NPS adalah sebuah pilihan yg bisa dipakai pada Reformasi Administrasi Publik tanpa wajib meniadakan satu sama lain. Reformasi Administrasi Publik pada pandangan administrasi publik klasik atau old public administration mensyaratkan beberapa ketentuan supaya membentuk sosok administrasi publik rasional contoh Max Weber, yaitu : (1) Administrasi publik wajib dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi AP dgn politik); (dua) Tidak memberi peluang pada Administrator buat memperaktekkan sistem nepotisme dan spoil; (3) Para legislator hanya merumuskan kebijakan nasional serta Administrator hanya mengeksekusinya; (4) Para Administrator selalu mengutamakan nilai efisiensi serta ekonomis; (5) Para Administrator diangkat dari kecocokan serta kecakapannya; serta (6) Metode keilmuan berdasarkan Taylor wajib menggeser metode rule of thumb.

Apabila kondisi-syarat ini terjadi secara konsisten maka akan lahir sosok administrasi publik dengan ciri menjadi berikut : (1) Profesionalitas; (dua) Penggunaan prinsip keilmuan; (tiga) Hubungan impersonal; (4) Penerapan anggaran dan standarisasi secqara tegas; (lima) Sikap yg netral; serta (6) Perilaku yg mendorong efisiensi dan efektivitas. Paradigma ini, berdasarkan Eko Prasodjo (2007), mendorong pemerintah buat balik kepada “khittah-nya” yaitu hadiah pelayanan pada warga yg dilakukan sang administrator publik yang akuntabel dan bertanggung jawab secara demokratis pada elected official. Nilai dasar utama yg diperjuangkan adalah efisiensi dan rasionalitas sebagaimana yang diajarkan pada birokrasi Max Weber.

Apabila Reformasi Administrasi Publik memilih contoh new public management, maka reformasi wajib berpijak dalam pandangan sebagaimana dijelaskan Metcalfe (1998) dalam Barzelay (2002) “NPM is an umbrella term, which encompasses a wide range of meanings, including organization and management design, the application of new institutional economics to public management, and a pattern of policy choices”. Atau dibahasakan oleh Eko Prasdjo (2007), NPM adalah reformasi paradigma administrasi publik lama yg berbasiskan traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasiskan pada market (prosedur pasar) serta competetion-driven based. 

Reformasi dalam paradigm NPM dilakukan menggunakan menjalankan prinsip-prinsip menjadi ini dia: (1) Productivity, pemerintah harus menghasilkan lebih poly menggunakan porto lebih sedikit; (dua) Marketization, pemerintah memakai insentif pasar agar hilang patologi administrasi publik; (3) Service orientation, acara lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat rakyat; (4) Decentralization, melimpahkan kewenangan pada unit kerja terdepan; (5) Policy, pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan (6) Performance accountability, pemerintah memperbaiki kemampuannya buat memenuhi janjinya. Konsistensi terhadap ajaran NPM ini pada akhirnya akan menampilkan sosok administrasi publik yang berkarakter : (a) Memperhatikan mekanisme pasar; (b) Mendorong kompetisi dan kontrak buat mencapai output; (c) lebih responsif terhadap pelanggan; (d) Bersifat mengarahkan daripada menjalankan sendiri; (e) Harus melakukan deregulasi; (f) Memberdayakan pelaksana; (g) Mengembangkan budaya organisasi yang lebih fleksibel; (h) Innovatif serta berjiwa wirausaha; (i) Pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas; (j) Orientasi dalam proses dan input.

Begitupula saat contoh new public service sebagai platform Reformasi Administrasi Publik, akan melahirkan protype yg sejalan dengan ideologi dan desain NPS. Spirit atau ruh ideologi menurut NPS adalah community based, sehingga administrasi publik berdasarkan Denhardt & Denhardt (2003) seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customer), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), menghargai rakyat negara daripada enterpreneurship (value citizenship over enterpreneurship), melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer) dan menghargai orang bukan semata-mata produktivitasnya (value people, not just productivity). Paragima ini berdasarkan Asmawi Rewansyah (2008) menganjurkan “rambu-rambu” yg harus dipatuhi waktu melakukan Reformasi Administrasi Publik, yaitu : (1) Merubah kerangka berpikir constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995); (dua) Merubah institution-centric civil service ke model citizen-centric governance (Prahalad, 2005); (tiga) Menerapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at ell., 2006); (4) menghilangkan tindakan administrasi publik yg memanipulasikan partisipasi rakyat (Yang & Callahan, 2007). 

Apabila ketentuan-ketentuan reformasi ala NPS ini konsisten dijalankan maka akan contoh administrasi publik NPS yg memiliki karakter sebagai berikut : (1) Mengutamakan pelayanan kepada warga menjadi rakyat negara, bukan sbg pelanggan; (dua) Mengutamakan kepentingan umum; (tiga) Melibatkan rakyat masyarakat; (4) Berfikir strategis dan bertindak demokratis; (lima) Memperhatikan kebiasaan, nilai, serta standard yang ada; (6) Menghargai warga daripada sosok manajer wirausaha yg profit oriented.

Paradigma-paradigma di atas memiliki ideologi, perkiraan, konsepsi, ruang lingkup, tujuan dan kerangka yg membedakan satu dengan yang lain. Berikut peta masing-masing kerangka berpikir menggunakan warna ideologi masing-masing, dimana administrasi publik klasik nilai-nilai administrasi publik rasional Weber, NPM dalam “payung” ideologi kapitalis serta NPS dengan rona ideologi community based.

Walaupun kerangka berpikir-kerangka berpikir tadi sang banyak pakar diakui sebagai sebuah perkembangan pemikiran yang berjalan secara dialektik – tesis, antitesis serta buatan, namun pola tadi nir saling menggugurkan antara model klasik, NPM serta NPS. Bahkan sangat mungkin ketiganya terakomodasi dalam suatu desain Reformasi Administrasi Publik sebagai akibatnya akan lahir sosok administrasi publik “pelangi” menggunakan warna klasik, NPM dan NPS. Pola ini sangat mungkin terjadi menggunakan asumsi nir ada suatu rapikan rakyat yang seratus % rasional pada politik serta ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang yg sedang melalui fase transisi dibidang politik dan ekonomi. Akibatnya Reformasi Administrasi Publik berjalan secara bertahap dengan mempertahankan serta memperbaiki struktur administrasi publik yang lama atau revitalisasi struktur administrasi publik yg berdisain administrasi publik klasik.

Di negara berkembang misalnya Indonesia, contohnya, reformasi tetap memakai model klasik buat bidang politik, aturan serta keamanan. Kemudian mengadopsi secara perlahan kerangka berpikir NPM buat Reformasi Administrasi Publik yang berada dan berurusan di sektor pengembangan perekonomian dalam rakyat. Dan terakhir Reformasi Administrasi Publik menggunakan kerangka berpikir NPS untuk administrasi publik yang berada dalam domain kesejahteraan sosia serta penguatan rakyat. Anggaplah ini menjadi pemikiran contoh “pelangi” Reformasi Administrasi Publik serta inipun sebuah pilihan, ialah suatu sistem politik, sosial,ekonomi dan budaya yg nisbi mapan bisa mengadopsi secara total salah satu saja desain, apakah bertahan dalam kerangka berpikir klasik, memilih NPM atau NPS.

KEADILAN DAN HAK MASYARAKAT DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

Keadilan Dan Hak Masyarakat Dalam Administrasi Publik 
Dua puluh lima tahun yang lalu, keadilan masyarakat diperkenalkan menjadi variabel yg dapat dipakai bagi penelitian ilmiah, serta menjadi konsep filosofi menurut administrasi publik, dan panduan bagi tindakan etis bagi pelayanan publik. Bab ini akan dimulai dengan nilai-nilai filosofi serta pengembangan teori, dan menjadi pertimbangan buat diaplikasikan pada aspek-aspek keadilan rakyat.

Nilai-Nilai Filosofi dan Pengembangannya Secara Teoritis
Dwight Waldo [1949] mengemukakan bahwa administrasi publik adalah adonan antara seni dan ilmu-ilmu pemerintahan yang akhirnya berkembang menjadi seni dan ilmu-ilmu manajemen. Efisiensi serta ekonomi sebagai hal yang utama dalam teori manajemen, dan hak masyarakat menjadi hal yg pokok dalam teori pemerintahan. Di awal tahun perkembangan administrasi publik di Amerika yg terbaru, Woodrow Wilson [1887, 1941] menjadi tokoh utamanya. Teori efisiensi usaha dapat digabungkan dengan teori pemerintahan yg demokratis – yg mengemukakan bahwa pemerintah bisa menggabungkan antara efisiensi dengan keadilan. Di pertengahan tahun 1960an, teori manajemen mempertanyakan tentang hak dan keadilan. Meskipun demikian, pendapat generik beranggapan bahwa administrasi publik merupakan bagian menurut proses politik.

Di awal-awal tahun, diyatakan jua bahwa administrasi publik harus netral dan tidak ditentukan sang kebijakan politik, serta mengabaikan keadilan sosial. Administrasi adalah bagian dari politik, yang tak jarang terjadi, pemimpin terlibat pada proses kebijakan, dan diharapkan netralitasnya. Keadilan sosial menjadi panduan bagi tindakan administrasi menggunakan ekuilibrium nilai-nilai ekonomi dan efisiensi. 

Willbern [1973] beropini bahwa hak masyarakat “tidak tepat untuk mendefinisikan tujuan atau nilai-nilai administrasi” [hal 376]. Ia menyatakan bahwa “hak rakyat bisa ditolak menggunakan mengunakan bukti-bukti”. Tetapi kesalahan besar ini bisa dihilangkan oleh kaum intelektual yg menyatakan bahwa terdapat sesuatu yang bernilai dan mempunyai konsekuensi konkret pada pemahaman mengenai konduite insan dalam situasi administratif [378].

Hak rakyat membutuhkan kesempurnaan, sebelum menambahkan efisiensi dan ekonomi pada tiga pilar yang mendasari administrasi publik. Proses ini dimulai dengan Symposium on Social Equity and Public Administration yang dimunculkan pada Public Administration Review [Frederickson, 1974]. Peranan krusial dalam simposium ini mengilustrasikan mengenai teori – proses pengembangan pada administrasi publik.

Pertama, hak rakyat dipahami sebagai [1] dasar dari demokrasi warga , [2] berpengaruh dalam konduite insan pada berorganisasi, [3] menjadi dasar aturan untuk distribusi pelayanan publik, [4] menjadi dasar buat menerapkan pelayanan publik, [5] menjadi dasar menurut pembentukan kelompok, serta [6] menjadi tantangan bagi penelitian serta analisis [Frederickson; 1974].

Kedua, sehabis membicarakan mengenai bagian berdasarkan subyek, bangunan teori bila dikumpulkan secara beserta akan sebagai lebih baik walaupun kita tetap saja tidak dapat menggabungkannya.

Ketiga, kita dapat memulainya dari definisi yang terdapat. Di sini diprioritaskan dalam teori distribusi keadilan. Douglas Rae dan sahabat-temannya [1981] berkata “keadilan merupakan satu hal yg paling sederhana serta tak berbentuk, termasuk didalamnya membentuk global yg konkrit serta kompleks. Dapatkah kita membayangkan deretan pemerintahan sebelumnya? (hal.tiga ) Hak rakyat sebagai pilar ketiga dari administrasi publik.

Kita kembali pada teori deskriptif, yg definisinya dapat digunakan buat teori serta praktek pada administrasi publik. Mengikuti pendapat Ray dan kawan-mitra, kita menyatukan dalam bahasa yg belum paripurna tentang keadilan menggunakan definisi dan model. Kita bisa memperkirakan contoh untuk mengkonstruksikan sebagai adonan teori tentang hak-hak masyarakat. Dalam bab ini, akan disajikan dasar-dasar berdasarkan pertimbangan hukum dan perspektif penelitian mengenai hak masyarakat.

Penggabungan Teori-Teori Hak Sosial
Gabungan tentang teori hak masyarakat menaruh tipe-tipe keadilan dan penerapannya misalnya yang dijelaskan ini dia;

Persamaan Individu
Persamaan individu, model terbaiknya adalah prinsip “satu orang satu bunyi “. The Golden Role serta Emanuel Kant’s mengkategorikannya ke dalam persamaan individu. Pada prakteknya administrasi publik memberi model persamaan individu.

Persamaan Bagian
Masyarakat yang kompleks membutuhkan persamaan bagian yang sama. Petani memiliki sistem yg tidak selaras dalam membayar pajak daripada pemilik perusahaan. Hirarki yang dipakai pada konsep ini adalah: Jenderal bintang 5 yg senior sama dengan masyarakat negara yang lain, serta tidak diperlakukan menjadi masyarakat yang diutamakan. Persamaan ini sangat penting buat kebijakan publik serta administrasi karena pelayanan publik membutuhkan hirarki. Dalam hal ini setiap orang adalah sama.

Perbedaan
Perbedaan mengkategorikan dalam kelompok serta sub kelas. Pada tahun 1896, Plessiy vs Ferguson menetapkan bahwa grup kulit gelap dan kulit tanpa cacat tidak sanggup dipisahkan, karena mereka pada dasarnya sama. Brown ves Topeka Board of Education menyimpulkan bahwa dalam tahun 1954, pemisahan rasial adalah tindakan yg tidak menyamakan kedudukan insan. 

Persamaan Dalam Bidang Hukum
Bagaimana cara tetapkan apa yg dianggap persamaan? Persamaan dalam bidang aturan ditandai sang kebaikan, pelayanan, atau keuntungan. Jika sekolah serta proteksi pemadam kebakaran bisa disediakan pemerintah, kemudian kenapa kursus golf serta fasilitas rekreasi nir? Persamaan pada bidang hukum membutuhkan pemisahan yg kentara termasuk antara lain pekerjaan, investasi, serta honor . Seringkali pemerintah menguasai persamaan ini buat mengoreksi kegagalan yg didapatkan oleh pasar dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 

Persamaan Kesempatan
Persamaan kesempatan dibagi menjadi prospek mendapatkan kesempatan dan arti kesempatan itu sendiri. Prospek mendapatkan kesempatan berarti, dua individu memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Kesempatan itu sendiri berarti 2 orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan jika mereka memiliki bakat yg sama atau kualifikasi yang sama. Tujuan serta imbas menurut persamaan ini tidak sama menggunakan persamaan untuk mencari sukses namun legitimasi menjadi prospek buat sukses (Ray and Associate; 1981, hal.66) Pendapat Aristoteles mengenai persamaan seharusnya diangkat pada konstitusi sebagai model buat mendasari persamaan kesempatan.

Dalam masyarakat yg berbeda, tidak semua bakat dikembangkan secara sama. Menurut John Scharr, “setiap rakyat memiliki kesatuan nilai-nilai, serta mereka rata-rata tidak memperhatikan hirarki yang terdapat, persamaan kesempatan seharusnya direvisi: persamaan kesempatan seharusnya dibangun dari hal yang dimiliki oleh orang-orang.”(1967;231 serta Scharr,1964).

Nilai-nilai Persamaan
Nilai-nilai persamaan diawali menggunakan konsep persamaan. Persamaan berarti individu mendapatkan keadilan. Permasalahannya, persamaan merupakan hal yang sensitif. Ray serta kawan-mitra menganggap persamaan individu didasarkan pada pembagian keadilan tentang apa yang masing-masing individu butuhkan. Misalnya: anak-anak dengan kekurangan (stigma) dapat dibandingkan dengan anak-anak yg sehat atau keterbelakangan mental dibandingkan menggunakan anak pandai . Persamaan akan dihargai sang seorang apabila dipraktekkan pada administrasi publik buat menciptakan peraturan yang lebih humanis.

Hal ini sangat universal. Lebih sederhana daripada sekedar retorika dan slogan, The Compound Theory of Social Equity sangat kompleks buat dikonstruksikan dalam definisi dan konsep persamaan berubah menurut satu konsep ke poly konsep yaitu kebersamaan (Ray serta kawan-kawan 1981). 

Apakah persamaan individu sebagai bagian atau pemisah? Apa hak rakyat dapat dipakai untuk mempertahankan demokrasi pemerintah dan ekonomi pasar ? The Compound Theory of Social Equity akan melayani kerangka-kerangka batasan ini pada teori dan prakteknya buat menjawab pertanyaan dibawah ini.

Beberapa Penerapan Mengenai Penggabungan Teori Hak Sosial
Berdasarkan perkembangan sejarah mengenai administrasi publik dinyatakan: “administrasi publik adalah tindakan aturan.” Oleh karena itu, bukan sesuatu yg baru apabila perkembangan hak rakyat jua herbi hukum [McDowell; 1982]. Menurut Haar dan Fessler [1986], “anggota dewan perwakilan baik di wilayah juga pada pusat – seringkali kali menghindar dari tanggungjawabnya. Hasilnya, nir ada alasan apabila pengadilan yang akan menetapkan supaya mereka bertanggungjawab [hal. 18]. Pengadilan akan menyatakan bahwa keadilan akan diterapkan menjadi perlindungan hukum bagi pelayanan ketetapan. Pegawai – baik forum legislatif juga eksekutif - yg secara alamiah akan mengutamakan kepentingan lebih banyak didominasi. Pilihan pegawai – publik serta administrator – hanya akan berkonsentrasi dalam efisiensi dan ekonomi.

Pegawai
Peraturan berpengaruh dalam pemerintahan buat mempekerjakan pegawai, baik swasta maupun negeri. Yang patut dipertanyakan pada peraturan disini merupakan, siapa yg akan menaruh pekerjaan? Apa kriterianya dan bagaimana cara mengaplikasikannya?

The Civil Rights Act of 1964 serta The Equal Employment Act of 1974 merancang cara untuk menerapkan persamaan antara pegawai partikelir serta pemerintah. Hal ini bisa diselesaikan dengan cara menyatukan perbedaan. Penerapan yg adil bisa diukur dengan bakat, keahlian, dan kemampuan buat mendapat suatu pekerjaan. Tahun 1971, Griggs vs Duke Power, kualifikasi yg ditetapkan buat memperoleh pekerjaan tidak sinkron dengan pekerjaan yang diberikan – khususnya bagi masyarakat kulit hitam – yang menjadi korban kekerasan dalam hukum. Masalah rasial menjadi bentuk dari aksi suatu golongan yang membedakan antara kulit hitam dan kulit bening.

John Nalbandian [1989], menyusun laporan yg didukung oleh Griggs untuk membatasi secara sistematis bahwa “gerombolan akan beraksi jika perseteruan pada kelompok nir bisa diselesaikan” [hal.39]. Tahun 1978, masalah dari University of California Regent vs Bakke yg merayakan kemenangan atas dukungan keadilan yang lebih mengutamakan golongan kulit tanpa cacat, dalam saat yang sama melindungi kaum lebih banyak didominasi yg menyukai persamaan hak dalam masyarakat yg lebih terlindungi.

Kelompok penegak hukum dan dewan tetapkan efek dari persamaan pada kesempatan pegawai antara minoritas serta dominan dalam gerombolan rasial dan etnis tertentu – lebih diakibatkan karena jender [Ingraham dan Rosenbloom, 1989]. Nalbandian memprediksikan bahwa nilai-nilai berdasarkan hak warga akan diputuskan menggunakan ekuilibrium baru pada praktek-praktek pekerja yang ditekankan buat efisiensi [1989, hal. 44]. Pertengahan tahun 1990an, Nalbadian memprediksikan bahwa dewan dan kongres akan menghilangkan kebijakan mengenai “rona kulit”. Dengan kata lain definisi mengenai persamaan ini berdasarkan pada perbedaan yg berdasarkan pada nilai-nilai rasial serta etnis.

Kontrak
Tahun 1977, Public Works Employment Act, pemerintahan federal mendirikan gerombolan bisnis yg diutamakan buat kaum minoritas. 10 % berdasarkan rakyat pekerja dari anggota kelompok minoritas. 10 % ini sudah dibuktikan oleh Fullilove lawan Klutznik (1980). Justice Thurgood Marshall, berdasarkan gerombolan mayoritas menulis; dewan bersama-sama kongres memiliki otoritas buat menggerakkan rakyat di dalam suatu negara yg berarti persamaan kesempatan, bukan subordinat pada masa kemudian yang selamanya akan membeku pada dalam hubungan masyarakat

Suara minoritas dari Justice Voter Steward menyampaikan, dalam pandangan aku , pemilik usaha minoritas tidak perlu menghilangkan perlindungan persamaan di mata hukum. The Fourteen Amendment menyatakan bahwa hukum menurut kepada silsilah. (Fullilove lawan Klutznik).

Hakim Marshall serta Steward menggunakan pengertian yg tidak selaras, serta mereka yang menyimpang dari pertarungan apa yg dimaksud menggunakan persamaan. Bagi Marshall perbedaan adalah hal yang utama. Sedangkan berdasarkan Steward persamaan individu adalah hal yang primer. Akhirnya Marshall wajib beranggapan bahwa kesempatan buat dikontrak berdasarkan pada persamaan prospek dapat disetujui oleh Steward.

Dari 10 % ditahun 1977, Works Employments Act, the Supreme Court semakin tinggi menjadi 30 % bagi kaum minoritas buat bekerja di City of Richmond, Virginia. Program ini disetujui oleh 33 negara bagian dan lebih dari 200 kotamadya (City Richmond vs J.A. Croson Company,1989). The Richmond memutuskan bahwa kekerasan pada Fourteen Amendment lantaran warga kulit bening mengingkari persamaan proteksi dalam aturan (New York Times, Jan.24,1989;hal.1,12). Tidak diragukan lagi bahwa ketetapan ini disetujui sebagai hak warga . Lebih jelasnya hukum digunakan buat menerapkan persamaan hak yang sama di mata warga .

Layanan Pemerintah
Tahun 1968, Andrew Hawkins, seorang blasteran Afrika-Amerika tinggal Promised Land, di lingkungan masyarakat kulit gelap, di Shaw, Mississipi menaruh data yang signifikan mengenai pelayanan di kotamadya bahwa pekerja kasar diperlakukan tidak adil. Lantaran pelayanan di Caucasian dipercaya jelek oleh Hawkins, maka beliau serta kelompoknya mencabut Fourteen Amendment. Fourteen Amendment menjadi perlindungan persamaan di mata aturan namun dewan di daerah tersebut nir putusan bulat dengan Hawkins serta mengatakan bahwa permasalahan tentang administrasi kotamadya akan diselesaikan melalui kotak suara. (Hawkin lawan Town of Shaw,1969).

Bukti adanya subordinat secara kualitatif serta kuantitatif sebagai alasan bahwa pemerintah menjadi pelanan rakyat melanggar prinsip-prinsip dasar. Dewan nir diijinkan oleh pemerintah lokal buat menemukan bukti-bukti statistik yang substansial tentang diskriminasi pembedaan rasial. Tidak ada yang bisa diterima pada sini lantaran bukti-bukti statistik nir membedakan tingkatan dan pelanggaran masyarakat dalam rakyat Negara berdasarkan rona kulit [Haare dan Fessler, 1986; 14].

Pendapat Hawkin ini sebagai dasar buat mengkonstruksikan pertarungan bagi sempitnya pemahaman tentang persamaan tetapi secara signifikan dewan dapat mempengaruhi alokasi pengambilan keputusan mengenai pelayanan secara mendalam bahwa subordinat nir bisa mengakibatkan demokrasi yang lebih baik.

Brwon vs Board of Education menyimpulkan mengenai persamaan. Pembedaan batas antara kulit mulus dan kulit gelap [atau bahkan hispanik – orang spanyol] menjadi area pada mempertahankan lingkungan pada kesatuan integritas. Konflik akbar yang ada bisa diselesaikan dengan cara penggunaan bahasa yg sama.

Di Kansas City, Missouri, sesudah Brown vs Baord Education tetapkan buat memisahkan persamaan ke pada gerombolan sebagai suatu hal yg membedakan serta melanggar konstitusi. Pertanyaan yang muncul, apakah mereka akan relatif dengan memberhentikan pemisahan tadi ke dalam gerombolan -kelompok? Ataukah mereka membutuhkan buat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan karena pembedaan sistem termasuk yang terjadi pada sekolah-sekolah?

United States vs Jefferson City Board of Education, mendefinisikan sekolah yang mendukung Fourteenth Amendment buat membawa pada persatuan di sekolah antara anak-anak negro menggunakan anak-anak kulit putih di sekolah. Anak-anak kulit hitam memiliki kesempatan yg sama pada sekolah formal, termasuk beraktifitas yang sama menggunakan anak-anak kulit bening.

Swan vs Charlotte Mecklnburg Board of Education [1971], anggota dewan, memulai “obyektifitas buat membatasi sekolah umum adalah sisa-sisa jatuhnya pemisahan antara kulit gelap dan kulit tanpa cacat. Dua syarat ini terjadi pula pada Kansas City, Missouri. Pertama perkembangan interaksi antara warga umum dengan partai-partai yg ada pada pemerintah yg membentuk lingkungan yg kebih baik bagi warga kulit gelap [menghilangkan rasisme]. Sekolah bagi warga kulit hitam dalam waktu ini dihadiri sang anak didik dan pengajar yang dari dari campuran African American. 

Berdasarkan pandangan persamaan, beberapa contoh yg dapat digunakan buat melengkapi definisi keadilan ini. Pertama, individu mempunyai persamaan, satu suara, suara yang sama untuk membentuk demokrasi. Kaum dominan nir lagi bisa menyatakan hak konstitusi yang tidak sinkron menggunakan kaum minorotas. Kedua, seiring menggunakan perjalanan saat, timbul persamaan antargenerasi. Perbedaan yg diterima anak-anak kulit hitam di sekolah semakin usang semakin berkurang. Ketiga, sekolah didirikan buat kepentingan generik, menjadi tanggungjawab pemerintah negara bagian.

Sebenarnya poly model yg menerangkan perkembangan persamaan hak, termasuk pada dalamnya persamaan hak antara laki-laki dan wanita di sekolah serta di masyarakat. Lima tahun sebelum U.S Constution ditulis, berdasarkan Haar dan Fesser [1986], Henry III menyusun Fundamental Level of Social Organization, seluruh orang mempunyai kedudukan yang sama. Doktrin ini menjadi dasar peraturan bagi pemerintah buat dipertanggungjawabkan. Di pada hukum, semua monopoli ditiadakan, diganti dengan persamaan hak.

Untuk menerapkan persamaan pada administrasi publik, pertama, menempatkan hak masyarakat menjadi satu-satunya tujuan utama. Kedua, banyak sekali teori tentang hak rakyat harus dijalankan, lantaran sebagai dasar pada persamaan hak. Pada kenyataannya, prinsip lain yang pula harus dipakai adalah efisiensi, lantaran permasalahan jua sangat kompleks. Ketiga, pelayanan yang sama pada administrasi publik, efisinsi dan ekonomi yang terbuka buat persamaan hak masyarakat.

Hak Masyarakat, Analisis, dan Temuan Ilmiah
Konsekuensi berdasarkan pengembangan teori bagi distribusi keadilan dan persamaan hukum menjadi hal yg sangat penting dalam analisis kebijakan. Dua puluh 5 tahun yg lalu, poly dari universitas besar yang mendirikan jurusan kebijakan publik yg khususnya membahas studi interdisipliner dan permasalahan kebijakan. Pada kenyataanya, jurusan dan departemen administrasi publik menaruh fokus dalam perspektif analisis kebijakan. Kebijakan selalu berhubungan dengan – kesehatan, transportasi, penegakan aturan, perlindungan menurut bahaya kebakaran, perumahan, pendidikan, asal daya alam, lingkungan, serta perkara kebangsaan – dalam waktu ini sebagai subyek yg perlu dianalisis. 

Secara ideologi dan prespektif metodologi dalam analisis politik, didominasi sang perkembangan ekonomi. Meskipun pemerintah nir menghipnotis pasar, contoh aplikasi pasar inilah yang banyak digunakan pada analisis kebijakan. Logikanya sederhana. Dalam teori ekonomi, bila individu dan perusahaan memaksimalkan kapasitasnya, maka rakyat negara serta pemerintah akan melakukan hal yg sama. Pandangan ini sangat terkenal menggunakan adanya gagasan pemerintah mengenai deregulasi, privatisasi, beasisiswa sekolah, hubungan antar individu, manajemen, serta minimnya biaya supervisi dalam pemerintahan Amerika.

Model ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya dalam analisis kebijakan. Pemerintahan yang bertenaga mempunyai konsep yg kentara mengenai keadilan, aturan, hak-hak individu, serta persamaan yang dipakai sebagai ukuran bagi indikator warga buat mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Variasi pengukuran ini merupakan distribusi pelayanan publik menggunakan umur, ras, jender, pendapatan serta faktor-faktor lain yang rutin terjadi. Kita dapat memakai hak rakyat sebagai konsep buat memakai teori serta peraturan yg standar dalam variabel penelitian. Permasalahan analisis hak rakyat – dapat dipakai sebagai teori hak warga yg sama dalam hukum – merupakan adonan berdasarkan banyak sekali persamaan karakter.

Dalam strata individu, menurut data serta penelitian ditemukan pemetaan yg belum paripurna. Jennifer Hochschield [1981] menduga bahwa individu memiliki pandangan yang tidak sinkron dalam memandang persamaan hak di rakyat. Individu memiliki opini tentang persamaan yg tergantung dari kehidupan masing-masing dan bagaimana persamaan didefinisikan. Hochschied mendasarkan penemuannya mengenai tiga hal; yaitu sosial – termasuk tempat tinggal , famili, sekolah serta warga ; ekonomi – termasuk pekerjaan, gaji, pajak, dan kekayaan; serta politik – termasuk voting, kehadiran, serta hukum, dan menggunakan 2 konsep mengenai persamaan yaitu [1] persamaan nilai dan prosedur yg sama, serta [2] perbedaan sebagai kombinasi berdasarkan persamaan dan berdasar dalam kesempatan bersama.

Dalam pandangan sosial, individu memiliki prosedur dan norma-norma persamaan. Persamaan untuk merawat anak-anak, suami dan istri, persamaan pengorbanan pada famili, serta persamaan dengan tetangga baik yang kaya maupun miskin, kelas menengah serta kaya. Di sekolah, prosedur persamaan yg adil sangat krusial buat diterapkan dikelas. Di sekolah, anak-anak yg mempunyai keterbatasan pula mempunyai hak yang sama. Ada beberapa bukti bahwa anak-anak berbakat merupakan anak yang potensial. Walaupun demikian anak berbakat serta anak yg memiliki keterbatasan memiliki hak yg sama. Perbedaan persamaan nir bisa diterapkan dalam nilai-nilai ekonomi. Dengan istilah lain, individu yang menginginkan persamaan kesempatan menjadi nir sama. Produkifitas lebih dihargai; warga miskin percaya bahwa apa yang mereka lakukan akan menghasilkan distribusi pendapatan yang sama, warga yg mampu percaya bahwa output yang didapat nir akan sama.

Politikus serta masyarakat adalah orang-orang yg sederajat. Politikus dan rakyat kecil mempunyai hak yg sama, mereka wajib membayar pajak dan menginginkan kesejahteraan, sistem subsidi menggunakan cara orang kaya memberi orang miskin. Visinya merupakan permanen pada persamaan hak pada warga . (Hoschschield; 1981, hal.181). 

Dari seluruh pendapat yg ada, apa yang ditemukan Hoschschield sebagai ambivalen. Masyarakat mengenali bahwa kadang-kadang pendapat tersebut tidak konsisten. Masyarakat dapat merasakan saling membantu, saling marah, atau saling menyalahkan dalam perbedaan, serta mereka tidak tahu caranya bagaimana menjadi lebih baik lagi. Penelitian tentang pelayanan pemerintah daerah memiliki impak dalam hak masyarakat dalam administrasi publik. Perbedaan tidak berkorelasi menggunakan kekuasaan, kekayaan, ataupun rasial.

Reformasi di taraf kotamadya, termasuk didalamnya mengangkat manajer kota, memperhitungkan birokrasi, dan pemilihan non partisan, kekuatan pelayanan publik ditingkat lokal. Pelayanan publik seharusnya dilakukan secara rutin, terencana, serta bisa diprediksikan, bisa dipahami, atau memberi pelayanan yang baik atau peranan pengambilan keputusan. Pelayanan publik sudah seharusnya merespon permintaan masyarakat ( Lineberry;1977, Jones, Greenberg, Kaufman, and Drew; 1978).

Birokrasi menjadi lembaga administrasi publik yang profesional, dapat mendistribusikan pelayanan publik menjadi persamaan generik atau kebutuhan spesifik. Administrator publik tahu serta mempraktekkan hak masyarakat misalnya efisiensi serta ekonomi yang dipahami secara umum pada praktek administrasi publik. Hak masyarakat diterapkan setiap hari tidak hanya saat hari pelayanan.

PENGERTIAN DAN FUNGSI ADMINISTRAI PENDIDIKAN

Pengertian Dan Fungsi Administrai Pendidikan 
Secara etimologi, kata administrasi berasal dari bahasa latin ad serta administrare yg menurut Gei (1992) ialah melayani , membantu, menunjang, pencapaian tujuan sebagai akibatnya benar-benar tercapai. Selanjutnya Siagian (1986) mendefinisikan administrasi sebagai keseluruhan proses kerjasama antara 2 orang atau lebih yang didasarkan atas rasional tertuntu untu mencapai tujuan yg sudah didtetapkan sebelumnya. Nurhadi (1983) mengartikan administrasi menjadi suatu kegiatan atau rangkaian aktivitas yang berupa proses pengelolaan bisnis kerjasama sekelompok manusia yang tergabing pada suatu organisasi buat mencapai tujuan bersama yangtelah ditetapkan sebelumnya agar efektif serta efesien.

Dari definisi diatas maka administrasi bisa diuraikan sebagai 5 pengertian pokok yaitu:
a. Administrasi merupakan kegiatan atau rangkaian aktivitas manusia
b. Rangkaian aktivitas itu adalah suatu proses dan bersifat dinamis
c. Prose situ dillakukan beserta sang sekelompok manusia yang tergabung pada suatu organisasi.
d. Proses itu dilakukan pada rangka mencapai suatu tujuan yg telah ditetapkan sebelumnya
e. Proses pengelolan itu dilakukan supaya tujuan dicapai secara efektif serta efisien.

Disamping adanya pengertian pokok administrasi pula ada unsur utama administrasi. Menurut Siagian(1986) unsur utama administrasi merupakan :
a. Adanya sekelompok manusia ( sedikitnya 2 orang).
b. Adanya tujuan yang akan dicapai bersama
c. Adanya tugas/ fungsi yg harus dilaksanakan
d. Adanya peralatan serta perlengkapan yang diharapkan 

Semua unsur utama diatas perlu dikelola sedemikian rupa sehingga tujuan bisa tercapai secara efektif serta efisien. Ada bermacam-macam perumusan administrasi pendidikan dikemukakan sang orang sesuai menggunakan titik pandangnya masing-masing. Menurut Sutjipto serta Raflis (1994) administrasi pendidikan bisa dicermati dari berbagai aspek:
  1. dilihat berdasarkan segi aspek kerjasama
  2. Proses pencapaian tujuan pedidikan yg dimulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan serta penilaian pada pencapaian tujuan pendidikan 
  3. dilihat dari segi kerangka berpikir system.
  4. Dilihat menurut segi manajement
  5. Dilihat dari segi kepemimpinan
  6. Dilihat dari segi pengambilan keputusan
  7. Dilihat menurut segi komunikasi
  8. Kegiatan catat mencatat mendokumentasikan kegiatan, mengelola surat menyurat menggunakan segala aspeknya, dan mempersiapkan laporan( administrasi dalam arti yg sempit). 
Perlunya administrsi pendidikan 
Adminisrasi pendidikan adalah subsistem dari system pendidikan disekolah yg bertujuan menunjang pencapaian tujuan pendidikan secara efektif serta efisien. Komponen primer dalam system pendidikan yang memegang peranan penting pada pencapaian tujuan pendidikan merupakan guru. Oleh karena itu guru memiliki peranan penting dalam administrasi pendidikan terutama pada melaksanakan fungsi utama administrasi.

Dalam PP 38 Tahun 1992 Pasal 20 dikatakan bahwa energi pendidik yg ditugas kan untuk sebagai pengelola satuan pendidikan dan supervisi dalam jenjang pendidikan dasar adalah menurut kalangan guru. Oleh karenanya pengembangan karir guru berkaitan menggunakan bidang administrasi pendidikan. Berdasarkan hal-hal tersebut calon-calon guru yg akan bertugas sebagai guru, harus memperoleh latar belakang pengetehuan serta keterampilan pada administrasi pendidikan. 

Fungsi Administrasi Pendidikan 
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan awal yang harus dilakukan dalam kegiatan administrasi dan sekaligus menjadi persiapan sebelu sesuatu bisnis dilakukan. Rencana merupakan prasyarat dalam melakukan usaha apapun. Menurut Siagian(1980) Perencanaan adalah keseluruhan Proses pemikiran dan penentuan secara matang berdasarkan hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang akandatang dalam rangka pencapaian tujuan yang sudah dipengaruhi.

b. Pengorganisasian
Pengorganisasian dari Siagaian(1986) adalah keseluruah proses pengelompokan orang-orang, alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yan bisa digerakkan sebagai suatu kesatun dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dipengaruhi. Pengorganisasian disekolah bisa didefinisikan sebagai keseluruhan proses pengaturan kekuasaan, wewenang pekerjaan , tanggung jawab dari personil sekolah yg mempunyai rapikan hubungan satu sama lain, sehingga setiap pengajar atau personil sekolah mengetahui kedudukannya , tanggung jawabnya , tugas, kewenangan , serta cara interaksi satu sama lain/ prosedur kerja sebagai akibatnya bisa menjamin tercapainya tujuan sekolah.

c. Pengarahan
Pengarahan berdasarkan Nurhadi (1983) merupakan bisnis menaruh bimbingan serta pengarahan yang diberikan sebelum suatu aktivitas pelaksanaan dilakukan buat memilihara, menjaga serta memajukan organisasi melalui orang-orang yang terlibat baik structural maupun fungsional, supaya setiap aktivitas yang dilakukan nantinya nir terlepas dari usah pencapaian tujuan pendidikan . Bimbingan dan pengarahan bisa dilakukan dengan berbagaai cara:
  1. Memberikan orientasi mengenai pekerjaan yang dilakukan.
  2. Memberikan dan mengungkapkan perintah
  3. Memberikan petunjuk pelaksanaan
  4. Memberikan kesempatan pengetahuan agar dapat efektif pada melakukan aktivitas.
d. Pengkoordinasian
Koordinasi merupakan kegiatan mengatur serta mengintegrasikan aktivitas para bawahan, metode, bantuan, ilham, saran-saran pada suatu kegiatan yang lebih akbar seccara harmonis, saling menunjang sebagai akibatnya kegiatan berlangsung lebih efektif serta terarah dalam pencapaian tujuan.

e. Pengawasan( Controlling)
Pengawasan berdasarkan Siagian(1986) merupakan proses pengamatan berdasarkan dalam aplikasi seluruh aktivitas organisasi untuk menjamin supaya semua pekerjaan yg sedang dilakukan berjalan sesuai rencana yg telah ditentukan sebelumnya. Menurut Nurhadi pengawasan merupakan Kegiatan mengukur taraf efektifitas aktivitas kerja yang telah dilaksanakan serta taraf efisien penggunaan komponen pendidikan yang lain pada usaha mencapai tujuan pendidikan.

Tujuan Administrasi Pendidikan 
Tujuan Administrasi PEndidikan merupakan menaikkan efesiensi serta efektivitas penyelengaraan operasional pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tujuan Administrasi pendidikan disekolah bisa dibedakan atas tujuan jangka pendek, jangka menegah, dan jangka panjang.

Bidang Garapan Administrasi Pendidikan 
Bidang garapan administrasi pendidikan bisa dikelompokkan atas:
a. Bidang kurikulum
b. Bidang kesiswaan 
c. Bidang saran serta prasarana
d. Bidang personalia pendidikan
e. Bidang keuangan pendidikan
f. Bidang ketatausahaan
g. Bidang interaksi sekolah dengan masyarakat
h. Bidang layanan khusus.

Bidang garapan tadi jika dikaitkan dengan dimensi pedagogi dan pengelolaan akan tampak bahwa terdapat bidang aktivitas yg berafiliasi eksklusif dengan pedagogi serta pengelolaan dan adapula yg bekerjasama secara nir eksklusif dengan pedagogi namun berhubungan eksklusif dengan pengelolaan.