FAKTORFAKTOR UTAMA YANG PERLU DIPERHATIKAN PADA DISASTER RECOVERY PLANNING

Faktor-Faktor Utama Yang Perlu Diperhatikan Pada Disaster Recovery Planning 
Sudah nir perlu dibuktikan lagi bahwa setiap orang niscaya membutuhkan informasi dalam menjalankan serta membuatkan usahanya. Oleh karena itu, kebutuhan akan keterangan merupakan kebutuhan yang nir akan pernah habis-habisnya. Saking pentingnya, fakta yg ada akan selalu disimpan dengan baik, dan akan dipakai waktu waktunya datang atau akan selalu digunakan sepanjang karier hayati insan. Bisa dibayangkan jika fakta yang berharga bagi karier hidup kita tersebut tiba-datang lenyap tanpa bekas. Apa reaksi kita ? Ya, tentu saja panik, marah, atau kehilangan semangat karena merasa apa yang telah dikerjakan selama ini sia-sia. 

Contoh yang paling sederhana, ketika kita sedang menciptakan tugas yg relatif banyak pada personal komputer , tiba-datang harddisk personal komputer kita crash dan data tugas tadi belum pada-backup sama sekali. Tentu saja, kita akan dengan kesal ngomel-ngomel. Apa yang bisa kita lakukan ? Lantaran kita sebelumnya tidak mempersiapkan proses pemulihan atau backup data, tentu saja kita harus mengulang berdasarkan awal menciptakan tugas tersebut. Tetapi hal itu masih sepele. Bagaimana jika kita seseorang pemilik perusahaan yang menyimpan data konsumen dan data pekerjaan hanya pada sebuah ruangan pada perusahaan, lalu datang-datang saja terjadi kebakaran pada perusahaan yang mengakibatkan seluruh data yg terdapat pada pada gedung terbakar habis. Apa reaksi kita ? Menangis ? Ingin melarikan diri berdasarkan kehidupan ? Ya, itu risiko yg haus dihadapi apabila kita tidak mempersiapkan rencana pemulihan data alibat bala yang nir dapat diprediksi. Oleh karenanya, implementasi rencana pemulihan data dari bencana perlu dipikirkan serta dilakukan. Pada makalah ini, pembahasan topik ini lebih diiarahkan ke elemen-elemen primer yang perlu diperhatikan pada disaster recovery planning.

Apa Itu Disaster ?
Disaster (bala) didefiniskan sebagai insiden yg ketika terjadinya tidak dapat diprediksi serta bersifat sangat merusak. Pengertian ini mengidentifikasikan sebuah peristiwa yg mempunyai empat faktor utama, yaitu :
- datang-tiba
- tidak diharapkan
- bersifat sangat merusak
- kurang perencanaan

Bencana terjadi dengan frekuensi yang tidak menentu serta dampak yg ditimbulkannya semakin tinggi bagi mereka yg nir mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya bencana. Rencana pencegahan dan perbaikan terhadap bencana dapat membantu melindungi semua adet oraganisasi, termasuk sumber daya insan, pekrjaan, data-data krusial, serta fasilitas organisasi.

Cakupan bala tidak hanya terbatas pada hilangnya data serta asal informasi, tetapi pula kematian dari pekerja yg sangat diandalkan, keracunan produk, meledaknya sistem peralatan, kebakaran yang terjadi pada pusat distribusi primer, atau tumpahnya cairan kimia, dan lain sebagainya, sangat menghipnotis suatu organisasi. Rencana pencegahan serta pemulihan bisa menggunakan mudah dimanfaatkan sang pihak-pihak tertentu menggunakan menambahkan porto-porto yang tidak perlu yg akan membuat planning tersebut menjadi tidak wajar bagi level manajemen. Rencana yg dibuat harus mencakup definisi yang kentara berdasarkan data-data atau record organisasi yg wajib dilindungi. Hal-hal yg harus dihindari selama pembuatan planning pemulihan merupakan rekonstruksi material back-up, kopi, serta file-arsip yang nir krusial.

Record-record organisasi atau perusahaan memiliki nilai yg bervariasi. Apakah record tadi tersimpan secara elektronik ataupun di atas kertas, planning yang dibentuk wajib mengidentifikasi record-record penting dan historis, yaitu record-record yang memuat sejarah perusahaan, pertumbuhan, pengembangan, operasi, serta kontribusi yg bersifat kenegaraan, termasuk record-record yg perlu ditindaklanjuti kekontinuitas bisnisnya sehabis bencana. Daftar record penting diharapkan buat memilih mekanisme melindungi serta merekonstruksi record-record krusial yang tersimpan pada media magnetik, optik, atau bentuk lainnya yang tidak sinkron menggunakan prosedur melindungi liputan yang terkandung pada media kertas.

Disaster Recovery Plan 
Disaster recovery plan adalah acara yg tertulis dan sudah disetujui, diimplementasikan, serta dinilai secara periodik, yg menfokuskan dalam seluruh aksi yg perlu dilakukan sebelum, saat, dan selesainya bencana. Rencana ini disusun dari review secara menyeluruh terhadap bala-bencana yang potensial, yg mencakup lingkup fasilitas, lokasi geografis, atau industri. Rencana ini jua merupakan pernyataan dari tanggapan yang tepat buat proses pemulihan yg bersifat efektif terhadap biaya dan cepat. Oleh karena itu, planning yang dibentuk haruslah mengidentifikasi pada mana, yg mana, dan bagaimana record-record bisa diperoleh. Review yang harus dilakukan mencakup pertimbangan dari banyak sekali hal di bawah ini : 
  • Apakah media magnetik, optik, atau microfilm, disimpan dalam kabinet yg sinkron?
  • Apakah terdapat peraturan melarang merokok pada area-area tempat penyimpanan media kertas atau bahan-bahan kimia ?
  • Apakah kotak atau kontainer record berserakan di lantai bahkan selama proses awal berlangsung ? 
  • Apakah bahan-bahan kimia, termasuk yg digunakan di mesin-mesin kantor, disimpan dengan cara yg sempurna serta pada loka yang tepat sehingga bala dapat dihindari atau diminimisasi ?
  • Apakah alat-alat elektrik dimatikan dalam akhir hari ?
  • Apakah perlu alat-alat-peralatan yg terdapat pada perusahaan dipakai buat keperluan data rumahan ?
  • dan lain-lain
Elemen Utama Yang Perlu Diperhatikan dalam Disaster Recovery Planning
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disaster recovery merupakan proses menjalankan kembali operasi usaha serta merekontruksi record-record usaha yang krusial selesainya bala. Disaster recovery mengidentifikasi dan melindungi semua record krusial, baik yang terdapat pada media kertas, hardisk komputer, disk optik, menurut proses penyelamatan sampai proses rekonstruksi. Untuk keperluan ini, terdapat baiknya jikalau dibahas elemen-elemen primer pada disaster recovery rencana. Elemen primer disaster recovery plan dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu : 
  • elemen-elemen yg bersifat generik bagi semua aspek planning 
  • elemen-elemen ketika operasi usaha dijalankan lagi 
  • elemen-elemen saat operasi penyelamatan dan pemulihan dilakukan 
Elemen-Elemen Yang Bersifat Umum Bagi Semua Aspek Rencana
Dalam rangka disaster recovery plan menjadi efektif, maka perlu diperhatikan elemen-elemen dasar tertentu. Selagi deskripsi aktual berdasarkan elemen-elemen tersebut berubah dari satu tempat ke loka yg lain, pengalaman menampakan bahwa masing-masing wajib masih ada pada dalam rencana supaya rencana yg efektif dapat dicapai. Elemen-elemen tersebut menjadi berikut : 
  • pernyataan kebijakan yang kentara (clear policy statement), mencakup tujuan serta sasaran pemulihan; 
  • wewenang aktivasi (activation authority), yaitu siapa yang berhak memimpin tim planning pemulihan; 
  • struktur tugas (task organization), meliputi tugas serta fungsi tiap tim atau anggota tim pemulihan; 
  • tim pemulihan sesudah bala (disaster recovery team), yaitu anggota tim yang bertugas menjalankan disaster recovery plan; 
  • layout organisasi (facility floor plan or layout), yaitu rapikan letak tiap loka pada suatu oraganisasi atau perusahaan; 
  • prosedur distribusi kabar (information distribution procedure), adalah metode khusus buat mengontak anggota tim pemulihan, vendor, agen pendukung, supplier, dan semua pihak yg terkait; 
  • pemantauan kondisi yang berbahaya (monitoring of destructive area); 
  • traning pekerja (provision for pelatihan of employee), merupakan aktivitas buat melatih para pekerja tentang prosedur pemulihan; 
  • hal-hal lain seiring dengan jalannnya proses pemulihan (provision for ongoing review and revision). 
Elemen-Elemen Ketika Operasi Bisnis Dijalankan Lagi
Kebanyakan organisasi, misalnya tempat tinggal sakit, stasiun TV atau radio, maskapai penerbangan, harus melakukan banyak sekali operasi selama berjam-jam selesainya bencana buat mempertahankan konsumen mereka serta agama warga . Manajemen krisis berarti bersiap-siap terhadap peristiwa yang mengancam serta nir diharapkan, serta menyediakan kontinuitas usaha selama dan setelah kondisi krisis. Manajemen krisis memiliki lingkup yg luas dibandingkan manajemen rekonstruksi liputan dan bisnis penyelamatan selesainya bala. Krisis bisnis diilustrasikan menjadi situasi yg berbahaya serta mengancam yg sedang menjalani hal-hal penuh risiko, misalnya 
  • memperluas skala perusahaan;
  • sedang di bawah supervisi media dan pemerintahan;
  • operasi bisnisnya kacau balau dengan sistem dasar organisasi rusak.
Manajemen krisis seharusnya didelegasikan ke tim manajemen yang ditunjuk, yang sudah menerima pembinaan yg diharapkan sehubungan menggunakan bencana. Manajer dan staf yg lain usahakan konsentrasi pada bisnis buat menjaga tanggung jawab bisnis umumnya. Terdapat 3 elemen utama yg perlu dipertimbangkan dalam manajemen krisis yang adalah bagian dari proses perencanaan terhadap bahaya yg terjadi :
  • kesinambungan pimpinan (continuity of authority), memastikan bahwa masih ada kepengurusan yg berkelajutan sehabis terjadinya bahaya; 
  • perjanjian pemilihan tim manajemen terhadap bencana yang terjadi (appointment of a select disaster management team), buat mengidentifikasi, mengisolasi dan menanggapi krisis yang terjadi;
  • perjanjian tentang orang yang wajib berbicara pada publik untuk memberi penerangan tentang syarat perusahaan akibat bala (appointment of an organization spokesperson). 
Elemen-Elemen Ketika Operasi Penyelamatan dan Pemulihan Dilakukan
Penyelamatan dan pemulihan sesudah bencana memerlukan tidak hanya kedekatan menggunakan tujuan, struktur, personel, operasi dan record yg terorganisasi, namun pula pengetahuan mekanisme dan teknik pemulihan yg khusus, fasilitas komputer serta lokasi kerja alternatif, sumber sementara serta sukarelawan, pemasok lokal, agen-agen bencana lokal, serta daftar konsultan yang dapat diandalkan.

Elemen primer yang harus dipertimbangkan pada dalam mengembangkan termin rekonstruksi dan penyelamatan menurut disaster recovery plan adalah : 
  • tim pemulihan selesainya bala yg sudah menerima training serta disetujui oleh level manajemen (trained disaster recovery team); 
  • inventori record semua departemen atau organisasi, termasuk record-record krusial (inventory of all department records); 
  • tujuan lokasi operasi alernatif (designation of alternative operating location); 
  • daftar prioritas pemulihan fungsi-fungsi krusial (priority list for restoration of essential functions); 
  • kontrak serta perjanjian menggunakan agen-agen yg khusus mengangani bencana (contracts and agreements with disaster support);
  • daftar sumber poternsial yang hendak dipulihkan (list of other potential recovery resources); 
  • daftar perlengkapan serta alat-alat organisasi (list of organization salvage equipment and supplies); 
  • cetak biru atau fakta bangunan, misalnya : 
  1. switch catu daya, 
  2. sistem pengaturan air menggunakan valve.
Hal-hal Lain Yang Perlu Diperhatikan Dalam Menyusun Disaster Recovery Plan
Berikut merupakan daftar hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan ketika menciptakan Information Disaster Recovery Plan sebuah perusahaan : 
  • memastikan keamanan para pekerja serta pengunjung dalam lokasi pada mana mereka berada; 
  • melindungi record serta warta penting; 
  • memastikan keamanan fasilitas serta lokasi-lokasi bisnis; 
  • memastikan ketersediaan material, perlengkapan, dan peralatan; 
  • mengurangi risiko bencana yg diakibatkan sang kesalahan manusia atau kegagalan peralatan yg dipakai; 
  • data-data serta fasilitas krusial lainnya telah ditata menggunakan baik sehingga memudahkan proses pemulihan saat bala alam terjadi; 
  • memastikan kemampuan perusahaan buat melanjutkan operasi setelah bencana; 
  • memulihkan record-record yang hilang atau rusak sesudah bala. 
Informasi Yang Harus Ada Pada Disaster Recovery Plan
Pengetahuan tentang lingkup dan batasan disaster recovery plan memastikan harapan level manajemen itu bersifat realistik dan planning memegang peranan penting pada dalam memenuhi sasaran dan tujuan perusahaan.

Disaster recovery plan harus memuat langkah-langkah serta aksi-aksi yang perlu dilakukan apabila bencana terjadi. Sasaran spesifik perusahaan perlu tertulis dalam disaster recovery plan. Secara umum, liputan yg masih ada pada disaster recovery plan harus meliputi hal-hal berikut : 
  • mengidentifikasi dan memberi proteksi yang cukup terhaap record-record krusial perusahaan atau acara primer perusahaan; 
  • mengurangi risiko bencana yg diakibatkan sang kesalahan insan dan kegagalan peralatan atau gedung dengan mengadakan program pelatihan, pemeliharaan, serta sekuritas; 
  • memastikan kemampuan organisasi untuk beroperasi secara efektif sesudah bencana dengan menerapkan kebijakan manajemen, prosedur, serta asal daya yg diaktivasi pada situasi bencana; 
  • memastikan kemampuan organisasi buat merekonstruksi kabar serta record-record yg rusak dengan cepat. 
Informasi yg masih ada pada pada disaster recovery plan ditulis, disetujui, diimplementasikan, dan dievaluasi secara periodik untuk mengidentifikasi, melindungi, merekonstruksi, atau menyelamatkan catatan-catatan historis dan penting, serta membangun prosedur aplikasi operasi usaha ketika bala terjadi.

Prasyarat Dalam Pembuatan Disaster Recovery Plan
Sebuah rencana untuk melindungi record usaha akan menjadi tidak efisien jika record-record yg dilindungi tadi tidak mempunyai nilai historis, administratif, fiskal, penelitian, atau hukum. Untuk merekonstruksi atau menyelamatkan berita yang nir krusial sangatlah membuang waktu serta uang. Oleh karenanya, perlu diperhatikan prasyarat apa saja yg perlu dilakukan sebelum membuat disaster recovery plan. Prasyarat tadi dijabarkan sebagai berikut :

Prasayarat 1: Informasi ditinjau menjadi Sumber Daya Perusahaan
Perusahaan yang mengelola keterangan selama siklus hayati fakta, berdasarkan pembuatan atau perumusan informasi, sampai ke penggunaan, penyimpanan, pengambilan kembali, serta pembuangan keterangan, perlu menempatkan perencanaan terhadap bahaya di dalam acara manajemen total perusahaan. 

Prasyarat 2: Asuransi Yang Cukup
Disaster recovery plan adalah bentuk iuran pertanggungan. Proses perencanaan menganjurkan agar acara premi bisnis dimanfaatkan buat melindungi aset perusahaan serta menyediakan proteksi liabilitas. Program ini sebaiknya telah diidentifikasi serta dilengkapi proteksi terhadap risiko dan bahaya eksklusif. Disaster recovery plan mengidentifikasi risiko eksklusif misalnya terjadinya banjir data dalam loka penyimpanan, kebakaran, badai, yang membahayakan record-record yg tersimpan secara elektrik.

Prasyarat 3: Program Record Yang Penting
Pada waktu terjadinya bala, proses pemulihan bisa sangat memakan biaya . Oleh karenanya, krusial apabila record-record yang dilindungi, dipulihkan, direkonstruksi berisi warta krusial bagi kelanjutan operasi perusahaan. Identifikasi dan perlindungan record-record yang krusial ini merepresentasikan area pada mana acara penyimpan record-record krusial serta disaster recovery plan saling overlap. 

Prasyarat 4: Jadwal Penyimpanan Record
Program penyimpan record-record krusial dibangun menurut jadwal penyimpan record yang terstruktur. Jadwal penyimpan record adalah daftar yg memuat record-record, yang mengindikasikan serangkaian waktu yang perlu dijalani pada lingkup tempat kerja, pusat data, serta kapan kabar record ini bisa dihapus. Jadwal penyimpan record wajib dibentuk sebelum disaster recovery plan. Jadwal ini menyediakan liputan penting mengenai lokasi record, media tempat penyimpanan record, metode perlindungan, dan nilai record individual.

Prasyarat lima: Sistem Klasifikasi dan Penggunaan Kembali Record
Record-record yang nir diklasifikasikan dengan baik tentunya akan menaikkan porto disaster recovery rencana. Kendala utama merupakan pada umumnya record-record belum dikelompokkan dalam unit file.

Prasyarat 6: Program Sekuritas Yang Cukup
Program sekuritas untuk fasilitas dan liputan menyediakan kerangka kerja yg bisa dieksplorasi lebih lanjut dalam pembuatan disaster recovery plan. Program sekuritas setidaknya memuat perlindungan password personal komputer , perlindungan berita para pekerja, restriksi daerah akses, detektor asap, dan lain sebagainya.

Perencanaan Yang Komprehensif Terhadap Disaster Recovery Plan
Sehubungan dengan bala yang terdapat, masih ada aneka macam tipe kerusakan atau kehilangan yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 
  • fasilitas fisik (gedung, komputer, inventori, atau tempat kerja rusak); 
  • akses ke fasilitas (ruang rahasia); 
  • informasi (personal komputer rusak, harddisk crash); 
  • akses ke kabar (tidak masih ada akses database secara remote); 
  • sumber daya insan (produksi, manager, pendukung). 
Disaster recovery plan yang komprehensif wajib mengalamati semua yang dibutuhkan untuk mendukung operasi usaha yg sedang berjalan. Hal ini berarti setiap elemen fisik, setiap perangkat lunak, setiap sumber daya insan, serta setiap proses usaha perlu dipelajari dan dialamati. Informasi operasi dan finansial juga perlu dimasukkan. Rencana yg efektif sanggup mengenali semua bencana yg potensial, dimulai menurut konduite alam hingga teroris atau cyber-disasters. 

Analisis berantai adalah teknik yg berguna buat mengalamati proses pemulihan aset fisik perusahaan. Bagian rencana ini seharusnya mengalamati bagaimana herbi fasilitas penyimpanan dan manufaktur, sistem entri pesanan, pengepakan, sistem pembayaran, suku cadang, layanan konsumen, yang nir tersedia. Lantaran waktu merupakan elemen primer, maka perlu buat mengurangi saat pemulihan buat proses dan pelaksanaan penting hingga 24 jam atau kurang, serta buat pelaksanaan yg kurang penting hingga 4 hari. 

Tiga tipe solusi yang perlu dipertimbangkan menjadi bagian dari proses perencanaan, yaitu :
  • perusahaan bisa membangun sistem yang redundansi, misalnya mempunyai 2 buah pabrik yg terpisah lokasinya;
  • melakukan perjanjian atau kerja sama dengan sentra data sehubungan menggunakan backup kabar penting
  • mengasuransikan fasilitas-fasilitas tertentu sehingga bisa mengurangi porto ketika bencana terjadi 
Biasanya perusahaan memilih buat mengkombinasikan ketiga solusi pada atas. Vendor alat-alat adalah bagian yg krusial lainnya. Biasanya vendor memiliki peralatan, staf, sumber finansial yang relatif buat membantu menggunakan cepat waktu bala terjadi. Hal krusial lainnya sehubungan menggunakan disaster recovery plan adalah keperluan buat mensosialisasikan disaster recovery plan itu sendiri.

Langkah-Langkah Untuk Mengatasi Bencana Sehubungan Dengan Disaster Recovery Plan
Setelah disaster recovery plan dibentuk, maka perusahaan telah mempunyai pedoman untuk menghadapi bencana. Lalu bagaimana langkah-langkah yang bisa diambil buat menghadapi bala ? Berikut diberikan langkah-langkah yg dapat diikuti : 
  • mendapatkan kewenangan buat menjalankan disaster recovery plan serta membangun anggota tim 
  • menyediakan pelatihan serta pendidikan keselamatan bagi anggota tim seperlunya 
  • pada kondisi bala, jalankan mekanisme keselamatan serta evakuasi dahulu 
  • membunyikan alarm pertanda bahaya dan memberitahu layanan emergensi 
  • memberitahukan tipe bencana pada manajemen atas 
  • mulai memanggil anggota tim pemulihan terhadap bala 
  • semua anggota, level manajemen, dan departemen keselamatan harus memiliki kopi denah gedung yg memberitahukan jalan keluar serta perlengkapan keselamatan 
  • menaksir kerusakan 
  • mengimplementasikan prosedur buat melindungi record-record krusial dalam lokasi masing-masing 
  • memberi tanda bagian-bagian yg rusak serta mengelompokkan bagian yang rusak dengan bagian yg nir 
  • untuk bala yang besar , lakukan pertemuan dengan perusahaan yg khusus menangani pemulihan perusahaan dampak bencana 
  • selanjutnya menciptakan perjanjian dengan perusahaan tadi buat melakukan pemulihan 
  • melakukan pemulihan 
Keuntungan Adanya Disaster Recovery Plan
Bagian terakhir dari makalah ini membahas laba dari dibuatnya disaster recovery plan. Adapun laba yang didapat perusahaan merupakan : 
a. Memperbaiki sistem proteksi terhadap aset penting perusahaan
b. Membuat sistem proteksi kabar atau data-data perusahaan lebih efektif 
c. Mengurangi risiko bala akibat kesalahan manusia
d. Memperbaiki manajemen perusahaan, dll.

WTOBANK DUNIA DAN IMF KONSPIRASI PENYEBAB KEBANGKRUTAN NEGARA DUNIA KETIGA

WTO,Bank Dunia serta IMF, Konspirasi Penyebab Kebangkrutan Negara Dunia Ketiga 
Pemahaman terhadap globalisasi akan sebagai lebih gampang, jika kita mengingat dasar berdasarkan seluruh itu, yaitu Kapitalisme, atau nalar kapital (modal). Pertumbuhan serta perkembangan kapitalisme sepanjang sejarah ditunjang sang ideologi pasar bebas, yaitu kebutuhan terus menerus serta berkelanjutan akan ekspansi modal kapitalis ke segala tempat buat mencari pasar baru. 

Kapitalisme sepanjang sejarah telah mengoreksi dirinya sendiri demi efisiensi kapital. Krisis demi krisis merupakan melekat pada kapitalisme, sebagai output berdasarkan kontradiksi modal. Logika kapital bersifat liar serta tidak terkendali, bersifat anarkis. Lantaran itulah dalam dasarnya kapitalisme merupakan sebuah sistem yg anarkis. Kapitalisme nir mempercayai aturan serta batas-batas. Kalau ada aturan dibentuk, itu hanya buat memudahkan pertumbuhannya ke arah yg lebih akbar lagi, tapi bukan buat mengaturnya.

Perkembangan terakhir dari perluasan kapitalisme adalah privatisasi (proses swastanisasi) sebanyak-banyaknya serta pengubahan badan-badan publik sebagai badan bisnis partikelir berorientasi laba. Dan kini juga ketika yang penting menurut sebuah kapitalisme babak baru, yg melepaskan dirinya menurut kontrol negara, sebagaimana yg terjadi semenjak 1940an sampai dasa warsa 1980an. Bahkan terdapat yang menyebut kapitalisme misalnya ini sebagai “Kapitalisme Turbo”, yaitu akselerasi yang cepat dari perubahan struktural bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, terutama dengan meminggirkan negara dari pasar bebas, buat menjadi satu ekonomi dunia yg kita kenal dengan nama globalisasi. 

Globalisasi adalah mirip gelombang super besar yg menyapu higienis segala hal. Di dalamnya termasuk gelombang perdagangan global dan gelombang keuangan dunia. Globalisasi dicerminkan sang berbagai faktor yang semula berbeda-beda pasarnya yg lalu sebagai satu, seperti selera yang semakin seragam yang dibawakan sang media massa transnasional atau kuliner yang seragam, yang didapatkan sang perusahaan-perusahaan industri kuliner dunia. Semua perkembangan cepat dan seragam inilah yg memaksakan dilahirkannya badan baru yang bernama WTO (World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia). Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan output berdasarkan usaha penganut pasar bebas yang ingin lepas menurut kontrol negara, dan bahkan ingin menghapus kiprah negara sebagai seminimal mungkin. 

Para penganut kapitalisme memang sejak usang telah terbagi-bagi, yaitu antara yang menginginkan kapitalisme yang dikontrol oleh negara (penganut ekonomi klasik), menggunakan kapitalisme yang sebebas-bebasnya tanpa peran negara (penganut neo-liberal). 

Penganut ekonomi klasik menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan perorangan, yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan generik. Ide ini sangat tidak disukai sang kaum neo-liberal, yg galat satu prinsipnya merupakan “Aturan Pasar Bebas”, yaitu melepaskan semua ikatan yang dipaksakan oleh pemerintah supaya pasar bebas bisa bermain sepenuhnya. Pertentangan tadi saat ini diakhiri menggunakan kemenangan kaum neo-liberal, yang diwakili oleh 2 negara adikuasa, Amerika Serikat serta Inggris. Aliran neo-liberal biasa dikenal juga menjadi aliran “Kanan-Baru”.

Selain prinsip (1) “Aturan Pasar Bebas”, prinsip-prinsip lain neo-liberal merupakan (2) memotong pengeluaran publik buat pelayanan sosial, misalnya terhadap pendidikan serta kesehatan, pengurangan anggaran buat jaring pengaman sosial bagi orang miskin, serta seringkali pula pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, misalnya jembatan, jalan, air higienis. (3) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yg mampu mengurangi laba. (4) Privatisasi, menggunakan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor partikelir. Ini termasuk jua menjual bisnis pemerintah pada bidang perbankan, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan pula air. (5) Menghapus konsep “barang-barang publik”, dan menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, misalnya menyalahkan kaum miskin yang nir mempunyai pendidikan, agunan sosial, kesehatan serta lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri. 

Pandangan Neo-liberal inilah yang kini dipeluk oleh sebagian besar negara-negara maju serta banyak ekonom (ahli ekonomi) aliran primer di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Pada akhirnya, pandangan neo-liberal juga mewarnai sebuah badan akbar dunia yang sangat berkuasa kini , yaitu WTO.

Bank Dunia serta IMF
Sebagai pendatang baru, WTO tidak bisa mulus begitu saja mengatur dunia, bila sebelumnya tidak ada usaha-usaha perintisannya. Dan itulah tugas utama yang telah dikerjakan oleh Bank Dunia serta IMF (Dana Moneter Internasional). Bank Dunia yang semula hanya bertugas menjalankan upaya pemulihan pembangunan di Eropa paska-perang, kemudian telah memainkan upaya pendanaan proyek-proyek pembangunan yang sesuai dengan perluasan pasar bebas. 

Bank Dunia sebenarnya pula sudah memainkan peran sebagai “penjebak hutang”. Sebagai bankir, Bank Dunia telah sekaligus memainkan kiprah sebagai “Majikan”, yg menentukan taktik pembangunan yg ditempuh negara-negara Dunia Ketiga. Dengan demikian, dia memainkan peran ganda, yg dalam akhirnya memberi kekuasaan yg relatif buat mendikte perekonomian negara-negara tersebut. 

Semenjak krisis hutang Dunia Ketiga di tahun 1982, pada mana semakin poly hutang-hutang yg tidak sanggup dibayar, Bank Dunia telah menambahkan perangkat yang lebih kuat buat memaksakan banyak sekali rencana liberalisasi ekonomi, yaitu lewat Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP). Hal ini berkait pula dengan pasang naiknya neo-liberalisme lewat Reagan-Thatcherisme kala itu. SAP dalam dasarnya membawakan rencana-agenda neo-liberal, dengan memaksakan acara-acara mereka yg dikenal menjadi deregulasi serta privatisasi. Kita mengenal dampak paham ini pada Indonesia, sebagai deregulasi perbankan yg dimulai sejak tahun 1983 yg disertai menggunakan devaluasi rupiah (penurunan nilai mata tukar uang). Dengan banyak sekali macam paket penyesuaian struktural ini, sampai kini , Bank Dunia telah memainkan ‘penaklukan domestik’ agar sistem ekonomi nasional menjadi lebih mendukung bagi ekspansi pasar bebas. 

Bank Dunia mulai beroperasi pada tahun 1946. Dia berfungsi menjadi lembaga keuangan yang menghutangi uang bagi proyek-proyek pembangunan di banyak sekali negara buat memajukan ekonominya. Bunga yang diberikan nisbi lebih rendah ketimbang apabila negara-negara tersebut meminjam menurut bank komersial.

Bank Dunia menjadi mekanisme primer buat menempa contoh-model pembangunan paska-kemerdekaan bagi negara-negara Dunia Ketiga. Bank Dunia melakukan hal itu melalui hutang yg terikat dengan banyak sekali kebijakan yg mendorong semakin tersatukannya negara-negara Dunia Ketiga menggunakan pasar dunia. Hal itu jua dilakukan menggunakan cara mendorong peningkatan output bahan-bahan mentah dan impor peralatan teknologi baru yang dari berdasarkan Utara; baik di bidang pertanian, kehutanan, juga energi, serta sebagainya. Dengan demikian Bank Dunia nir hanya mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi nasional yang bersifat makro berdasarkan negara-negara paska-kolonial, melainkan menyebarkan juga sistem teknologi Utara ke Selatan (yg membawa kerusakan besar terhadap lingkungan hayati).

Bank Dunia (World Bank) yg aslinya bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD, bersama-sama menggunakan IMF, didirikan pada Bretton Woods, sebuah kota kecil pada negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, dalam bulan Juli 1944. Ia dibuat sang 44 negara yang dalam ketika itu bermaksud untuk membangun sebuah dunia yg damai dengan ekonominya yang makmur serta merata, dampak syok dua perang dunia.

Pertemuan Bretton Woods yang berlangsung dalam suasana untuk membentuk sebuah tatanan global yang damai dan makmur tadi, selain menciptakan Bank Dunia jua menyepakati berdirinya IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional). Kedua lembaga ini pada mulanya didirikan dengan tujuan membantu membangun pulang ekonomi Eropa sehabis kehancuran Perang Dunia II, yg kemudian diperluas menggunakan memberi pinjaman pembangunan kepada negara-negara Dunia Ketiga.

Peran Utama IMF adalah mengatur neraca pembayaran luar negeri berbagai negara, dengan menyediakan hutang (pinjaman), dengan memaksakan disiplin finansial (keuangan) tertentu terhadap negara-negara yang menghadapi masalah neraca pembayaran. Dana Bank Dunia serta IMF diperoleh dari negara-negara kaya yang ikut dalam pertemuan tersebut. Kedua lembaga keuangan internasional yang mempunyai kantor pusat di Washington DC ini merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kepentingan-kepentingannya sangat kuat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi politik Amerika Serikat yang merupakan penyumbang utama Bank Dunia serta IMF.

Bank Dunia serta IMF adalah dua dari tiga badan yang dibentuk untuk menangani persoalan peralihan dari era kolonial (penjajahan) ke era paska-kolonial. Badan yang ketiga adalah rejim GATT (General Agreement on Tariffs and Trade/Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan), yang telah diubah menjadi WTO (World Trade Organization), organisasi perdagangan super.

Sejalan dengan peran Bank Dunia serta IMF, GATT dimaksudkan untuk memajukan dan mengatur liberalisasi perdagangan dunia, yang telah memudahkan perluasan berbagai sektor di dalam unit ekonomi nasional, dan dengan demikian menjamin mengalirnya bahan baku dari Selatan/negara-negara berkembang ke Utara, serta mengalirnya barang-barang manufaktur dari Utara ke Selatan, maupun perluasan perdagangan di antara negara-negara Utara sendiri. Berbagai pemerintahan dari negara-negara Utara/maju kini sedang berupaya memperluas peran GATT (melalui berbagai perundingan tertutup di dalam Putaran Uruguay) untuk menyatukan kekuatan-kekuatan demi liberalisasi sektor-sektor jasa dan pertanian; demi penjaminan kebebasan investasi asing; dan untuk memperketat peraturan mengenai hak milik intelektual di Dunia Ketiga, demi keuntungan para pemegang hak paten, yang terutama adalah perusahaan-perusahaan transnasional.

Pada periode awal kehadirannya, uang Bank Dunia dipinjamkan terutama buat pemulihan pulang negara-negara Eropa paska Perang Dunia II, pada rangka Marshall Plan. Tetapi semenjak akhir 1960, poly pinjaman diberikan kepada negara-negara Afrika, Asia, serta Amerika Latin, sebagai bagian berdasarkan ekspansi pembangunan-isme (developmentalism). Pengerahan tenaga Amerika serta sekutu-sekutunya dalam negara-negara paska-kolonial ini dimulai dari suatu momentum bersejarah: Pidato Presiden AS Harry S. Truman, 20 Januari 1949. Sejak itu, dilancarkanlah skema-skema bagi penyatuan “daerah-wilayah terbelakang” ke pada intervensi Amerika. Bank Dunia adalah salah satu instrumen berdasarkan mesin perluasan developmentalism (pembangunan-isme) ini, yang bertugas meminjamkan uang untuk acara-program yg didesainnya.

Pada tahun-tahun terakhir ini, Bank Dunia serta IMF bekerja erat dalam perundingan dengan pemerintah-pemerintah Dunia Ketiga yang menghadapi masalah pembayaran hutang luar negeri. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan penjadwalan ulang pembayaran hutang luar negeri maupun dengan pemberikan pinjaman baru. Penjadwalan ulang dan pemberian pinjaman baru itu dilakukan dengan syarat bahwa pemerintah-pemerintah Dunia Ketiga tersebut memberlakukan paket kebijakan “penyesuaian struktural”, yang melibatkan pembaruan makro-ekonomi yang mengarahkan ekonomi ke arah produksi ekspor, liberalisasi impor, dan pemotongan drastis dalam pembelanjaan negara, termasuk subsidi bagi kesejahteraan umum, pendidikan maupun pangan.

Program Penyesuaian Struktural (SAP)
Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP) merupakan upaya Bank Dunia buat menyelamatkan hutang yang telah diberikannya kepada negara-negara Dunia Ketiga. Structural Adjustment Program (SAP) pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang diperkenalkan Bank Dunia untuk memaksa negara-negara yang mendapat bantuan hutang untuk lebih membuka pasar pada negeri mereka, menekankan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang-barang yg sanggup pada ekspor, mengurangi subsidi pemerintah terhadap sektor publik seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Di Afrika dan Amerika Latin, Program ini membentuk kemiskinan pada kalangan warga jelata.

Bank Dunia mendefinisikan penyesuaian struktural (structural adjustment) menjadi “reformasi kebijakan serta kelembagaan yg meliputi ekonomi mikro (seperti pajak dan tarif), ekonomi makro (kebijakan fiskal) serta hegemoni kelembagaan; perubahan-perubahan ini dirancang buat memperbaiki alokasi asal daya, menaikkan efisiensi ekonomi, memperluas potensi pertumbuhan dan menaikkan kelenturan terhadap goncangan-goncangan ekonomi”.

Di Afrika, beban hutang yang berat telah mengakibatkan dijalankannya sejumlah besar Program Penyesuaian Struktural. Paket-paket yang dirancang oleh Bank Dunia serta IMF (International Monetary Fund) selama periode 1980-an ini, diterapkan oleh banyak negara Afrika Sub-Sahara sebagai sebuah persyaratan untuk keberlangsungan bantuan keuangan. Dasar pikiran SAP adalah bahwa sejumlah faktor ekonomi harus dirubah dalam suatu negara tertentu untuk menjamin kemampuan ekonomi yang lebih baik dengan maksud untuk membayar kembali hutang dan bunganya, mempunyai neraca pembayaran yang lebih baik, dan mencapai keadaan ekonomi yang lebih sehat secara umum. 

Negara-negara yang menolak langkah-langkah yang disarankan oleh Bank Dunia serta IMF tidak akan bisa memperoleh bantuan ekonomi lagi. Dengan kata lain, cara bagaimana beban hutang yang berat dan problem-problem ekonomi lain ditangani bukan lagi merupakan persoalan prioritas nasional atau bahkan keputusan nasional. Melalui Program Penyesuaian Struktural, Bank Dunia serta IMF mengambil alih tugas-tugas otoritas nasional dan mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi yang menurut mereka akan memecahkan problem hutang khususnya, dan problem-problem ekonomi suatu negara pada umumnya.

SAP umumnya ditujukan dalam faktor-faktor ekonomi suatu negara, tetapi impak menurut tindakan-tindakan yang diambil sangat mungkin bersifat politik, sosial, dan budaya. Sampai sekarang, IMF tidak mau melihat pengaruh-impak ini. Ironisnya, mereka mengklaim ini akan mengintervensi persoalan-masalah domestik suatu negara. 

Sementara paket penyesuaian struktural menguntungkan bagi para kreditornya, bagaimana halnya dengan para negara penghutangnya (debitor)? Ternyata negara-negara penghutang nir begitu berhasil dalam menyehatkan ekonominya juga melepaskan diri dari duduk perkara hutangnya. 

Biaya sosial dari penerapan kebijakan-kebijakan IMF serta Bank Dunia sangat tinggi, terutama bagi kaum miskin. Kaum miskin dalam konteks ini adalah para pemukim perkotaan menengah dan bawah, petani-petani kecil serta tanpa tanah, warga nelayan, nomad (kaum pengembara), kelompok-grup warga adat, dan lain-lain. Anak-anak dalam komunitas semacam itu bahkan lebih rentan lagi.

Efek-impak deflasi (devaluasi dan inflasi) berdasarkan kebijakan-kebijakan ini sudah menaikkan pengangguran serta menurunkan upah riil. Sebagai misalnya, selama periode 1980-an, pendapatan rata-homogen di kebanyakan negara Amerika Latin turun lebih kurang 10 %, serta di Afrika Sub Sahara lebih kurang 20 %. Bagi kaum miskin, hal ini tidak terelakkan lagi menaikkan malnutrisi (kekurangan gizi). 

Penyesuaian struktural serta kebijakan-kebijakan yg terkait menggunakan pasar bebas yang dilaksanakan mula-mula dalam awal 1980-an adalah faktor utama yang memicu kenaikan cepat pada ketidakmerataan secara dunia. Satu studi UNCTAD yang mencakup 124 negara menampakan bahwa pembagian pendapatan dari 20 % penduduk terkaya dunia semakin tinggi dari 69 menjadi 83 persen antara tahun 1965 dan 1990. Kebijakan-kebijakan penyesuaian adalah faktor primer di kembali konsentrasi pendapatan global secara cepat dalam tahun-tahun terakhir. Contoh yang paling ekstrem bisa dipandang pada tahun 1998. Dalam tahun tadi, Bill Gates, pendiri primer perusahaan komputer Microsoft mempunyai kekayaan bersih $90 milyar; Warren Buffet, memiliki $36 milyar; serta galat satu pendiri Microsoft, Paul Allen, punya kekayaan bersih $30 milyar. Bila kekayaan bersih ketiga orang ini digabungkan, akan melebihi pendapatan campuran total dari 600 juta orang yg hidup pada 48 negara-negara kurang berkembang, yg menjadi target program-acara penyesuaian struktural. 

Program penyesuaian struktural pula adalah penyebab primer tidak adanya kemajuan dalam menghapus kemiskinan. Jumlah orang di seluruh global yang hidup pada kemiskinan yakni mereka yang hayati kurang dari satu dollar dalam sehari semakin tinggi berdasarkan 1,1 milyar orang pada tahun 1985 menjadi 1,2 milyar dalam tahun 1998, serta diperkirakan mencapai 1,tiga milyar dalam tahun 2000. Menurut studi terakhir Bank Dunia sendiri, jumlah absolut orang yg hidup dalam kemiskinan meningkat pada dasa warsa 1990-an berada pada Eropa Timur, Asia Selatan, Amerika Latin serta Karibia, serta Afrika sub-Sahara yg semuanya adalah tempat-tempat pada mana acara penyesuaian struktural diberlakukan. 

Demikianlah cara kerja sistem neo-liberal, dengan tiga porosnya: WTO, Bank Dunia serta IMF. Ini adalah puncak dari apa yang dicita-citakan ketika pertama kali badan-badan ini dibentuk dalam pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Ketiga badan inilah yang saat ini merupakan instrumen pokok dari kapitalisme global. Bila kemarin, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa dan ditekan untuk meniru dan mengikuti model pembangunanisme yang didesain dan diarahkan oleh Bank Dunia serta IMF, maka kini mereka dipaksa dan ditekan untuk menjadi hamba sahaya dan pengekor saja dari WTO. Dunia Ketiga kembali menjadi budak kaum neo-kolonialisme-imperialis, secara lebih efektif dan sistematis. 

Ketidakadilan yg mendasar menurut situasi ini adalah bahwa mereka yang paling sedikit bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan politik, ekonomi dan komersial yang menyebabkan krisis hutang, serta mereka yang paling sedikit mendapatkan laba menurut pinjaman-pinjaman yg diberikan, yakni kaum miskin, merupakan mereka yg paling menderita akibat pengaruh kebijakan penyesuaian struktural, dan paling poly memikul beban dari solusi-solusi yg diperkenalkan Bank Dunia/IMF.

Seringkali 3 perempat dari pendapatan kaum sangat miskin dibelanjakan buat makanan/pangan; serta sisanya buat bahan bakar serta air, perumahan dan sandang, ongkos angkutan serta pelayanan kesehatan. Akibat mutilasi pengeluaran pada sektor publik, khususnya buat pangan, kesehatan serta pendidikan, yang dilakukan pemerintah-pemerintah dampak tekanan Structural Adjusment, pemotongan sebesar 25% dalam pendapatan riil berarti hayati tanpa pemenuhan-pemenuhan dasar.

Layanan-layanan yang berkaitan menggunakan kepentingan rakyat yang lebih kaya dan lebih bertenaga misalnya rumahsakit-tempat tinggal sakit besar , universitas-universitas, penerbangan nasional, projek-projek pembangunan yang berprestise, dan militer nir dibebani mutilasi pengeluaran sektor publik yang proporsional. Dengan beberapa pengecualian, layanan-layanan yg dipotong secara radikal adalah layanan-layanan kesehatan, pendidikan dasar serta subsidi makanan serta bahan bakar layanan-layanan yg sangat diharapkan oleh grup miskin dan sulit mereka mendapatkan gantinya dengan bantuan partikelir.

Selain berdasarkan kasus ketidakadilan yang fundamental ini, pemikulan beban kepada kaum miskin nir akan memperbaiki kondisi ekonomi. Lantaran penurunan pada standar pendidikan serta kesehatan angkatan kerja adalah penurunan dalam investasi buat pertumbuhan ekonomi di masa depan.

BEBERAPA CATATAN TENTANG GOOD GOVERNANCE

Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”
Sampai waktu ini poly pihak berbicara tentang good public governance/ bureaucracy khususnya bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya keras melaksanakan pembangunan di aneka macam sektor kehidupan masyarakatnya. Berbagai pandangan dan pendapat poly dilontarkan guna membangun good public governance itu. Tentunya, upaya tadi bukanlah hal yg mudah dilaksanakan misalnya halnya membentuk suatu sarana fisik, gedung misalnya, yang mampu diperkirakan secara niscaya bahan-bahannya serta saat selesainya gedung tersebut. Pembangunan administrasi negara (baca: birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan) tidak sanggup dibangun semudah serta secepat seperti pembangunan gedung tadi. Hal ini dikarenakan, administrasi negara selain adalah keliru satu sistem sosial menggunakan berbagai kompleksitas elemennya, pula adalah salah satu sub sistem menurut suatu sistem yang lebih akbar yaitu sistem kehidupan bangsa serta negara. Bahkan pada era globalisasi waktu ini, sistem administrasi negara jua terkait dan dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, contohnya perkembangan perdagangan internasional melalui lembaga Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semuanya itu, harus sebagai perhatian dan direspon sang sistem administrasi negara pada rangka mengantisipasi aneka macam perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri juga pada global internasional. Karenanya, pengkajian terhadap pertarungan sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan memerlukan pula perhatian terhadap keadaan dan perkembangan sistem-sistem lainnya di luar sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri baik lingkup nasional seperti sistem aturan nasional, sistem politik, serta sistem sosial rakyat, maupun lingkup internasional contohnya ASEAN, APEC, dan WTO. Upaya untuk memperbaiki sistem administrasi negara khususnya pada sebagian akbar negaranegara berkembang nir sanggup diperlukan hanya akan ada serta dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, tanpa melibatkan sistem-sistem lainnya yg relevan, khususnya yang berada dalam negara yang bersangkutan. 

Bagaimana relevansi gambaran di atas menggunakan konteks birokrasi atau aparatur pemerintahan Indonesia yang saat ini sedang “kurang dipercaya” (adanya krisis kepercayaan terhadap aparatur pemerintahan) oleh masyarakat generik? Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konflik aparatur atau birokrasi pemerintahan Indonesia dan upaya memperbaiki kinerjanya sebagai akibatnya bisa benar-sahih menjalankan tugas dan kegunaannya menjadi abdi negara dan abdi warga bagi kesejahteraan bangsa serta warga pada umumnya. 

Penyakit pada Birokrasi Pemerintahan 
Tuntutan buat membangun sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) tak jarang dianggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa serta bernegara yg demokratis, dan menjunjung tinggi aturan dalam arti yg sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan menjadi apa yg dilakukan pemerintah atau sang instansi, mulai menurut perencanaan hingga tahap penilaian, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi rakyat, mengolah data/liputan, dan menyampaikannya kepada policy makers, dan mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi aplikasi kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dipandang dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya misalnya ilmu ekonomi, politik, sosiologi, aturan, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, serta kesehatan. 

Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga ada anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah bisa dilihat pertama kali menggunakan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, serta bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) aktivitas pemerintahan umum dan pembangunan yg diembannya. Pentingnya aktivitas administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan menggunakan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yg berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli acara ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas pakar ruang angkasa Uni Sovyet nir kalah dibandingkan dengan yg dimiliki Amerika, tetapi karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) buat mengorganisir dan mendayagunakan seluruh potensi ahli ruang angkasa serta asal daya lainnya yg dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika sampai saat ini bisa mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers - public administrators - who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment”. 

Bagaimana menggunakan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya nir tidak sama jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yg kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dipercaya bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi bisa mengkategorikan menjadi negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, forum independen Jerman di Berlin, lepas 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sebagai akibatnya sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) berdasarkan korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, misalnya Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (tiga), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, serta Indonesia. 

Laporan tersebut bisa saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau nir, citra tingkat korupsi tadi dapat dijadikan masukan atau tolok ukur buat mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat menggunakan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, aplikasi, sampai termin supervisi, pengendalian, serta evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi nir hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, namun jua terkait erat menggunakan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem aturan, dan sistem sosial rakyat. Tingkat korupsi yg telah sangat merisaukan mungkin juga bisa mencerminkan taraf sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial rakyat. 

Korupsi nir saja pada bentuk materi (finansial), namun pula wewenang, tugas pokok dan fungsi, ketika kerja, serta sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut acapkali nir mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yg diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan rakyat bisa dijumpai dalam birokrasi pemerintahan kita. Hal misalnya ini sama saja menggunakan menyimpan bom saat yg dalam suatu ketika akan meledak. Ini terbukti menggunakan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai menurut kelurahan/desa sampai departemen, pada setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya aneka macam tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut pula dimanifestasikan sang masyarakat di aneka macam daerah pada bentuk tindakan main hakim sendiri contohnya terhadap wahana hiburan malam akibat nir jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat mengenai hal tersebut, terhadap beberapa perampok pada Jakarta yg tertangkap, serta perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu. 

Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik menggunakan negara-negara berkembang saja, namun juga bisa dijumpai pada negara-negara maju. Hanya saja, taraf korupsi di negara-negara maju baik pada kualitas juga kuantitasnya nisbi kecil. Kuatnya sistem kontrol menurut sistem-sistem lainnya (aturan atau yudikatif, legislatif, dan sosial rakyat dengan aneka macam kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan serta pula partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan serta partai yang berkuasa buat berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, bisa menjadi informasi sosial dan isu politik yg akbar, misalnya kasus ketidakadilan pada alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yg dianggap lambat, serta masalah suap yang dapat membawa ke pengadilan nir saja pegawai yang mendapat suap namun juga rakyat yang menaruh suap tersebut. 

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tadi akan menggunakan gampang diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran serta kegunaannya dan kesadaran buat selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya merupakan merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan sang negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan generik di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (semenjak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) sosialisasi istilah serta isu good governance oleh pemerintahan Mitterand pada Perancis; serta (c) gagasan reinventing government pada Amerika buat memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya jua melakukan banyak sekali penyempurnaan pada sistem administrasi negaranya. Semua upaya tadi dimaksudkan terutama buat mempertinggi kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih bisa memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara generik, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam pada era globalisasi. Salah satu fenomena menarik menurut birokrasi pemerintahan pada negara-negara maju merupakan keberadaannya yang permanen stabil dan permanen terorganisasikan dengan baik sebagai akibatnya tetap mampu konsisten memberikan pelayanan pada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau permasalahan” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia permanen konsisten melaksanakan kiprahnya sebagai pelayan warga , dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan menurut partai yg berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tadi, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit buat berubah kearah yg lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau menggunakan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi (Gambar 1 mencerminkan posisi sistem administrasi negara pada negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya merupakan lantaran birokrasi pemerintahan seringkali dipakai sebagai alat perpanjangan kekuasaan sang para penguasa buat mempertahankan kekuasaan secara nir demokratis dan merugikan rakyat generik. Akibatnya, kiprah aparatur pemerintah yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi warga , yang mengutamakan kepentingan negara dan warga generik, cepat atau lambat berubah sebagai pelayan partai atau kelompok yg berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yg dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) menggunakan memberikan imbalan eksklusif atas suatu jasa yg diberikan birokrat tersebut. 

Kondisi tersebut tidak saja terjadi dalam aparatur pemerintah taraf sentra namun juga pada wilayah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yg dikeluarkan acapkali menandakan keadaan tadi. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan serta industri serta proses tender proyek fisik disusun buat menguntungkan kelompok eksklusif baik yang ada pada birokrasi pemerintahan maupun yg pada luar namun punya kaitan erat menggunakan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh grup atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan serta menciptakan birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam banyak sekali kegiatannya baik di dalam aktivitas internal birokrasi serta terutama pada aktivitas yang melibatkan warga . Demikian kuasanya birokrasi sebagai akibatnya sikap aparatur pemerintah tak jarang sebagai merasa paling tahu (yg lebih mengetahui diantara yg mengetahui), paling sanggup/mampu, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini bisa dikatakan telah sebagai “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah digunakan oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung merusak partisipasi masyarakat dan merusak munculnya berbagai inisiatif serta alternatif pemecahan konflik pembangunan pada berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan menciptakan birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan serta aturan hukum. Sebagai model, pada Indonesia cukup poly keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan rakyat, namun pada kenyataannya nir diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sinkron menggunakan asumsi bahwa kekuasaan yang hiperbola atau absolut cenderung menunjuk dalam korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tadi nir dikontrol atau dikendalikan. 

Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang ditandai menggunakan beberapa kelemahan yg pula adalah karakteristik utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau karakteristik-karakteristik tersebut nampaknya relevan menggunakan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini. 

Heady menyebutkan ada 5 ciri: 
Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan berdasarkan sistem administrasi kolonial yg dikembangkan negara penjajah khusus buat negara yg dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (menjadi menara gading) menurut rakyat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yg menempatkan aparatur menjadi pihak yg dilayani serta warga menjadi pihak yang melayani. 

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik berdasarkan segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yg sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, syarat yg acapkali dijumpai adalah banyaknya sumber daya insan yg kurang berkualitas dengan pembagian tugas yg tidak kentara. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi pada penggunaan sumberdaya manusia, tetapi jua terjadi penumpukkan pegawai pada satu unit kerja atau instansi. 

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi dalam kepentingan pribadi atau kelompok berdasarkan dalam kepentingan warga atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada pada lingkungan internal birokrasi pula yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi. 

Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis juga verbal oleh birokrasi seringkali tidak sinkron menggunakan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi sudah membaik, namun pada kenyataannya nir demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya buat kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan perkara tersebut), dan bukan buat dilaksanakan dikarenakan kesulitan eksklusif atau pula nir/kurang adanya political will untuk melaksanakannya. 

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom pada arti tanggal menurut proses politik serta supervisi masyarakat. Ciri ini erat kaitannya menggunakan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa tetapkan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, perilaku peka, responsif serta agresif terhadap pertarungan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan sebagai tumpul, serta digantikan dengan perilaku mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk perilaku merasa berkuasa serta kurang peka terhadap aspirasi rakyat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, warga generik sering menjadi korban berdasarkan “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat mengakibatkan rasa nir puas dan bahkan nir mustahil berkembang sebagai “dendam” pada diri rakyat yg suatu waktu mampu saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai, terhadap para pejabat pemerintah baik pada tingkat sentra, wilayah, dan bahkan desa (Kepala Desa) bisa dijadikan model kenyataan di atas. 

Dua ciri lainnya dibubuhi oleh Wallis
Pertama, administrasi di poly negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya menggunakan kesejahteraan (gaji) mereka yg relatif kecil, sebagai akibatnya mempengaruhi semangat pegawainya buat bekerja secara baik. Bahkan, pula tanpa sadar mendorong mereka untuk membangun tambahan kesejahteraan diantaranya melalui aplikasi wewenang/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai model, “menambah-nambah” persyaratan serta prosedur pelayanan menggunakan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan menggunakan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan generik kepada rakyat umum, tetapi jua pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, contohnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi promosi pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi. 

Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, interaksi primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak serta bekerja secara objektif serta rasional, dan berdasarkan anggaran aturan yg berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yg seharusnya buat kepentingan negara serta rakyat, dapat diganti menjadi buat kepentingan kelompoknya. Kegiatan-aktivitas yang gampang dijumpai pada kaitannya menggunakan aspek-aspek pada atas, antara lain dalam rekrutmen dan kenaikan pangkat pegawai serta kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik dalam masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan aneka macam partai politik sudah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, sesudah tahun 1970an juga terlihat penguasaan satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yg pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya menjadi abdi negara dan abdi rakyat dan menimbulkan krisis agama pada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yg pindah menurut satu instansi ke instansi lain secara nir rasional menggunakan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yg bersangkutan juga cermin berdasarkan ciri di atas (mungkin ini lebih sempurna dipercaya sebagai kronisme yang tidak dalam tempatnya). Contoh lain merupakan kondisi birokrasi pemerintahan pada sebagian akbar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups)

Aparatur Pemerintah yg Profesional 
Seperti telah diuraikan sebelumnya yg dimaksud menggunakan aparatur pemerintahan atau birokrasi pemerintahan yang profesional dalam tulisan ini nir lain (terjemahan bebas) adalah good public governance. Kata profesional tersebut walaupun terasa sedikit absurd sebagai terjemahan dari kata good, namun agaknya lebih sempurna karena pengertiannya menjadi lebih luas dan kentara dibandingkan bila menterjemahkan istilah good menjadi baik atau berwibawa. Sedangkan governance diartikan menjadi pemerintahan dimana didalamnya terdapat aparatur, sebagai akibatnya dapat dianggap menjadi aparatur pemerintahan (terjemahan bebas). Dengan demikian, yang dimaksud menggunakan good public governance pada sini merupakan aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional. Aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional diantaranya memiliki kinerja yang efisien pada penggunaan sumberdaya dan efektif pada mencapai target serta target berbagai kebijaksanaan serta programnya, yg kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa serta negara. Kata profesional tadi pula secara pribadi menggiring kita kepada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yg berwibawa) akan ada dengan sendirinya apabila beliau sudah dapat bekerja serta membuat kinerjanya yang efisien dan efektif. 

Terminologi governance, good governance atau good public governance atau kata lain yg seperti dengan itu menjadi terkenal pada Indonesia dalam dua-tiga tahun terahir ini karena banyak diperkenalkan oleh forum pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies) baik yg bersifat multilateral juga bilateral (World Bank, 1994). Terminologi tersebut seringkali dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau government dijadikan galat satu aspek yg perlu dipertimbangkan pada hadiah donasi baik berupa pinjaman (loan) maupun bantuan gratis (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung memakai terminologi yg berbeda mengenai aparatur pemerintahan, tetapi yang dimaksud adalah sama. 

World Bank lebih suka memakai istilah good (public) governance, dan mengartikan governance menjadi the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development” (World Bank, 1994). Sedangkan African Development Bank (AfDB) memperkenalkan istilah macrogovernance, mesogovernance (combining forms of governance) serta microgovernance buat membedakan strata pemerintahan. AfDB menganggap bahwa regim pemerintahan otoriter yang mempunyai komitmen yg bertenaga terhadap pembangunan mungkin saja menciptakan good governance walaupun pada tingkatan kualitas yg cukup atau nisbi mini . Kemudian, Inter-American Development Bank lebih menekankan negara-negara peminjam buat melaksanakan modernisasi administrasi negara (modernization of public administration). 

Sementara itu, United Kingdom’s ODA nir membedakan antara good govenance menggunakan good government. Kedua kata tersebut dianggap merujuk pada hal yg sama serta menekankan dalam aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan buat menyusun aneka macam kriteria menurut yg bersifat politik sampai ekonomi. Kriteria tadi digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan hadiah donasi luar negeri khususnya pada negara-negara berkembang. Sedangkan World Bank mengidentifikasi 3 aspek yang terkait menggunakan governance yaitu (a) bentuk rejim politik (the form of political regime); (b) process dimana kekuasaan digunakan di pada manajemen asal daya sosial serta ekonomi bagi aktivitas pembangunan; serta (c) kemampuan pemerintah buat mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijaksanaan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Mengingat aspek pertama di atas bukan adalah bidangnya, maka World Bank lebih memfokuskan pada 2 aspek terakhir saja. 

Kriteria tentang good governance jua disusun oleh OECD’s Development Assistance Committee, menggunakan memakai definisi governance-nya World Bank, yg mencakup ruang lingkup: (a) participatory development, (b) human rights, dan (c) democratization. Secara lebih khusus, ketiga ruang lingkup tadi dijabarkan pada tolok ukur sebagai berikut: (a) pemerintahan yg menerima legitimasi (legitimacy of government mencerminkan degree of democratization); (b) akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin menurut media freedom, transparent decison making, dan accountability mechanism); (c) kemampuan pemerintah buat menyusun kebijaksanaan dan mendistribusikan pelayanan yang baik; serta (d) komitmen yang konkret terhadap masalah hak asasi insan serta anggaran aturan (baik yg berkaitan dengan hakhak individu serta grup, keamanan, aktivitas sosial serta ekonomi, serta partisipasi rakyat). 

Dari berbagai gambaran di atas, secara singkat bisa disimpulkan bahwa setidaktidaknya terdapat 5 karakteristik atau prinsip utama yg harus dipenuhi sang suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan buat bisa diklaim sebagai good public governance atau good public government, yaitu: (1) akuntabilitas (accountability, banyak yang mengartikannya menjadi kewajiban buat mempertanggungjawabkan); (2) keterbukaan dan transparan (openness and transparency); dan (3) ketaatan dalam anggaran hukum (Bhatta, 1996; dan World Bank, 1991). Ciri lainnya adalah, (4) komitmen yang kuat buat bekerja bagi kepentingan bangsa serta negara, serta bukan dalam gerombolan atau langsung; serta (5) komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada masyarakat buat berpartisipasi pada pembangunan. Kelima prinsip tersebut saling mengisi. 

Akuntabilitas pada arti aparatur pemerintah harus bisa mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Dalam interaksi ini, dengan prinsip akuntabilitas tersebut aparatur pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, acara dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk jua yg terkait erat menggunakan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Misalnya, pengembangan atau perubahan organisasi suatu instansi wajib bisa dipertanggungjawabkan menurut segi efisiensi dan efektivitas aplikasi tugas dan fungsi instansi tadi. Sehingga nir terjadi lagi pengembangan atau penambahan struktur organisasi yg berdasarkan pada kepentingan langsung atau gerombolan hanya buat menampung kerabat/sahabat atau menempatkan orang yg nir disukai. 

Seharusnya pengembangan serta perubahan organisasi berdasarkan pada analisis jabatan dan kebutuhan kerja instansi yg sebenarnya. Demikian pula aktivitas penggunaan asal daya diantaranya di bidang keuangan dan asal daya manusia, dan pelaksanaan ketatalaksanaan atau manajemen kerja, harus juga bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. 

Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi jua sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan serta tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat menggunakan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian target atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, nir terdapat satu kebijaksanaan, program, serta kegiatan yg dilaksanakan sang aparatur pemerintahan yang bisa lepas berdasarkan prinsip ini. 

Keterbukaan serta transparan (openness and transparency), merupakan warga dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan warta menggunakan gampang tentang kebijaksanaan, program, serta kegiatan aparatur pemerintahan baik pada taraf pusat juga daerah, atau data dan berita lainnya yg nir dilarang dari peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan pula dalam arti warga atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan pada perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan supervisi menggunakan pengendalian aplikasi kebijaksanaan publik yang terkait menggunakan dirinya. Data dan berita yang berkaitan menggunakan tugas/fungsi aparatur pemerintahan (instansi) yg bersangkutan harus disediakan secara sahih, contohnya data PNS oleh BAKN, data guru sang Depdikbud, data realisasi panen padi oleh Departemen Pertanian, serta sebagainya. Sudah saatnya perlu dihindari adanya data dan berita yg bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yg sebenarnya. Hal ini penting, lantaran keputusan atau kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan dalam data serta informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut tidak akan merampungkan masalah. Bahkan nir tidak mungkin, keputusan atau kebijaksanaan tadi akan menyebabkan perkara baru yg lebih rumit. Misalnya, kebijaksanaan huma gambut pada Kalimantan yg kurang didasarkan data dan warta yang akurat, akhirnya menyebabkan masalah baru misalnya kasus lingkungan, aturan (pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Contoh lain yang menarik merupakan “kebijaksanaan lisan” Gubernur DKI yang mengizinkan becak beroperasi di Jakarta yg sempat mengakibatkan kasus sebagai akibatnya dalam waktu singkat wajib dibatalkan. 

Sikap pemerintah yang terbuka serta transparan dalam menyediakan data dan warta tadi nir hanya akan mendorong partisipasi warga dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi bisa pula mencedaskan masyarakat, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan (riset, penelitian, kajian), mendewasakan rakyat serta mengakibatkan perilaku kritis pada warga , serta turut membangun suasana demokratis pada diri masyarakat. Dengan cara demikian, cepat atau lambat akan tumbuh kepedulian yg tinggi terhadap kinerja birokrasi pemerintahan, dan akan tumbuh sikap dialog serta saling kontrol antara warga serta birokrasi pemerintahan. Tetapi demikian, persoalannya sekarang adalah apakah birokrasi atau aparatur pemerintahan punya cukup kemauan buat terbuka serta transparan atau nir, serta jujur pada menyediakan data dan informasinya. 

Prinsip ketiga, ketaatan pada anggaran aturan merupakan aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan aturan, baik yg berkaitan menggunakan lingkungan eksternal (warga luas) juga yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya aturan kepegawaian dan aturan supervisi fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan pada rakyat luas untuk terlibat serta berpartisipasi pada perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan menggunakan warga . Prinsip keempat, komitmen yang bertenaga buat bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, serta bukan dalam gerombolan , eksklusif atau partai yg sebagai idolanya, adalah hal yang mutlak dimiliki sang aparatur pemerintahan. Hal ini sinkron dengan tugas serta fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan generik dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu). 

Terakhir, komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada rakyat buat berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini penting, karena tanpa komitmen ini maka yang muncul bukan partisipasi rakyat tetapi antipati dan ketidaksukaan pada diri rakyat terhadap konduite serta kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada waktu yg sama, pada diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti perilaku mendominasi, asumsi atau perasaan paling tahu, paling bisa, serta paling berkuasa, serta cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang dalam akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah

Bagaimana Menciptakan Aparatur Pemerintah yang Profesional?
Mungkin terlalu hiperbola bila menganalogikan upaya menyembuhkan penyakit birokrasi pemerintahan dan sekaligus membentuk birokrasi pemerintahan yang profesional (good public governance/bureaucracy) pada negara-negara berkembang menggunakan upaya mengurai benang kusut. Namun demikian, itulah gambar-an yg sebenarnya. Persoalannya kini merupakan bagaimana memberdayakan seluruh komponen birokrasi pemerintahan (kelembagaan, ketatalaksanaan, serta sumberdaya manusianya) supaya sebagai aparatur pemerintahan yg profesional. 

Dalam hubungan ini yang pertama-tama wajib dipahami merupakan bahwa reformasi terhadap birokrasi pemerintahan kita bukan pada arti mengganti secara total. Misalnya menggunakan segera mengubah seluruh atau sebagian besar pejabat struktural atau pegawai negeri sipil yang ada dengan yang baru. Bisa dibayangkan betapa sulit mengubah sekian puluh ribu pejabat struktural (eselon V sampai eselon I), atau 4,1 juta PNS pada ketika singkat. Mengingat hal tersebut, dan pula nir semua komponen dalam aparatur pemerintah mengidap “penyakit” atau tidak berfungsi dengan baik, maka upaya yang realistis dilakukan merupakan menggunakan mem-perbaiki komponen-komponen yang rusak. 

Kemudian, apakah birokrasi pemerintahan kita dapat mengobati dan menyembuhkan dirinya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya? Nampaknya buat waktu ini serta mungkin dalam beberapa tahun mendatang sulit terjadi, mengingat berbagai faktor yang melekat dalam diri birokrasi pemerintahan kita selama lebih dari 3 dekade terakhir ini, diantaranya kecenderungan resistant to change dalam birokrasi atau kecenderungan adanya penyakit entropi yaitu kurang adanya kemauan serta kemampuan untuk memperbaiki diri atas inisiatif sendiri tanpa wajib ditekan oleh sistem lain di luar birokrasi pemerintahan. Karena itu, eksploitasi sistem administrasi negara wajib juga melibatkan sistem-sistem lain di luar dirinya. 

Birokrasi pemerintahan atau sistem administrasi negara bukanlah closed system. Ia merupakan opened system serta merupakan bagian atau sub sistem menurut suatu sistem kehidupan bangsa serta negara sebagai akibatnya eksistensi dan kinerjanya ditentukan serta mempengaruhi sub sistem lainnya. Hal ini sinkron dengan konsep Administrasi Pembangunan yang diartikan menjadi “administrasi negara buat mendukung pembangunan serta pembangunan administrasi negara itu sendiri.” Maksudnya, bagaimana membentuk suatu sistem administrasi negara yang dapat mendukung proses pembangunan secara efisien serta efektif, dan kebalikannya bagaimana proses atau keberhasilan pembangunan tersebut punya efek yang positif untuk turut menciptakan administrasi negara yang baik. Dengan demikian, buat mewujudkan sistem administrasi negara yang profesional nir dilakukan dari pada diri sistem administrasi negara saja, namun juga wajib pada dukung menggunakan pembangunan di bidang lainnya, yaitu pemberdayaan lembaga legislatif, yudikatif, media massa, pendidikan warga , dan organisasi warga (seperti organisasi profesional dan forum swadaya rakyat). Misalnya, pada perkara “suap-menyuap”, pengadilan tidak hanya mengadili aparatur yg menerima suap saja, tetapi juga harus membawa rakyat yg menaruh suap tadi. 

Keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan bidang atau sistem lainnya pada luar sistem administrasi negara cepat atau lambat akan memberikan tekanan kepada sistem administrasi negara buat memperbaiki kinerjanya. Demikian pula, kemajuan dalam pembangunan sistem administrasi negara akan menaruh donasi positif kepada kegiatan pembangunan. Dengan demikian akan terdapat sinergi antar elemen-elemen pada sistem kehidupan bangsa dan negara, yang akan mendorong sistem administrasi negara buat memberdayakan dirinya melalui interaksi positif antar elemen-elemennya (thermodinamic). 

Pemberdayaan sistem administrasi negara meliputi tiga elemen atau komponen yang saling terkait, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya insan. Pemberdayaan ketiga komponen tersebut wajib berdasarkan dalam prinsip atau tolok ukur efisiensi dan efektivitas kerja. Kedua prinsip ini sine qua non dalam setiap kebijaksanaan buat memberdayakan ketiga komponen tadi. Nampaknya pemasyarakatan prinsip ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu dibutuhkan, strategi pemasyarakatan nilai-nilai sosial (social values marketing) yang bersiklus buat mengubah perilaku (Kotler dan Roberto, 1989) dan menghidupkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam diri aparatur pemerintah, serta jua warga luas. “Pandangan atau nilai” yg tidak mendukung dan merusak birokrasi pemerintahan harus dihapus, misalnya asumsi bahwa atasan adalah pemegang kekuasaan mutlak yg selalu sahih dan lebih memahami sebagai akibatnya bawahan harus patuh serta enggan menaruh masukan. 

Di bidang kelembagaan, wajib dilakukan reorganisasi terhadap organisasi atau kelembagaan aneka macam instansi. Pengembangan dan perubahan organisasi (organization development and change) harus diarahkan buat: (1) menghindari terjadinya pembentukan unit-unit kerja yg merusak efisiensi serta efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas serta fungsi, serta yg sekedar menampung pegawai, tanpa tugas dan fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk serta unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan serta analisis beban kerja yang sebenarnya. 

Di bidang ketatalaksanaan atau manajemen, pemberdayaan perlu dilakukan dengan menyusun banyak sekali sistem manajemen yang realistis serta applicable mulai dari manajemen kebijaksanaan yg bersifat makro hingga panduan kerja yg kentara bahkan sistem penyimpanan arsip. Sistem kearsipan sekilas tampak tidak berarti, padahal tidak saja bisa menyebabkan economic cost tetapi jua social serta political cost yang nir sedikit yang tidak jarang menimbulkan konflik jika lalai memperhati-kannya. Sebagai contoh, banyak sekali perkara pertanahan seringkali muncul karena lemahnya sistem file pertanahan. Demikian jua dengan sistem pendaftaran kependudukan dimana seseorang penduduk DKI Jakarta dapat memiliki jua kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, dan Gunung Kidul. Padahal sistem pendaftaran kependuduk-an ini sangat krusial buat menghasilkan data kependudukan yg akurat. Data tadi sangat bermanfaat menjadi masukan pengambilan kebijaksanaan pada banyak sekali sektor pembangunan, misalnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, dan sebagainya. Selanjutnya, sistem kearsipan yang baik akan berdampak positif, contohnya Departemen Luar Negeri dan beberapa instansi terkait dapat menuntaskan masalah pulau Simpadan serta Lingitan dengan Malaysia, lantaran adanya dokumen perjanjian Belanda dan Inggris dalam masa kolonial Belanda mengenai status ke 2 pulau tersebut yang disimpan rapi oleh Arsip Nasional. 

Terakhir merupakan pembangunan sumber daya manusia baik menurut segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, sikap, serta kariernya) serta kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi serta diadaptasi menggunakan kebutuhan konkret. Demikian juga sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, promosi, DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi supaya berorientasi dalam produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum serta social equity, bukan kepentingan grup atau golongan termasuk partai-partai yg berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti yang sebenarnya serta bukan sebagai abdi partai yang berkuasa serta “abdi pengusaha”. 

Tampaknya semua upaya pembangunan sistem administrasi negara akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk Tentara Nasional Indonesia serta Polisi). Pegawai negeri merupakan manusia, serta memiliki hak asasi buat hayati layak. Karena itu, adalah nir adil dan nir manusiawi apabila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. Selama tiga dasa warsa, sistem gaji “usaha” ini telah menimbulkan social cost, selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi menggunakan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi niscaya seakan-akan telah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tadi bukan adalah hal yang gampang, serta hal inilah yg sedang kita alami sampai waktu ini. Karena itu, sistem pengajian pegawai negeri wajib diperbaiki supaya pegawai negeri dapat hayati layak pada arti bisa menghidupi keluarganya (pakaian, pangan, papan, dan kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (honor PNS baku nasional dan tunjangan lain yang belum tentu seluruh instansi men-dapatkannya) tadi juga harus adil dan proporsional serta terbuka buat seluruh pegawai negeri dan instansi pemerintah tanpa pilih kasih. 

Disadari bahwa peningkatan gaji nir berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik pada kualitas produktivitas kerjanya juga sikap atau konduite kerjanya. Namun tanpa pemugaran gaji, maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat honor bukan satu-satunya faktor buat mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan gaji tadi pula harus dibarengi dengan pendayagunaan bidang lainnya, contohnya pengawasan, pembinaan karier, serta diklat bagi pegawai.

REFORMASI BIROKRAS DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN

Reformasi Birokras Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintahan 
Situasi ekologi eksternal administrasi publik mengalami perkembangan cepat di abad 21 ini yg meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya serta juga perubahan lingkungan fisik seperti adanya dunia warming, polusi, bala alam tsunami serta sebagainya. Arena perubahan tersebut berada dalam pusaran globalisasi yg mengungkapkan situasi abad 21 ini menjadi kenyataan terintegrasinya global ke dalam suatu rapikan nilai yg nisbi sama dan menciptakan batas-batas negara melemah, sehingga interaksi aktor politik, ekonomi, sosial dan budaya terjadi secara langsung melintasi antar negara melalui media perkembangan teknologi informasi serta komunikasi. Kenyataan ini membuat globalisasi adalah kenyataan erosi ruang kelembagaan (deinstitutionalization of space) atau proses lokalisasi dunia menjadi seperti sebuah desa (small village). Sementara sisi ekologi internal administrasi publik cenderung masih terkukung dalam praktek harta benda-administration misalnya budaya korupsi, kolusi, nepotisme, boros, inefisiensi, dis-orientasi, kaku serta lamban. Pertanyaannya adalah bagaimanakah model Reformasi Administrasi Publik pada situasi perubahan lingkungan eksternalnya yang begitu cepat serta disisi lain kondisi internalnya terbelenggu pada stagnasi?. Pada konteks inilah goresan pena ini disusun dengan fokus pembahasan pada kompleksitas Reformasi Administrasi Publik pada merespon perkembangan lingkungan internal serta eksternalnya. 

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK : KONSEP, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Konsepsi Reformasi Administrasi Publik yg digunakan pada goresan pena ini antara lain mengacu dalam pendapat Gerald E. Caiden pada bukunya “Prospects for Administrative Reform in Israel (1969) yg diulas sang Sasli Rais dan Dance Y. Flassy. Menurut Caiden (1969: 69) Reformasi Administrasi Publik didefinisikan sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’. Definisi Caiden ini mengandung beberapa akibat: (1) Reformasi Administrasi Publik adalah aktivitas yang dibuat oleh manusia (man made), nir bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; (2) Reformasi Administrasi Publik merupakan suatu proses; dan (tiga) Resistensi beriringan menggunakan proses Reformasi Administrasi Publik. 

Wallis (1989) sebagaimana dijelaskan oleh Ginandjar (2005) mengartikan reformasi administrasi menjadi induced, permanent improvement in administration. Batasan ini memuat 3 aspek krusial, yakni : (1) Perubahan harus adalah pemugaran dari keadaan sebelumnya. (2) Perbaikan diperoleh dengan upaya yg disengaja (deliberate) serta bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa bisnis. (3) Perbaikan yg terjadi bersifat jangka panjang dan tidak ad interim, buat lalu balik lagi ke keadaan semula. Ada persamaan berdasarkan definisi diatas yaitu memahami Reformasi Administrasi Publik menjadi sebuah proses yang dibuat secara sadar sang manusia buat memperbaiki keadaan. Keduanya jua bertitik tolak berdasarkan kondisi-kondisi yang problematis, misalnya harta benda-administration, patologi administrasi publik, red type, sehingga mendorong pemikiran mengenai perlunya perubahan administrasi publik. Ketika mainstream utamanya adalah perubahan, maka akan memunculkan varian pemikiran misalnya mengembalikan administrasi publik kepada spirit originalnya, misalnya reformasi menggunakan kerangka berpikir old public administration atau reformasi secara mendasar serta komprehensif melalui kerangka berpikir New Public Management atau New Public Service.

Konsepsi serta rumusan Caiden menyebut tujuan Reformasi Administrasi Publik adalah buat “improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly” (Caiden 1969: 12). Apabila dianalisis selanjutnya, tujuan Reformasi Administrasi Publik Caiden adalah menyempurnakan atau mempertinggi performance. Secara detail tujuan Reformasi Administrasi Publik dalam rangka peningkatan kinerja merupakan: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan serta acara aplikasi; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234); Meningkatkan kualitas personel; Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik serta keluhan pihak luar (Mosher, 1967: 497-498). 

Sedangkan kinerja yg dimaksud adalah kinerja individu, grup, dan institusi pada rangka pencapaian tujuan yg lebih efektif, efisien dan cepat. Ini berarti ruang lingkup Reformasi Administrasi Publik meliputi aspek konduite dan aspek kelembagaan yg tercakup didalam Reformasi Administrasi Publik. Catatan terakhir dari Caiden bahwa ada lima hal yg perlu diperhatikan pada Reformasi Administrasi Publik yaitu: (1) Ada pembaru yang asal dari luar, terdapat jua yang asal menurut pada; (dua) Ada pembaruan yg dicanangkan dari bawah, terdapat jua yang asal berdasarkan atas; (tiga) Ada ideologi yg mempengaruhi Reformasi Administrasi Publik, ada jua Reformasi Administrasi Publik yg tidak ditentukan sang ideologi; dan (5) Ada Reformasi Administrasi Publik yang diikuti sang revolusi, terdapat pula yang nir. 

Selain itu terdapat 2 hal pula yg perlu diperhatikan menurut Caiden, bahwa: (1) Reformasi Administrasi Publik berkaitan erat menggunakan lingkungan budaya eksklusif, sebagai akibatnya nir terdapat satu perspektif pun yg bisa dipercaya lebih baik daripada yang lain; (dua) Pendekatan Reformasi Administrasi Publik bersifat terikat pada budaya, sebagai akibatnya tidak bisa diekspor ke negara lain menggunakan begitu saja. Pandangan Caiden di atas sebatas kerangka konseptual yg belum memberikan pilihan-pilihan strategis dalam melakukan Reformasi Administrasi Publik. Caiden jua hanya memberikan suatu peringatan bahwa pada melakukan Reformasi Administrasi Publik sangat tergantung menggunakan lingkungan budaya serta buat itu “resep” reformasi tidak sanggup berlaku secara universal. 

Berbeda halnya menggunakan pandangan yg dikemukakan sang Ali Farazmand (2002) yang membahas analisis teoritis reformasi serta re-organisasi buat tahu reformasi administrasi publik, khususnya Reformasi Administrasi Publik. Menurutnya, reformasi administrasi publik, termasuk administrasi publik didalamnya, dapat merujuk dalam beberapa model teori buat memulai sebuah reformasi serta pula sekaligus sebagai prespektif memahami aneka macam Reformasi Administrasi Publik yg sudah terjadi. Apa yg dikemukakan Ali Farazman mengadopsi dari pandangan Guys Peter (1994) dimana reformasi dan reorganisasi bisa dijelaskan dengan 3 contoh teori, yaitu top-down models, bottom up models serta institutional models. 

Menurut model pertama, yaitu top-down models, Reformasi Administrasi Publik memiliki tujuan berskala luas dan prosesnya di inisiasi menurut struktur kekuasaan pemerintah pusat. Model ini berpijak pada perkiraan bahwa para pemimpin politik tahu serta peka terhadap dilema yg dihadapi serta kemudian membuatkan gagasan buat melakukan Reformasi Administrasi Publik. Model ini acapkali diklaim menggunakan contoh tradisional serta pragmatis dimana biasa diberlakukan dalam sistem administrasi yg memulai perubahan dengan hegemoni menurut pusat pemerintahan semenjak menurut identifikasi, seleksi dan implementasi perubahan administrasi serta administrasi publik. 

Model kedua adalah bottom up, Reformasi Administrasi Publik menurut contoh ini adalah akibat menurut tuntutan lingkungan politik, ekonomi, sosial-yang menghendaki perubahan serta tuntutan harus diadopsi sang struktur administrasi publik pada rangka keberlanjutannya untuk memenuhi tujuan kolektif. Asumsi yg dibangun sangat kentara bahwa lingkungan mempunyai inovasi serta tekanan terhadap kebutuhan akan Reformasi Administrasi Publik, sehingga pemerintah mau nir mau wajib memenuhi permintaan lingkungan tadi. 

Sedangkan model ketiga adalah institutional model yg memulai Reformasi Administrasi Publik sebagai butir dari kesadaran kelembagaan akan kebutuhan perubahan serta buat itu perlu melakukan modifikasi nilai-nilai kolektif, budaya, serta struktur supaya organisasi senantiasa adaptif menggunakan perubahan lingkungan serta berjalan bergerak maju.

ASPEK-ASPEK REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
Secara lebih detail krusial buat diungkap apa sesungguhnya aspek-aspek yang sebagai sasaran dari Reformasi Administrasi Publik?. Penjelasan konseptual dan contoh-contoh desain reformasi publik diatas, seperti top down, bottom up serta institutionalis dalam akhirnya bermuara dalam bagian-bagian menurut the body of bureaucracy yg wajib dirubah. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara structural, Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran–kiprah yang makin terspesialisasikan (role specialization) serta pembagian pekerjaan (division of labor) yg makin tajam dan intens pada masyarkaat terbaru. Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, namun bagaimana kiprah serta pengaruhnya pada kinerja yang lain atau organisasi secara holistik. Ia menekankan pentingnya kerjasama serta teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja beserta (social performance). 

Riggs jua membedakan antara hasil (accomplishment) dengan upaya yg dilakukan (endeavour). Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan dalam upaya, bukan semata–mata hasil. Pandangan ini dianut Eko Prasodjo (2007) yg memetakan dengan lebih jelas dimensi-dimensi Reformasi Administrasi Publik yaitu modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi, downsizing, perubahan manajemen serta organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, aturan berbasis kinerja serta proses perencanaan partisipatif. Kemudian pula dilanjutkan menggunakan Kwik Kian Gie (2003) dengan rinci mengurai Reformasi Administrasi Publik yang mencakup 3 point krusial, yaitu : (1) Kebijakan Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, meliputi redefenisi kelembagaan administrasi publik dalam melakukan pelayanan pada rakyat, melakukan audit kelembagaan terhadap organisasi administrasi publik pemerintah pada sentra dan wilayah, perampingan organisasi administrasi publik pemerintah menggunakan memperhatikan output audit kelembagaan administrasi publik pemerintah pusat dan wilayah, membangung suatu sistem rekruitmen dan promosi pegawai sinkron menggunakan kecakapan serta kemampuannya, terdapat penghargaan terhadap birokrat yang berbuat baik dan sanksi bagi yg berbuat jelek; (dua) Kebijakan di bidang Sumber daya manusia mencakup peningkatan kesejahteraan aparat administrasi publik pemerintah, meningkatkan etika dan moral administrasi publik, mendorong kemampuan profesionalisme administrasi publik; serta (3) Kebijakan pengawasan administrasi publik yang meliputi pengawas forum internal pemerintah yamg adalah aparat audit internal pemerintah. 

Sejalan serta melengkapi aspek-aspek Reformasi Administrasi Publik adalah apa yg diungkapkan sang Miftah Thoha (2002) bahwa Reformasi Administrasi Publik menyangkut pertama, kepemimpinan forum departemen pemerintah baik dipusat dan pada wilayah yang harus dibedakan dengan jelas antara pejabat politik serta pejabat karier administrasi publik. Kedua, desentralisasi wewenang baik desentralisasi politik maupun administrasi perlu dilakukan pada dalam kelembagaan pemerintah ini. Ketiga, perlunya perampingan susunan kelembagaan administrasi publik pemerintah. Pandangan-pandangan pada atas menaruh pemetaan sederhana mengenai Reformasi Administrasi Publik mulai dari pemahaman konseptual, tujuan, ruang lingkup, variabel-variabel penunjang keberhasilan serta penghambat serta model-model memulai Reformasi Administrasi Publik. Kerangka ini tentunya bersifat teoritis serta perlu dikombinasi menggunakan kepiawaian pada implementasinya atau membutuhkan art (seni) dalam melaksanakan Reformasi Administrasi Publik dalam global konkret. 

Pada bagian selanjutnya coba buat dibahas perjalanan Reformasi Administrasi Publik dalam kerangka berpikir klasik, New Public Management serta New Public Service. Masing-masing kerangka berpikir akan melahirkan sosok administrasi publik yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandangnya dan yang perlu digarisbawahi sebagaimana diungkap sang Caiden, nir terdapat suatu model pun yg dapat diberlakukan tanpa mengkonfirmasikan menggunakan budaya yang terdapat pada masyarakat. Artinya, contoh administrasi publik klasik, NPM serta NPS bukanlah model yang saling meniadakan, tetapi pilihan-pilihan yang aplikasinya tergantung menggunakan konteks ruang serta saat.

PARADIGMA KLASIK, NPM DAN NPS
Konsisten dengan pendapat Caiden bahwa budaya serta kondisi sosial, politik dan ekonomi memilih pilihan kerangka berpikir reformasi yg akan digunakan, maka model administrasi publik klasik, NPM dan NPS adalah sebuah pilihan yg bisa dipakai pada Reformasi Administrasi Publik tanpa wajib meniadakan satu sama lain. Reformasi Administrasi Publik pada pandangan administrasi publik klasik atau old public administration mensyaratkan beberapa ketentuan supaya membentuk sosok administrasi publik rasional contoh Max Weber, yaitu : (1) Administrasi publik wajib dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi AP dgn politik); (dua) Tidak memberi peluang pada Administrator buat memperaktekkan sistem nepotisme dan spoil; (3) Para legislator hanya merumuskan kebijakan nasional serta Administrator hanya mengeksekusinya; (4) Para Administrator selalu mengutamakan nilai efisiensi serta ekonomis; (5) Para Administrator diangkat dari kecocokan serta kecakapannya; serta (6) Metode keilmuan berdasarkan Taylor wajib menggeser metode rule of thumb.

Apabila kondisi-syarat ini terjadi secara konsisten maka akan lahir sosok administrasi publik dengan ciri menjadi berikut : (1) Profesionalitas; (dua) Penggunaan prinsip keilmuan; (tiga) Hubungan impersonal; (4) Penerapan anggaran dan standarisasi secqara tegas; (lima) Sikap yg netral; serta (6) Perilaku yg mendorong efisiensi dan efektivitas. Paradigma ini, berdasarkan Eko Prasodjo (2007), mendorong pemerintah buat balik kepada “khittah-nya” yaitu hadiah pelayanan pada warga yg dilakukan sang administrator publik yang akuntabel dan bertanggung jawab secara demokratis pada elected official. Nilai dasar utama yg diperjuangkan adalah efisiensi dan rasionalitas sebagaimana yang diajarkan pada birokrasi Max Weber.

Apabila Reformasi Administrasi Publik memilih contoh new public management, maka reformasi wajib berpijak dalam pandangan sebagaimana dijelaskan Metcalfe (1998) dalam Barzelay (2002) “NPM is an umbrella term, which encompasses a wide range of meanings, including organization and management design, the application of new institutional economics to public management, and a pattern of policy choices”. Atau dibahasakan oleh Eko Prasdjo (2007), NPM adalah reformasi paradigma administrasi publik lama yg berbasiskan traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasiskan pada market (prosedur pasar) serta competetion-driven based. 

Reformasi dalam paradigm NPM dilakukan menggunakan menjalankan prinsip-prinsip menjadi ini dia: (1) Productivity, pemerintah harus menghasilkan lebih poly menggunakan porto lebih sedikit; (dua) Marketization, pemerintah memakai insentif pasar agar hilang patologi administrasi publik; (3) Service orientation, acara lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat rakyat; (4) Decentralization, melimpahkan kewenangan pada unit kerja terdepan; (5) Policy, pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan (6) Performance accountability, pemerintah memperbaiki kemampuannya buat memenuhi janjinya. Konsistensi terhadap ajaran NPM ini pada akhirnya akan menampilkan sosok administrasi publik yang berkarakter : (a) Memperhatikan mekanisme pasar; (b) Mendorong kompetisi dan kontrak buat mencapai output; (c) lebih responsif terhadap pelanggan; (d) Bersifat mengarahkan daripada menjalankan sendiri; (e) Harus melakukan deregulasi; (f) Memberdayakan pelaksana; (g) Mengembangkan budaya organisasi yang lebih fleksibel; (h) Innovatif serta berjiwa wirausaha; (i) Pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas; (j) Orientasi dalam proses dan input.

Begitupula saat contoh new public service sebagai platform Reformasi Administrasi Publik, akan melahirkan protype yg sejalan dengan ideologi dan desain NPS. Spirit atau ruh ideologi menurut NPS adalah community based, sehingga administrasi publik berdasarkan Denhardt & Denhardt (2003) seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customer), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), menghargai rakyat negara daripada enterpreneurship (value citizenship over enterpreneurship), melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer) dan menghargai orang bukan semata-mata produktivitasnya (value people, not just productivity). Paragima ini berdasarkan Asmawi Rewansyah (2008) menganjurkan “rambu-rambu” yg harus dipatuhi waktu melakukan Reformasi Administrasi Publik, yaitu : (1) Merubah kerangka berpikir constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995); (dua) Merubah institution-centric civil service ke model citizen-centric governance (Prahalad, 2005); (tiga) Menerapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at ell., 2006); (4) menghilangkan tindakan administrasi publik yg memanipulasikan partisipasi rakyat (Yang & Callahan, 2007). 

Apabila ketentuan-ketentuan reformasi ala NPS ini konsisten dijalankan maka akan contoh administrasi publik NPS yg memiliki karakter sebagai berikut : (1) Mengutamakan pelayanan kepada warga menjadi rakyat negara, bukan sbg pelanggan; (dua) Mengutamakan kepentingan umum; (tiga) Melibatkan rakyat masyarakat; (4) Berfikir strategis dan bertindak demokratis; (lima) Memperhatikan kebiasaan, nilai, serta standard yang ada; (6) Menghargai warga daripada sosok manajer wirausaha yg profit oriented.

Paradigma-paradigma di atas memiliki ideologi, perkiraan, konsepsi, ruang lingkup, tujuan dan kerangka yg membedakan satu dengan yang lain. Berikut peta masing-masing kerangka berpikir menggunakan warna ideologi masing-masing, dimana administrasi publik klasik nilai-nilai administrasi publik rasional Weber, NPM dalam “payung” ideologi kapitalis serta NPS dengan rona ideologi community based.

Walaupun kerangka berpikir-kerangka berpikir tadi sang banyak pakar diakui sebagai sebuah perkembangan pemikiran yang berjalan secara dialektik – tesis, antitesis serta buatan, namun pola tadi nir saling menggugurkan antara model klasik, NPM serta NPS. Bahkan sangat mungkin ketiganya terakomodasi dalam suatu desain Reformasi Administrasi Publik sebagai akibatnya akan lahir sosok administrasi publik “pelangi” menggunakan warna klasik, NPM dan NPS. Pola ini sangat mungkin terjadi menggunakan asumsi nir ada suatu rapikan rakyat yang seratus % rasional pada politik serta ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang yg sedang melalui fase transisi dibidang politik dan ekonomi. Akibatnya Reformasi Administrasi Publik berjalan secara bertahap dengan mempertahankan serta memperbaiki struktur administrasi publik yang lama atau revitalisasi struktur administrasi publik yg berdisain administrasi publik klasik.

Di negara berkembang misalnya Indonesia, contohnya, reformasi tetap memakai model klasik buat bidang politik, aturan serta keamanan. Kemudian mengadopsi secara perlahan kerangka berpikir NPM buat Reformasi Administrasi Publik yang berada dan berurusan di sektor pengembangan perekonomian dalam rakyat. Dan terakhir Reformasi Administrasi Publik menggunakan kerangka berpikir NPS untuk administrasi publik yang berada dalam domain kesejahteraan sosia serta penguatan rakyat. Anggaplah ini menjadi pemikiran contoh “pelangi” Reformasi Administrasi Publik serta inipun sebuah pilihan, ialah suatu sistem politik, sosial,ekonomi dan budaya yg nisbi mapan bisa mengadopsi secara total salah satu saja desain, apakah bertahan dalam kerangka berpikir klasik, memilih NPM atau NPS.