REFORMASI BIROKRAS DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN

Reformasi Birokras Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintahan 
Situasi ekologi eksternal administrasi publik mengalami perkembangan cepat di abad 21 ini yg meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya serta juga perubahan lingkungan fisik seperti adanya dunia warming, polusi, bala alam tsunami serta sebagainya. Arena perubahan tersebut berada dalam pusaran globalisasi yg mengungkapkan situasi abad 21 ini menjadi kenyataan terintegrasinya global ke dalam suatu rapikan nilai yg nisbi sama dan menciptakan batas-batas negara melemah, sehingga interaksi aktor politik, ekonomi, sosial dan budaya terjadi secara langsung melintasi antar negara melalui media perkembangan teknologi informasi serta komunikasi. Kenyataan ini membuat globalisasi adalah kenyataan erosi ruang kelembagaan (deinstitutionalization of space) atau proses lokalisasi dunia menjadi seperti sebuah desa (small village). Sementara sisi ekologi internal administrasi publik cenderung masih terkukung dalam praktek harta benda-administration misalnya budaya korupsi, kolusi, nepotisme, boros, inefisiensi, dis-orientasi, kaku serta lamban. Pertanyaannya adalah bagaimanakah model Reformasi Administrasi Publik pada situasi perubahan lingkungan eksternalnya yang begitu cepat serta disisi lain kondisi internalnya terbelenggu pada stagnasi?. Pada konteks inilah goresan pena ini disusun dengan fokus pembahasan pada kompleksitas Reformasi Administrasi Publik pada merespon perkembangan lingkungan internal serta eksternalnya. 

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK : KONSEP, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Konsepsi Reformasi Administrasi Publik yg digunakan pada goresan pena ini antara lain mengacu dalam pendapat Gerald E. Caiden pada bukunya “Prospects for Administrative Reform in Israel (1969) yg diulas sang Sasli Rais dan Dance Y. Flassy. Menurut Caiden (1969: 69) Reformasi Administrasi Publik didefinisikan sebagai ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’. Definisi Caiden ini mengandung beberapa akibat: (1) Reformasi Administrasi Publik adalah aktivitas yang dibuat oleh manusia (man made), nir bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; (2) Reformasi Administrasi Publik merupakan suatu proses; dan (tiga) Resistensi beriringan menggunakan proses Reformasi Administrasi Publik. 

Wallis (1989) sebagaimana dijelaskan oleh Ginandjar (2005) mengartikan reformasi administrasi menjadi induced, permanent improvement in administration. Batasan ini memuat 3 aspek krusial, yakni : (1) Perubahan harus adalah pemugaran dari keadaan sebelumnya. (2) Perbaikan diperoleh dengan upaya yg disengaja (deliberate) serta bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa bisnis. (3) Perbaikan yg terjadi bersifat jangka panjang dan tidak ad interim, buat lalu balik lagi ke keadaan semula. Ada persamaan berdasarkan definisi diatas yaitu memahami Reformasi Administrasi Publik menjadi sebuah proses yang dibuat secara sadar sang manusia buat memperbaiki keadaan. Keduanya jua bertitik tolak berdasarkan kondisi-kondisi yang problematis, misalnya harta benda-administration, patologi administrasi publik, red type, sehingga mendorong pemikiran mengenai perlunya perubahan administrasi publik. Ketika mainstream utamanya adalah perubahan, maka akan memunculkan varian pemikiran misalnya mengembalikan administrasi publik kepada spirit originalnya, misalnya reformasi menggunakan kerangka berpikir old public administration atau reformasi secara mendasar serta komprehensif melalui kerangka berpikir New Public Management atau New Public Service.

Konsepsi serta rumusan Caiden menyebut tujuan Reformasi Administrasi Publik adalah buat “improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly” (Caiden 1969: 12). Apabila dianalisis selanjutnya, tujuan Reformasi Administrasi Publik Caiden adalah menyempurnakan atau mempertinggi performance. Secara detail tujuan Reformasi Administrasi Publik dalam rangka peningkatan kinerja merupakan: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan serta acara aplikasi; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234); Meningkatkan kualitas personel; Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik serta keluhan pihak luar (Mosher, 1967: 497-498). 

Sedangkan kinerja yg dimaksud adalah kinerja individu, grup, dan institusi pada rangka pencapaian tujuan yg lebih efektif, efisien dan cepat. Ini berarti ruang lingkup Reformasi Administrasi Publik meliputi aspek konduite dan aspek kelembagaan yg tercakup didalam Reformasi Administrasi Publik. Catatan terakhir dari Caiden bahwa ada lima hal yg perlu diperhatikan pada Reformasi Administrasi Publik yaitu: (1) Ada pembaru yang asal dari luar, terdapat jua yang asal menurut pada; (dua) Ada pembaruan yg dicanangkan dari bawah, terdapat jua yang asal berdasarkan atas; (tiga) Ada ideologi yg mempengaruhi Reformasi Administrasi Publik, ada jua Reformasi Administrasi Publik yg tidak ditentukan sang ideologi; dan (5) Ada Reformasi Administrasi Publik yang diikuti sang revolusi, terdapat pula yang nir. 

Selain itu terdapat 2 hal pula yg perlu diperhatikan menurut Caiden, bahwa: (1) Reformasi Administrasi Publik berkaitan erat menggunakan lingkungan budaya eksklusif, sebagai akibatnya nir terdapat satu perspektif pun yg bisa dipercaya lebih baik daripada yang lain; (dua) Pendekatan Reformasi Administrasi Publik bersifat terikat pada budaya, sebagai akibatnya tidak bisa diekspor ke negara lain menggunakan begitu saja. Pandangan Caiden di atas sebatas kerangka konseptual yg belum memberikan pilihan-pilihan strategis dalam melakukan Reformasi Administrasi Publik. Caiden jua hanya memberikan suatu peringatan bahwa pada melakukan Reformasi Administrasi Publik sangat tergantung menggunakan lingkungan budaya serta buat itu “resep” reformasi tidak sanggup berlaku secara universal. 

Berbeda halnya menggunakan pandangan yg dikemukakan sang Ali Farazmand (2002) yang membahas analisis teoritis reformasi serta re-organisasi buat tahu reformasi administrasi publik, khususnya Reformasi Administrasi Publik. Menurutnya, reformasi administrasi publik, termasuk administrasi publik didalamnya, dapat merujuk dalam beberapa model teori buat memulai sebuah reformasi serta pula sekaligus sebagai prespektif memahami aneka macam Reformasi Administrasi Publik yg sudah terjadi. Apa yg dikemukakan Ali Farazman mengadopsi dari pandangan Guys Peter (1994) dimana reformasi dan reorganisasi bisa dijelaskan dengan 3 contoh teori, yaitu top-down models, bottom up models serta institutional models. 

Menurut model pertama, yaitu top-down models, Reformasi Administrasi Publik memiliki tujuan berskala luas dan prosesnya di inisiasi menurut struktur kekuasaan pemerintah pusat. Model ini berpijak pada perkiraan bahwa para pemimpin politik tahu serta peka terhadap dilema yg dihadapi serta kemudian membuatkan gagasan buat melakukan Reformasi Administrasi Publik. Model ini acapkali diklaim menggunakan contoh tradisional serta pragmatis dimana biasa diberlakukan dalam sistem administrasi yg memulai perubahan dengan hegemoni menurut pusat pemerintahan semenjak menurut identifikasi, seleksi dan implementasi perubahan administrasi serta administrasi publik. 

Model kedua adalah bottom up, Reformasi Administrasi Publik menurut contoh ini adalah akibat menurut tuntutan lingkungan politik, ekonomi, sosial-yang menghendaki perubahan serta tuntutan harus diadopsi sang struktur administrasi publik pada rangka keberlanjutannya untuk memenuhi tujuan kolektif. Asumsi yg dibangun sangat kentara bahwa lingkungan mempunyai inovasi serta tekanan terhadap kebutuhan akan Reformasi Administrasi Publik, sehingga pemerintah mau nir mau wajib memenuhi permintaan lingkungan tadi. 

Sedangkan model ketiga adalah institutional model yg memulai Reformasi Administrasi Publik sebagai butir dari kesadaran kelembagaan akan kebutuhan perubahan serta buat itu perlu melakukan modifikasi nilai-nilai kolektif, budaya, serta struktur supaya organisasi senantiasa adaptif menggunakan perubahan lingkungan serta berjalan bergerak maju.

ASPEK-ASPEK REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
Secara lebih detail krusial buat diungkap apa sesungguhnya aspek-aspek yang sebagai sasaran dari Reformasi Administrasi Publik?. Penjelasan konseptual dan contoh-contoh desain reformasi publik diatas, seperti top down, bottom up serta institutionalis dalam akhirnya bermuara dalam bagian-bagian menurut the body of bureaucracy yg wajib dirubah. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara structural, Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran–kiprah yang makin terspesialisasikan (role specialization) serta pembagian pekerjaan (division of labor) yg makin tajam dan intens pada masyarkaat terbaru. Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, namun bagaimana kiprah serta pengaruhnya pada kinerja yang lain atau organisasi secara holistik. Ia menekankan pentingnya kerjasama serta teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja beserta (social performance). 

Riggs jua membedakan antara hasil (accomplishment) dengan upaya yg dilakukan (endeavour). Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan dalam upaya, bukan semata–mata hasil. Pandangan ini dianut Eko Prasodjo (2007) yg memetakan dengan lebih jelas dimensi-dimensi Reformasi Administrasi Publik yaitu modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi, downsizing, perubahan manajemen serta organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, aturan berbasis kinerja serta proses perencanaan partisipatif. Kemudian pula dilanjutkan menggunakan Kwik Kian Gie (2003) dengan rinci mengurai Reformasi Administrasi Publik yang mencakup 3 point krusial, yaitu : (1) Kebijakan Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, meliputi redefenisi kelembagaan administrasi publik dalam melakukan pelayanan pada rakyat, melakukan audit kelembagaan terhadap organisasi administrasi publik pemerintah pada sentra dan wilayah, perampingan organisasi administrasi publik pemerintah menggunakan memperhatikan output audit kelembagaan administrasi publik pemerintah pusat dan wilayah, membangung suatu sistem rekruitmen dan promosi pegawai sinkron menggunakan kecakapan serta kemampuannya, terdapat penghargaan terhadap birokrat yang berbuat baik dan sanksi bagi yg berbuat jelek; (dua) Kebijakan di bidang Sumber daya manusia mencakup peningkatan kesejahteraan aparat administrasi publik pemerintah, meningkatkan etika dan moral administrasi publik, mendorong kemampuan profesionalisme administrasi publik; serta (3) Kebijakan pengawasan administrasi publik yang meliputi pengawas forum internal pemerintah yamg adalah aparat audit internal pemerintah. 

Sejalan serta melengkapi aspek-aspek Reformasi Administrasi Publik adalah apa yg diungkapkan sang Miftah Thoha (2002) bahwa Reformasi Administrasi Publik menyangkut pertama, kepemimpinan forum departemen pemerintah baik dipusat dan pada wilayah yang harus dibedakan dengan jelas antara pejabat politik serta pejabat karier administrasi publik. Kedua, desentralisasi wewenang baik desentralisasi politik maupun administrasi perlu dilakukan pada dalam kelembagaan pemerintah ini. Ketiga, perlunya perampingan susunan kelembagaan administrasi publik pemerintah. Pandangan-pandangan pada atas menaruh pemetaan sederhana mengenai Reformasi Administrasi Publik mulai dari pemahaman konseptual, tujuan, ruang lingkup, variabel-variabel penunjang keberhasilan serta penghambat serta model-model memulai Reformasi Administrasi Publik. Kerangka ini tentunya bersifat teoritis serta perlu dikombinasi menggunakan kepiawaian pada implementasinya atau membutuhkan art (seni) dalam melaksanakan Reformasi Administrasi Publik dalam global konkret. 

Pada bagian selanjutnya coba buat dibahas perjalanan Reformasi Administrasi Publik dalam kerangka berpikir klasik, New Public Management serta New Public Service. Masing-masing kerangka berpikir akan melahirkan sosok administrasi publik yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandangnya dan yang perlu digarisbawahi sebagaimana diungkap sang Caiden, nir terdapat suatu model pun yg dapat diberlakukan tanpa mengkonfirmasikan menggunakan budaya yang terdapat pada masyarakat. Artinya, contoh administrasi publik klasik, NPM serta NPS bukanlah model yang saling meniadakan, tetapi pilihan-pilihan yang aplikasinya tergantung menggunakan konteks ruang serta saat.

PARADIGMA KLASIK, NPM DAN NPS
Konsisten dengan pendapat Caiden bahwa budaya serta kondisi sosial, politik dan ekonomi memilih pilihan kerangka berpikir reformasi yg akan digunakan, maka model administrasi publik klasik, NPM dan NPS adalah sebuah pilihan yg bisa dipakai pada Reformasi Administrasi Publik tanpa wajib meniadakan satu sama lain. Reformasi Administrasi Publik pada pandangan administrasi publik klasik atau old public administration mensyaratkan beberapa ketentuan supaya membentuk sosok administrasi publik rasional contoh Max Weber, yaitu : (1) Administrasi publik wajib dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi AP dgn politik); (dua) Tidak memberi peluang pada Administrator buat memperaktekkan sistem nepotisme dan spoil; (3) Para legislator hanya merumuskan kebijakan nasional serta Administrator hanya mengeksekusinya; (4) Para Administrator selalu mengutamakan nilai efisiensi serta ekonomis; (5) Para Administrator diangkat dari kecocokan serta kecakapannya; serta (6) Metode keilmuan berdasarkan Taylor wajib menggeser metode rule of thumb.

Apabila kondisi-syarat ini terjadi secara konsisten maka akan lahir sosok administrasi publik dengan ciri menjadi berikut : (1) Profesionalitas; (dua) Penggunaan prinsip keilmuan; (tiga) Hubungan impersonal; (4) Penerapan anggaran dan standarisasi secqara tegas; (lima) Sikap yg netral; serta (6) Perilaku yg mendorong efisiensi dan efektivitas. Paradigma ini, berdasarkan Eko Prasodjo (2007), mendorong pemerintah buat balik kepada “khittah-nya” yaitu hadiah pelayanan pada warga yg dilakukan sang administrator publik yang akuntabel dan bertanggung jawab secara demokratis pada elected official. Nilai dasar utama yg diperjuangkan adalah efisiensi dan rasionalitas sebagaimana yang diajarkan pada birokrasi Max Weber.

Apabila Reformasi Administrasi Publik memilih contoh new public management, maka reformasi wajib berpijak dalam pandangan sebagaimana dijelaskan Metcalfe (1998) dalam Barzelay (2002) “NPM is an umbrella term, which encompasses a wide range of meanings, including organization and management design, the application of new institutional economics to public management, and a pattern of policy choices”. Atau dibahasakan oleh Eko Prasdjo (2007), NPM adalah reformasi paradigma administrasi publik lama yg berbasiskan traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasiskan pada market (prosedur pasar) serta competetion-driven based. 

Reformasi dalam paradigm NPM dilakukan menggunakan menjalankan prinsip-prinsip menjadi ini dia: (1) Productivity, pemerintah harus menghasilkan lebih poly menggunakan porto lebih sedikit; (dua) Marketization, pemerintah memakai insentif pasar agar hilang patologi administrasi publik; (3) Service orientation, acara lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat rakyat; (4) Decentralization, melimpahkan kewenangan pada unit kerja terdepan; (5) Policy, pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan (6) Performance accountability, pemerintah memperbaiki kemampuannya buat memenuhi janjinya. Konsistensi terhadap ajaran NPM ini pada akhirnya akan menampilkan sosok administrasi publik yang berkarakter : (a) Memperhatikan mekanisme pasar; (b) Mendorong kompetisi dan kontrak buat mencapai output; (c) lebih responsif terhadap pelanggan; (d) Bersifat mengarahkan daripada menjalankan sendiri; (e) Harus melakukan deregulasi; (f) Memberdayakan pelaksana; (g) Mengembangkan budaya organisasi yang lebih fleksibel; (h) Innovatif serta berjiwa wirausaha; (i) Pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas; (j) Orientasi dalam proses dan input.

Begitupula saat contoh new public service sebagai platform Reformasi Administrasi Publik, akan melahirkan protype yg sejalan dengan ideologi dan desain NPS. Spirit atau ruh ideologi menurut NPS adalah community based, sehingga administrasi publik berdasarkan Denhardt & Denhardt (2003) seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customer), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), menghargai rakyat negara daripada enterpreneurship (value citizenship over enterpreneurship), melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer) dan menghargai orang bukan semata-mata produktivitasnya (value people, not just productivity). Paragima ini berdasarkan Asmawi Rewansyah (2008) menganjurkan “rambu-rambu” yg harus dipatuhi waktu melakukan Reformasi Administrasi Publik, yaitu : (1) Merubah kerangka berpikir constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995); (dua) Merubah institution-centric civil service ke model citizen-centric governance (Prahalad, 2005); (tiga) Menerapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at ell., 2006); (4) menghilangkan tindakan administrasi publik yg memanipulasikan partisipasi rakyat (Yang & Callahan, 2007). 

Apabila ketentuan-ketentuan reformasi ala NPS ini konsisten dijalankan maka akan contoh administrasi publik NPS yg memiliki karakter sebagai berikut : (1) Mengutamakan pelayanan kepada warga menjadi rakyat negara, bukan sbg pelanggan; (dua) Mengutamakan kepentingan umum; (tiga) Melibatkan rakyat masyarakat; (4) Berfikir strategis dan bertindak demokratis; (lima) Memperhatikan kebiasaan, nilai, serta standard yang ada; (6) Menghargai warga daripada sosok manajer wirausaha yg profit oriented.

Paradigma-paradigma di atas memiliki ideologi, perkiraan, konsepsi, ruang lingkup, tujuan dan kerangka yg membedakan satu dengan yang lain. Berikut peta masing-masing kerangka berpikir menggunakan warna ideologi masing-masing, dimana administrasi publik klasik nilai-nilai administrasi publik rasional Weber, NPM dalam “payung” ideologi kapitalis serta NPS dengan rona ideologi community based.

Walaupun kerangka berpikir-kerangka berpikir tadi sang banyak pakar diakui sebagai sebuah perkembangan pemikiran yang berjalan secara dialektik – tesis, antitesis serta buatan, namun pola tadi nir saling menggugurkan antara model klasik, NPM serta NPS. Bahkan sangat mungkin ketiganya terakomodasi dalam suatu desain Reformasi Administrasi Publik sebagai akibatnya akan lahir sosok administrasi publik “pelangi” menggunakan warna klasik, NPM dan NPS. Pola ini sangat mungkin terjadi menggunakan asumsi nir ada suatu rapikan rakyat yang seratus % rasional pada politik serta ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang yg sedang melalui fase transisi dibidang politik dan ekonomi. Akibatnya Reformasi Administrasi Publik berjalan secara bertahap dengan mempertahankan serta memperbaiki struktur administrasi publik yang lama atau revitalisasi struktur administrasi publik yg berdisain administrasi publik klasik.

Di negara berkembang misalnya Indonesia, contohnya, reformasi tetap memakai model klasik buat bidang politik, aturan serta keamanan. Kemudian mengadopsi secara perlahan kerangka berpikir NPM buat Reformasi Administrasi Publik yang berada dan berurusan di sektor pengembangan perekonomian dalam rakyat. Dan terakhir Reformasi Administrasi Publik menggunakan kerangka berpikir NPS untuk administrasi publik yang berada dalam domain kesejahteraan sosia serta penguatan rakyat. Anggaplah ini menjadi pemikiran contoh “pelangi” Reformasi Administrasi Publik serta inipun sebuah pilihan, ialah suatu sistem politik, sosial,ekonomi dan budaya yg nisbi mapan bisa mengadopsi secara total salah satu saja desain, apakah bertahan dalam kerangka berpikir klasik, memilih NPM atau NPS.

Comments