DEMOCRATIC GOVERNANCE DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Democratic Governance Dalam Perumusan Kebijakan Publik
Sebagai negara dengan sistem demokratis, penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dilakukan melalui kebijakan publik yang legitimate dan berasal dari mandat masyarakat. Kebijakan tadi dimaksudkan buat mendayagunakan aneka macam asal daya negara bagi kesejahteraan rakyat. Keberadaan level kebijakan ini, selalu ditandai menggunakan adanya relasi badan legislatif serta eksekutif. Disini, umumnya berbagai keputusan mengenai rapikan kehidupan warga yg diinginkan, dimusyawarahkan serta dirumuskan. Artinya, perumusan kebijakan tadi dilaksanakan melalui proses bersama dengan aneka macam stakeholders yg terkait menggunakan kebijakan tadi. Analisis pada tingkatan perumusan kebijakan difokuskan dalam bagaimana kebijakan dibentuk sampai menggunakan munculnya suatu ketetapan kebijakan. Persoalan yg krusial dalam tahapan perumusan adalah liputan yang akurat tentang perkara yg dihadapi, sehingga kebijakan yang diambil sesuai menggunakan kepentingan publik. 

Perumusan kebijakan yg dilakukan oleh Pemerintah dalam era reformasi saat ini, sangat tidak selaras dengan proses perumusan kebijakan di era orde baru. Saat ini rakyat menuntut adanya perubahan pada sistem perumusan kebijakan. Perumusan suatu kebijakan publik yg baik wajib berdasarkan pada tata pemerintahan yang baik dan demokratis (Democratic Governance). Makna demokratis disini merupakan demokrasi yang berkualitas, yang dapat dicermati berdasarkan, (a) hasil (quality of result), yg dirasakan keuntungannya secara eksklusif sang warga ; (b) Isi (quality of contents), diarahkan bagi kepentingan warga ; (c) prosedur (procedural quality), dimana proses perumusannya melibatkan partisipasi warga . (Eko Prasojo, 2010). Terdapat dua prinsip dasar dari kebiasaan demokrasi dimaksud yaitu: (a) Berjalannya kontrol warga terhadap kebijakan publik serta penghasil kebijakan; (b) Kesetaraan antar masyarakat pada relasinya dengan proses perumusan kebijakan publik. Pemahaman ini mencerminkan dinamika pada tata pemerintahan, yg membawa perubahan paradigma pemerintahan pada paradigma rapikan pemerintahan yang baik serta demokratis (Democratic Governance). Democratic Governance merupakan sebuah prosedur, proses, hubungan serta kebiasaan yg kompleks, dimana pencapaian tujuan pemerintahan dilakukan melalui sistem dan proses perumusan kebijakan yang partisipatif, transparan, akuntabel, penegakan aturan aturan. Democratic governance diidentifikasi menjadi,“sebuah praktek kehidupan demokrasi terbaru yang diselenggarakan secara profesional dan fokus pada governance.” Artinya perwujudan democratic governance nir sanggup dipisahkan menggunakan penerapan good governance. 

Penerapan democratic governance pada proses perumusan kebijakan, adalah penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan norma demokrasi yang sekaligus adalah prinsip dasar dari good governance. (James G. March, Johan P. Olsen,1995). Dalam governance proses perumusan kebijakan dilakukan secara kolektif, maksudnya oleh aktor yang bersifat plural (pemerintah, partikelir serta civil society) tidak ada sistem supervisi yang bersifat formal, karena posisi aktor sejajar.

Ada sejumlah kasus dasar yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik. Pertama, Kebijakan yg didapatkan sering tidak implementatif dan sebagai nir efektif bagi solusi terhadap konflik yang dihadapi masyarakat. 

Kedua, Faktanya penerapan democratic governance pada proses perumusan kebijakan belum optimal. Proses perumusan bersifat Elitis, sebagai akibatnya nir menyentuh kebutuhan akar rumput. Kurang adanya komunikasi yg baik antara Pemerintah dan DPR, terkait dengan kecenderungan pandangan tentang substansi kebijakan. Ketidaksamaan pandangan atas konten dan tujuan suatu kebijakan itu dibuat, berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan. Disamping itu banyak sekali data serta keterangan terkait substansi kebijakan sulit diperoleh, nir seksama serta bhineka. 

Ketiga, Tingkat penerapan faktor akuntabilitas menjadi keliru satu prasyarat dalam democratic governance masih sulit diimplementasikan. Berpikir sektoral, adalah keliru satu kelemahan dalam perumusan kebijakan publik. Mekanisme dan prosedur, tujuan, target yang sudah ditetapkan acapkali nir dimaknai menjadi pedoman yg harus dipatuhi, demi menghasilkan kebijakan yang disepakati. Jangka waktu bagi perumusan kebijakan sudah ditetapkan, tetapi nir secara konsisten dilaksanakan. 

Keempat, Isu yang diidentifikasi seringkali tidak didukung menggunakan reasoning yang memadai, sebagai akibatnya keuntungannya bagi kehidupan rakyat tidak tampak jelas. Tulisan ini secara spesifik akan membahas banyak sekali duduk perkara democratic governance pada perumusan kebijakan dalam level negara. Persoalan democratic governance dalam ranah politik dan ranah ekonomi hanya akan dibahas secara singkat buat menjelaskan keterkaitannya menggunakan dilema democratic governance dalam perumusan kebijakan.

Suatu kebijakan publik dibuat bukan untuk kepentingan politis, misalnya buat mempertahankan status quo penghasil kebijakan, namun ditujukan bagi peningkatan pelayanan publik serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam perumusan kebijakan yg perlu ditekankan adalah pentingnya kiprah Institusi pemerintah, yang demokratis serta berkualitas bagi penerapan democratic governance. Proses perumusan yg dilakukan melalui proses serta sistem democratic governance akan lebih membuat manfaat, lantaran akan membantu memastikan pemerintahan yg responsif serta akuntabel terhadap rakyat. Pemerintah menyediakan mekanisme yang membangun partisipasi dan akuntabilitas. Dalam proses dan sistemnya, memungkinkan konten kebijakan tadi mengakomodasi kepentingan yg berbeda-beda dengan pelibatan warga , buat mendapatkan opsi kebijakan yg disepakati. 

Terdapat beberapa prinsip dasar yg wajib diperhatikan, bagi penerapan democratic governance yaitu, koordinasi antar lembaga-forum penyelenggara pemerintahan dan keterlibatan semua stake holders pada proses perumusan kebijakan publik. Penyelenggaraan democratic governance menuntut perumusan kebijakan dilaksanakan secara sinergi diantara forum pemerintah yang mempunyai tingkat kesejajaran, namun saling berkoordinasi, mempunyai independensi, bisa saling mengawasi menurut prinsip chekcs and balances. Kuncinya adalah adanya difusi kekuasaan diantara badan-badan. Kekuasaan tidak menjadi monopoli sentra, namun menyebar pada aneka macam asal yg beragam, sebagai akibatnya kekuasaan dilaksanakan secara kolektif. 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Sejarah mencatat, dalam kurun saat sebelum era reformasi, proses perumusan kebijakan dalam konteks penetapan konten kebijakan dan manajemen pemerintahan bersifat sentralistik, elitis, otoriter, serta relatif tertutup terhadap akses publik. Dalam kondisi demikian, sistem pertanggungjawaban menjadi semu hanya buat kalangan terbatas dan bersifat formalistik. Sistem akuntabilitas, transparansi serta partisipasi publik nir berkembang. Sejak era reformasi tahun 1998, tuntutan terhadap tata pemerintahan melalui perumusan kebijakan publik wajib dilakukan dengan menggunakan pendekatan transparansi, akuntabilitas, responsif, adil serta membuka akses publik sebagai perwujudan demokrasi. 

Setidaknya terdapat 3 tuntutan reformasi terhadap aspek tatanan kehidupan berbangsa serta bernegara, yaitu; (i) demokratisasi, (ii) desentralisasi, dan (iii) pembentukan pemerintahan yg higienis. Untuk itu diharapkan kerangka berpikir baru dimana setiap stakeholders dapat melakukan aktifitas, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan terutama yg terkait langsung menggunakan publik menjadi stakeholders. Mengapa hal ini krusial? Lantaran para perumus kebijakan acapkali nir “well inform” tentang aneka macam persoalan yang terkait dengan kebijakan yg akan dirumuskan. Untuk itu penting bentuk-bentuk partisipasi warga , kelompok krusial rakyat dan tokoh warga lainnya, khususnya yang lebih mengetahui serta dekat menggunakan kebutuhan warga , sebagai akibatnya kebijakan menjadi tepat, efektif serta efisien. 

Perubahan sistem, tuntutan dalam berbagai tatanan pemerintahan, memerlukan perubahan mind set dan culture set berdasarkan para perumus kebijakan. Manajemen pemerintahan harus berubah dengan menerapkan prinsip-prinsip democratic governance yang berjalan secara bergerak maju. Kebijakan publik yang ditetapkan wajib dapat menjawab seluruh tantangan yg ada serta perubahan lingkungan. Kualitas kebijakan publik sangat ditentukan oleh berbagai faktor yg saling mensugesti dalam proses perumusan kebijakan itu sendiri. Faktor-faktor tadi bisa diklasifikasikan kedalam lima faktor primer, yaitu; faktor budaya, faktor organisasi dan manajemen, faktor individu, faktor ekonomi dan faktor politik. 

Faktor Budaya 
Perumusan kebijakan dilakukan melalui sebuah proses. Pada prosesnya melibatkan berbagai faktor khususnya faktor budaya. Pada konteks partisipasi, sebagian warga masih memiliki pemikiran sederhana “budaya lapang dada” serta nir merasa perlu ikut-ikutan dalam urusan Pemerintah. Paradigma ini perlu diubah. Lantaran partisipasi warga dalam perumusan kebijakan publik amat krusial. Dalam democratic governance Pemerintah memiliki kewajiban membangun masyarakat, menguatkan rakyat supaya mampu berkontribusi dalam perumusan kebijakan publik. Apabila nir, maka prinsip partisipatif tak jarang dimanfaatkan buat melegalisasi sebuah mekanisme yg mengakomodasi kepentingan tertentu. Untuk melahirkan sebuah kebijakan publik pada proses perumusannya kerap diwarnai menggunakan banyak sekali bentuk “ transaksional”. Budaya terimakasih sebagai alasan bagi pemberi bantuan gratis yg ketika ini dikategorikan sebagai gratifikasi. Bentuk defleksi yg dianggap biasa tersebut diidentifikasi masih terus berjalan sampai saat ini. 

Budaya “ewuh pekewuh” ternyata jua masih nyata ter-refleksikan dalam perilaku serta pandangan aktor perumus kebijakan. Dengan dalih membantu “kerabat” atau kepentingan lingkungan terdekat. Sikap ini acapkali menciptakan ruang “koruptif serta kongkalikong ”. Disamping itu warga tertentu kerapkali memberikan apresiasi dan bentuk kehormatan kepada “orang kuat” secara finansial. Tanpa merasa berkewajiban untuk ikut memantau darimana asal kekayaan tadi, (masih tabu). Budaya inilah yang seharusnya di-reduksi melalui banyak sekali bentuk pendidikan politik rakyat, kepedulian, aneka macam peraturan, mekanisme juga ketegasan pada penegakannya. 

Faktor Organisasi dan manajemen 
Melihat Bentuk pertama kebijakan publik merupakan peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara sah formal. Maka setiap peraturan mulai menurut taraf sentra atau nasional hingga tingkat pemerintahan terkecil yaitu kelurahan adalah kebijakan publik. Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Per- UU-an sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 12 tahun 2011, dalam Pasal 7 UU tadi menyatakan jenis serta hierarki peraturan perundangan yaitu:
(a). Undang-undang Dasar RI 1945
(b). Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti UU
(c). Peraturan Pemerintah
(d) Peraturan Presiden
(e). Peraturan Daerah.

Proses perumusan dalam taraf kebijakan tertentu, penetapannya dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dengan DPR. Pemerintah diwakili oleh Menteri terkait, sedangkan DPR dilaksanakan oleh Komisi-komisi, campuran komisi atau Pansus. Mekanisme perumusan diatur melalui UU Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD-3 serta peraturan Tata Tertib DPR, yang ketika ini dilakukan melalui dua (2) tahapan yaitu; persiapan serta tahapan pada internal Pemerintah sampai dengan disampaikannya amanat presiden pada DPR menjadi pengantar RUU tadi,serta sebaliknya bila RUU tadi dari DPR serta termin ke 2 merupakan pembahasan yang dilakukan DPR hingga disahkan menjadi UU melalui tahapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRRI sebagai berikut ; 

Secara spesifik bagi proses perumusan kebijakan pada DPR telah ditetapkan target output dan sasaran saat bagi solusinya. Bagi Pemerintah serta DPR, sasaran kebijakan (UU) ditetapkan melalui “Prolegnas”. Prolegnas merupakan instrument perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis yang memuat daftar RUU yang akan dibahas DPR beserta Pemerintah pada kurun ketika lima(lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan prolegnas prioritas. Pada proses perumusannya diatur pada jangka ketika paling usang dua (2) kali masa sidang, bisa diperpanjang dengan permintaan, buat jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Tetapi untuk mencapai target hasil juga waktu tadi nir mudah. Faktanya sasaran RUU yang telah ditetapkan sang DPR dan Pemerintah belum pernah tercapai. Dari sejumlah 257 RUU pada prolegnas 2010-2014, jumlah capaian sampai menggunakan waktu ini adalah 75 UU. Dan menurut 75 UU tersebut terdapat pasal-pasal yang yudicial review sang MK dalam tahun 2013 terdapat 150 kasus. Sementara itu setidaknya 19 RUU dalam proses perumusannya waktu ini telah melebihi 4 (empat kali) masa sidang buat perpanjangan waktu. 

Itulah sebabnya penerapan Democratic governance, sangat dituntut serta ditekankan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui perumusan kebijakan. Lantaran dalam democratic governance terdapat 4 faktor kunci yang krusial buat diimplementasikan yaitu, partisipasi, transparansi, aturan aturan, serta akuntabilitas, Prinsip ini seharusnya secara konsisten menjadi dasar bagi perumusan kebijakan. Tujuannya merupakan buat menaikkan pelayanan publik bagi kesejahteraan rakyat. Perlu dikembangkan interaksi antara masyarakat serta perumus kebijakan. 

Hal ini dimaksudkan buat membentuk transparansi dan nilai-nilai dasar kinerja pada institusi perumus kebijakan. Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban yang jelas serta output yg measurable bagi perumus kebijakan, sedangkan transparansi merupakan terbukanya proses formulasi kebijakan publik bagi partisipasi warga . Oleh Bryan dan White, partisipasi hanya dicermati menjadi sesuatu yg dilakukan secara politis semata, sebagai pemungutan bunyi (pemilu), keanggotaan pada partai, aktivitas pada serikat sukarela dan gerakan protes serta kegiatan sejenisnya. 

Sejalan dengan itu, Joan Nelson mengatakan, partisipasi politis ini dapat dibagi pada 2 arena, yakni partisipasi horisontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horisontal, melibatkan rakyat secara kolektif buat mensugesti perumusan kebijakan. Sedangkan partisipasi vertikal terjadi waktu anggota warga membuatkan hubungan tertentu menggunakan kelompok elit serta pejabat penentu kebijakan, yg mendatangkan manfaat bagi kepentingan ke 2 belah pihak.

Kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yg diusulkan seorang, gerombolan , atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, menggunakan ancaman serta peluang yang terdapat. Kebijakan yg diusulkan tadi ditujukan buat memanfaatkan potensi sekaligus hambatan yg terdapat pada rangka mencapai tujuan tertentu (Carl I.friedrick,1963,79). 

Sementara kebijakan publik yg terbaik adalah yg dapat mendorong setiap warga rakyat buat membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan kedalam pola kebergantungan (Michael E. Porter, 1998). Karena keunggulan kompetitif menurut setiap negara ditentukan oleh seberapa bisa negara tersebut menciptakan lingkungan yg menumbuhkan daya saing menurut setiap aktor didalamnya pada upaya pencapaian tujuan nasional. Dalam hal ini Pemerintah berperan menjadi Steering rather than rowing, yang bisa dimaknai tugas krusial pemerintah lebih bersifat mengarahkan salahsatunya melalui perumusan kebijakan publik bukan rowing atau mengayuh, kegitan mengayuh bisa dilakukan oleh swasta atau masyarakat (David Osborne dan Ted Gaebler, 2002.) 

Dari seluruh pandangan tersebut, kiprah serta posisi pemerintah sangat akbar. Sementara itu pada perumusan kebijakan publik, konsistensi buat menuntaskan dilema publik merupakan sesuatu yang penting yang wajib sebagai perhatian. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan yg ditujukan buat:
a. Melihat sejauhmana sisi kebijakan publik bisa memuat nilai-nilai serta kepentingan publik khususnya gerombolan target.
b. Mengkritisi perumusan kebijakan publik yang menyangkut, apakah kebijakan tadi ditetapkan secara demokratis, transparan, dan akuntabel dan bagaimana kiprah para aktor dan stakeholder pada perumusan kebijakan.
c. Mengidentifikasi apa efek dari suatu kebijakan publik bagi individu, komunitas, serta rakyat, serta pemerintah. (Riant Nugroho, 2007).

Karena lingkup kegiatan perumusan kebijakan yang luas serta kompleks, diharapkan system yang menuntun serta sekaligus mendukung proses perumusannya, perlu ada mekanisme monitoring serta evaluasi. Evaluasi lazimnya dimaksudkan buat menilai sejauhmana efektifitas suatu kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada publik menjadi konstituen. Evaluasi dibutuhkan buat melihat kesenjangan antara “harapan” serta “ fenomena yang sebagai keliru satu bentuk pertimbangan bagi perumusan kebijakan berikutnya.

Menelaah perumusan kebijakan pada proses serta penetapan kontennya dilakukan melalui tahapan baik proses pada ranah politik dan teknokratik. Sehingga baik proses serta kontennya adalah hasil sharing ke 2 institusi, dan jua institusi – institusi terkait lainnya. Pada tahapan dimanapun proses dan konten kebijakan sangat krusial buat mempunyai serangkaian nilai-nilai kebijakan yg sama. Nilai-nilai dimaksud antara lain: nation-building, demokratisasi, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law, yg keseluruhannya ditujukan kepada kesejahteraan masyarakat. 

Faktor Individu
Proses perumusan kebijakan publik adalah serangkaian aktifitas intelektual yg dilakukan didalam proses kegiatan yg bersifat politis. Aktifitas politis tersebut divisualisasikan menjadi serangkaian tahap yang saling bergantung, yg diatur berdasarkan urutan ketika yaitu nampak dalam serangkaian aktivitas yang meliputi identifikasi konflik, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan serta penilaian kebijakan. Pada setiap tahapannya mencerminkan kegiatan individu perumus kebijakan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang saat. Sebagai perumus kebijakan, anggota DPR memiliki beban moril buat memperjuangkan kepentingan politik partainya serta kebutuhan daerah pemilihannya. Kompleksitas konflik yg dijumpai pada proses perumusan kebijakan adalah problem yang sangat mempengaruhi kualitas serta sekaligus pencapaian sasaran kebijakan yang dihasilkan. Dinamika posisi serta rekanan antara para perumus kebijakan sebagai individu maupun institusi DPR dan Pemerintah menjadi pemilik kewenangan untuk merumuskan kebijakan publik memilih konten kebijakan yang ditetapkan. Faktor individu yang membawa kepentingan masing-masing institusi maupun individu mempunyai kecenderungan untuk diakomodasi. Apabila nir maka perumusan kebijakan akan mengalami “dead lock” Kondisi ini acapkali menimbulkan konvensi yg “saling tahu” untuk menetapkan sebuah kebijakan yang menjadi nir efektif. 

Faktor pentingnya adalah bagaimana mempertemukan kepentingan para aktor perumus kebijakan tadi, baik pada sisi eksekutif juga legislatif. Maka harus ada perspektif yang sama terhadap perseteruan, tujuan kebijakan serta komitmen politik diantara para aktor perumus kebijakan. Perlu kontrol masyarakat terhadap proses perumusan kebijakan menjadi penerapan prinsip-prinsip Democratic Governance. Sejauh ini peran masyarakat lebih banyak diwakili oleh elit politik serta massa. 

Faktor Ekonomi serta Faktor Politik 
Meski nir secara tertulis, dalam dasarnya pada proses perumusan kebijakan publik masih ada berbagai kepentingan ekonomi maupun politik. Kedua faktor ini tak jarang sebagai pertimbangan primer serta sangat mensugesti proses serta konten kebijakan publik. Misi politik dari para perumus kebijakan nir bisa dihindari. Pemahaman mengenai kebijakan publik pula mensugesti sikap para perumus kebijakan. Aktor perumus kebijakan menjadi bagian berdasarkan sebuah system, mempunyai self interest. DPR yg memiliki kekuasaan membangun kebijakan (UU) sinkron konstitusi, sekaligus memiliki fungsi representasi, sehingga harus menomor-satukan kepentingan politik masyarakat di Dapilnya. Sedangkan Pemerintah sering memakai azaz rasionalitas menggunakan melakukan kalkulasi atas kemampuan keuangan negara menjadi konsekuensi ditetapkannya suatu kebijakan. 

Perdebatan tersebut tercermin pada pandangan-pandangan yg disampaikan pada proses perumusan kebijakan publik. Pemerintah yang umumnya mempunyai data serta fakta yg relatif, ad interim DPR acapkali kesulitan menerima data serta keterangan sejenis yang akurat. Sayangnya semua data dan informasi yang ada belum dikomunikasikan menggunakan baik akurasinya juga valuenya bagi kebijakan yang akan dirumuskan beserta. 

Pada proses juga kontennya dalam perumusan kebijakan publik menghadapi kesulitan dengan menerapkan democratic goverance, antara lain: (1) sulitnya memperoleh fakta yg cukup, bukti-bukti yg terdapat sulit disimpulkan; (dua) adanya banyak sekali kepentingan yang bhineka antar perumus kebijakan yg menghipnotis pilihan tindakan yg berbeda-beda pula; (tiga) imbas kebijakan yang sulit dikenali; dan (4) proses perumusan kebijakan tidak dipahami menggunakan sahih sang para perumus kebijakan (Caiden, 1971). Sulitnya menerima keterangan seringkali dipakai sang pihak-pihak yg berkepentingan menggunakan kebijakan sebagai ajang “bargaining” menggunakan para perumus kebijakan. Hal inilah yg seharusnya dihindari. Pemahaman terhadap modal sosial serta ekonomi yg diperlukan sang aktor perumus kebijakan, sebagai kesempatan emas bagi para rent seeking buat memanfaatkannya bagi kepentingan eksklusif dan kelompoknya. Maka putaran kepentingan yang dibawa tidak terbatas pada kepentingan politik buat mempertahankan kekuasaan, tetapi juga pada faktor ekonomi. Hubungan yang bersifat transaksional ini mensugesti konten kebijakan yg berpihak dalam kelompok tertentu. 

Langkah Reformasi Birokrasi dan Reformasi Politik
Apa yang wajib dilakukan buat menaikkan kualitas kebijakan publik, guna mendukung keberhasilan pembangunan . Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para perumus kebijakan.

Kemauan Politik serta Komitmen Politik. 
Penting bagi Pemerintah terus melakukan langkah Reformasi Birokrasi dan DPR memotori aplikasi Reformasi Politik. Gerakan reformasi ini perlu didukung sang kemauan serta komitmen politik yang akbar dari seluruh aktor perumus kebijakan. Reformasi Birokrasi dan reformasi politik berjalan secara in-line dan disadari sebagai titik penting pada pembangunan bangsa. Untuk itu harus menjadi kekuatan tekad semua komponen bangsa. Lemahnya komitmen politik para perumus kebijakan buat melakukan reform terhadap tatanan politik merupakan galat satu sebab kegagalan reformasi dimaksud pada mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik serta demokratis. Democratic governance, mengharuskan proses perumusan kebijakan publik didominasi sang nilai-nilai dasar yg baru buat melaksanakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law yang dilandaskan dalam kepentingan umum. Lantaran itu proses perumusan kebijakan wajib didahului menggunakan perumusan permasalahan sebagai bahan untuk menentukan forecasting bagi konten kebijakan yang tepat . 

Kebijakan publik yg dikembangkan oleh forum serta pejabat pemerintah semestinya memperhatikan dampak serta implikasinya, yaitu: (Anderson, 1979, hal.7).
a) Selalu mempunyai tujuan atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan serta berisi  tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah. 
b) Merupakan sesuatu yg dilakukan atau menyatakan sahih akan dilakukan sang pemerintah.
c) Bersifat positif, yakni bentuk tindakan pemerintah buat mengatasi suatu kasus.
d) Didasarkan pada aturan hukum dan wewenang yg bertujuan buat mempertinggi kesejahteraan rakyat. 

Kebijakan publik pada bentuknya yang positif, dibentuk berdasarkan hukum dan kewenangan eksklusif. Maka kebijakan publik mempunyai daya ikat yang kuat terhadap masyarakat secara holistik (comunity as a whole), mempunyai daya paksa tertentu yang nir dimiliki kebijakan yang dibentuk oleh organisasi-organisasi partikelir (Wahab, 1997, hal.5-7). Kebijakan publik menjadi keputusan tetap yang dicirikan sang konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku berdasarkan para perumus kebijakan serta menurut mereka yang mematuhi keputusan tersebut (Heinz, Eulau dan Kenneth, Prewit 1997, hal.44). Untuk itu komitmen para perumus kebijakan harus diarahkan pada implementasi prinsip-prinsip yang terkandung pada sistem democratic governance.

Cakupan pembahasan democratic governance mencakup: (a) cara pandang baru, baik terhadap pengelolaan tata pemerintahan juga terhadap rekanan antara negara, rakyat dan pasar; (b) dinamika empiris dan tentang akademis pengelolaan negara ketika berhadapan dengan rakyat serta pasar dalam konteks globalisasi, demokrasi serta desentralisasi; (c) isu-gosip governance reform yg berkaitan menggunakan konsep good governance serta reinventing government (Grindle, 1977, hal.89-90). 

Untuk itu DPR dan Pemerintah menjadi Institusi yg memiliki kewenangan merumuskan kebijhakan publik seharusnya secara konsisten bersinergi, memperhatikan langkah-langkah perumusan kebijakan publik sebagai berikut:
a) Problem identification, yaitu aktivitas melakukan identifikasi kasus dengan melihat faktor-faktor internal dan eksternal penyebab terjadinya masalah, buat menemukan problema riil yang sejelas-jelasnya, buat dicarikan solusi melalui kebijakan publik. Tahapan ini penting, lantaran policy dilema bukan sesuatu yg “given” dan selalu ada, tetapi wajib digali buat ditentukan identitas masalahnya secara sahih. Untuk itu perlu melibatkan stake holders terkait, membuka akses publik buat menjaring masukan dan pengenalan tentang problem, tujuan dan substansi kebijakan.
b) Agenda setting, yaitu membuat kasus internal sebagai masalah publik, diawali menggunakan mendefinisikan perkara secara benar dan sempurna supaya sanggup menjadi gosip kebijakan dan sebagai kebijakan publik secara formal. DPR mencermati apakah solusi terhadap banyak sekali pertarungan yg dihadapi wajib melalui kebijakan publik tertentu. Pada tahapan ini dipantau syarat dan situasi lingkungan yg membentuk catatan kebutuhan riil serta ketidakpuasan warga atas permasalahan tadi. Pemerintah serta DPR memperhatikan imbas serta manfa’at yang lebih besar bagi pembangunan warga , bangsa dan negara. 
c) Policy dilema formulation, adalah DPR serta pemerintah melakukan upaya buat menemukan permasalahan inti yang dihadapi. Prinsipnya memberikan pilihan teknis banyak sekali kasus yang paling mendesak, memberikan gambaran proses identifikasi kebutuhan, pengembangan alternatif kebijakan, makna dan mekanisme dalam pilihan kebijakan yg paling tepat, dan disepakati bersama. Dilakukan langkah uji publik terhadap substansi kebijakan sebelum ditetapkan. 
d) Policy design, Penyusunan design kebijakan adalah kegiatan yang disepakati beserta antara DPR serta Pemerintah buat menjadi solusi bagi problem yg dihadapi. Membuat design kebijakan adalah aktivitas yg dilakukan beserta buat menyusun contoh kebijakan serta tetapkan rekomendasi kebijakan yg implementatif, berdasarkan output kegiatan pada termin sebelumnya.

Profesionalisme dan Kualitas Kebijakan 
Betapapun kualitas kebijakan yg dihasilkan ditentukan sang profesionalisme perumus kebijakan. Substansi dari sebuah kebijakan yg baik akan berperan memilih hasil yg baik pada pelaksanaannya. Bahkan dikatakan donasi konsep mencapai 60% menurut keberhasilan, khususnya pada masa sekarang dimana data serta kabar mengenai masa depan telah menggunakan gampang bisa diakses. Ini berarti bahwa bila sudah memiliki konsep yang baik, maka 60% keberhasilan dapat dibutuhkan. Akan namun yg 60% tersebut akan hilang jika yg 40% implementasinya nir secara konsisten mendasarkan pada konsep. Implementasi kebijakan publik menurut perspektif produknya mengandung konsepsi pengaturan pemerintah menggunakan tujuan mendekatkan pembangunan pada kebutuhan rakyat dan memudahkan tercapainya kesejahteraan rakyat. 

Suatu kerangka kebijakan publik yang baik akan dipengaruhi sang beberapa variabel menjadi berikut:
a. Tujuan yg akan dicapai, mencakup kompleksitas tujuan yg akan dicapai,
b. Preferensi nilai seperti apa yg perlu dipertimbangkan pada pembuatan kebijakan,
c. Sumberdaya yg mendukung kebijakan ( financial, material, dan infrastruktur lainnya)
d. Kemampuan aktor yang terlibat pada pembuatan kebijakan ( taraf pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya).
e. Lingkungan yg meliputi aspek lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya pada tempat kebijakan tadi akan diimplementasikan.
f. Strategi yg dipakai buat mencapai tujuan melalui implementasi yg efektif dan efisien.

Oleh karena itu buat menjamin kemanfaatan suatu kebijakan publik, perlu dukungan pihak-dua terkait pada setiap tahapannya. Frederick S. Lane mengungkapkan mengenai sistem kebijakan nasional Amerika Serikat. Terdapat 8 (delapan) pihak yg terlibat pada proses formulasi kebijakan publik yang dianggap ”policy making octagon” yaitu bahwa masih ada unsur-unsur sistem kebijakan nasional Amerika Serikat yg terlibat dalam proses interelasi dan interaksi pada formulasi kebijakan publik yaitu; The citizen; The Congress; The President; US Supreme Court and the court system; political parties; interest groups; the press; the bureaucracy. Usulan kebijakan publik bisa saja tiba berdasarkan infrastruktur politik ataupun suprastruktur politik atau ke 2-duanya. Kedua komponen tadi secara bersama-sama merumuskan kebijakan publik. Pandangan Lane tadi tidak jauh tidak sama menggunakan sistem perumusan kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan publik bertujuan buat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam proses perumusannya melibatkan rakyat, partai politik, media massa serta gerombolan kepentingan (interest class) lainnya, menjadi infrastruktur politik. Suprastruktur politiknya merupakan Presiden, DPR, DPD. 

Seluruh komponen tersebut beserta-sama saling mengisi serta berkontribusi sinkron kiprah masing-masing. Untuk perwujudannya, pemerintah menggunakan “kekuasaan” yg demokratis yakni, melalui mufakat pada antara para elite yg mempunyai kiprah pada proses formulasi kebijakan yang memilih nasib bangsa dan negara (Agus Pramono 2005, hal.20). Sedangkan kekuasaan menjadi kemampuan buat menghipnotis formulasi kebijakan yg sah. Sedangkan elit politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. (Harold D Laswell serta Kaplan,1950)

Untuk itu harus ada kemauan serta komitmen politik para perumus kebijakan buat membangun kapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi memberikan kontribusi positif terhadap proses juga konten kebijakan yg akan ditetapkan. Profesionalismen para perumus kebijakan dapat dilakukan melalui peningkatan supporting bagi perumusan kebijakan. Perlu dibangun sistem yang memudahkan warga , gerombolan ahli serta pakar, kelompok partikelir serta tokoh rakyat buat melakukan uji publik terhadap kebijakan yang akan ditetapkan.

Pakta Integritas serta Konsistensi
Reformasi Birokrasi pada Tata pemerintahan nir akan dapat berjalan tanpa adanya kemauan politik serta komitmen dan konsistensi berdasarkan para perumus kebijakan serta seluruh pihak stake holders (birokrat, pelaku bisnis dan masyarakat). Semuanya beserta-sama menekankan prinsip-prinsip kunci democratic governance yaitu; transparansi, partisipasi, akuntabilitas serta penegakan aturan aturan dalam setiap tahapan perumusan kebijakan publik. Penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh perumus kebijakan adalah perwujudan dari komitmen serta konsistensi buat melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dalam takaran tanggung jawab masing-masing actor. Kesepahaman serta konvensi beserta terhadap pentingnya kualitas kebijakan publik akan memunculkan kesadaran kolektif buat tidak melakukan praktek KKN pada penyelenggaraan pemerintahan. Penerapan prinsip-prinsip democratic governance pada perumusan kebijakan, akan sukses membangun Indonesia yg maju, memiliki competitiveness, menggunakan iklim cinvestasi yang berdaya saing tinggi.

ISLAM DEMOKRASI DAN KULTUR POLITIK

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih sebagai tema perdebatan yang menarik serta belum tuntas. Di Tanah Air, wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, lantaran tidak pernah berakibat langkah maju.

Ada dua faktor yg mengakibatkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yang pro maupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yg sangat umum (generik). Misalnya, bahwa Islam merupakan agama yang paripurna dan penerapan syariat merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang umum ini akan menghadapi problem berfokus manakala dibenturkan menggunakan kasus-kasus partikular, misalnya syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana contoh negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yg dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah buat digunakan waktu ini serta seterusnya.

Kedua, ada kesamaan buat mengusung tafsir syariat Islam yg humanis agar tampak nir bertentangan menggunakan konsep-konsep modern, misalnya HAM, demokrasi, serta civil society. Persoalannya, selain nir cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan seperti ini hanya menyentuh narasi-narasi besar , seperti kasus hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah duduk perkara yang urgen bagi masa depan humanisme, misalnya demokratisasi, penghormatan hak asasi insan, dan perdamaian dunia tetap tidak terjamah.

Berdasarkan pada 2 alasan pada atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, perkara demokrasi masih adalah satu agenda politik yg selalu perlu diangkat ke atas bagian atas lantaran kenyataannya paras demokrasi Indonesia masih seringkali diperdebatkan. Apakah yang kini kita alami adalah sesuatu yang bisa diterima ataukah memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal bisa diwujudkan menggunakan lebih nyata lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yg lebih luas, ketika ini dunia menyaksikan kenyataan global yang menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dilihat, lantaran tuntutan demokratisasi ada seiring dengan kebangkitan agama-kepercayaan dalam konteks global yg bergerak maju. Di aneka macam belahan global, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya sebagai tema yg paling krusial dalam dilema dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku menjadi "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini pada Brazil, saat orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tak mendukung sistem kerajaan absolut menggunakan hak tidak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik dunia yg terpenting pada akhir abad ke 2 puluh merupakan munculnya gerakan prodemokrasi di semua belahan global serta keberhasilan gerakan itu di poly negara.

Dalam konteks Islam, kesamaan dunia yang diklaim Huntington menjadi 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, dalam saat hampir semua negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam nir menerangkan tanda-indikasi ke arah itu.

Para sarjana muslim sudah poly mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam serta demokrasi. Secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam serta demokrasi dipandang menjadi dua sistem politik yang tidak selaras. Sebagai sistem politik, Islam nir bisa disubordinasikan dalam demokrasi. Islam serta demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem politik yang paripurna sehingga sanggup dijadikan cara lain terhadap demokrasi.

Kedua, Islam tidak sama berdasarkan demokrasi jika yg terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan pada Barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, Islam bisa dilihat menjadi sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan menjadi indera buat mencapai tujuan-tujuan eksklusif menggunakan prinsip mayoritarian. Misalnya, jika dominan masyarakat menghendaki rezim Mullah, maka rezim tadi adalah demokratis kendati menolak pluralisme serta pemilihan dalam komunitas politik. Pandangan ini menolak mekanisme-prosedur demokrasi yg dimanifestasikan dalam pemilu yang bebas pada kalangan elit serta partai politik menjadi agregasi masyarakat yang tidak selaras dan konfliktual.

Ketiga, Islam dicermati sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yg didefinisikan serta dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat merupakan bunyi Tuhan yg diterjemahkan ke dalam pemilu serta partai pilitik sangat terkenal pada kalangan intelektual serta aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di dalam warga muslim, serta karenanya rezim demokrasi masih sebagai kenyataan yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dimuntahkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal buat membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara muslim yang berhasil menciptakan demokrasi sepenuhnya selama lebih berdasarkan lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya merupakan negara otoritarian. Bahkan, dominan rezim-rezim yang represif di dunia dalam akhir 90-an merupakan pada negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, nir adanya demokrasi pada Dunia Muslim merupakan sangat signifikan. Sebagai salah satu model kasus, ayo kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini sudah muncul menjadi negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain bekas Uni Soviet sebagai lebih demokratis. Cyprus jua menyuguhkan kenyataan menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani serta Cyprus Turki, menggunakan taraf kedemokrasian yang tidak selaras. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yg bertanggung jawab atas nir bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling krusial merupakan lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" pada negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau perilaku individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya menjadi aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya tentang kewargaan (citizenship). Bahkan, pada dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki nir terdapat istilah yg bisa mewakili menggunakan sempurna istilah citizen (rakyat). Kata yang senada dengan istilah tadi yang biasa dipakai pada setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yg di lalu diIndonesiakan menjadi "rakyat". Kata tersebut tidak mewakili istilah citizen yang asal berdasarkan kata civis dan telah sebagai kebijakan politik Yunani yang berarti "seseorang yang ikut dan pada perkara-masalah kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak ada pada bahasa Arab atau bahasa global muslim lainnya disebabkan nir dikenalnya pemikiran atau inspirasi "rakyat ikut dan dalam kebijakan politik."

Oleh karenanya, tugas primer pada rangka to make democracy work merupakan menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi pada Tanah Air. Sebab, insan bukan sekadar individu yang "digembalakan", namun sebagai rakyat negara yg mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak buat menentukan, mengawasi serta menurunkan pemerintahan, di samping hak buat bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi serta berorganisasi, hak menerima pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan serta sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara khusus konfrontasi antarelite politik pada Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat pada global muslim. Sebenarnya, banyak negara muslim punya peluang buat membentuk demokrasi, namun tidak adanya aktor demokrat sejati membuahkan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru besar pada Institut de'atudes Politiques di Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian dari arus akbar gelombang demokrasi ketiga (meminjam istilah Samuel Huntington) kembali berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yg difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, kenyataan memang menunjukkan 'eksepsionalisme Islam' berdasarkan kenyataan demokratisasi dunia. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke seluruh penjuru global, tetapi nir ada satu pun daun yg dihembusnya sampai ke dunia muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yg dimuntahkan Freedom House jua memberitahuakn bahwa walaupun kebebasan pada negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan cukup signifikan, hal itu tidak terjadi pada negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada dunia (berjumlah 48 negara) gagal untuk membangun politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur umumnya berkiprah cepat sebagai demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita nir punya bukti buat menyampaikan pada Wright , 'Why not!" Saya risi mungkin saja ada kalangan warga yang tega lompat pada kesimpulan gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang tidak layak memimpin sebuah negara terkini. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat pada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yg akan perlu saat panjang sekali buat menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun menggunakan konsepsi demokrasi terbatas yg didasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh masyarakat", global muslim permanen tidak memperlihatkan pertanda-pertanda yg cukup baik. Ini adalah suatu indikasi betapa seriusnya persoalan itu. Dan ini bukan sekadar perkara image dan "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang duduk perkara yang sangat konkret.

Ada beberapa teori yg bisa mengungkapkan. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan sang Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih relatif asing dalam mindset Islam". Hal ini ditimbulkan kebanyakan kaum muslim cenderung tahu demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yg perlu saat ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus menggunakan teori-teori modern seperti demokrasi serta kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, masalah kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 2 puluh, namun gagal. Tampaknya, beliau nir akan sukses dalam masa-masa mendatang, lantaran warisan kultural komunitas-komunitas muslim sudah terbiasa menggunakan 'otokrasi serta ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) serta Ajami (1998). Karena itu, yg sangat diharapkan ketika ini merupakan penerangan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur pada Eropa, tetapi pada daerah global Islam malah otoritarianisme yg berkembang.

Sejauh ini, problem kultur politik (civic culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membentuk demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir nir dijumpai kendala teologis pada kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yg memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, terdapat kesamaan buat merambah misi baru merekonsiliasi disparitas-disparitas antara aneka macam teori politik terbaru. Oleh karena itu, lokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di global Islam tak terdapat hubungan dengan teologi juga kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, serta pada atas segalanya, waktu. Esposito serta Voll (1996) merupakan pada antara mereka yang permanen optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam.

Terlepas dari itu semua, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi pada sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yg sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang lalu dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yg dikenal menggunakan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat teman tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai sekarang ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini adalah penerangan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi pada negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam tidak punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan menggunakan kekuatan-kekuatan pro-status quo yg telah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang akbar buat menyuguhkan contoh baru Indonesia sebagai negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga pada global, selesainya Amerika dan India. Namun, lagi-lagi, dia gagal menjadi seseorang presiden muslim demokrat pertama pada negara dengan penduduk dominan muslim ini. Tidak kentara, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang niscaya, negeri ini persis seperti digambarkan Salame pada bukunya Democracy without Democrats.

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

Pendidikan Islam, Demokratisasi Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani: Dialog Islam Dan Modernitas Di Indonesia
Masyarakat madani menjadi terjemahan menurut civil society diperkenalkan pertama kali sang Anwar Ibrahim (saat itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) pada ceramah pada Simposium Nasional pada rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan berdasarkan bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan sang Prof. Naquib Attas, seseorang pakar sejarah dan peradaban Islam berdasarkan Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti jua peradaban, sebagaimana istilah Arab lainnya misalnya hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu dalam hal-hal yang ideal dalam kehidupan.

Konsep warga madani itu lahir sebagai output dari Festival Islam yg dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan sang ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan dalam Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto serta diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI nir lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yg sedang berkembang pesat serta memerlukan sarana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner menurut golongan Muslim supaya mendukung keinginannya sebagai presiden dalam tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan efek berdasarkan mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama menurut kalangan nasionalis yang mendirikan aneka macam LSM serta gerombolan Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. 

Mereka menyebarkan gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau rakyat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter terhadap hegemoni negara yg begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, serta para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga primer eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan menjadi unsur pertahanan serta keamanan saja namun jua mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik pada lembaga eksekutif, legislatif, juga yudikatif. Keterlibatannya pada politik sangat memilih. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan nir berjalan dan Orde Baru bermetamorfosis menjadi regim yg bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan wapres Habibie, yang jua ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu dalam aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu komite dengan tugas buat merumuskan serta mensosialisasikan konsep rakyat madani itu. Konsep rakyat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yang menekankan dalam stabilitas serta keamanan yang terbukti telah nir cocok lagi. 

Munculnya konsep warga madani menunjukkan intelektual muslim Melayu bisa menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terbaru, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep rakyat madani nir langsung terbentuk pada format seperti yg dikenal kini ini. Konsep masyarakat madani mempunyai rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil berdasarkan akumulasi pemikiran yg akhirnya menciptakan profile konsep normatif misalnya yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat berdasarkan proses pengaktualisasian yg bergerak maju menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).

Perumusan serta pengembangan konsep masyarakat madani memakai projecting back theory, yg berangkat berdasarkan sebuah hadits yg menyampaikan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan berukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk dalam insiden yg masih ada dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir pada Barat dengan rakyat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka merogoh model dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan menggunakan warga ideal pada konsep civil society. 

Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menerangkan di satu sisi, Islam memiliki kemampuan buat diinterpretasi ulang sinkron dengan perkembangan zaman, dan pada sisi lain, rakyat kota Madinah adalah proto-type masyarakat idel produk Islam yg sanggup dipersandingkan dengan rakyat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep rakyat madani dilakukan setelah teruji validitasnya berdasarkan landasan normatif (nass) berdasarkan asal utama Islam (al-Qur’an serta Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani 
Rasanya tidaklah hiperbola kalau kita menerjemahan civil society dengan warga madani, karena kehidupan warga Madinah pada bawah Nabi Muhammad SAW serta Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip pada civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan pandangan baru civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own sah code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: dua). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. 

Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat humanisme. Dalam QS dua: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh pada para malaikat bersujud kepada Adam (insan pertama) yang sudah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut menurut paham kemanusiaan ini, lalu di Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yg berangkat dari perkiraan bahwa insan dalam dasarnya baik sebagai akibatnya harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan kudus”. 

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seseorang ahli sejarah global, melihat bahwa sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya merupakan sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil berdasarkan sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan buat insan, … (QS tiga: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini benar-benar sangat sukses dan memiliki akibat yg sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam tiba, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka nir mau memeriksa ilmu-ilmu lain. Namun nir demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.” Dalam galat satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah pada orang berpengetahuan bila engkau nir mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr pada ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam sebagai kepercayaan universal tidak mengatur bentuk negara yg terkait sang konteks ruang dan waktu, serta Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya menjadi kepala negara Islam, disamping nir melontarkan ise suksesi yg tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam rakyat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi serta memperbaharuinya secara sedikit demi sedikit sesuai dengan psikologi insan karena tujuannya bukanlah membangun orde baru (a new sah order) akan tetapi buat mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan serta kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Nabi Muhammad sudah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan menggunakan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya serta heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin serta kebebasan berpikir semua warga rakyat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu jika dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yg tadinya buat mensistematiskan dan mempermudah pengajaran kepercayaan , akhirnya bisa sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir lantaran setiap terdapat pemikiran kreatif pribadi dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya menggunakan hak-hak asasi manusia, Islam misalnya yang tersebar pada literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) sudah berbagi terdapat 5 jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik masyarakat masyarakat dari tindakan badani pada luar ketentuan aturan, (dua) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah agama, (3) keselamatan keluarga serta keturunan, (4) keselamatan mal dan milik eksklusif pada luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu menerima dampak berdasarkan pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan kitab karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) dan M. Hidayatullah (India) yg berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke serta Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh berdasarkan pemikiran Islam. Locke waktu menjadi mahasiswa Oxford sangat putus harapan dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah serta kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke tentang problem-problem mengenai pemerintahan, kekuasaan serta kebebasan individu. 

Rousseau dalam Social Contract-nya pula tidak tanggal berdasarkan dampak Islam. Bahkan beliau secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yg kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, nir lepas berdasarkan dampak Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

Masyarakat Madani pada Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh serta berkembang dalam rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan perkiraan Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama berakibat politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru berakibat ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas buat mendukung acara pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yg sangat akbar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi warga buat memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan dalam aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik dampak positif jua dalam lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat sebagai pejabat presiden dalam tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang buruk dalam politik yg cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membangun Golkar menjadi suatu golongan (bukan partai) yang nir bersifat ideologis serta lebih mementingkan pada program. Kalau ditinjau kegunaannya maka Golkar adalah partai politik lantaran ikut kompetisi dalam pemilu 1971 serta nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 nir tanggal berdasarkan peranan militer yg memiliki jalur komando teritorial berdasarkan sentra sampai ke taraf kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi serta para teknokrat. 

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan kepala sehingga citra parpol sebagai menurun pada mata rakyat. Intervensi adalah suatu yang sangat wajar lantaran ke 2 partai politik PPP serta PDI mengalami kesulitan pada melakukan konsolidasi berbagai unsur yang membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi menjadi wadah penyaluran aspirasi masyarakat dan masyarakat sebagai apatis terhadap politik. 

Meskipun pembangunanisme telah membentuk nomor pertumbuhan ekeonomi sebanyak rata-rata 7% sampai tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun nomor kemiskinan masih nisbi tinggi, nomor pengangguran meningkat, serta yg tak kalah mengerikan merupakan pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, tetapi secara mikro kurang diraskan keuntungannya bahkan merugikan rakyat. Hal ini ditimbulkan ideologi developmentalisme yang sudah dielaborasi sebagai acara-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh serta warga untuk kepentingan kaum borjuis. 

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yg memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian serta kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari rakyat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori sang KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit buat melakukan hegemoni dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas pada pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh serta organisasi keagamaan ini bahkan lebih akbar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 mengenai Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan seluruh ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme serta birokratisasi di hampir semua aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi pada wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, serta sebagainya. Organisasi-organisasi tadi tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin juga penyusunan program-programnya, sehingga mereka nir mempunyai kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya perihal civil society pada Indonesia poly disuarakan sang kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini mampu dipahami karena pada masa tadi, NU merupakan komunitas yg nir sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam kiprah kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan tentang civil society yg dipahami menjadi warga non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan menggunakan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya merupakan Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan perihal civil society dalam NU diawali menggunakan momentum balik ke khittah 1926 pada tahun 1984 yg mengantarkan Gus Dur menjadi Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya pada herbi negara sebagai akibatnya beliau dikenal sebagai grup Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, menjadi dasar NU mendapat asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep warga madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal humanisme, sinkron dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yg berdasarkan dalam prinsip kesatuan (tawhid); (dua) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat pada memutuskan masalah baik politik juga kepercayaan ; dan (tiga) berita historis bahwa KH A. Wahid Hasyim menjadi galat seseorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Hubungan Masyarakat Madani serta Negara 
Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim mengakibatkan Amerika Serikat menjadi contoh berdasarkan bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut menggunakan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang aplikasi hukum (Azizi, 2000: 87). 

Kalau kita melihat secara jeli rakyat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya sahih jika kita ingin mewujudkan warga madani berati berakibat kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah misalnya yang terjadi pada Amerika. Kesan tersebut muncul lantaran konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara mutlak yg timbul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, buat mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48): 

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. 

Dari penerangan pada atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup 2 tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the persoalan of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait menggunakan tema kedua itu, yaitu;

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in terbaru liberalism.

Hegel serta Rousseau memandang negara terbaru lebih berdasarkan sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, lantaran negara terkini didirikan atas dasar persamaan semua rakyat negara, maka negara tidak hanya menjadi alat buat mencapai tujuan akhir tertentu beserta, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan adalah zenit menurut sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan dalam individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan 2 penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu pada tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik serta menciptakan civil society menjadi suatu kenyataan dalam dunia nilai dan agama. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon buat memperkuat pandangan baru demokrasi yang memiliki delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. 

Dari delapan karakteristik demokrasi yg adalah tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara memiliki tugas buat mengembangkan rakyat madani. 

Penggunaan istilah yang ke 2 berkaitan menggunakan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan , menjadi dampak moralitas Kristen pada peradaban modern. Moral diyakini sangat penting buat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yg diyakini Montesquieu serta Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan kiprah Tuhan yg dicermati sudah nir cocok lagi untuk global terbaru. Mereka yakin kepercayaan hanya berperan menjadi masa transisi antara dunia mitos dan global terkini.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) serta menampilkan wapres Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep warga madani itu. Konsep rakyat madani dikembangkan buat menggantikan kerangka berpikir lama yang menekankan pada stabilitas serta keamanan yg terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta dalam lepas 21 Mei 1998 sang tekanan berdasarkan gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yg otoriter. Gerakan Reformasi didukung sang negara-negara Barat yg menggulirkan konsep civil society menggunakan tema utama Hak Asasi Manusia (HAM). 

Presiden Habibie menerima dukungan berdasarkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure class menurut kalangan Islam, dimana dia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI adalah suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena terdapat mediator Habibie yg sangat dekat menggunakan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani adalah galat satu cara berdasarkan gerombolan ICMI untuk merebut imbas dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep rakyat madani menerima dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, serta media massa karena mereka seluruh merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi aturan, serta HAM.

Pengamat politik menurut UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, tetapi bagi rakyat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan warga madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan forum-forum demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yg efektif, yang mengklaim keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka serta partisipatoris.

Keteganggan pada Indonesia nir hanya pada tentang politik saja, namun diperparah menggunakan gejala desintegrasi bangsa terutama perkara Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yg telah mengabaikan ciri-karakteristik rakyat madani misalnya pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, serta pemerintahan yg sentralistis/mutlak. Sedangkan kerusuhan sosial yg seringkali membawa dilema SARA memperlihatkan bahwa masih banyak masyarakat yg buta aturan serta politik (menjadi prasyarat rakyat madani), disamping penegakkan hukum yg masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri menjadi penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main absolut-mutlakan yg dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membentuk kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yg tidak hanya berdasarkan dalam toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) pada Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), namun didasarkan dalam aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karenanya Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yg bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yg dibentuk dengan tujuan buat memupuk saling pengertian antar kepercayaan . Gus Dur, seperti gerombolan Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang dari agama tapi lebih dalam eksklusif, visi, kesederhanaan dan ketulusannya buat darma pada sesama (Effendi, 1999).

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah dilema mengenai prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yg dulu menjadi komunitas non-negara serta selalu sebagai kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tadi memerlukan identikasi mengenai peran apa yg akan dilakukan serta bagaimana NU memposisikan diri pada konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal bahwa timbulnya civil society dalam abad ke-18 dimaksudkan buat mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan sang negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: tiga). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya rakyat madani, dimana negara hanya berperan menjadi ‘polisi’ yang menjaga kemudian lintas kehidupan beragama menggunakan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

WTOBANK DUNIA DAN IMF KONSPIRASI PENYEBAB KEBANGKRUTAN NEGARA DUNIA KETIGA

WTO,Bank Dunia serta IMF, Konspirasi Penyebab Kebangkrutan Negara Dunia Ketiga 
Pemahaman terhadap globalisasi akan sebagai lebih gampang, jika kita mengingat dasar berdasarkan seluruh itu, yaitu Kapitalisme, atau nalar kapital (modal). Pertumbuhan serta perkembangan kapitalisme sepanjang sejarah ditunjang sang ideologi pasar bebas, yaitu kebutuhan terus menerus serta berkelanjutan akan ekspansi modal kapitalis ke segala tempat buat mencari pasar baru. 

Kapitalisme sepanjang sejarah telah mengoreksi dirinya sendiri demi efisiensi kapital. Krisis demi krisis merupakan melekat pada kapitalisme, sebagai output berdasarkan kontradiksi modal. Logika kapital bersifat liar serta tidak terkendali, bersifat anarkis. Lantaran itulah dalam dasarnya kapitalisme merupakan sebuah sistem yg anarkis. Kapitalisme nir mempercayai aturan serta batas-batas. Kalau ada aturan dibentuk, itu hanya buat memudahkan pertumbuhannya ke arah yg lebih akbar lagi, tapi bukan buat mengaturnya.

Perkembangan terakhir dari perluasan kapitalisme adalah privatisasi (proses swastanisasi) sebanyak-banyaknya serta pengubahan badan-badan publik sebagai badan bisnis partikelir berorientasi laba. Dan kini juga ketika yang penting menurut sebuah kapitalisme babak baru, yg melepaskan dirinya menurut kontrol negara, sebagaimana yg terjadi semenjak 1940an sampai dasa warsa 1980an. Bahkan terdapat yang menyebut kapitalisme misalnya ini sebagai “Kapitalisme Turbo”, yaitu akselerasi yang cepat dari perubahan struktural bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, terutama dengan meminggirkan negara dari pasar bebas, buat menjadi satu ekonomi dunia yg kita kenal dengan nama globalisasi. 

Globalisasi adalah mirip gelombang super besar yg menyapu higienis segala hal. Di dalamnya termasuk gelombang perdagangan global dan gelombang keuangan dunia. Globalisasi dicerminkan sang berbagai faktor yang semula berbeda-beda pasarnya yg lalu sebagai satu, seperti selera yang semakin seragam yang dibawakan sang media massa transnasional atau kuliner yang seragam, yang didapatkan sang perusahaan-perusahaan industri kuliner dunia. Semua perkembangan cepat dan seragam inilah yg memaksakan dilahirkannya badan baru yang bernama WTO (World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia). Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan output berdasarkan usaha penganut pasar bebas yang ingin lepas menurut kontrol negara, dan bahkan ingin menghapus kiprah negara sebagai seminimal mungkin. 

Para penganut kapitalisme memang sejak usang telah terbagi-bagi, yaitu antara yang menginginkan kapitalisme yang dikontrol oleh negara (penganut ekonomi klasik), menggunakan kapitalisme yang sebebas-bebasnya tanpa peran negara (penganut neo-liberal). 

Penganut ekonomi klasik menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan perorangan, yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan generik. Ide ini sangat tidak disukai sang kaum neo-liberal, yg galat satu prinsipnya merupakan “Aturan Pasar Bebas”, yaitu melepaskan semua ikatan yang dipaksakan oleh pemerintah supaya pasar bebas bisa bermain sepenuhnya. Pertentangan tadi saat ini diakhiri menggunakan kemenangan kaum neo-liberal, yang diwakili oleh 2 negara adikuasa, Amerika Serikat serta Inggris. Aliran neo-liberal biasa dikenal juga menjadi aliran “Kanan-Baru”.

Selain prinsip (1) “Aturan Pasar Bebas”, prinsip-prinsip lain neo-liberal merupakan (2) memotong pengeluaran publik buat pelayanan sosial, misalnya terhadap pendidikan serta kesehatan, pengurangan anggaran buat jaring pengaman sosial bagi orang miskin, serta seringkali pula pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, misalnya jembatan, jalan, air higienis. (3) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yg mampu mengurangi laba. (4) Privatisasi, menggunakan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor partikelir. Ini termasuk jua menjual bisnis pemerintah pada bidang perbankan, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan pula air. (5) Menghapus konsep “barang-barang publik”, dan menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, misalnya menyalahkan kaum miskin yang nir mempunyai pendidikan, agunan sosial, kesehatan serta lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri. 

Pandangan Neo-liberal inilah yang kini dipeluk oleh sebagian besar negara-negara maju serta banyak ekonom (ahli ekonomi) aliran primer di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Pada akhirnya, pandangan neo-liberal juga mewarnai sebuah badan akbar dunia yang sangat berkuasa kini , yaitu WTO.

Bank Dunia serta IMF
Sebagai pendatang baru, WTO tidak bisa mulus begitu saja mengatur dunia, bila sebelumnya tidak ada usaha-usaha perintisannya. Dan itulah tugas utama yang telah dikerjakan oleh Bank Dunia serta IMF (Dana Moneter Internasional). Bank Dunia yang semula hanya bertugas menjalankan upaya pemulihan pembangunan di Eropa paska-perang, kemudian telah memainkan upaya pendanaan proyek-proyek pembangunan yang sesuai dengan perluasan pasar bebas. 

Bank Dunia sebenarnya pula sudah memainkan peran sebagai “penjebak hutang”. Sebagai bankir, Bank Dunia telah sekaligus memainkan kiprah sebagai “Majikan”, yg menentukan taktik pembangunan yg ditempuh negara-negara Dunia Ketiga. Dengan demikian, dia memainkan peran ganda, yg dalam akhirnya memberi kekuasaan yg relatif buat mendikte perekonomian negara-negara tersebut. 

Semenjak krisis hutang Dunia Ketiga di tahun 1982, pada mana semakin poly hutang-hutang yg tidak sanggup dibayar, Bank Dunia telah menambahkan perangkat yang lebih kuat buat memaksakan banyak sekali rencana liberalisasi ekonomi, yaitu lewat Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP). Hal ini berkait pula dengan pasang naiknya neo-liberalisme lewat Reagan-Thatcherisme kala itu. SAP dalam dasarnya membawakan rencana-agenda neo-liberal, dengan memaksakan acara-acara mereka yg dikenal menjadi deregulasi serta privatisasi. Kita mengenal dampak paham ini pada Indonesia, sebagai deregulasi perbankan yg dimulai sejak tahun 1983 yg disertai menggunakan devaluasi rupiah (penurunan nilai mata tukar uang). Dengan banyak sekali macam paket penyesuaian struktural ini, sampai kini , Bank Dunia telah memainkan ‘penaklukan domestik’ agar sistem ekonomi nasional menjadi lebih mendukung bagi ekspansi pasar bebas. 

Bank Dunia mulai beroperasi pada tahun 1946. Dia berfungsi menjadi lembaga keuangan yang menghutangi uang bagi proyek-proyek pembangunan di banyak sekali negara buat memajukan ekonominya. Bunga yang diberikan nisbi lebih rendah ketimbang apabila negara-negara tersebut meminjam menurut bank komersial.

Bank Dunia menjadi mekanisme primer buat menempa contoh-model pembangunan paska-kemerdekaan bagi negara-negara Dunia Ketiga. Bank Dunia melakukan hal itu melalui hutang yg terikat dengan banyak sekali kebijakan yg mendorong semakin tersatukannya negara-negara Dunia Ketiga menggunakan pasar dunia. Hal itu jua dilakukan menggunakan cara mendorong peningkatan output bahan-bahan mentah dan impor peralatan teknologi baru yang dari berdasarkan Utara; baik di bidang pertanian, kehutanan, juga energi, serta sebagainya. Dengan demikian Bank Dunia nir hanya mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi nasional yang bersifat makro berdasarkan negara-negara paska-kolonial, melainkan menyebarkan juga sistem teknologi Utara ke Selatan (yg membawa kerusakan besar terhadap lingkungan hayati).

Bank Dunia (World Bank) yg aslinya bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD, bersama-sama menggunakan IMF, didirikan pada Bretton Woods, sebuah kota kecil pada negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, dalam bulan Juli 1944. Ia dibuat sang 44 negara yang dalam ketika itu bermaksud untuk membangun sebuah dunia yg damai dengan ekonominya yang makmur serta merata, dampak syok dua perang dunia.

Pertemuan Bretton Woods yang berlangsung dalam suasana untuk membentuk sebuah tatanan global yang damai dan makmur tadi, selain menciptakan Bank Dunia jua menyepakati berdirinya IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional). Kedua lembaga ini pada mulanya didirikan dengan tujuan membantu membangun pulang ekonomi Eropa sehabis kehancuran Perang Dunia II, yg kemudian diperluas menggunakan memberi pinjaman pembangunan kepada negara-negara Dunia Ketiga.

Peran Utama IMF adalah mengatur neraca pembayaran luar negeri berbagai negara, dengan menyediakan hutang (pinjaman), dengan memaksakan disiplin finansial (keuangan) tertentu terhadap negara-negara yang menghadapi masalah neraca pembayaran. Dana Bank Dunia serta IMF diperoleh dari negara-negara kaya yang ikut dalam pertemuan tersebut. Kedua lembaga keuangan internasional yang mempunyai kantor pusat di Washington DC ini merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kepentingan-kepentingannya sangat kuat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi politik Amerika Serikat yang merupakan penyumbang utama Bank Dunia serta IMF.

Bank Dunia serta IMF adalah dua dari tiga badan yang dibentuk untuk menangani persoalan peralihan dari era kolonial (penjajahan) ke era paska-kolonial. Badan yang ketiga adalah rejim GATT (General Agreement on Tariffs and Trade/Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan), yang telah diubah menjadi WTO (World Trade Organization), organisasi perdagangan super.

Sejalan dengan peran Bank Dunia serta IMF, GATT dimaksudkan untuk memajukan dan mengatur liberalisasi perdagangan dunia, yang telah memudahkan perluasan berbagai sektor di dalam unit ekonomi nasional, dan dengan demikian menjamin mengalirnya bahan baku dari Selatan/negara-negara berkembang ke Utara, serta mengalirnya barang-barang manufaktur dari Utara ke Selatan, maupun perluasan perdagangan di antara negara-negara Utara sendiri. Berbagai pemerintahan dari negara-negara Utara/maju kini sedang berupaya memperluas peran GATT (melalui berbagai perundingan tertutup di dalam Putaran Uruguay) untuk menyatukan kekuatan-kekuatan demi liberalisasi sektor-sektor jasa dan pertanian; demi penjaminan kebebasan investasi asing; dan untuk memperketat peraturan mengenai hak milik intelektual di Dunia Ketiga, demi keuntungan para pemegang hak paten, yang terutama adalah perusahaan-perusahaan transnasional.

Pada periode awal kehadirannya, uang Bank Dunia dipinjamkan terutama buat pemulihan pulang negara-negara Eropa paska Perang Dunia II, pada rangka Marshall Plan. Tetapi semenjak akhir 1960, poly pinjaman diberikan kepada negara-negara Afrika, Asia, serta Amerika Latin, sebagai bagian berdasarkan ekspansi pembangunan-isme (developmentalism). Pengerahan tenaga Amerika serta sekutu-sekutunya dalam negara-negara paska-kolonial ini dimulai dari suatu momentum bersejarah: Pidato Presiden AS Harry S. Truman, 20 Januari 1949. Sejak itu, dilancarkanlah skema-skema bagi penyatuan “daerah-wilayah terbelakang” ke pada intervensi Amerika. Bank Dunia adalah salah satu instrumen berdasarkan mesin perluasan developmentalism (pembangunan-isme) ini, yang bertugas meminjamkan uang untuk acara-program yg didesainnya.

Pada tahun-tahun terakhir ini, Bank Dunia serta IMF bekerja erat dalam perundingan dengan pemerintah-pemerintah Dunia Ketiga yang menghadapi masalah pembayaran hutang luar negeri. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan penjadwalan ulang pembayaran hutang luar negeri maupun dengan pemberikan pinjaman baru. Penjadwalan ulang dan pemberian pinjaman baru itu dilakukan dengan syarat bahwa pemerintah-pemerintah Dunia Ketiga tersebut memberlakukan paket kebijakan “penyesuaian struktural”, yang melibatkan pembaruan makro-ekonomi yang mengarahkan ekonomi ke arah produksi ekspor, liberalisasi impor, dan pemotongan drastis dalam pembelanjaan negara, termasuk subsidi bagi kesejahteraan umum, pendidikan maupun pangan.

Program Penyesuaian Struktural (SAP)
Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP) merupakan upaya Bank Dunia buat menyelamatkan hutang yang telah diberikannya kepada negara-negara Dunia Ketiga. Structural Adjustment Program (SAP) pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang diperkenalkan Bank Dunia untuk memaksa negara-negara yang mendapat bantuan hutang untuk lebih membuka pasar pada negeri mereka, menekankan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang-barang yg sanggup pada ekspor, mengurangi subsidi pemerintah terhadap sektor publik seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Di Afrika dan Amerika Latin, Program ini membentuk kemiskinan pada kalangan warga jelata.

Bank Dunia mendefinisikan penyesuaian struktural (structural adjustment) menjadi “reformasi kebijakan serta kelembagaan yg meliputi ekonomi mikro (seperti pajak dan tarif), ekonomi makro (kebijakan fiskal) serta hegemoni kelembagaan; perubahan-perubahan ini dirancang buat memperbaiki alokasi asal daya, menaikkan efisiensi ekonomi, memperluas potensi pertumbuhan dan menaikkan kelenturan terhadap goncangan-goncangan ekonomi”.

Di Afrika, beban hutang yang berat telah mengakibatkan dijalankannya sejumlah besar Program Penyesuaian Struktural. Paket-paket yang dirancang oleh Bank Dunia serta IMF (International Monetary Fund) selama periode 1980-an ini, diterapkan oleh banyak negara Afrika Sub-Sahara sebagai sebuah persyaratan untuk keberlangsungan bantuan keuangan. Dasar pikiran SAP adalah bahwa sejumlah faktor ekonomi harus dirubah dalam suatu negara tertentu untuk menjamin kemampuan ekonomi yang lebih baik dengan maksud untuk membayar kembali hutang dan bunganya, mempunyai neraca pembayaran yang lebih baik, dan mencapai keadaan ekonomi yang lebih sehat secara umum. 

Negara-negara yang menolak langkah-langkah yang disarankan oleh Bank Dunia serta IMF tidak akan bisa memperoleh bantuan ekonomi lagi. Dengan kata lain, cara bagaimana beban hutang yang berat dan problem-problem ekonomi lain ditangani bukan lagi merupakan persoalan prioritas nasional atau bahkan keputusan nasional. Melalui Program Penyesuaian Struktural, Bank Dunia serta IMF mengambil alih tugas-tugas otoritas nasional dan mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi yang menurut mereka akan memecahkan problem hutang khususnya, dan problem-problem ekonomi suatu negara pada umumnya.

SAP umumnya ditujukan dalam faktor-faktor ekonomi suatu negara, tetapi impak menurut tindakan-tindakan yang diambil sangat mungkin bersifat politik, sosial, dan budaya. Sampai sekarang, IMF tidak mau melihat pengaruh-impak ini. Ironisnya, mereka mengklaim ini akan mengintervensi persoalan-masalah domestik suatu negara. 

Sementara paket penyesuaian struktural menguntungkan bagi para kreditornya, bagaimana halnya dengan para negara penghutangnya (debitor)? Ternyata negara-negara penghutang nir begitu berhasil dalam menyehatkan ekonominya juga melepaskan diri dari duduk perkara hutangnya. 

Biaya sosial dari penerapan kebijakan-kebijakan IMF serta Bank Dunia sangat tinggi, terutama bagi kaum miskin. Kaum miskin dalam konteks ini adalah para pemukim perkotaan menengah dan bawah, petani-petani kecil serta tanpa tanah, warga nelayan, nomad (kaum pengembara), kelompok-grup warga adat, dan lain-lain. Anak-anak dalam komunitas semacam itu bahkan lebih rentan lagi.

Efek-impak deflasi (devaluasi dan inflasi) berdasarkan kebijakan-kebijakan ini sudah menaikkan pengangguran serta menurunkan upah riil. Sebagai misalnya, selama periode 1980-an, pendapatan rata-homogen di kebanyakan negara Amerika Latin turun lebih kurang 10 %, serta di Afrika Sub Sahara lebih kurang 20 %. Bagi kaum miskin, hal ini tidak terelakkan lagi menaikkan malnutrisi (kekurangan gizi). 

Penyesuaian struktural serta kebijakan-kebijakan yg terkait menggunakan pasar bebas yang dilaksanakan mula-mula dalam awal 1980-an adalah faktor utama yang memicu kenaikan cepat pada ketidakmerataan secara dunia. Satu studi UNCTAD yang mencakup 124 negara menampakan bahwa pembagian pendapatan dari 20 % penduduk terkaya dunia semakin tinggi dari 69 menjadi 83 persen antara tahun 1965 dan 1990. Kebijakan-kebijakan penyesuaian adalah faktor primer di kembali konsentrasi pendapatan global secara cepat dalam tahun-tahun terakhir. Contoh yang paling ekstrem bisa dipandang pada tahun 1998. Dalam tahun tadi, Bill Gates, pendiri primer perusahaan komputer Microsoft mempunyai kekayaan bersih $90 milyar; Warren Buffet, memiliki $36 milyar; serta galat satu pendiri Microsoft, Paul Allen, punya kekayaan bersih $30 milyar. Bila kekayaan bersih ketiga orang ini digabungkan, akan melebihi pendapatan campuran total dari 600 juta orang yg hidup pada 48 negara-negara kurang berkembang, yg menjadi target program-acara penyesuaian struktural. 

Program penyesuaian struktural pula adalah penyebab primer tidak adanya kemajuan dalam menghapus kemiskinan. Jumlah orang di seluruh global yang hidup pada kemiskinan yakni mereka yang hayati kurang dari satu dollar dalam sehari semakin tinggi berdasarkan 1,1 milyar orang pada tahun 1985 menjadi 1,2 milyar dalam tahun 1998, serta diperkirakan mencapai 1,tiga milyar dalam tahun 2000. Menurut studi terakhir Bank Dunia sendiri, jumlah absolut orang yg hidup dalam kemiskinan meningkat pada dasa warsa 1990-an berada pada Eropa Timur, Asia Selatan, Amerika Latin serta Karibia, serta Afrika sub-Sahara yg semuanya adalah tempat-tempat pada mana acara penyesuaian struktural diberlakukan. 

Demikianlah cara kerja sistem neo-liberal, dengan tiga porosnya: WTO, Bank Dunia serta IMF. Ini adalah puncak dari apa yang dicita-citakan ketika pertama kali badan-badan ini dibentuk dalam pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Ketiga badan inilah yang saat ini merupakan instrumen pokok dari kapitalisme global. Bila kemarin, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa dan ditekan untuk meniru dan mengikuti model pembangunanisme yang didesain dan diarahkan oleh Bank Dunia serta IMF, maka kini mereka dipaksa dan ditekan untuk menjadi hamba sahaya dan pengekor saja dari WTO. Dunia Ketiga kembali menjadi budak kaum neo-kolonialisme-imperialis, secara lebih efektif dan sistematis. 

Ketidakadilan yg mendasar menurut situasi ini adalah bahwa mereka yang paling sedikit bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan politik, ekonomi dan komersial yang menyebabkan krisis hutang, serta mereka yang paling sedikit mendapatkan laba menurut pinjaman-pinjaman yg diberikan, yakni kaum miskin, merupakan mereka yg paling menderita akibat pengaruh kebijakan penyesuaian struktural, dan paling poly memikul beban dari solusi-solusi yg diperkenalkan Bank Dunia/IMF.

Seringkali 3 perempat dari pendapatan kaum sangat miskin dibelanjakan buat makanan/pangan; serta sisanya buat bahan bakar serta air, perumahan dan sandang, ongkos angkutan serta pelayanan kesehatan. Akibat mutilasi pengeluaran pada sektor publik, khususnya buat pangan, kesehatan serta pendidikan, yang dilakukan pemerintah-pemerintah dampak tekanan Structural Adjusment, pemotongan sebesar 25% dalam pendapatan riil berarti hayati tanpa pemenuhan-pemenuhan dasar.

Layanan-layanan yang berkaitan menggunakan kepentingan rakyat yang lebih kaya dan lebih bertenaga misalnya rumahsakit-tempat tinggal sakit besar , universitas-universitas, penerbangan nasional, projek-projek pembangunan yang berprestise, dan militer nir dibebani mutilasi pengeluaran sektor publik yang proporsional. Dengan beberapa pengecualian, layanan-layanan yg dipotong secara radikal adalah layanan-layanan kesehatan, pendidikan dasar serta subsidi makanan serta bahan bakar layanan-layanan yg sangat diharapkan oleh grup miskin dan sulit mereka mendapatkan gantinya dengan bantuan partikelir.

Selain berdasarkan kasus ketidakadilan yang fundamental ini, pemikulan beban kepada kaum miskin nir akan memperbaiki kondisi ekonomi. Lantaran penurunan pada standar pendidikan serta kesehatan angkatan kerja adalah penurunan dalam investasi buat pertumbuhan ekonomi di masa depan.