DEMOCRATIC GOVERNANCE DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Democratic Governance Dalam Perumusan Kebijakan Publik
Sebagai negara dengan sistem demokratis, penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dilakukan melalui kebijakan publik yang legitimate dan berasal dari mandat masyarakat. Kebijakan tadi dimaksudkan buat mendayagunakan aneka macam asal daya negara bagi kesejahteraan rakyat. Keberadaan level kebijakan ini, selalu ditandai menggunakan adanya relasi badan legislatif serta eksekutif. Disini, umumnya berbagai keputusan mengenai rapikan kehidupan warga yg diinginkan, dimusyawarahkan serta dirumuskan. Artinya, perumusan kebijakan tadi dilaksanakan melalui proses bersama dengan aneka macam stakeholders yg terkait menggunakan kebijakan tadi. Analisis pada tingkatan perumusan kebijakan difokuskan dalam bagaimana kebijakan dibentuk sampai menggunakan munculnya suatu ketetapan kebijakan. Persoalan yg krusial dalam tahapan perumusan adalah liputan yang akurat tentang perkara yg dihadapi, sehingga kebijakan yang diambil sesuai menggunakan kepentingan publik.
Perumusan kebijakan yg dilakukan oleh Pemerintah dalam era reformasi saat ini, sangat tidak selaras dengan proses perumusan kebijakan di era orde baru. Saat ini rakyat menuntut adanya perubahan pada sistem perumusan kebijakan. Perumusan suatu kebijakan publik yg baik wajib berdasarkan pada tata pemerintahan yang baik dan demokratis (Democratic Governance). Makna demokratis disini merupakan demokrasi yang berkualitas, yang dapat dicermati berdasarkan, (a) hasil (quality of result), yg dirasakan keuntungannya secara eksklusif sang warga ; (b) Isi (quality of contents), diarahkan bagi kepentingan warga ; (c) prosedur (procedural quality), dimana proses perumusannya melibatkan partisipasi warga . (Eko Prasojo, 2010). Terdapat dua prinsip dasar dari kebiasaan demokrasi dimaksud yaitu: (a) Berjalannya kontrol warga terhadap kebijakan publik serta penghasil kebijakan; (b) Kesetaraan antar masyarakat pada relasinya dengan proses perumusan kebijakan publik. Pemahaman ini mencerminkan dinamika pada tata pemerintahan, yg membawa perubahan paradigma pemerintahan pada paradigma rapikan pemerintahan yang baik serta demokratis (Democratic Governance). Democratic Governance merupakan sebuah prosedur, proses, hubungan serta kebiasaan yg kompleks, dimana pencapaian tujuan pemerintahan dilakukan melalui sistem dan proses perumusan kebijakan yang partisipatif, transparan, akuntabel, penegakan aturan aturan. Democratic governance diidentifikasi menjadi,“sebuah praktek kehidupan demokrasi terbaru yang diselenggarakan secara profesional dan fokus pada governance.” Artinya perwujudan democratic governance nir sanggup dipisahkan menggunakan penerapan good governance.
Penerapan democratic governance pada proses perumusan kebijakan, adalah penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan norma demokrasi yang sekaligus adalah prinsip dasar dari good governance. (James G. March, Johan P. Olsen,1995). Dalam governance proses perumusan kebijakan dilakukan secara kolektif, maksudnya oleh aktor yang bersifat plural (pemerintah, partikelir serta civil society) tidak ada sistem supervisi yang bersifat formal, karena posisi aktor sejajar.
Ada sejumlah kasus dasar yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik. Pertama, Kebijakan yg didapatkan sering tidak implementatif dan sebagai nir efektif bagi solusi terhadap konflik yang dihadapi masyarakat.
Kedua, Faktanya penerapan democratic governance pada proses perumusan kebijakan belum optimal. Proses perumusan bersifat Elitis, sebagai akibatnya nir menyentuh kebutuhan akar rumput. Kurang adanya komunikasi yg baik antara Pemerintah dan DPR, terkait dengan kecenderungan pandangan tentang substansi kebijakan. Ketidaksamaan pandangan atas konten dan tujuan suatu kebijakan itu dibuat, berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan. Disamping itu banyak sekali data serta keterangan terkait substansi kebijakan sulit diperoleh, nir seksama serta bhineka.
Ketiga, Tingkat penerapan faktor akuntabilitas menjadi keliru satu prasyarat dalam democratic governance masih sulit diimplementasikan. Berpikir sektoral, adalah keliru satu kelemahan dalam perumusan kebijakan publik. Mekanisme dan prosedur, tujuan, target yang sudah ditetapkan acapkali nir dimaknai menjadi pedoman yg harus dipatuhi, demi menghasilkan kebijakan yang disepakati. Jangka waktu bagi perumusan kebijakan sudah ditetapkan, tetapi nir secara konsisten dilaksanakan.
Keempat, Isu yang diidentifikasi seringkali tidak didukung menggunakan reasoning yang memadai, sebagai akibatnya keuntungannya bagi kehidupan rakyat tidak tampak jelas. Tulisan ini secara spesifik akan membahas banyak sekali duduk perkara democratic governance pada perumusan kebijakan dalam level negara. Persoalan democratic governance dalam ranah politik dan ranah ekonomi hanya akan dibahas secara singkat buat menjelaskan keterkaitannya menggunakan dilema democratic governance dalam perumusan kebijakan.
Suatu kebijakan publik dibuat bukan untuk kepentingan politis, misalnya buat mempertahankan status quo penghasil kebijakan, namun ditujukan bagi peningkatan pelayanan publik serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam perumusan kebijakan yg perlu ditekankan adalah pentingnya kiprah Institusi pemerintah, yang demokratis serta berkualitas bagi penerapan democratic governance. Proses perumusan yg dilakukan melalui proses serta sistem democratic governance akan lebih membuat manfaat, lantaran akan membantu memastikan pemerintahan yg responsif serta akuntabel terhadap rakyat. Pemerintah menyediakan mekanisme yang membangun partisipasi dan akuntabilitas. Dalam proses dan sistemnya, memungkinkan konten kebijakan tadi mengakomodasi kepentingan yg berbeda-beda dengan pelibatan warga , buat mendapatkan opsi kebijakan yg disepakati.
Terdapat beberapa prinsip dasar yg wajib diperhatikan, bagi penerapan democratic governance yaitu, koordinasi antar lembaga-forum penyelenggara pemerintahan dan keterlibatan semua stake holders pada proses perumusan kebijakan publik. Penyelenggaraan democratic governance menuntut perumusan kebijakan dilaksanakan secara sinergi diantara forum pemerintah yang mempunyai tingkat kesejajaran, namun saling berkoordinasi, mempunyai independensi, bisa saling mengawasi menurut prinsip chekcs and balances. Kuncinya adalah adanya difusi kekuasaan diantara badan-badan. Kekuasaan tidak menjadi monopoli sentra, namun menyebar pada aneka macam asal yg beragam, sebagai akibatnya kekuasaan dilaksanakan secara kolektif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Sejarah mencatat, dalam kurun saat sebelum era reformasi, proses perumusan kebijakan dalam konteks penetapan konten kebijakan dan manajemen pemerintahan bersifat sentralistik, elitis, otoriter, serta relatif tertutup terhadap akses publik. Dalam kondisi demikian, sistem pertanggungjawaban menjadi semu hanya buat kalangan terbatas dan bersifat formalistik. Sistem akuntabilitas, transparansi serta partisipasi publik nir berkembang. Sejak era reformasi tahun 1998, tuntutan terhadap tata pemerintahan melalui perumusan kebijakan publik wajib dilakukan dengan menggunakan pendekatan transparansi, akuntabilitas, responsif, adil serta membuka akses publik sebagai perwujudan demokrasi.
Setidaknya terdapat 3 tuntutan reformasi terhadap aspek tatanan kehidupan berbangsa serta bernegara, yaitu; (i) demokratisasi, (ii) desentralisasi, dan (iii) pembentukan pemerintahan yg higienis. Untuk itu diharapkan kerangka berpikir baru dimana setiap stakeholders dapat melakukan aktifitas, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan terutama yg terkait langsung menggunakan publik menjadi stakeholders. Mengapa hal ini krusial? Lantaran para perumus kebijakan acapkali nir “well inform” tentang aneka macam persoalan yang terkait dengan kebijakan yg akan dirumuskan. Untuk itu penting bentuk-bentuk partisipasi warga , kelompok krusial rakyat dan tokoh warga lainnya, khususnya yang lebih mengetahui serta dekat menggunakan kebutuhan warga , sebagai akibatnya kebijakan menjadi tepat, efektif serta efisien.
Perubahan sistem, tuntutan dalam berbagai tatanan pemerintahan, memerlukan perubahan mind set dan culture set berdasarkan para perumus kebijakan. Manajemen pemerintahan harus berubah dengan menerapkan prinsip-prinsip democratic governance yang berjalan secara bergerak maju. Kebijakan publik yang ditetapkan wajib dapat menjawab seluruh tantangan yg ada serta perubahan lingkungan. Kualitas kebijakan publik sangat ditentukan oleh berbagai faktor yg saling mensugesti dalam proses perumusan kebijakan itu sendiri. Faktor-faktor tadi bisa diklasifikasikan kedalam lima faktor primer, yaitu; faktor budaya, faktor organisasi dan manajemen, faktor individu, faktor ekonomi dan faktor politik.
Faktor Budaya
Perumusan kebijakan dilakukan melalui sebuah proses. Pada prosesnya melibatkan berbagai faktor khususnya faktor budaya. Pada konteks partisipasi, sebagian warga masih memiliki pemikiran sederhana “budaya lapang dada” serta nir merasa perlu ikut-ikutan dalam urusan Pemerintah. Paradigma ini perlu diubah. Lantaran partisipasi warga dalam perumusan kebijakan publik amat krusial. Dalam democratic governance Pemerintah memiliki kewajiban membangun masyarakat, menguatkan rakyat supaya mampu berkontribusi dalam perumusan kebijakan publik. Apabila nir, maka prinsip partisipatif tak jarang dimanfaatkan buat melegalisasi sebuah mekanisme yg mengakomodasi kepentingan tertentu. Untuk melahirkan sebuah kebijakan publik pada proses perumusannya kerap diwarnai menggunakan banyak sekali bentuk “ transaksional”. Budaya terimakasih sebagai alasan bagi pemberi bantuan gratis yg ketika ini dikategorikan sebagai gratifikasi. Bentuk defleksi yg dianggap biasa tersebut diidentifikasi masih terus berjalan sampai saat ini.
Budaya “ewuh pekewuh” ternyata jua masih nyata ter-refleksikan dalam perilaku serta pandangan aktor perumus kebijakan. Dengan dalih membantu “kerabat” atau kepentingan lingkungan terdekat. Sikap ini acapkali menciptakan ruang “koruptif serta kongkalikong ”. Disamping itu warga tertentu kerapkali memberikan apresiasi dan bentuk kehormatan kepada “orang kuat” secara finansial. Tanpa merasa berkewajiban untuk ikut memantau darimana asal kekayaan tadi, (masih tabu). Budaya inilah yang seharusnya di-reduksi melalui banyak sekali bentuk pendidikan politik rakyat, kepedulian, aneka macam peraturan, mekanisme juga ketegasan pada penegakannya.
Faktor Organisasi dan manajemen
Melihat Bentuk pertama kebijakan publik merupakan peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara sah formal. Maka setiap peraturan mulai menurut taraf sentra atau nasional hingga tingkat pemerintahan terkecil yaitu kelurahan adalah kebijakan publik. Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Per- UU-an sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 12 tahun 2011, dalam Pasal 7 UU tadi menyatakan jenis serta hierarki peraturan perundangan yaitu:
(a). Undang-undang Dasar RI 1945
(b). Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti UU
(c). Peraturan Pemerintah
(d) Peraturan Presiden
(e). Peraturan Daerah.
Proses perumusan dalam taraf kebijakan tertentu, penetapannya dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dengan DPR. Pemerintah diwakili oleh Menteri terkait, sedangkan DPR dilaksanakan oleh Komisi-komisi, campuran komisi atau Pansus. Mekanisme perumusan diatur melalui UU Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD-3 serta peraturan Tata Tertib DPR, yang ketika ini dilakukan melalui dua (2) tahapan yaitu; persiapan serta tahapan pada internal Pemerintah sampai dengan disampaikannya amanat presiden pada DPR menjadi pengantar RUU tadi,serta sebaliknya bila RUU tadi dari DPR serta termin ke 2 merupakan pembahasan yang dilakukan DPR hingga disahkan menjadi UU melalui tahapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRRI sebagai berikut ;
Secara spesifik bagi proses perumusan kebijakan pada DPR telah ditetapkan target output dan sasaran saat bagi solusinya. Bagi Pemerintah serta DPR, sasaran kebijakan (UU) ditetapkan melalui “Prolegnas”. Prolegnas merupakan instrument perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis yang memuat daftar RUU yang akan dibahas DPR beserta Pemerintah pada kurun ketika lima(lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan prolegnas prioritas. Pada proses perumusannya diatur pada jangka ketika paling usang dua (2) kali masa sidang, bisa diperpanjang dengan permintaan, buat jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Tetapi untuk mencapai target hasil juga waktu tadi nir mudah. Faktanya sasaran RUU yang telah ditetapkan sang DPR dan Pemerintah belum pernah tercapai. Dari sejumlah 257 RUU pada prolegnas 2010-2014, jumlah capaian sampai menggunakan waktu ini adalah 75 UU. Dan menurut 75 UU tersebut terdapat pasal-pasal yang yudicial review sang MK dalam tahun 2013 terdapat 150 kasus. Sementara itu setidaknya 19 RUU dalam proses perumusannya waktu ini telah melebihi 4 (empat kali) masa sidang buat perpanjangan waktu.
Itulah sebabnya penerapan Democratic governance, sangat dituntut serta ditekankan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui perumusan kebijakan. Lantaran dalam democratic governance terdapat 4 faktor kunci yang krusial buat diimplementasikan yaitu, partisipasi, transparansi, aturan aturan, serta akuntabilitas, Prinsip ini seharusnya secara konsisten menjadi dasar bagi perumusan kebijakan. Tujuannya merupakan buat menaikkan pelayanan publik bagi kesejahteraan rakyat. Perlu dikembangkan interaksi antara masyarakat serta perumus kebijakan.
Hal ini dimaksudkan buat membentuk transparansi dan nilai-nilai dasar kinerja pada institusi perumus kebijakan. Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban yang jelas serta output yg measurable bagi perumus kebijakan, sedangkan transparansi merupakan terbukanya proses formulasi kebijakan publik bagi partisipasi warga . Oleh Bryan dan White, partisipasi hanya dicermati menjadi sesuatu yg dilakukan secara politis semata, sebagai pemungutan bunyi (pemilu), keanggotaan pada partai, aktivitas pada serikat sukarela dan gerakan protes serta kegiatan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, Joan Nelson mengatakan, partisipasi politis ini dapat dibagi pada 2 arena, yakni partisipasi horisontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horisontal, melibatkan rakyat secara kolektif buat mensugesti perumusan kebijakan. Sedangkan partisipasi vertikal terjadi waktu anggota warga membuatkan hubungan tertentu menggunakan kelompok elit serta pejabat penentu kebijakan, yg mendatangkan manfaat bagi kepentingan ke 2 belah pihak.
Kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yg diusulkan seorang, gerombolan , atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, menggunakan ancaman serta peluang yang terdapat. Kebijakan yg diusulkan tadi ditujukan buat memanfaatkan potensi sekaligus hambatan yg terdapat pada rangka mencapai tujuan tertentu (Carl I.friedrick,1963,79).
Sementara kebijakan publik yg terbaik adalah yg dapat mendorong setiap warga rakyat buat membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan kedalam pola kebergantungan (Michael E. Porter, 1998). Karena keunggulan kompetitif menurut setiap negara ditentukan oleh seberapa bisa negara tersebut menciptakan lingkungan yg menumbuhkan daya saing menurut setiap aktor didalamnya pada upaya pencapaian tujuan nasional. Dalam hal ini Pemerintah berperan menjadi Steering rather than rowing, yang bisa dimaknai tugas krusial pemerintah lebih bersifat mengarahkan salahsatunya melalui perumusan kebijakan publik bukan rowing atau mengayuh, kegitan mengayuh bisa dilakukan oleh swasta atau masyarakat (David Osborne dan Ted Gaebler, 2002.)
Dari seluruh pandangan tersebut, kiprah serta posisi pemerintah sangat akbar. Sementara itu pada perumusan kebijakan publik, konsistensi buat menuntaskan dilema publik merupakan sesuatu yang penting yang wajib sebagai perhatian. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan yg ditujukan buat:
a. Melihat sejauhmana sisi kebijakan publik bisa memuat nilai-nilai serta kepentingan publik khususnya gerombolan target.
b. Mengkritisi perumusan kebijakan publik yang menyangkut, apakah kebijakan tadi ditetapkan secara demokratis, transparan, dan akuntabel dan bagaimana kiprah para aktor dan stakeholder pada perumusan kebijakan.
c. Mengidentifikasi apa efek dari suatu kebijakan publik bagi individu, komunitas, serta rakyat, serta pemerintah. (Riant Nugroho, 2007).
Karena lingkup kegiatan perumusan kebijakan yang luas serta kompleks, diharapkan system yang menuntun serta sekaligus mendukung proses perumusannya, perlu ada mekanisme monitoring serta evaluasi. Evaluasi lazimnya dimaksudkan buat menilai sejauhmana efektifitas suatu kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada publik menjadi konstituen. Evaluasi dibutuhkan buat melihat kesenjangan antara “harapan” serta “ fenomena yang sebagai keliru satu bentuk pertimbangan bagi perumusan kebijakan berikutnya.
Menelaah perumusan kebijakan pada proses serta penetapan kontennya dilakukan melalui tahapan baik proses pada ranah politik dan teknokratik. Sehingga baik proses serta kontennya adalah hasil sharing ke 2 institusi, dan jua institusi – institusi terkait lainnya. Pada tahapan dimanapun proses dan konten kebijakan sangat krusial buat mempunyai serangkaian nilai-nilai kebijakan yg sama. Nilai-nilai dimaksud antara lain: nation-building, demokratisasi, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law, yg keseluruhannya ditujukan kepada kesejahteraan masyarakat.
Faktor Individu
Proses perumusan kebijakan publik adalah serangkaian aktifitas intelektual yg dilakukan didalam proses kegiatan yg bersifat politis. Aktifitas politis tersebut divisualisasikan menjadi serangkaian tahap yang saling bergantung, yg diatur berdasarkan urutan ketika yaitu nampak dalam serangkaian aktivitas yang meliputi identifikasi konflik, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan serta penilaian kebijakan. Pada setiap tahapannya mencerminkan kegiatan individu perumus kebijakan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang saat. Sebagai perumus kebijakan, anggota DPR memiliki beban moril buat memperjuangkan kepentingan politik partainya serta kebutuhan daerah pemilihannya. Kompleksitas konflik yg dijumpai pada proses perumusan kebijakan adalah problem yang sangat mempengaruhi kualitas serta sekaligus pencapaian sasaran kebijakan yang dihasilkan. Dinamika posisi serta rekanan antara para perumus kebijakan sebagai individu maupun institusi DPR dan Pemerintah menjadi pemilik kewenangan untuk merumuskan kebijakan publik memilih konten kebijakan yang ditetapkan. Faktor individu yang membawa kepentingan masing-masing institusi maupun individu mempunyai kecenderungan untuk diakomodasi. Apabila nir maka perumusan kebijakan akan mengalami “dead lock” Kondisi ini acapkali menimbulkan konvensi yg “saling tahu” untuk menetapkan sebuah kebijakan yang menjadi nir efektif.
Faktor pentingnya adalah bagaimana mempertemukan kepentingan para aktor perumus kebijakan tadi, baik pada sisi eksekutif juga legislatif. Maka harus ada perspektif yang sama terhadap perseteruan, tujuan kebijakan serta komitmen politik diantara para aktor perumus kebijakan. Perlu kontrol masyarakat terhadap proses perumusan kebijakan menjadi penerapan prinsip-prinsip Democratic Governance. Sejauh ini peran masyarakat lebih banyak diwakili oleh elit politik serta massa.
Faktor Ekonomi serta Faktor Politik
Meski nir secara tertulis, dalam dasarnya pada proses perumusan kebijakan publik masih ada berbagai kepentingan ekonomi maupun politik. Kedua faktor ini tak jarang sebagai pertimbangan primer serta sangat mensugesti proses serta konten kebijakan publik. Misi politik dari para perumus kebijakan nir bisa dihindari. Pemahaman mengenai kebijakan publik pula mensugesti sikap para perumus kebijakan. Aktor perumus kebijakan menjadi bagian berdasarkan sebuah system, mempunyai self interest. DPR yg memiliki kekuasaan membangun kebijakan (UU) sinkron konstitusi, sekaligus memiliki fungsi representasi, sehingga harus menomor-satukan kepentingan politik masyarakat di Dapilnya. Sedangkan Pemerintah sering memakai azaz rasionalitas menggunakan melakukan kalkulasi atas kemampuan keuangan negara menjadi konsekuensi ditetapkannya suatu kebijakan.
Perdebatan tersebut tercermin pada pandangan-pandangan yg disampaikan pada proses perumusan kebijakan publik. Pemerintah yang umumnya mempunyai data serta fakta yg relatif, ad interim DPR acapkali kesulitan menerima data serta keterangan sejenis yang akurat. Sayangnya semua data dan informasi yang ada belum dikomunikasikan menggunakan baik akurasinya juga valuenya bagi kebijakan yang akan dirumuskan beserta.
Pada proses juga kontennya dalam perumusan kebijakan publik menghadapi kesulitan dengan menerapkan democratic goverance, antara lain: (1) sulitnya memperoleh fakta yg cukup, bukti-bukti yg terdapat sulit disimpulkan; (dua) adanya banyak sekali kepentingan yang bhineka antar perumus kebijakan yg menghipnotis pilihan tindakan yg berbeda-beda pula; (tiga) imbas kebijakan yang sulit dikenali; dan (4) proses perumusan kebijakan tidak dipahami menggunakan sahih sang para perumus kebijakan (Caiden, 1971). Sulitnya menerima keterangan seringkali dipakai sang pihak-pihak yg berkepentingan menggunakan kebijakan sebagai ajang “bargaining” menggunakan para perumus kebijakan. Hal inilah yg seharusnya dihindari. Pemahaman terhadap modal sosial serta ekonomi yg diperlukan sang aktor perumus kebijakan, sebagai kesempatan emas bagi para rent seeking buat memanfaatkannya bagi kepentingan eksklusif dan kelompoknya. Maka putaran kepentingan yang dibawa tidak terbatas pada kepentingan politik buat mempertahankan kekuasaan, tetapi juga pada faktor ekonomi. Hubungan yang bersifat transaksional ini mensugesti konten kebijakan yg berpihak dalam kelompok tertentu.
Langkah Reformasi Birokrasi dan Reformasi Politik
Apa yang wajib dilakukan buat menaikkan kualitas kebijakan publik, guna mendukung keberhasilan pembangunan . Terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para perumus kebijakan.
Kemauan Politik serta Komitmen Politik.
Penting bagi Pemerintah terus melakukan langkah Reformasi Birokrasi dan DPR memotori aplikasi Reformasi Politik. Gerakan reformasi ini perlu didukung sang kemauan serta komitmen politik yang akbar dari seluruh aktor perumus kebijakan. Reformasi Birokrasi dan reformasi politik berjalan secara in-line dan disadari sebagai titik penting pada pembangunan bangsa. Untuk itu harus menjadi kekuatan tekad semua komponen bangsa. Lemahnya komitmen politik para perumus kebijakan buat melakukan reform terhadap tatanan politik merupakan galat satu sebab kegagalan reformasi dimaksud pada mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik serta demokratis. Democratic governance, mengharuskan proses perumusan kebijakan publik didominasi sang nilai-nilai dasar yg baru buat melaksanakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law yang dilandaskan dalam kepentingan umum. Lantaran itu proses perumusan kebijakan wajib didahului menggunakan perumusan permasalahan sebagai bahan untuk menentukan forecasting bagi konten kebijakan yang tepat .
Kebijakan publik yg dikembangkan oleh forum serta pejabat pemerintah semestinya memperhatikan dampak serta implikasinya, yaitu: (Anderson, 1979, hal.7).
a) Selalu mempunyai tujuan atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan serta berisi tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.
b) Merupakan sesuatu yg dilakukan atau menyatakan sahih akan dilakukan sang pemerintah.
c) Bersifat positif, yakni bentuk tindakan pemerintah buat mengatasi suatu kasus.
d) Didasarkan pada aturan hukum dan wewenang yg bertujuan buat mempertinggi kesejahteraan rakyat.
Kebijakan publik pada bentuknya yang positif, dibentuk berdasarkan hukum dan kewenangan eksklusif. Maka kebijakan publik mempunyai daya ikat yang kuat terhadap masyarakat secara holistik (comunity as a whole), mempunyai daya paksa tertentu yang nir dimiliki kebijakan yang dibentuk oleh organisasi-organisasi partikelir (Wahab, 1997, hal.5-7). Kebijakan publik menjadi keputusan tetap yang dicirikan sang konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku berdasarkan para perumus kebijakan serta menurut mereka yang mematuhi keputusan tersebut (Heinz, Eulau dan Kenneth, Prewit 1997, hal.44). Untuk itu komitmen para perumus kebijakan harus diarahkan pada implementasi prinsip-prinsip yang terkandung pada sistem democratic governance.
Cakupan pembahasan democratic governance mencakup: (a) cara pandang baru, baik terhadap pengelolaan tata pemerintahan juga terhadap rekanan antara negara, rakyat dan pasar; (b) dinamika empiris dan tentang akademis pengelolaan negara ketika berhadapan dengan rakyat serta pasar dalam konteks globalisasi, demokrasi serta desentralisasi; (c) isu-gosip governance reform yg berkaitan menggunakan konsep good governance serta reinventing government (Grindle, 1977, hal.89-90).
Untuk itu DPR dan Pemerintah menjadi Institusi yg memiliki kewenangan merumuskan kebijhakan publik seharusnya secara konsisten bersinergi, memperhatikan langkah-langkah perumusan kebijakan publik sebagai berikut:
a) Problem identification, yaitu aktivitas melakukan identifikasi kasus dengan melihat faktor-faktor internal dan eksternal penyebab terjadinya masalah, buat menemukan problema riil yang sejelas-jelasnya, buat dicarikan solusi melalui kebijakan publik. Tahapan ini penting, lantaran policy dilema bukan sesuatu yg “given” dan selalu ada, tetapi wajib digali buat ditentukan identitas masalahnya secara sahih. Untuk itu perlu melibatkan stake holders terkait, membuka akses publik buat menjaring masukan dan pengenalan tentang problem, tujuan dan substansi kebijakan.
b) Agenda setting, yaitu membuat kasus internal sebagai masalah publik, diawali menggunakan mendefinisikan perkara secara benar dan sempurna supaya sanggup menjadi gosip kebijakan dan sebagai kebijakan publik secara formal. DPR mencermati apakah solusi terhadap banyak sekali pertarungan yg dihadapi wajib melalui kebijakan publik tertentu. Pada tahapan ini dipantau syarat dan situasi lingkungan yg membentuk catatan kebutuhan riil serta ketidakpuasan warga atas permasalahan tadi. Pemerintah serta DPR memperhatikan imbas serta manfa’at yang lebih besar bagi pembangunan warga , bangsa dan negara.
c) Policy dilema formulation, adalah DPR serta pemerintah melakukan upaya buat menemukan permasalahan inti yang dihadapi. Prinsipnya memberikan pilihan teknis banyak sekali kasus yang paling mendesak, memberikan gambaran proses identifikasi kebutuhan, pengembangan alternatif kebijakan, makna dan mekanisme dalam pilihan kebijakan yg paling tepat, dan disepakati bersama. Dilakukan langkah uji publik terhadap substansi kebijakan sebelum ditetapkan.
d) Policy design, Penyusunan design kebijakan adalah kegiatan yang disepakati beserta antara DPR serta Pemerintah buat menjadi solusi bagi problem yg dihadapi. Membuat design kebijakan adalah aktivitas yg dilakukan beserta buat menyusun contoh kebijakan serta tetapkan rekomendasi kebijakan yg implementatif, berdasarkan output kegiatan pada termin sebelumnya.
Profesionalisme dan Kualitas Kebijakan
Betapapun kualitas kebijakan yg dihasilkan ditentukan sang profesionalisme perumus kebijakan. Substansi dari sebuah kebijakan yg baik akan berperan memilih hasil yg baik pada pelaksanaannya. Bahkan dikatakan donasi konsep mencapai 60% menurut keberhasilan, khususnya pada masa sekarang dimana data serta kabar mengenai masa depan telah menggunakan gampang bisa diakses. Ini berarti bahwa bila sudah memiliki konsep yang baik, maka 60% keberhasilan dapat dibutuhkan. Akan namun yg 60% tersebut akan hilang jika yg 40% implementasinya nir secara konsisten mendasarkan pada konsep. Implementasi kebijakan publik menurut perspektif produknya mengandung konsepsi pengaturan pemerintah menggunakan tujuan mendekatkan pembangunan pada kebutuhan rakyat dan memudahkan tercapainya kesejahteraan rakyat.
Suatu kerangka kebijakan publik yang baik akan dipengaruhi sang beberapa variabel menjadi berikut:
a. Tujuan yg akan dicapai, mencakup kompleksitas tujuan yg akan dicapai,
b. Preferensi nilai seperti apa yg perlu dipertimbangkan pada pembuatan kebijakan,
c. Sumberdaya yg mendukung kebijakan ( financial, material, dan infrastruktur lainnya)
d. Kemampuan aktor yang terlibat pada pembuatan kebijakan ( taraf pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya).
e. Lingkungan yg meliputi aspek lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya pada tempat kebijakan tadi akan diimplementasikan.
f. Strategi yg dipakai buat mencapai tujuan melalui implementasi yg efektif dan efisien.
Oleh karena itu buat menjamin kemanfaatan suatu kebijakan publik, perlu dukungan pihak-dua terkait pada setiap tahapannya. Frederick S. Lane mengungkapkan mengenai sistem kebijakan nasional Amerika Serikat. Terdapat 8 (delapan) pihak yg terlibat pada proses formulasi kebijakan publik yang dianggap ”policy making octagon” yaitu bahwa masih ada unsur-unsur sistem kebijakan nasional Amerika Serikat yg terlibat dalam proses interelasi dan interaksi pada formulasi kebijakan publik yaitu; The citizen; The Congress; The President; US Supreme Court and the court system; political parties; interest groups; the press; the bureaucracy. Usulan kebijakan publik bisa saja tiba berdasarkan infrastruktur politik ataupun suprastruktur politik atau ke 2-duanya. Kedua komponen tadi secara bersama-sama merumuskan kebijakan publik. Pandangan Lane tadi tidak jauh tidak sama menggunakan sistem perumusan kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan publik bertujuan buat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam proses perumusannya melibatkan rakyat, partai politik, media massa serta gerombolan kepentingan (interest class) lainnya, menjadi infrastruktur politik. Suprastruktur politiknya merupakan Presiden, DPR, DPD.
Seluruh komponen tersebut beserta-sama saling mengisi serta berkontribusi sinkron kiprah masing-masing. Untuk perwujudannya, pemerintah menggunakan “kekuasaan” yg demokratis yakni, melalui mufakat pada antara para elite yg mempunyai kiprah pada proses formulasi kebijakan yang memilih nasib bangsa dan negara (Agus Pramono 2005, hal.20). Sedangkan kekuasaan menjadi kemampuan buat menghipnotis formulasi kebijakan yg sah. Sedangkan elit politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. (Harold D Laswell serta Kaplan,1950)
Untuk itu harus ada kemauan serta komitmen politik para perumus kebijakan buat membangun kapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi memberikan kontribusi positif terhadap proses juga konten kebijakan yg akan ditetapkan. Profesionalismen para perumus kebijakan dapat dilakukan melalui peningkatan supporting bagi perumusan kebijakan. Perlu dibangun sistem yang memudahkan warga , gerombolan ahli serta pakar, kelompok partikelir serta tokoh rakyat buat melakukan uji publik terhadap kebijakan yang akan ditetapkan.
Pakta Integritas serta Konsistensi
Reformasi Birokrasi pada Tata pemerintahan nir akan dapat berjalan tanpa adanya kemauan politik serta komitmen dan konsistensi berdasarkan para perumus kebijakan serta seluruh pihak stake holders (birokrat, pelaku bisnis dan masyarakat). Semuanya beserta-sama menekankan prinsip-prinsip kunci democratic governance yaitu; transparansi, partisipasi, akuntabilitas serta penegakan aturan aturan dalam setiap tahapan perumusan kebijakan publik. Penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh perumus kebijakan adalah perwujudan dari komitmen serta konsistensi buat melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dalam takaran tanggung jawab masing-masing actor. Kesepahaman serta konvensi beserta terhadap pentingnya kualitas kebijakan publik akan memunculkan kesadaran kolektif buat tidak melakukan praktek KKN pada penyelenggaraan pemerintahan. Penerapan prinsip-prinsip democratic governance pada perumusan kebijakan, akan sukses membangun Indonesia yg maju, memiliki competitiveness, menggunakan iklim cinvestasi yang berdaya saing tinggi.