ISLAM DEMOKRASI DAN KULTUR POLITIK

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih sebagai tema perdebatan yang menarik serta belum tuntas. Di Tanah Air, wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, lantaran tidak pernah berakibat langkah maju.

Ada dua faktor yg mengakibatkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yang pro maupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yg sangat umum (generik). Misalnya, bahwa Islam merupakan agama yang paripurna dan penerapan syariat merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang umum ini akan menghadapi problem berfokus manakala dibenturkan menggunakan kasus-kasus partikular, misalnya syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana contoh negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yg dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah buat digunakan waktu ini serta seterusnya.

Kedua, ada kesamaan buat mengusung tafsir syariat Islam yg humanis agar tampak nir bertentangan menggunakan konsep-konsep modern, misalnya HAM, demokrasi, serta civil society. Persoalannya, selain nir cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan seperti ini hanya menyentuh narasi-narasi besar , seperti kasus hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah duduk perkara yang urgen bagi masa depan humanisme, misalnya demokratisasi, penghormatan hak asasi insan, dan perdamaian dunia tetap tidak terjamah.

Berdasarkan pada 2 alasan pada atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, perkara demokrasi masih adalah satu agenda politik yg selalu perlu diangkat ke atas bagian atas lantaran kenyataannya paras demokrasi Indonesia masih seringkali diperdebatkan. Apakah yang kini kita alami adalah sesuatu yang bisa diterima ataukah memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal bisa diwujudkan menggunakan lebih nyata lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yg lebih luas, ketika ini dunia menyaksikan kenyataan global yang menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dilihat, lantaran tuntutan demokratisasi ada seiring dengan kebangkitan agama-kepercayaan dalam konteks global yg bergerak maju. Di aneka macam belahan global, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya sebagai tema yg paling krusial dalam dilema dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku menjadi "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini pada Brazil, saat orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tak mendukung sistem kerajaan absolut menggunakan hak tidak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik dunia yg terpenting pada akhir abad ke 2 puluh merupakan munculnya gerakan prodemokrasi di semua belahan global serta keberhasilan gerakan itu di poly negara.

Dalam konteks Islam, kesamaan dunia yang diklaim Huntington menjadi 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, dalam saat hampir semua negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam nir menerangkan tanda-indikasi ke arah itu.

Para sarjana muslim sudah poly mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam serta demokrasi. Secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam serta demokrasi dipandang menjadi dua sistem politik yang tidak selaras. Sebagai sistem politik, Islam nir bisa disubordinasikan dalam demokrasi. Islam serta demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem politik yang paripurna sehingga sanggup dijadikan cara lain terhadap demokrasi.

Kedua, Islam tidak sama berdasarkan demokrasi jika yg terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan pada Barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, Islam bisa dilihat menjadi sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan menjadi indera buat mencapai tujuan-tujuan eksklusif menggunakan prinsip mayoritarian. Misalnya, jika dominan masyarakat menghendaki rezim Mullah, maka rezim tadi adalah demokratis kendati menolak pluralisme serta pemilihan dalam komunitas politik. Pandangan ini menolak mekanisme-prosedur demokrasi yg dimanifestasikan dalam pemilu yang bebas pada kalangan elit serta partai politik menjadi agregasi masyarakat yang tidak selaras dan konfliktual.

Ketiga, Islam dicermati sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yg didefinisikan serta dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat merupakan bunyi Tuhan yg diterjemahkan ke dalam pemilu serta partai pilitik sangat terkenal pada kalangan intelektual serta aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di dalam warga muslim, serta karenanya rezim demokrasi masih sebagai kenyataan yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dimuntahkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal buat membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara muslim yang berhasil menciptakan demokrasi sepenuhnya selama lebih berdasarkan lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya merupakan negara otoritarian. Bahkan, dominan rezim-rezim yang represif di dunia dalam akhir 90-an merupakan pada negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, nir adanya demokrasi pada Dunia Muslim merupakan sangat signifikan. Sebagai salah satu model kasus, ayo kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini sudah muncul menjadi negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain bekas Uni Soviet sebagai lebih demokratis. Cyprus jua menyuguhkan kenyataan menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani serta Cyprus Turki, menggunakan taraf kedemokrasian yang tidak selaras. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yg bertanggung jawab atas nir bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling krusial merupakan lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" pada negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau perilaku individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya menjadi aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya tentang kewargaan (citizenship). Bahkan, pada dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki nir terdapat istilah yg bisa mewakili menggunakan sempurna istilah citizen (rakyat). Kata yang senada dengan istilah tadi yang biasa dipakai pada setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yg di lalu diIndonesiakan menjadi "rakyat". Kata tersebut tidak mewakili istilah citizen yang asal berdasarkan kata civis dan telah sebagai kebijakan politik Yunani yang berarti "seseorang yang ikut dan pada perkara-masalah kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak ada pada bahasa Arab atau bahasa global muslim lainnya disebabkan nir dikenalnya pemikiran atau inspirasi "rakyat ikut dan dalam kebijakan politik."

Oleh karenanya, tugas primer pada rangka to make democracy work merupakan menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi pada Tanah Air. Sebab, insan bukan sekadar individu yang "digembalakan", namun sebagai rakyat negara yg mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak buat menentukan, mengawasi serta menurunkan pemerintahan, di samping hak buat bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi serta berorganisasi, hak menerima pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan serta sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara khusus konfrontasi antarelite politik pada Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat pada global muslim. Sebenarnya, banyak negara muslim punya peluang buat membentuk demokrasi, namun tidak adanya aktor demokrat sejati membuahkan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru besar pada Institut de'atudes Politiques di Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian dari arus akbar gelombang demokrasi ketiga (meminjam istilah Samuel Huntington) kembali berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yg difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, kenyataan memang menunjukkan 'eksepsionalisme Islam' berdasarkan kenyataan demokratisasi dunia. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke seluruh penjuru global, tetapi nir ada satu pun daun yg dihembusnya sampai ke dunia muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yg dimuntahkan Freedom House jua memberitahuakn bahwa walaupun kebebasan pada negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan cukup signifikan, hal itu tidak terjadi pada negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada dunia (berjumlah 48 negara) gagal untuk membangun politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur umumnya berkiprah cepat sebagai demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita nir punya bukti buat menyampaikan pada Wright , 'Why not!" Saya risi mungkin saja ada kalangan warga yang tega lompat pada kesimpulan gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang tidak layak memimpin sebuah negara terkini. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat pada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yg akan perlu saat panjang sekali buat menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun menggunakan konsepsi demokrasi terbatas yg didasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh masyarakat", global muslim permanen tidak memperlihatkan pertanda-pertanda yg cukup baik. Ini adalah suatu indikasi betapa seriusnya persoalan itu. Dan ini bukan sekadar perkara image dan "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang duduk perkara yang sangat konkret.

Ada beberapa teori yg bisa mengungkapkan. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan sang Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih relatif asing dalam mindset Islam". Hal ini ditimbulkan kebanyakan kaum muslim cenderung tahu demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yg perlu saat ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus menggunakan teori-teori modern seperti demokrasi serta kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, masalah kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 2 puluh, namun gagal. Tampaknya, beliau nir akan sukses dalam masa-masa mendatang, lantaran warisan kultural komunitas-komunitas muslim sudah terbiasa menggunakan 'otokrasi serta ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) serta Ajami (1998). Karena itu, yg sangat diharapkan ketika ini merupakan penerangan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur pada Eropa, tetapi pada daerah global Islam malah otoritarianisme yg berkembang.

Sejauh ini, problem kultur politik (civic culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membentuk demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir nir dijumpai kendala teologis pada kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yg memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, terdapat kesamaan buat merambah misi baru merekonsiliasi disparitas-disparitas antara aneka macam teori politik terbaru. Oleh karena itu, lokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di global Islam tak terdapat hubungan dengan teologi juga kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, serta pada atas segalanya, waktu. Esposito serta Voll (1996) merupakan pada antara mereka yang permanen optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam.

Terlepas dari itu semua, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi pada sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yg sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang lalu dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yg dikenal menggunakan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat teman tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai sekarang ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini adalah penerangan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi pada negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam tidak punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan menggunakan kekuatan-kekuatan pro-status quo yg telah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang akbar buat menyuguhkan contoh baru Indonesia sebagai negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga pada global, selesainya Amerika dan India. Namun, lagi-lagi, dia gagal menjadi seseorang presiden muslim demokrat pertama pada negara dengan penduduk dominan muslim ini. Tidak kentara, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang niscaya, negeri ini persis seperti digambarkan Salame pada bukunya Democracy without Democrats.

Comments