TEORI PEMBENARAN HUKUM NEGARA

Teori Pembenaran Hukum Negara
Teori pembenaran aturan menurut negara atau teori penghalang tindakan penguasa (Rechtvaardiging theorieen) membahas mengenai dasar-dasar yg dijadikan alasan sebagai akibatnya tindakan penguasa negara bisa dibenarkan.

Keberadaan negara (existence) bisa dibenarkan dari sumber-sumber kekuasaan, diantaranya :
1. Kewenangan langsung atau tidak langsung berdasarkan Tuhan yg diterapkan dalam bentuk konstitutif serta kepercayaan yang diformalkan pada ketentuan negara (Teori Teokrasi). 

2. Kekuatan jasmani dan rohani dan materi (finansial) yg diefektifkan menjadi indera berkuasa. Dalam bentuk yang terkini misalnya kekuatan militer yang represif, kharisma para rohaniawan yg berpolitik atau dalam bentuk money politics (Teori Kekuatan).

3. Adanya perjanjian, baik perjanjian perdata maupun publik serta adanya pandangan menurut perspektif hukum kekeluargaan dan hukum benda (Teori Yuridis).

Secara rasional, suatu pemerintahan tidak mungkin lagi menyandarkan wewenang serta kekuasaannya atas dasar kekuatan fisik angkatan perang (militer) yg represif, mitos-mitos feodalistik juga teokratik. Hal-hal yg bersifat irrasional serta dipaksakan semakin usang semakin ditinggalkan sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat dan politik dan teknologi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa tanpa ada legitimasi yg rasional maka suatu negara tidak mungkin akan berjalan secara efektif.

Legitimasi atas suatu negara memegang peranan yg krusial karena walaupun mempunyai kekuasaan namun suatu pemerintahan negara nir mungkin berjalan efektif tanpa adanya legitimasi yang penuh. Pemerintahan negara dan indera-indera perlengkapannya sebagai instrumen penataan masyarakat yg memegang kekuasaan politik utama wajib mempunyai pembenaran atau pendasaran yg sah (legitimasi) atas kekuasaan yg dijalankan supaya beliau dapat melaksanakan fungsinya secara efektif. 

1. Pembenaran Negara menurut Sudut Ke-Tuhanan (TheoCratische Theorieen)
Teori ini beranggapan bahwa tindakan penguasa/negara selalu sahih karena negara diciptakan oleh Tuhan. 

Tuhan menciptakan negara dengan dua cara, yaitu :

a. Secara langsung → cirinya merupakan seseorang berkuasa lantaran mendapat wahyu dari Tuhan.

b. Secara nir langsung → seorang berkuasa karena kodrat Tuhan.

Tokoh-tokoh penganut paham ini antara lain adalah :

a. Agustinus
Agustinus pada bukunya De Civitate Dei menyebutkan bahwa negara pada dasarnya terdiri berdasarkan dua macam, yaitu :

2) Civitas Dei (Negara Tuhan)
Yaitu negara yang langsung dipimpin oleh Tuhan. 

Negara Tuhan di global diwakili oleh gereja dan atau oleh kerajaan-kerajaan lain yang tunduk dalam pimpinan gereja yg otomatis tunduk dalam Tuhan. 

3) Civitas Terrana/Civitas Diaboli
Civitas terrana merupakan negara duniawi. Menurut Agustinus, Civitas terrana dianggap pula civitas diaboli karena dibentuk sang setan. 

Negara dunia hanya mengejar kepuasan duniawi sehingga menimbulkan keserakahan, kebencian, peperangan, penderitaan dan akhirnya keruntuhan. 

b. Thomas Aquinas
Menurut Thomas Aquinas, negara yg burukpun bukan buatan setan tetapi tetap diakui menjadi perwujudan kekuasaan dan kehendak Tuhan. Negara muncul berdasarkan pergaulan antara manusia yang dipengaruhi sang aturan serta rapikan alam. Hukum tata alam jua terjadi dari kehendak Tuhan serta menurut hukum Tuhan. 

Tuhan berakibat insan menjadi mahluk yang bergaul dan menaruh seorang pemimpin (raja). Oleh karena itu, kekuasaan raja pada memimpin negara juga dari menurut Tuhan. 

c. Ludwig von Haller
Menurut Ludwig von Heller, sifat negara merupakan ketertiban. Dalam negara terdapat tuan dan hamba, ada yg kuat dan yang lemah, ada yang tinggi dan rendah serta terdapat yg kaya serta miskin. Yang bertenaga berkuasa memerintah yg lemah. Hal ini merupakan kodrat alam dan itulah yg dikehendaki serta diatur oleh Tuhan. Manusia menggunakan segala kecerdasannya nir mungkin dapat mengganti keadaan yg telah dipengaruhi oleh Tuhan. Dari kuasa dan kehendak Tuhanlah asal segala kekuasaan dan dari berdirinya negara. 

d. Friedrich Julius Sthal
Dalam bukunya, Die Philosophie des Rechts, beliau berpendapat bahwa negara muncul dari takdir ilahi. Kekuasaan bisa tampak menjadi penyusunan kekuasaan oleh manusia, baik dalam famili, gerombolan , suku, bangsa atau gereja. Namun, pada hakekatnya, kekuasaan terjadi lantaran kehendak serta kekuasaan Tuhan. Peperangan, penyerbuan,penaklukan, penyerahan dll terjadi lantaran kehendak Tuhan. Selain itu, Friedrich pula beropini bahwa negara merupakan The March of God in the World (laris Tuhan di dunia). 

2. Pembenaran Negara dari Sudut Kekuatan
Berdasarkan teori ini, siapa yg mempunyai kekuatan akan menerima kekuasaan serta memegang pemerintahan. 

Kekuatan tadi mencakup :
a. Kekuatan jasmani (physic)
b. Kekuatan rohani (phychis)
c. Kekuatan materi (kebendaan)
d. Kekuatan politik. 

Charles Darwin
Menurut teori evolusi Charles Darwin, bahwa kehidupan di alam semesta merupakan suatu usaha buat mempertahankan hayati, yang bertenaga akan menindas yang lemah. Oleh karenanya seluruh orang berusaha buat bertenaga serta unggul. 

Semua imperium ditegakkan dari kekuasaan ini, contohnya Napoleon, Hitler, Mussolini serta Stalin. 

Leon Duguit
Pihak yg bisa memaksakan kehendaknya merupakan pihak yg bertenaga (lesplus forts). Kekuatan tersebut mengandung beberapa faktor, contohnya keistimewaan fisik, intelegensia, ekonomi dan agama. 

Paul Laband, George Jellineck, von Jhering
Mereka beropini bahwa suatu fenomena yang masuk akal wajib diterima bahwa kekuasaan serta kedaulatan sepenuhnya terdapat di tangan negara dan pemerintahan.

Franz Oppenheimer
Dalam bukunya, Der Staat, ia beropini bahwa negara merupakan suatu susunan warga yg oleh golongan yang menang dipaksakan kepada golongan yang ditaklukan dengan maksud buat mengatur kekuasaan golongan yang satu atas golongan yang lain serta melindungi terhadap ancaman pihak lain. Tujuan berdasarkan semuanya adalah pemerasan ekonomi menurut golongan yg menang terhadap yg kalah. 

3. Pembenaran Negara dari Sudut Hukum
Teori ini menyatakan bahwa tindakan pemerintah dibenarkan karena didasarkan kepada aturan. 

Teori ini merinci lagi aturan ke pada 3 jenis, yaitu :
a. Hukum Keluarga (Teori Patriarchal)
Teori patriachal dari aturan keluarga lantaran pada zaman dulu warga masih sangat sederhana dan negara belum terbentuk. Masyarakat hayati pada kesatuan-kesatuan keluarga besar yang dipimpin oleh ketua keluarga. 

b. Hukum Kebendaan (Teori Patrimonial)
Patrimonial berasal menurut kata patrimonium yg berarti hak milik. Raja mempunyai hak milik terhadap wilayahnya, oleh karena itu seluruh penduduk di wilayahnya harus tunduk dalam raja. Raja umumnya menerima bantuan menurut kaum bangsawan buat mempertahankan daerahnya. Jika perang berakhir maka raja menaruh hak atas tanah kepada bangsawan. Hak atas tanah berpindah berdasarkan raja kepada bangsawan sebagai akibatnya para bangsawan mendapat hak buat memerintah (overheidsrechten).

c. Hukum Perjanjian (Teori Perjanjian)
Tokohnya diantaranya merupakan :

1) Thomas Hobbes
Menurut Thomas Hobbes, manusia harus selalu mempunyai kekuatan lantaran memiliki rasa takut diserang sang manusia lain yg lebih kuat. Oleh karena itu masyarakat mengadakan perjanjian dan dalam perjanjian tadi, raja nir diikutsertakan. Oleh karena itu raja memiliki kekuasaan mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (Monarchie Absoluut). 

2) Jhon Locke
Rakyat serta raja mengadakan perjanjian. Oleh karenanya raja berkuasa buat melindungi rakyatnya. Jika raja bertindak sewenang-wenang maka masyarakat bisa meminta pertanggung jawabannya. Perjanjian antara raja dengan rakyatnya menyebabkan monarki terbatas (monarchie constitusionil) karena kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.

Dalam perjanjian masyarakat tersebut masih ada 2 macam pactum, yaitu :
e. Pactum Uniones ð perjanjian buat menciptakan suatu kesatuan (kolektivitas) antara individu-individu. 
f. Pactum Subjectiones ð perjanjian buat menyerahkan kekuasaan antara warga menggunakan raja. 
Jhon Locke beropini bahwa pactum uniones dan pactum subjectiones memiliki impak yg sama kuatnya sebagai akibatnya dalam penyerahan kekuasaah, raja harus berjanji akan melindungi hak asasi rakyatnya. 

Ajaran Jhon Locke hampir sama dengan ajaran Monarchemachen yaitu suatu aliran yang muncul pada abad pertengahan yg menaruh reaksi atas kekuasaan raja yg absolut. Aliran tersebut mengadakan perjanjian untuk membatasi kekuasaan raja. Hasil perjanjian tersebut diletakkan pada Leges Fundamentalis yg memutuskan hak serta kewajiban bagi ke 2 belah pihak. Oleh karena itu ajaran Jhon Locke acapkali disebut menjadi warisan Monarchemachen. 

3) J.J. Rousseau
Menurut Rousseau, kedaulatan dan kekuasaan masyarakat tidak pernah diserahkan pada raja. Apabila raja memerintah maka raja hanya merupakan mandataris rakyat. 

Menurut Rousseau, hal yg utama dari perjanjian masyarakat adalah menemukan suatu bentuk kesatuan, membela dan melindungi kekuasaan beserta disamping kekuasaan pribadi serta milik setiap orang sehingg seluruh orang bisa bersatu, tetapi setiap orang permanen bebas dan merdeka. Rouseeau nir mengenal adanya hak alamiah, hak dasar atau hak asasi.

Dalam perjanjian masyarakat berarti setiap orang menyerahkan semua haknya pada warga . Akibat adanya perjanjian rakyat merupakan :

a) Terciptanya kemauan umum (Volonte Generale)
Yaitu kesatuan berdasarkan kemauan orang-orang yg sudah menyelenggarakan perjanjian warga .volonte generale adalah kekuasaan yang tertinggi atau kedaulatan. 

b) Terbentuknya masyarakat (Gemeinschaft) 
Gemeinschaft merupakan kesatuan menurut orang-orang yg menyelenggarakan perjanjian rakyat. Masyarakatlah yang memiliki kemauan umum, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang tidak bisa dilepaskan yang diklaim sebagai kedaulatan rakyat. 

Perjanjian masyarakat telah menciptakan negara. Berarti, ada peralihan berdasarkan keadaan bebas ke keadaan bernegara.

4. Pembenaran Negara dari Sudut Lain
a. Teori Ethis/Teori Etika

Berdasarkan teori ini, suatu negara ada lantaran adanya suatu keharusan susila. 
Berdasarkan teori ini maka ada tiga pendapat berdasarkan para ahli ilmu negara, yaitu :

1) Plato dan Aristoteles
Menurut Plato dan Aristoteles, manusia nir akan berarti bila belum bernegara. Negara adalah sesuatu hal yg absolut, tanpa negara maka tidak terdapat manusia. Oleh karenanya seluruh tindakan negara dapat dibenarkan. 

2) Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant, tanpa adanya negara maka manusia nir dapat tunduk pada aturan yg dikeluarkan. Negara adalah ikatan manusia yang tunduk dalam aturan, akibatnya tindakan negara dibenarkan.

3) Wolft
Wolf beropini bahwa keharusan untuk menciptakan negara merupakan keharusan moral yang tertinggi. 

b. Teori Absoulut menurut Hegel
Menurut Hegel, tujuan insan adalah kembali pada citacita yg abolut. Penjelmaan cita-cita yg absolut menurut insan merupakan negara. Tindakan negara dibenarkan karena negara merupakan sesuatu yg dicita-citakan oleh manusia. 

c. Teori Psychologis
Teori ini menyatakan bahwa alasan pembenaran negara berdasarkan pada unsur psychologis manusia, misalnya rasa takut, rasa sayang dll sehingga segala tindakan negara dapat dibenarkan.

TEORI HUKUM ABAD KE6 M ZAMAN KLASIK

Teori Hukum Abad Ke-6 M (Zaman Klasik) 
1. Teori Socrates (470 SM - 399 SM)
Menurut Socrates, sesuai dengan hakikat insan bahwa hukum adalah tatanan kebajikan serta keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yg dibuat buat melanggengkan, bukan pula aturan untuk memenuhi insting hura-hura diri. Hukum sejatinya, adalah tatanan obyektif buat mencapai kebajikan dan keadilan generik tersebut. Yang itu adalah filsafat berdasarkan kebijaksanaan Socrates. 


2. Teori Plato (427 SM - 347 SM)

Pengungkapan kebaikan hanya diterima sang kaum aristokrat (para filsuf). Sebab mereka merupakan orang-orang bijaksana. Maka pada bawah pemerintahannya, dimungkinkan adanya partisipasi semua orang pada gagasan keadilan. Keadilan sanggup tercipta tanpa aturan. Karena yg sebagai penguasa merupakan kaum cerdik pandai , kaum arif bijaksana yg niscaya mewujudkan theoria (pengetahuan serta pengertian terbaiknya) dalam tindakan. 

Sebagai pelaksanaan hukum yg dipegang sang kaum Aristokrat (filsuf), Plato merumuskan standarisasi menjadi berikut: 

a. Hukum buat menangani kenyataan pada dunia yang penuh menggunakan ketidakadilan.
b. Aturan hukum dihimpun dalam kitab , agar tidak muncul kekacauan hukum.
c. Setiap UU harus didahului preambule tentang motif serta tujuan dari UU itu.
d. Membimbing manusia ke arah hayati yg saleh serta paripurna. 
e. Orang yg melanggar UU wajib dieksekusi, yang bertujuan memperbaiki perilaku moral pelaku. 


3. Teori Aristoteles (384 SM – 322 SM)

Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles merupakan memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hayati (summum bonum). Hal ini manusia dipandu 2 peran, yaitu logika serta moral. Akal (ratio, akal) memandu pada pengenalan hal yang sahih serta yang salah secara akal murni. Sedang moral memandu insan untuk menentukan jalan tengah antara 2 ekstrim yang antagonis, termasuk dalam memilih keadilan (perilaku moderat). 

Dasar teori Aristoteles menempatkan “perasaan sosial etis” dalam ranah keadilan yg bertumpu kepada 3 prinsip keadilan generik, yaitu honeste vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain dan memberi pada tiap orang bagiannya). Prinsip ini patokan berdasarkan apa yg sahih, baik dan sempurna dalam hidup sebagai akibatnya mengikat semua orang, baik warga juga penguasa.

4. Teori Epicurus (341 SM - 270 SM)

Terputusnya interaksi individu insan menggunakan negara, sehingga individu tidak lagi mengabdi pada komunitas, termasuk negara. Sehingga afiliasi apapun (negara) artinya kepentingan-kepentingan perorangan. Karena sifat dasar manusia adalah individualistis. Jadi, hukum (aturan publik) dipandang menjadi tatanan buat melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Termasuk didalamnya gagasan kontrak sosial, ditetapkannya UU serta persetujuan diantara rakyat negara dan buat menghindari munculnya ketidakadilan. Yang kesemuanya itu bermuara kepada kepentingan individu-individu, demi membangun ketertiban dan keamanan bagi mereka.

ISLAM DEMOKRASI DAN KULTUR POLITIK

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih sebagai tema perdebatan yang menarik serta belum tuntas. Di Tanah Air, wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, lantaran tidak pernah berakibat langkah maju.

Ada dua faktor yg mengakibatkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yang pro maupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yg sangat umum (generik). Misalnya, bahwa Islam merupakan agama yang paripurna dan penerapan syariat merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang umum ini akan menghadapi problem berfokus manakala dibenturkan menggunakan kasus-kasus partikular, misalnya syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana contoh negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yg dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah buat digunakan waktu ini serta seterusnya.

Kedua, ada kesamaan buat mengusung tafsir syariat Islam yg humanis agar tampak nir bertentangan menggunakan konsep-konsep modern, misalnya HAM, demokrasi, serta civil society. Persoalannya, selain nir cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan seperti ini hanya menyentuh narasi-narasi besar , seperti kasus hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah duduk perkara yang urgen bagi masa depan humanisme, misalnya demokratisasi, penghormatan hak asasi insan, dan perdamaian dunia tetap tidak terjamah.

Berdasarkan pada 2 alasan pada atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, perkara demokrasi masih adalah satu agenda politik yg selalu perlu diangkat ke atas bagian atas lantaran kenyataannya paras demokrasi Indonesia masih seringkali diperdebatkan. Apakah yang kini kita alami adalah sesuatu yang bisa diterima ataukah memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal bisa diwujudkan menggunakan lebih nyata lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yg lebih luas, ketika ini dunia menyaksikan kenyataan global yang menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dilihat, lantaran tuntutan demokratisasi ada seiring dengan kebangkitan agama-kepercayaan dalam konteks global yg bergerak maju. Di aneka macam belahan global, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya sebagai tema yg paling krusial dalam dilema dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku menjadi "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini pada Brazil, saat orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tak mendukung sistem kerajaan absolut menggunakan hak tidak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik dunia yg terpenting pada akhir abad ke 2 puluh merupakan munculnya gerakan prodemokrasi di semua belahan global serta keberhasilan gerakan itu di poly negara.

Dalam konteks Islam, kesamaan dunia yang diklaim Huntington menjadi 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, dalam saat hampir semua negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam nir menerangkan tanda-indikasi ke arah itu.

Para sarjana muslim sudah poly mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam serta demokrasi. Secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam serta demokrasi dipandang menjadi dua sistem politik yang tidak selaras. Sebagai sistem politik, Islam nir bisa disubordinasikan dalam demokrasi. Islam serta demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem politik yang paripurna sehingga sanggup dijadikan cara lain terhadap demokrasi.

Kedua, Islam tidak sama berdasarkan demokrasi jika yg terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan pada Barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, Islam bisa dilihat menjadi sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan menjadi indera buat mencapai tujuan-tujuan eksklusif menggunakan prinsip mayoritarian. Misalnya, jika dominan masyarakat menghendaki rezim Mullah, maka rezim tadi adalah demokratis kendati menolak pluralisme serta pemilihan dalam komunitas politik. Pandangan ini menolak mekanisme-prosedur demokrasi yg dimanifestasikan dalam pemilu yang bebas pada kalangan elit serta partai politik menjadi agregasi masyarakat yang tidak selaras dan konfliktual.

Ketiga, Islam dicermati sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yg didefinisikan serta dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat merupakan bunyi Tuhan yg diterjemahkan ke dalam pemilu serta partai pilitik sangat terkenal pada kalangan intelektual serta aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di dalam warga muslim, serta karenanya rezim demokrasi masih sebagai kenyataan yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dimuntahkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal buat membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara muslim yang berhasil menciptakan demokrasi sepenuhnya selama lebih berdasarkan lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya merupakan negara otoritarian. Bahkan, dominan rezim-rezim yang represif di dunia dalam akhir 90-an merupakan pada negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, nir adanya demokrasi pada Dunia Muslim merupakan sangat signifikan. Sebagai salah satu model kasus, ayo kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini sudah muncul menjadi negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain bekas Uni Soviet sebagai lebih demokratis. Cyprus jua menyuguhkan kenyataan menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani serta Cyprus Turki, menggunakan taraf kedemokrasian yang tidak selaras. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yg bertanggung jawab atas nir bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling krusial merupakan lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" pada negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau perilaku individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya menjadi aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya tentang kewargaan (citizenship). Bahkan, pada dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki nir terdapat istilah yg bisa mewakili menggunakan sempurna istilah citizen (rakyat). Kata yang senada dengan istilah tadi yang biasa dipakai pada setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yg di lalu diIndonesiakan menjadi "rakyat". Kata tersebut tidak mewakili istilah citizen yang asal berdasarkan kata civis dan telah sebagai kebijakan politik Yunani yang berarti "seseorang yang ikut dan pada perkara-masalah kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak ada pada bahasa Arab atau bahasa global muslim lainnya disebabkan nir dikenalnya pemikiran atau inspirasi "rakyat ikut dan dalam kebijakan politik."

Oleh karenanya, tugas primer pada rangka to make democracy work merupakan menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi pada Tanah Air. Sebab, insan bukan sekadar individu yang "digembalakan", namun sebagai rakyat negara yg mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak buat menentukan, mengawasi serta menurunkan pemerintahan, di samping hak buat bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi serta berorganisasi, hak menerima pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan serta sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara khusus konfrontasi antarelite politik pada Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat pada global muslim. Sebenarnya, banyak negara muslim punya peluang buat membentuk demokrasi, namun tidak adanya aktor demokrat sejati membuahkan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru besar pada Institut de'atudes Politiques di Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian dari arus akbar gelombang demokrasi ketiga (meminjam istilah Samuel Huntington) kembali berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yg difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, kenyataan memang menunjukkan 'eksepsionalisme Islam' berdasarkan kenyataan demokratisasi dunia. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke seluruh penjuru global, tetapi nir ada satu pun daun yg dihembusnya sampai ke dunia muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yg dimuntahkan Freedom House jua memberitahuakn bahwa walaupun kebebasan pada negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan cukup signifikan, hal itu tidak terjadi pada negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada dunia (berjumlah 48 negara) gagal untuk membangun politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur umumnya berkiprah cepat sebagai demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita nir punya bukti buat menyampaikan pada Wright , 'Why not!" Saya risi mungkin saja ada kalangan warga yang tega lompat pada kesimpulan gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang tidak layak memimpin sebuah negara terkini. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat pada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yg akan perlu saat panjang sekali buat menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun menggunakan konsepsi demokrasi terbatas yg didasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh masyarakat", global muslim permanen tidak memperlihatkan pertanda-pertanda yg cukup baik. Ini adalah suatu indikasi betapa seriusnya persoalan itu. Dan ini bukan sekadar perkara image dan "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang duduk perkara yang sangat konkret.

Ada beberapa teori yg bisa mengungkapkan. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan sang Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih relatif asing dalam mindset Islam". Hal ini ditimbulkan kebanyakan kaum muslim cenderung tahu demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yg perlu saat ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus menggunakan teori-teori modern seperti demokrasi serta kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, masalah kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 2 puluh, namun gagal. Tampaknya, beliau nir akan sukses dalam masa-masa mendatang, lantaran warisan kultural komunitas-komunitas muslim sudah terbiasa menggunakan 'otokrasi serta ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) serta Ajami (1998). Karena itu, yg sangat diharapkan ketika ini merupakan penerangan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur pada Eropa, tetapi pada daerah global Islam malah otoritarianisme yg berkembang.

Sejauh ini, problem kultur politik (civic culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membentuk demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir nir dijumpai kendala teologis pada kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yg memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, terdapat kesamaan buat merambah misi baru merekonsiliasi disparitas-disparitas antara aneka macam teori politik terbaru. Oleh karena itu, lokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di global Islam tak terdapat hubungan dengan teologi juga kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, serta pada atas segalanya, waktu. Esposito serta Voll (1996) merupakan pada antara mereka yang permanen optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam.

Terlepas dari itu semua, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi pada sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yg sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang lalu dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yg dikenal menggunakan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat teman tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai sekarang ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini adalah penerangan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi pada negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam tidak punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan menggunakan kekuatan-kekuatan pro-status quo yg telah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang akbar buat menyuguhkan contoh baru Indonesia sebagai negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga pada global, selesainya Amerika dan India. Namun, lagi-lagi, dia gagal menjadi seseorang presiden muslim demokrat pertama pada negara dengan penduduk dominan muslim ini. Tidak kentara, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang niscaya, negeri ini persis seperti digambarkan Salame pada bukunya Democracy without Democrats.

ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS STUDI ATAS PEMIKIRAN HUKUM FAZLUR RAHMAN

Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tidak bisa dipungkiri mempunyai pula dimensi teologis serta inilah yang membedakan aturan Islam menggunakan hukum pada terminologi ilmu hukum terbaru, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya mampu mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam adalah anggaran yang sakral, bahkan pada keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap anggaran-anggaran hkum Islam yang terdapat, lantaran secara psikologis telah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang bisa mengantarkan dalam cara pandang yg sahih mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yg awal, aturan Islam merupakan suatu kekuatan yg bergerak maju dan kreatif. Hal ini bisa dicermati menurut keluarnya sejumlah mazhab hukum yg memiliki corak sendiri-sendiri sesuai menggunakan latar belakang sosiokultural serta politik dimana mazhab hukum itu tumbuh serta berkembang.

Dalam kerangka berpikir usul fiqh klasik masih ada 5 prinsip yang memungkinkan Hukum Islam sanggup berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum menggunakan berubahnya masa. Kelima prinsip ini menggunakan kentara menerangkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1]

Dengan Berlalunya saat, perkembangan Hukum Islam yang bergerak maju serta kreatif dalam masa awal kemudian berkembang menjadi kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli aturan populer, tetapi menggunakan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak buat berijtihad mulai dibatasi serta pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2] 

Selanjutnya dalam makalah ini dibahas mengenai aturan Islam dalam masa kemunduran atau dikenal menggunakan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan serta statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)

A. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada 2 bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara menggunakan Mesir sebagai pusatnya serta bagian Persia yg terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia serta Asia Tengah menggunakan Iran sebagai pusatnya. Pada saat ini kebudayaan Persia merogoh bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]

Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian dalam ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yg tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen serta atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun dalam masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya 3 kerajaan besar Islam menggunakan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani pada Turki, Kerajaan Safawi pada Persia serta kerajaan Mughal pada India.

Bersamaan dengan fenomena ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin semakin tinggi serta meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai sentra Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris sudah mulai menanamkan kekuasaannya pada India.[4] Sampai pada taraf ini, umat Islam mengalami kemunduran yg paling tidak baik pada sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah pada beberapa mazhab dimana antara satu menggunakan yg lainnya saling menjamin merekalah yg sahih serta saling menyalahkan. Demikian jua kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya rakyat sebagai jumud dan statis yang hanya menyerah pada nasib.

Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yg menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada ketika ini pula keluarnya pemberontakan yang dari menurut keturunan Bani Hasim, serta gerombolan ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan keluarnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa dampak yg tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah buat berbuat. Rasa putus harapan ada menyelimuti akibatnya kemunduran serta keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama nir lagi menyelidiki buku-buku tertentu yang diharapkan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pulang kenegara-negara besar sehingga terwujud serta terjalin interaksi yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]

Siapapun yang mengamati insiden serta sejarah Islam dalam periode ini tentu melihat bahwa yang mengakibatkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan yg menyebabkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan politik yang mengakibatkan negara Islam terpecah sebagai beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yg diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini mampu dilihat lemahnya negara Islam ketika telah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan serta keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yg kecil. Di timur terdapat negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, serta di Anfuleusia terdapat negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yg ada pada utara Afrika.

Pada masa kemunduan ini pula dianggap periode epilog ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula pada bidanag kebudayaan Islam, lalu berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini telah lemah kemauannya buat mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka. 

A. Sebab-karena kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat menurut segi sejarah pemikiran aturan Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini adalah masa yg dilihat sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, lantaran pada masa ini aktivitas ijtihad telah mulai menurun serta mengendur, dan bahkan tidak aktif. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh 3 faktor krusial. 

a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana dalam awalnya memang memberitahuakn semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yg tidak kondusif, sehingga terjadi disparitas-disparitas antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak sporadis terjadi kontradiksi antar mazhab, yg kadang-kadang membawa imbas negative pada masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke pada banyak sekali mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yg sahih dan menyalahkan yg lainnya. 

b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama nir mau serta tidak bisa melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan sang mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab timbul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yg ada disetiap mazhab sebagai tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yg menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad serta pemikiran pada Islam. Pada ketika ini, kalaupun terdapat ijtihad yang dilakukan sang ulama, namun nir lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab pada warga . Kemandirian ulama buat melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang terdapat dalam mazhab mereka. Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri sudah menciptakan aneka macam macam persyaratan buat dijadikan acuan pada melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sebagai akibatnya dalam operasionalnya tidak gampang buat dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar nir muncul orang-orang yang nir mempunyai otoritas dalam melakukan ijtihad dan menduga gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang terdapat semacam kecenderungan berdasarkan sebagian orang yg menggampangkan problem ijtihad ini, dan bisa dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir bila ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yg tidak memiliki persyaratan, maka akan menyebabkan malapetaka bagi umat Islam, sebagai akibatnya akhirnya pintu ijtihad ditutup.

c. Disintegrasi dan penguasaan bangsa asing faktor yang paling parah yang mengakibatkan kemunduran umat Islam merupakan terjadinya disintegrasi serta perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan sang Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun serta bahkan khilafah menjadi symbol serta lambing kesatuan Politik umat Islam sebagai hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin semakin tinggi. Perbedaan antara Sunni serta Syi’ah dan demikian pula antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. 

B. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran aturan Islam ada tokoh-tokoh penting yang hayati pada zamannya dan mewarnai kegiatan pemikiran hukum Islam menggunakan dengan keluarnya teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya pada merumuskan hukum-aturan Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri pada ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah menjadi alasan logis bagi rumusan, suatu aturan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat insan.

Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan sang para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan menjadi pakar ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan sanggup menetapkan aturan dalam Islam, sebelum ia dapat memahami sahih tujuan Allah memutuskan perintah-perintah dan larang-laranganNya.

Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) pada kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya menggunakan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal pada global Islam, namun jua pada luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik buat-menulis dan menyelidiki pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik berdasarkan kalangan Muslim, juga dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]

Sebagai pemikir akbar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran dampak Al-Ghazali tersebut dapat ditinjau serta gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan sang penulis serta pemikir kepadanya, pula cercaan serta orang-orang yang nir senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]

Pada masa al-Ghazali, nir saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga pada bidang sosial-keagamaan. Umat Islam waktu itu terpilah-pilah pada beberapa golongan mazhab fiqh dan genre kalam yg masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan pada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat menggunakan segala daya upaya, bahkan menggunakan cara kekerasan. Sebagai model, apa yg dilakukan sang Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yg beraliran Mu’tazilah sebagai akibatnya mazhab serta aliran lainnya (misalnya mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi stress, bahkan poly korban serta tokoh-tokohya.

Akibat dari fanatisme golongan yg melibatkan pada masa itu, seringkali muncul perseteruan antara golongan mazhab dan genre, malah meningkat hingga sebagai permasalahan fisik yg meminta korban jiwa. Permasalahan tadi terjadi antara banyak sekali mazhab serta aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, lebih banyak didominasi penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana serta Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan pada Bagdad dan daerah Iraq, mazhab Hambali lebih lebih banyak didominasi.

Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka beliau digolongkan relatif produktif pada hal penulisan karya ilmiah, lantaran dia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (getol akan ilmu pengetahuan), beliau juga memiliki kemampuan menulis yg sangat tinggi, hal ini dibuktikan sang al-Ghazali, menulis semenjak umur 20 tahun.

Dari warta yang diperoleh, nampaknya memang masuk akal, apabila dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan keliru seseorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yg tinggi, karena dia masih relatif muda, serta tulisan pertamanya menerima kebanggaan berdasarkan gurunya al-Juwaini.

Tentang jumlah karangan al-Ghazali, hingga saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan ditimbulkan lantaran masih adanya karya-karya al-Ghazali yg belum diterbitkan serta masih pada bentuk naskah yg tersimpan pada perpustakaan, baik pada negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, lantaran sebahagian pada antara karya-karyanya sudah lenyap dibakar dalam waktu tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan menjadi karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti kitab al-Ghazali, sebanyak 31 buah.

Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa menjadi seseorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu jua ia mempergunakan logika (al-ma’quI) menjadi landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yg menggabungkan antara wahyu menggunakan nalar menjadi dasar krusial pada membahas sesuatu.

Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang primer) untuk ijma’ dia menempuh tiga (3) jalan, menjadi berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang dalam pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat nir akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh dalam metode ma’nawy.

Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa rukun Ijtihad terdapat tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad artinya mendeskripsikan sesuatu yg diperjuangkan dan menghabiskan bisnis pada sebuah aktifitas dan nir bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.

Menurut al-Ghazali Orang yg berijtihad, memiliki dua kondisi, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang harus dikemudiankan.. Kedua : seorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan pada berfatwa, apabila tidak adil, maka sama sekali nir diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid menjadi syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seseorang mujtahid bahwa beliau harus mengetahui seluruh kitab yg herbi hukum-aturan, tetapi mengetahui lebih kurang 500 ayat, juga nir disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui loka ayat ketika dibutuhkan. 

Adapun mengenai hadis, wajib mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan buat menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua insiden ijma’ dan perbedaanperbedaannya, namun kebalikannya mengetahui fatwa-fatwa yang mana nir bertentangan dengan ijma’ 

Al-Mujtahidu Fihi, atau masalah Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa seluruh aturan agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka nir diharuskan berijtihad bagi Nabi serta juga menjadi kondisi Ijtihad nir terjadi pada zaman Nabi; maka ada 2 masalah: terjadi perbedaan pendapat pada kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad dalam zaman Rasulullah Saw. Pada hal ini terjadi 2 versi: Sekelompok yg melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh pada hal tetapkan kasus dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak terdapat. Pendapat ke 2: yang membolehkan menggunakan mengungkapkan dengan biar Rasulullah cukup menggunakan diamnya Rasulullah Saw.

Menurut Al-Ghazali pada menerima hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya terdapat ke-ijmalan, menjadi contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik serta Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh semua rambut dalam setiap berwudhu, ad interim itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar serta Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah memutuskan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka harus membasuh sebahagian rambut. Lantaran itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh berdasarkan segi bahasa merupakan sebahagian seperti halnya mandi yg berarti holistik.

Secara Al-Bayan, menggunakan merogoh contoh sah kabar menggunakan perbuatan sama jika menggunakan dengan perbuatan. Contoh yg lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat serta haji menggunakan perbuatannya (dengan misalnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., pada riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menampakan bahwasanya Rasulullah saw., menyebutkan melalui perbuatan. 

Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:

harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang poly dan nir berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur namun dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.

Terkait menggunakan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan pada pada ber-Ijma’ menggantungkan diri, namun permanen melegitimasi yang nir adil seperti di dalam buku Al-Amidi dan Al-Ghazali menyebutkan bahwa adil yg menampakan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq nir boleh dijadikan hujjah.

Al-Ghazali secara etimologi memberi penerangan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu menggunakan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, beliau membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yg di ketahui pada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan aturan pada keduanya atau meniadakan aturan berdasarkan keduanya disebabkan terdapat hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan aturan atau peniadaan hukum”

Dari definisi yang diberikan sang Al-Ghazali, secara panjang serta rumit, demikian pula penggunaan istilah: hamala (menanggungkan), ada jua pakai isbath (memutuskan), ilhaq (menghubungkan) serta sebagainya. Tadi mengandung arti bahwa qiyas itu adalah bisnis atau mujtahid.

Penggunaan istilah ma’lum, oleh Al-Ghazali merupakan dimaksudkan buat menjangkau pada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), lantaran bila dikatakan istilah “sesuatu” berdasarkan mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal serta furu’ dengan istilah (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu membentuk lawan hukum dari sesautu yg diketahui dalam tempat lain lantaran keduanya tidak sama pada illat, hukum. 

Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara buat menetapkan aturan yang kasusnya tidak terdapat pada nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) menggunakan perkara hokum yang terdapat pada nash, disebabkan adanya persamaan illat aturan.

Selain al-Ghazali timbul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi adalah keliru seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang kentara, beliau berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah berasal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak pada tempat Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh semua pendidikannya pada ibukota kerajaan Nashr, Granada, yg adalah benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan menggunakan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang adalah masa keemasan umat Islam setempat lantaran Granada menjadi sentra kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yg berkembang dengan baik pada kota tadi sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi pada menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami banyak sekali ilmu, baik yg berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi serta hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya menggunakan belajar dan mendalami bahasa Arab berdasarkan Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, serta Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, beliau belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam serta falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, dan banyak sekali ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, beliau pula melakukan interaksi korespondensi buat meningkatkan dan menyebarkan pengetahuannya, misalnya mengirim surat pada seseorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari serta mendalami banyak sekali ilmu, asy-Syatibi lebih berminat buat mempelajari bahasa Arab serta, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yg sangat memilih kekuatan serta kelemahan fikih pada menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan pada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, beliau juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat dalam lepas 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri menurut 2 istilah, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah asal utama kehidupan. Menurut kata, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan buat mewujudkan kemaslahatan insan di dunia serta di akhirat”

Dari pengertian tadi, bisa dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi merupakan kemaslahatan umat insan. Lebih jauh, dia menyatakan bahwa nir satu pun aturan Allah swt yg nir memiliki tujuan karena aturan yg nir mempunyai tujuan sama menggunakan membebankan sesuatu yg nir bisa dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki insan, pemenuhan Penghidupan manusia, serta perolehan apa-apa yang dituntut sang kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang dalam gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan insan. Asy-Syatibi menyebutkan bahwa syariah berurusan dengan proteksi mashalih, baik menggunakan cara yang positif, misalnya demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun menggunakan cara preventif, seperti syariah merogoh berbagai tindakan buat melenyapkan unsur apa pun yg yg secara aktual atau potensial menghambat mashalih.

Menurut al-Syatibi [11]maqasidul syariah terbagi kepada 3 strata kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah taraf kebutuhan yg harus ada atau disebut menggunakan kebutuhan utama. Bila tingkat kebutuhan ini nir terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di global juga pada akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara logika, kehormatan, keturunan serta harta.
b. Kebutuhan Hajiyat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan nir sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat artinya tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi nir mengancam eksistensi salah satu menurut 5 utama diatas dan tida jua menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang adalah kepatutan menurut adat norma, menghindarkan hal-hal yang nir lezat dilihat mata, dan berhias menggunakan estetika yg sinkron menggunakan tuntutan kebiasaan dan akhlak.

Pengetahuan mengenai maqasid syari’ah, misalnya ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, merupakan hak sangat penting yg dapat dijadikan indera abntu buat memahami redaksi Al-Qur’an serta sunnah menuntaskan dalil-dalil yg bertentangan serta sangat penting lagi merupakan buat menetapkan hukum terhadap perkara yang nir bertampung sang Al-Qur’an serta sunah secara kajian kebahasan. [12] 

Beberapa ulama ushul sudah mengumpulkan beberapa maksud yg generik berdasarkan menasyri’kan aturan menjadi 3 kelompok, yaitu :
  • Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi insan dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yg dharuri itu adalah segala yg diharapkan buat hidup manusia, yang jika nir diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, serta berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yg dharuri itu pulang pada lima pokok : Agama, jiwa, nalar, keturunan serta harta
  • Menyempurnakan segala yang dihayati insan. Urusan yang dihayati insan ialah segala sesuatu yang diharapkan manusia buat memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif serta beban hayati. Jika urusan itu nir diperoleh, nir Mengganggu peraturan hayati dan nir menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
  • Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diharapkan oleh rasa humanisme, kesusilaan, dan keseragaman hayati. Jika yang demikian ini nir diperoleh tidaklah cidera peraturan hayati serta nir jua ditimpa kepicikan. Hanya dilihat tidak boleh oleh logika yg bertenaga dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan estetika ini dalam arti balik kepada soal akhlak serta adat adat yg rupawan serta segala sesuatu buat mencapai keseragaman hayati melalui jalan-jalan yg primer.
Urusan dharuri adalah sepenting-pentingnya maksud, lantaran bila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan, menghilangkan keamanan serta merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, nir dipelihara hukum yg bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat buat keperluan berobat. Menutup aurat adalah urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis buat obat serta dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis merupakan urusan yg mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]

Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, lantaran harus kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan adalah urusan tahsini yg mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, jika menghambat dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali jika suatu dharuri yang lebih krusial menurut padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad buat memeliharanya sebab memelihara kepercayaan adalah lebih penting dari dalam memelihara jiwa. Meminum bir dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih krusial menurut dalam memelihara akal. Apabila perlu buat memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang lantaran memelihara jiwa lebih penting dari dalam memelihara harta.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS

[1]Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35 
[2]Periode ini dianggap juga menjadi periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan tidak aktif yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) serta hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.L : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam aneka macam kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam syarat yg demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai pada banyak sekali tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad pada mazhab, dua) taraf kedua, mujtahid dalam beberapa perkara yang tidak terdapat riwayat berdasarkan imam mazhab, 3) taraf ketiga, ahlu at-tahriej yg nir melakukan ijtihad buat mengambil aturan pada beberapa masalah serta hanya melakukan restriksi mazhab yang dianutnya pada menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) taraf keempat ahlu at-tarjiehyang bisa mempertimbangkan serta membandingkan diantara riwayat-riwayat berdasarkan para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dievaluasi paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan aturan Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pelatihan dan pembukuan hukum Islam serta keluarnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, menjadi dampak merajalelanya taqlid serta kebekuan sampai lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu buku yang mengintrodusir perundang-undangan terbaru dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai berdasarkan lahirnya buku al-Majallah sampai sekarang. 
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15 
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori serta Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran serta Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13. 
[9]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34. 
[10]Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57 
[11]Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75 
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
[13]Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.