ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS STUDI ATAS PEMIKIRAN HUKUM FAZLUR RAHMAN

Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman
Hukum Islam disamping sarat akan muatan sosiologis tidak bisa dipungkiri mempunyai pula dimensi teologis serta inilah yang membedakan aturan Islam menggunakan hukum pada terminologi ilmu hukum terbaru, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya mampu mengakibatkan anggapan bahwa hkum Islam adalah anggaran yang sakral, bahkan pada keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap anggaran-anggaran hkum Islam yang terdapat, lantaran secara psikologis telah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang bisa mengantarkan dalam cara pandang yg sahih mengenai aspek teologis dalam hkum Islam ini. Dalam Perjalanan sejarahnya yg awal, aturan Islam merupakan suatu kekuatan yg bergerak maju dan kreatif. Hal ini bisa dicermati menurut keluarnya sejumlah mazhab hukum yg memiliki corak sendiri-sendiri sesuai menggunakan latar belakang sosiokultural serta politik dimana mazhab hukum itu tumbuh serta berkembang.

Dalam kerangka berpikir usul fiqh klasik masih ada 5 prinsip yang memungkinkan Hukum Islam sanggup berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hukum menggunakan berubahnya masa. Kelima prinsip ini menggunakan kentara menerangkan betapa pleksibelnya hukum Islam. [1]

Dengan Berlalunya saat, perkembangan Hukum Islam yang bergerak maju serta kreatif dalam masa awal kemudian berkembang menjadi kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli aturan populer, tetapi menggunakan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak buat berijtihad mulai dibatasi serta pada gilirannya dinyatakan tertutup.[2] 

Selanjutnya dalam makalah ini dibahas mengenai aturan Islam dalam masa kemunduran atau dikenal menggunakan istilah masa ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan serta statis yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H)

A. Situasi Umum Dunia Islam
Harun Nasution, menjelaskan bahwa Dunia Islam terbagi kepada 2 bagian, yaitu Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara menggunakan Mesir sebagai pusatnya serta bagian Persia yg terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia serta Asia Tengah menggunakan Iran sebagai pusatnya. Pada saat ini kebudayaan Persia merogoh bentuk Internasional dan mendesak kebudayaan lapangan kebudayaan Arab. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup semakin meluas dikalangan umat Islam. [3]

Ketika ajaran tarekat semakin merajalela dengan pengaruh negatifnya. Perhatian dalam ilmu pengetahuan sangat kurang sekali. Umat Islam di Sepanyol--yg tadinya merupakan satu kekuatan tersendiri--dipaksa masuk Kristen serta atau keluar dari darah itu. Di samping itu, kondisi dunia Islam semakin mengalami kemunduran, meskipun dalam masa ini-- tahun 1500 – 1700--munculnya 3 kerajaan besar Islam menggunakan kemanjuannya masing-masing yaitu Kerajaan Usmani pada Turki, Kerajaan Safawi pada Persia serta kerajaan Mughal pada India.

Bersamaan dengan fenomena ini penetrasi bangsa Barat dengan kekuatannya semakin semakin tinggi serta meluas ke dunai Islam. Pada tahun 1798 M, Mesir sebagai sentra Islam terpenting berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, seorang jenderal Perancis yang memimpin pasukuannya menaklukan Mesir. Demikian pula, Inggeris sudah mulai menanamkan kekuasaannya pada India.[4] Sampai pada taraf ini, umat Islam mengalami kemunduran yg paling tidak baik pada sejarah perjalanannya. Paham keagamaan terpecah belah pada beberapa mazhab dimana antara satu menggunakan yg lainnya saling menjamin merekalah yg sahih serta saling menyalahkan. Demikian jua kekuatan politik umat Islam semakin melemah dan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sudah jauh menurun. Akibatnya rakyat sebagai jumud dan statis yang hanya menyerah pada nasib.

Di Turki Asia berdiri sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Bani Saljuk dan pada akhirnya kerajaan ilmiah yg menghancurkan negeri Islam lainnya. Pada ketika ini pula keluarnya pemberontakan yang dari menurut keturunan Bani Hasim, serta gerombolan ini dinamakan partai Alawiyah. Dengan keluarnya kekerasan dan peperangan terus menerus membawa dampak yg tidak baik bagi umat Islam, mereka menjadi lemah buat berbuat. Rasa putus harapan ada menyelimuti akibatnya kemunduran serta keterbelakanganlah karena pada masa itu para ulama nir lagi menyelidiki buku-buku tertentu yang diharapkan lain halnya dengan ulama-ulama terdahulu, mereka pulang kenegara-negara besar sehingga terwujud serta terjalin interaksi yanng harmonis antara ulama dan pemerintahannya.[5]

Siapapun yang mengamati insiden serta sejarah Islam dalam periode ini tentu melihat bahwa yang mengakibatkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan yg menyebabkan para fuqaha’ menentukan jalan taqlid merupakan pergolakan politik yang mengakibatkan negara Islam terpecah sebagai beberapa negara kecil. Dimana setiap negri mempunyai penguasaan sendiri yg diberi gelar Amirul Mukmin. Dari sini mampu dilihat lemahnya negara Islam ketika telah terkena penyakit perpecahan mengganmtikan posisi persaudaraan serta keamanan, negara yang besar terbagi beberapa negara yg kecil. Di timur terdapat negara Sasai dengan Ibukota Bukhara, serta di Anfuleusia terdapat negara Letak yang didirikan oleh Abdurahman An-Nashir, demikian juga negara Fatimiyah yg ada pada utara Afrika.

Pada masa kemunduan ini pula dianggap periode epilog ijtihad atau periode tadwin (pembekuan), mula-mula pada bidanag kebudayaan Islam, lalu berhentilah perkembangan hukum Islam fiqih-fiqih Islam. Pada umumnya ulama pada masa ini telah lemah kemauannya buat mencapai tingkat mujtahid sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka. 

A. Sebab-karena kemunduran Pemikiran Hukum Islam
Dilihat menurut segi sejarah pemikiran aturan Islam dan gerakan ijtihad, maka masa ini adalah masa yg dilihat sebagai situasi yang tidak menguntungkan bagi umat Islam. Dikatakan demikian, lantaran pada masa ini aktivitas ijtihad telah mulai menurun serta mengendur, dan bahkan tidak aktif. Kemunduran gerakan ijtihad pada masa ini lebih disebabkan oleh 3 faktor krusial. 

a. Lahirnya Mazhab-mazhab fiqh, dimana dalam awalnya memang memberitahuakn semaraknya gerakan ijtihad,[6] tetapi pada akhirnya menimbulkan suasana atau citra yg tidak kondusif, sehingga terjadi disparitas-disparitas antar mazhab yang cenderung kontra produktif. Tidak sporadis terjadi kontradiksi antar mazhab, yg kadang-kadang membawa imbas negative pada masyarakat (pengikut mazhab). Masyarakat terkotak-kotak ke pada banyak sekali mazhab dan masing-masing mengkalaim mazhab merekalah yg sahih dan menyalahkan yg lainnya. 

b. Menurunnya semangat ijtihad dan kuatnya pengaruh ajaran mazhab, sehingga para ulama nir mau serta tidak bisa melampaui ketentuan-ketentuan yang telah digariskan sang mazhab yang mereka anut. Parahnya lagi, di kalangan pengikut mazhab timbul sikap ta’asub mazhab dan taqlid. Akibatnya, para ualam yg ada disetiap mazhab sebagai tidak kreatif dan mandul. Suasana seperti inilah yg menyebabkan mundurnya gerakan ijtihad serta pemikiran pada Islam. Pada ketika ini, kalaupun terdapat ijtihad yang dilakukan sang ulama, namun nir lebih dari sekedar mensyarah pemikiran-pemikiran imam-imam mazhab mereka dan mengintrodusir ajaran mazhab pada warga . Kemandirian ulama buat melakukan ijtihad menjadi hilang, mereka hanya mengikuti apa yang terdapat dalam mazhab mereka. Disamping itu, di kalangan mazhab sendiri sudah menciptakan aneka macam macam persyaratan buat dijadikan acuan pada melakukan ijtihad. Persyaratan-persyaratan ijtihad itu, pada umumnya ditetapkan sangat ketat, sebagai akibatnya dalam operasionalnya tidak gampang buat dilakukan. Ketatnya persyaratan ijtihad ini, semula tujuannya adalah agar nir muncul orang-orang yang nir mempunyai otoritas dalam melakukan ijtihad dan menduga gampang ijtihad itu. Diakui bahwa ketika ini, memang terdapat semacam kecenderungan berdasarkan sebagian orang yg menggampangkan problem ijtihad ini, dan bisa dilakukan oleh semua orang. Melihat kecenderungan ini, ulama-ulama mazhab merasa khawatir bila ijtihad dilakukan oleh orang-orang jahil yg tidak memiliki persyaratan, maka akan menyebabkan malapetaka bagi umat Islam, sebagai akibatnya akhirnya pintu ijtihad ditutup.

c. Disintegrasi dan penguasaan bangsa asing faktor yang paling parah yang mengakibatkan kemunduran umat Islam merupakan terjadinya disintegrasi serta perpecahan umat Islam. Seperti dijelaskan sang Harun Nasution,[7] bahwa pada fase ini keutuhan umat Islam dibidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah mulai menurun serta bahkan khilafah menjadi symbol serta lambing kesatuan Politik umat Islam sebagai hilang. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi semakin semakin tinggi. Perbedaan antara Sunni serta Syi’ah dan demikian pula antara Arab dan Persia bertambah nyata kelihatan. 

B. Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam masa kemunduran
Pada masa kemunduran pemikiran aturan Islam ada tokoh-tokoh penting yang hayati pada zamannya dan mewarnai kegiatan pemikiran hukum Islam menggunakan dengan keluarnya teori maqashid al-Syari’ah. Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya pada merumuskan hukum-aturan Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri pada ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah menjadi alasan logis bagi rumusan, suatu aturan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat insan.

Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan sang para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan menjadi pakar ushul fikih pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan sanggup menetapkan aturan dalam Islam, sebelum ia dapat memahami sahih tujuan Allah memutuskan perintah-perintah dan larang-laranganNya.

Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali(450H./1058M.-505H./IIIIM.) pada kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya menggunakan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal pada global Islam, namun jua pada luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik buat-menulis dan menyelidiki pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik berdasarkan kalangan Muslim, juga dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [8]

Sebagai pemikir akbar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran dampak Al-Ghazali tersebut dapat ditinjau serta gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian dilontarkan sang penulis serta pemikir kepadanya, pula cercaan serta orang-orang yang nir senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.[9]

Pada masa al-Ghazali, nir saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga pada bidang sosial-keagamaan. Umat Islam waktu itu terpilah-pilah pada beberapa golongan mazhab fiqh dan genre kalam yg masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar menanamkan fanatisrne golongan pada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada rakyat menggunakan segala daya upaya, bahkan menggunakan cara kekerasan. Sebagai model, apa yg dilakukan sang Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yg beraliran Mu’tazilah sebagai akibatnya mazhab serta aliran lainnya (misalnya mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi stress, bahkan poly korban serta tokoh-tokohya.

Akibat dari fanatisme golongan yg melibatkan pada masa itu, seringkali muncul perseteruan antara golongan mazhab dan genre, malah meningkat hingga sebagai permasalahan fisik yg meminta korban jiwa. Permasalahan tadi terjadi antara banyak sekali mazhab serta aliran, masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, lebih banyak didominasi penduduknya bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana serta Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan pada Bagdad dan daerah Iraq, mazhab Hambali lebih lebih banyak didominasi.

Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazali, maka beliau digolongkan relatif produktif pada hal penulisan karya ilmiah, lantaran dia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (getol akan ilmu pengetahuan), beliau juga memiliki kemampuan menulis yg sangat tinggi, hal ini dibuktikan sang al-Ghazali, menulis semenjak umur 20 tahun.

Dari warta yang diperoleh, nampaknya memang masuk akal, apabila dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan keliru seseorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yg tinggi, karena dia masih relatif muda, serta tulisan pertamanya menerima kebanggaan berdasarkan gurunya al-Juwaini.

Tentang jumlah karangan al-Ghazali, hingga saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan ditimbulkan lantaran masih adanya karya-karya al-Ghazali yg belum diterbitkan serta masih pada bentuk naskah yg tersimpan pada perpustakaan, baik pada negeri Arab maupun di Eropa. Sebab lain, lantaran sebahagian pada antara karya-karyanya sudah lenyap dibakar dalam waktu tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[10] Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan menjadi karya al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti kitab al-Ghazali, sebanyak 31 buah.

Adapun landasan pemikiran Al-Ghazali, bahwa menjadi seseorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu jua ia mempergunakan logika (al-ma’quI) menjadi landasan berpikirnya. Di dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yg menggabungkan antara wahyu menggunakan nalar menjadi dasar krusial pada membahas sesuatu.

Ketika Al-Ghazali membahas dalil-dalil pokok (yang primer) untuk ijma’ dia menempuh tiga (3) jalan, menjadi berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang dalam pendapat Rasulullah Saw, bahwa umat nir akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh dalam metode ma’nawy.

Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa rukun Ijtihad terdapat tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad artinya mendeskripsikan sesuatu yg diperjuangkan dan menghabiskan bisnis pada sebuah aktifitas dan nir bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara menyeluruh.

Menurut al-Ghazali Orang yg berijtihad, memiliki dua kondisi, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana yang harus dikemudiankan.. Kedua : seorang mujtahid harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan pada berfatwa, apabila tidak adil, maka sama sekali nir diterima fatwanya. Jadi keadilan seseorang mujtahid menjadi syarat sahnya ijtihad, juga selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat seseorang mujtahid bahwa beliau harus mengetahui seluruh kitab yg herbi hukum-aturan, tetapi mengetahui lebih kurang 500 ayat, juga nir disyaratkan menghafalnya; tetapi mengetahui loka ayat ketika dibutuhkan. 

Adapun mengenai hadis, wajib mengetahui hadis-hadis yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan buat menghafalnya, seperti Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal semua insiden ijma’ dan perbedaanperbedaannya, namun kebalikannya mengetahui fatwa-fatwa yang mana nir bertentangan dengan ijma’ 

Al-Mujtahidu Fihi, atau masalah Ijtihad ini sendiri, di sini dijelaskan bahwa seluruh aturan agama yang tidak mempunyai dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid bukan Nabi, maka nir diharuskan berijtihad bagi Nabi serta juga menjadi kondisi Ijtihad nir terjadi pada zaman Nabi; maka ada 2 masalah: terjadi perbedaan pendapat pada kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad dalam zaman Rasulullah Saw. Pada hal ini terjadi 2 versi: Sekelompok yg melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh pada hal tetapkan kasus dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak terdapat. Pendapat ke 2: yang membolehkan menggunakan mengungkapkan dengan biar Rasulullah cukup menggunakan diamnya Rasulullah Saw.

Menurut Al-Ghazali pada menerima hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global) menurutnya terdapat ke-ijmalan, menjadi contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam hal ini Imam Malik serta Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh semua rambut dalam setiap berwudhu, ad interim itu Imam Syafi’i dan Abd. Jabbar serta Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah memutuskan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan dari sebahagian saputangan, maka harus membasuh sebahagian rambut. Lantaran itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa membasuh berdasarkan segi bahasa merupakan sebahagian seperti halnya mandi yg berarti holistik.

Secara Al-Bayan, menggunakan merogoh contoh sah kabar menggunakan perbuatan sama jika menggunakan dengan perbuatan. Contoh yg lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat serta haji menggunakan perbuatannya (dengan misalnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw., pada riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menampakan bahwasanya Rasulullah saw., menyebutkan melalui perbuatan. 

Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:

harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan sanadnya yang poly dan nir berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur namun dengan syarat harusadil maka itu dapat diterima.

Terkait menggunakan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan pada pada ber-Ijma’ menggantungkan diri, namun permanen melegitimasi yang nir adil seperti di dalam buku Al-Amidi dan Al-Ghazali menyebutkan bahwa adil yg menampakan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq nir boleh dijadikan hujjah.

Al-Ghazali secara etimologi memberi penerangan bahwa kata qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu menggunakan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, beliau membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yg di ketahui pada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan aturan pada keduanya atau meniadakan aturan berdasarkan keduanya disebabkan terdapat hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan aturan atau peniadaan hukum”

Dari definisi yang diberikan sang Al-Ghazali, secara panjang serta rumit, demikian pula penggunaan istilah: hamala (menanggungkan), ada jua pakai isbath (memutuskan), ilhaq (menghubungkan) serta sebagainya. Tadi mengandung arti bahwa qiyas itu adalah bisnis atau mujtahid.

Penggunaan istilah ma’lum, oleh Al-Ghazali merupakan dimaksudkan buat menjangkau pada sesutu yang belum diketahui (ma’düm), lantaran bila dikatakan istilah “sesuatu” berdasarkan mereka, hanya berlaku yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya menghubungkan antara ashal serta furu’ dengan istilah (dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu membentuk lawan hukum dari sesautu yg diketahui dalam tempat lain lantaran keduanya tidak sama pada illat, hukum. 

Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara buat menetapkan aturan yang kasusnya tidak terdapat pada nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) menggunakan perkara hokum yang terdapat pada nash, disebabkan adanya persamaan illat aturan.

Selain al-Ghazali timbul Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi adalah keliru seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang kentara, beliau berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah berasal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak pada tempat Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh semua pendidikannya pada ibukota kerajaan Nashr, Granada, yg adalah benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan menggunakan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang adalah masa keemasan umat Islam setempat lantaran Granada menjadi sentra kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yg berkembang dengan baik pada kota tadi sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi pada menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami banyak sekali ilmu, baik yg berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi serta hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya menggunakan belajar dan mendalami bahasa Arab berdasarkan Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, serta Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, beliau belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam serta falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, dan banyak sekali ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, beliau pula melakukan interaksi korespondensi buat meningkatkan dan menyebarkan pengetahuannya, misalnya mengirim surat pada seseorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari serta mendalami banyak sekali ilmu, asy-Syatibi lebih berminat buat mempelajari bahasa Arab serta, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yg sangat memilih kekuatan serta kelemahan fikih pada menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan pada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, beliau juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat dalam lepas 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri menurut 2 istilah, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah asal utama kehidupan. Menurut kata, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan buat mewujudkan kemaslahatan insan di dunia serta di akhirat”

Dari pengertian tadi, bisa dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi merupakan kemaslahatan umat insan. Lebih jauh, dia menyatakan bahwa nir satu pun aturan Allah swt yg nir memiliki tujuan karena aturan yg nir mempunyai tujuan sama menggunakan membebankan sesuatu yg nir bisa dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki insan, pemenuhan Penghidupan manusia, serta perolehan apa-apa yang dituntut sang kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang dalam gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan insan. Asy-Syatibi menyebutkan bahwa syariah berurusan dengan proteksi mashalih, baik menggunakan cara yang positif, misalnya demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun menggunakan cara preventif, seperti syariah merogoh berbagai tindakan buat melenyapkan unsur apa pun yg yg secara aktual atau potensial menghambat mashalih.

Menurut al-Syatibi [11]maqasidul syariah terbagi kepada 3 strata kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah taraf kebutuhan yg harus ada atau disebut menggunakan kebutuhan utama. Bila tingkat kebutuhan ini nir terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di global juga pada akherat kelak. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara logika, kehormatan, keturunan serta harta.
b. Kebutuhan Hajiyat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan nir sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat artinya tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi nir mengancam eksistensi salah satu menurut 5 utama diatas dan tida jua menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang adalah kepatutan menurut adat norma, menghindarkan hal-hal yang nir lezat dilihat mata, dan berhias menggunakan estetika yg sinkron menggunakan tuntutan kebiasaan dan akhlak.

Pengetahuan mengenai maqasid syari’ah, misalnya ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, merupakan hak sangat penting yg dapat dijadikan indera abntu buat memahami redaksi Al-Qur’an serta sunnah menuntaskan dalil-dalil yg bertentangan serta sangat penting lagi merupakan buat menetapkan hukum terhadap perkara yang nir bertampung sang Al-Qur’an serta sunah secara kajian kebahasan. [12] 

Beberapa ulama ushul sudah mengumpulkan beberapa maksud yg generik berdasarkan menasyri’kan aturan menjadi 3 kelompok, yaitu :
  • Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi insan dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yg dharuri itu adalah segala yg diharapkan buat hidup manusia, yang jika nir diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, serta berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yg dharuri itu pulang pada lima pokok : Agama, jiwa, nalar, keturunan serta harta
  • Menyempurnakan segala yang dihayati insan. Urusan yang dihayati insan ialah segala sesuatu yang diharapkan manusia buat memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif serta beban hayati. Jika urusan itu nir diperoleh, nir Mengganggu peraturan hayati dan nir menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
  • Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diharapkan oleh rasa humanisme, kesusilaan, dan keseragaman hayati. Jika yang demikian ini nir diperoleh tidaklah cidera peraturan hayati serta nir jua ditimpa kepicikan. Hanya dilihat tidak boleh oleh logika yg bertenaga dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan estetika ini dalam arti balik kepada soal akhlak serta adat adat yg rupawan serta segala sesuatu buat mencapai keseragaman hayati melalui jalan-jalan yg primer.
Urusan dharuri adalah sepenting-pentingnya maksud, lantaran bila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan, menghilangkan keamanan serta merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, nir dipelihara hukum yg bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat buat keperluan berobat. Menutup aurat adalah urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis buat obat serta dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis merupakan urusan yg mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri[13]

Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, lantaran harus kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan adalah urusan tahsini yg mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, jika menghambat dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali jika suatu dharuri yang lebih krusial menurut padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad buat memeliharanya sebab memelihara kepercayaan adalah lebih penting dari dalam memelihara jiwa. Meminum bir dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih krusial menurut dalam memelihara akal. Apabila perlu buat memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang lantaran memelihara jiwa lebih penting dari dalam memelihara harta.

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS

[1]Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989) hlm 33-35 
[2]Periode ini dianggap juga menjadi periode taqlid yakni ‘ahdul jumuud wa al-wuquuf yakni periode kebekuan dan tidak aktif yan berlangsung mulai pertengahan abad keempat hijrah (350 H) serta hanya Allah yang Maha Tahun kapan periode ini akan berakhir. Diantara penyebab terhentinya gerakan ijtihad a.L : 1) terbagi-baginya Daulah Islamiyyah dalam aneka macam kerajaan yang saling bermusuhan sehingga atau terjebak dalam peperangan demi peperangan. Dalam syarat yg demikian ini maka ‘ulama pada masa itupun terbagai pada banyak sekali tingkatan. 1) tingkat pertama ahli ijihad pada mazhab, dua) taraf kedua, mujtahid dalam beberapa perkara yang tidak terdapat riwayat berdasarkan imam mazhab, 3) taraf ketiga, ahlu at-tahriej yg nir melakukan ijtihad buat mengambil aturan pada beberapa masalah serta hanya melakukan restriksi mazhab yang dianutnya pada menafsiri pendapat-pendapat imamnya, 4) taraf keempat ahlu at-tarjiehyang bisa mempertimbangkan serta membandingkan diantara riwayat-riwayat berdasarkan para imam dan kemudian menetakan pilihan yang dievaluasi paling shahih.
Secara hampir mirip, A. Hanafi mendeskripsikan perkembangan hukum Islam dalam 5 (lima) periode. Pertama, periode permulaan aturan Islam, dimulai sejak kebangkitan Rasulullah saw hingga waftanya. Kedua, periode persiapan hukum Islam, dimulai dari khalifah pertama hingga berakhirnya masa shahabat (1 H – akhir abad I H). Ketiga periode pelatihan dan pembukuan hukum Islam serta keluarnya para imam mujtahid, berlangsung kurang lebih 250 tahun. Keempat periode kemunduran hukum Islam, menjadi dampak merajalelanya taqlid serta kebekuan sampai lahirnya kitabMajallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, suatu buku yang mengintrodusir perundang-undangan terbaru dalam hukum Islam. Kelima, periode kebangunan yang dimulai berdasarkan lahirnya buku al-Majallah sampai sekarang. 
[3]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 14
[4] Ibid, hlm 15 
[5]Amir Muallim-Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori serta Fungsi. (Yogyakarta; Titian Ilahi Press. Cet. I, 1997) hlm 38.
[6]Sofi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’’ah Al-Islamiyah Fi Bilad Al-Arabiyah. (Kairo ; Dar al-Nahdah Al-arabiyah, Cet. III)1990, hlm 152-163
[7]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran serta Gerakan). (Jakarta ; Bulan Bintang, Cet. II, 1982) hlm 13
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13. 
[9]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34. 
[10]Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm 57 
[11]Khairul Uman, Achyar Amitudin, Ushul Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75 
[12]Djazuli, Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
[13]Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19

Comments