PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yg terus berubah memunculkan beragam tantangan bagi organisasi, apapun bentuk dan wujud organisasi tadi. Meski sebagian besar berita bukan hal baru, konteks lingkungan yang berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori serta praktik yg berkaitan menggunakan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri sebagai info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yang efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi dalam sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi dengan segala ciri serta kapasitas yang teraktualisasi tidak lain adalah produk yg dapat diidentikkan menggunakan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik sepertinya tidak kalah menariknya (pada beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual maupun mudah kepemimpinan private sector. Apabila seorang pemimpin perusahaan secara penuh sanggup mendasarkan perilaku atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas serta efisiensi organisasi sehingga hiegenis menurut sebuah proses tekanan, kompromi dan persekongkolan dan itu bisa menggunakan mudah ditularkan pada seluruh anggota organisasi yg jua berkepentingan terhadap efektivitas serta efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan di sektor publik. Dalam kasus tertentu, meskipun perhitungan efisiensi sudah merekomendasikan tindakan konkret yg harus diambil, tidak jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin jua memaksakan diri buat merogoh tindakan yang berlawanan menggunakan pilihan yang rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seorang pemimpin harus bertindak serta merogoh suatu keputusan eksklusif lantaran dalam nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik dan legal dari suatu keputusan yang dibentuk. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik tak jarang nir muncul pada bentuk yang nyata serta terbenam di pada sebuah konspirasi yg rapi dan kompleks. Dalam syarat demikian pilihan rasional mampu menjadi nir rasional buat dipilih dan kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru bisa sebagai pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yg terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai akal pembenaran yang linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi dampak dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara pada strata eksekutif seringkali lebih terpesona serta tertarik memakai instrumen politik untuk menyelesaikan dilema masyarakat. Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar dilema politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, pelaksanaan suatu program nir bisa menemukan bentuknya menjadi instrumen yg memang sanggup bekerja dan menyelesaikan kasus publik. Kebijakan serta program acapkali hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta membangun status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yg berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik oleh administrator negara, dalam banyak hal sudah memakan korban kemampuan manajerial serta teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini dapat terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yg lebih luas pertanyaan tersebut bisa diperpanjang dengan pertanyaan bagaimana seseorang administrator negara seharusnya memimpin di tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah ia terjebak pada pragmatisme politik sehingga melupakan bahwa administrasi juga mempunyai sejumlah tantangan yg harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yg mengedepankan knowledge dan mempertemukan rasionalitas tindakan dengan real persoalan yang terdapat? Akal berpikirnya merupakan dilema administrasi tidak akan terselesaikan begitu saja hanya dengan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jikalau dirasa pendekatan politik telah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara pada memecahkan kasus publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri berdasarkan ”zona” politik serta wajib berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif dari putusan-putusan politik yg sudah dibuat sang lembaga lain yg adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang relatif dikatakan ekstreem, akankah kita balik dalam reproduksi konsep ideal weber dengan mengadaptasikan konsep birokrasi ke pada level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tersebut bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara merupakan suatu keniscayaan serta kewajaran lantaran top eksekutif administrasi merupakan jelas adalah jabatan dengan proses rekuitmen politis

Kontroversi yg melibatkan hubungan pendekatan serta penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yang mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, dalam dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan interaksi politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan dan memaparkan konstruksi ilham kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menelaah balik struktur rekanan politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik serta Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran dan evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan tentang struktur dan konfigurasi relasi politik serta administrasi sebagai tema tak pernah mati yang bahkan sampai dewasa ini belum menerima konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yg berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri untuk didiskusikan. Tidak berlebihan, bila perdebatan tersebut kemudian menjadi ide-ilham konstruktif yang melahirkan paradigma-kerangka berpikir eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, ketika Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power berdasarkan ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif. Logika berpikir tadi menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yang menjalankan keputusan-keputusan politis. Tetapi demikian dalam prakteknya, Jackson justru menjadikan wilayah eksekutif menjadi arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tadi Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya nir terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tadi, Jackson banyak menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yang ditinjau bisa memperkuat kekuatan politiknya dan sanggup menghadang versus politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, pula menyoroti secara khusus relasi politik dan administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus fundamental bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi serta menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan dengan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek dan tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tidak ubahnya misalnya menjalankan organisasi-organisasi bisnis di mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson menyampaikan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson mendapat dukungan luas dalam masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yang mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya buku text pertama dalam ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, balik memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tadi secara jelas benderang menampakan bahwa kegiatan administrasi publik adalah aktivitas manajemen, yakni execution, bukan aktivitas politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa buat melakonkan kiprah tadi administrasi publik harus berinteraksi menggunakan kegiatan dari political branch (satu hal yg dalam hal tertentu pula diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, tampaknya perdebatan akademik seputar rekanan politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus balik dalam paradigma ke-3 Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung sebagai ilmu serta praktik yang bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat lalu lebih fokus pada persoalan-dilema organisasi. Gerakan yg cukup revolusioner menggunakan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an kembali melakukan gugatan terhadap netralitas administrasi publik yg sepertinya tidak memberikan donasi terhadap banyak sekali pertarungan kenegaraan dan kemasyarakatan yg muncul pasca perang dunia. Administrasi publik balik dipaksa masuk pada ranah politik di mana beliau wajib memiliki set of value, ethic dan kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan kegiatan politik. Semua atribut tersebut harus teraktualisasi pada produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan nir saja dalam policy implementation melainkan juga pada proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental dengan proses dan aktivitas politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration tampaknya pula nir sepenuhnya memuaskan banyak pihak. Lambannya dan inefisiensi tindakan administrasi karena penguasaan peran dan luasnya lapangan yang wajib dicakup sebagai akibat konsep welfare state, mendorong para pakar dan praktisi mereposisi peran administrasi dengan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dasa warsa 1980-1990an. Arus balik serta gelombang pemikiran yg menekankan pada pendekatan-pendekatan manajerial, pulang menghinggapi administrasi publik. Gaya dan perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dipandang hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas serta efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yang sepertinya waktu ini sebagai mufakat ilmiah belum pasti, pula nir mampu melepaskan diri dari perdebatan panjang pola rekanan administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance berdasarkan sisi politik dengan mengkaitkannya dengan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya serta mensyaratkan keluarnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai untuk mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, namun juga menkonstruksikan bagaimana model teknis yang tepat buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah menurut aneka macam uraian tersebut di atas memberitahuakn bahwa rekanan politik serta administrasi menurut tindakan administrasi public adalah perdebatan panjang yg bahkan selalu hadir dalam kerangka berpikir administrasi yang berkembang. Pada satu sisi, timbul harapan buat mengakibatkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan dalam sisi yang lain menghendaki perilaku politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar empiris akademik melainkan pula sebagai potret bergerak maju administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang timbul, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik harus dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yang harus dipilih ? Dalam nyatanya banyak pandangan yg nir secara eksplisit memperlihatkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yang lain. Paparan Rosenbloom (....) pula mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yg memiliki konsepsi dan konstruksi nilai yg tidak sama, yakni politik, manajemen, serta sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang harus dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya harus dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tadi, poly pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) menjelaskan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration serta lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah wilayah politik karena keberadaan dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan serta lingkup pekerjaannya pun dicermati adalah political action, misalnya misalnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi menggunakan menggunakan aneka macam sumber otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi lantaran memang sebagian administrator level executive dibentuk melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yang didudukinya secara politik, maka jelas pemimpin administrasi juga menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan sebagai proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yg tentunya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan inheren dalam administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik merupakan collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi masalah serta konstruksi kebijakan berdasarkan skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yang dimaksud dalam hal ini merupakan entitas gerombolan dan kekuatan politik yg membangun administrasi publik yg bisa berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik merupakan pemimpin atas seluruh kegiatan politik tadi di dalam tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana dengan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih menunjuk dalam kapasitas manajerial dan profesional, yg menuntaskan kasus menggunakan knowledge nir menggunakan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada adalah dengan meletakkan permasalahan manajerial menjadi permasalahan yang lebih berada dalam level middle administration yang lalu secara technical dioperasionalkan oleh lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), dengan memetakan duduk perkara relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik dan administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dipandang terselesaikan serta terpecahkan. Identitas aktivitas politik dan administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi dicermati telah terkubur dalam tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yg senada juga telah menduga final bahwa tindakan dan perilaku politik berdasarkan administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak terdapat yg keliru dengan tindakan dan pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yang berarti juga menghambakan diri dalam politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan menjadi pilihan yg tidak tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan fakta serta argumen yg menyajikan aneka macam kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang benar-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik di pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun dari administrator negara mendapat pemakluman hanya lantaran jabatan mereka yang diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian tertentu, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-kegiatan administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yg harus diselesaikan dengan knowledge, menggunakan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan dan analisis data, menggunakan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan untung rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan berlebihan pada pilihan pendekatan politik hanya akan membentuk administrasi negara yg pintar bersilat lidah, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pintar meredam amarah publik tanpa merampungkan perkara yang sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat krusial buat nir meletakkan masalah-masalah manajerial menjadi masalah birokrasi belaka. Level eksekutif dalam porsi yang nir bisa dikatakan mini juga wajib memiliki serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dipercaya hanya sebagai tanggung jawab birokrasi, sementara political frame menjadi kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yg terjadi adalah profesionalisasi yg berlangsung pada tubuh birokrasi pada satu sisi nir akan poly memberi manfaat dan pengaruh bagi pemugaran kinerja sektor publik yg lalu memungkinkan aspek profesionalitas nir menjadi sesuatu yang dianggap krusial serta dalam sisi yg lain akan menciptakan ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan serta parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan galat alamat ketika hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang berdasarkan konsep idealnya mempunyai kesamaan ilmiah karena memang tugas primer mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi sebagai nir profesional serta tidak netral waktu kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan sudah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke utama persoalan, pemerintah nir sanggup dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika merogoh sebuah tindakan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial menggunakan perhitungan rasional yg kentara jua harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tersebut. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara serta pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, tetapi bukan berarti harus menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya juga akan memberi efek pada kepercayaan politik rakyat. Dengan kata lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual serta teoritik, ilham serta gagasan tadi mungkin dianggap sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik gosip dikotomi politik dan administrasi yang tampaknya bagi sebagian besar kalangan dipercaya telah terkubur. Atau mungkin pandangan baru tersebut dicermati utopis lantaran membangkitkan pulang pemikiran kaum orthodoxy yang secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dipandang ”aneh” atau bahkan tidak relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara pada masa mendatang justru akan poly menjadi kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab perkara-perkara mudah warga .

Konsep-konsep serta kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam kata Islamy, ...) menunjukkan kesamaan banyaknya instrumen konseptual yg bisa dipakai buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total dalam proses politik. Sektor publik dimaksud tidak dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yg pada hal ini termasuk jua pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yg wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah menjadi lokus dan fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan sering pemikiran tadi mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya dalam birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yg terjadi pada konteks akademik maupun simpel, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, contohnya menggunakan marak keluarnya istilah-istilah reformasi birokrasi, penemuan birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi nir galat, tetapi jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah dan domain yang lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti dari dilema yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, harus rela sebagai target tembak sebagai biang kegagalan sektor publik. Padahal di sisi lain, banyak berita menunjukan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang nir cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yg memandang administrasi publik juga menjadi proses aktivitas politik adalah mainstream yg tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox sekitar tahun 1940an ataupun sebagaimana pula kritik atas new public management. Gugatan pemikiran pada goresan pena ini juga tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Namun penguasaan politik yang tidak disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas sebagai bala besar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yg ketika ini tergambar kentara menurut potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menampakan betapa pemerintah (Presiden serta kabinetnya) banyak menghadapi dan berusaha menuntaskan masalah administrasi publik hanya menggunakan cara-cara politik serta diorientasikan buat kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran acara pembangunan digunakan sebagai alat kenaikan pangkat politik, bahkan hingga penanganan bencana pula nir luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang lawan politik merupakan formasi panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal di sisi lain, dilema-problem tadi adalah duduk perkara yg wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yg dari saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan menjadi obyek kompromi, perundingan , dan ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-benar menyelesaikannya menjadi sebuah masalah. 

Di waktu politik sendiri belum mampu mendewasakan kinerja demokrasi yang diusungnya, sepertinya administrasi wajib bersikap lain berdasarkan sekedar sebagai kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yang terpilih melalui proses politik, absolut harus menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan semua masalah pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman seperti dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu putusan bulat memahami administrasi negara tidak hanya urusan birokrasi melainkan jua yang utama merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yang kemudian mendasari kuatnya pemikiran, tindakan serta praktek politik sang administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui karena kiprah pentingnya tidak hanya sekedar pada urusan eksekusi kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tadi (sesudah dasa warsa 1940-1950an) bahkan dicermati sebagai kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya sebagai robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran pada waktu itu, pendekatan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara sebagai robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran dan keluhan lain adalah pilihan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara bebas nilai, sementara pada sisi lain efektivitas serta efisiensi yang dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sinkron menggunakan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut cukup hiperbola bila lalu menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih buruk ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat menjadi second level and choice. Pendekatan manajerial berada dalam level yang sama serta dalam derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, seksama, sesuai perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas berdasarkan bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis dengan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dicermati menjadi nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi menggunakan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah dari konsep yg diterapkan dalam sektor partikelir. Secara alamiah pun, Simon (.......) sudah berkata bahwa rasionalitas konduite administratif insan sudah pasti akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tadi adalah keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas dan efisiensi ke dalam sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan administrasi negara terutama di negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yang menunjukkan contoh-contoh konseptual penemuan kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada juga kritik yang menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan seperti itulah yang dibutuhkan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, contoh-contoh yg wajib diakui sebagai proponen kerangka berpikir New Public Management, Governance, serta New Public Service, sudah menceritakan optimisme yang beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan pada atas, tentu tidak dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan adalah bahwa jebakan politisasi praktis berdasarkan para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang dalam perangkap ketidakmampuan melakukan penemuan. Padahal pada sisi lain, penemuan merupakan kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yang mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public lantaran tidak adanya kasus ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa dalam era desentralisasi yg membawa dampak sertaan berupa tuntutan kreatifitas serta kompetisi antar wilayah pada pelayanan publik sudah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan wilayah otonom yg tidak sanggup menyelenggarakan layanan public yang baik juga memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sehingga menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca pada pendapat Carter et.al (1992), nir terdapat satu organisasi public pun yang secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tadi adalah tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yang telah barang tentu nir akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur untuk menentukan cara-cara atau pendekatan politik sebagai sumber kekuasaannya.

Inovasi merupakan tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski nir sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tadi, kemampuan politik dipakai hanya buat menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tadi dilakukan menggunakan penguatan komitmen dan dukungan politik untuk manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan inovasi membawa rentetan kinerja organisasi untuk mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yang menjamin organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk pula di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi oleh kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi primer bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan pula bahwa kepemimpinan dimaksud tidak hanya mengarah pada adanya pemimpin yang mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses inovasi yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Pendapat di atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yg dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan jua kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses inovasi itu sendiri. Artinya, kemampuan serta kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan penemuan. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas detail organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print penemuan merupakan kunci yang jauh lebih krusial ketimbang sibuk menggunakan instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang digunakan hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan dan dramaturgi politik menggunakan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan sanggup menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat mengakibatkan birokrasi profesional lantaran profesionalisme tidak hanya menjadi tuntutan bagi birokrasi tetapi juga pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diperlukan sekalipun sang pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik. 

PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yang terus berubah memunculkan majemuk tantangan bagi organisasi, apapun bentuk serta wujud organisasi tersebut. Meski sebagian besar informasi bukan hal baru, konteks lingkungan yg berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori dan praktik yang berkaitan dengan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri menjadi info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yg efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi pada sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi menggunakan segala ciri dan kapasitas yang teraktualisasi nir lain merupakan produk yang bisa diidentikkan dengan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik tampaknya nir kalah menariknya (dalam beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual juga praktis kepemimpinan private sector. Jika seseorang pemimpin perusahaan secara penuh mampu mendasarkan konduite atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas dan efisiensi organisasi sebagai akibatnya hiegenis dari sebuah proses tekanan, kompromi dan konspirasi serta itu dapat menggunakan gampang ditularkan pada semua anggota organisasi yg juga berkepentingan terhadap efektivitas dan efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan pada sektor publik. Dalam perkara eksklusif, meskipun perhitungan efisiensi telah merekomendasikan tindakan nyata yang harus diambil, nir jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin juga memaksakan diri untuk mengambil tindakan yg berlawanan menggunakan pilihan yg rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seseorang pemimpin wajib bertindak serta merogoh suatu keputusan tertentu lantaran pada nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik serta sah berdasarkan suatu keputusan yang dibuat. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik seringkali tidak timbul dalam bentuk yang nyata serta terbenam di dalam sebuah konspirasi yang rapi serta kompleks. Dalam kondisi demikian pilihan rasional bisa sebagai tidak rasional buat dipilih serta kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru mampu menjadi pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yang terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai logika pembenaran yg linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi pengaruh dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara dalam tingkatan eksekutif seringkali lebih tergoda dan tertarik menggunakan instrumen politik buat merampungkan dilema warga . Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar persoalan politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, aplikasi suatu program nir dapat menemukan bentuknya sebagai instrumen yang memang sanggup bekerja serta merampungkan kasus publik. Kebijakan dan acara tak jarang hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta menciptakan status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yang berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik sang administrator negara, pada poly hal sudah memakan korban kemampuan manajerial dan teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini bisa terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yang lebih luas pertanyaan tersebut dapat diperpanjang menggunakan pertanyaan bagaimana seorang administrator negara seharusnya memimpin pada tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah dia terjebak dalam pragmatisme politik sebagai akibatnya melupakan bahwa administrasi juga memiliki sejumlah tantangan yang harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yang mengedepankan knowledge serta mempertemukan rasionalitas tindakan menggunakan real duduk perkara yang ada? Logika berpikirnya merupakan dilema administrasi nir akan selesai begitu saja hanya menggunakan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jika dirasa pendekatan politik sudah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara dalam memecahkan masalah publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri dari ”zona” politik serta harus berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif berdasarkan putusan-putusan politik yang telah dibentuk oleh forum lain yang adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang nisbi dikatakan ekstreem, akankah kita pulang pada reproduksi konsep ideal weber menggunakan mengadaptasikan konsep birokrasi ke dalam level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tadi bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara adalah suatu keniscayaan dan kewajaran lantaran top eksekutif administrasi adalah kentara adalah jabatan menggunakan proses rekuitmen politis

Kontroversi yang melibatkan interaksi pendekatan dan penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yg mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, pada dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan hubungan politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan serta memaparkan konstruksi pandangan baru kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menyelidiki balik struktur relasi politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik dan Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran serta evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan mengenai struktur serta konfigurasi rekanan politik dan administrasi menjadi tema abadi yang bahkan sampai dewasa ini belum mendapatkan konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yang berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri buat didiskusikan. Tidak hiperbola, jika perdebatan tadi lalu menjadi inspirasi-inspirasi konstruktif yg melahirkan kerangka berpikir-paradigma eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yg menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, saat Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power dari ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi serta dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Logika berpikir tersebut menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yg menjalankan keputusan-keputusan politis. Namun demikian pada prakteknya, Jackson justru berakibat wilayah eksekutif sebagai arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tersebut Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya tidak terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif serta yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tersebut, Jackson poly menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yg dipandang sanggup memperkuat kekuatan politiknya serta bisa menghadang lawan politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, juga menyoroti secara spesifik relasi politik serta administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus mendasar bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi dan menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan menggunakan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek serta tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tak ubahnya seperti menjalankan organisasi-organisasi usaha pada mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson mengatakan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson menerima dukungan luas pada masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yg mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya kitab text pertama pada ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, kembali memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tersebut secara terperinci benderang menerangkan bahwa aktivitas administrasi publik merupakan kegiatan manajemen, yakni execution, bukan kegiatan politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa untuk melakonkan kiprah tadi administrasi publik wajib berinteraksi menggunakan aktivitas berdasarkan political branch (satu hal yg pada hal tertentu jua diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, sepertinya perdebatan akademik seputar relasi politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus pulang pada kerangka berpikir ke-tiga Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung menjadi ilmu dan praktik yg bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat kemudian lebih fokus pada problem-duduk perkara organisasi. Gerakan yang relatif revolusioner dengan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an pulang melakukan somasi terhadap netralitas administrasi publik yang sepertinya nir menaruh kontribusi terhadap aneka macam perseteruan kenegaraan serta kemasyarakatan yg timbul pasca perang global. Administrasi publik kembali dipaksa masuk pada ranah politik pada mana dia wajib memiliki set of value, ethic serta kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan aktivitas politik. Semua atribut tersebut wajib teraktualisasi dalam produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan tidak saja pada policy implementation melainkan pula dalam proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental menggunakan proses dan kegiatan politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration sepertinya pula tidak sepenuhnya memuaskan poly pihak. Lambannya serta inefisiensi tindakan administrasi lantaran penguasaan kiprah serta luasnya lapangan yang wajib dicakup menjadi akibat konsep welfare state, mendorong para pakar serta praktisi mereposisi kiprah administrasi menggunakan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dekade 1980-1990an. Arus balik dan gelombang pemikiran yang menekankan dalam pendekatan-pendekatan manajerial, kembali menghinggapi administrasi publik. Gaya serta perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dicermati hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas dan efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yg sepertinya ketika ini menjadi konsensus ilmiah tentatif, jua nir mampu melepaskan diri berdasarkan perdebatan panjang pola relasi administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance menurut sisi politik menggunakan mengkaitkannya menggunakan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya dan mensyaratkan munculnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai buat mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, tetapi jua menkonstruksikan bagaimana model teknis yang sempurna buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah dari banyak sekali uraian tadi di atas memperlihatkan bahwa relasi politik dan administrasi menurut tindakan administrasi public merupakan perdebatan panjang yang bahkan selalu hadir pada kerangka berpikir administrasi yg berkembang. Pada satu sisi, timbul hasrat buat membuahkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan pada sisi yang lain menghendaki konduite politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar realitas akademik melainkan juga menjadi potret dinamis administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang ada, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik wajib dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yg wajib dipilih ? Pada nyatanya poly pandangan yg tidak secara eksplisit menunjukkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yg lain. Paparan Rosenbloom (....) jua mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yang mempunyai konsepsi dan konstruksi nilai yg berbeda, yakni politik, manajemen, dan sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang wajib dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya wajib dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tersebut, banyak pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) mengungkapkan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration dan lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah daerah politik karena eksistensi dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan dan lingkup pekerjaannya pun ditinjau merupakan political action, misalnya contohnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi dengan menggunakan berbagai asal otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi karena memang sebagian administrator level executive dibuat melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yg didudukinya secara politik, maka kentara pemimpin administrasi pula menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan menjadi proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yang tentunya nir relevan lagi buat diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan melekat pada administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik adalah collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi kasus dan konstruksi kebijakan menurut skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yg dimaksud dalam hal ini merupakan entitas grup dan kekuatan politik yg menciptakan administrasi publik yang dapat berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik adalah pemimpin atas semua aktivitas politik tadi pada pada tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana menggunakan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih mengarah pada kapasitas manajerial serta profesional, yang menyelesaikan perkara dengan knowledge tidak dengan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada merupakan dengan meletakkan konflik manajerial menjadi perseteruan yg lebih berada pada level middle administration yg kemudian secara technical dioperasionalkan sang lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), menggunakan memetakan dilema relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik serta administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dicermati selesai serta terpecahkan. Identitas kegiatan politik serta administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi ditinjau sudah terkubur pada tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yang senada jua sudah menduga final bahwa tindakan serta konduite politik dari administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak ada yg salah menggunakan tindakan serta pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yg berarti pula menghambakan diri pada politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan sebagai pilihan yg nir tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan kabar serta argumen yg menyajikan banyak sekali kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang sahih-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik pada pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun menurut administrator negara menerima pemakluman hanya karena jabatan mereka yg diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian eksklusif, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-aktivitas administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yang harus diselesaikan dengan knowledge, dengan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan serta analisis data, dengan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan laba rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan hiperbola pada pilihan pendekatan politik hanya akan menciptakan administrasi negara yg pintar bersilat pengecap, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pandai meredam amarah publik tanpa menuntaskan perkara yg sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat penting buat tidak meletakkan dilema-masalah manajerial menjadi kasus birokrasi belaka. Level eksekutif pada porsi yg nir bisa dikatakan kecil juga harus mempunyai serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dianggap hanya menjadi tanggung jawab birokrasi, sementara political frame sebagai kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yang terjadi merupakan profesionalisasi yg berlangsung dalam tubuh birokrasi dalam satu sisi nir akan banyak memberi manfaat serta pengaruh bagi perbaikan kinerja sektor publik yg kemudian memungkinkan aspek profesionalitas nir sebagai sesuatu yg dianggap krusial dan dalam sisi yg lain akan membangun ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan dan parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan salah alamat saat hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang menurut konsep idealnya mempunyai kecenderungan ilmiah lantaran memang tugas utama mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi menjadi nir profesional serta tidak netral saat kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan telah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke pokok dilema, pemerintah tidak bisa dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika mengambil sebuah tindakan hanya menggunakan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial dengan perhitungan rasional yg kentara pula harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tadi. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara dan pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, namun bukan berarti wajib menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya pula akan memberi imbas pada agama politik masyarakat. Dengan istilah lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual dan teoritik, ide serta gagasan tadi mungkin dipercaya sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik info dibagi dua politik serta administrasi yg sepertinya bagi sebagian akbar kalangan dipercaya sudah terkubur. Atau mungkin ilham tadi dicermati utopis lantaran membangkitkan balik pemikiran kaum orthodoxy yg secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dicermati ”aneh” atau bahkan nir relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara di masa mendatang justru akan poly sebagai kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab kasus-masalah mudah warga .

Konsep-konsep dan kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam istilah Islamy, ...) menampakan kecenderungan banyaknya instrumen konseptual yg bisa digunakan buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total pada proses politik. Sektor publik dimaksud nir dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yang dalam hal ini termasuk juga pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yang wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah sebagai lokus serta fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan tak jarang pemikiran tersebut mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya pada birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yang terjadi pada konteks akademik maupun praktis, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, misalnya menggunakan marak keluarnya kata-kata reformasi birokrasi, inovasi birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi tidak salah , namun jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah serta domain yg lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti berdasarkan persoalan yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, wajib rela menjadi target tembak menjadi biang kegagalan sektor publik. Padahal pada sisi lain, poly liputan membuktikan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang tidak cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yang memandang administrasi publik jua menjadi proses kegiatan politik merupakan mainstream yang tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox kurang lebih tahun 1940an ataupun sebagaimana juga kritik atas new public management. Gugatan pemikiran dalam tulisan ini jua tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Tetapi dominasi politik yang nir disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas menjadi bencana akbar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yang waktu ini tergambar jelas berdasarkan potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menerangkan betapa pemerintah (Presiden dan kabinetnya) poly menghadapi dan berusaha menuntaskan duduk perkara administrasi publik hanya dengan cara-cara politik dan diorientasikan untuk kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran program pembangunan digunakan menjadi indera kenaikan pangkat politik, bahkan sampai penanganan bala pula tidak luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang versus politik adalah gugusan panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal pada sisi lain, masalah-persoalan tadi adalah masalah yang wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yang menurut saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan sebagai obyek kompromi, negosiasi, serta ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-sahih menyelesaikannya menjadi sebuah kasus. 

Di waktu politik sendiri belum bisa mendewasakan kinerja demokrasi yg diusungnya, tampaknya administrasi wajib bersikap lain dari sekedar menjadi kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yg terpilih melalui proses politik, absolut wajib menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan seluruh kasus pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman misalnya dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu setuju tahu administrasi negara nir hanya urusan birokrasi melainkan pula yang primer merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yg lalu mendasari kuatnya pemikiran, tindakan dan praktek politik oleh administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui lantaran kiprah pentingnya tidak hanya sekedar dalam urusan hukuman kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tersebut (setelah dasa warsa 1940-1950an) bahkan ditinjau menjadi kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya menjadi robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran dalam saat itu, pendekatan manajerial hanya akan menjadikan administrator negara menjadi robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran serta keluhan lain merupakan pilihan manajerial hanya akan menjadikan administrator negara bebas nilai, sementara dalam sisi lain efektivitas serta efisiensi yg dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sesuai dengan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut relatif berlebihan apabila kemudian menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih tidak baik ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat sebagai second level and choice. Pendekatan manajerial berada pada level yg sama dan pada derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, akurat, sinkron perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas menurut bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis menggunakan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dipandang sebagai nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi dengan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah berdasarkan konsep yg diterapkan dalam sektor swasta. Secara alamiah pun, Simon (.......) telah mengatakan bahwa rasionalitas perilaku administratif manusia sudah niscaya akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tersebut merupakan keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas serta efisiensi ke pada sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dasa warsa terakhir, perkembangan administrasi negara terutama pada negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yg memperlihatkan contoh-model konseptual inovasi kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada jua kritik yg menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan misalnya itulah yang diperlukan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, model-contoh yang wajib diakui sebagai proponen paradigma New Public Management, Governance, dan New Public Service, telah menceritakan optimisme yg beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan di atas, tentu nir dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan merupakan bahwa jebakan politisasi praktis menurut para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang pada perangkap ketidakmampuan melakukan inovasi. Padahal di sisi lain, inovasi adalah kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yg mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public karena tidak adanya masalah ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa pada era desentralisasi yg membawa pengaruh sertaan berupa tuntutan kreatifitas dan kompetisi antar daerah dalam pelayanan publik telah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan daerah otonom yg nir mampu menyelenggarakan layanan public yang baik pula memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sebagai akibatnya menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca dalam pendapat Carter et.al (1992), tidak ada satu organisasi public pun yg secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tersebut merupakan tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yg sudah barang tentu tidak akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur buat memilih cara-cara atau pendekatan politik sebagai asal kekuasaannya.

Inovasi adalah tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski tidak sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tersebut, kemampuan politik digunakan hanya untuk menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tersebut dilakukan menggunakan penguatan komitmen serta dukungan politik buat manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan penemuan membawa rentetan kinerja organisasi buat mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yg mengklaim organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk juga di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi sang kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi utama bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan juga bahwa kepemimpinan dimaksud nir hanya menunjuk pada adanya pemimpin yg mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses penemuan yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi semua elemen organisasi. Pendapat pada atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan pula kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses penemuan itu sendiri. Artinya, kemampuan dan kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan inovasi. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas lebih jelasnya organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print inovasi merupakan kunci yang jauh lebih penting ketimbang sibuk memakai instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang dipakai hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan serta dramaturgi politik dengan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan bisa menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat berakibat birokrasi profesional lantaran profesionalisme nir hanya sebagai tuntutan bagi birokrasi tetapi pula pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diharapkan sekalipun oleh pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik. 

REFORMASI BIROKRAS DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN

Reformasi Birokras Dalam Mengefektifkan Kinerja Pegawai Pemerintahan 
Situasi ekologi eksternal administrasi publik mengalami perkembangan cepat pada abad 21 ini yang meliputi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya serta juga perubahan lingkungan fisik misalnya adanya dunia warming, polusi, bencana alam tsunami dan sebagainya. Arena perubahan tersebut berada pada pusaran globalisasi yang mengungkapkan situasi abad 21 ini sebagai kenyataan terintegrasinya dunia ke pada suatu rapikan nilai yang relatif sama dan membuat batas-batas negara melemah, sebagai akibatnya hubungan aktor politik, ekonomi, sosial serta budaya terjadi secara langsung melintasi antar negara melalui media perkembangan teknologi informasi serta komunikasi. Kenyataan ini menciptakan globalisasi merupakan fenomena erosi ruang kelembagaan (deinstitutionalization of space) atau proses lokalisasi global menjadi seperti sebuah desa (small village). Sementara sisi ekologi internal administrasi publik cenderung masih terkukung dalam praktek harta benda-administration seperti budaya korupsi, kongkalikong , nepotisme, boros, inefisiensi, dis-orientasi, kaku dan lamban. Pertanyaannya merupakan bagaimanakah contoh Reformasi Administrasi Publik pada situasi perubahan lingkungan eksternalnya yg begitu cepat dan disisi lain kondisi internalnya terbelenggu dalam kemacetan?. Pada konteks inilah tulisan ini disusun menggunakan fokus pembahasan dalam kompleksitas Reformasi Administrasi Publik dalam merespon perkembangan lingkungan internal serta eksternalnya. 

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK : KONSEP, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Konsepsi Reformasi Administrasi Publik yang dipakai pada tulisan ini antara lain mengacu pada pendapat Gerald E. Caiden dalam bukunya “Prospects for Administrative Reform in Israel (1969) yang diulas oleh Sasli Rais serta Dance Y. Flassy. Menurut Caiden (1969: 69) Reformasi Administrasi Publik didefinisikan menjadi ‘the artificial inducement of administrative transformation againts resistance’. Definisi Caiden ini mengandung beberapa akibat: (1) Reformasi Administrasi Publik merupakan aktivitas yang dibuat oleh manusia (man made), tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah; (dua) Reformasi Administrasi Publik adalah suatu proses; dan (tiga) Resistensi beriringan dengan proses Reformasi Administrasi Publik. 

Wallis (1989) sebagaimana dijelaskan oleh Ginandjar (2005) mengartikan reformasi administrasi menjadi induced, permanent improvement in administration. Batasan ini memuat tiga aspek penting, yakni : (1) Perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya. (dua) Perbaikan diperoleh dengan upaya yg disengaja (deliberate) dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa bisnis. (3) Perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan nir ad interim, buat lalu pulang lagi ke keadaan semula. Ada persamaan menurut definisi diatas yaitu tahu Reformasi Administrasi Publik sebagai sebuah proses yang didesain secara sadar sang insan buat memperbaiki keadaan. Keduanya juga bertitik tolak menurut kondisi-syarat yang problematis, misalnya mal-administration, patologi administrasi publik, red type, sebagai akibatnya mendorong pemikiran tentang perlunya perubahan administrasi publik. Ketika mainstream utamanya merupakan perubahan, maka akan memunculkan varian pemikiran seperti mengembalikan administrasi publik kepada spirit originalnya, contohnya reformasi dengan paradigma old public administration atau reformasi secara fundamental dan komprehensif melalui paradigma New Public Management atau New Public Service.

Konsepsi serta rumusan Caiden menyebut tujuan Reformasi Administrasi Publik adalah buat “improve the administrative performance of individual, groups, and institutions and to advise them how they can achieve their operating goals more effectively, more economically, and more quickly” (Caiden 1969: 12). Apabila dianalisis selanjutnya, tujuan Reformasi Administrasi Publik Caiden merupakan menyempurnakan atau meningkatkan performance. Secara lebih jelasnya tujuan Reformasi Administrasi Publik pada rangka peningkatan kinerja adalah: Melakukan perubahan inovatif terhadap kebijaksanaan serta acara aplikasi; Meningkatkan efektifitas administrasi (Dimock, 1951: 234); Meningkatkan kualitas personel; Melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik dan keluhan pihak luar (Mosher, 1967: 497-498). 

Sedangkan kinerja yang dimaksud adalah kinerja individu, gerombolan , serta institusi pada rangka pencapaian tujuan yang lebih efektif, efisien dan cepat. Ini berarti ruang lingkup Reformasi Administrasi Publik meliputi aspek perilaku serta aspek kelembagaan yang tercakup didalam Reformasi Administrasi Publik. Catatan terakhir dari Caiden bahwa ada 5 hal yg perlu diperhatikan pada Reformasi Administrasi Publik yaitu: (1) Ada pembaru yang berasal menurut luar, terdapat pula yang dari menurut dalam; (dua) Ada pembaruan yg dicanangkan berdasarkan bawah, ada jua yang dari berdasarkan atas; (3) Ada ideologi yang mensugesti Reformasi Administrasi Publik, ada jua Reformasi Administrasi Publik yg nir dipengaruhi oleh ideologi; dan (lima) Ada Reformasi Administrasi Publik yang diikuti oleh revolusi, ada juga yang nir. 

Selain itu ada dua hal pula yg perlu diperhatikan berdasarkan Caiden, bahwa: (1) Reformasi Administrasi Publik berkaitan erat dengan lingkungan budaya eksklusif, sebagai akibatnya nir terdapat satu perspektif pun yg dapat dianggap lebih baik daripada yang lain; (2) Pendekatan Reformasi Administrasi Publik bersifat terikat dalam budaya, sehingga tidak dapat diekspor ke negara lain dengan begitu saja. Pandangan Caiden di atas sebatas kerangka konseptual yang belum memberikan pilihan-pilihan strategis pada melakukan Reformasi Administrasi Publik. Caiden juga hanya memberikan suatu peringatan bahwa pada melakukan Reformasi Administrasi Publik sangat tergantung dengan lingkungan budaya dan buat itu “resep” reformasi tidak bisa berlaku secara universal. 

Berbeda halnya menggunakan pandangan yang dikemukakan sang Ali Farazmand (2002) yang membahas analisis teoritis reformasi serta re-organisasi buat tahu reformasi administrasi publik, khususnya Reformasi Administrasi Publik. Menurutnya, reformasi administrasi publik, termasuk administrasi publik didalamnya, bisa merujuk dalam beberapa contoh teori buat memulai sebuah reformasi dan juga sekaligus sebagai prespektif tahu banyak sekali Reformasi Administrasi Publik yg telah terjadi. Apa yg dikemukakan Ali Farazman mengadopsi menurut pandangan Guys Peter (1994) dimana reformasi dan reorganisasi bisa dijelaskan menggunakan 3 contoh teori, yaitu top-down models, bottom up models serta institutional models. 

Menurut model pertama, yaitu top-down models, Reformasi Administrasi Publik memiliki tujuan berskala luas serta prosesnya di inisiasi dari struktur kekuasaan pemerintah sentra. Model ini berpijak pada perkiraan bahwa para pemimpin politik memahami dan peka terhadap persoalan yg dihadapi dan lalu mengembangkan gagasan untuk melakukan Reformasi Administrasi Publik. Model ini seringkali disebut dengan model tradisional serta pragmatis dimana biasa diberlakukan dalam sistem administrasi yg memulai perubahan menggunakan hegemoni dari sentra pemerintahan sejak dari identifikasi, seleksi serta implementasi perubahan administrasi dan administrasi publik. 

Model ke 2 merupakan bottom up, Reformasi Administrasi Publik menurut model ini adalah implikasi dari tuntutan lingkungan politik, ekonomi, sosial-yang menghendaki perubahan dan tuntutan wajib diadopsi sang struktur administrasi publik pada rangka keberlanjutannya buat memenuhi tujuan kolektif. Asumsi yg dibangun sangat jelas bahwa lingkungan memiliki inovasi serta tekanan terhadap kebutuhan akan Reformasi Administrasi Publik, sebagai akibatnya pemerintah mau tidak mau harus memenuhi permintaan lingkungan tadi. 

Sedangkan model ketiga merupakan institutional contoh yang memulai Reformasi Administrasi Publik menjadi butir berdasarkan kesadaran kelembagaan akan kebutuhan perubahan dan buat itu perlu melakukan modifikasi nilai-nilai kolektif, budaya, serta struktur supaya organisasi senantiasa adaptif menggunakan perubahan lingkungan serta berjalan dinamis.

ASPEK-ASPEK REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
Secara lebih detail krusial buat diungkap apa sesungguhnya aspek-aspek yang sebagai sasaran menurut Reformasi Administrasi Publik?. Penjelasan konseptual dan model-model desain reformasi publik diatas, misalnya top down, bottom up serta institutionalis pada akhirnya bermuara pada bagian-bagian dari the body of bureaucracy yg harus dirubah. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi berdasarkan 2 sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara structural, Riggs memakai diferensiasi struktural menjadi salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan kiprah–kiprah yang makin terspesialisasikan (role specialization) serta pembagian pekerjaan (division of labor) yang makin tajam serta intens dalam masyarkaat terkini. Mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya pada kinerja yg lain atau organisasi secara holistik. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja bersama (social performance). 

Riggs jua membedakan antara hasil (accomplishment) menggunakan upaya yang dilakukan (endeavour). Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukan semata–mata hasil. Pandangan ini dianut Eko Prasodjo (2007) yang memetakan dengan lebih kentara dimensi-dimensi Reformasi Administrasi Publik yaitu modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi, downsizing, perubahan manajemen dan organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, aturan berbasis kinerja dan proses perencanaan partisipatif. Kemudian juga dilanjutkan dengan Kwik Kian Gie (2003) dengan rinci mengurai Reformasi Administrasi Publik yg meliputi tiga point penting, yaitu : (1) Kebijakan Penataan kelembagaan serta ketatalaksanaan, meliputi redefenisi kelembagaan administrasi publik pada melakukan pelayanan pada masyarakat, melakukan audit kelembagaan terhadap organisasi administrasi publik pemerintah di pusat dan daerah, perampingan organisasi administrasi publik pemerintah dengan memperhatikan output audit kelembagaan administrasi publik pemerintah sentra serta wilayah, membangung suatu sistem rekruitmen serta kenaikan pangkat pegawai sesuai menggunakan kecakapan dan kemampuannya, terdapat penghargaan terhadap birokrat yang berbuat baik dan hukuman bagi yang berbuat tidak baik; (dua) Kebijakan pada bidang Sumber daya insan meliputi peningkatan kesejahteraan aparat administrasi publik pemerintah, menaikkan etika serta moral administrasi publik, mendorong kemampuan profesionalisme administrasi publik; serta (tiga) Kebijakan pengawasan administrasi publik yg mencakup pengawas lembaga internal pemerintah yamg adalah aparat audit internal pemerintah. 

Sejalan dan melengkapi aspek-aspek Reformasi Administrasi Publik adalah apa yang diungkapkan oleh Miftah Thoha (2002) bahwa Reformasi Administrasi Publik menyangkut pertama, kepemimpinan forum departemen pemerintah baik dipusat dan pada daerah yg wajib dibedakan dengan jelas antara pejabat politik dan pejabat karier administrasi publik. Kedua, desentralisasi kewenangan baik desentralisasi politik juga administrasi perlu dilakukan di pada kelembagaan pemerintah ini. Ketiga, perlunya perampingan susunan kelembagaan administrasi publik pemerintah. Pandangan-pandangan pada atas menaruh pemetaan sederhana mengenai Reformasi Administrasi Publik mulai berdasarkan pemahaman konseptual, tujuan, ruang lingkup, variabel-variabel penunjang keberhasilan dan penghambat serta model-model memulai Reformasi Administrasi Publik. Kerangka ini tentunya bersifat teoritis dan perlu dikombinasi dengan kepiawaian pada implementasinya atau membutuhkan art (seni) dalam melaksanakan Reformasi Administrasi Publik dalam dunia konkret. 

Pada bagian selanjutnya coba buat dibahas bepergian Reformasi Administrasi Publik dalam kerangka berpikir klasik, New Public Management dan New Public Service. Masing-masing kerangka berpikir akan melahirkan sosok administrasi publik yg bhineka sinkron menggunakan cara pandangnya serta yang perlu digarisbawahi sebagaimana diungkap oleh Caiden, nir terdapat suatu contoh pun yang bisa diberlakukan tanpa mengkonfirmasikan menggunakan budaya yg terdapat pada rakyat. Artinya, contoh administrasi publik klasik, NPM serta NPS bukanlah model yang saling meniadakan, namun pilihan-pilihan yang aplikasinya tergantung dengan konteks ruang serta saat.

PARADIGMA KLASIK, NPM DAN NPS
Konsisten dengan pendapat Caiden bahwa budaya serta kondisi sosial, politik serta ekonomi menentukan pilihan paradigma reformasi yg akan digunakan, maka contoh administrasi publik klasik, NPM serta NPS merupakan sebuah pilihan yang dapat dipakai pada Reformasi Administrasi Publik tanpa wajib meniadakan satu sama lain. Reformasi Administrasi Publik dalam pandangan administrasi publik klasik atau old public administration mensyaratkan beberapa ketentuan agar membuat sosok administrasi publik rasional model Max Weber, yaitu : (1) Administrasi publik harus dipisahkan berdasarkan dunia politik (dikhotomi AP dgn politik); (2) Tidak memberi peluang dalam Administrator buat memperaktekkan sistem nepotisme dan spoil; (tiga) Para legislator hanya merumuskan kebijakan nasional dan Administrator hanya mengeksekusinya; (4) Para Administrator selalu mengutamakan nilai efisiensi dan irit; (lima) Para Administrator diangkat dari kecocokan serta kecakapannya; serta (6) Metode keilmuan menurut Taylor wajib menggeser metode rule of thumb.

Apabila kondisi-kondisi ini terjadi secara konsisten maka akan lahir sosok administrasi publik dengan karakteristik sebagai berikut : (1) Profesionalitas; (2) Penggunaan prinsip keilmuan; (tiga) Hubungan impersonal; (4) Penerapan aturan dan standarisasi secqara tegas; (5) Sikap yg netral; dan (6) Perilaku yg mendorong efisiensi dan efektivitas. Paradigma ini, menurut Eko Prasodjo (2007), mendorong pemerintah buat balik pada “khittah-nya” yaitu anugerah pelayanan pada rakyat yg dilakukan sang administrator publik yang akuntabel serta bertanggung jawab secara demokratis pada elected official. Nilai dasar primer yg diperjuangkan merupakan efisiensi serta rasionalitas sebagaimana yg diajarkan dalam birokrasi Max Weber.

Apabila Reformasi Administrasi Publik menentukan model new public management, maka reformasi wajib berpijak dalam pandangan sebagaimana dijelaskan Metcalfe (1998) dalam Barzelay (2002) “NPM is an umbrella term, which encompasses a wide range of meanings, including organization and management design, the application of new institutional economics to public management, and a pattern of policy choices”. Atau dibahasakan oleh Eko Prasdjo (2007), NPM merupakan reformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasiskan traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasiskan dalam market (prosedur pasar) serta competetion-driven based. 

Reformasi dalam paradigm NPM dilakukan menggunakan menjalankan prinsip-prinsip sebagai ini dia: (1) Productivity, pemerintah wajib membuat lebih banyak dengan biaya lebih sedikit; (dua) Marketization, pemerintah menggunakan insentif pasar supaya hilang patologi administrasi publik; (3) Service orientation, program lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat; (4) Decentralization, melimpahkan wewenang kepada unit kerja terdepan; (lima) Policy, pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan; dan (6) Performance accountability, pemerintah memperbaiki kemampuannya buat memenuhi janjinya. Konsistensi terhadap ajaran NPM ini pada akhirnya akan menampilkan sosok administrasi publik yg berkarakter : (a) Memperhatikan prosedur pasar; (b) Mendorong kompetisi serta kontrak untuk mencapai output; (c) lebih responsif terhadap pelanggan; (d) Bersifat mengarahkan daripada menjalankan sendiri; (e) Harus melakukan deregulasi; (f) Memberdayakan pelaksana; (g) Mengembangkan budaya organisasi yg lebih fleksibel; (h) Innovatif dan berjiwa wirausaha; (i) Pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas; (j) Orientasi pada proses serta input.

Begitupula ketika model new public service menjadi platform Reformasi Administrasi Publik, akan melahirkan protype yang sejalan dengan ideologi dan desain NPS. Spirit atau ruh ideologi berdasarkan NPS merupakan community based, sebagai akibatnya administrasi publik berdasarkan Denhardt & Denhardt (2003) seharusnya melayani rakyat rakyat bukan pelanggan (service citizen, not customer), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), menghargai masyarakat negara daripada enterpreneurship (value citizenship over enterpreneurship), melayani daripada mengendalikan (serve rather than steer) dan menghargai orang bukan semata-mata produktivitasnya (value people, not just productivity). Paragima ini berdasarkan Asmawi Rewansyah (2008) menganjurkan “rambu-rambu” yang harus dipatuhi saat melakukan Reformasi Administrasi Publik, yaitu : (1) Merubah kerangka berpikir constitutionalism ke paradigma communitarianism (Fox & Miller, 1995); (dua) Merubah institution-centric civil service ke contoh citizen-centric governance (Prahalad, 2005); (tiga) Menerapkan pola citizen-centered collaborative public management (Cooper, at ell., 2006); (4) menghilangkan tindakan administrasi publik yg memanipulasikan partisipasi masyarakat (Yang & Callahan, 2007). 

Apabila ketentuan-ketentuan reformasi ala NPS ini konsisten dijalankan maka akan model administrasi publik NPS yang memiliki karakter menjadi berikut : (1) Mengutamakan pelayanan kepada masyarakat sebagai warga negara, bukan sbg pelanggan; (dua) Mengutamakan kepentingan umum; (3) Melibatkan rakyat masyarakat; (4) Berfikir strategis serta bertindak demokratis; (5) Memperhatikan kebiasaan, nilai, dan standard yang terdapat; (6) Menghargai warga daripada sosok manajer wirausaha yg profit oriented.

Paradigma-paradigma pada atas memiliki ideologi, perkiraan, konsepsi, ruang lingkup, tujuan serta kerangka yang membedakan satu dengan yg lain. Berikut peta masing-masing paradigma dengan warna ideologi masing-masing, dimana administrasi publik klasik nilai-nilai administrasi publik rasional Weber, NPM dalam “payung” ideologi kapitalis dan NPS menggunakan rona ideologi community based.

Walaupun kerangka berpikir-paradigma tersebut sang banyak ahli diakui sebagai sebuah perkembangan pemikiran yang berjalan secara dialektik – tesis, antitesis dan buatan, namun pola tersebut nir saling menggugurkan antara contoh klasik, NPM dan NPS. Bahkan sangat mungkin ketiganya terakomodasi pada suatu desain Reformasi Administrasi Publik sehingga akan lahir sosok administrasi publik “pelangi” dengan warna klasik, NPM serta NPS. Pola ini sangat mungkin terjadi dengan perkiraan tidak ada suatu rapikan rakyat yang seratus persen rasional dalam politik serta ekonomi, khususnya pada negara-negara berkembang yg sedang melalui fase transisi dibidang politik dan ekonomi. Akibatnya Reformasi Administrasi Publik berjalan secara bertahap dengan mempertahankan serta memperbaiki struktur administrasi publik yang usang atau revitalisasi struktur administrasi publik yang berdisain administrasi publik klasik.

Di negara berkembang misalnya Indonesia, contohnya, reformasi permanen menggunakan model klasik untuk bidang politik, hukum dan keamanan. Kemudian mengadopsi secara perlahan paradigma NPM untuk Reformasi Administrasi Publik yg berada serta berurusan pada sektor pengembangan perekonomian dalam rakyat. Dan terakhir Reformasi Administrasi Publik menggunakan paradigma NPS buat administrasi publik yang berada dalam domain kesejahteraan sosia dan penguatan warga . Anggaplah ini sebagai pemikiran contoh “pelangi” Reformasi Administrasi Publik serta inipun sebuah pilihan, adalah suatu sistem politik, sosial,ekonomi dan budaya yang relatif mapan sanggup mengadopsi secara total galat satu saja desain, apakah bertahan dalam paradigma klasik, menentukan NPM atau NPS.