PENGEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DAN ISUISU KONTEMPORER ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Publik memainkan peranan yang krusial datam penyelenggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat dipengaruhi oleh kuatitas Administrasi Publik yg diiniliki oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, keberadaan Administrasi Publik merupakan instrumen krusial buat mewujudkan tujuan-tujuan negara yang termaktub pada UUD 1945 diantaranya buat memajukan kesejahteraaan urnum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori serta praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya ilmu terkini dan Administrasi Publik yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali pergeseran kerangka berpikir, mulai berdasarkan model klasik yg berkembang daam kurun ketika 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yg berkembang dälam kurun waktu akhir 1980an sampai pertengahan 1990an; sampai pada Good Governance yg berkembang semenjak pertengahan 1990an hingga saat ini. 

Pergeseran kerangka berpikir Administrasi Publik tersebut, sudah membawa akibat terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yg digunakan dalam pembuatan serta pelaksanaan strategi; pengelolaan organisasi secara internal; dan hubungan antara Administrasi Publik dengan politisi, warga dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat memilih corak dan ragam pada penyelengaraan Pemerintahan serta sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak dan ragam tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal yang ada pada Negara tersebut, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah beradaptasi dengan perkembangan paradigma yg ada; dan sejauhmana penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan konteks lokal serta konflik yang ada pada Negara tadi. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan bergesernya paradigma dalam Administrasi Publik. Kita mengetahui paling nir ada tiga paradigma yang sudah serta akan sedang berlangsung pada Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (dua) New Public Management, dan (3) Good Governance and the new public services. Perubahan paradigma pada Ilmu Administrasi Publik tadi menuntut perubahan kurikulum dan materi pedagogi pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yg dipakai 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dipandang sebagai seperangkat Institusi Negara, proses, prosedur, sistem serta struktur organisasi, serta praktek dan periilaku buat mengelola urusan-urusan Publik pada rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik dari ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan menggunakan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional sah, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat serta seksama:, dapat diprediksi, mempunyai standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan kepentingan rakyat generik. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diperlukan buat menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk pada dalamnya kebebasan individu, proteksi akan kehidupan serta kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi insan, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik pada mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya juga dalam hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan anggaran aturan (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga bisa dikatakan bahwa Administrasi Publik contoh klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yang legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan donasi Woodrow Wilson (1887) pada “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan mengungkapkan bahwa harus terdapat pemisahan antara politik serta Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas serta impak politik, meskipun Administrasi membantu dalam hukuman kebijakan/Keputusan politik. 

Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dipandang melalui contoh “old chesnuts” menurut Peters (1996 serta 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis serta terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis serta dari peraturan; penugasan yg permanen serta stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yg seragam (lihat pada Oluwu, 2002 serta Frederickson, 2004). Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh aktivitas pemèrintah yang terfokus dalam anugerah pelayanan pada rakyat yg dilakukan oleh administrator Publik yg akuntabel serta bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar primer yang diperjuangkan pada Old Public Administration merupakan efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan menjadi rencana, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap contoh kiasik 
Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan dengan ciri serta Administrasi Publik yg dipercaya inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari warga , penggunaan sumberdaya Publik yg sia-sia akibat hanya berfokus dalam proses serta prosedur dibandingkan kepada hasil, sebagai akibatnya dalam akhirnya mengakibatkan munculnya pandangan negatif serta rakyat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik contoh kiasik pula bisa ditinjau pada kaitannya dengan eksistensi konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya dua (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tadi (Prasojo, 2003), yakni: pertama, pada interaksi antara warga serta negara, implementasi birokrasi ditandai menggunakan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam hubungannya dengan rakyat sering dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus sebagai penyebab jauhnya birokrasi serta warga . Peningkatan intensitas dipercaya memiliki resiko dimana pada akhirnya akan mengakibatkan intervensi negara yg akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga serta pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yg tertutup dengan pendekatan hirakis yg top down serta berukuran kinerja yang hanya berbasis dalam efisiensi bukan responsiveness. Itu sebabnya birokrasi sebagai lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan kebutuhan warga . Kritik-kritik sebagaimana tadi pada atas kemudian mengakibatkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 
2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan kerangka berpikir Administrasi Publik, di negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.A gelombang reformasi yang radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik disebut dengan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya menaikkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi serta kenaikan pangkat dalam birokrasi yang berbasis merit dan bukan patronase, berdasarkan pada hukum dan peraturan bukan dalam diskresi yg tidak terbatas, aplikasi pelayanan publik yg berbasis impersonalitas, prosedur modernisasi pada sebuah transformasi yang sangat cepat dan merogoh tempat pada produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood, 1994).

2.dua. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak perkara yg terdapat, NPM dipercaya sudah banyak berbuat buat menggoyang organisasi publik yang tidur serta melayani dirinya sendiri melalui penggunaan inspirasi-wangsit menurut sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan banyak pilihan buat mencoba mencapai biaya yg efektif pada penyampaian barang publik misalnya adanya organisasi yang terpisah buat kebijakan serta implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak serta metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yg kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha buat memperbaiki kinerja organisasi sektor publik menggunakan memakai metode yg biasa digunakan sang sektor privat dan melalui prosedur pasar. Pada dasarnya hal yg baru dalam NPM (what is new public management) merupakan mereformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasis traditional ruled based, authority driven process menggunakan pendekatan baru yg berbasis market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar menurut NPM menurut pendapat dari sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 serta Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; dan Borins and Warrington 1996 pada Samaratunge and Bennington, 2002).
  • Penanganan oleh manajemen profesonaL. 
  • Keberadaan baku dan ukuran kinerja. 
  • Penekanan pada pengawasan keluaran serta manajenien wirausaha. 
  • Kompetisi pada pelayanan Publik. 
  • Penekanan dalam gaya sektor privat dalam praktek manajemen. 
  • Penekanan yang lebih akbar pada disiplin dan penghematan. 
  • Penekanan terhadap kiprah serta manajer Publik pada menyediakan pelayanan yg berkualitas tinggi 
  • Mengadvokasi otonoini manajerial menggunakan mengurangi pengawasan peran forum pusat 
  • Tuntutan, pengukuran serta penghargaan terhadap kinerja individu serta organinasi.
  • Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya insan dan teknologi yg diperlukan manajer pada memenuhi target kinerjanya. 
  • Menjaga penerimaan terhadap kompetisi serta wawasan yg terbuka menenai bagaimana tujuan Publik wajib dilaksanakan sang aparat pemerintah. 
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para pakar Administrasi Publik tersebut pada dasarnya bertujuan buat mencapai ` pada poly hal, Publik seringkati nir ditibatkan buat berpartisipasi pada memilih, meencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik permanen menjadi sentra dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya menjadi konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt rakyat seharusnya melayani masyarakat masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai masyarakat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

C.tiga. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yg dianggap sebagai kelemahan berdasarkan NPM, misalnya yang dinyatakan oleh Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka perseteruan yang ada ada1ah terkait dengan pernyataan bahwa nir terdapat perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat pada mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka tentang validitas empirik dan NPM pada hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yg dianggap ideal buat sektor publik. Terdapat sejumlah kontradiksi antara klaim datam NPM terhadap syarat yang terdapat pada sektor publik. Model usahawan acapkali bisa mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis misalnya keaditan, peradilan, keterwakitan serta partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya disparitas akbar antara kekuatan pasar menggunakan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini nir selalu dapat memenuhi apa yg menjadi kepentingan publik. Bahkan pada poly hal, publik acapkali nir dilibatkan buat berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil buat bisa menjamin bahwa publik tetap sebagai pusat serta tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap rakyat hanya menjadi konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt serta Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt serta Denhardt warga seharusnya metayani masyarakat rakyat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai rakyat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata lantaran produktivitasnya (value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor Iainnya 
Pengertian dan good governance bisa dipandang serta pemahaman yg dimiliki baik sang IMF juga World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara buat memperkuat “kerangka kerja institusional serta pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini berdasarkan mereka berarti bagaimana memperkuat anggaran aturan serta prediktibilitas serta imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). Ini jua berarti mencabut akar dan korupsi serta kegiatan-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melal.ui transparansi din aliran warta dan menjamin bahwa keterangan mengenal kebijakan serta kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan serta diberikan kepada warga secara memadai sebagai akibatnya warga dapat memonitor dan mengawasi manajemen serta dana yang berasal. Serta masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian mililiter sejatan menggunakan endapat Bovaird and Loffler (2003) yang rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah gosip seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, kepercayaan , serta Lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabititas; serta keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan dalam nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang bisa meningkatkan partisipasi rakyat pada pencapain tujuan nasional serta keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir buat memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di pada Publik sektor menggunakan kiprah masyarakat pada pembangunan serta pelayanan Publik. Karya terakhir yg memperkuat kerangka berpikir the new governance merupakan The New Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt serta Denhardt mengajukan kritik yg keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan pembahasan terhadap kerangka berpikir yg berkembang dalam Administrasi Publik, maka masih ada sejumlah info yg dapat dijelaskan sesual menggunakan perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-info ini krusial buat segera direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik dalam pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang telah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara adalah langkah awal dan prioritas pada pembangunan. Administrasi negara sebagai sektor pembangunan (administrative Development) sekaligus menjadi instrumen krusial pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara pada negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran serta fungsi kelembagaan yg sebagai motor penggerak reformasi Administrasi, serta (2) menata balik sistem administrasi negara baik pada hal struktur, proses, asal daya insan (PNS) serta retasi antara negara serta warga .

Isu reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya buat melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar serta pengataman beberapa negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yang sudah melakukan reposisi serta revitalisasi peran administrasi negara dari tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan dalam waktu itu merupakan melalui civil servant ethics act dalam tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi serta simplifikasi mekanisme, restrukturisasi pemerintah pusat serta penguatan kiprah komisi reformasi administrasi. Semua bisnis Korea Setatan buat merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, higienis serta berwibawa, Beberapa gosip dan rencana yg tengah berkembang pada kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (dua) Restrukturisasi, downsizing serta iightsizing, perubahan manajemen serta organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4) dan interaksi-hubungan baru antara pemerintah dan rakyat datam pembangunn serta pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, berita reformasi birokrasi ini sebagai sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yg belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yg menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi perkara yang sangat fundamental. Pertama, menjadi liputan sejarah bangsa sistem administrasi yg kini diterapkan. Merupakan peninggalan pemerintah kotonial. Yang jua memiliki dasar-dasar aturan serta kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yg ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. Masyarakat negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan bila struktur serta proses yang dibangun adalah instrumen buat mengatur serta mengawasi konduite masyarakat, bukan sebaliknya buat mengatur pemerintah pada tugas menaruh pelayanan pada warga . Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tadi adalah buat mempertahankan kekuasaan serta mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah buat melakukan perubahan struktur, kebiasaan, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tadi sudah menyebabkan gagalnya upaya buat memenuhi aspirasi serta kebutuhan warga . Kualitas dan kinerja birokrasi pada memberikan pelayanan Publik masih jauh dan asa. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yg berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yg terbentuk adalah obsesi para birokrat serta politisi buat mengakibatkan birokrasi sebagai lahan pemenuhan keinginan dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korups, kolusi serta nepotisme sebagai hal yg umum, sehingga kualitas pelayanan serta pemerintahan. Seringkali terabaikan. 

Dalam kaitan menggunakan reformasi birokrasi pada Indonesia, maka berita-info yang terkait menggunakan menggunakan reformasi birokrasi pada kerangka tecritik serta perbandingan menggunakan negara lain harus sebagai baian yang nir terpisahkan kurikulum. 

Ketiadaan komitmen dan paradigma mengenai kiprah, kedudukan serta fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia nir mempunyai visi, kehilangan ruh serta berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, nir adanya kemauan potitik serta pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait serta terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini sudah menyebabkan nir saja gagalnya program pembangunan, namun juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yg berkembang secara teoritik serta praktek dalam administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan informasi desentralisasi ini terkait menggunakan bantuan-donasi negara asing serta lembaga-lembaga donor buat memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang telah .sejak usang bersamaan dengan mengalirnya dana donasi donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada waktu ini informasi tersebut semakin bertenaga serta dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah wilayah adalah sesuatu yg bergerak maju dan tidak berada dalam ruang yang vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara pada Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan semenjak kita merdeka, aneka macam gerakan separatis yang ada pada wilayah seperti PRRI serta Pernesta pula sangat terkait menggunakan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tadi merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang hiperbola dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, interaksi antara Pusat dan Daerah mempunyai ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah pada disintegrasi bangsa semakin akbar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan pada MOU Helsinki yg membuat UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut hingga ditemukannya titik ekuilibrium baru antara pusat serta wilayah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto jua memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yg tetah direvisi menggunakan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 bisa dikatakan berhasil. Meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah. 

Desentratisasi yg merupakan refleksi interaksi antara sentra serta daerah terus akan bergulir pada proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting buat ikut menentukan konstruksi interaksi sentra dan wilayah pada Indonesia, pula ikut membentuk kapasitas pemerintahan daerah. Lantaran informasi ini bukan berita sesaat tetapi gosip yang terus dan akan berlanjut pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Dalam informasi ini terkandung substansi yg sangat luas terutama buat mencipatkan pemerintahan yang efisien serta efektif, jua untuk meriingkatkan proses demokrasi pada taraf lokal.

Hasil penelitian pada lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota pula propinsi yg dilakukan penulis menampakan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar banyak sekali stakeholdes dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tadi meliputi rekanan antara ketua wilayah serta DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah daerah serta warga , ketidaksetaraan antara pemerintah wilayah dan pemerintah sentra, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan warga pada pelaksanaan pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tadi telah mengakibatkan sulitnya peningkatan partisipasi warga pada proses-proses pembuatan kebijakan serta keputusan politik serta kontrol atas pengunaan resources pada daerah. Ketidaksetaraan ini mengakibatkan pengaruh berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness dan local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik wajib mengisi kapasitas pemerintahan wilayah buat membangun dan menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 
Isu yg relatif krusial serta menghiasi literatur dalam administrasi Publik merupakan peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini menggunakan reformasi birokrasi, tetapi pada pandangan penulis informasi ini mempunyai dimensi aplikasi yang wajib mendapatkan perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan paradigma New Public Management sudah memasukkan unsur-unsur serta metode sektor swasta dalam sektor Publik. Hal ini contohnya dapat ditinjau dalam aneka macam literatur yg terkait dengan judul-judul. Buku serta seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan berbagai judul lainnya. 

Berbagai hal yg perlu menerima perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan serta dan perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode yang dipergunakan diantaranya melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik serta partikelir, pemanfaatan teknologi fakta serta komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai strategi pelayanan Publik sudah menjadi alternatif diantaranya dengan apa yg diklaim Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob menjadi jaininan legal pada pemberian pelayanan Publik pada warga . Disamping itu, ketika ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas pada DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yg berupaya untuk mempertinggi kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana warga yang berstatus sosial ekonomi rendah acapkali secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu jua kalangan akademisi public administration menaruh formula yang lebih konstektual denqan kondisi Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai dengan perkembangan kerangka berpikir Good Governance pada Administrasi Publik maka, informasi Governance sebagai kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya buat menciptakan akses partisipasi masyarakat pada pelayanan Publik serta penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan buat menaikkan impak lain berupa akuntabilitas serta transparansi pada pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan menjadi suatu hubungan yang interakti. Serta berbasis pertukaran liputan antara banyak sekali pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga wajib melibatkan rakyat dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan melalui diantaranya apa yang diklaim dengar Citizen’s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi rakyat dalam pelayanan Publik pemerintah wajib memiliki kinerja serta orientasi pemenuhan hak-hal. Sipil warga . Dan melalui mekanisme pengaduan, rakyat bisa mengungkapkan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menaruh penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi serta Iniltenium Development Goals serta ECOSOB 
isu lain yg adalah faktor eksternal adalah menguatnya globalisasi dan regionalisasi. Hal ini diantaranya menyebabkan berkurangnya peran serta otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yg. Dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan covenant, prinsip-prinsip serta kesepakatan internasional lainnya yang sudah diratifikasi. Termasuk dalam hal ini merupakan contohnya perjanjian perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional mengenai pemberantasan korupsi, dan covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya merupakan pencanangan millenium Development Goals yg harus dipenuhi sang pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah wajib menaruh penguatan pada masyarakat buat lepas dari kemiskinan struktural yg terjadi. Dengan demikian isi ini jua akan menghipnotis kebijakan-kebijakan yang akan dibuat sang pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang jua sebagai informasi dalam administrasi publik adalah terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan Publik yang harus semakin baik serta aman bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan yg semakin partisipatif dengan banyak sekali pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus sebagai aktor yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, informasi ini pula terkait dengan proses potitik yg terjadi di Parlemen pada kaitanya menggunakan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam kebijakan Publik. Hal ini lantaran sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik pada kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan perangkat lunak-perangkat lunak kebijakan Publik yang dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (misalnya AHP serta System Dynainic) wajib dikuasai pada sang para produsen kebijakan. Termasuk merupakan dominasi metode system thinking serta system dynainic buat memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management wajib menjadi kurikulum pada administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 
Isu lainnya yang relevan menggunakan kajian administrasi Publik merupakan Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya mempunyai interaksi yang sangat dekat sebagaimana telah sebagai tradisi pada administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam administrasi Publik disebabkan jua oleh lemahnya integrasi antara Administrasi Publik menggunakan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi ke 2 dan ketiga di Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi negara. Hal ini berbeda menggunakan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama misalnya Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, telah saatnya memikirkan pulang perubahan kurikulum administrasi Publik yg berorientasi jua dalam kajian Hukum Administrasi Negara pada kaitannya dengan studi administrasi Publik.

C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA 
Administrasi Publik di Indonesia mengalami masalah krusial lantaran sulitnya memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) serta Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan manunggal sebagai akibatnya sulit rnembedakan secara sahih penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang mendapatkan perhatian sebagai akibatnya sering pekerjaan administrasi Publik dengan mudah diintervensi sang pemerintah. 

Presiden adalah ketua negara serta kepala pemerintahan, sekaligus ketua administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik, lantaran negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian juga pemerintah yg dipilih secara demokratis serta administrasi Publik yg diangkat dan bekerja menurut Undang-undang wajib terdapat pembagian fungsi dan peran yang tegas. Tentu saja pada pengertian yg luas ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah serta administrasi Publik. Tetapi dalam kehidupan praktek administrasi Publik perlu dipikirkan upaya buat mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik buat melaksanakan keputusan-keputusan politik acapkali disebabkan sang tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan masyarakat. 

PENGEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DAN ISUISU KONTEMPORER ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Publik memainkan peranan yg krusial datam penyelenggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat dipengaruhi oleh kuatitas Administrasi Publik yang diiniliki sang suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, eksistensi Administrasi Publik merupakan instrumen krusial buat mewujudkan tujuan-tujuan negara yg termaktub pada UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraaan urnum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori serta praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya ilmu terkini dan Administrasi Publik yang hingga ketika ini telah mengalami beberapa kali pergeseran paradigma, mulai menurut model klasik yang berkembang daam kurun saat 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yg berkembang dälam kurun ketika akhir 1980an sampai pertengahan 1990an; hingga kepada Good Governance yang berkembang sejak pertengahan 1990an sampai waktu ini. 

Pergeseran kerangka berpikir Administrasi Publik tersebut, telah membawa akibat terhadap penyelenggaraan kiprah Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yg digunakan dalam pembuatan dan aplikasi strategi; pengelolaan organisasi secara internal; dan hubungan antara Administrasi Publik dengan politisi, rakyat dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja dalam akhirnya akan sangat memilih corak dan ragam pada penyelengaraan Pemerintahan dan sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak serta ragam tadi akan sangat ditentukan sang syarat lokal yg terdapat di Negara tadi, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tadi telah mengikuti keadaan dengan perkembangan paradigma yang terdapat; serta sejauhmana penyesuaian tadi dilakukan menggunakan memperhatikan konteks lokal dan permasalahan yang ada pada Negara tadi. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai menggunakan bergesernya kerangka berpikir pada Administrasi Publik. Kita mengetahui paling nir terdapat 3 paradigma yg sudah serta akan sedang berlangsung dalam Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (dua) New Public Management, serta (3) Good Governance and the new public services. Perubahan paradigma pada Ilmu Administrasi Publik tadi menuntut perubahan kurikulum dan materi pengajaran pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yang digunakan 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik sering dicermati menjadi seperangkat Institusi Negara, proses, mekanisme, sistem serta struktur organisasi, dan praktek dan periilaku buat mengelola urusan-urusan Publik dalam rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik berdasarkan ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat anggaran dengan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional sah, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat dan akurat:, dapat diprediksi, mempunyai standar, integnitas dan profesionalisme pada rangka memuaskan kepentingan rakyat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diperlukan buat menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia serta rasa aman, termasuk pada dalamnya kebebasan individu, perlindungan akan kehidupan dan kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, stabilitas, serta resolusi konflik secara hening baik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya maupun pada hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan istilah lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk mengklaim keberlanjutan anggaran aturan (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik contoh klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yg legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan donasi Woodrow Wilson (1887) pada “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan menyampaikan bahwa wajib terdapat pemisahan antara politik serta Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”. Kajian yg sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) pada “Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas serta efek politik, meskipun Administrasi membantu dalam hukuman kebijakan/Keputusan politik. 

Paradigma Administrasi Publik contoh klasik jua dapat dilihat melalui contoh “old chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik dari dalam Pegawai Negeri yg politis serta terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis dan dari peraturan; penugasan yg permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta membuat keluaran yang seragam (lihat pada Oluwu, 2002 serta Frederickson, 2004). Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh kegiatan pemèrintah yg terfokus dalam hadiah pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan sang administrator Publik yg akuntabel dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar utama yg diperjuangkan pada Old Public Administration adalah efisiensi serta rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan sebagai rencana, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap contoh kiasik 
Kritik yg ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut jua dikaitkan dengan karakteristik serta Administrasi Publik yang dipercaya inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari masyarakat, penggunaan sumberdaya Publik yang sia-sia akibat hanya berfokus dalam proses dan mekanisme dibandingkan pada hasil, sehingga pada akhirnya menyebabkan keluarnya pandangan negatif serta warga yg menduga Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik model kiasik pula bisa dilihat pada kaitannya menggunakan eksistensi konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tadi (Prasojo, 2003), yakni: pertama, dalam interaksi antara rakyat serta negara, implementasi birokrasi ditandai menggunakan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan jua kompleksitas peraturan; ke 2, struktur birokrasi dalam hubungannya menggunakan rakyat tak jarang dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi serta masyarakat. Peningkatan intensitas dipercaya mempunyai resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi negara yang akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga serta dalam akhirnya mengakibatkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yang tertutup menggunakan pendekatan hirakis yg top down dan ukuran kinerja yang hanya berbasis dalam efisiensi bukan responsiveness. Itu sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan kebutuhan rakyat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut pada atas lalu mengakibatkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 
2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan paradigma Administrasi Publik, pada negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.A gelombang reformasi yg radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik diklaim menggunakan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya menaikkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi dan kenaikan pangkat dalam birokrasi yg berbasis merit dan bukan patronase, menurut pada aturan serta peraturan bukan dalam diskresi yg tidak terbatas, aplikasi pelayanan publik yang berbasis impersonalitas, mekanisme modernisasi dalam sebuah transformasi yg sangat cepat dan merogoh tempat pada produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood, 1994).

2.dua. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak masalah yg ada, NPM dianggap telah poly berbuat untuk menggoyang organisasi publik yang tidur serta melayani dirinya sendiri melalui penggunaan wangsit-pandangan baru dari sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan poly pilihan buat mencoba mencapai biaya yang efektif pada penyampaian barang publik misalnya adanya organisasi yang terpisah buat kebijakan serta implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak dan metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yg kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha buat memperbaiki kinerja organisasi sektor publik menggunakan memakai metode yg biasa digunakan oleh sektor privat serta melalui mekanisme pasar. Pada dasarnya hal yang baru pada NPM (what is new public management) merupakan mereformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasis traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasis market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar berdasarkan NPM menurut pendapat menurut sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins and Warrington 1996 pada Samaratunge and Bennington, 2002).
  • Penanganan oleh manajemen profesonaL. 
  • Keberadaan baku dan ukuran kinerja. 
  • Penekanan dalam supervisi keluaran serta manajenien wirausaha. 
  • Kompetisi dalam pelayanan Publik. 
  • Penekanan pada gaya sektor privat pada praktek manajemen. 
  • Penekanan yang lebih akbar pada disiplin serta penghematan. 
  • Penekanan terhadap peran dan manajer Publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi 
  • Mengadvokasi otonoini manajerial menggunakan mengurangi supervisi kiprah forum pusat 
  • Tuntutan, pengukuran serta penghargaan terhadap kinerja individu serta organinasi.
  • Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya insan dan teknologi yg diharapkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya. 
  • Menjaga penerimaan terhadap kompetisi serta wawasan yg terbuka menenai bagaimana tujuan Publik harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah. 
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para pakar Administrasi Publik tadi dalam dasarnya bertujuan buat mencapai ` pada poly hal, Publik seringkati tidak ditibatkan buat berpartisipasi dalam memilih, meencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambiL buat bisa menjarnin bahwa Publik tetap sebagai pusat dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya menjadi konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan serta haknya untuk berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan sang Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt serta Denhardt masyarakat seharusnya melayani rakyat warga bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

C.tiga. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dipercaya menjadi kelemahan dari NPM, seperti yg dinyatakan sang Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, saat Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan sang pendekatan pasar maka pertarungan yg muncul ada1ah terkait menggunakan pernyataan bahwa nir ada perbedaan antara manajemen sektor publik menggunakan sektor privat pada mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yg mengemuka tentang validitas empirik serta NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yg dianggap ideal buat sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim datam NPM terhadap syarat yang ada di sektor publik. Model usahawan sering dapat mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis misalnya keaditan, peradilan, keterwakitan dan partisipasi. Hal ini dari ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya disparitas besar antara kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini nir selalu dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik tak jarang nir dilibatkan buat berpartisipasi dalam memilih, merencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambil buat dapat mengklaim bahwa publik permanen sebagai sentra serta tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya sebagai konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan serta haknya buat berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan sang Janet Denhardt serta Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya metayani masyarakat masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai rakyat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah menggunakan Aktor Iainnya 
Pengertian dan good governance dapat ditinjau dan pemahaman yang dimiliki baik sang IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara buat memperkuat “kerangka kerja institusional serta pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini berdasarkan mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas dan imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). Ini pula berarti mencabut akar serta korupsi dan aktivitas-kegiatan rent seeking, yang bisa dilakukan melal.ui transparansi din genre warta dan mengklaim bahwa fakta mengenal kebijakan serta kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan serta diberikan kepada rakyat secara memadai sebagai akibatnya rakyat bisa memonitor dan mengawasi manajemen serta dana yang berasal. Serta rakyat (Bappenas, 2002). Pengertian ml sejatan menggunakan endapat Bovaird and Loffler (2003) yg rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah gosip seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; rencana kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan Lainnya); etika serta konduite amanah; akuntabititas; dan keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yg menjunjung tinggi impian serta kehendak rakyat, serta nilai-nilai yang dapat menaikkan partisipasi rakyat pada pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir buat memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat pada dalam Publik sektor menggunakan peran rakyat dalam pembangunan serta pelayanan Publik. Karya terakhir yg memperkuat paradigma the new governance merupakan The New Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt serta Denhardt mengajukan kritik yang keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan pembahasan terhadap paradigma yang berkembang pada Administrasi Publik, maka terdapat sejumlah informasi yg bisa dijelaskan sesual menggunakan perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-informasi ini krusial buat segera direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik pada pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara adalah langkah awal serta prioritas pada pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative Development) sekaligus sebagai instrumen krusial pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut dalam umumnya dilakukan melalui 2 strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, kiprah serta fungsi kelembagaan yg menjadi motor penggerak reformasi Administrasi, dan (dua) menata kembali sistem administrasi negara baik pada hal struktur, proses, asal daya insan (PNS) serta retasi antara negara dan warga .

Isu reformasi administrasi ini sejalan menggunakan upaya buat melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dan pengataman beberapa negara, maka kunci berdasarkan keberhasilan pembangunan bangsa merupakan bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yg sudah melakukan reposisi serta revitalisasi kiprah administrasi negara dari tahun 1980-an. Beberapa reformasi yg dilakukan dalam waktu itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, serta social purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi dan simplifikasi mekanisme, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan kiprah komisi reformasi administrasi. Semua bisnis Korea Setatan buat merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, lantaran hasilnya merupakan efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, bersih serta berwibawa, Beberapa info dan agenda yg tengah berkembang dalam kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan iightsizing, perubahan manajemen serta organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (tiga) Anggaran berbasis kinerja serta proses perencanaan yang partisipatif, (4) dan hubungan-interaksi baru antara pemerintah serta masyarakat datam pembangunn serta pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, info reformasi birokrasi ini sebagai sangat retevan utamanya datam meningkatkan kecepatan krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem Birokrasi pada Indonesia yg sebagai pilar pelayanan Publik menghadapi perkara yg sangat mendasar. Pertama, menjadi fakta sejarah bangsa sistem administrasi yg kini diterapkan. Merupakan peninggalan pemerintah kotonial. Yang jua memiliki dasar-dasar aturan dan kepentingan kolonial. Struktur, kebiasaan, nilai dan regulasi yang terdapat masih berorientasi dalam pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. Rakyat negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan apabila struktur dan proses yg dibangun adalah instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan kebalikannya buat mengatur pemerintah pada tugas menaruh pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tadi merupakan buat mempertahankan kekuasaan serta mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai serta regulasi yg berorientasi kolonial tadi telah mengakibatkan gagalnya upaya buat memenuhi aspirasi serta kebutuhan rakyat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan Publik masih jauh dan asa. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yg terbentuk merupakan obsesi para birokrat dan politisi buat membuahkan birokrasi sebagai lahan pemenuhan keinginan serta kekuasaan (power culture). Dalam kultur yg demikian, korups, kongkalikong serta nepotisme sebagai hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan. Acapkali terabaikan. 

Dalam kaitan menggunakan reformasi birokrasi di Indonesia, maka gosip-isu yg terkait menggunakan dengan reformasi birokrasi pada kerangka tecritik serta perbandingan menggunakan negara lain harus sebagai baian yang nir terpisahkan kurikulum. 

Ketiadaan komitmen serta kerangka berpikir mengenai kiprah, kedudukan dan fungsi administrasi negara pada pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi pada Indonesia tidak mempunyai visi, kehilangan ruh serta berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang nir terlihat bentuk atau grand design yg diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, nir adanya kemauan potitik serta pemerintah. Semua bentuk reformasi yg dijalankan pada negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini sudah menyebabkan tidak saja gagalnya acara pembangunan, tetapi pula marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yg berkembang secara teoritik serta praktek pada administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan berita desentralisasi ini terkait menggunakan donasi-donasi negara asing serta lembaga-lembaga donor buat memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya gosip ini berkembang telah .semenjak lama bersamaan menggunakan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada waktu ini info tadi semakin bertenaga dan dirasakan perlu pada konteks Indonesia. Terlebih bahwa interaksi antara pemerintah pusat serta pemerintah wilayah adalah sesuatu yg dinamis serta tidak berada pada ruang yang vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara pada Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan semenjak kita merdeka, aneka macam gerakan separatis yg timbul pada wilayah seperti PRRI serta Pernesta pula sangat terkait menggunakan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tadi adalah reaksi terhadap kekuatan sentripetal yg hiperbola dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat serta Daerah mempunyai ancaman sekaligus asa. Menjadi ancaman lantaran aneka macam tuntutan yang mengarah pada disintegrasi bangsa semakin akbar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan pada MOU Helsinki yg membuat UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini berdasarkan saya nir berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik ekuilibrium baru antara pusat serta daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto pula memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti menggunakan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yg tetah direvisi menggunakan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal sudah merubah corak hubungan antara Pusat serta Daerah pada Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 bisa dikatakan berhasil. Meredam gerakan sentrifugal yang terjadi pada wilayah. 

Desentratisasi yg adalah refleksi interaksi antara pusat dan daerah terus akan bergulir pada proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting buat ikut memilih konstruksi hubungan sentra dan wilayah di Indonesia, juga ikut membentuk kapasitas pemerintahan wilayah. Karena gosip ini bukan gosip sesaat namun gosip yang terus serta akan berlanjut pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yg sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yg efisien serta efektif, pula buat meriingkatkan proses demokrasi di taraf lokal.

Hasil penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten serta kota pula propinsi yg dilakukan penulis memperlihatkan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar aneka macam stakeholdes pada penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tadi mencakup rekanan antara kepala wilayah dan DPRD, ketidaksetaraan rekanan antara pemerintah wilayah serta warga , ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat pada aplikasi pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tersebut telah mengakibatkan sulitnya peningkatan partisipasi masyarakat pada proses-proses pembuatan kebijakan serta keputusan politik serta kontrol atas pengunaan resources pada daerah. Ketidaksetaraan ini menyebabkan pengaruh berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness serta local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik wajib mengisi kapasitas pemerintahan wilayah buat menciptakan serta menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 
Isu yang relatif penting serta menghiasi literatur pada administrasi Publik merupakan peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini menggunakan reformasi birokrasi, namun pada pandangan penulis berita ini memiliki dimensi software yg wajib menerima perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan kerangka berpikir New Public Management telah memasukkan unsur-unsur dan metode sektor partikelir dalam sektor Publik. Hal ini misalnya bisa dicermati pada aneka macam literatur yang terkait menggunakan judul-judul. Kitab serta seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan banyak sekali judul lainnya. 

Berbagai hal yg perlu mendapatkan perhatian pada peningkatan kualitas pelayanan Publik adalah bagaimana menciptakan semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan dan serta perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses serta profesionalisasi kinerja PNS. Metode yg dipergunakan diantaranya melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik serta partikelir, pemanfaatan teknologi liputan serta komunikasi pada pelayanan Publik. Berbagai taktik pelayanan Publik sudah menjadi cara lain antara lain menggunakan apa yang dianggap Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik pada masyarakat. Disamping itu, ketika ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sementara waktu lagi akan dibahas di DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yang berupaya buat meningkatkan kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan pada pelayanan Publik. Dimana rakyat yang berstatus sosial ekonomi rendah sering secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu juga kalangan akademisi public administration menaruh formula yg lebih konstektual denqan syarat Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai menggunakan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik maka, isu Governance sebagai kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya buat menciptakan akses partisipasi warga pada pelayanan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan buat menaikkan imbas lain berupa akuntabilitas dan transparansi pada pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan menjadi suatu interaksi yang interakti. Dan berbasis pertukaran berita antara aneka macam pemangku kepentingan pada pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan jua wajib melibatkan rakyat dan gerombolan -gerombolan kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan melalui antara lain apa yg disebut dengar Citizen’s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi warga pada pelayanan Publik pemerintah harus mempunyai kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hal. Sipil warga . Dan melalui mekanisme pengaduan, warga bisa mengungkapkan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menaruh penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi serta Iniltenium Development Goals serta ECOSOB 
isu lain yg merupakan faktor eksternal merupakan menguatnya globalisasi serta regionalisasi. Hal ini diantaranya mengakibatkan berkurangnya kiprah serta otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang. Dibuat sang pemerintah harus memperhatikan covenant, prinsip-prinsip dan kesepakatan internasional lainnya yang sudah diratifikasi. Termasuk pada hal ini adalah contohnya perjanjian perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional tentang pemberantasan korupsi, serta covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya adalah pencanangan millenium Development Goals yg wajib dipenuhi oleh pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah harus memberikan penguatan pada warga untuk lepas berdasarkan kemiskinan struktural yg terjadi. Dengan demikian isi ini juga akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yg akan dibuat sang pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang pula menjadi gosip dalam administrasi publik merupakan terkait dengan proses penyusunan kebijakan Publik yang wajib semakin baik serta aman bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait dengan proses penyusunan kebijakan yg semakin partisipatif menggunakan banyak sekali pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus menjadi aktor yg aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, info ini juga terkait dengan proses potitik yang terjadi pada Parlemen pada kaitanya menggunakan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial pada Indonesia menaruh tantangan tersendiri pada kebijakan Publik. Hal ini lantaran sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses political merit system yang belum terbangun, serta sistem multi party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik pada kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan aplikasi-perangkat lunak kebijakan Publik yg dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (misalnya AHP dan System Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk merupakan penguasaan metode system thinking serta system dynainic buat memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru misalnya knowledge management wajib sebagai kurikulum dalam administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 
Isu lainnya yg relevan menggunakan kajian administrasi Publik merupakan Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya memiliki interaksi yang sangat dekat sebagaimana sudah menjadi tradisi dalam administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam administrasi Publik ditimbulkan pula oleh lemahnya integrasi antara Administrasi Publik menggunakan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi kedua dan ketiga pada Indonesia kurang tahu konteks aturan administrasi negara. Hal ini tidak sama menggunakan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama seperti Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, sudah saatnya memikirkan balik perubahan kurikulum administrasi Publik yg berorientasi jua pada kajian Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya dengan studi administrasi Publik.

C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA 
Administrasi Publik di Indonesia mengalami persoalan krusial lantaran sulitnya memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) dan Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan bersatu sehingga sulit rnembedakan secara benar penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang menerima perhatian sehingga acapkali pekerjaan administrasi Publik menggunakan gampang diintervensi oleh pemerintah. 

Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus kepala administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik, lantaran negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian juga pemerintah yang dipilih secara demokratis serta administrasi Publik yang diangkat serta bekerja dari Undang-undang wajib masih ada pembagian fungsi serta peran yang tegas. Tentu saja pada pengertian yang luas ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah dan administrasi Publik. Tetapi pada kehidupan praktek administrasi Publik perlu dipikirkan upaya buat mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik buat melaksanakan keputusan-keputusan politik seringkali ditimbulkan sang tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan rakyat. 

PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yg terus berubah memunculkan beragam tantangan bagi organisasi, apapun bentuk dan wujud organisasi tadi. Meski sebagian besar berita bukan hal baru, konteks lingkungan yang berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori serta praktik yg berkaitan menggunakan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri sebagai info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yang efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi dalam sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi dengan segala ciri serta kapasitas yang teraktualisasi tidak lain adalah produk yg dapat diidentikkan menggunakan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik sepertinya tidak kalah menariknya (pada beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual maupun mudah kepemimpinan private sector. Apabila seorang pemimpin perusahaan secara penuh sanggup mendasarkan perilaku atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas serta efisiensi organisasi sehingga hiegenis menurut sebuah proses tekanan, kompromi dan persekongkolan dan itu bisa menggunakan mudah ditularkan pada seluruh anggota organisasi yg jua berkepentingan terhadap efektivitas serta efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan di sektor publik. Dalam kasus tertentu, meskipun perhitungan efisiensi sudah merekomendasikan tindakan konkret yg harus diambil, tidak jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin jua memaksakan diri buat merogoh tindakan yang berlawanan menggunakan pilihan yang rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seorang pemimpin harus bertindak serta merogoh suatu keputusan eksklusif lantaran dalam nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik dan legal dari suatu keputusan yang dibentuk. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik tak jarang nir muncul pada bentuk yang nyata serta terbenam di pada sebuah konspirasi yg rapi dan kompleks. Dalam syarat demikian pilihan rasional mampu menjadi nir rasional buat dipilih dan kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru bisa sebagai pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yg terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai akal pembenaran yang linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi dampak dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara pada strata eksekutif seringkali lebih terpesona serta tertarik memakai instrumen politik untuk menyelesaikan dilema masyarakat. Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar dilema politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, pelaksanaan suatu program nir bisa menemukan bentuknya menjadi instrumen yg memang sanggup bekerja dan menyelesaikan kasus publik. Kebijakan serta program acapkali hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta membangun status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yg berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik oleh administrator negara, dalam banyak hal sudah memakan korban kemampuan manajerial serta teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini dapat terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yg lebih luas pertanyaan tersebut bisa diperpanjang dengan pertanyaan bagaimana seseorang administrator negara seharusnya memimpin di tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah ia terjebak pada pragmatisme politik sehingga melupakan bahwa administrasi juga mempunyai sejumlah tantangan yg harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yg mengedepankan knowledge dan mempertemukan rasionalitas tindakan dengan real persoalan yang terdapat? Akal berpikirnya merupakan dilema administrasi tidak akan terselesaikan begitu saja hanya dengan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jikalau dirasa pendekatan politik telah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara pada memecahkan kasus publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri berdasarkan ”zona” politik serta wajib berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif dari putusan-putusan politik yg sudah dibuat sang lembaga lain yg adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang relatif dikatakan ekstreem, akankah kita balik dalam reproduksi konsep ideal weber dengan mengadaptasikan konsep birokrasi ke pada level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tersebut bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara merupakan suatu keniscayaan serta kewajaran lantaran top eksekutif administrasi merupakan jelas adalah jabatan dengan proses rekuitmen politis

Kontroversi yg melibatkan hubungan pendekatan serta penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yang mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, dalam dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan interaksi politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan dan memaparkan konstruksi ilham kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menelaah balik struktur rekanan politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik serta Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran dan evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan tentang struktur dan konfigurasi relasi politik serta administrasi sebagai tema tak pernah mati yang bahkan sampai dewasa ini belum menerima konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yg berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri untuk didiskusikan. Tidak berlebihan, bila perdebatan tersebut kemudian menjadi ide-ilham konstruktif yang melahirkan paradigma-kerangka berpikir eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, ketika Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power berdasarkan ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif. Logika berpikir tadi menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yang menjalankan keputusan-keputusan politis. Tetapi demikian dalam prakteknya, Jackson justru menjadikan wilayah eksekutif menjadi arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tadi Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya nir terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tadi, Jackson banyak menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yang ditinjau bisa memperkuat kekuatan politiknya dan sanggup menghadang versus politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, pula menyoroti secara khusus relasi politik dan administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus fundamental bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi serta menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan dengan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek dan tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tidak ubahnya misalnya menjalankan organisasi-organisasi bisnis di mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson menyampaikan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson mendapat dukungan luas dalam masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yang mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya buku text pertama dalam ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, balik memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tadi secara jelas benderang menampakan bahwa kegiatan administrasi publik adalah aktivitas manajemen, yakni execution, bukan aktivitas politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa buat melakonkan kiprah tadi administrasi publik harus berinteraksi menggunakan kegiatan dari political branch (satu hal yg dalam hal tertentu pula diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, tampaknya perdebatan akademik seputar rekanan politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus balik dalam paradigma ke-3 Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung sebagai ilmu serta praktik yang bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat lalu lebih fokus pada persoalan-dilema organisasi. Gerakan yg cukup revolusioner menggunakan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an kembali melakukan gugatan terhadap netralitas administrasi publik yg sepertinya tidak memberikan donasi terhadap banyak sekali pertarungan kenegaraan dan kemasyarakatan yg muncul pasca perang dunia. Administrasi publik balik dipaksa masuk pada ranah politik di mana beliau wajib memiliki set of value, ethic dan kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan kegiatan politik. Semua atribut tersebut harus teraktualisasi pada produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan nir saja dalam policy implementation melainkan juga pada proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental dengan proses dan aktivitas politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration tampaknya pula nir sepenuhnya memuaskan banyak pihak. Lambannya dan inefisiensi tindakan administrasi karena penguasaan peran dan luasnya lapangan yang wajib dicakup sebagai akibat konsep welfare state, mendorong para pakar dan praktisi mereposisi peran administrasi dengan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dasa warsa 1980-1990an. Arus balik serta gelombang pemikiran yg menekankan pada pendekatan-pendekatan manajerial, pulang menghinggapi administrasi publik. Gaya dan perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dipandang hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas serta efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yang sepertinya waktu ini sebagai mufakat ilmiah belum pasti, pula nir mampu melepaskan diri dari perdebatan panjang pola rekanan administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance berdasarkan sisi politik dengan mengkaitkannya dengan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya serta mensyaratkan keluarnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai untuk mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, namun juga menkonstruksikan bagaimana model teknis yang tepat buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah menurut aneka macam uraian tersebut di atas memberitahuakn bahwa rekanan politik serta administrasi menurut tindakan administrasi public adalah perdebatan panjang yg bahkan selalu hadir dalam kerangka berpikir administrasi yang berkembang. Pada satu sisi, timbul harapan buat mengakibatkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan dalam sisi yang lain menghendaki perilaku politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar empiris akademik melainkan pula sebagai potret bergerak maju administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang timbul, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik harus dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yang harus dipilih ? Dalam nyatanya banyak pandangan yg nir secara eksplisit memperlihatkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yang lain. Paparan Rosenbloom (....) pula mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yg memiliki konsepsi dan konstruksi nilai yg tidak sama, yakni politik, manajemen, serta sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang harus dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya harus dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tadi, poly pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) menjelaskan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration serta lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah wilayah politik karena keberadaan dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan serta lingkup pekerjaannya pun dicermati adalah political action, misalnya misalnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi menggunakan menggunakan aneka macam sumber otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi lantaran memang sebagian administrator level executive dibentuk melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yang didudukinya secara politik, maka jelas pemimpin administrasi juga menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan sebagai proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yg tentunya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan inheren dalam administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik merupakan collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi masalah serta konstruksi kebijakan berdasarkan skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yang dimaksud dalam hal ini merupakan entitas gerombolan dan kekuatan politik yg membangun administrasi publik yg bisa berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik merupakan pemimpin atas seluruh kegiatan politik tadi di dalam tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana dengan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih menunjuk dalam kapasitas manajerial dan profesional, yg menuntaskan kasus menggunakan knowledge nir menggunakan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada adalah dengan meletakkan permasalahan manajerial menjadi permasalahan yang lebih berada dalam level middle administration yang lalu secara technical dioperasionalkan oleh lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), dengan memetakan duduk perkara relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik dan administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dipandang terselesaikan serta terpecahkan. Identitas aktivitas politik dan administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi dicermati telah terkubur dalam tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yg senada juga telah menduga final bahwa tindakan dan perilaku politik berdasarkan administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak terdapat yg keliru dengan tindakan dan pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yang berarti juga menghambakan diri dalam politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan menjadi pilihan yg tidak tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan fakta serta argumen yg menyajikan aneka macam kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang benar-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik di pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun dari administrator negara mendapat pemakluman hanya lantaran jabatan mereka yang diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian tertentu, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-kegiatan administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yg harus diselesaikan dengan knowledge, menggunakan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan dan analisis data, menggunakan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan untung rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan berlebihan pada pilihan pendekatan politik hanya akan membentuk administrasi negara yg pintar bersilat lidah, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pintar meredam amarah publik tanpa merampungkan perkara yang sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat krusial buat nir meletakkan masalah-masalah manajerial menjadi masalah birokrasi belaka. Level eksekutif dalam porsi yang nir bisa dikatakan mini juga wajib memiliki serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dipercaya hanya sebagai tanggung jawab birokrasi, sementara political frame menjadi kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yg terjadi adalah profesionalisasi yg berlangsung pada tubuh birokrasi pada satu sisi nir akan poly memberi manfaat dan pengaruh bagi pemugaran kinerja sektor publik yg lalu memungkinkan aspek profesionalitas nir menjadi sesuatu yang dianggap krusial serta dalam sisi yg lain akan menciptakan ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan serta parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan galat alamat ketika hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang berdasarkan konsep idealnya mempunyai kesamaan ilmiah karena memang tugas primer mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi sebagai nir profesional serta tidak netral waktu kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan sudah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke utama persoalan, pemerintah nir sanggup dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika merogoh sebuah tindakan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial menggunakan perhitungan rasional yg kentara jua harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tersebut. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara serta pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, tetapi bukan berarti harus menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya juga akan memberi efek pada kepercayaan politik rakyat. Dengan kata lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual serta teoritik, ilham serta gagasan tadi mungkin dianggap sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik gosip dikotomi politik dan administrasi yang tampaknya bagi sebagian besar kalangan dipercaya telah terkubur. Atau mungkin pandangan baru tersebut dicermati utopis lantaran membangkitkan pulang pemikiran kaum orthodoxy yang secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dipandang ”aneh” atau bahkan tidak relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara pada masa mendatang justru akan poly menjadi kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab perkara-perkara mudah warga .

Konsep-konsep serta kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam kata Islamy, ...) menunjukkan kesamaan banyaknya instrumen konseptual yg bisa dipakai buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total dalam proses politik. Sektor publik dimaksud tidak dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yg pada hal ini termasuk jua pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yg wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah menjadi lokus dan fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan sering pemikiran tadi mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya dalam birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yg terjadi pada konteks akademik maupun simpel, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, contohnya menggunakan marak keluarnya istilah-istilah reformasi birokrasi, penemuan birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi nir galat, tetapi jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah dan domain yang lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti dari dilema yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, harus rela sebagai target tembak sebagai biang kegagalan sektor publik. Padahal di sisi lain, banyak berita menunjukan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang nir cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yg memandang administrasi publik juga menjadi proses aktivitas politik adalah mainstream yg tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox sekitar tahun 1940an ataupun sebagaimana pula kritik atas new public management. Gugatan pemikiran pada goresan pena ini juga tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Namun penguasaan politik yang tidak disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas sebagai bala besar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yg ketika ini tergambar kentara menurut potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menampakan betapa pemerintah (Presiden serta kabinetnya) banyak menghadapi dan berusaha menuntaskan masalah administrasi publik hanya menggunakan cara-cara politik serta diorientasikan buat kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran acara pembangunan digunakan sebagai alat kenaikan pangkat politik, bahkan hingga penanganan bencana pula nir luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang lawan politik merupakan formasi panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal di sisi lain, dilema-problem tadi adalah duduk perkara yg wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yg dari saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan menjadi obyek kompromi, perundingan , dan ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-benar menyelesaikannya menjadi sebuah masalah. 

Di waktu politik sendiri belum mampu mendewasakan kinerja demokrasi yang diusungnya, sepertinya administrasi wajib bersikap lain berdasarkan sekedar sebagai kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yang terpilih melalui proses politik, absolut harus menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan semua masalah pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman seperti dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu putusan bulat memahami administrasi negara tidak hanya urusan birokrasi melainkan jua yang utama merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yang kemudian mendasari kuatnya pemikiran, tindakan serta praktek politik sang administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui karena kiprah pentingnya tidak hanya sekedar pada urusan eksekusi kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tadi (sesudah dasa warsa 1940-1950an) bahkan dicermati sebagai kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya sebagai robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran pada waktu itu, pendekatan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara sebagai robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran dan keluhan lain adalah pilihan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara bebas nilai, sementara pada sisi lain efektivitas serta efisiensi yang dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sinkron menggunakan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut cukup hiperbola bila lalu menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih buruk ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat menjadi second level and choice. Pendekatan manajerial berada dalam level yang sama serta dalam derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, seksama, sesuai perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas berdasarkan bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis dengan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dicermati menjadi nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi menggunakan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah dari konsep yg diterapkan dalam sektor partikelir. Secara alamiah pun, Simon (.......) sudah berkata bahwa rasionalitas konduite administratif insan sudah pasti akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tadi adalah keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas dan efisiensi ke dalam sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan administrasi negara terutama di negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yang menunjukkan contoh-contoh konseptual penemuan kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada juga kritik yang menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan seperti itulah yang dibutuhkan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, contoh-contoh yg wajib diakui sebagai proponen kerangka berpikir New Public Management, Governance, serta New Public Service, sudah menceritakan optimisme yang beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan pada atas, tentu tidak dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan adalah bahwa jebakan politisasi praktis berdasarkan para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang dalam perangkap ketidakmampuan melakukan penemuan. Padahal pada sisi lain, penemuan merupakan kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yang mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public lantaran tidak adanya kasus ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa dalam era desentralisasi yg membawa dampak sertaan berupa tuntutan kreatifitas serta kompetisi antar wilayah pada pelayanan publik sudah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan wilayah otonom yg tidak sanggup menyelenggarakan layanan public yang baik juga memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sehingga menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca pada pendapat Carter et.al (1992), nir terdapat satu organisasi public pun yang secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tadi adalah tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yang telah barang tentu nir akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur untuk menentukan cara-cara atau pendekatan politik sebagai sumber kekuasaannya.

Inovasi merupakan tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski nir sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tadi, kemampuan politik dipakai hanya buat menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tadi dilakukan menggunakan penguatan komitmen dan dukungan politik untuk manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan inovasi membawa rentetan kinerja organisasi untuk mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yang menjamin organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk pula di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi oleh kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi primer bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan pula bahwa kepemimpinan dimaksud tidak hanya mengarah pada adanya pemimpin yang mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses inovasi yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Pendapat di atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yg dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan jua kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses inovasi itu sendiri. Artinya, kemampuan serta kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan penemuan. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas detail organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print penemuan merupakan kunci yang jauh lebih krusial ketimbang sibuk menggunakan instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang digunakan hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan dan dramaturgi politik menggunakan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan sanggup menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat mengakibatkan birokrasi profesional lantaran profesionalisme tidak hanya menjadi tuntutan bagi birokrasi tetapi juga pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diperlukan sekalipun sang pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik.