PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yang terus berubah memunculkan majemuk tantangan bagi organisasi, apapun bentuk serta wujud organisasi tersebut. Meski sebagian besar informasi bukan hal baru, konteks lingkungan yg berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori dan praktik yang berkaitan dengan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri menjadi info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yg efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi pada sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi menggunakan segala ciri dan kapasitas yang teraktualisasi nir lain merupakan produk yang bisa diidentikkan dengan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik tampaknya nir kalah menariknya (dalam beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual juga praktis kepemimpinan private sector. Jika seseorang pemimpin perusahaan secara penuh mampu mendasarkan konduite atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas dan efisiensi organisasi sebagai akibatnya hiegenis dari sebuah proses tekanan, kompromi dan konspirasi serta itu dapat menggunakan gampang ditularkan pada semua anggota organisasi yg juga berkepentingan terhadap efektivitas dan efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan pada sektor publik. Dalam perkara eksklusif, meskipun perhitungan efisiensi telah merekomendasikan tindakan nyata yang harus diambil, nir jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin juga memaksakan diri untuk mengambil tindakan yg berlawanan menggunakan pilihan yg rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seseorang pemimpin wajib bertindak serta merogoh suatu keputusan tertentu lantaran pada nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik serta sah berdasarkan suatu keputusan yang dibuat. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik seringkali tidak timbul dalam bentuk yang nyata serta terbenam di dalam sebuah konspirasi yang rapi serta kompleks. Dalam kondisi demikian pilihan rasional bisa sebagai tidak rasional buat dipilih serta kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru mampu menjadi pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yang terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai logika pembenaran yg linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi pengaruh dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara dalam tingkatan eksekutif seringkali lebih tergoda dan tertarik menggunakan instrumen politik buat merampungkan dilema warga . Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar persoalan politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, aplikasi suatu program nir dapat menemukan bentuknya sebagai instrumen yang memang sanggup bekerja serta merampungkan kasus publik. Kebijakan dan acara tak jarang hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta menciptakan status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yang berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik sang administrator negara, pada poly hal sudah memakan korban kemampuan manajerial dan teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini bisa terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yang lebih luas pertanyaan tersebut dapat diperpanjang menggunakan pertanyaan bagaimana seorang administrator negara seharusnya memimpin pada tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah dia terjebak dalam pragmatisme politik sebagai akibatnya melupakan bahwa administrasi juga memiliki sejumlah tantangan yang harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yang mengedepankan knowledge serta mempertemukan rasionalitas tindakan menggunakan real duduk perkara yang ada? Logika berpikirnya merupakan dilema administrasi nir akan selesai begitu saja hanya menggunakan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jika dirasa pendekatan politik sudah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara dalam memecahkan masalah publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri dari ”zona” politik serta harus berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif berdasarkan putusan-putusan politik yang telah dibentuk oleh forum lain yang adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang nisbi dikatakan ekstreem, akankah kita pulang pada reproduksi konsep ideal weber menggunakan mengadaptasikan konsep birokrasi ke dalam level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tadi bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara adalah suatu keniscayaan dan kewajaran lantaran top eksekutif administrasi adalah kentara adalah jabatan menggunakan proses rekuitmen politis

Kontroversi yang melibatkan interaksi pendekatan dan penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yg mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, pada dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan hubungan politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan serta memaparkan konstruksi pandangan baru kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menyelidiki balik struktur relasi politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik dan Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran serta evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan mengenai struktur serta konfigurasi rekanan politik dan administrasi menjadi tema abadi yang bahkan sampai dewasa ini belum mendapatkan konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yang berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri buat didiskusikan. Tidak hiperbola, jika perdebatan tadi lalu menjadi inspirasi-inspirasi konstruktif yg melahirkan kerangka berpikir-paradigma eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yg menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, saat Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power dari ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi serta dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Logika berpikir tersebut menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yg menjalankan keputusan-keputusan politis. Namun demikian pada prakteknya, Jackson justru berakibat wilayah eksekutif sebagai arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tersebut Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya tidak terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif serta yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tersebut, Jackson poly menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yg dipandang sanggup memperkuat kekuatan politiknya serta bisa menghadang lawan politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, juga menyoroti secara spesifik relasi politik serta administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus mendasar bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi dan menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan menggunakan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek serta tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tak ubahnya seperti menjalankan organisasi-organisasi usaha pada mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson mengatakan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson menerima dukungan luas pada masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yg mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya kitab text pertama pada ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, kembali memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tersebut secara terperinci benderang menerangkan bahwa aktivitas administrasi publik merupakan kegiatan manajemen, yakni execution, bukan kegiatan politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa untuk melakonkan kiprah tadi administrasi publik wajib berinteraksi menggunakan aktivitas berdasarkan political branch (satu hal yg pada hal tertentu jua diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, sepertinya perdebatan akademik seputar relasi politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus pulang pada kerangka berpikir ke-tiga Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung menjadi ilmu dan praktik yg bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat kemudian lebih fokus pada problem-duduk perkara organisasi. Gerakan yang relatif revolusioner dengan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an pulang melakukan somasi terhadap netralitas administrasi publik yang sepertinya nir menaruh kontribusi terhadap aneka macam perseteruan kenegaraan serta kemasyarakatan yg timbul pasca perang global. Administrasi publik kembali dipaksa masuk pada ranah politik pada mana dia wajib memiliki set of value, ethic serta kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan aktivitas politik. Semua atribut tersebut wajib teraktualisasi dalam produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan tidak saja pada policy implementation melainkan pula dalam proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental menggunakan proses dan kegiatan politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration sepertinya pula tidak sepenuhnya memuaskan poly pihak. Lambannya serta inefisiensi tindakan administrasi lantaran penguasaan kiprah serta luasnya lapangan yang wajib dicakup menjadi akibat konsep welfare state, mendorong para pakar serta praktisi mereposisi kiprah administrasi menggunakan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dekade 1980-1990an. Arus balik dan gelombang pemikiran yang menekankan dalam pendekatan-pendekatan manajerial, kembali menghinggapi administrasi publik. Gaya serta perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dicermati hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas dan efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yg sepertinya ketika ini menjadi konsensus ilmiah tentatif, jua nir mampu melepaskan diri berdasarkan perdebatan panjang pola relasi administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance menurut sisi politik menggunakan mengkaitkannya menggunakan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya dan mensyaratkan munculnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai buat mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, tetapi jua menkonstruksikan bagaimana model teknis yang sempurna buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah dari banyak sekali uraian tadi di atas memperlihatkan bahwa relasi politik dan administrasi menurut tindakan administrasi public merupakan perdebatan panjang yang bahkan selalu hadir pada kerangka berpikir administrasi yg berkembang. Pada satu sisi, timbul hasrat buat membuahkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan pada sisi yang lain menghendaki konduite politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar realitas akademik melainkan juga menjadi potret dinamis administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang ada, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik wajib dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yg wajib dipilih ? Pada nyatanya poly pandangan yg tidak secara eksplisit menunjukkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yg lain. Paparan Rosenbloom (....) jua mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yang mempunyai konsepsi dan konstruksi nilai yg berbeda, yakni politik, manajemen, dan sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang wajib dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya wajib dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tersebut, banyak pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) mengungkapkan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration dan lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah daerah politik karena eksistensi dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan dan lingkup pekerjaannya pun ditinjau merupakan political action, misalnya contohnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi dengan menggunakan berbagai asal otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi karena memang sebagian administrator level executive dibuat melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yg didudukinya secara politik, maka kentara pemimpin administrasi pula menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan menjadi proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yang tentunya nir relevan lagi buat diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan melekat pada administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik adalah collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi kasus dan konstruksi kebijakan menurut skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yg dimaksud dalam hal ini merupakan entitas grup dan kekuatan politik yg menciptakan administrasi publik yang dapat berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik adalah pemimpin atas semua aktivitas politik tadi pada pada tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana menggunakan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih mengarah pada kapasitas manajerial serta profesional, yang menyelesaikan perkara dengan knowledge tidak dengan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada merupakan dengan meletakkan konflik manajerial menjadi perseteruan yg lebih berada pada level middle administration yg kemudian secara technical dioperasionalkan sang lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), menggunakan memetakan dilema relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik serta administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dicermati selesai serta terpecahkan. Identitas kegiatan politik serta administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi ditinjau sudah terkubur pada tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yang senada jua sudah menduga final bahwa tindakan serta konduite politik dari administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak ada yg salah menggunakan tindakan serta pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yg berarti pula menghambakan diri pada politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan sebagai pilihan yg nir tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan kabar serta argumen yg menyajikan banyak sekali kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang sahih-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik pada pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun menurut administrator negara menerima pemakluman hanya karena jabatan mereka yg diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian eksklusif, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-aktivitas administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yang harus diselesaikan dengan knowledge, dengan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan serta analisis data, dengan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan laba rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan hiperbola pada pilihan pendekatan politik hanya akan menciptakan administrasi negara yg pintar bersilat pengecap, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pandai meredam amarah publik tanpa menuntaskan perkara yg sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat penting buat tidak meletakkan dilema-masalah manajerial menjadi kasus birokrasi belaka. Level eksekutif pada porsi yg nir bisa dikatakan kecil juga harus mempunyai serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dianggap hanya menjadi tanggung jawab birokrasi, sementara political frame sebagai kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yang terjadi merupakan profesionalisasi yg berlangsung dalam tubuh birokrasi dalam satu sisi nir akan banyak memberi manfaat serta pengaruh bagi perbaikan kinerja sektor publik yg kemudian memungkinkan aspek profesionalitas nir sebagai sesuatu yg dianggap krusial dan dalam sisi yg lain akan membangun ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan dan parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan salah alamat saat hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang menurut konsep idealnya mempunyai kecenderungan ilmiah lantaran memang tugas utama mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi menjadi nir profesional serta tidak netral saat kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan telah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke pokok dilema, pemerintah tidak bisa dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika mengambil sebuah tindakan hanya menggunakan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial dengan perhitungan rasional yg kentara pula harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tadi. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara dan pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, namun bukan berarti wajib menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya pula akan memberi imbas pada agama politik masyarakat. Dengan istilah lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual dan teoritik, ide serta gagasan tadi mungkin dipercaya sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik info dibagi dua politik serta administrasi yg sepertinya bagi sebagian akbar kalangan dipercaya sudah terkubur. Atau mungkin ilham tadi dicermati utopis lantaran membangkitkan balik pemikiran kaum orthodoxy yg secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dicermati ”aneh” atau bahkan nir relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara di masa mendatang justru akan poly sebagai kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab kasus-masalah mudah warga .

Konsep-konsep dan kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam istilah Islamy, ...) menampakan kecenderungan banyaknya instrumen konseptual yg bisa digunakan buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total pada proses politik. Sektor publik dimaksud nir dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yang dalam hal ini termasuk juga pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yang wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah sebagai lokus serta fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan tak jarang pemikiran tersebut mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya pada birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yang terjadi pada konteks akademik maupun praktis, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, misalnya menggunakan marak keluarnya kata-kata reformasi birokrasi, inovasi birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi tidak salah , namun jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah serta domain yg lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti berdasarkan persoalan yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, wajib rela menjadi target tembak menjadi biang kegagalan sektor publik. Padahal pada sisi lain, poly liputan membuktikan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang tidak cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yang memandang administrasi publik jua menjadi proses kegiatan politik merupakan mainstream yang tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox kurang lebih tahun 1940an ataupun sebagaimana juga kritik atas new public management. Gugatan pemikiran dalam tulisan ini jua tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Tetapi dominasi politik yang nir disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas menjadi bencana akbar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yang waktu ini tergambar jelas berdasarkan potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menerangkan betapa pemerintah (Presiden dan kabinetnya) poly menghadapi dan berusaha menuntaskan duduk perkara administrasi publik hanya dengan cara-cara politik dan diorientasikan untuk kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran program pembangunan digunakan menjadi indera kenaikan pangkat politik, bahkan sampai penanganan bala pula tidak luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang versus politik adalah gugusan panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal pada sisi lain, masalah-persoalan tadi adalah masalah yang wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yang menurut saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan sebagai obyek kompromi, negosiasi, serta ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-sahih menyelesaikannya menjadi sebuah kasus. 

Di waktu politik sendiri belum bisa mendewasakan kinerja demokrasi yg diusungnya, tampaknya administrasi wajib bersikap lain dari sekedar menjadi kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yg terpilih melalui proses politik, absolut wajib menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan seluruh kasus pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman misalnya dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu setuju tahu administrasi negara nir hanya urusan birokrasi melainkan pula yang primer merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yg lalu mendasari kuatnya pemikiran, tindakan dan praktek politik oleh administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui lantaran kiprah pentingnya tidak hanya sekedar dalam urusan hukuman kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tersebut (setelah dasa warsa 1940-1950an) bahkan ditinjau menjadi kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya menjadi robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran dalam saat itu, pendekatan manajerial hanya akan menjadikan administrator negara menjadi robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran serta keluhan lain merupakan pilihan manajerial hanya akan menjadikan administrator negara bebas nilai, sementara dalam sisi lain efektivitas serta efisiensi yg dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sesuai dengan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut relatif berlebihan apabila kemudian menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih tidak baik ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat sebagai second level and choice. Pendekatan manajerial berada pada level yg sama dan pada derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, akurat, sinkron perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas menurut bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis menggunakan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dipandang sebagai nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi dengan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah berdasarkan konsep yg diterapkan dalam sektor swasta. Secara alamiah pun, Simon (.......) telah mengatakan bahwa rasionalitas perilaku administratif manusia sudah niscaya akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tersebut merupakan keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas serta efisiensi ke pada sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dasa warsa terakhir, perkembangan administrasi negara terutama pada negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yg memperlihatkan contoh-model konseptual inovasi kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada jua kritik yg menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan misalnya itulah yang diperlukan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, model-contoh yang wajib diakui sebagai proponen paradigma New Public Management, Governance, dan New Public Service, telah menceritakan optimisme yg beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan di atas, tentu nir dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan merupakan bahwa jebakan politisasi praktis menurut para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang pada perangkap ketidakmampuan melakukan inovasi. Padahal di sisi lain, inovasi adalah kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yg mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public karena tidak adanya masalah ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa pada era desentralisasi yg membawa pengaruh sertaan berupa tuntutan kreatifitas dan kompetisi antar daerah dalam pelayanan publik telah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan daerah otonom yg nir mampu menyelenggarakan layanan public yang baik pula memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sebagai akibatnya menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca dalam pendapat Carter et.al (1992), tidak ada satu organisasi public pun yg secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tersebut merupakan tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yg sudah barang tentu tidak akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur buat memilih cara-cara atau pendekatan politik sebagai asal kekuasaannya.

Inovasi adalah tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski tidak sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tersebut, kemampuan politik digunakan hanya untuk menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tersebut dilakukan menggunakan penguatan komitmen serta dukungan politik buat manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan penemuan membawa rentetan kinerja organisasi buat mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yg mengklaim organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk juga di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi sang kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi utama bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan juga bahwa kepemimpinan dimaksud nir hanya menunjuk pada adanya pemimpin yg mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses penemuan yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi semua elemen organisasi. Pendapat pada atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan pula kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses penemuan itu sendiri. Artinya, kemampuan dan kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan inovasi. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas lebih jelasnya organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print inovasi merupakan kunci yang jauh lebih penting ketimbang sibuk memakai instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang dipakai hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan serta dramaturgi politik dengan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan bisa menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat berakibat birokrasi profesional lantaran profesionalisme nir hanya sebagai tuntutan bagi birokrasi tetapi pula pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diharapkan sekalipun oleh pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik. 

Comments