ISMEISME DALAM FILSAFAT INDONESIA

Isme-Isme Dalam Filsafat Indonesia 
Sebelum memilih isme-isme apa saja yang dapat dibentuk dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya apabila mengkaji lebih dulu mengenai bagaimana suatu isme dalam filsafat dibuat. Ada dua cara membuat kategori isme yang selama ini dipakai peneliti filsafat: (1) isme dibentuk menggunakan cara menyebut nama seorang filosof eksklusif yg darinya suatu isme bisa dibangun, misalnya Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, dan lain-lain; kemudian, (dua) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yg ditemukan berdasarkan teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat krusial tentang idea, sebagai akibatnya peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat penting itu menggunakan sebutan idealism. Begitu juga menggunakan ajaran krusial Hegel tentang Idea yg darinya asal sebutan idealism. 

Perbedaan ke 2 cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yg dibangun. Jika disebut ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika dianggap ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun dari berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya mempunyai ajaran penting mengenai idea. 

Apakah penyebutan isme-isme pada struktur Filsafat Barat bisa diterapkan pada struktur Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, apabila teks-teks Filsafat Indonesia memang menjelaskan asal-sumber filosofis menurut filosof Barat seperti Marx, Hegel, atau Plato, maka bisa saja menyebut filosof Indonesia yg menganut mereka sebagai filosof Indonesia yang ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat diklaim menjadi filosof Marxist. Kedua, jika teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting tentang idea, contohnya, maka layaklah dianggap menjadi ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah dianggap ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, lantaran ketiganya membahas menggunakan panjang-lebar pada karya-karya mereka berturut-turut mengenai sosialisme, natie, serta fasisme Jerman. Tapi, pada galibnya, filosof-filosof Indonesia memiliki doktrin-doktrin khas, yang berbeda menurut yg biasa ditemukan pada teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya sendiri, sinkron dengan tema-tema yang diangkat sang seorang filosof pada negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan dalam struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan waktu menciptakan isme-isme misalnya Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan saat membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, dan ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme pada Filsafat Indonesia. 

A. Sintesisme
Sintesisme berakar menurut istilah ‘sintesa’ (synthesis), yg berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yg tidak sama buat menciptakan satuan yang kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan menggunakan filsafat lainnya buat menciptakan struktur filsafat yg baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu antagonis sifatnya, tidak selaras isinya, paradoksal nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu pada antara filsafat-filsafat yang tidak selaras itu, akan tetapi lebih poly ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, bila dicampur-baur menggunakan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yg kompleks. Contoh sintesisme yg paling terkenal pada mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seseorang filosof yang hayati pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) menurut Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis kitab berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yg ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yg memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Cara yg sama juga ditempuh oleh Mpu Tantular, seseorang filosof yang hayati di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yang menulis buku Sutasoma, di dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yg amat berbeda itu Buddhisme justru lahir di India menjadi reaksi negatif terhadap Hinduisme sang filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yang baru, yg terkenal menjadi filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seseorang pendiri Republik kita, pula seseorang sintesist. Dia mencoba menyintesa 3 aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), serta Komunisme (NASAKOM), tapi gagal pada tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seorang filosof Islam, pula seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa 3 aliran filsafat yang tidak sama: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), serta Barat Modern (Kemodernan) dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, serta Kemodernan, buat mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda menggunakan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, lantaran amat didukung penguasa waktu itu. 

B. Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar berdasarkan kata ‘adaptasi’ (adaptation), yang berarti menyesuaikan sesuatu buat situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga sebagai sesuai dengan situasi Iindonesia dan bisa digunakan pada konteks Indonesia. Biasanya, yang diubahsuaikan dengan syarat dan situasi Indonesia merupakan filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, dan partikular; tidak terdapat filsafat yang universall secara mutlak. Karena itu jua, kebenaran filsafat tidak pernah universal-mutlak. Menurut logika mereka, contohnya, Marxisme yg lahir berdasarkan sejarah lokal Barat nir sanggup diterapkan atau dicangkok begitu saja dalam sejarah kongkrit Indonesia, lantaran kedua area itu mempunyai struktur budaya dan peradaban yg berbeda. Marxisme yg hendak dibangun akar-akarnya di Indonesia wajib diubah sedemikian rupa, sehingga sinkron dengan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, serta lain-lain adalah contoh berdasarkan filosof adaptasionist yg mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar populer menggunakan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng merupakan makanan asli tradisional yg biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Namun, apabila margarin yg asal berdasarkan Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah lezat , maka tak terdapat alasan seseorang harus menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya adalah orang Indonesia sendiri. Artinya, apabila ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan dengan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ dari Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yang dikumpulkan serta diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno mengenai Marhaen. 

Adaptasionisme jua dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, contohnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia via buku-kitab Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dari Padang Panjang, Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo serta Darsono berdasarkan Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke pada pandangan-global Al-Quran. Begitu jua menggunakan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yg mengadaptasikan Sosialisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia, sehingga membentuk karya Islam serta Sosialisme.

C. Lamaisme 
Isme ini bertolak menurut pandangan, bahwa segala tradisi lama , tradisi primordial, serta tradisi orisinil Indonesia adalah tradisi yang wajib dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal serta tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia, sangkan serta paran dari penciptaan manusia Indonesia. Dalam pandangan filosof yang menganut isme ini, tidak terdapat konsep ‘baru’; nir terdapat ‘yg baru’ yg dapat membatalkan ‘yg usang’. ‘Yang usang’ ialah ‘yg tetap’ absolut. Konsep saat serta ruang historis nir berlaku bagi isme ini, sebab ‘yg usang’ terjadi selama-lamanya, kekal, dan tidak berubah. Segala perubahan adalah pemberontakan terhadap ‘yang usang’, serta karenanya amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (misalnya M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) dapat dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka seluruh menduga bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia permanen baik, permanen relevan, permanen wajib diterapkan dalam situasi terbaru, tetap wajib diwariskan ke generasi baru menjadi ‘penjaga’ bukti diri. Lamaisme sebagai isu terkini pulang pada era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof kepercayaan , baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, serta Konfusianisme, yg menolak pembaruan (religious reforms) pada dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk pada grup lamaisme ini. 

D. Baruisme
Isme ini merupakan versus berdasarkan lamaisme. Apa yg hendak dilestarikan sang lamaisme akan diserang dan dibatalkan sang baruisme, lantaran dia bertolak pada asumsi bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yang nir membawa pada kemajuan, tradisi usang yg nir lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yg jika tetap dilestarikan akan membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik orisinil, lantaran, pada akal tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme serta sukuisme yg justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, adalah Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, serta lain-lain. 

Tan Malaka, pada bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi usang dan mengusulkan tradisi baru yg diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya menggunakan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yg populer di era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga goresan pena-tulisannya sampai dia wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi usang dan mengusulkan tradisi baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, populer menggunakan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak buat ‘…melap-lap hasil kebudayaan usang sampai berkilat dan buat dibanggakan,…’, karena, ‘Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yang lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat pada apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang dalam intinya adalah pemutusan langsung (direct shift) dan penolakan tegas buat melestarikan Masyumisme antik. Sebagai gantinya, Nurcholish membangun prinsip baru yg amat revolusioner pada era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

E. Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ sebagai sentra tentang. Terpimpinisme bertolak berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia masih membutuhkan figur seseorang pemimpin yg dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, serta memandu mereka buat menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa paternalisme menganggap krusial eksistensi seseorang ‘bapak bangsa’ (pater) yg mendidik, membina, menunjuki, memandu, serta memimpin warga menjadi ‘anak-anak mini ’ nya. 

Contoh menurut konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal pada sejarah Filsafat Indonesia adalah konsep ‘keterpimpinan’ yg dapat dijumpai pada sebagian akbar goresan pena serta praktek Soekarno, keliru seseorang pendiri RI kita, yg disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala goresan pena dan praktek Soekarno mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ serta ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ artinya sejenis praktek demokrasi yg dilakukan dengan cara dipimpin sang seseorang sesepuh kata Soekarno yang dapat membimbing, menunjuki, dan memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ artinya sejenis praktek ekonomi-politik yang dilakukan menggunakan cara dipimpin sang lagi-lagi seorang sesepuh yang bisa membimbing dan mengantarkan masyarakat Indonesia menuju keadilan sosial-hemat. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, bila dipimpin sang seseorang sesepuh luar-biasa, yang kuasa yang lahir pada abad modern, yg dipuja rakyat sebagai teladan warga . Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini mudah sekali dituduh menjadi otoritarianisme terselubung, serta itu terbukti menggunakan praktek pengangkatan Soekarno menjadi ‘presiden seumur hayati’. 

Soeharto bisa pula dimasukkan ke pada filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang dapat memandu serta mengantarkan warga pada kemajuan; bapak yg sangat melindungi rakyatnya tapi pula sangat tuli dengan bunyi rakyatnya, karena suara masyarakat hanya bunyi ‘anak kecil’ yang wajib terus dibimbing. Soeharto pun menerima julukan ‘Bapak Pembangunan’, lantaran dia memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seseorang bapak terhadap anak-anak. 

F. Pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’ disebut juga sebagai ‘Soekarnoisme’yang dipercaya gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang menggunakan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia nir lagi meneruskan paham Soekarno mengenai ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik menjadi panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’, akan tetapi menggantinya menggunakan pandangan ‘ekonomi menjadi panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘percepatan pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, serta ‘globalisasi kapital’. 

Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ sudah nir relevan lagi, karena bukan menghasilkan kemajuan akan tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Isme ini memperlihatkan ‘politik pembangunan’ menjadi solusinya, menggunakan fokus bahwa dengan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

G. Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’yang bisa dianggap pula ‘Soehartoisme’dalam membawa warga menuju kesejahteraan serta kemakmuran, sinkron dengan yg dicita-citakan UUD 1945.

Comments