PLURALISME AGAMA DALAM FILSAFAT ISLAM DAN KRISTEN

Pluralisme Agama Dalam Filsafat Islam Dan Kristen 
I. PLURALISME: SEBUAH PEMAHAMAN AWAL
Prestasi sebuah bangsa yang demokratis sangat berkaitan erat menggunakan penghargaannya atas pluralisme. Hal ini akan sebagai tolok ukur, apakah bangsa tadi berhasil menegakan nilai-nilai pluralis, seperti: toleransi, kesetaraan serta kooperasi; atau hanya sekedar jargon saja. Penegakan pluralisme adalah “rukun iman” yg nir mampu dinafikan menggunakan alasan apapun. Mengabaikan nilai tadi berarti mencederai demokrasi yang sedang kita bangun.

Namun demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima; khususnya pada negara-negara yg mempunyai taraf kolektifitas serta homogenitas yang tinggi. Nilai-nilai pluralistik bukan sesuatu yang given atau terberikan begitu saja; melainkan wajib diperjuangkan. Dengan kata lain, keterangan bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural nir serta merta menjadikan orang yang hayati didalamnya tahu dan menghargai pluralisme. Oleh karena itu, penegakan pluralisme adalah kewajiban mendasar bagi mereka yang peduli menggunakan demokrasi dan keberlangsungan hidup bangsa ini.

Pluralisme itu sendiri berarti suatu pemahaman yg mengakui adanya keragaman atau eksistensi yg berbeda-beda. Dalam bahasa Ahmad F. Fanani, Pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan insan yg tidak hanya terdiri berdasarkan satu gerombolan , suku, rona kulit, dan kepercayaan saja. Dengan demikian, pluralisme adalah ruh berdasarkan demokrasi yg mengakui adanya disparitas. Disisi lain, pluralisme juga memberikan suatu arahan mengenai bagaimana tahu suatu kebenaran mutlak yg disandingkan menggunakan realitas teologis yg beragam yg termanifestasi dalam kepercayaan -kepercayaan .

Di Indonesia, keterangan bahwa rakyat kita adalah rakyat yg plural adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, misalnya yg saya paparkan diatas, pluralitas bangsa ini nir serta merta menggiring masyarakatnya buat menghargai pluralisme. Menurut Dawam Rahardjo, hal itu disebabkan lantaran pluralitas di Indonesia tidak diimbangi dengan pemahaman mengenai pluralisme. Sehingga, tidak mengherankan jika benturan antar elemen masyarakat seringkali terjadi.

Jemaah Ahmadiyah belakangan ini adalah ciri dari kurangnya sensitivitas terhadap pluralisme itu sendiri. Lantaran, artikulasi yg benar dari pluralisme bukan hanya membiarkan yang lain, the other, buat hayati menggunakan caranya sendiri, namun jua bagaimana tahu dan menghargai keyakinan the other tersebut pada bingkai kemanusiaan. Ide pluralisme diharapkan membawa paham kesetaraan antar orang beriman kearah kerja sama diantara umat beragama (serta juga yang nir beragama) buat menanggulangi masalah-perkara humanisme misalnya kemiskinan, ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan sebagainya. Sayangnya, kurangnya pemahaman terhadap pluralisme diperparah sang orang-orang yg justru anti menggunakan pemahaman pluralisme itu sendiri, dan menuduh pluralisme sebagi bagian menurut paham impor yg harus diwaspadai.

II. SYAFII MAARIF DITENGAH PEJUANG PLURALISME
Pemahaman mengenai pluralisme sebenaranya telah relatif lama diperkenalkan pada warga Indonesia. Rintisan ini sudah dimulai sang Dr. Harun Nasution lewat bukunya ”Islam dicermati dari berbagai aspeknya”. Didalam tulisannya, Harun Nasution berpendapat bahwa kepercayaan Islam adalah suatu nilai yg terbuka. Islam adalah keberlangsungan menurut tradisi-tradisi kepercayaan sebelumnya. Dengan demikian, Islam mempunyai hubungan yg erat dengan tradisi agama-kepercayaan lain buat saling melengkapi, bukan membatalkan. Tren pemikiran ini lalu diteruskan oleh generasi ke 2 Cak Nur, Abdurahman Wahid, dan Last but not Least oleh Syafii Maarif yg merupakan perwakilan dari kelompok Reformis-Modernis (Attajdid wal hadatsah). Saya sengaja menempatkan Syafii Ma’arif dengan kedudukan yg tidak sinkron pada jajaran para pejuang pluralisme ini. Hal ini disebabkan lantaran: Pertama, beliau mewakili suatu “tenda” akbar, yaitu Muhammadiyah yang sebagai tenda bagi gerombolan pembaharu (Mujaddid). Hal ini membedakannya menurut Gus dur yg meskipun sama-sama penganut pluralisme, namun latar belakang beliau adalah tradisionalis (turatsniyyun). Sehingga, latar belakang yang tidak sama ini membawa disparitas juga terhadap perspektif keduanya didalam memahami Pluralisme. Sedangkan Caknur, meski banyak pemikirannya yg dipengaruhi sang Modernisme (terutama karena pengaruh Fazlur Rahman) merupakan seseorang akademisi. Caknur tidak seperti Gus dur atau Syafii Maarif yang pernah sama-sama jadi pemimpin Ormas. Sebagai seorang akademisi per se, Cak nur memiliki privilese (yaitu kebebasan akademis) yang nir dimiliki secara otomatis sang seorang pemimpin ormas. Sebagai pemimpin ormas ada kemungkinan impak atau pamornya jatuh hanya gara-gara pendapatnya tidak sinkron dengan ormas yang dipimpinnya. Pendapat keduanya (Syafii Maarif serta Gus dur) mengenai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan humanisme terkadang menuai kritik pedas bahkan caci maki. Resiko inilah yg kemudian wajib ditanggung sang Buya Syafii serta Gus dur. Sebagai pemimpin Ormas besar , keduanya wajib siap buat nir terkenal lantaran lebih menentukan nilai-nilai islam yang substantif dan manusiawi. Tetapi demikian, sejarah mencatat mereka sebagai para pejuang nilai-nilai kemanusiaan. 

Muhammadiyah merupakan tenda bagi kaum puritanis yg cenderung nir toleran dengan pandangan keagamaan yang tidak ortodoks. Puritanisme inilah yang menyebabkan banyak kekhawatiran bahwa ormas yg satu ini akan lebih mendukung pandangan baru negara islam ketimbang ide Nasionalis. Hal ini terbukti dengan generasi awal tokoh-tokoh menurut Ormas ini yg mendukung pemberlakuan Piagam Jakarta. Ini sangat tidak sama menggunakan Nahdhatul Ulama (NU) yg cukup progresif menggunakan menerima NKRI serta asas tunggal pada zaman rejim orba. Tetapi, sejarah ternyata membarui haluan Muhammadiyah serta perkembangan zaman telah memodifikasi genre puritanisme Muhammadiyah sebagai lebih moderat. Pada akhirnya, Muhammadiyah jua mendapat NKRI menjadi bentuk final pada kehidupan bernegara. Kewajiban primer umat islam menurut Muhammadiyah bukan menegakan Islam yg formalistik dalam bentuk negara, melainkan bagaimana menerapkan nilai-nilai islam yang substantif pada rakyat. Sehingga, tujuannya bukanlah menegakan negara Islam, melainkan Masyarakat yg Islami yg pernah digagas oleh rasulullah serta para teman. 

Namun demikian, gerakan puritanisme yg ortodok didalam Muhammadiyah tetap terdapat. Sehingga, Muhammadiyah boleh dibilang telat pada melahirkan kader-kader yang progresif serta liberal. Kalaupun ada, kelompok-gerombolan yang progresif tadi nir terlalu menonjol sebagaimana kader-kader NU. Setelah kran reformasi dibuka, poly kader-kader Muhammadiyah yang mulai muncul dengan ide-ide segar. Menurut Sukidi Mulyadi, meruyaknya kader-kader Liberal-Progresif pada tubuh Muhammadiyah tidak lepas dari peranan Syafii Maarif. Syafii Maarif pada hal ini adalah transformator yg berperan besar pada melahirkan kader-kader Liberal-Progresif. Bermunculannya kader Muhammadiyah yg Liberal serta Progresif hampir bersamaan waktu Syafii Maarif memimpin Muhammadiyah. 

III. RELATIVITAS PEMIKIRAN DAN KEMUTLAKAN PLURALISME
Ketika paper ini dibuat, aku belum sempat membaca buku ”Otobiografi Syafii Maarif” yang syahdan adalah sebuah pledoi mengenai perubahan pemikirannya selama ini. Namun, beberapa tulisannya baik yang tersebar di koran, majalah atau buku, mengindikasikan bagaimana gigihnya pembelaan dia terhadap pluralisme. Maarif sangat menganjurkan perilaku tulus dan santun dalam menghadapi kehidupan ini, dengan nir memandang disparitas latar belakang agama, etnis dan ideologi politik. Dia menduga agama yang digunakan buat membela ”rasisme”, sebagai sesuatu yg destruktif dan harus secepatnya dimasukan dalam museum sejarah. 

Pembelaan Maarif terhadap pluralisme juga terlihat menggunakan jelas pada tulisannya pada Republika mengenai Surat al Baqarah ayat 62 dan Alma’idah ayat 69 bahwa orang-orang yg beriman, orang-orang yahudi, Nasrani serta Shabiin akan sama-sama mendapat ganjaran kebaikan menurut Allah. Disana, Syafii Maarif merujuk pada tafsir Al Azhar karya Buya Hamka yang adalah gurunya. Syafii Maarif dengan kentara sudah melampaui pakem konvensional tentang kasus keselamatan. 

lebih jauh lagi, Syafii Maarif mendeklarasikan sikapnya mengenai kenisbian penafsiran yg dilakukan oleh insan; apakah ia seseorang Mufassir atau seorang Mujtahid. Didalam tulisannya ia beropini demikian: “Iman saya mengungkapkan bahwa al qur’an itu mengandung kebenaran mutlak, karena beliau berhulu dari yg absolut. Tetapi, sekali beliau memasuki otak serta hati manusia yang serba relatif, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi absolut benar, siapapun manusianya, termasuk mufassir yang dievaluasi punya otoritas tinggi, apalagi yang menafsirkannya itu insan-manusia seperti aku ”.

Dengan sangat cemerlang Syafii Maarif membedakan antara Firman Tuhan menggunakan pemahaman insan itu sendiri. Dimana yg pertama bersifat absolut dan tuhan (divine) sedangkan yang kedua bersifat nisbi dan profan. Perbedaan yang “jomplang” inilah yang jarang disadari oleh para apolog Islam. 

Didalam islam, kritikan terhadap sejumlah ulama terpandang (serta karya mereka) memang sebagai tabu tersendiri. Hal ini terlihat dari adagium mereka yang berusaha buat menjaga nama baik para ulama islam (khususnya mereka yang termasuk salafus shalih) dengan mengesampingkan kekurangan mereka lantaran ilmunya. Oleh karena itu, kritikan objektif atau ilmiah mampu dituding menjadi suatu penyimpangan. Bahkan, genre pembaharu yang menjamin Ijtihad sekalipun tidak sanggup keluar menurut “penjara” pengkultusan terhadap generasi awal Islam ini. Absolutisme tafsir inilah yg adalah pangkal segala jenis pemahaman islam yg tertentu dan anti-pluralisme.

Apa yg luput dari pemahaman para apolog islam ialah: mereka nir mempunyai keberanian buat keluar dari bayang-bayang sejarah masa lalu. Bayang-bayang tadi adalah berupa kemapanan otoritas teks serta ulama sekaligus, yang mana sinergi keduanya telah melahirkan masa keemasan peradaban Islam dimasa lampau. Maarif beropini : ”First of all, I want to propose two kinds of Islam : Qur’anic and historical. The Qur’anic islam is the one that represents a total islamic world view based on the genuine and authentic interpretation of the Qur’an. The historical Islam is the one resulted largely from its wrestling and interaction with the blood and flesh of history which is not always necessarily compatible with the prophet’s true mission as a grace towards all mankind”. 

Mereka lupa bahwa lahirnya teks-teks yg berupa penafsiran atas Al Qur’an (termasuk penafsiran atas islam) tidak lahir diruang hampa, melainkan output hubungan yang simultan antara realitas serta idealisme yg dikandung kitab kudus tadi. Dengan kata lain, penafsiran seseorang ulama tentang ayat eksklusif didalam al Qur’an boleh jadi dipengaruhi oleh syarat pada zamannya. Dia melanjutkan, ”From this perspective, what we know then as sunnism, shi’ism, and kharijism were no doubt parts of the historical islam, and every moslem has the right to question the validity and authenticity of their claims for truth when seen from the qur’anic world view”. 

Syafii Maarif beropini bahwa pluralisme adalah liputan keras sejarah. Pluralisme memberikan peluang dalam setiap orang buat tidak sama serta meyakini agamanya menjadi kebenaran absolut. Namun beliau mengingatkan bahwa hak serupa pula harus diberikan pada penganut kepercayaan atau keyakinan lain buat memegang prinsip yg sama. Disini beliau menaruh penekanan mengenai perlunya sikap toleran atau tenggang rasa menggunakan penganut kepercayaan atau agama lain. Bahkan, seorang atheis pada pandangan syafii maarif wajib tetap dihormati hak-haknya selama beliau tidak melanggar hukum positif yg berlaku. Penghakiman terhadap keyakinan seorang merupakan absolut hak prerogatif ilahi. Manusia tidak memiliki hak tadi, dan perampasan hak prerogatif itu adalah sebuah kesombongan yg nir termaafkan.

IV. SYAFII MAARIF DAN SYARIAT ISLAM
Pandangan lain yg menggambarkan Syafii Maarif sebagai tokoh yang membela pluralisme merupakan penolakannya terhadap Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yg ”berbau” Syariat. Alasan yang dikemukakan olehnya bukan karena alasan ketidak tahuan, tetapi justeru karena pemahaman yg mendalam mengenai syariat itu sendiri. Apabila benar Syafii Maarif nir tahu syariat islam, maka akan sangat gasal bila beliau sanggup tampil sebagai orang nomor satu ditubuh Muhammadiyah. 

Dalam pandangan kaum fundamentalis, syariat ditinjau menjadi sekumpulan kodifikasi hukum yg terdapat dalam al Qur’an, sunnah serta buku-kitab para ulama; yg dimulai dari bab thaharah (bersuci) sampai dengan bab daulah (Negara). Pandangan demikian sebenarnya telah mereduksi ajaran Islam sebagai ajaran legal-formal belaka. Pandangan demikian nyaris misalnya pandangan kaum yahudi terhadap agamanya yg dikecam sedemikian rupa oleh para fundamentalis itu. Hanya saja, perbedaanya Sebagai mana kita memahami, meskipun agama yahudi adalah kepercayaan yang legalistik, namun tidak terdapat pandangan keagamaan mereka yang menyangkut masalah-kasus profan seperti ekonomi, politik atau interaksi internasional (Misalnya tidak terdapat pendapat rabbi yahudi mengenai bagaimana menegakan “ekonomi ala yahudi”). 

Kaum fundamentalis juga anti dengan demokrasi, lantaran demokrasi memberi peluang dalam manusia buat hayati tenang pada iklim multikultural dan multiagama. Mereka ingin menegakan pemerintahan yang otoriter. Dengan demikian, agama ditangan mereka tidak lebih menjadi indera kekuasaan buat memonopoli kebenaran. Hal ini ditempuh dengan melakukan islamisasi (atau lebih tepatnya syariatisasi) dalam semua bidang : ekonomi islam, negara islam, sistem islam serta lain sebagainya. 

Pandangan ultra-legalistik seperti ini mengandaikan islam sama seperti ideologi sekuler. Islam dibayangkan sebagai sistem totaliter yang mengatur semua aspek kehidupan manusia; yg berupa blue print serta dapat diterapkan di setiap tempat serta keadaan. Tetapi, pandangan demikian kentara sangat berbahaya, kemungkinan akbar islam akan mengalami kegagalan serupa sebagai mana ideologi Marxisme. Yang nir disadari sang para pengagum syariat ini adalah: kehidupan manusia terus berkembang. Akan tetapi mereka membayangkan islam sebagai sebuah formula atau kapsul ajaib yang mampu menjawab setiap masalah yang dihadapi oleh manusia terkini. Apa yang terjadi pada Arab Saudi, Afghanistan dalam masa Thaliban, Sudan atau Iran adalah contoh par excellence bagaimana syariat yang ideal wajib berhadapan dengan empiris yang terkadang pahit. Alih-alih sebagai negara yg maju yg makmur, bangsa-bangsa tersebut malah terdaftar sebagai bangsa yang banyak melakukan pelanggaran HAM berat. Tentunya hal demikian menjadi sangat kontraproduktif menggunakan tujuan awal islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiin).

Salah satu aspek modernitas yg relatif menonjol adalah berkembangnya kehidupan insan yang multikultur; yg berarti multi etnik dan multi agama. Syariat yang dipahami oleh kalangan pluralis misalnya Syafii Maarif merupakan syariat yang sanggup mengayomi aspek multikultural tersebut pada bingkai kebangsaan yg adil dan manusiawi. Sungguh sangat ironis apabila syariat yg berisi pesan dewa buat kebaikan, maslahat, manusia tetapi hasilnya malah menindas kemanusian itu sendiri. 

Secara nir pribadi, Syafii Maarif menganggap terdapat link atau hubungan antara syariat menggunakan pluralisme. Penerapan perda-Peraturan Daerah syariat yang lebih poly mendiskriminasi (khususnya kaum perempuan ) serta mengakibatkan kecurigaan dan kecemburuan penganut agama lain jelas bertentangan menggunakan semangat pluralisme yg dicita-citakan islam. Syariat menggunakan demikian wajib ditafsir ulang; bukan dalam wujudnya yang harafiah dan kaku, tetapi pada bentuknya yg fleksibel dan dinamis. Boleh jadi suatu anggaran tidak membawa-bawa nama islam atau syariat islam, tetapi isi yang dikandungnya mampu menjamin maslahat bagi manusia banyak. Maka, secara otomatis anggaran tadi islami meski tidak ada label islam disana.

V. DITENGAH PUSARAN KONSERVATISME 
Bangkitnya politik kepentingan selalu disertai menggunakan bangkitnya politik bukti diri. Setiap orang selalu berusaha buat menterjemahkan kepentingan-kepentingan yang dimilikinya sinkron menggunakan afiliasi gerombolan atau golongannya. Tentu saja hal ini akan memuluskan jalan pada tujuan yg ingin dicapai. Lantaran ia tidak bekerja sendiri melainkan secara berkelompok. 

Indonesia sebagai keliru satu negara yang memiliki populasi muslim terbesar, mempunyai ciri politik bukti diri yg sangat kental. Ciri-karakteristik tadi tercermin dalam penghormatan terhadap hari-hari besar perayaan keagamaan, regulasi-regulasi pada kehidupan beragama bahkan dasar negara. Hal tadi mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yg ”agamais”. Tetapi pada kenyataannya perilaku beragama yang ada kepermukaan lebih banyak hadir pada wajah yg formalistik. Sejak bergulirnya reformasi, kemunculan arus islamisme semakin menguat. Partai-partai yg berasaskan islam tidak terhitung banyaknya. Masing-masing memiliki penafsiran tersendiri terhadap asas islam itu. Namun diluar jalur mainstream, kekuatan-kekuatan islam baru bermunculan seiring dengan bebasnya iklim politik pada Indonesia. Kekuatan-kekuatan islam yg baru tadi memiliki poly keterikatan ideologis menggunakan pemikiran keislaman di timur-tengah. 

Meski gerakan-gerakan islam ini mempunyai jumlah massa yang mini , namun mereka adalah vocal minority serta relatif agresif dalam berbagi pemahamannya. Kelompok-grup islam yang baru ini lebih berani menyuarakan islam yg politis dan ideologis. Aspirasi mereka lebih ditujukan kepada bagaimana memperjuangkan kepentingan islam (pada tafsirannya yang sempit) di ranah publik. Pada akhirnya, suara kecil yang vokal ini sedikit-sedikit mensugesti lebih banyak didominasi yang terdapat. 

Kepentingan politik minoritas yg kecil ini tercermin dalam keinginannya buat menegakan syariat pada level mikro (perda syariat), melarang aliran-genre islam yang dianggap sesat, dan pemberlakuan rancangan undang-undang pornografi serta pornoaksi (RUU APP). Secara garis besar , usaha kedua grup islam ini menyebar dalam dua jalur sekaligus: jalur parlemen serta ekstra parlemen. Yang berada pada jalur parlemen seperti PKS, giat melakukan islamisasi pada hal legislasi. Sedangkan grup yg diluar parlemen aktif berbagi ideologinya lewat kajian-kajian keislaman. Didalam jangka waktu yang tidak terlalu lama , grup-kelompok ini telah berhasil merekrut jumlah anggota yg relatif akbar.

Yang lebih mengkhawatirkan, bunyi-suara islam yg konservatif ini telah merasuki forum yg paling vital, yakni Majelis Ulama Indonesia ( MUI ). Didalam tubuh forum tersebut banyak ulama-ulama akbar yang adalah perwakilan menurut ormas-ormas besar yg terdapat di Indonesia. Belakangan, penolakan yang keras terhadap Jemaah Ahmadiyah justru didukung sang fatwa sesat MUI. Tidak sampai disitu, grup-grup konservatif ini pula berhasil membuat aliansi-aliansi baru buat menggalang kekuatan. 

Fenomena grup-grup yang dianggap sesat adalah efek menurut fatwa MUI yg konservatif itu. Yang lebih mengherankan, MUI bukan hanya mengeluarkan fatwa sesat terhadap grup atau jemaah tertentu yg dipercaya sesat; tetapi pula pada sejumlah pemikiran yg dianggap menyimpang. Didalam fatwanya, MUI mengharamkan pluralisme yg direnteng menggunakan sekulerisme serta liberalisme sebagai paham yang sesat. Dimasyarakat perkotaan yang umum aktif di pengajian ada kata yg sangat anekdotal yakni ”sepilis” yang berupa singkatan berdasarkan sekulerisme, pluralisme serta liberalisme. Pendapat mereka: jika dahulu para ulama harus berjuang melawan penyakit ”TBC” ( takhayul, bid’ah, churafat ), maka sekarang mereka wajib berjuang melawan penyakit ”Sepilis”. Ini sungguh merupakan pemahaman yg berbahaya. Pemikiran yg simplistik misalnya ini akan membawa kepada kekaburan makna berdasarkan paham itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat bukan belajar buat memahami, malah lebih bahagia buat menghakimi. Paham pluralisme bahkan sudah di artikan sebagai kepercayaan tersendiri yang memiliki tuhan serta ajaran yang spesifik. 

VI. BENTENG KECIL
Peranan Syafii Maarif sebagai bapak (sekaligus pengajar) bangsa sebagai sangat memilih. Hal ini bukan semata-mata karena ketokohannya, namun pula lantaran percik-percik pemikirannya yg berusaha buat melawan, menggunakan santun, arus konservatisme dan radikalisme yg kian menguat. Sebuah pemikiran tandingan yg ia gagas tidak dipakai buat membinasakan versus tetapi buat memberi penjelasan atau pencerahan. 

Hal yang patut buat direnungkan, bahwa perilaku serta pemikirannya yang pluralis tadi bukanlah relativisme yg a-nilai, melainkan perilaku yg berpihak pada kebenaran, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yg universal. Pluralisme-relativistik yg nir berpihak, hanya akan melahirkan nihilisme akbar yg tidak membawa perubahan apapun. Pluralisme jenis demikian adalah buah menurut era pasca-terkini yg didapat bukan dari output usaha atau perjuangan, tetapi akibat berdasarkan ketidak mampuan dalam tahu realitas. 

Syafii Maarif percaya bahwa jalan keluar terbaik buat menangkal radikalisme dan konservatisme ini merupakan menggunakan menegakan demokrasi yg sehat. Demokrasi yang bukan hanya sekedar perihal, tetapi bisa menaruh keadilan bagi warga seluas-luasnya. Maarif nir menganggap bahwa gerakan-gerakan ortodok dan radikal, yg kini meruyak, sebagai suatu jenis kejahatan yg harus dimusuhi. Dia melarang menghukum kelompok garang ini selama mereka masih taat dalam konstitusi, hukum dan etika pergaulan. 

Radikalisme dan konservatisme merupakan buah berdasarkan ketidak adilan ekonomi, sosial serta politik. Oleh karena itu, harus dicarikan solusi yang berkaitan menggunakan perkara tersebut. Kita tidak sanggup semata-mata berpandangan pluralistik sedangkan disebelah kita masih menderita kelaparan serta kemiskinan. Sebagai sebuah inspirasi, pluralisme merupakan barang glamor yg hanya mampu dinikmati oleh orang-orang terpelajar, orang-orang yang pernah bergaul dengan ”global luar” atau setidaknya orang-orang yang pernah membaca serta memahami (dari kitab -buku mahal tentunya) ”mahluk” yg bernama pluralisme.

Bagi kebanyakan warga , pandangan keagamaan yg konvensional serta hitam-putih jauh lebih memadai. Pandangan bahwa: hanya-kita-yg-sahih-serta-yang-lain-salah , jauh lebih gampang dipahami; apalagi apabila yang dianggap the other itu adalah lebih kaya, kuat serta elok . Pendeknya, segala kelemahan dan ketidak berdayaan yg menerpa umat menjadi tertanggungkan menggunakan mendapat paham yg ekslusif serta ortodok. Pluralisme, bagi masyarakat umum yg lemah, hanya dianggap akan meruntuhkan benteng ketidakberdayaan yg mereka bangun menggunakan susah payah.

Pluralisme yg ingin ditegakan hendaknya dibarengi menggunakan usaha bagaimana membentuk struktur yang berkeadilan pada warga . Masyarakat yg sibuk mengatur urusan ”aqidah” orang lain, kebanyakan, adalah warga yang secara ekonomi lemah. Mereka merasa terancam menggunakan hadirnya orang-orang luar yang tidak sinkron baik dari segi agama, ekonomi maupun tingkatan sosial.

Pengalaman bangsa-bangsa maju didalam mengembangkan pluralisme nir terlepas berdasarkan usaha mereka buat mengurangi kesenjangan dan ketidakadilan. Masyarakat pada Eropa, Amerika serta Jepang populer karena etikanya yang tinggi, penghormatan terhadap hak-hak orang lain serta keuletannya didalam bekerja. Mereka nir mempunyai saat untuk menghakimi seluruh jenis perbedaan, lantaran pribadi seseorang dievaluasi dari kontribusi dan prestasinya di masyarakat.

Disini, pendekatan nilai islam yg mendukung pluralisme wajib dikaji kembali menggunakan memakai pendekatan yang sinkron menggunakan kondisi Indonesia. Maarif dalam hal ini percaya bahwa islam mampu sebagai integrator atau pemersatu kehidupan berbangsa. Terpaan sejarah yg berkali-kali memukul bangsa Indonesia mampu ditemukan akarnya pada kelalaian fatal elite bangsa ini dalam menegakan prinsip keadilan. Padahal menurutnya, islam, apabila ditafsirkan menggunakan benar sanggup sebagai perekat yg sekaligus menguatkan pluralisme itu sendiri.

Sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan sang Syafii Maarif lewat pemikirannya ketika ini, merupakan tonggak awal dari benteng Indonesia yg sedang kita bangun. Benteng tadi merupakan tegaknya pluralisme yg menjadi ruh bagi demokrasi. Syafii Maarif dalam hal ini telah memulainya dengan menuangkan setiap gagasannya lewat tulisan. Kewajiban kita kini merupakan bagaimana mempertahankan benteng tadi supaya nir ambruk. Karena demokrasi yang kokoh harus ditopang sang pluralisme yang kokoh pula.

Comments