PENGERTIAN MULTIKULTURALISME APA ITU MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[1] Sebenarnya, terdapat 3 istilah yang kerap dipakai secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yg terdiri keberagaman tadi –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), serta multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya nir merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yg lebih dari satu’ (many); keragaman memberitahuakn bahwa keberadaan yg ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, serta bahkan tidak dapat disamakan. Dibandingkan 2 konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. 

Secara konseptual masih ada perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, serta multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Jika pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yg lebih menurut satu), multikulturalisme menaruh penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka merupakan sama di pada ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang tidak sama saja nir relatif; karena yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. 

Oleh karenanya, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap seluruh perbedaan sebagai entitas dalam warga yg wajib diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.[2] 

Sebagai sebuah gerakan, berdasarkan Bhikhu Parekh, baru lebih kurang 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali pada Kanada dan Australia, lalu di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, serta lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi 3 asumsi mendasar yg wajib diperhatikan dalam kajian mengenai multikulturalisme, yaitu: Pertama, pada dasarnya insan akan terikat dengan struktur serta sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini nir berarti bahwa insan nir sanggup bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan namun mereka dibuat oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu dari budayanya tadi. Kedua, disparitas budaya adalah representasi menurut sistem nilai dan cara pandang mengenai kebaikan yang tidak selaras jua. Oleh karenanya, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial serta memerlukan budaya lain buat memahaminya. Sehingga, nir satu budaya-pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain.[3] Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yg plural yang merefleksikan interaksi antar disparitas tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan bukti diri budaya, akan tetapi budaya dalam dasarnya merupakan sesuatu yang beragam, terus berproses serta terbuka.[4] 

1. Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hayati, multikulturalisme sebagai gagasan yang cukup kontekstual menggunakan empiris masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip fundamental tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang diperlukan manusia pada tengah himpitan budaya dunia. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme merupakan bagian integral pada pelbagai sistem budaya dalam rakyat yg keliru satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.

Pendidikan dengan wawasan mutlikultural pada rumusan James A. Bank merupakan konsep, ilham atau falsafah menjadi suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yg mengakui serta menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hayati, pengalaman sosial, identitas eksklusif, kesempatan-kesempatan pendidikan berdasarkan individu, gerombolan maupun negara.[5] Sementara dari Sonia Nieto, pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk subordinat pada sekolah, masyarakat dengan menerima dan mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, kepercayaan , ekonomi, gender serta lain sebagainya) yang terefleksikan pada antara peserta didik, komunitas mereka, dan pengajar-pengajar. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum serta strategi pengajaran, termasuk jua pada setiap hubungan yang dilakukan di antara para pengajar, siswa serta famili dan keseluruhan suasana belajar­mengajar. 

Karena jenis pendidikan ini merupakan pengajaran kritis, refleksi serta sebagai basis aksi perubahan dalam warga , pendidikan multikultural membuatkan prisip-prinsip demokrasi pada berkeadilan sosial.[6] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur menjadi “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7] 

Dari beberapa dua definisi pada atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme pada pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya serta transformasi sosial. Identitas menjadi galat satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru adalah satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur eksklusif pada masyarakat. Identitas dalam dasarnya inheren dengan sikap langsung ataupun gerombolan rakyat, lantaran menggunakan bukti diri tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula pada hubungan antar budaya yg tidak sama.

Dengan demikian pada pendidikan multikultur, bukti diri-bukti diri tadi diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) juga eksternal budaya. Oleh karena itu, bukti diri lokal atau budaya lokal merupakan muatan yg sine qua non pada pendidikan multikultur.

Dalam rakyat ditemukan berbagai individu atau grup yang asal menurut budaya tidak sama, demikian jua dalam pendidikan, diversitas tadi tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan pada kalangan peserta didik maupun para pengajar yang terlibat -secara pribadi atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu jua bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada serta berkembang pada konstelasi budaya, lokal, nasional serta global. Oleh karenanya, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi contoh pendidikan yg berjalan pada atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan apabila pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yg terdapat, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yg terdapat buat terlibat pada satu proses pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan 5 dimensi yang harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan pada kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman pada satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus berpretensi. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yg diwujudkan menggunakan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yg ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir menurut interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yg memberi ruang serta kesempatan yg sama pada setiap elemen yg beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan berdasarkan pendidikan multikultur yaitu supaya sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) menurut struktur rakyat yg tak seimbang kepada struktur yg berkeadilan.[8]

Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa contoh pendidikan yang diharapkan pada Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan bukti diri lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, ialah kebudayaan Indonesia adalah Weltanshauung yg terus berproses dan merupakan bagian integral berdasarkan proses kebudayaan mikro. Oleh karenanya, perlu sekali buat mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan menggunakan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yg memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yg terdapat. Keempat, pendidikan multikultural adalah suatu rekonstruksi sosial, merupakan pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) serta pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang majemuk (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya dipakai buat berbagi budaya Indonesia pada dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tadi diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama serta majemuk disparitas yang terdapat. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan dan etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan buat mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yg majemuk. [9]

Pendidikan Multikultur pada Pesantren
1. Terminologi serta Histori Pesantren
Kata “pesantren” asal dari “pe-santri-an”. Awalan “pe” dan akhiran “an” yang dilekatkan dalam kata “santri” ini mampu menyiratkan 2 arti. Pertama, pesantren bisa bermakna “tempat santri”, sama misalnya pemukiman (loka bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (tempat beristirahat), pemondokan (tempat mondok) dan lain-lain. Kedua, pesantren jua bisa bermakna “proses mengakibatkan santri”, sama seperti istilah pencalonan (proses membuahkan calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) dan lain-lain. Jelasnya, “santri” di sini mampu sebagai objek berdasarkan bisnis-bisnis yg dilakukan pada suatu tempat, namun pula sanggup menjadi sosok personifikasi dari sasaran/tujuan yang akan dicapai lewat usaha-bisnis tersebut.[10] 

Pada kenyataannya, pesantren adalah forum pendidikan Islam menggunakan ciri khas Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya tidak terdapat forum pendidikan yg mempunyai ciri dan tradisi persis misalnya pesantren, walau mungkin terdapat lembaga pendidikan eksklusif di beberapa negara lain yg dipercaya memiliki kemiripan dengan pesantren, seperti ribâth, sakan dâkhilî, atau jam’iyyah. Namun ciri pesantren yg terdapat di Indonesia kentara khas keindonesiaannya karena berafiliasi erat menggunakan sejarah serta proses penyebaran Islam di Indonesia.[11] 

Sejak termin-termin awal pengembangan Islam pada Nusantara, para ulama pelaksana misi dakwah Islam (du’ât ilallâh), termasuk Wali Songo, telah melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, serta lain sebagainya. Pelaksanaan dakwah ini, pada mulanya mereka lakukan menggunakan cara berpindah-pindah menurut satu tempat ke loka yang lain (as-safar wat-tajwwul). Dengan cara ini, mereka bisa menangani langsung dilema umat secara kondisional serta regional, sehingga Islam kemudian dikenal serta dipeluk sang berbagai lapisan warga serta suku pada Nusantara. 

Tetapi cara ini nir mampu terus mereka lakukan. Seiring menggunakan usia yg semakin menua, para du’ât itu pun mulai menetap pada suatu loka guna melakukan training umat serta kaderisasi calon-calon du’ât di loka mereka masing-masing. Mereka berdomisili, melaksanakan dakwah serta pendidikan. Para du’ât yg menentukan jalur pendidikan ini kemudian melahirkan poly lembaga yg bernama “pesantren”, dan mereka pun mulai diklaim ”Kiai”.[12] 

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Selain sebagai lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama menjadi forum pendidikan. Fungsi ini mempunyai 2 misi: Pertama, pendidikan umat secara umum buat mendidik dan menyiapkan pemuda-pemudi Islam sebagai umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, menjadi lembaga pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, serta pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kepercayaan . Dalam hal ini, tugas pesantren merupakan mendidik serta menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang sanggup mewarisi sifat serta kepribadian para Nabi, dan siap melaksanakan tugas indzârul qawm.

Selain itu, pesantren jua dituntut buat berusaha mengembalikan gambaran serta fungsi forum-lembaga pendidikan Islam menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan kepercayaan , menjadi realisasi berdasarkan wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip asa supaya pesantren sebagai loka acum rakyat dalam menjawab permasalahan-konflik keseharian mereka menurut perspektif serta pandangan kepercayaan . 

Sejarah mencatat, pondok pesantren yg sudah berdiri sezaman menggunakan masuknya Islam ke Indonesia, serta adalah output berdasarkan proses akulturasi damai antara ajaran Islam yg dibawa para wali serta pedagang yang biasanya bernuansa mistis, menggunakan budaya orisinil (indigenous culture) bangsa Indonesia yang bersumber menurut kepercayaan Hindu serta Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yang berdiri di pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan adalah satu-satunya sistem pendidikan yg befungsi menjadi lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh masyarakat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah bisa menerapkan sistem pendidikan berjenjang, menurut pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak ada peraturan harus belajar, pada budaya Indonesia masa kemudian, anak yg berusia tujuh tahun ke atas, baik laki-laki juga wanita, wajib dipesantrenkan di desanya.

Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara konstan serta sistematis, yg dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi spesifik kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka jua mengemban misi misionari, yang dimotori sang gerombolan Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit putih (penjajah) lawan pribumi, priyayi versus masyarakat biasa, Kristen versus Islam, serta tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren untuk pindah dari kota ke desa hingga imbas psikologis yg negatif pun tidak terhindarkan. Seperti munculnya kesamaan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik dan lain sebagainya. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif serta kezhaliman ini, pesantren terus bertahan serta melawan pada bentuk perilaku non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat di sini menjadi contoh perjuangan Pangeran Diponegoro pada Jawa, pemberontakan umat Islam pada Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat serta Aceh. Lantaran peran inilah, maka konon menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan agar pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.

Sebagai dampak dari efek psikologis yang muncul menurut hasil propaganda kolonial pada atas, maka dalam era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yg sungguh ironis dan amat merugikan hubungan serasi masyarakat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri serta abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, hingga tercuatlah upaya sistematis yg bertujuan melakukan balik stigmatisasi Pesantren.

Dari output evaluasi nir adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai berdasarkan UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, sampai UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya nir mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional, serta menafikan jasa berabad-abad pesantren pada pembentukan sistem pendidikan nasional.[13] 

Namun, fenomena faktual saat ini justru tengah memperlihatkan kian bertenaga, akbar dan pentingnya kiprah Pesantren. Terbukti menggunakan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren dengan banyak sekali corak, nama, sistem dan strata pendidikan, bukan hanya pada pedesaan namun pula di perkotaan. Minat para orang tua buat mengirimkan putra-putrinya ke pesantren jua kian meningkat, termasuk pada kalangan elit masyarakat.

Dari hasil pengamatan serta kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini sudah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini sudah banyak bermunculan menjadi tokoh krusial dalam banyak sekali sektor pembangunan, serta terbukti sanggup memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi menggunakan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, serta jalinan kerjasama antara pondok pesantren menggunakan global internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tidak ayal apabila banyak tokoh-tokoh internasional berminat membuahkan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara buat belajar di pesantren.

3. Pendidikan Multikuturalisme pada Pondok Modern
Hingga sekarang, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yg secara garis besar dapat diklasifikasi pada dua sistem primer: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren terbaru. Ciri dari pesantren tradisinal adalah konsistensinya pada melaksanakan sistem pendidikan murni serta tidak terikat formalitas pengajaran (kelas) maupun tingkatan pendidikan serta ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri pada pengkajian ilmu-ilmu kepercayaan . Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di pada kelas) serta kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian eksklusif. Dikotomi ilmu agama dan umum juga dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, namun dengan proporsi pendidikan kepercayaan lebih mendominasi. Sistem pendidikan yg digunakan di pondok terbaru dinamakan sistem Mu’allimin. 

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang nir hanya diajarkan dalam guru formal di kelas saja. Tapi pula dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan pada bentuk pedagogi materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pedagogi di pondok terbaru yang didominasi bahasa asing (Arab serta Inggris) menjadi pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme siswa (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan wajib diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.

Dalam bidang non formal, pesantren menggunakan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki poly saat buat menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola generik yang nyaris diberlakukan di banyak sekali pondok terbaru merupakan sistem pendidikan multikultur yg menyatu dalam anggaran dan disiplin pondok. Salah satunya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok terkini, tidak diberlakukan penempatan tetap santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.

Seperti halnya pada Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor juga tetapkan regulasi supaya setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka jua akan mengalami perpindahan antarkamar dalam asrama yg mereka huni. Hal ini ditujukan buat memberi variasi kehidupan bagi para santri, jua menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi serta budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri nir berdasarkan pada wilayah asal atau suku. Bahkan, penempatan sudah diatur sedemikian rupa sang pengasuh pondok, dan secara aporisma diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri menurut wilayah tertentu menempati sebuah kamar yg sama. 

Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar aporisma tidak boleh dihuni sang tiga orang lebih santri asal satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini buat melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam semangat yang lebih universal. Di samping itu, supaya santri jua dapat belajar kehidupan bermasyarakat yg lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional beserta para santri mancanegara.[14] Namun, penerapan pola pendidikan ini, dari Syukri Zarkasyi, nir berarti menafikan unsur wilayah. Karena unsur kedaerahan sudah diakomodir pada kegiatan daerah yg disebut “konsulat”, yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya buat diarahkan menolaknya sebagai asal fanatisme kedaerahan.

Pendidikan multikulturalisme lainnya pada intensitas pendidikan pondok modern merupakan diberlakukannya anggaran mengikat yg melarang santri berbicara menggunakan bahasa daerah. Selain bahasa primer Arab dan Inggris, saat masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia pada beberapa kesempatan serta kepentingan. Pendisiplinan santri pada pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yg melanggarnya akan diberi hukuman bervariasi yg edukatif.

Pendidikan toleransi atas disparitas pula kental diajarkan pada sistem pendidikan pondok terbaru. Keberagaman pemikiran serta ijtihad diajarkan pada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka buat memaksakan pandangan baru. Sikap toleransi terhadap disparitas pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok modern.

Dengan sistem Mu’allimin yang didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan dalam pendidikan formal, bisa dilewati pondok terbaru. Pada KBK, kendala utamanya adalah keterbatasan ketika ajar buat memberi pemahaman penuh sebuah materi kepada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding saat formal pembelajaran di pada kelas. Keterbatasan masa pengajaran pada kelas ini pun bisa tertanggulangi pondok pesantren dengan adanya poly saat luang yg dapat dimanfaatkan para pengajar untuk melengkapi pengajaran kepada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan ketika dan membuat pengajaran sebagai efektif. Ditambah lagi menggunakan arus primer sistem pendidikan di pondok terkini yang nir mengenal dikotomi pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler.[15] 

Keutamaan pendidikan multikulturalisme pada pondok terbaru pula tercermin dari muatan/isi kurikulum yg jelas mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam grup bidang studi Dirasah Islamiyah, menjadi model, diajarkan materi spesifik Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, kenyataan dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat substansial dalam pendidikan multikulturalisme, lantaran santri diwawaskan banyak sekali disparitas fundamental keyakinan agama mereka (Islam) dengan kepercayaan -agama lain pada dunia. Materi ini sangat potensial menciptakan kesadaran toleransi keragaman keyakinan yg akan para santri temui saat hayati bermasyarakat kelak.

Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni akbar Khutbatul ‘Arsy dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya seluruh elemen santri, dari kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah serta budaya tempat domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat pada aktivitas ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan buat menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya pada lingkungan yg akan mereka huni.

Keadaan Pendidikan Islam di Indonesia
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, serta pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam dalam umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan pada upaya menyahuti kehendak umat Islam pada masa itu dan dalam masa yg akan datang yg dipercaya sebagai kebutuhan hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, bila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, adalah upaya buat melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yang tertuang pada surat Al-Alaq: 1-lima. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan keliru satu model menurut opersionalisasi penyampaian menurut pendidikan tadi.

Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis akbar membagi sejarah Islam ke pada 3 periode, yaitu perode klasik, pertengahan, serta terkini.

Selanjutnya, pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan menjadi berikut:
  1. Periode pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama lebih kurang menurut 23 tahun, yaitu semenjak beliau mendapat wahyu pertama sebagai pertanda kerasulannya sampai wafat.
  2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yg diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa di luar bangsa Arab serta perkembangannya ilmu-ilmu naqli
  3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung semenjak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai menggunakan jatuhnya kota Bagdad yg diwarnai oleh perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai zenit kejayaannya.
  4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung semenjak jatuhnya kota Bagdad hingga menggunakan jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. Yang ditandai sang lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya sentra-sentra pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke global Barat.
  5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya semenjak pendudukan Mesir Oleh Napoleon dalam akhir abad ke-18 M. Sampai kini , yg di tandai sang masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan terkini berdasarkan global Barat ke global Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam pada Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan menggunakan masuk serta berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang krusial bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas juga kualitas.

Pendidikan Islam itu bahkan sebagai tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya pada berbagai aspek sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, buat melacak sejarah pendidikan Islam pada Indonesia menggunakan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi serta kelembagaannya nir mungkin dilepaskan dari fase-fase yg dilaluinya.

Fase-fase tadi secara periodisasi bisa dibagi menjadi;
  1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
  2. Periode pengembangan menggunakan melalui proses adaptasi
  3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
  4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
  5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
  6. Periode kemerdekaan I Orde lama (1945 – 1965)
  7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Scott Lash serta Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), h. Dua-6.
[2] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 pada depan kuliah terbuka pada Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang lalu berkembang di kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya serta lainnya. Gagasanya ditentukan sang padangan Jean-Jacques Rousseau pada Discourse Inequality dan kecenderungan martabat (equal dignity of human rights) yg dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber dalam pertama, bahwa sesungguhnya harkat serta martabat insan merupakan sama. Kedua, dalam dasarnya budaya dalam warga adalah berbeda-beda, sang karenanya membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk pula negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), h. 18.
[3] Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 375.
[4] Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” pada Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), h. 177.
[5] James A.bank serta Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), h. 28.
[6] Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
[7] Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
[8] James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” pada James A. Banks dan Cherry A. McGee, op. Cit., h. Tiga-24.
[9] H.A.R. Tilaar, op. Cit., h. 185-190.
[10] KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, Masa Depan Pendidikan Pesantren Agenda yg Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] KH Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, Jakarta: Taj Publishing, 2008.
[14] KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005. H. 125
[15] Ibid. H. 155. Didukung sang hasil wawancara menggunakan KH Nurhadi Ihsan MA, Direktur KMI Pondok Modern Gontor, Penanggungjawab bidang kurikulum Pondok Modern Gontor, tanggal 18 Oktober 2008.

Comments