PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengertian Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi membuatkan serta membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta sebagai rakyat negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal tiga UU Sisdiknas). Sedangkan budaya merupakan nilai, moral, kebiasaan serta keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa dan mendasari konduite seseorang sebagai dirinya, anggota rakyat, dan warganegara. Budaya mengatur perilaku seorang tentang sesuatu yang dipercaya benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter merupakan tabiat yang terbentuk menurut nilai, moral, serta norma yg mendasari cara pandang, berfikir, sikap, serta cara bertindak seorang serta yg membedakan dirinya menurut orang lainnya. Karakter bangsa terwujud berdasarkan karakter seorang yg menjadi anggota rakyat bangsa tersebut. 

Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan pendidikan yang menyebarkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri siswa sebagai akibatnya menjadi dasar bagi mereka pada berpikir, bersikap, bertindak pada menyebarkan dirinya menjadi individu, anggota rakyat, serta warganegara. Nilai-nilai budaya serta karakter bangsa yg dimiliki siswa tersebut menjadikan mereka menjadi warganegara Indonesia yang mempunyai kekhasan dibandingkan menggunakan bangsa-bangsa lain.

A. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar buat mengembangkan potensi siswa secara optimal. Usaha sadar tersebut nir boleh dilepaskan menurut lingkungan peserta didik berada terutama dari lingkungan budayanya (Ki Hajar Dewantara; Pring; Oliva). Pendidikan yg nir dilandasi oleh prinsip tadi akan mengakibatkan mereka tercerabut berdasarkan akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak akan mengenal budayanya menggunakan baik sehingga beliau sebagai orang “asing” pada lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yg lebih mengkhawatirkan adalah beliau sebagai orang yg nir menyukainya budayanya.

Budaya yang mengakibatkan siswa tumbuh serta berkembang merupakan budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsanya serta budaya universal yang dianut sang ummat manusia. Jika siswa sebagai asing terhadap bulat-lingkaran budaya tadi pada gilirannya maka beliau tidak mengenal dengan baik budaya bangsanya dan dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat rentan terhadap dampak budaya luar serta bahkan cenderung buat menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki kebiasaan dan nilai budaya nasional nya yg dapat digunakan menjadi dasar buat melakukan pertimbangan (valueing) tersebut. 

Semakin bertenaga dasar pertimbangan yang dimilikinya semakin bertenaga juga kecenderungannya untuk sebagai warganegara yg baik. Pada titik kulminasinya, kebiasaan serta nilai budaya tersebut akan sebagai norma dan nilai budaya bangsanya. Dengan demikian maka warganegara Indonesia akan mempunyai wawasan, cara berpikir, cara bertindak dan menuntaskan kasus yg sesuai dengan kebiasaan dan nilai karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal ini sinkron dengan fungsi primer pendidikan yang diamanatkan pada UU Sisdiknas yaitu “menyebarkan kemampuan dan menciptakan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” . Oleh karena itu aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (Undang-Undang Dasar 1945 serta UU Sisdiknas) telah memberikan landasan yang kokoh buat membuatkan holistik potensi diri seseorang menjadi anggota rakyat serta bangsa. 

Proses pengembangan nilai-nilai yang sebagai landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yg berkelanjutan (never ending process), dilakukan melalui banyak sekali mata pelajaran yang ada pada kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, kepercayaan , pendidikan jasmani serta olahraga, seni serta ketrampilan). Dalam membuatkan pendidikan karakter bangsa kesadaran akan siapa dirinya serta bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Prof Dr Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tersebut hanya bisa terbangun menggunakan baik melalui pendidikan sejarah lantaran sejarah bisa menaruh kesadaran dan penerangan mengenai siapa dirinya serta bangsanya di masa lalu yang membuat dirinya serta bangsanya di masa kini . Selain itu pada pendidikan karakter bangsa harus terbangun jua kesadaran, pengetahuan, wawasan, serta nilai berkenaan dengan lingkungan pada mana dirinya serta bangsanya hayati (geografi), nilai yang hayati pada masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/ politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang sebagai dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yg demikian maka nilai dan karakter yang dikembangkan dalam diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki efek nyata pada kehidupan dirinya, rakyat, bangsa serta bahkan ummat manusia. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan (virtue) yang sebagai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter dalam dasarnya adalah nilai. Oleh karenanya pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yg dari menurut pandangan hidup/ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan pada tujuan pendidikan nasional. 

B. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan budaya serta karakter bangsa berfungsi menjadi:
  1. Perluasan pengembangan potensi peserta didik supaya mereka mempunyai kepeduliaan terhadap nilai-nilai yg mendasari kehidupan budaya serta karakter bangsa
  2. Memperkuat peran pendidikan nasional buat bertanggungjawab dalam pengembangan ranah yg lebih luas berdasarkan ranah kognitif.
  3. Wahana pada membuatkan potensi humanisme siswa sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara 
Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa 
Tujuan pendidikan budaya serta karakter bangsa merupakan:
  1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik menjadi insan dan warganegara yg memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa 
  2. Mengembangkan kemampuan peserta didik sebagai insan yg mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
  3. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah menjadi lingkungan belajar yg aman, jujur, penuh kreativitas serta persahabatan, dan menggunakan rasa kebangsaan yg tinggi serta penuh dignity.
C. Nilai-nilai Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan pada pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari:
  • Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu kehidupan individu, warga , serta bangsa selalu didasari pada ajaran kepercayaan . Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari dalam nilai-nilai yg dari dari agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya serta karakter bangsa wajib berdasarkan pada nilai-nilai serta kaedah yang asal menurut kepercayaan .
  • Pancasila: negara Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan serta kenegaraan yang dianggap Pancasila. Pancasila masih ada pada Pembukaan UUD 1945 serta dijabarkan lebih lanjut pada pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut. Artinya, nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya serta karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa sebagai warganegara yg lebih baik dan warganegara yang lebih baik adalah warganegara yg menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warganegara.
  • Budaya adalah suatu kebenaran bahwa nir terdapat manusia yang hidup bermasyarakat yg nir didasari oleh nilai-nilai budaya yg diakui warga tersebut. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar pada memberi makna terhadap suatu konsep dan arti pada komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian krusial dalam kehidupan rakyat mengharuskan budaya sebagai asal nilai-nilai dari pendidikan budaya dan karakter bangsa.
  • Tujuan Pendidikan Nasional merupakan kualitas insan Indonesia yg wajib dikembangkan sang aneka macam satuan pendidikan di banyak sekali jenjang dan jalur. Di dalam tujuan pendidikan nasional masih ada banyak sekali nilai kemanusiaan yang wajib dimiliki seseorang warganegara. Oleh karenanya, tujuan pendidikan nasional merupakan asal yang paling operasional pada pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut maka didapatkan sejumlah nilai buat pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu:
  • Religius : suatu perilaku serta konduite yang patuh dalam melaksanakan ajaran kepercayaan yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah kepercayaan lain, serta hidup rukun menggunakan pemeluk kepercayaan lain.
  • Jujur: konduite yang didasarkan pada kebenaran, menghindari konduite yang salah , dan mengakibatkan dirinya menjadi orang yang selalu bonafide dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 
  • Toleransi: suatu tindakan dan sikap yg menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari pendapat, sikap, serta tindakan dirinya.
  • Disiplin: suatu tindakan tertib serta aptuh pada banyak sekali ketentuan serta peraturan yg wajib dilaksanakannya.
  • Kerja keras: suatu upaya yang diperlihatkan buat selalu menggunakan saat yang tersedia buat suatu pekerjaan menggunakan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yg dilakukan terselesaikan dalam waktunya
  • Kreatif: berpikir buat membentuk suatu cara atau produk baru berdasarkan apa yang telah dimiliki
  • Mandiri: kemampuan melakukan pekerjaan sendiri menggunakan kemampuan yang telah dimilikinya
  • Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak serta kewajiban dirinya dan orang lain pada kedudukan yang sama
  • Rasa ingin tahu: suatu sikap serta tindakan yang selalu berupaya buat mengetahui apa yg dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas pada berbagai aspek terkait. 
  • Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, serta wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  • · Cinta tanah air: suatu perilaku yg menampakan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, serta politik bangsanya.
  • · Menghargai prestasi: suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yg bermanfaat bagi warga , dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
  • Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yg menerangkan rasa senang berbicara, bergaul, dan berafiliasi menggunakan orang lain.
  • Cinta damai: suatu sikap serta tindakan yg selalu mengakibatkan orang lain senang dan dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, rakyat serta bangsa
  • Senang membaca: suatu norma yg selalu menyediakan waktu buat membaca bahan bacaan yg memberikan kebajikan bagi dirinya.
  • Peduli sosial: suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan donasi untuk membantu orang lain serta rakyat dalam meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
  • Peduli lingkungan: suatu sikap serta tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan dalam lingkungan alam di sekitarnya, serta menyebarkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yg sudah terjadi.

PENGERTIAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengertian Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi berbagi dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa supaya sebagai insan yg beriman dan bertakwa pada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Pasal tiga UU Sisdiknas). Sedangkan budaya adalah nilai, moral, kebiasaan serta keyakinan (belief), fikiran yang dianut sang suatu masyarakat/bangsa dan mendasari perilaku seorang sebagai dirinya, anggota warga , serta warganegara. Budaya mengatur perilaku seorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, serta indah. Selanjutnya, karakter merupakan tabiat yang terbentuk dari nilai, moral, serta kebiasaan yang mendasari cara pandang, berfikir, perilaku, dan cara bertindak seseorang serta yg membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud berdasarkan karakter seseorang yg menjadi anggota masyarakat bangsa tadi. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa adalah pendidikan yang membuatkan nilai-nilai budaya dan karakter dalam diri peserta didik sehingga sebagai dasar bagi mereka pada berpikir, bersikap, bertindak dalam berbagi dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki siswa tadi mengakibatkan mereka sebagai warganegara Indonesia yang mempunyai kekhasan dibandingkan menggunakan bangsa-bangsa lain.

A. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar buat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar tersebut tidak boleh dilepaskan dari lingkungan siswa berada terutama menurut lingkungan budayanya (Ki Hajar Dewantara; Pring; Oliva). Pendidikan yg tidak dilandasi sang prinsip tersebut akan mengakibatkan mereka tercerabut berdasarkan akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka nir akan mengenal budayanya menggunakan baik sebagai akibatnya beliau sebagai orang “asing” pada lingkungan budayanya. Selain sebagai orang asing, yg lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang nir menyukainya budayanya.

Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh serta berkembang merupakan budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yg lebih luas yaitu budaya nasional bangsanya serta budaya universal yang dianut oleh ummat insan. Jika peserta didik sebagai asing terhadap bulat-lingkaran budaya tersebut pada gilirannya maka dia tidak mengenal menggunakan baik budaya bangsanya serta dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat rentan terhadap dampak budaya luar dan bahkan cenderung buat menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi lantaran beliau nir mempunyai kebiasaan serta nilai budaya nasional nya yang bisa dipakai menjadi dasar buat melakukan pertimbangan (valueing) tadi. 

Semakin kuat dasar pertimbangan yg dimilikinya semakin bertenaga juga kecenderungannya buat menjadi warganegara yg baik. Pada titik kulminasinya, norma serta nilai budaya tersebut akan menjadi kebiasaan dan nilai budaya bangsanya. Dengan demikian maka warganegara Indonesia akan mempunyai wawasan, cara berpikir, cara bertindak dan menuntaskan masalah yang sinkron menggunakan norma serta nilai karakteristik ke-Indonesia-annya. Hal ini sinkron dengan fungsi primer pendidikan yg diamanatkan dalam UU Sisdiknas yaitu “berbagi kemampuan dan menciptakan tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” . Oleh karenanya anggaran dasar yang mengatur pendidikan nasional (Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yg kokoh buat menyebarkan holistik potensi diri seseorang menjadi anggota warga dan bangsa. 

Proses pengembangan nilai-nilai yg sebagai landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan (never ending process), dilakukan melalui aneka macam mata pelajaran yg ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni dan ketrampilan). Dalam membuatkan pendidikan karakter bangsa pencerahan akan siapa dirinya serta bangsanya merupakan bagian yang teramat krusial. Prof Dr Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tadi hanya bisa terbangun menggunakan baik melalui pendidikan sejarah lantaran sejarah bisa memberikan pencerahan serta penjelasan tentang siapa dirinya serta bangsanya di masa lalu yg membuat dirinya serta bangsanya pada masa sekarang. Selain itu pada pendidikan karakter bangsa wajib terbangun juga kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan di mana dirinya dan bangsanya hidup (geografi), nilai yg hayati pada masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/ politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, serta seni. Artinya, perlu terdapat upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yg sebagai dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian maka nilai dan karakter yg dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh serta mempunyai dampak nyata pada kehidupan dirinya, rakyat, bangsa dan bahkan ummat insan. 

Pendidikan budaya serta karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan (virtue) yg menjadi dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang sebagai atribut suatu karakter dalam dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yg dari berdasarkan pandangan hidup/ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, serta nilai-nilai yg terumuskan pada tujuan pendidikan nasional. 

B. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan budaya dan karakter bangsa berfungsi sebagai:
  1. Perluasan pengembangan potensi siswa supaya mereka memiliki kepeduliaan terhadap nilai-nilai yang mendasari kehidupan budaya dan karakter bangsa
  2. Memperkuat peran pendidikan nasional buat bertanggungjawab pada pengembangan ranah yang lebih luas menurut ranah kognitif.
  3. Wahana pada mengembangkan potensi humanisme peserta didik menjadi individu, anggota warga , serta warganegara 
Tujuan Pendidikan Budaya serta Karakter Bangsa 
Tujuan pendidikan budaya serta karakter bangsa merupakan:
  1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik menjadi insan serta warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa 
  2. Mengembangkan kemampuan peserta didik sebagai manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
  3. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah menjadi lingkungan belajar yang aman, amanah, penuh kreativitas serta persahabatan, serta menggunakan rasa kebangsaan yg tinggi serta penuh dignity.
C. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yg dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari:
  • Agama: rakyat Indonesia adalah warga beragama. Oleh karenanya kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran kepercayaan . Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari dalam nilai-nilai yg dari menurut agama. Atas dasar pertimbangan itu maka nilai-nilai pendidikan budaya serta karakter bangsa wajib berdasarkan dalam nilai-nilai dan kaedah yang berasal menurut agama.
  • Pancasila: negara Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yg dianggap Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 serta dijabarkan lebih lanjut pada pasal-pasal yang masih ada pada Undang-Undang Dasar 1945 tadi. Artinya, nilai-nilai yg terdapat pada Pancasila sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, serta seni. Pendidikan budaya serta karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warganegara yg lebih baik dan warganegara yang lebih baik merupakan warganegara yang menerapkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupannya menjadi warganegara.
  • Budaya merupakan suatu kebenaran bahwa nir terdapat insan yg hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui warga tadi. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti pada komunikasi antar anggota rakyat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan rakyat mengharuskan budaya sebagai asal nilai-nilai dari pendidikan budaya serta karakter bangsa.
  • Tujuan Pendidikan Nasional merupakan kualitas manusia Indonesia yang wajib dikembangkan sang banyak sekali satuan pendidikan pada berbagai jenjang dan jalur. Di pada tujuan pendidikan nasional masih ada berbagai nilai kemanusiaan yg wajib dimiliki seseorang warganegara. Oleh karenanya, tujuan pendidikan nasional merupakan sumber yg paling operasional pada pengembangan pendidikan budaya serta karakter bangsa. 
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut maka dihasilkan sejumlah nilai untuk pendidikan budaya serta karakter bangsa, yaitu:
  • Religius : suatu sikap serta konduite yang patuh pada melaksanakan ajaran agama yg dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah kepercayaan lain, serta hidup rukun menggunakan pemeluk agama lain.
  • Jujur: perilaku yg didasarkan dalam kebenaran, menghindari konduite yg keliru, dan berakibat dirinya sebagai orang yg selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, serta pekerjaan. 
  • Toleransi: suatu tindakan serta perilaku yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain yg tidak selaras dari pendapat, perilaku, serta tindakan dirinya.
  • Disiplin: suatu tindakan tertib serta aptuh pada banyak sekali ketentuan serta peraturan yang wajib dilaksanakannya.
  • Kerja keras: suatu upaya yang diperlihatkan buat selalu memakai saat yg tersedia buat suatu pekerjaan menggunakan sebaik-baiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan terselesaikan pada waktunya
  • Kreatif: berpikir buat membuat suatu cara atau produk baru menurut apa yang sudah dimiliki
  • Mandiri: kemampuan melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya
  • Demokratis: sikap serta tindakan yang menilai tinggi hak serta kewajiban dirinya dan orang lain pada kedudukan yg sama
  • Rasa ingin tahu: suatu perilaku dan tindakan yg selalu berupaya buat mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih mendalam serta meluas dalam berbagai aspek terkait. 
  • Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, dan wawasan yg menempatkan kepentingan bangsa dan negara pada atas kepentingan diri serta kelompoknya.
  • · Cinta tanah air: suatu sikap yg memperlihatkan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yg tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  • · Menghargai prestasi: suatu sikap serta tindakan yang mendorong dirinya buat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat, serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
  • Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yang memperlihatkan rasa bahagia berbicara, berteman, serta bekerjasama dengan orang lain.
  • Cinta tenang: suatu perilaku serta tindakan yang selalu mengakibatkan orang lain bahagia dan dirinya diterima menggunakan baik sang orang lain, rakyat serta bangsa
  • Senang membaca: suatu norma yang selalu menyediakan waktu buat membaca bahan bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
  • Peduli sosial: suatu sikap serta tindakan yg selalu ingin menaruh donasi untuk membantu orang lain serta warga pada meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
  • Peduli lingkungan: suatu sikap serta tindakan yg selalu berupaya mencegah kerusakan dalam lingkungan alam pada sekitarnya, serta mengembangkan upaya-upaya buat memperbaiki kerusakan alam yg telah terjadi.

GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis besar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yg bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta dari keturunan kepada elit terkini yg berorientasi pada negara kemakmuran, menurut pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, tetapi dalam akhirnya perbedaan primer yang bisa dibuat merupakan antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta warga yang terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yg terlibat pada aktivitas politik untuk aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke 2 lebih mempunyai arti simbolis daripada mudah. 

Elit politik yg dimaksud adalah individu atau gerombolan elit yg mempunyai efek pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, pakar yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yg biasa diklaim elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca serta Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yg berkoeksistensi, membuatkan kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, serta Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yg memikul seluruh atau hampir seluruh tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan sang Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa pada setiap masyarakat, suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok mini orang yg memiliki kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial serta politik. Kelompok kessil itu diklaim dengan elit, yang mampu menjangkau sentra kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan warga . Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit dari dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pintar yg memiliki kelebihan pada matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi warga dalam 2 kelas, yaitu pertama elit yg memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yg paling ulet menyebarkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yang memerintah serta kelas yg diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yang didapatnya menurut kekuasaan. Kelas yg diperintah jumlahnya lebih besar , diatur dan dikontrol oleh kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada rakyat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yg berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu terdapat kelompok mini yang bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional pada proses pembuatan keputusan, serta perannya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yg lebih krusial, dalam situasi kiprah elit tidak terlalu menonjol dan status elit sanggup inheren pada siapa saja yang kebetuan punya peran penting. 

Pandangan yg lebih luwes dikemukakan sang Dwaine Marvick. Menurutnya ada 2 tradisi akademik tentang elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan talenta-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang menjadi kelompok pencipta tatanan yg lalu dianut oleh seluruh pihak. Ke 2, pada tradisi yang lebih baru, elit ditinjau menjadi grup, baik kelompok yang menghimpun yg menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada banyak sekali sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, produsen keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu sebagai figur sentral. 

Lipset serta Solari memberitahuakn bahwa elit merupakan mereka yg menempati posisi pada pada masyarakat di zenit struktur-struktur sosial yg terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pedagogi dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran primer yang fungsional serta terstruktur pada berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field serta Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit merupakan orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yg menciptakan kebijakan umum, yg satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yg terpadu, tetapi sesungguhnya pada antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yg lain sering bersaing dan tidak sinkron kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan aneka macam pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi pada 3 sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan krusial dalam kegiatan warga . Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yg inheren, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan primer dalam warga yg didasarkan pada posisi mereka yg tinggi pada struktur warga . Posisi yang tinggi tadi masih ada dalam zenit struktur warga , yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran serta pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan dalam suatu forum yang dapat sebagai pendukung bagi elit terhadap peranannya pada masyarakat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat sanggup memiliki kemasyhuran, kekayaan, serta kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Jika kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas aktivitas pemerintah, sanggup diketahui elit mana yang mempunyai kekuasaan dengan memeriksa proses pembuatan keputusan eksklusif, terutama menggunakan memperhatikan siapa yg berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial di atas menampakan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber berdasarkan penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai asal kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , relasi, kemampuan berpikir serta keterampilan. Pendapat senda pula diungkapkan oleh Charles F. Andrain yang meneybutnya menjadi asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal bisa ditinjau dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional, ketiga, elit dari kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja dan kerabat raja yang dikenal dengan gerombolan bangsawan atau aristokrat. Ke 2 kelompok insan merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -kelompok teori di atas terdapat kecocokan, tetapi yag terjadi dalam politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi pengakderan partai politik akan namun juga tidak menerangkan perilaku elit yang loyal serta ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi tak jarang menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam warga Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg bertenaga, dimana sirkulasi elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan buat terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam kenyataan keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yang menyulitkan buat memutuskan satu bingkai paradigmatik dan teoritik sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, perkiraan teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, kapital, ranah serta praktek mungkin relevan menjadi indera analisis primer disamping kekuatan teoritik berdasarkan menurut teori elit di atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik serta Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan dengan cara di mana para pemain mencoba menguasai dan mengubah kondisi tadi dengan mencoba mempekerjakan serta membentuk atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi dalam ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan hubungan kekuasaan diambil dari karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan ekuilibrium struktural antara kekuasaan serta praktek para pemain. Ada 3 konsep yang dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya mengenai ’modal’ serta yg ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu adalah habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas tentang kapital ke pada beberapa kategori, seperti kapital sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak di ruang sosial (social space) yg tidak didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah modal menggunakan aneka macam jenisnya serta oleh jumlah nisbi modal sosial, ekonomi, serta budaya yang dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan dan pendidikan. Konsep tersebut digunakan dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu beropini bahwa usaha demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental menurut semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial dan terjalin menggunakan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan dalam pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yg terrstruktur dan terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah sang Bourdieu diartikan sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan kesadaran dan kehendak individual

Dengan kata lain, habitus merupakan struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu memakai habitus pada berurusan menggunakan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada pada ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konspetual dari benda-benda pada empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup pada habitus misalnya konsep ruang, saat, baik-tidak baik, sakit-sehat, laba -rugi, bermanfaat-nir berguna, benar-salah , atas-bawah, depan-belakang, indah-tidak baik, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yg adalah arena bagi usaha sumber daya. Individu, isntitusi, dan agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yg lain dan mendapatkan modal yg berguna atau berharga dia arena tersebut. Dalam rakyat terkini, terdapat dua sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi serta harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang ditentukan oleh seberapa poly ’modal simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya jua adalah sumber dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yg merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan gerombolan dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini menganlogikan empiris sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri menurut beragam ranah yg emiliki sejumlah interaksi terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah loka orang-orang berebut banyak sekali kapital. Dalam ruang sosial ini, individu menggunakan habitusnya berhubungan dengan individu lain serta aneka macam realitas sosial yg menhasilkan tindakan-tindakan sesuai menggunakan ranah dan kapital yang dimilikinya. 

Praktik adalah suatu produk berdasarkan relasi antara habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yg jua merupakan produk sejarah. Pada waktu bersamaan, habitus dan ranah jua merupakan produk berdasarkan medan daya – daya yg terdapat di warga . Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang mempunyai poly modal. Modal adalah sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi di pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat mempunyai kapital – kapital spesifik supaya bisa hayati secara baik serta bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menampakan praktik sosial tersebut menggunakan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu mengenai Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yang lebih dikenal mengenai ’institusi’ dan ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, misalnya yg telah kami jelaskan, beliau mengacu dalam pola kelakuan yg terstruktur serta kebiasaan-noram serta pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal dan informal yg menghambat serta memfasilitasi tindakan manusia dan interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yang menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang eksklusif. Dengan cara ini ke dua istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, dan kontrak selalu perlu ditanamkan dalam tingkatan sosial yang dalam dan informal, acapkali melibatkan faktor-faktor seperti agama, tugas serta kewajiban (sehingga) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik berdasarkan kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal dalam Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik di Indonesia yang secara legalitas aturan tertuang dalam ketetapan MPR RI No.xi/MPR/ 1998 tentang Pemilihan Umum, yg didalamnya terkandung dua aspek mendasar terhadap perubahan tatanan politik pada Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai sehabis dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan dua putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/MPR serta pemilu kedua menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, serta Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif dipilih secara terpisah oleh masyarakat. Perubahan aturan ketatanegaraan lewat reformasi serta amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, dan pemilu presiden serta wakil presiden di atur dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan pada Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan rakyat menggunakan memberi peluang kepada masyarakat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menentukan presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut menghipnotis sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui prosedur pemilihan sang MPR yg nir jarang melalui lobi politik yang memenangkan kontenstan yg tidak sesuai harapan warga .

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik serta reformasi hukum ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yg terdiri berdasarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), serta pemilihan pribadi presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan pemilihan umum yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan generik presiden serta wakil presiden yg diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 telah membuka ruang kontestasi pada memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah 3 kali terjadi pergantian presiden sebagai bagian berdasarkan proses demokrasi pada tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke dua kalinya bagi Bangsa Indonesia, sebagai keliru satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat wilayah, pada beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke 2 dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias pertarungan dalam Pilkada, mengakibatkan ihwal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan dalam system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jarak antara pemilu dengan sirkulasi elit di masa orde baru disebabkan ketertutupan politik menggunakan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg sehabis reformasi terjadi sirkulasi elit yg terbuka dan kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yang disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta Wakil Presiden Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan dan penentuan pejabat ketua daerah yg wajib memperoleh persetujuan presiden. Namun sejak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan berbagai daerah supaya mereka dapat memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Sehingga ada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membentuk pemberdayaan politik rakyat lokal yang dalam pelaksanaannya masih terbatas pada legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai dalam masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat serta wilayah dengan tidak memberi kesempatan masyarakat menentukan secara eksklusif ketua wilayah dan wakil kepala wilayahnya. Adanya perbedaan tata cara dan prosedur pemilihan yang selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden serta wakil presiden yang melibatkan partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya. Namun kebalikannya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk sang pejabat pusat. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya serta keliru satu produk era reformasi merupakan UU No.22 tahun 1999 tentang desentralisasi, yg pada praktik pilkada mengakibatkan keprihatinan dan kekecewaan dengan keluarnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik pada taraf lokal maupun sentra. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi wilayah menggunakan memiliki pemimpin lokal yg dipilih sang rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah.

Alasan mengapa wajib diselenggarakan pilkada langsung lantaran: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yang dapat menaruh efek legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan wilayah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yg merupakan dilema fundamental dalam memillih seorang pemimpin. Dalam artian pilkada pribadi wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang bertenaga. Selain itu, aplikasi pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada pribadi pula wajib membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yang adil antara para calon yg bersaing dengan melibatkan partisipasi rakyat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yang berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel pada warga dan bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi pada masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) serta potensi korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) bisa berkurang dalam golongan eksklusif. Perubahan politik nasional dengan mengadakan pemilihan langsung terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan wapres diikuti menggunakan pemilihan langsung gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah adalah mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yang demokratis di Indonesia. Dalam suatu rakyat demokratis, rakyat berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Tetapi terdapat pemilihan umum yg berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yg pada gilirannya membentuk suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang manunggal dengan kekerabatan yang nyata atau dirasakan dan keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen bisa anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yg pada memutuskan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling mudah di gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga berasal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia serta Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu di bawa ke Inggris sebagai nama untuk sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia serta Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota mampu mengidentifikasi dengan lambang buat pertanda bahwa mereka adalah kaum independen.

Dalam budaya yg tidak sama dan situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga merupakan bagian kecil berdasarkan suatu rakyat yang lebih besar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang serta klan klan Rajput di India serta Pakistan, yg terdapat sebagai grup kerabat pada negara masing-masing. Namun, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band pula bisa komponen masyarakat yang lebih besar . Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab adalah kelompok mini dalam masyarakat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil menurut suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa masalah diakui beberapa suku marga-marga yang sama, misalnya beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yang berbeda menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut timbul berdasarkan penggunaan sehari-hari istilah tadi. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan pada surat keterangan ke jaringan informal dalam bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain dalam sangat dekat serta saling mendukung dengan cara yg sekitar sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yang ätter, tidak dapat diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka seringkali diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, dan memiliki simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas menurut adanya jaringan atau klan yang terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok korelasi yang akbar, grup relasi yang menurut asas unilinear. Klan gerombolan korelasi yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yang di perhitungkan berdasarkan garis keturunan pria atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas dari siapa patron awal yang membentuk pondasi yg kuat yg membawanya sehingga klan tersebut atau jaringan bisa berada dalam level kekuatan kekuatan yg bertenaga untuk lalu dikonsolidasikan dalam tataran elit yg kemudian menjadi kekuatan yang kuat ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membentuk klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya bisa menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta dampak sosial politik menurut opini politik klan yang dibangun. 

Pola komunkasi yang kuat yang dibangun sebuah kelompok hubungan jaringan keluaraga atau adalah salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan keluarga pada strata elit poltik lokal yang memungkinkan terjadinya dominasi kekuasaan pada arah proses kebijakan nantinya, semua itu nir terlepas menurut bisnis yang dibangun patron awal sebagai akibatnya klan atau jaringan keluaraga tadi menjadi suatu kesatuan yg kuat pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru berdasarkan klan yg sama, yang kuat, dan yang nantinya akan meneruskan proses politik yg sedang berlangsung.

Klan pada politik ada pada satu famili dimana mereka pada hal ini keluarga bisa menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan dan ada yang menyebut gejala ini sebagai kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau famili politik, fanatisme pada keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti interaksi darah (famili) lebih bertenaga dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep efek impak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yang diberikan kepada pengaurh eksperimental dan pengaruh lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah untuk beranggapan bahwa impak tersebut akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan utama berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yang lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat hubungan diantara pengenalan politik dini menggunakan dampak - imbas eksperimental dan lingkungan dari masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan pengenalan orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera sesudah pemilihan mereka: dan bahwa tingkah aku legislatif berikutnya sebagian dipengaruhi sang pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yg terdapat terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi oleh pengalaman pengalaman mereka semasa sebagai anggota badan legislatif, ditambah lagi menggunakan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu strata sosialisasi nir bisa dihindarkan berdasarkan pengalaman sehari hari laki-laki serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum banyak diteliti orang, sekalipun terdapat beberapa verifikasi yg ada berdasarkan studi studi tentang tingkah laris pemilihan/elektoral, pencerahan kelas, pengaruh dari situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang tentang sosialisasi orang dewasa itu adalah penting. Justru seperti halnya anak yg diantarkan secara bertahap pada kontak menggunakan dunia disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja serta perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, menerangkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa kontak yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja ada yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak seperti melalui persahabatan dan ta’aruf: sedang yang lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya misalnya pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya serta pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh sosialisasi sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan menyebabkan kemunculan banyak sekali tingkatan permasalahan yang mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan berdasarkan wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan dari organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti agama, penerapan berita serta opini melalui media massa seluruh ini menyebabkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan pakar teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yang mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan bersama. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang harus memusatkan perhatian pada pola ikatan objektif yang menghubungkan anggota rakyat. William membicarakan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin mengusut keteraturan individu serta kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif serta perilaku sosial. Mereka menolak setiap penerangan nonstruktural yg memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri langsung aktor individual serta kebiasaan yg tertanam. 

Setelah menjelaskan apa yang sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan lalu mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota masyarakat (individual serta kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian utama teori jaringan menjadi brikut:

Analisis jaringan memulai menggunakan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog merupakan mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial adalah menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yang berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali ada kepermukaan sebagai system social yang kompleks…Aktor dan perilakunya dicermati menjadi dipaksa oleh struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan pada aktor sukarela, tetapi pada paksaan structural.

Satu ciri spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula kelompok, perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi dan Koening, 1986) dan rakyat. Hubungan dapat terjadi ditingkat struktur social skala luas juga ditingkat yg lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi langsung nyata dan pada strktur(jaringan) interaksi itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) mempunyai akses tidak sama terhadap asal daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung dalam komponen yang lain.

Satu aspek penting analisis jaringan adalah bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog dari studi mengenai gerombolan dan kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan dan antar aktor yang “tidak terikat secara kuat serta tak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yg baik menurut ikatan misalnya ini adalah diungkap pada karya Granoveter(1973:1983) tentang “ikatan yg kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yg bertenaga, misalnya interaksi antara seseorang dan sahabat karibnya, dan ikatan yg lemah, contohnya interaksi antara seorang serta kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yang memiliki ikatan yang bertenaga atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yang kuat itu penting, sedangkan ikatan yg lemah dianggap tak penting buat dijadikan sasaran studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa menjadi sangat penting. Contoh, ikatan lemah antara 2 aktor bisa membantu sebagai jembatan antara da gerombolan yg bertenaga ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yg lemah misalnya itu, ke 2 grup mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya dapat menyebabkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah grup yang ikatannya sangat kuat serta akan kekurangan berita mengenai apa yang terjadi di gerombolan lain juga dalam rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yang lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke dalam warga lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yg kuat pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yg memiliki ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu serta lebih cepat buat saling menaruh bantuan.

GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis akbar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta menurut keturunan pada elit terbaru yg berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural terdapat disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, namun dalam akhirnya disparitas primer yg dapat dibentuk adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta masyarakat yg terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam kegiatan politik buat aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yg lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. 

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau grup elit yg memiliki imbas pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan pakar yg mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, serta hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yang memikul seluruh atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yg dikemukakan sang Aristoteles adalah penegasan lebih lanjut berdasarkan pernyataan Plato mengenai dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap warga , suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto serta Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap rakyat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang bisa menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yg sanggup menduduki jabatan tinggi dalam lapisan rakyat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya serta pintar yg mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi rakyat pada 2 kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian mengenai elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yg berbagi teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yang paling ulet membuatkan diri serta mencapai fajar peradaban, sampai dalam masyarakt yg paling maju serta bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yg memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yg didapatnya berdasarkan kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih akbar, diatur dan dikontrol sang kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada masyarakat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”aturan besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada gerombolan mini yg bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell beropini bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (nir berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, serta kiprahnya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih krusial, pada situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit mampu inheren pada siapa saja yg kebetuan punya kiprah penting. 

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik mengenai elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diharapkan menjadi sosok khusus yg menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-talenta unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dilihat menjadi gerombolan pencipta tatanan yg kemudian dianut sang seluruh pihak. Ke 2, dalam tradisi yang lebih baru, elit dicermati sebagai gerombolan , baik kelompok yg menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada berbagai sektor serta tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral. 

Lipset dan Solari memberitahuakn bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di pada warga pada puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pengajaran serta pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan sang Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yg memainkan peran utama yang fungsional serta terstruktur dalam banyak sekali lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field dan Higley menyederhanakan menggunakan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang mempunyai posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi menggunakan elit yg lain acapkali bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan serta perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi pada kudeta atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan banyak sekali pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara generik ilmuwan sosial membagi pada tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yg berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang mengakibatkan mereka akan memegang peranan krusial pada aktivitas rakyat. Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan utama pada masyarakat yang berdasarkan dalam posisi mereka yang tinggi pada struktur masyarakat. Posisi yg tinggi tadi terdapat dalam zenit struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi pada bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan pada suatu forum yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya pada rakyat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat mampu mempunyai kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam forum-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya memilih sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki serta menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial pada atas memperlihatkan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yg memiliki/bersumber dari penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , korelasi, kepandaian serta keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan sang Charles F. Andrain yg meneybutnya sebagai asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dipandang dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit menurut kegiatan fungsional, ketiga, elit menurut kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja serta kerabat raja yg dikenal menggunakan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua kelompok manusia merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yg penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -gerombolan teori di atas masih ada kecocokan, namun yag terjadi pada politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan pada atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh menurut kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi pula tidak menunjukkan perilaku elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali sebagai faktor yg diasumsikan menjadi asal kekuasaan, dalam rakyat Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg kuat, dimana peredaran elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar merupakan berdagang. Tetapi kondisi ini saling bertumpang tindih menggunakan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam fenomena famili Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yg menyulitkan buat menetapkan satu bingkai paradigmatik serta teoritik sebagaimana dijelaskan pada atas. Karenanya, asumsi teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, modal, ranah serta praktek mungkin relevan sebagai alat analisis utama disamping kekuatan teoritik berdasarkan berdasarkan teori elit pada atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik dan Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan menggunakan cara di mana para pemain mencoba menguasai serta membarui kondisi tersebut menggunakan mencoba mempekerjakan dan membangun atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi pada ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan interaksi kekuasaan diambil berdasarkan karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan dan praktek para pemain. Ada tiga konsep yg dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya tentang ’modal’ serta yang ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu merupakan habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas mengenai kapital ke pada beberapa kategori, seperti modal sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak pada ruang sosial (social space) yg nir didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah kapital menggunakan berbagai jenisnya dan sang jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yg dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan serta pendidikan. Konsep tadi dipakai dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu berpendapat bahwa perjuangan demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental berdasarkan semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial serta terjalin dengan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan pada pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung usang dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terrstruktur serta terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah oleh Bourdieu diartikan menjadi jaringan rekanan antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yg hadir terpisah dari kesadaran serta kehendak individual

Dengan kata lain, habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan empiris sosial. Individu memakai habitus dalam berurusan dengan empiris sosial. Habitus adalah struktur subjektif yg terbentuk menurut pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yg ada dalam ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang adalah perwakilan konspetual dari benda-benda dalam empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus seperti konsep ruang, ketika, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-nir bermanfaat, sahih-galat, atas-bawah, depan-belakang, indah-jelek, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan insan terjadi pada ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan asal daya. Individu, isntitusi, serta agen lainnya mencoba buat membedakan dirinya dari yg lain serta menerima kapital yg bermanfaat atau berharga dia arena tersebut. Dalam masyarakat terbaru, masih ada 2 sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi dan harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang dipengaruhi oleh seberapa poly ’kapital simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya pula adalah asal dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yg hadir terpisah menurut pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, tetapi semacam interaksi yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan grup pada tatanan warga yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi mengenai global sosial. Konsep ini menganlogikan realitas sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial bisa dikonsepsi menjadi terdiri berdasarkan beragam ranah yg emiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya herbi individu lain serta aneka macam empiris sosial yang menhasilkan tindakan-tindakan sinkron dengan ranah serta modal yang dimilikinya. 

Praktik merupakan suatu produk berdasarkan relasi antara habitus menjadi produk sejarah, dan ranah yang juga adalah produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus serta ranah pula merupakan produk dari medan daya – daya yang terdapat pada masyarakat. Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan dan orang yang memiliki poly kapital. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi pada pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat memiliki kapital – kapital khusus agar bisa hayati secara baik dan bertahan pada dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang memperlihatkan praktik sosial tadi dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu tentang Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yg lebih dikenal tentang ’institusi’ serta ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, seperti yg sudah kami jelaskan, dia mengacu dalam pola kelakuan yang terstruktur serta kebiasaan-noram dan pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal serta informal yg merusak serta memfasilitasi tindakan insan serta interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yg menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang tertentu. Dengan cara ini ke 2 istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, serta kontrak selalu perlu ditanamkan pada strata sosial yg dalam serta informal, acapkali melibatkan faktor-faktor misalnya kepercayaan , tugas serta kewajiban (sebagai akibatnya) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik menurut kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal pada Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik pada Indonesia yg secara legalitas aturan tertuang pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.xi/Majelis Permusyawaratan Rakyat/ 1998 mengenai Pemilihan Umum, yang didalamnya terkandung dua aspek fundamental terhadap perubahan tatanan politik di Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai selesainya dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan 2 putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pemilu ke 2 menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi legislatif dipilih secara terpisah sang masyarakat. Perubahan hukum ketatanegaraan lewat reformasi dan amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, serta pemilu presiden dan wakil presiden pada atur dalam pasal 6A yg selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan masyarakat menggunakan memberi peluang pada rakyat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden serta wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut mensugesti sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui mekanisme pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yg nir jarang melalui lobi politik yg memenangkan kontenstan yang tidak sinkron harapan rakyat.

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik dan reformasi aturan ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yg terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, serta DPRD), dan pemilihan langsung presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia telah 3 kali melaksanakan pemilihan generik yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan umum presiden serta wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 sudah membuka ruang kontestasi dalam memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah tiga kali terjadi pergantian presiden menjadi bagian berdasarkan proses demokrasi di tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke 2 kalinya bagi Bangsa Indonesia, menjadi salah satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat daerah, di beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke dua dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias permasalahan dalam Pilkada, menyebabkan perihal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan pada system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jeda antara pemilu menggunakan aliran elit di masa orde baru ditimbulkan ketertutupan politik dengan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg setelah reformasi terjadi peredaran elit yg terbuka serta kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yg disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta wapres Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan serta penentuan pejabat kepala daerah yg harus memperoleh persetujuan presiden. Tetapi semenjak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan aneka macam daerah supaya mereka bisa memilih sendiri kepala wilayah masing-masing. Sehingga muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menjadi output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membangun pemberdayaan politik masyarakat lokal yang pada pelaksanaannya masih terbatas dalam legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai pada masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat dan wilayah menggunakan tidak memberi kesempatan rakyat menentukan secara eksklusif ketua daerah serta wakil ketua wilayahnya. Adanya disparitas rapikan cara dan mekanisme pemilihan yg selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden dan wakil presiden yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tetapi sebaliknya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk oleh pejabat sentra. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya dan galat satu produk era reformasi adalah UU No.22 tahun 1999 mengenai desentralisasi, yg dalam praktik pilkada menimbulkan keprihatinan serta kekecewaan dengan munculnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik di tingkat lokal maupun pusat. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah, yg membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yg dipilih oleh rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di wilayah.

Alasan mengapa harus diselenggarakan pilkada pribadi karena: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yg bisa memberikan dampak legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan daerah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yang adalah duduk perkara mendasar pada memillih seseorang pemimpin. Dalam artian pilkada eksklusif wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang kuat. Selain itu, pelaksanaan pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada langsung jua harus membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yg adil antara para calon yg bersaing menggunakan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yg berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel dalam rakyat serta bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi dalam masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) dan potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) sanggup berkurang pada golongan tertentu. Perubahan politik nasional menggunakan mengadakan pemilihan pribadi terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden diikuti menggunakan pemilihan eksklusif gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah merupakan mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yg demokratis di Indonesia. Dalam suatu masyarakat demokratis, warga berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Namun terdapat pemilihan generik yang berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang bersatu dengan korelasi yang konkret atau dirasakan serta keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen dapat anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yang pada menetapkan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling gampang pada gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga asal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu pada bawa ke Inggris sebagai nama buat sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia dan Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota bisa mengidentifikasi menggunakan lambang buat menerangkan bahwa mereka merupakan kaum independen.

Dalam budaya yang tidak sama serta situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga adalah bagian mini menurut suatu masyarakat yang lebih akbar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang dan klan klan Rajput di India serta Pakistan, yang terdapat menjadi kelompok kerabat di negara masing-masing. Tetapi, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band jua dapat komponen rakyat yang lebih akbar. Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab merupakan kelompok mini pada rakyat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil berdasarkan suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa kasus diakui beberapa suku marga-marga yg sama, seperti beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yg tidak selaras menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut muncul menurut penggunaan sehari-hari kata tersebut. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan di surat keterangan ke jaringan informal pada bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain pada sangat dekat dan saling mendukung menggunakan cara yg lebih kurang sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yg ätter, tidak bisa diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka sering diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi dari tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, serta mempunyai simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas dari adanya jaringan atau klan yg terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok kekerabatan yang besar , gerombolan relasi yg dari asas unilinear. Klan gerombolan hubungan yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yg pada perhitungkan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas berdasarkan siapa patron awal yg menciptakan pondasi yang kuat yg membawanya sebagai akibatnya klan tersebut atau jaringan mampu berada dalam level kekuatan kekuatan yang kuat untuk lalu dikonsolidasikan pada tataran elit yang kemudian sebagai kekuatan yang bertenaga ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membangun klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya dapat menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta impak sosial politik berdasarkan opini politik klan yg dibangun. 

Pola komunkasi yg kuat yg dibangun sebuah gerombolan relasi jaringan keluaraga atau merupakan salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan famili di strata elit poltik lokal yg memungkinkan terjadinya penguasaan kekuasaan dalam arah proses kebijakan nantinya, semua itu tidak terlepas menurut usaha yang dibangun patron awal sehingga klan atau jaringan keluaraga tersebut sebagai suatu kesatuan yg bertenaga pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru dari klan yang sama, yg bertenaga, dan yg nantinya akan meneruskan proses politik yang sedang berlangsung.

Klan dalam politik terdapat dalam satu famili dimana mereka dalam hal ini famili sanggup menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan serta ada yg menyebut gejala ini menjadi kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau keluarga politik, fanatisme dalam keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti hubungan darah (famili) lebih kuat dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep impak dampak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yg diberikan kepada pengaurh eksperimental serta impak lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah buat beranggapan bahwa efek tadi akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan pokok berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yg lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat interaksi diantara pengenalan politik dini menggunakan imbas - imbas eksperimental serta lingkungan berdasarkan masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan sosialisasi orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera selesainya pemilihan mereka: serta bahwa tingkah saya legislatif berikutnya sebagian ditentukan oleh pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yang ada terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi sang pengalaman pengalaman mereka semasa menjadi anggota badan legislatif, ditambah lagi dengan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu tingkatan sosialisasi nir bisa dihindarkan dari pengalaman sehari hari pria serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum poly diteliti orang, sekalipun masih ada beberapa verifikasi yg muncul menurut studi studi tentang tingkah laku pemilihan/elektoral, kesadaran kelas, dampak berdasarkan situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang mengenai pengenalan orang dewasa itu adalah penting. Justru misalnya halnya anak yg diantarkan secara sedikit demi sedikit kepada kontak menggunakan global disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja dan perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, mengambarkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa hubungan yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja terdapat yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak mirip melalui persahabatan dan perkenalan: sedang yg lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya seperti pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya dan pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh pengenalan sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan mengakibatkan kemunculan aneka macam strata permasalahan yg mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan dari wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan berdasarkan organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti kepercayaan , penerapan keterangan dan opini melalui media massa seluruh ini mengakibatkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan ahli teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yg mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan beserta. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang wajib memusatkan perhatian dalam pola ikatan objektif yg menghubungkan anggota masyarakat. William mengungkapkan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin menyelidiki keteraturan individu dan kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu ahli analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif dan perilaku sosial. Mereka menolak setiap penjelasan nonstruktural yang memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri eksklusif aktor individual dan kebiasaan yang tertanam. 

Setelah mengungkapkan apa yg sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan kemudian mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota rakyat (individual dan kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian primer teori jaringan sebagai brikut:

Analisis jaringan memulai dengan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog adalah mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial merupakan menganalisis pola ikatan yg menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yg berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali timbul kepermukaan menjadi system social yang kompleks…Aktor serta perilakunya dipandang sebagai dipaksa sang struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan dalam aktor sukarela, tetapi dalam paksaan structural.

Satu karakteristik spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya dalam struktur mikro sampai makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula gerombolan , perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi serta Koening, 1986) serta masyarakat. Hubungan bisa terjadi ditingkat struktur social skala luas maupun ditingkat yang lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi pribadi konkret serta dalam strktur(jaringan) hubungan itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) memiliki akses tidak sama terhadap sumber daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, warta). Akibatnya merupakan bahwa sistem yg terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung pada komponen yg lain.

Satu aspek penting analisis jaringan merupakan bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog menurut studi mengenai kelompok serta kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan serta antar aktor yg “tidak terikat secara kuat serta tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yang baik menurut ikatan seperti ini merupakan diungkap dalam karya Granoveter(1973:1983) mengenai “ikatan yang kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yang kuat, misalnya hubungan antara seorang dan sahabat karibnya, serta ikatan yg lemah, misalnya hubungan antara seorang dan kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yg memiliki ikatan yg kuat atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yg kuat itu penting, sedangkan ikatan yang lemah dianggap tak krusial buat dijadikan target studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa sebagai sangat krusial. Contoh, ikatan lemah antara dua aktor bisa membantu menjadi jembatan antara da grup yg kuat ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yang lemah misalnya itu, ke 2 kelompok mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya bisa mengakibatkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yg ikatannya sangat bertenaga dan akan kekurangan kabar mengenai apa yg terjadi di kelompok lain juga pada rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yg lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke pada rakyat lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yang bertenaga pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yang mempunyai ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu dan lebih cepat buat saling menaruh bantuan.