GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis akbar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta menurut keturunan pada elit terbaru yg berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural terdapat disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, namun dalam akhirnya disparitas primer yg dapat dibentuk adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta masyarakat yg terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam kegiatan politik buat aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yg lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. 

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau grup elit yg memiliki imbas pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan pakar yg mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, serta hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yang memikul seluruh atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yg dikemukakan sang Aristoteles adalah penegasan lebih lanjut berdasarkan pernyataan Plato mengenai dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap warga , suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto serta Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap rakyat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang bisa menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yg sanggup menduduki jabatan tinggi dalam lapisan rakyat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya serta pintar yg mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi rakyat pada 2 kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian mengenai elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yg berbagi teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yang paling ulet membuatkan diri serta mencapai fajar peradaban, sampai dalam masyarakt yg paling maju serta bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yg memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yg didapatnya berdasarkan kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih akbar, diatur dan dikontrol sang kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada masyarakat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”aturan besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada gerombolan mini yg bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell beropini bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (nir berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, serta kiprahnya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih krusial, pada situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit mampu inheren pada siapa saja yg kebetuan punya kiprah penting. 

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik mengenai elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diharapkan menjadi sosok khusus yg menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-talenta unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dilihat menjadi gerombolan pencipta tatanan yg kemudian dianut sang seluruh pihak. Ke 2, dalam tradisi yang lebih baru, elit dicermati sebagai gerombolan , baik kelompok yg menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada berbagai sektor serta tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral. 

Lipset dan Solari memberitahuakn bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di pada warga pada puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pengajaran serta pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan sang Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yg memainkan peran utama yang fungsional serta terstruktur dalam banyak sekali lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field dan Higley menyederhanakan menggunakan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang mempunyai posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi menggunakan elit yg lain acapkali bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan serta perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi pada kudeta atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan banyak sekali pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara generik ilmuwan sosial membagi pada tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yg berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang mengakibatkan mereka akan memegang peranan krusial pada aktivitas rakyat. Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan utama pada masyarakat yang berdasarkan dalam posisi mereka yang tinggi pada struktur masyarakat. Posisi yg tinggi tadi terdapat dalam zenit struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi pada bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan pada suatu forum yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya pada rakyat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat mampu mempunyai kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam forum-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya memilih sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki serta menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial pada atas memperlihatkan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yg memiliki/bersumber dari penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , korelasi, kepandaian serta keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan sang Charles F. Andrain yg meneybutnya sebagai asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dipandang dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit menurut kegiatan fungsional, ketiga, elit menurut kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja serta kerabat raja yg dikenal menggunakan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua kelompok manusia merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yg penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -gerombolan teori di atas masih ada kecocokan, namun yag terjadi pada politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan pada atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh menurut kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi pula tidak menunjukkan perilaku elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali sebagai faktor yg diasumsikan menjadi asal kekuasaan, dalam rakyat Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg kuat, dimana peredaran elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar merupakan berdagang. Tetapi kondisi ini saling bertumpang tindih menggunakan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam fenomena famili Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yg menyulitkan buat menetapkan satu bingkai paradigmatik serta teoritik sebagaimana dijelaskan pada atas. Karenanya, asumsi teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, modal, ranah serta praktek mungkin relevan sebagai alat analisis utama disamping kekuatan teoritik berdasarkan berdasarkan teori elit pada atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik dan Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan menggunakan cara di mana para pemain mencoba menguasai serta membarui kondisi tersebut menggunakan mencoba mempekerjakan dan membangun atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi pada ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan interaksi kekuasaan diambil berdasarkan karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan dan praktek para pemain. Ada tiga konsep yg dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya tentang ’modal’ serta yang ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu merupakan habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas mengenai kapital ke pada beberapa kategori, seperti modal sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak pada ruang sosial (social space) yg nir didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah kapital menggunakan berbagai jenisnya dan sang jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yg dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan serta pendidikan. Konsep tadi dipakai dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu berpendapat bahwa perjuangan demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental berdasarkan semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial serta terjalin dengan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan pada pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung usang dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terrstruktur serta terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah oleh Bourdieu diartikan menjadi jaringan rekanan antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yg hadir terpisah dari kesadaran serta kehendak individual

Dengan kata lain, habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan empiris sosial. Individu memakai habitus dalam berurusan dengan empiris sosial. Habitus adalah struktur subjektif yg terbentuk menurut pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yg ada dalam ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang adalah perwakilan konspetual dari benda-benda dalam empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus seperti konsep ruang, ketika, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-nir bermanfaat, sahih-galat, atas-bawah, depan-belakang, indah-jelek, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan insan terjadi pada ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan asal daya. Individu, isntitusi, serta agen lainnya mencoba buat membedakan dirinya dari yg lain serta menerima kapital yg bermanfaat atau berharga dia arena tersebut. Dalam masyarakat terbaru, masih ada 2 sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi dan harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang dipengaruhi oleh seberapa poly ’kapital simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya pula adalah asal dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yg hadir terpisah menurut pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, tetapi semacam interaksi yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan grup pada tatanan warga yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi mengenai global sosial. Konsep ini menganlogikan realitas sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial bisa dikonsepsi menjadi terdiri berdasarkan beragam ranah yg emiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya herbi individu lain serta aneka macam empiris sosial yang menhasilkan tindakan-tindakan sinkron dengan ranah serta modal yang dimilikinya. 

Praktik merupakan suatu produk berdasarkan relasi antara habitus menjadi produk sejarah, dan ranah yang juga adalah produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus serta ranah pula merupakan produk dari medan daya – daya yang terdapat pada masyarakat. Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan dan orang yang memiliki poly kapital. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi pada pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat memiliki kapital – kapital khusus agar bisa hayati secara baik dan bertahan pada dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang memperlihatkan praktik sosial tadi dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu tentang Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yg lebih dikenal tentang ’institusi’ serta ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, seperti yg sudah kami jelaskan, dia mengacu dalam pola kelakuan yang terstruktur serta kebiasaan-noram dan pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal serta informal yg merusak serta memfasilitasi tindakan insan serta interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yg menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang tertentu. Dengan cara ini ke 2 istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, serta kontrak selalu perlu ditanamkan pada strata sosial yg dalam serta informal, acapkali melibatkan faktor-faktor misalnya kepercayaan , tugas serta kewajiban (sebagai akibatnya) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik menurut kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal pada Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik pada Indonesia yg secara legalitas aturan tertuang pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.xi/Majelis Permusyawaratan Rakyat/ 1998 mengenai Pemilihan Umum, yang didalamnya terkandung dua aspek fundamental terhadap perubahan tatanan politik di Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai selesainya dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan 2 putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pemilu ke 2 menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi legislatif dipilih secara terpisah sang masyarakat. Perubahan hukum ketatanegaraan lewat reformasi dan amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, serta pemilu presiden dan wakil presiden pada atur dalam pasal 6A yg selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan masyarakat menggunakan memberi peluang pada rakyat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden serta wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut mensugesti sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui mekanisme pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yg nir jarang melalui lobi politik yg memenangkan kontenstan yang tidak sinkron harapan rakyat.

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik dan reformasi aturan ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yg terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, serta DPRD), dan pemilihan langsung presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia telah 3 kali melaksanakan pemilihan generik yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan umum presiden serta wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 sudah membuka ruang kontestasi dalam memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah tiga kali terjadi pergantian presiden menjadi bagian berdasarkan proses demokrasi di tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke 2 kalinya bagi Bangsa Indonesia, menjadi salah satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat daerah, di beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke dua dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias permasalahan dalam Pilkada, menyebabkan perihal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan pada system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jeda antara pemilu menggunakan aliran elit di masa orde baru ditimbulkan ketertutupan politik dengan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg setelah reformasi terjadi peredaran elit yg terbuka serta kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yg disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta wapres Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan serta penentuan pejabat kepala daerah yg harus memperoleh persetujuan presiden. Tetapi semenjak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan aneka macam daerah supaya mereka bisa memilih sendiri kepala wilayah masing-masing. Sehingga muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menjadi output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membangun pemberdayaan politik masyarakat lokal yang pada pelaksanaannya masih terbatas dalam legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai pada masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat dan wilayah menggunakan tidak memberi kesempatan rakyat menentukan secara eksklusif ketua daerah serta wakil ketua wilayahnya. Adanya disparitas rapikan cara dan mekanisme pemilihan yg selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden dan wakil presiden yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tetapi sebaliknya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk oleh pejabat sentra. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya dan galat satu produk era reformasi adalah UU No.22 tahun 1999 mengenai desentralisasi, yg dalam praktik pilkada menimbulkan keprihatinan serta kekecewaan dengan munculnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik di tingkat lokal maupun pusat. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah, yg membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yg dipilih oleh rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di wilayah.

Alasan mengapa harus diselenggarakan pilkada pribadi karena: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yg bisa memberikan dampak legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan daerah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yang adalah duduk perkara mendasar pada memillih seseorang pemimpin. Dalam artian pilkada eksklusif wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang kuat. Selain itu, pelaksanaan pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada langsung jua harus membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yg adil antara para calon yg bersaing menggunakan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yg berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel dalam rakyat serta bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi dalam masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) dan potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) sanggup berkurang pada golongan tertentu. Perubahan politik nasional menggunakan mengadakan pemilihan pribadi terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden diikuti menggunakan pemilihan eksklusif gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah merupakan mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yg demokratis di Indonesia. Dalam suatu masyarakat demokratis, warga berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Namun terdapat pemilihan generik yang berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang bersatu dengan korelasi yang konkret atau dirasakan serta keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen dapat anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yang pada menetapkan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling gampang pada gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga asal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu pada bawa ke Inggris sebagai nama buat sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia dan Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota bisa mengidentifikasi menggunakan lambang buat menerangkan bahwa mereka merupakan kaum independen.

Dalam budaya yang tidak sama serta situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga adalah bagian mini menurut suatu masyarakat yang lebih akbar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang dan klan klan Rajput di India serta Pakistan, yang terdapat menjadi kelompok kerabat di negara masing-masing. Tetapi, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band jua dapat komponen rakyat yang lebih akbar. Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab merupakan kelompok mini pada rakyat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil berdasarkan suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa kasus diakui beberapa suku marga-marga yg sama, seperti beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yg tidak selaras menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut muncul menurut penggunaan sehari-hari kata tersebut. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan di surat keterangan ke jaringan informal pada bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain pada sangat dekat dan saling mendukung menggunakan cara yg lebih kurang sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yg ätter, tidak bisa diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka sering diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi dari tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, serta mempunyai simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas dari adanya jaringan atau klan yg terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok kekerabatan yang besar , gerombolan relasi yg dari asas unilinear. Klan gerombolan hubungan yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yg pada perhitungkan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas berdasarkan siapa patron awal yg menciptakan pondasi yang kuat yg membawanya sebagai akibatnya klan tersebut atau jaringan mampu berada dalam level kekuatan kekuatan yang kuat untuk lalu dikonsolidasikan pada tataran elit yang kemudian sebagai kekuatan yang bertenaga ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membangun klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya dapat menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta impak sosial politik berdasarkan opini politik klan yg dibangun. 

Pola komunkasi yg kuat yg dibangun sebuah gerombolan relasi jaringan keluaraga atau merupakan salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan famili di strata elit poltik lokal yg memungkinkan terjadinya penguasaan kekuasaan dalam arah proses kebijakan nantinya, semua itu tidak terlepas menurut usaha yang dibangun patron awal sehingga klan atau jaringan keluaraga tersebut sebagai suatu kesatuan yg bertenaga pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru dari klan yang sama, yg bertenaga, dan yg nantinya akan meneruskan proses politik yang sedang berlangsung.

Klan dalam politik terdapat dalam satu famili dimana mereka dalam hal ini famili sanggup menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan serta ada yg menyebut gejala ini menjadi kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau keluarga politik, fanatisme dalam keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti hubungan darah (famili) lebih kuat dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep impak dampak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yg diberikan kepada pengaurh eksperimental serta impak lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah buat beranggapan bahwa efek tadi akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan pokok berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yg lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat interaksi diantara pengenalan politik dini menggunakan imbas - imbas eksperimental serta lingkungan berdasarkan masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan sosialisasi orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera selesainya pemilihan mereka: serta bahwa tingkah saya legislatif berikutnya sebagian ditentukan oleh pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yang ada terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi sang pengalaman pengalaman mereka semasa menjadi anggota badan legislatif, ditambah lagi dengan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu tingkatan sosialisasi nir bisa dihindarkan dari pengalaman sehari hari pria serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum poly diteliti orang, sekalipun masih ada beberapa verifikasi yg muncul menurut studi studi tentang tingkah laku pemilihan/elektoral, kesadaran kelas, dampak berdasarkan situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang mengenai pengenalan orang dewasa itu adalah penting. Justru misalnya halnya anak yg diantarkan secara sedikit demi sedikit kepada kontak menggunakan global disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja dan perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, mengambarkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa hubungan yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja terdapat yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak mirip melalui persahabatan dan perkenalan: sedang yg lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya seperti pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya dan pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh pengenalan sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan mengakibatkan kemunculan aneka macam strata permasalahan yg mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan dari wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan berdasarkan organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti kepercayaan , penerapan keterangan dan opini melalui media massa seluruh ini mengakibatkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan ahli teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yg mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan beserta. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang wajib memusatkan perhatian dalam pola ikatan objektif yg menghubungkan anggota masyarakat. William mengungkapkan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin menyelidiki keteraturan individu dan kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu ahli analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif dan perilaku sosial. Mereka menolak setiap penjelasan nonstruktural yang memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri eksklusif aktor individual dan kebiasaan yang tertanam. 

Setelah mengungkapkan apa yg sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan kemudian mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota rakyat (individual dan kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian primer teori jaringan sebagai brikut:

Analisis jaringan memulai dengan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog adalah mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial merupakan menganalisis pola ikatan yg menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yg berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali timbul kepermukaan menjadi system social yang kompleks…Aktor serta perilakunya dipandang sebagai dipaksa sang struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan dalam aktor sukarela, tetapi dalam paksaan structural.

Satu karakteristik spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya dalam struktur mikro sampai makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula gerombolan , perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi serta Koening, 1986) serta masyarakat. Hubungan bisa terjadi ditingkat struktur social skala luas maupun ditingkat yang lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi pribadi konkret serta dalam strktur(jaringan) hubungan itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) memiliki akses tidak sama terhadap sumber daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, warta). Akibatnya merupakan bahwa sistem yg terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung pada komponen yg lain.

Satu aspek penting analisis jaringan merupakan bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog menurut studi mengenai kelompok serta kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan serta antar aktor yg “tidak terikat secara kuat serta tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yang baik menurut ikatan seperti ini merupakan diungkap dalam karya Granoveter(1973:1983) mengenai “ikatan yang kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yang kuat, misalnya hubungan antara seorang dan sahabat karibnya, serta ikatan yg lemah, misalnya hubungan antara seorang dan kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yg memiliki ikatan yg kuat atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yg kuat itu penting, sedangkan ikatan yang lemah dianggap tak krusial buat dijadikan target studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa sebagai sangat krusial. Contoh, ikatan lemah antara dua aktor bisa membantu menjadi jembatan antara da grup yg kuat ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yang lemah misalnya itu, ke 2 kelompok mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya bisa mengakibatkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yg ikatannya sangat bertenaga dan akan kekurangan kabar mengenai apa yg terjadi di kelompok lain juga pada rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yg lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke pada rakyat lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yang bertenaga pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yang mempunyai ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu dan lebih cepat buat saling menaruh bantuan.

Comments