Pembaharuan Pendidikan Islam, Fazlur Rahman
Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah friksi yg begitu hebat sang penetrasi Barat terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa mundurnya umat Islam itu bila dihadapkan menggunakan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tadi, maka dalam abad ke-20 mulailah diadakan usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan insan termasuk pada bidang pendidikan.
Manurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan bisnis-bisnis pembaharuan Pendidikan Islam, namun global pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-sahih diarahkan pada tujuan yg positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu buat menyelamatkan umat Islam serta pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan sang efek gagasan Barat yg dating melalui aneka macam disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yg mengancam baku-baku moralitas tradisional Islam. (Rahman, 1984 : 86)
Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama menggunakan cabang-cabang ilmu pengetahuan terbaru.
Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler terkini. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mendapat pendidikan sekuler modern yang sudah berkembang pada umumnya pada Barat serta mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan menurut mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk tabiat pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa menggunakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan rakyat, (dua) memungkinkan para ahli yg berpendidikan terbaru menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yg lebih tinggi, memakai perspektif Islam buat membarui kandungan juga orientasi kajian-kajian mereka. (Rahman, 1984 : 131)
Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yg satu dengan yang lainnya. Sehingga bila pembentukan tabiat menggunakan nilai-nilai Islam yang dilakukan dalam pendidikan taraf pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia belia serta gampang menerima kesan, tanpa sesuatu pun yg dilakukan buat mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang sudah mencapai taraf yg tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan akbar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yg luas (Rahman, 1984 : 131).
Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang nir perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat eksklusif (misalnya logika), serta segudang karya mengenai hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya pada banyak sekali disiplin zaman pertengahan serta menekankan dalam bidang hadits, bahasa serta kesusastraan Arab dan prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138).
Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, usang ketika belajar diperpanjang dan diadaptasi dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah serta akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi sudah dimulai dilakukan upaya-upaya yg ditujukan buat menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138)
Akan namun menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang misalnya diuraikan pada atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis serta hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yg lama dengan ilmu pengetahuan yg terbaru. Situasi ini diperburuk lagi menggunakan masih minimnya jumlah buku-buku yg tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pedagogi akan tetap mandul sekalipun murid memiliki bakat dan kemauan, pada lain pihak pengajar-guru yang berkualitas serta professional dan memiliki pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu tidak akan dihasilkan pada skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat syarat yangh demikian ini, Rahman mencoba memperlihatkan penyelesaiannya.
Oleh karenanya, buat mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tadi, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam terbaru sebagai sangat krusial.
1. Perumusan Masalah
Penelitian ini menyelidiki pandangan seorang sarjana Muslim yg memiliki 2 tradisi lingkungan pendidikan lingkungan pendidikan Deoband, serta lingkungan pendidikan terkini Barat yakni Fazlur Rahman, penggagas metodologi noemodernisme. Salah satu pemikirannya yang sangat urgen dibahas di sini merupakan tentang sifat dari sistem pendidikan Islam.
Dari latar belakan kasus yg diuraikan pada atas bisa diketahui bahwa dalam masa terbaru ini, dunia pendidikan Islam masih dihadapkan kepada beberapa problerm pendidikan.
Oleh karenanya yg menjadi kasus pokok dalam tulisan ini adalah
Bagaimana latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman?
Bagaimana gagasan Fazlur Rahman tentang solusi atas berbagai problematika pendidikan Islam modern itu ?
2. Tinjauan Pustaka
Beberapa konsep kunci yg perlu dielaborasi atau dijelaskan supaya mampu lebih terfokus yang nir bias sang beragam pengertian serta interpretasi pada menelusuri gagasan genuine Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam, adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam
Istilah education pada bahasa Inggris berasal menurut bahasa latin educere berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke pada kepala seorang. Dari pengertian istilah ini terdapat tiga hal yg terlibat ; Yaitu imu, proses memasukkan serta kepala orang, kalaulah ilmu itu masuk pada ketua (Langgulung, 1992 : 4).
Dalam bahasa Arab terdapat beberapa istilah yang biasa dipergunakan pada pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Namun berdasarkan beberapa ahli pendidikan, terdapat disparitas antara ketiga kata itu. Ta’lim hanya berarti pedagogi, jadi lebih sempit berdasarkan pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah yang lebih sering digunakan di negara-negara berbahasa Arab terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang, tumbuh-flora menggunakan pengertian memelihara atau membela atau menternak. Sementara pendidikan yang diambilm menurut kata education itu hanya buat insan saja (Langgulung, 1992 : 4-5).
Pemakaian ta’dib, menurut al-Atas, lebih tepat, karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, namun juga nir luas mencakup makhluk makhluk selain manusia. Ta’dib sudah mencakup ta’lim dan tarbiyah. Selain itu kata ta’dib erat hubunganya dengan syarat ilmu pada Islam yg termasuk pada isi pendidikan (al-Attas, 1992 : 5).
Dalam kamus pada masa ini Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan menjadi proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laris menggunakan cara pedagogi, penyuluhan, serta latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991 : 353).
Kata Islam pada pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan eksklusif yaitu pendidikan yg berwarna Islam. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap seorang agar beliau sebagai seorang Muslim yang semaksimal mungkin (Tafsir, 1992 : 32). Sementara itu, Syahminan Zaini, mendefinisikan pendidikan Islam menjadi upaya pengembangkan fitrah manusia menggunakan ajaran Islam agar terwujud kehidupan yang makmur dan senang (Zaini, 1986 : 12).
Pendidikan Islam yg dimaksud pada penelitian ini nir jauh tidak sinkron dengan rumusan yang telah dikemukakan sang para ahli pendidikan Islam pada atas. Yang dimaksud pendidikan Islam pada penelitian ini merupakan bimbingan yg diberikan kepada seorang atau grup orang pada orang lain atau rakyat agar orang lain atau warga itu berkembang secara aporisma sinkron dengan petunjuk ajaran Islam.
2. Modern
Istilah terbaru asal berdasarkan bahasa Ingrris, “modern” yg berrti sejarah terkini (Echols dan Shadily, 1990 : 384). Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata terbaru diartikan menjadi yg terkini atau terkini (Poerwadarminta, 1985 : 653) . Sedangkan dari Harun Nasution, istilah terbaru berarti masa yang dimuali berdasarkan tahun 1800 M sampai seterusnya (Nasution, 1994 : 14). Dalam penelitian ini yang dimaksud menggunakan kata terkini merupakan misalnya yg dikemukakan sang Harun Nasution yaitu masa atau periode sejarah global yang dimuai dari tahun 1800 M semapai kini ini.
Meskipun pendidikan Islam sudah poly dibahas oleh para ahli pendidikan, tetapi masih sedikit yang menelaah pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam.
Buku-buku yang membahas tentang pendidikan Islam antara lain : Asas-Asas Pendidikan Islam sang Hasan Langgulung, Konsep Pendidikan Islam oleh Naquib al-Attas, Sistem Pendidikan Islam oleh Muhammad Quthb, dan Horison Pendidikan Islam sang S. Ali Asyraf.
Khusus kajian terhadap Fazlur Rahman, kajian yang terdapat tekananya lebih poly dalam gagasannya tentang aturan serta politik. Kajian-kajian tersebut diantaranya The Islamic Concept of The State karya John L. Esposito, Islam serta Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman oleh Taufiq Adnan Amal, dan Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman oleh Sudirman Tebba.
Namun sejauh pengamatan peneliti, meskipun gagasan Fazlur Rahman tentang pendidikan Islam merupakan salah satu proyek sentralnya, namun penelitian tentang gagasan tentang solusi atas problematika pendidikan Islam secara analitis, ilmiah, dan filosofis belum pernah dilakukan. Sehingga pemikiran tentang gagasan solusi atas problematika pendidikan Islamnya Fazlur Rahman secara memadai belum banyak dikenal sang kalangan pemerhati Islam kontempoter di Indonesia. Kebanyakan orang mengenal Fazlur Rahman dalam bidang filsafat dan aturan Islam.
Semenatara buat melihat pemikiran Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam secara kongkret dan menyeluruh, maka penyusun mengupayakan pengumpulan semua karya-karya Fazlur Rahman, baik pada bentuk buku, artikel juga makalah. Setelah itu dilakukan telaah dan penjabaran, mana yang membahas atau yang ada kaitannya menggunakan tema pendidikan Islam.
Dari survei kepustakaan mengenai karya-karya Fazlur Rahman yangberkaitan dengan kerangka berpikir pemikiran pendidikan Islam serta latar belakannya, asal uatama yg dipakai diantaranya : (1) Islam, (2) Islam and Modernity : Transformation of Intellectual Tradition, (tiga) The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems, (4) Recommendation for Improvement of IAIN Curriculum and Instruction Submitted to The minister of Religious Affair, His Excellence, Munawil Sjadzali serta (5) Revival and Reform in Islam.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian ini dalam garis besarnya terdapat tiga, yaitu :
- Mengungkap latar belakang munculnya gagasan pendidikan Islam Fazlur Rahman
- Menjelaskan gagasan Fazlur Rahman mengenai solusi atas aneka macam problematika pendidikan Islam terbaru itu
Sedangkan manfaat penelitian diarahkan pada 2 hal berikut : Pertama mencari latar belakang sosial, politik dan perkembangan pemikiran bagi perkembangan pemikiran Fazalur Rahman. Kedua, Mengembangkan gagasan segar Fazlur Rahman berkaitan menggunakan teori-teori baru mengenai Pendidikan Islam. Diharapkan menurut sini bisa dimulai proyek akbar pembaharuan pendidikan pada Indonesia yg lebih mengklaim terjadinya kesadaran.
B. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian termasuk pada jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian.
Sedangkan penelitian ini bersifat diskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran Fazlur Rahman tentang pembaharuan pendidikan Islam.untuk memperoleh data tentang pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam, penyusun menggunakan asal-asal utama berupa kitab -kitab serta makalah-makalah yg terdapat relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan asal-sumber sekunder berupa buku-kitab , kitab -kitab , jurnal-jurnal yg terkait.
2. Pendekatan yang digunakan
Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan historis.
Pendekatan historis untuk menelusuri latar belakang pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan pendidikan Islam menggunakan mengurai faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya pemikiran tadi..
.
3. Metode analisis data
Dalam menganalisis data dipakai analisis isi (content analysis). Metode ini digunakan untuk menganalisis makna yg terkandung dalam pemikiran Fazlur Rahman. Berdasarkan isi yang terkandung pada pemikiran Fazlur Rahman tersebut kemudian dilakukan pengelompokan dengan tahapan identifikasi, pembagian terstruktur mengenai, kategorisasi, baru dilakukan interpretasi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman
Penelitian sejarah Islam dalam umumnya menggarisbawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul menurut impak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan rakyat Islam kemudian menumbuhkan semangat kebangkitan Islam.
Gambaran rakyat Islam pada saat itu ibarat sebuah warga yg semi-mati yg menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-dampak Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh warga muslim dari abad 2 H./8 M. Mereka, dalam waktu itu, dihadapkan menggunakan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Tetapi mereka berhasil mengatasi benturan serta tantangan tadi menggunakan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut merupakan adanya penguasaan politik Islam. Secara mudah Islam pada ketika itu merupakan penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya merupakan syarat serta situasi Islam waktu itu belum terbebani oleh tradisi agama yg semi-meninggal, hal ini sangat tidak selaras dengan syarat serta situasi Islam pada abad 17 M serta lebih spesifik pada akhir abad 18 M.
Akibat kekalahan serta penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis nir mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam serta mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yg baru bangun dan baru bangkit tadi belum siap mengadakan modernisasi yang lebih akbar dan mendasar. Untuk arah kesana diharapkan proses dan ketika yang panjang.
Kondisi obyektif masyarakat Islam yg mengalami stagnasi nir hanya di bidang lahiriyah namun jua pada bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ilham yg berkembang merupakan modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) serta paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yg bhineka. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yg menyerukan peningkatan baku moral dan intelektual buat menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun beliau sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, tetapi seruannya menggugah rakyat Muslim buat mengembangkan serta menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan dia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya sebagai tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) pada Mesir serta Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India buat membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa nalar dan ilmu pengetahuan nir bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan terkini ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119).
Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini dalam akhirnya melahirkan sejumlah anak didik yg meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yg dimaksudkan oleh kutipan Rahman pada atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya sudah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan serta kemerosotan intelektual.
Ide-inspirasi kreatif yg dimunculkan sang kebanyakan modernis kontemporer dalam biasanya tidak jauh tidak sinkron dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, beserta menggunakan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan pandangan baru membangun peradaban yg Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” global Islam buat maju.
Karena teknologi yang dipinjam menurut Barat selalu tidak cocok menggunakan rakyat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi nir hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, pula menghambat kebudayaan serta lingkungan Muslim. Solusi yg disampaikan sang Sardar merupakan menyebarkan teknologi yang mencerminkan kebiasaan-kebiasaan budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan serta pemerintahan.
Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat sudah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang nir terkendali telah menyebabkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban insan, lantaran kehidupan terbaru Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr menentukan spiritualisme menjadi solusi cara lain upaya pembebasan insan modern. Nasr sangat optimis menggunakan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia terkini dalam mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kemarau serta mereka nir menemukan pemuasnya pada ajaran Kristen serta Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak.
Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi misalnya tercermin melalui kata ruh serta perilaku batin. Inilah yang membedakannya spiritual pada pengertian Barat, yg dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat terbaru bersumber menurut penolakan ruh serta pengingkaran ma’nawiah pada kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri menurut Tuhan dan mereka sebagai tuan bagi kehidupan sehingga terputus menurut spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya buat diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108).
Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr buat dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yg dikembangkan sang sejumlah pemikir modernis, sebagai akibatnya gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi pada atas, merupakan Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yg paling awal yg menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari dua konsep yg disampaikan dua tokoh tadi tergambar adanya impian memberi rona atau nilai agamis dalam pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan hingga kini , walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar serta kontroversial yg memerlukan ketika usang buat mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”.
Ketiga solusi cara lain di atas masing-masing mengandung karakter yg berbeda. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr serta islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat menggunakan memadukan antara ilmu pengetahuan menggunakan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang membuahkan krisis peradaban terkini menjadi orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga gagasan tadi berada dalam tataran aksiologis.
Kembali ke pokok pertarungan, pemikiran Rahman tokoh modernis yg menjadi sentral penelitian ini nir sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yg membuahkan warta empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana sudah disinggung pada muka.
Rahman mengakibatkan al-Quran menjadi sentral penelitian (Yuyun, 1993) buat menciptakan konsep-konsep metodologis serta rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” adalah tujuan yg hendak disumbangkan oleh Rahman melalui bisnis keras pada membangun konsep serta merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa 2 tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling populer adalah Rahman bersama dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93).
Program Rahman yg terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru pada penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada dalam tingkat ontologi serta epistemologi, tidak dalam tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa perkara internal yang wajib diselesaikan sang modernisme pada masa ini. Masalah tersebut, dari Rahman nir relatif diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi wajib diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.
2. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam
a. Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat menurut masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat insan yang serba multi interest serta berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek jua .ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam pada menghadapi barat bekas saingan bila bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yg ada sebagai komplek pihak yg kalah , tidak sama menggunakan kedudakan umat islam klasik dalam ketika itu umat islam merupakan pihak yang menang serta berkuas).
Fenomena tadi, dari Syed Sajjad Husain serta Syed Ali Ashraf, sudah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan .golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan menurut orang -orang yang pikiranya lebih cenderung pada kepercayaan .akibatnya munculah suatu ketergantungan serta kontradiksi antara golongan sekular menggunakan golongan agama.pertentangan ini sudah memperlihatkan diri secara terang-terangan dibeberapa negara misalnya Turki,Mesir,Pakistan serta Indonesia (Arifin, 1993 : 5).
Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam nir diarahkan kepada tujuan yg positip.tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yg dikemukakan oleh Rahman bahwa :
Strategi pendidikan islam yg terdapat kini ini tidaklah benar-sahih diarahkan pada tujuan yg positif,namun lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yg ditimbulkan oleh efek gagasan-gagasan Barat yg datang melalui banyak sekali disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan baku moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis.akibatnya munculah golongan yg menolak segala apa yg berbau Barat,bahkan adapula yg mengharamkan pengambil alihan ilmu serta teknologinya.sehingga apabila syarat ini terus berlanjut akan dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam.
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yg bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya pada kehidupan akhirat tadi wajib segera diubah.tujuan pendidikan islam wajib berorientasi kepada klehidupan global serta akhirat sekaligus serta bersumber dalam AL-Qur’an.menurutnya bahwa :
Tujuan pendidikan pada pandangan AL-Qur’an adalah buat membuatkan kemampuan inti insan dengan cara yg sedemikian rupa sebagai akibatnya ilmu pengetahuan yg diperolehnya akan menyatu menggunakan kepribadian kreatifnya (Ibid).
Kedua, beban psikologis umat Islam pada menghadapi Barat wajib segera dihilangkan.untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan agar dilakukan kajian Islam yg menyeluruh secara historis serta sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam misalnya teologi,aturan,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,serta filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an menjadi penilai.sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang sudah berkembang pada sejarah itulah yg memberikan kontiunitas pada wujud intelektual serta spiritual rakyat Muslim.sehingga melalui upaya ini diperlukan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam pada menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan nir terdapat yg galat, yg salah merupakan penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, sudah ditemukan saintis Barat, tetapi sebelum mereka memanfaatkan energi listrik menurut penemuan itu (yg dimaksud memanfaatkan tenaga hasil reaksi inti yang bisa ditransformasikan menjadi tenaga listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yg berbguna, mereka membentuk bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan menjadi ajang perlombaan. Para saintis lalu menggunakan cemas mencari jalan buat menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu.
Rahman juga menyatakan bahwa di pada Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan buat semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, saat Allah mengajarkan bagaimana Daud menciptakan baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yg pernah diajarkan sang Harut serta Marut pada manusia, itu pula merupakan galat satu jenis al-’ilm meskipun buruk pada arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak yg menyalahgunakan sihir itu buat memisahkan suami menurut istrinya. Begitu juga hal-hal yang memberi wawasan baru pada logika termasul al-’ilm (Rahman, 1992 : 69) .
b. Sistem Pendidikan
Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu sudah melanda semua negara Muslim atau negara yang dominan penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dibagi dua sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut disparitas dalam struktur luarnya saja akan tetapi jua disparitas yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan.
Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang asal menurut Al-Qur’an. Di pada Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yg sesungguhnya adalah membentuk insan yang taat kepada Tuhan serta akan selalu berusaha buat patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk memahami seluruh kenyataan di dalam serta pada luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem terbaru, yg tidak secara spesifik mengesampingkan Tuhan, berusaha buat tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya tentang dari-usul alam raya atau kenyataan dengan mana insan selalu berafiliasi setiap harinya.
Di tengah maraknya duduk perkara dikotomi sistem pendidikan Islam tadi, Rahman berupaya buat menawarkan solusinya. Menurutnya buat menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tadi adalah menggunakan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh (Ibid). Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi serta nir bisa dipisah-sisihkan (Nafis, 1995 : 251)
Dengan demikian di pada kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum misalnya ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu kepercayaan seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis.
Menurut irit penyusun, metode integrasi misalnya yang ditawarkan oleh Rahman itulah yg pernah diterapkan dalam masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh serta seimbang antara ilmu-ilmu yg diperlukan buat mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu generik) maupun ilmu-ilmu buat mencapai kebahagiaan pada akhirat (ilmu-ilmu agama).
Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya interaksi fungsional antara ilmu-ilmu generik serta ilmu-ilmu kepercayaan , sudah berhasil melahirkan ulama-ulama yang mempunyai pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu serta memiliki pengetahuan luas serta mendalam dalam masa klasik. Ibn Sina contohnya, selain ahli agama, pula seorang psikolog, pakar pada ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian jua dengan Ibn Rusyd, dia di samping menjadi pakar aturan Islam, jua pakar pada bidang matematika, ekamatra, astronomi, akal, filsafat serta ilmu pengobatan (Nata, 1993 : 31)
Adanya ekuilibrium antara ilmu-ilmu generik (dunia) dengan ilmu-ilmu kepercayaan pada suatu kurikulum pendidikan Islam, dari Hasan Langgulung, oada gilirannya akan melahirkan spesialisasi dalam bagian ilmu sesuai dengan periode perkembangan, sesuai menggunakan tingkat pendidikan, sesuai menggunakan spesilalisasi sempit pada tingkat pendidikan tinggi, pada masjid-masjid dan rumah-tempat tinggal hikmah (universitas-universitas) lalu hari sampai kini (Hutagalung, 1992 : 117-118)
Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya merupakan satu yaitu dari berdasarkan Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan pada pada Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yg dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah serta sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yg diperoleh manusia menggunakan memakai indera, akal serta hatinya. Pengetahuan yg diwahyukan memiliki kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yg diperoleh, kebenarannya tidak mutlak (Rahman, 1984: 72)
Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari melalui 2 jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat kauniyah.33 Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini :
c. Anak Didik (Peserta Didik)
Anak didik yang dihadapi sang global pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dibagi dua antara ilmu-ilmu kepercayaan menggunakan ilmu-ilmu generik ditumbangkan di forum-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama menggunakan ilmu-ilmu generik menyebabkan rendahnya kualitas intelektual murid serta keluarnya pribadi-langsung yang pecah (split personality) menurut kaum Muslim. Misalnya seseorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yg sama dia dapat sebagai pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dibagi dua sistem pendidikan tadi mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yg mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. (Ma’arif, 1991 : 20) Sebagian menurut mereka lebih berperan menjadi pemain-pemain teknis pada perkara-kasus kepercayaan . Sementara ruh kepercayaan itu sendiri jarang sahih digumulinya secara intens dan akrab.
Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan buat mengatasi perkara tadi pada atas. Pertama, murid harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan buku suci bukan hanya dijadikan menjadi sumber pandangan baru moral akan tetapi juga bisa dijadikan menjadi acum tertinggi buat memecahkan perkara-perkara pada kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menunjukkan metode sistematisnya dalam memahami serta menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa sekarang. Gerakan pertama memiliki 2 langkah.
- Orang harus memahami arti atau makna menurut suatu pernyataan menggunakan mengkaji situasi serta persoalan historis di mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mempelajari ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro pada batasan-batasan rakyat, kepercayaan , norma-istiadat, forum-lembaga serta tentang kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada waktu kehadiran Islam, khususnya di lebih kurang Mekkah harus dilakukan (Rahman, 1979 : 219-224).
- Menggenerasikan jawaban-jawaban khusus tadi dan menyatakannya menjadi pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral serta sosial generik yg bisa disaring berdasarkan ayat-ayat spesifik pada sinaran latar belakang sosio-historis yang tak jarang dinyatakan. Selama proses ini, perhatian wajib diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu holistik sehingga setiap arti eksklusif yang difahami, setiap hukum yang dinyatakan serta setiap tujuan yg dirumuskan akan koheren dengan yg lainnya. Al Qur’an menjadi suatu holistik memang menanamkan sikap yg pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan global yg kongkrit (Rahman, 1984 : 6).
Jika dua momen gerakan ganda ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hayati dan efektif kembali (Ibid) Metode penafsiran yg ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai mekanisme ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki serta Syathibi mengenai betapa mendesaknya tahu Al-Qur’an menjadi suatu ajaran yang padu serta kohesif ke pada gerakan pertama berdasarkan metodenya (Taufiq, 1990 : 103) Kedua, menaruh materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan keseluruhan. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial serta filsafat (Rahman, op.cit : 20)
d. Pendidik (Mu’allim)
Untuk menerima kualitas pendidik misalnya itu di forum-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam pada beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yg kreatif serta terpadu yang sanggup menafsirkan hal-hal yang usang dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yg baru sebagai alat yang bermanfaat buat idealita masih sulit ditemukan dalam masa modern (Rahman, Op.cit. : 139). Masalah kelangkaan energi pendidik seperti ini telah melanda hampir seluruh negara Islam.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik misalnya itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut serta mempersiapkan murid yang mempunyai bakat-bakat terbaik dan memiliki komitmen yg tinggi terhadap lapangan kepercayaan (Islam). Anak didik misalnya ini wajib dibina serta diberikan bonus yg memadai buat membantu memnuhi keperluannya pada peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Jika hal ini nir segera dilakukan maka upaya buat menciptakan pendidik yang berkualitas nir akan terwujud. Sebab hampir sebagian akbar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yg gagal memasuki karir-karir yg lebih basah.
Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yang nisbi cerdas atau memilih sarjana-sarjana terkini yang telah memperoleh gelar doktor pada universitas-universitas Barat serta sudah berada di forum-forum keilmuan tinggi sebagai guru besar -pengajar besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik wajib dilatih pada sentra-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat (Rahman, Op.cit. : 522). Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu beliau menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam (Rahman, Op.cit : 123). Atas gagasan Rahman ini, Institut yg dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal terencana ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku dan suntingan-suntingan menurut naskah-naskah klasik (Rahman, Loc.cit). Kasus institut ini melukiskan sudah lahirnya kesarjanaan yg kreatif dan bertujuan.
Gagasan Rahman itu juga pernah diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN yg potensial buat melanjutkan studinya ke universitas pada negeri Barat yang memiliki pusat-pusat studi Islam. Awal menurut imbas positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa diantaranya seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang pengajaran serta penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum.
Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset terkini serta kebalikannya menarik para lulusan universitas bidang filsafat serta ilmu-ilmu sosial serta memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik misalnya Hadis, serta yiurisprudensi Islam (Ibid.). Di sini tampak Rahman ingin menaruh bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yg lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam.
Kelima, menggiatkan para pendidik buat melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan mempunyai tujuan. Di samping menlulis karya-karya mengenai sejarah, filsafat, seni, juga wajib mengkonsentrasikannya kembali pada pemikiran Islam (Ibid),. Di samping itu para pendidik juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian serta berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang mempunyai karya yang cantik wajib diberi penghargaan antara lain menggunakan meningkatkan gajinya (Rahman, Loc.cit. : 522)