PENGERTIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PKN MENURUT PARA AHLI

Cara flexi-----Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Para Ahli

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan itu Berawal berdasarkan istilah “Civic Education” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan akhirnya sebagai Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili sang Azra dan Tim ICCE (Indonesia Center for Civic Education) berdasarkan Universitas Islam Negeri Jakarta, menjadi pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan kata ”Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili sang Winaputa dkk menurut Tim CICED (Center Indonesia for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6) 

Menurut Kerr, citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning ) in that preparatory process. (Winataputra serta Budimansyah, 2007: 4) 

Dari definisi Kerr tadi dapat dijelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas yang mencakup proses penyiapan generasi muda buat mengambil peran serta tanggung jawab menjadi rakyat negara, dan secara spesifik, peran pendidikan termasuk pada dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, pada proses penyiapan rakyat negara tadi. 

Menurut Azis Wahab, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah media pengajaran yg meng-Indonesiakan para anak didik secara sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Lantaran itu, program PKn memuat konsep-konsep generik ketatanegaraan, politik serta aturan negara, serta teori umum yg lain yg cocok dengan target tersebut (Cholisin, 2004:18) 

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 mengenai Standar Isi buat Satuan Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan dalam pembentukan masyarakat negara yang tahu dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya buat menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, serta berkarakter yg diamanatkan sang Pancasila dan UUD 1945. 

Berbeda dengan pendapat pada atas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai penyiapan generasi belia (siswa) buat menjadi rakyat negara yg mempunyai pengetahuan, kecakapan, serta nilai-nilai yg diperlukan buat berpartisipasi aktif pada masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28). 

Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan adalah: “Pendidikan demokrasi yg bertujuan buat mempersiapkan rakyat rakyat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui kegiatan menanamkan kesadaran pada generasi baru, bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan rakyat yang paling menjamin hak-hak rakyat warga ”. 

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan dalam pembentukan masyarakat negara yg tahu serta bisa melaksanakan hak-hak serta kewajiban buat menjadi masyarakat negara Indonesia yg cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 (Depdiknas, 2006:49).

Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha buat membekali siswa menggunakan pengetahuan serta kemampuan dasar berkenan dengan interaksi antar masyarakat negara menggunakan negara dan pendidikan pendahuluan bela negara menjadi rakyat negara supaya dapat diandalkan oleh bangsa serta negara (Somantri, 2001: 154) 

Pendidikan Kewarganegaraan bisa diharapkan mempersiapkan peserta didik menjadi masyarakat negara yang mempunyai komitmen yang bertenaga serta konsisten buat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat NKRI merupakan negara kesatuan terkini. Negara kebangsaan adalah negara yg pembentuknya didasarkan pada pembentukan semangat kebangsaan dan nasionalisme yaitu dalam tekad suatu masyarakt buat menciptakan masa depan beserta dibawah satu negara yang sama. Walaupun warga masyarakaat itu bhineka kepercayaan , ras, etnik, atau golongannya. 

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan pengertian pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran yang adalah satu rangkaian proses buat mengarahkan siswa menjadi masyarakat negara yg berkarakter bangsa Indonesia, cerdas, terampil, dan bertanggungjawab sehingga bisa berperan aktif pada masyarakat sinkron ketentuan Pancasila dan UUD 1945.

Referensi :

Winataputra serta Budimansyah, 2007. Civic Education. Bandung, Program Pascasarjana UPI.
Branson,  Margaret  S,  dkk.  (1999).  Belajar  Civic  Education  menurut  Amerika.  Yogyakarta  : Kerjasama LKIS serta The Asia Foundation.
Broad Based Education.(2001).  Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup  (Life Skill Education). Jakarta : Tim Broad Based Education – Departemen Pendidikan Nasional.center for Civic Education (1994). National Standards for Civics and Government. Calabasas : CCE.
Center for Indonesian Civic Education. (2000).  A Needs Assesment for New Indonesian Civic Education  :  A  National  Survey  1999  –  2000.  Bandung  :  Conducted  by  CICED  in Collaboration with United States Information Agency/Service USIA/USIS.
Cholisin  (2004).  PPKn  Paradigma  Baru  dan  Pengembangannya  pada  KBK,  Jurnal  Racmi,

PENGERTIAN PENDIDIKAN

Cara flexi --- Pendidikan : (dalam arti sesungguhnya) adalah kata Pendidikan atau 'Edukasi' diambil menurut istilah 'education' atau 'pendidikan' pada bahasa Latin 'educo' yang berarti meng-'edusi', menarik keluar, menyebarkan menurut pada.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan asal berdasarkan kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ serta akhiran ‘an’, maka kata ini memiliki arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan perilaku dan rapikan laku seseorang atau grup orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran serta pelatihan.
Pada dasarnya pengertian Pendidikan adalah bisnis sadar buat menyiapkan peserta didik melalui aktivitas bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yg akan tiba. Menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pendidikan adalah bisnis sadar dan terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya peserta didik secara aktif berbagi potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menyebutkan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hayati tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada dalam anak-anak itu, agar mereka menjadi insan dan sebagai anggota warga dapatlah mencapai keselamatan serta kebahagiaan dengan tinggi-tingginya.
Sedangkan pengertian pendidikan berdasarkan H. Horne, adalah proses yg terus menerus (kekal) berdasarkan penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk insan yang telah berkembang secara fisik dan mental, yg bebas dan sadar pada vtuhan, seperti termanifestasi pada alam kurang lebih intelektual, emosional serta humanisme menurut insan.
Dalam pengertian yg sederhana dan umum makna pendidikan adalah sebagai bisnis manusia buat menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani serta rokhani sesuai dengan nilai-nilai yg ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-bisnis yang dilakukan buat menanamkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan tersebut dan mewariskannya pada generasi berikutnya buat dikembangkan pada hayati dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan. Lantaran bagaimanapun peradaban suatu rakyat, pada dalamnya berlangsung dan terjadi suatu proses pendidikan menjadi bisnis manusia buat melestarikan hidupnya. Atau dengan istilah lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasi peradaban bangsa yg dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan kebiasaan masyarakat) yg berfingsi menjadi filsafat pendidikannya atau menjadi hasrat dan pernyataan tujuan pendidikannya (Djumransyah Indar, 1994 : 16).

Dari beberapa pengertian pendidikan dari ahli tadi maka bisa disimpulkan bahwa Pendidikan merupakan Bimbingan atau pertolongan yang diberikan sang orang dewasa kepada perkembangan anak buat mencapai kedewasaannya dengan tujuan supaya anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak menggunakan bantuan orang lain. 

Pengertian Pendidikan Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :
Dalam perspektif teoritik, pendidikan acapkali diartikan serta dimaknai orang secara majemuk, bergantung pada sudut pandang masing-masing serta teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan pada konteks akademik merupakan sesuatu yg masuk akal, bahkan bisa semakin memperkaya khazanah berfikir insan dan bermanfaat buat pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi buat kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan bisa dirumuskan secara jelas serta gampang dipahami sang semua pihak yg terkait menggunakan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat serta benar pada setiap praktik pendidikan.
Untuk mengatahui definisi pendidikan pada perspektif kebijakan, kita telah mempunyai rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni:
    Pendidikan merupakan usaha sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif menyebarkan potensi dirinya buat memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, warga , bangsa serta negara.
Berdasarkan definisi pada atas, saya menemukan tiga (tiga) utama pikiran utama yg terkandung di dalamnya, yaitu: (1) bisnis sadar serta bersiklus; (dua) mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya siswa aktif berbagi potensi dirinya; dan (3) mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, warga , bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tadi.
1. Usaha sadar dan bersiklus.
Pendidikan menjadi bisnis sadar dan terencana memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yg disengaja serta dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karenanya, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik pada tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi serta kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) juga operasional (proses pembelajaran sang guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), dalam dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun wajib direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran mencakup penyusunan silabus dan rencana aplikasi pembelajaran (RPP) yg memuat bukti diri mata pelajaran, baku kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi saat, metode pembelajaran, aktivitas pembelajaran, penilaian output belajar, dan asal belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif menyebarkan potensi dirinya
Pada utama pikiran yg kedua ini aku melihat adanya pengerucutan kata pendidikan sebagai pembelajaran. Jika dipandang secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai pada setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran ke 2 ini, aku menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki merupakan pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) serta humanis, yaitu berusaha membuatkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, aku juga melihat ada dua kegiatan (operasi) primer dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
a. Mewujudkan suasana belajar
Berbicara mengenai mewujudkan suasana pembelajaran, nir dapat dilepaskan menurut upaya menciptakan lingkungan belajar, diantaranya meliputi: (a) lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang ketua sekolah, ruang pengajar, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kolaborasi, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, ketenangan, kebahagiaan serta aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan siswa buat melakukan kegiatan belajar.
Baik lingkungan fisik juga lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan supaya peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan pengajar dalam mengelola kelas (classroom management) menjadi amat krusial. Dan pada sini juga, tampak bahwa peran pengajar lebih diutamakan menjadi fasilitator belajar murid .
b. Mewujudkan proses pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan buat menciptakan kondisi serta pra syarat agar murid belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi murid. Dalam konteks pembelajaran yg dilakukan guru, maka pengajar dituntut buat bisa mengelola pembelajaran (learning management), yg meliputi perencanaan, aplikasi, serta penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 mengenai Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan menjadi agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi pada hal ini saya lebih senang memakai istilah manajer pembelajaran, dimana pengajar bertindak sebagai seseorang planner, organizer dan evaluator pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun seyogyanya dirancang supaya siswa bisa secara aktif membuatkan segenap potensi yg dimilikinya, menggunakan mengedepankan pembelajaran yang berpusat dalam anak didik (student-centered) dalam bingkai contoh serta strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang sang peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yg ketiga ini, selain merupakan bagian berdasarkan definisi pendidikan sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yg berdasarkan hemat aku telah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, eksklusif, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan juga pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yg mencari ekuilibrium diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, menggunakan melihat utama pikiran yang ketiga berdasarkan definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter telah tersirat dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan pada bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran yang dilaksanakan sang guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian pada atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang pada UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya nir hanya sekedar mendeskripsikan apa pendidikan itu, namun memiliki makna dan implikasi yg luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa siswa (murid) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.


Baca Selengkapnya !!

PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER

1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan sebuah perjuangan bagi setiap individu buat menghayati kebebasannya pada relasi mereka dengan orang lain dan lingkungannya, sebagai akibatnya beliau dpat semkain mengukuhkan dirinya menjadi eksklusif yang unik dan spesial dan memiliki integritas moral yang bisa dipertanggung jawabkan.
Pengertian pendidikan karakter tersebut selain sejalan dengan pengertian karakter itu sendiri, yakni menjadi cetak biru, format dasar, sidik jari, sesuatu yang spesial dan chemistry, juga adalah struktur antropologi manusia; karena disanalah insan menghayati kebebasannya serta mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur ontropologis ini melihat bahwa karakter  bukan sekadar hasil menurut sebuah tindakan, melainkan secara struktur merupakan hasil dan proses. Menurut Doni Koesoema A., (2007: tiga) dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia buat menghayati kebebasannya serta mengatasi keterbatasannya.

Lebih lanjut pendidikan karakter jua terkait menggunakan tiga matra pendidikan, yaitu pendidikan individual, pendidikan social dan pendidikan moral. Selanjutnya pendidikan social terkait dengan kemampuan mnusia pada membangun hubungan dengan insan serta lembaga lain secara harmonis dan funngsional yg selanjutnya menjadi cermin kebebasannya dalam mengorganisasi dirinya.
Dengan demikian, karakter yg didapatkan melalui tiga matra pendidikan tadi merupakan syarat dinamis berdasarkan struktur antropologi individu, yaitu individu yg tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melaikan juga sebuah uusaha hayati buat sebagai semakin integral mengatasi determinasi alam pada dirinya, dan proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus. Pendidikan karakter dalam arti yang demikian itu, dari Ahmad Amin, pada etika (1983:143) adalah pendidikan yang semenjak usang sudah diperjuangkan oleh para filusuf, ahli pikir, bahkan para Rosul utusan Tuhan. Yaitu pendidikan karakter yang bersifat integral, keseluruhan, dinamis, komprehensif dan monoton hingga terbentuk sosok insan yang terbina semua potensi dirinya, serta memiliki kebebasan dan tanggung jawab buat mengekspresikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam pendidikan agama memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter pada hal menanamkan fondasi yang lebih kokoh, kemertabatan yg paling luhur, kekayaan yang paling tinggi serta sumber kedamaian insan yg paling dalam. Pendidikan kepercayaan berperan amat penting dibandingkan pendidikan moral dan nilai sebagaimana tadi di atas, pada hal mempersatukan diri insan dengan empiris terakhir yg lebih tinggi, yaitu Tuhan Sang Pencipta yg sebagai fondasi kehidupan insan. Pendidikan kepercayaan yg menaruh sumbangan bagi pendidikan karakter tesebut, menurut Nurcholis Madjid, dalam menciptakan pulang Indonesia, (2004: 39), merupakan pendidikan kepercayaan yg tidak hanya berhenti dalam sebatas simbol-simbol dan pelaksanaan ritualistic. Melaikan pendidikan agama yang bisa mengajak siswa buat bisa menangkap makna hakiki yang terdapat pada baliknya.
Pendidikan karakter yang ditopang sang pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan kepercayaan , dan pendidikan kewarganegaraan sama-sama membantu anak didik buat tumbuh secara lebih matang serta kaya, baik menjadi individu, juga menjadi makhluk sosial dalam konteks kehidupan bersama.
2. Pilar-pilar Pendidikan Moral
Berbagai fenomena serta realitas yang sebagai penghambat bagi terlasananya pendidikan moral, pendidikan nilai pendidikan agama serta pendidikan kewarganegaraan sebagai pilar-pilar pendukung pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin parah dan lemah.
Realisasi pendidikan karakter tersebut jua harus ditopang oleh 3 pilar utama lembaga pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah serta warga (negara). Pendidikan dirumah tangga dilakukan sang orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya menggunakan dasar tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak menjadi titipan dan amanah Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan. Dilihat berdasarkan segi kecenderungannya, terdapat orang tua yang menginginkan anaknya dididik pada konteks lingkungan yang multicultural, ada juga orang tua yg ingin anaknya dididik dengan pendidikan yang diterimanya dirumah dan terdapat juga orang tua yg nir puas menggunakan pelayanan penddidikan yang diberikan sang sekolah, sehingga mereka menginginkan sebuah pendidikan cara lain yang selanjutnya dikenal dengan home schooling dan sebagainya.
Bertolak dari berbagai kekurangan yg dimiliki orang tua pada rumah, maka pendidikan karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, menggunakan pertimbangan selain lantaran adalah institusi yg dibangun menggunakan tugas utamanya mendidik karakter bangsa, jua disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM, manajemen, system, dan lainnya yang berkaitan menggunakan urusan pendidikan. Budaya sekolah yang buruk, seperti kultur tidak jujur, menyontek, mengatrol nilai, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis kitab pelajaran yg merugikan siswa, tidak disiplin, kurang bertanggung jawab terhadap kebersihan serta kesehatan lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai lembaga pendidikan yg bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka seseorang anak yg sebelum masuk sekolah terlihat jujur, taat beribadah, sopan dan santun, namun sesudah tamat sekolah malah akhlak serta karakternya semakin merosot.

Selanjutnya karena tempat tinggal tangga dan sekolah menjadi pilar-pilar utama bagi pendidikan karakter tadi telah kurang efektif lagi, bahkan telah musnah, maka pemerintah serta warga pula harus bertanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya manusia dan system yg dimilikinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih akbar buat menyelenggarakan pendidikan karakter  bangsa. Tetapi demikian, pilar pemerintah ini pun pada keadaan ringkih dan nir efektif. Banyaknya pejabat pemerintah mulai menurut atas hingga bawah, mulai berdasarkan pusat hingga kedaerah yg terlibat dalam tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan serta kewenangan yang berdampak dalam kerusakan lingkungan, serta adanya sejumlah kebijakan yg dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, dan pola hidup foya-foya, mengakibatkan bagi pendidikan karakter  sebagai amat merosot.

Sumber : Dari Berbagai asal !!