PENGERTIAN PEMASARAN

I.PENGERTIAN PEMASARAN

                  Pemasaranadalah jalan yg harus ditempuh sang produk yg dihasilkan oleh produser agardapat sampai pada konsumen .
                  Pemasaranhanya terdapat pada usaha-bisnis yang sifatnya komersial artinyausaha yangberorientasi pasar alam tetapi pada usaha perkebunan yang tujuannya ada untukmemenuhi kebutuhan hayati serta juga yang kadang-kadang buat berorientasi kepadapasar.
                  Didalamusaha perkebunan ada yg berskala mini ini arahnya buat dapat memenuhikebutuhan hayati. Adajuga yg berskala akbar ini orientasinya kepada pasar.
                  Tetapiusaha komersial, perencanaan produksi dan pelaksaannya diadaptasi dengankebutuhan pasar.
Misalnya :
  1. Jenis produknya apa saja
  2. Berapa jumlahnya
  3. Bagaimana Kwalitasnya
  4. Bagaimana pemilihannya
  5. Bagaimana pengupahannya
  6. Bagaimana pengangkutannya
  7. Kapan diperlukannya
  8. Siapa yang terlibat pada pesanan
  9. Berapa harga pasarannya.

                  Pemasarankomoditi perkebunan merupakan kegiatan pengusaha perkebunan buat bisa menjualproduknya supaya bisa memperoleh laba yg sebanyak-besarnya.
Pemasaran dapat dilakukan sang penghasil sendiri (petani)atau oleh pengusaha hasil perkebunan (misalnya tengkulak, pedagangan pengumpul,pengecer serta lain-lain).

II.  PELUANGPASAR DAN PEMASARAN KOMODITI PERKEBUNAN

                  Padaera persaingan pasar global yang semakin kompetitif menggunakan hampir tidakjelasnya lagi batasan pasar suatu daerah Negara, maka daya saing produkmerupakan keharusan buat mampu merebut pasar.
                  Letakgeografis Aceh yg berada pada paling ujung barat Indonesia, merupakan suatutantangan bagi pengembangan pemasaran komoditas buat pasar domistik, terutamakomoditas non migas, buat itu pengembangan komoditas seharusnya lebihdiarahkan pada komoditi yang memiliki prospek pasaran buat ekspor. Sedangkanuntuk kebutuhan pasar domestik diarahkan terhadap produk yg mempunyaikeunggulan komperatif sebagai bahan bakuindustri pada pada negeri. Untuk itu kesediaan data dan penyebaran informasiharga pasar komoditi merupakan salah satu sarana bagi penilaian / Analisispeluang pasar suatu komoditi.
                  Dilihatdari segi daerah tujuan pemasaran komoditi, maka sekmen pasar komoditi Acehadalah menjadi berikut:
a.   Pasaran lokal
      Merupakanpemasaran buat memenuhi kebutuhan warga setempat, seperti    output pertanian/perkebunan rakyat skala kecildan lain-lain  sebagainya.
b.   Pasaran antarpulau
      Merupakanpemasaran buat memenuhi kebutuhan pasar di provinsi lain/antar        pulau. Komiditi ini terutama berhubungandengan bahan bakuindustri serta barang komsumsi erti udangsegar, sirip ikan hiu, jagung, rotan serta lain-lain.
c.   pasaran ekspor
      Merupakanpemasaran buat memenuhi kebutuhan pasar pada luar negeri. Sampai      saat ini komoditi ekspor Aceh masihdidominasi produk migas, walaupun            demikianekspor non migas mengalami pemugaran. Komoditi ekspor non migas          antara lain, karet, coklat, kopi,pinang serta lain-lain. Permasalahan ekspor Aceh       terletakpada suasana dan prasarana pelabuhan, sehingga sebagian besar      pelaksanaan ekspor dilakukan melaluipelabuhan Belawan pada Sumatra Utara. Jadi         dengandemikian dapat kita ketahui yang bahwa peluang pasar dan pemasaran         komoditi perkebunan di Aceh sangat baik,baik buat kebutuhan local juga       untukdi ekspor.

III. Kesimpulan
1.   PerekonomianAceh sampai ketika ini masih bertumpu pada sector pertambangan      serta industri migas, yang merupakan komoditiyang tidak diperbaharui. Sedangkan          potensisumber daya alam bagi pengembangan produk komoditi non migas masih            sangat kecil yang telah dimanfaatkan, dilain pihak peluang pasar masih sangat        terbuka.
2. Perlu adanya upaya yang lebih berfokus dari kita semuadalam penyediaan,       penyebaran danpertukaran data fakta harga pasar komoditi, sehingga             masing-masing provinsi dapatmenganalisis peluang pasar buat menaikkan        transaksiperdagangan dalam negeri.



KOMUNIKASI PEMASARAN GLOBAL

Komunikasi Pemasaran Global
Sebuah organisasi wajib mengadaptasikan pesan eksternalnya agar sanggup sinkron dengan syarat negara lokal atau regional. Kebijakan standarisasi sukar dituntaskan lantaran menyangkut pertimbangan strategik serta kemampuan tahu lingkungan dunia secara komprehensip. Di satu sisi kebijakan standarisasi memungkinkan penghematan biaya yg cukup signifikan, konsistensi pesan pada pasar dunia, efektivitas komunikasi, kohesi serta identitas organsasi. Masing-masing merek perusahaan harus mempunyai kepribadian merek yang bertenaga sebagai akibatnya berhasil membentuk identifikasi dunia serta nilai merek superior yg sanggup melintasi banyak sekali budaya yg tidak selaras. 

Para pendukung standardisasi percaya bahwa era desa dunia sudah mendekat dengan cepat, dan bahwa kesukaan dan preferensi semakin menyatu. Menurut argumen standardisasi, karena orang pada mana pun menginginkan produk yg sama dengan alasan yang sama, perusahaan dapat mencapai efisiensi tinggi dengan menyamakan perikianan di semua dunia. Pengiklan yg mengikuti pendekatan terlokasi tidak percaya akan argumen “desa dunia”. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa konsumen masih tetap tidak sinkron serta negara yang satu ke negana yang lain serta hams dicapai dengan perikianan yang diadaptasi menggunakan negara yg bersangkutan. Orang yg mendukung lokalisasi berkata bahwa kebanyakan tindakan konyol diakibatkan pemasang ikian gagal buat memahami dan menyesuaikan pada budaya asing.

Pendapat yg mendukung taktik adaptasi pesan agar mampu memenuhi kebutahan lokal atau regional tertentu didasarkan pada beberapa argumen berikut:
  • Kebutuhan konsumen berbeda-beda serta bervariasi intensitasnya. Asumsi bahwa stimulasi iklan eksklusif yg mempunyai daya tarik universal cenderung tidak realistis. Hampir nir mungkin bahwa konsumen pada banyak sekali negara mempunyai pengetahuan dan potensi yg sama sebagai akibatnya mereka memproses warta menggunakan cara yang baku atau tahu serta mempersepsikan stimulasi pemasaran dengan makna yang sama. Oleh sebab itu, gagasan konsep pesan yg dibuat secara terpusat besar kemungkinannya nir sesuai dengna pasar lokal.
  • Infrastruktur yang diperlukan buat mendukung penyampaian pesan standar sangat bervariasi, baik antar negara juga antar daerah pada negara yg sama.
  • Tingkat pendidikan antar negara berbeda-beda. Ini berarti bahwa kemampuan konsumen untuk memberikan makna pada pesan yg diterima juga bhineka. Demikian jua kemampuan buat memproses informasi jua beraneka ragam, sebagai akibatnya kompleksitas isi pesan harus ditekan serendah mungkin supaya penyampaian warta secara universal mampu sukses.
  • Tingkat dan cara pengendalian terhadap komunikasi pemasaran di setiap negara merupakan refleksi menurut syarat ekonomi, budaya, serta politik setempat. Keseimbangan antara voluntary controls melalui self-regulation dan pengendalian pemerintah melalui peraturan adalah cerminan dari tingkat kematangan ekonomi serta politik negara bersangkutan. Ini berarti bahwa apa yang dianggap sebagai kegiatan komunikasi pemasaran yg mampu diterima pada suatu negara mungkin saja nir boleh pada negara lain.
  • Manajemen lokal terhadap implementasi pesan baku yg ditentukan secara terpusat sangat mungkin tidak efektif lantaran kurangnya rasa kepemilikan atas pesan bersangkutan. Pesan yg didesain oleh perancang lokal buat memenuhi kebutuhan pasar lokal cenderung menerima dukungan serta motivasi yang lebih besar .
Sementara itu, altenatif taktik standarisasi pasar pula didukung sejumlah argumen, antara lain:
  • Meskipun secara geografis tersebar, konsumen berbagai kategori produk mempunyai sejumlah ciri serupa. Hal ini didukung dengan aneka macam tipologi psikografis yg sudah dikembangkan sang beberapa agen periklanan buat para kliennya. Selama citra serta proposisi merek mampu menaruh makna universal, nir perlu didesain pesan merek dalam jumlah besar .
  • Banyak kampanye iklan yg dibuat secara lokal rendah kualitasnya, lantaran kurangnya asal daya lokal, pengalaman serta keahlian. Oleh sebab itu, lebih baik mengendalikan proses total dan membentuk keunggulan komperatif.
  • Karena media, teknologi dan travel internasional berdampak pada poly orang, maka pesan standar untuk penawaran tertentu bisa mendukung terciptanya gambaran merek yang bertenaga.
  • Seperti halnya manajemen lokal yang lebih menyukai kampanye lokal, maka manajemen pusat jua menyukai kemudahan implementasinya dan pengendalian kampanye baku. Ini memungkinkan manajer lokal buat berkonsentrasi pada manajemen kampanye iklan serta terbebas dari tanggung jawab merancang gagasan kreatif serta hal lain yg terkait dengan agen periklanan lokal.
  • Standarisasi pesan pemasaran memungkinkan tercitanya skala prduksi pesan pengemasan, media buying, dan perancangan serta produksi pesan iklan. Di samping itu, prospek konsistensi pesan serta kampanye yang terintegrsi secara horizontal antar negara juga sangat menjanjikan. Pada gilirannya, skala ekonomis yg tercipta mampu menaikkan profitabilitas perusahaan.
Meskipun taktik standarisasi dan adaptasi pesan mempunyai argumen yg masing-masing sama kuatnya, pada praktik jarang ada perusahaan yg menerapkan adaptasi total maupun standarisasi total. Sebaliknya secara umum dikuasai perusahaan lebih memilih pendekatan kontingensi.

Organisasi menyusun pesan baku secara terpusat, tetapi buat memberikan kebebasan pada para manajer di negara tujuan pemasaran buat mengadaptasinya agar mampu memenuhi kebutuhan budaya setempat dengan cara menyesuaikan bahasa dan komponen media lainnya. Ini berarti ada unsur standarisasi dan terdapat pula unsur adaptasi.

DEFINISI PERIKANAN SECARA LENGKAP

Definisi Perikanan -Perikanan menurut undang undang mengacu dalam peraturan perundang undangan no 45 tahun 2009 dimana pengertian atau definisi perikanan yaitu semua kegiatan yg herbi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai menurut  praproduksi, produksi, pengolahan hingga dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan 

Sebagai negara Maritim serta kepulauan Terbesar serta memiliki garis Pantai terpanjangh ke empat pada dunia. Negara  Indonesia memiliki  potensi dan peluang pasar hasil produk kelautan dan perikanan yang cukup menjanjikan. 

Perairan serta jenis ikan yang mengalami Over Fishing


Hal ini ditinjau  menggunakan banyaknya permintaan terhadap produk perikanan yang diperkirakan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk global yg terus meningkat juga, 


Apalagi menggunakan upaya pelestaraian serta menjaga keberlangsungan perikanan serta kesadaran manusia akan arti penting nilai gizi ikan bagi kesehatan dan kecerdasan umat manusia. 
Pada waktu ini perseteruan yang fundamental pada perikanan kita adalah Semakin terdegradasinya tempat asli dan  sumber daya alam serta jasa lingkungan pada daratan yang ditimbulkan antara lain sang meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam, 

jumlah penduduk dan pendapatan rakyat, Serta penggunaan alat penangkap ikan yg tidak ramah lingkungan maka diperlukan sektor perikanan ini bisa sebagai peluang serta  sebagai sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia.

Definisi Perikanan

Secara generik berdasarkan Merriam-Webster Dictionary dimana mendefinisikan perikanan menjadi kegiatan, industri atau demam isu pemanenan ikan atau fauna bahari lainnya. 

Definisi pengertian perikanan tersebut yang hampir serupa juga ditemukan di Encyclopedia Brittanica yg mendefinisikan perikanan menjadi pemanenan ikan, kerang-kerangan (shellfish) dan mamalia bahari. 

SementaraPengertian yg tidak jauh berbeda yaitu Hempel dan Pauly (2004) mendefiniskan perikanan menjadi aktivitas pendayagunaan sumber daya hayati berdasarkan laut (Hempel dan pauly, 2004).

Definisi atau pengertian perikanan ini pada atas memang membatasi pada perikanan bahari atau perikanan tangkap lantaran perikanan memang semula berasal dari aktivitas hunting (berburu) yang harus dibedakan berdasarkan kegiatan farming misalnya budi daya. 

Untuk Pengertian Penangkapan Ikan sendiri menpunyai arti bagian menurut perikanan. Dan Pengertian Perikanan mempunyai arti sendiri

Dalam artian yang lebih luas lagi defenisi perikanan nir saja diartikan kegiatan Penangkapan ikan saja  (termasuk fauna invertebrata lainnya sepertifinfish atau ikan bersirip) Tetapi juga termasuk aktivitas mengumpulkan atau memuat kerang-kerangan, rumput bahari serta asal daya biologi lainnya dalam suatu wilayah geografis perairan eksklusif.

Definisi yg lebih luas diberikan sang Lackey (2005) yg mengartikan perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yakni biota perairan, tempat asal biota, serta manusia menjadi pengguna sumber daya tadi. 


Setiap komponen tersebut akan mempengaruhi performa perikanan. Lackey (2005) kemudian membagi perikanan ke dalam aneka macam grup atau tipe dari beberapa sifat antara lain:

1. Jenis lingkungan: contoh, perikanan air tawar, danau, laut, sungai, bendungan.

wilayah Pengelolaan Perikanan


2. Metode penangkapan ikan: contoh, penangkapan ikan menggunakan trawl, purse seine, dip net, Gillnet, Cashnet atau pun Pancing

3. Jenis akses yg diizinkan: Semisalnya, perikanan menggunakan akses terbuka (open access), perikanan open access menggunakan regulasi, perikanan dengan akses terbatas. 


Dan Indonesia termasuk dalam kategori perikanan Open access menggunakan regulasi. Lantaran ada pelarangan dimana asing tidak boleh menangkap ikan atau ikut pada kegiatan perianan tangkap.

4. Concern organisme, contoh: perikanan salmon, perikananan Rajungan,udang, tuna, kepiting

5. Berdasarkan tujuan penangkapan: perikanan komersial, sub-sisten, perikanan rekreasi. Ataupun perikanan penelitian

6. Derajat kealaman dari fauna target: total menurut alam, semi budi daya, atau total budi daya.
Dalam konteks bahasan perikanan sehari-hari baik tatanan mudah maupun ilmiah, definisi Lackey barangkali yg lebih umum dipakai karena cakupan yg lebih luas daripada definisi yg lain. 

Lebih jauh Lackey (2005) memperkirakan bahwa saat ini kegiatan perikanan sudah melibatkan lebih menurut 4000 spesies hewan perairan dengan dominasi jenis-jenis ikan yg bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, udang, salmon, cod, serta crabs (khususnya di perairan Alaska).

Pengertian Perikanan tidak hanya kegiatan tentang menangkap ikan, namun pengertian perikanan mampu pada lihat berdasarkan beberapa aspek misalnya pengertian perikanan tangkap, pengertian perikanan budidaya serta perngertian perikanan daerah dan perngertian perikanan yang lainnya.

Definisi di atas tentu saja sebatas definisi ilmiah yang berlaku secara umum. Dalam konteks sah, Indonesia mengartikan perikanan melalui pengertian yg dituangkan dalam anggaran perundang-undangan. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang diubah pada UU No 45/2009 mendefinisikan perikanan sebagai:

perikanan yaitu semua aktivitas yg herbi pengelolaan serta pemanfaatan asal daya ikan dan lingkungannya mulai dari  praproduksi, produksi, pengolahan hingga menggunakan pemasaran, yg dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Mengenal Destrcuctive fishing


Perikanan yang begitu luas pengertiannya berakibat pengertian perikanan memiliki makna yg tidak selaras beda yg jelas perikanan indonesia harus bisa menjadi pilar untuk mensejahterakan para nelayanIndonesia.


Definisi Perikanan

CAUSE RELATED MARKETING SEBAGAI BAGIAN DARI CSR

Cause Related Marketing Sebagai Bagian Dari CSR
Perkembangan usaha dalam beberapa tahun terakhir menampakan galat satu nilai yg membawa perubahan fundamental yaitu konsep corporate social responsibility (CSR), atau tanggung jawab sosial. Tanggung jawab yang dimaksud adalah perusahaan meluaskan perannya lebih berdasarkan sekedar memakai sumber-sumber dayanya serta terlibat pada kegiatan yang dirancang buat meningkatkan keuntungan sinkron menggunakan anggaran main. Lebih luas serta mendasar, perusahaan wajib berperilaku mengarah dalam etika serta berkontribusi terhadap kehidupan yang layak bagi rakyat, sehingga dibutuhkan perusahaan bisa meminimalkan efek negatif serta memaksimalkan impak positif menurut kehadiran CSR (Kiroyan, 2006). 

CSR memberitahuakn kecenderungan yg sangat semakin tinggi di dunia global serta pada Indonesia. Adanya pencerahan bahwa laba serta keberlangsungan suatu entitas usaha secara jangka panjang hanya sanggup diperoleh melalui adanya kesejahteraan warga sudah mendorong timbulnya komitmen perusahaan buat melakukan tanggung jawab sosial (Abidin, 2006). Hasil riset SWA (2005) menerangkan bahwa sebesar 80% responden perusahaan telah menyadari pentingnya tanggung jawab sosial bagi perusahaan serta memasukkan unsur-unsur yang sebagai tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya contohnya kepentingan stakeholders serta kepedulian pada masyarakat serta lingkungan dalam kebijakan perusahaan. Penerapan CSR di perusahaan akan membentuk iklim saling percaya pada dalamnya, yg akan meningkatkan motivasi serta komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, serta stakeholders yg lain jua sudah terbukti lebih mendukung perusahaan yg dinilai bertanggung jawab sosial, sebagai akibatnya menaikkan peluang pasar serta keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan memberitahuakn kinerja yg lebih baik serta laba serta pertumbuhan yang semakin tinggi (Kiroyan, 2006).

Menurut Abidin (2006), aktivitas CSR telah ditinjau sebagai kewajiban serta tanggung jawab kegiatan serta taktik buat menjamin keberlangsungan hidup, implementasi nilai-nilai perusahaan serta kegiatan yang bisa menaikkan gambaran perusahaan. Beragamnya informasi sosial yang menjadi perhatian pada tengah-tengah rakyat serta adanya keterbatasan pada perusahaan, seperti kemampuan finansial serta asal daya manusia menghadapkan perusahaan pada tugas buat memilih info sosial yang sempurna sehingga dapat mencapai tujuan yg dibutuhkan berdasarkan pelaksanaan CSR. Sumardy (2006) menyatakan bahwa perusahaan wajib melakukan cause-business-objective analysis, yaitu analisis secara mendalam kesesuaian acara CSR menggunakan misi serta tujuan perusahaan atau merek. Adanya pendapat berdasarkan aneka macam kalangan akan pentingnya intregrasi antara kegiatan CSR serta usaha. Jika intregrasi ke 2 kegiatan ini bisa berjalan sesuai dengan tujuannya, diperlukan terjadi sinergi yg sanggup menguntungkan perusahaan. Khususnya buat kegiatan marketing, beberapa grup menamakan intregrasi ini sebagai CSR marketing, yaitu kegiatan pemasaran seperti pengembangan produk serta promosi yg dihubungkan menggunakan kegiatan CSR (Anonim, 2007). 

Kotler serta Keller (2006) membicarakan bahwa CSR marketing yang berhasil akan menaruh poly keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan tadi diantaranya merupakan lebih mudahnya akuisisi customer serta pasar niche baru, kenaikan penjualan, serta terbentuknya bukti diri merek yg baik. Hanya saja, agar kegiatan CSR bisa efektif serta menaruh efek yg besar , diharapkan taktik serta acara yg berkala menggunakan baik. Terdapat empat hal yg harus diperhatikan pada menyusun taktik kegiatan CSR marketing, yaitu:
  1. Kegiatan CSR wajib memiliki penekanan, merupakan perusahaan harus memilih satu atau beberapa tema yang sebagai penekanan kegiatan CSR-nya, contohnya tema pendidikan, lingkungan hayati, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak memiliki tema yang menjadi fokus akan mengaburkan tujuan kegiatan itu serta bisa menghambat impak yg diharapkan. 
  2. Kegiatan CSR wajib dilakukan secara konsisten. Jika perusahaan melakukan kegiatan CSR-nya secara konsisten pada jangka panjang, kemungkinan akbar akan mendapat kepercayaan berdasarkan stakeholder serta akan menarik mereka buat ikut berpartisipasi. 
  3. Kegiatan CSR dihubungkan dengan merk yang dimiliki perusahaan, bertujuan buat membetuk identitas merk yang baik lewat aktivitas CSR. 
  4. Perusahaan memerekkan kegiatan CSR itu sendiri, misalnya menggunakan cara memberi nama, membuat logo atau slogan tentang aktivitas CSR tadi. Dengan demikian dibutuhkan perusahaan lebih gampang mengkomunikasikan kegiatan CSR mereka kepada stakeholder-nya.
Menurut Kotler serta Lee (2005), kegiatan CSR marketing terdiri menurut enam bentuk, diantaranya corporate cause promotion, cause-related marketing, corporate social marketing, corporate philanthropy, community volunteering serta socially responsibility business practices. Ketika sebuah perusahaan menyatakan bahwa sebagian berdasarkan keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan buat aktivitas sosial eksklusif, maka perusahaan tersebut sedang melakukan apa yang disebut sebagai cause-related marketing. 

Cause-related marketing sebagai populer pada global usaha pada beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 1990 nilai menurut cause-related marketing meningkat lebih dari 500% tanpa adanya tanda yg menurun pada lalu hari. Selama periode tahun 1990-an cause-related marketing menjadi alat pemasaran yg efektif bagi perusahaan. Popularitas cause-related marketing terus semakin semakin tinggi sejak terjadinya tsunami di Asia dalam tahun 2004 serta menjadi tren dikalangan perusahaan (Endacott, 2004). 

Polonski serta Speed (2001) menjelaskan cause-related marketing merupakan bantuan menurut perusahaan pada penerima atau cause yg berbasis berdasarkan jumlah pendapatan yg diterima perusahaan menurut output penjualan produk, Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan cause-related marketing merupakan kegiatan pemasaran, suatu cara agar perusahaan sebagai baik dengan melakukan aktivitas yang baik. Manfaat dari cause-related marketing menurut Endacott (2004) adalah situasi yang saling menguntungkan bagi bisnis, penerima (cause) serta konsumen. Konsumen memperoleh kesempatan buat bisa membantu cause. Penerima (cause) program cause-related marketing akan memberikan laba bagi perusahaan berupa publisitas yang dapat meningkatkan penjualan produk serta good corporate citizen. Media primer perusahaan pada mempromosikan kegiatan cause-related marketing merupakan dengan memakai iklan di banyak sekali media. 

Iklan cause-related marketing merupakan bentuk presentasi nonpersonal serta kenaikan pangkat ilham, barang serta jasa yg dikendalikan sang perusahaan tertentu buat memberitahukan serta membujuk segmen pasar yang dipilih sang perusahaan tersebut. Iklan tadi merupakan komunikasi searah dari pembuat pada konsumen, yang bertujuan buat menyampaikan pesan, memberitahukan produk serta jasa, atau buat menarik konsumen serta merangsang pembelian melalui kampanye cause-related marketing. Oleh karena itu, iklan mengenai cause-related marketing yg ditayangkan melalui mengembangkan media wajib dirancang menggunakan baik sebagai akibatnya menarik pemirsanya (Belch serta Belch 2004).

Cause-related marketing meningkatkan pengetahuan yg majemuk terhadap imbas serta kinerja pemasaran. Sen serta Bhattacharya (2001) membicarakan adanya dampak yg positif berdasarkan cause-related marketing yg berdampak meningkatnya persepsi konsumen terhadap citra perusahaan. Webb serta Mohr (1998) menyatakan adanya konsumen yang membeli produk dengan penawaran acara cause-related marketing sang perusahaan nir menaruh impak positif terhadap konduite pembelian produk. Sebuah studi yg dilakukan oleh Creyer serta Ross (1997) memperlihatkan konsumen akan memberikan perhatian lebih kepada perusahan yg memiliki etika yang baik serta menjauhi perusahaan yg tidak beretika. Lebih lanjut, Barone et al. (2000) menemukan konsumen yg berpindah pilihan produk kepada perusahaan lain karena perusahaan tersebut menerapkan acara cause-related marketing, yakni terjadinya penilaian secara umum oleh konsumen yang lebih tertarik kepada perusahaan yang melakukan acara cause-related marketing ketika menunjukkan produk baru. 

Cause-related marketing dapat menaikkan aktivitas pemasaran produk tergantung pada pola kampanye acara melalui berbagai macam taktik yang sempurna. Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa jenis taktik yang dilakukan dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu cause-related marketing strategis serta cause-related marketing taktis. Perusahaaan pada mendeterminasikan cause-related marketing strategis serta taktis melalui empat pendekatan, yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment) serta keterlibatan manajemen (management involvement). Determinasi empat faktor tadi apabila mempunyai nilai yg rendah biasanya memperlihatkan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara taktis, sedangkan apabila memiliki nilai yang tinggi memberitahuakn perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing secara strategis. Pendekatan cause-related marketing tidak sepenuhnya wajib secara taktis juga strategis, namun setidaknya mempunyai ciri dari bentuk taktis serta strategis. Empat dimensi tersebut sebagai dasar yg baik bagi perusahaan buat terlibat dalam cause-related marketing. 

Penelitian yg dilakukan sang peneliti merupakan replikasi berdasarkan eksperimen penelitian Brink et al (2006). Program cause-related marketing diduga berpengaruh positif dalam membangun loyalitas merek. Loyalitas merupakan konsep krusial khususnya pada syarat pasar menggunakan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun tingkat persaingannya sangat ketat. Keberadaan konsumen yg loyal terhadap suatu merek sangat dibutuhkan agar perusahaan bisa bertahan hidup. Adanya aktivitas cause-related marketing diperlukan bisa menaikkan loyalitas pelanggan terhadap merek produk. Strahilevitz serta Myers (1998) menjelaskan bahwa hubungan antara cause-related marketing menggunakan loyalitas merek bisa ditingkatkan dengan adanya keterlibatan konsumen. Kampanye cause-related marketing lebih efektif menggunakan memberikan kabar yg luas pada konsumen supaya membeli produk serta menyumbangkan sebagian dananya untuk aktivitas filantropi. Keterlibatan konsumen bisa dijadikan menjadi faktor pemoderator antara cause-related marketing menggunakan loyalitas terhadap merek. Keberadaan konsumen yang loyal terhadap suatu merek sangat diperlukan supaya perusahaan dapat bertahan hayati. 

1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler serta Keller (2006) mengungkapkan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yg berbasis pengembangan, desain, implementasi serta aktivitas proses pemasaran yang dikenali mempunyai nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan keseluruhan didasari pada cara buat mengatasi menyebarkan pertarungan pemasaran yg kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran keseluruhan merupakan integrasi menurut empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha memilih apa hasrat, kebutuhan, serta ketertarikan atau kepentingan berdasarkan sasaran pasar. Organisasi lalu menaruh nilai superior pada konsumen menggunakan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen serta masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar untuk dapat menyeimbangkan tiga pertimbangan dalam merogoh keputusan tentang kebijakan pemasaran, yaitu laba perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan rakyat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, bonus serta teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler serta Lee, 2005). 

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, anugerah fasilitas, bonus-bonus serta perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan kelompok sasaran. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yang condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan warga yg bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menyebutkan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated planning and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yang berkepentingan buat mengubah perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk menurut produk sosial diantaranya berupa wangsit sosial, yaitu bentuk menurut keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan dapat juga merupakan sebuat sikap atau sebuah nilai.

Belch serta Belch (2004) mengungkapkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral berdasarkan societal marketing serta pertukaran ini nir hanya terbatas pada pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya dalam interaksi antara perusahaan donor serta lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu info sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi menurut perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor tidak menerima bentuk keuntungan material serta kontribusi yg diberikan. Donasi yg diberikan sang perusahaan adalah pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti misalnya feelings of goodwill serta altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan berdasarkan frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah mempertinggi jumlah pengguna kartu kredit, yang lalu berkembang menggunakan strategi pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty pada Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, serta satu dollar menurut penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 persen, dibandingkan dengan periode yg sama tahun sebelumnya. Kampanye yang dilakukan American Express buat memperbaiki patung Liberty menghasilkan dana sebanyak US$ 1,7 Milyar (Westberg, 2004). 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yg mengungkapkan keluarnya konsep sejalan dengan teori yg hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Cause-related marketing merupakan aktivitas yang khusus yaitu perusahaan berjanji pada konsumen buat mendonasikan sumberdaya perusahaan dari setiap penjualan produk atau jasa kepada orang-orang yg membutuhkan donasi. Kampanye cause-related marketing memiliki dua tujuan, yaitu buat mendukung kegiatan sosial serta untuk menaikkan hasil pemasaran. Program cause-related marketing dilaksanakan setidaknya sang tiga stakeholders, yaitu konsumen perusahaan, shareholders serta satu stakeholder yg nir berafiliasi eksklusif dengan aktivitas komersial berdasarkan perusahaan (Varadarajan serta Menon, 1988). 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yang sanggup diperoleh sang perusahaan serta atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal telah tertarik untuk melakukan cause yang lalu dipromosikan sang perusahaan. Keuntungan kedua adalah tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial eksklusif. Manfaat ketiga, aktivitas sosial bisa ditentukan oleh perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya dengan kegiatan sosial eksklusif. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan bisa mendapatkan ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan info tertentu, serta konsumen yang tertarik menggunakan gosip tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk eksklusif menggunakan info yang sebagai perhatiannya. Keempat, output penjualan mampu meningkat karena tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan dengan pihak-pihak yg mempunyai kepedulian yg sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yg kentara perbedaan diantara cause-related marketing dengan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing tidak termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan dalam cause-related marketing adalah penjualan serta promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship adalah aktivitas yg melibatkan uang serta barang kepada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk tertentu serta nama perusahaan melalui aktivitas yg diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship menggunakan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang kedua pihak tentang jumlah serta cara donasinya. Perbedaan antara cause-related marketing dengan philanthropy perusahaan serta sponsorship tersaji dalam Tabel  berikut:

Tabel Perbedaan antara Philanthropy Perusahaan, Sponsorships serta Cause-Related Marketing
Aktivitas

Philanthropy Perusahaan

Sponsorships

Cause-Related Marketing

Fokus Utama
Organisasi
Produk serta Organisasi
Produk
Susunan Waktu
Berkelanjutan
Terbatas
Dapat berkelanjutan serta terbatas
Organisasi
Manajemen Puncak
Departemen Pemasaran
Departemen Pemasaran
Tujuan
Meningkatkan kompetensi organisasi buat aktivitas sosial
Meningkatkan brand awareness serta target market
Meningkatkan penjualan produk
Asosiasi serta Sumber daya
Tidak ada
Asosiasi untuk pengenalan serta perhatian konsumen terhadap produk
Asosiasi supaya konsumen mempunyai donasi sosial
Hasil Kunci
Tidak ada
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Pengaruh terhadap penjualan
Tidak ada
Berpengaruh secara nir langsung
Berpengaruh secara langsung
Penerimaan dana
Tidak ada
Eksklusif pada sponsor
Terbagi pada perusahaan serta sponsor

Menurut Kotler serta Lee (2005), terdapat berbagai macam cara untuk melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (2) jumlah uang tertentu setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (3) persentase tertentu dari penjualan produk, (4) proporsi yang tidak ditentukan sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan bersih, (7) penawarannya mungkin terkait dengan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku untuk kerangka waktu tertentu atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi (bukan dengan waktu). Sumber: Sundar, (2007)

Dari berbagai contoh cause-related marketing di Indonesia, terdapat kecenderungan menggunakan jumlah uang tertentu pada setiap produk yang terjual, seperti yang dilakukan PT Unilever Indonesia Tbk terhadap produk sabun Lifebouy serta produk es krim Walls. PT. Unilever Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan yang memiliki perhatian lebih terhadap kegiatan tanggung jawab sosial. PT. Unilever Indonesia menyadari pentingnya memberi serta berbagi, bukan semata untuk meningkatkan reputasi, tetapi membantu perusahaan untuk terus tumbuh serta berkembang. Bagi Unilever Indonesia (UI), tanggung jawab sosial tidak terpisahkan dari bisnis. Setiap hari, begitu banyak orang Indonesia memakai produknya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, kesehatan, serta kebersihan. Mereka ikut membantu perusahaan untuk terus tumbuh serta menjadi perusahaan fast moving consumer goods terkemuka. Berbagai manfaat dari pertumbuhan bisnis telah menjadi bagian dari budaya perusahaan yang telah diwujudkan dengan mengikutsertakan usaha kecil menengah (UKM) dalam kegiatan produksi, menciptakan kesempatan kerja, serta memberikan manfaatnya kembali kepada masyarakat (Susanto, 2007).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi keluarga Indonesia untuk mendukung program peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- pada setiap pembelian sabun batang Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan pribadi. Bahkan dana tersebut cukup untuk membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta dalam memberikan cap kedua tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka untuk mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan serta promosi yang bertanggung jawab, tetapi juga memadukan kampanye sosial kesehatan bersama promosi produk. Di dalam komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi juga pesan-pesan pendidikan mengenai kesadaran hidup sehat (Susanto, 2007). 

Selain program “Lifebouy Berbagi Sehat”, PT. Unilever Indonesia juga melakukan program cause-related marketing melalui produk es krim Walls. Berangkat dari rasa keprihatinan serta kepedulian terhadap kemajuan pendidikan anak Indonesia saat ini, Unilever menyelenggarakan program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” yang bertujuan untuk membantu menyekolahkan anak-anak kurang mampu dengan dana yang didapat dari hasil penjualan es krim Walls serta akan disumbangkan melalui Dompet Dhuafa. Melalui program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta”, Wall’s akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma serta varian lainnya yang terjual, kepada 1.000 anak kurang mampu yang berprestasi di 33 propinsi di Indonesia melalui lembaga terpercaya, Dompet Dhuafa. Program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” diselenggarakan mulai September 2007, menjelang bulan suci Ramadhan, yang merupakan momen istimewa untuk berbagi serta memberi kepada sesama. Program ini berakhir pada Desember 2007 (Anonim, 2007) 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing dalam pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit serta konsumen. Namun, pengaruh yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi tertentu, yakni pola kampanye program cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam kampanye cause-related marketing terdiri dari dua bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis memiliki perbedaan yang mendasar dengan pola cause-related marketing strategis, namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), serta keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema dari cause-related marketing taktis serta strategis

Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka waktu yang lama, keterlibatan manajemen yang menyeluruh dari puncak hingga bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan dalam program besar, serta adanya kesesuaian hubungan yang tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Perusahaan yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka waktu yang terbatas serta dalam periode waktu tertentu, keterlibatan manajemen dalam program sebatas kelompok yang dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan tidak sebesar strategic cause-related marketing, serta kesesuaian hubungan yang tidak tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar (Varadarajan serta Menon, 1988). 

a. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan kegiatan cause-related marketing diyakini menaruh pengaruh positif bagi perusahaan. Namun demikian, dampak positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah menerima inisiatif sosial buat lalu memberikan reward pada perusahaan. Asosiasi positif yg terbentuk menurut suatu inisiatif sosial akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut pada hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang memiliki peran penting dalam proses evaluasi konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar pada level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor serta aktivitas filantropi untuk memutuskan apakah pantas bagi perusahaan tersebut untuk terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen memiliki keyakinan yang kuat bahwa perusahaan seharusnya mensponsori isu-isu sosial yang memiliki asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa dalam cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Congruence atau fit berasal dari asosiasi bersama antara merek serta filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas dengan target segmen spesifik, corporate image associations yang terbentuk akibat aktivitas merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon serta Khan, 2003). Definsi lain mengenai congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) sebagai kesesuaian antara perusahaan serta isu sosial yang dapat diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa peran penting congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu pada suatu hubungan, misalnya meningkatkan elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau hubungan itu sendiri ketika dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta informasi yang ada. Alasan kedua adalah congruence berpengaruh pada tipe spesifik yang timbul dalam pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mempengaruhi evaluasi dari dua objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan untuk mengurangi sikap mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial serta mempertanyakan motif dari apa yang dilakukan oleh perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menjelaskan bahwa incongruent yang dirasakan lemah atau tidak ada pada aliansi antara organisasi menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih dalam pada informasi yang ada untuk menentukan alasan dari aliansi tersebut. 

b. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer serta Sergeant (2006), salah satu dimensi dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yang panjang dalam suatu hubungan terlihat adalah penting bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yang panjang adalah bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan waktu yang lama, maka akan terbentuk hubungan partnership yang akan membentuk komitmen perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) dalam Wymer serta Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yang lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit untuk tidak mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang diharapkan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat publisitas serta pengenalan yang besar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) membicarakan bahwa beberapa perusahaan usaha tidak tertarik terhadap interaksi-interaksi jangka panjang pada acara cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan organsiasi non profit melalui pembatasan ketika. Perusahaan memandang hubungan-hubungan pada jangka waktu yg lebih pendek dipercayai bisa memperoleh sasaran hasil yg lebih baik, serta memperoleh lebih poly manfaat-manfaat dalam hal biaya -biaya yang lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas bisnis menggunakan tujuan primer buat mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung untuk mempunyai asa-asa yg lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), masih ada dua bentuk durasi acara cause-related marketing dari waktu, yaitu:
  1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka ketika tiga bulan.
  2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka waktu yang panjang, namun tidak secara permanen. 
Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat meningkatkan brand equity melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tersebut. Asosiasi kedua pihak menciptakan ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan serta merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat mengatur kembali asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yang menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat meningkatkan dengan mudah serta kuat investasi mereka dalam hal yang terkait dengan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

c. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned serta bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis serta metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat dilihat sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap kegiatan sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing memiliki dua tujuan utama, yaitu meningkatkan performa perusahaan serta memberikan bantuan sosial yang berguna, dengan meningkatkan anggaran yang sebagian dari keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan untuk kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki anggaran yang tetap sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari anggaran cause-related marketing lebih banyak digunakan melalui iklan yang ditayangkan di suratkabar atau televisi untuk mempromosikan kegiatan cause-related marketing tersebut. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yang positif dari konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak langsung di sisi lainnya adalah produk yang berkaitan dengan program cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

d. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen serta dukungan dengan penuh antusias dari karyawan akan menjadikan program-program tersebut tidak berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program-program tersebut akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) menjelaskan faktor utama yang dapat meningkatkan kesetiaan pelanggan dalam suatu kegiatan pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing adalah penting bagi suatu kemitraan untuk tidak mencari keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen puncak perusahaan yang dapat mendukung program cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang tinggi dari perusahaan untuk kemitraan dalam jangka waktu yang panjang, yang pada akhirnya akan membangun loyalitas dengan konsumen. Ketika mengembangkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu memahami keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yang paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai dengan kemampuan perusahaan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yg herbi CSR mempunyai tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen puncak, serta pemilik serta sukarelawan dari berbagai unit dalam perusahaan yang terkena dampak atau terlibat dengan isu-isu seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas penilaian selanjutnya, dapat juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih menjamin tercapainya tujuan serta penerimaan dari aktivitas cause-related marketing dalam CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, serta aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip serta dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara khusus memiliki proses pengambilan keputusan yang spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari kegiatan operasionalnya, aktivitas-aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan produk serta layanan yang dihasilkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan informasi-info krusial yang sedang hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi dengan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah krusial untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, lantaran stakeholder bisa melihat menjadi kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka tentang perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka tentang keberhasilan pada rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

Periklanan pada Cause-Related Marketing 
Menurut Belch serta Belch (2004), iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Posisi strategis iklan korporat dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, serta cause-related advertising. Seluruh iklan tersebut diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra serta reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan produk, apalagi membujuk orang untuk membeli, tetapi arahnya sebagai alat kehumasan (public relations). Iklan dilakukan untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, iklan korporat terkadang digunakan untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif serta para profesional, atau khalayak spesifik. 

Salah satu metode dalam pemasaraan yang saat ini cukup populer di dunia adalah cause-related marketing yang membangun merek dengan membuat suatu hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal. Gaya pemasaran yang berdimensi sosial serta empatik dapat melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar mengeluarkan uang untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk membantu memecahkan problema sosial. 

Beberapa promosi cause-related marketing bukan saja membebaskan perusahaan untuk menyediakan dana promosi tambahan, tetapi malah meraup dana melalui konsumen. Dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah alat kehumasan yang peduli. Keuntungan perusahaan diperoleh dari publisitas isu sosial yang membutuhkan donasi amal yang cukup besar. Gaya promosi simpatik semacam ini banyak diterapkan pada era tahun 2000-an Sejak tahun 1990, investasi promosi yang ditanamkan perusahaan dalam program cause-related marketing terus meningkat sebesar 300%, mencapai $ 828 juta di tahun 2002 (Kotler serta Lee, 2005).

Keterlibatan Konsumen dalam Produk (Consumer Product Involvement) 
Berdasarkan Traylor (1981), keterlibatan produk didefinisikan sebagai derajat tingkat kepentingan seorang konsumen untuk membeli suatu produk, sedangkan keterlibatan konsumen dalam produk didefinisikan sebagai kepentingan personal yang terlibat dengan kategori dari produk. Dimensi dari keterlibatan menurut Quester serta Lim (2003) terdiri atas:

1. Interest (harapan)
Interest adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan memiliki nilai yang penting. Elemen interest adalah kepentingan pada produk, keinginan pada produk serta permasalahan pada produk.

2. Pleasure (kesenangan)
Pleasure adalah nilai hedonis dari produk yang memiliki kemampuan untuk menyediakan kenyamanan serta kesenangan. Elemen dari pleasure adalah kesenangan ketika membeli produk serta kesenangan memiliki produk.

3. Sign (pertanda)
Sign adalah nilai produk yg diekspresikan sang seseorang. Elemen sign berupa personifikasi konsumen pada menentukan produk.

4. Risk Importance (resiko krusial)
Risk importance adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang diasosiasikan pada pilihan produk buruk. Elemen risk importance terdiri dari nilai penting ketika melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai penting ketika produk tidak nyaman serta ketika membuat kesalahan pilihan.

5. Risk Probability (resiko kemungkinan) 
Risk probability adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk. Elemen risk probability adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian dalam mengambil produk serta kerumitan dalam mengambil keputusan.

Quester serta Lim (2003) mengungkapkan bahwa produk dengan keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi kepuasan (sign) dapat memiliki produk sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat pilihan (risk importance) serta mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi pada produk. 

Menurut Assael (1998), definisi kognitif dari loyalitas merek menunjukkan loyalitas merepresentasikan komitmen serta keterlibatan konsumen dalam produk. Loyalitas terhadap merek akan tinggi ketika konsumen secara personal terlibat dengan merek serta melakukan pembelian. Hal ini menunjukkan keterlibatan produk tinggi, sehingga merek merupakan sumber identifikasi diri. Contoh produk dengan keterlibatan tinggi adalah telepon genggam, kosmetik, sepatu serta rokok. Apabila konsumen dalam membeli produk tanpa komitmen, maka keterlibatan konsumen pada produk rendah. Konsumen tidak memiliki opini yang kuat terhadap merek produk. Contoh produk dengan keterlibatan produk rendah adalah sabun, bolpen, serta sikat gigi.

Pembuatan keputusan konsumen tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan tingkat keterlibatan konsumen. Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi spesifik. Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan serta ditimbulkan oleh stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi konsumen yang pada akhirnya menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.

Assael (1992) menyatakan terdapat dua tipe keterlibatan konsumen yaitu keterlibatan situasional (situational involvement) serta keterlibatan tahan lama (enduring involvement). Keterlibatan situasional hanya terjadi seketika pada situasi khusus serta temporer sifatnya. Keterlibatan situasional tercipta dari simbol-simbol nilai kelompok rujukan pada suatu produk (bedge value) serta adanya resiko pembelian. Konsumen akan terlibat secara situasional pada produk-produk yang ada hubungannya dengan simbol-simbol serta nilai-nilai kelompok rujukan. Keterlibatan situasional disebabkan oleh adanya resiko dalam pembelian, karena konsumen merasakan adanya ketidakpastian mengenai keputusan pembelian serta adanya akibat buruk yang potensial dari pembuatan keputusan. 

Tipe keterlibatan tahan lama (enduring involvement) berlangsung lebih lama serta lebih permanen sifatnya, artinya tingkat keterlibatan konsumen terhadap suatu merek produk lebih memperhatikan resiko sosial yang mungkin diterima oleh konsumen. Keterlibatan tahan lama mendorong keputusan pembelian yang penuh pertimbangan, informasi alternatif banyak dikumpulkan, serta evaluasi alternatif pun dilakukan namun lebih cenderung loyal di kemudian hari. Informasi alternatif tidak banyak dikumpulkan dari kehadiran keterlibatan situasional. Keterlibatan situasional dapat berangsur menjadi keterlibatan permanen bila ternyata pembeliannya yang tiba-tiba tersebut memenuhi kebutuhan serta keingianannya yang telah lama tersimpan dalam benak konsumen (Kotler serta Keller, 2006).

Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Merek merupakan nama, tanda, simbol rancangan atau kombinasi dari hal-hal yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang kelompok penjual serta untuk membedakannya dari produk pesaing (Kotler serta Keller, 2006). Aaker (1991) dalam Brink et al. (2006) mendefinisikan loyalitas merek (brand loyalty) sebagai situasi yang merefleksikan seberapa suka pelanggan akan berpindah ke merek lain, khususnya saat merek melakukan perubahan baik itu pada harga atau fitur produk. Loyalitas merek yang didasarkan pada pelanggan merupakan inti dari ekuitas merek (brand equity) serta merupakan ukuran pelengkap yang dimiliki konsumen dari sebuah merek. Loyalitas merek secara kualitatif berbeda dengan dimensi utama dari ekuitas merek lainnya, karena lebih mengarah pada pengalaman penggunaan. Loyalitas merek tidak dapat muncul tanpa pembelian serta pengalaman penggunaan terlebih dahulu.

Loyalitas merek merupakan indikator kedekatan pelanggan pada sebuah merek. Bila loyalitas merek meningkat, keeratan kelompok pelanggan terhadap pesaing dapat dikurangi. Loyalitas merupakan indikator ekuitas merek yang berkaitan dengan penjualan serta laba masa depan. Beberapa pengertian loyalitas merek berikut ini didasarkan pada pendekatan sikap sebagai komitmen psikologis serta pendekatan keperilakuan yang tercermin dalam perilaku beli aktual. Dharmmesta (1999) telah mengklarifikasi istilah tersebut melalui definisi yang mencakup enam kondisi yang secara kolektif memadai sebagai berikut:

Loyalitas merek adalah (1) respon keperilakuan yaitu pembelian, (2) yang bersifat bias (nonrandom), (3) terungkap secara terus menerus, (4) oleh unit pengambilan keputusan, (5) dengan memperhatikan satu atau beberapa merek alternatif dari sejumlah merek sejenis, serta (6) merupakan fungsi proses psikologis (pengambilan keputusan evaluatif). 

Menurut definisi tersebut, penelitian tentang loyalitas merek selalu berkaitan dengan preferensi konsumen serta pembelian aktual, meskipun bobot relatif yang diberikan pada kedua variabel itu dapat berbeda, bergantung pada bidang produk, atau merek yang terlibat serta faktor situasional yang ada pada saat pembelian tertentu dilakukan. Pemahaman tentang hubungan antara loyalitas merek secara psikologis serta faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian mencerminkan informasi kritis yang dapat mempengaruhi pengembangan rencana serta strategi pemasaran. Sebagai contoh, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap perbedaan harga atau terhadap kondisi kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih besar pada penetapan harga kompetitif serta alokasi sumber yang lebih banyak untuk mempertahankan distribusi dibandingkan dengan loyalitas merek yang kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.

Mowen serta Minor (1998) seperti dikutip dalam Dharmmesta (1999) menggunakan definisi loyalitas merek dalam arti kondisi konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, serta bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini juga didasarkan pada kedua pendekatan yaitu keperilakukan serta sikap. Boulding et al (1993) dalam Dharmmesta (1999) juga mengemukakan bahwa terjadinya loyalitas merek pada konsumen disebabkan oleh adanya pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tersebut yang terakumulasi secara terus-menerus, disamping adanya persepsi tentang kualitas produk. Definisi yang dikemukakan didasarkan pada kedua pendekatan, yaitu keperilakuan serta sikap. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keperilakuan, maka perlu dibedakan antara loyalitas merek serta perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan di dalamnya. Sebaliknya, loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.

Menurut Dharmmesta (1999), masih ada 2 pendekatan yang bisa dipakai buat tahu loyalitas:

1. Pendekatan keperilakuan (behavioral approach)
Merek didefinisikan dengan berbagai ukuran perilaku, yaitu runtutan pembelian, proporsi pembelian, serta probabilitas pembelian.

2. Pendekatan kesikapan (attitudinal approach)
Pendekatan ini menekankan pada komitmen psikologis terhadap merek. Dalam pendekatan kesikapan, ukuran yang dipakai meliputi kepuasan, komitmen serta niat. Riset loyalitas yang menekankan pada sikap dipandang lebih penting serta bermanfaat karena sikaplah yang mendorong berperilaku tertentu.

Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yg sesungguhnya bisa dilakukan menggunakan menguji:
1. Loyalitas kognitif merupakan liputan merek yg dipegang sang konsumen (yaitu keyakinan konsumen) harus memilih dalam merek fokal yang dipercaya superior dalam persaingan.
2. Loyalitas afektif adalah taraf kesukaan konsumen arus lebih tinggi daripada merek saingan, dehingga ada preferensi afektif yang kentara dalam merek fokal.
3. Loyalitas konatif merupakan struktur niat konsumen terhadap merek fokal, merupakan konsumen wajib mempunyai niat buat membeli merek fokal, bukan merek lain ketika keputusan beli dilakukan.
4. Loyalitas tindakan adalah loyalitas yang merupakan perilaku atau tindakan atas kontrol tindakan yang merupakan pengembangan dari loyalitas konagtif. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi meruapakn kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak serta pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. 

Loyalitas yang sesungguhnya akan terjadi hanya ketika patronase pengulangan muncul bersama sikap relatif yang tinggi. Jika sikap relatifnya rendah, maka loyalitas dapat dianggap palsu atau pura-pura yang tidak diharapkan akan terjadi terus. Konsumen pada kondisi ini (inersia) dapat melakukan pembelian ulang karena hanya satu merek yang tersedia di penjual. Jika patronase pengulangan serta sikap relatifnya sama-sama rendah, tidak terjadi loyalitas. Akan tetapi, kebutuhan yang bersifat sering untuk suatu produk atau layanan, pembelian ulang yang rendah pada suatu merek masih dapat memberikan harapan bagi pemasar apabila dapat ditanamkan sikap relatif yang tinggi pada konsumen.

Loyalitas terhadap merek tidak terbentuk secara instan, perlu waktu panjang untuk menciptakannya, dari hasil akumulasi pengalaman berinteraksi antara konsumen dengan merek tersebut, disebut dengan pengalaman merek (brand experience). Loyalitas dapat terbentuk apabila konsumen menemukan bahwa pengalaman merek (brand experience) sama dengan keyakinan merek (brand beliefs). Namun yang seringkali terjadi adalah pengalaman merek (brand experience) berlawanan dengan keyakinan merek (brand beliefs). Apa yang diyakini oleh konsumen akan didapat saat mencoba (trial) sebuah produk atau jasa, ternyata tidak diperolehnya. Pada kondisi ini proses konversi mencoba (trial) ke pembelian kembali (repeat purchase) atau pembelian kembali (repeate purchase) menuju loyalitas merek (brand loyalty) menjadi terhenti. Untuk memperoleh loyalitas merek, perusahaan harus berusaha untuk memberikan pengalaman merek (brand experience) yang terbaik serta konsisten dari waktu ke waktu, dari sejak interaksi awal hingga interaksi-interaksi berikutnya. Setelah terbentuk loyalitas, walaupun masih mungkin terpengaruh oleh promosi kompetitor, tetapi peluangnya menjadi lebih kecil untuk berpindah (Kotler serta Keller, 2006). Beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang memiliki pelanggan dengan loyalitas merek yang kuat adalah:
1. Perusahaan akan mengeluarkan biaya pemasaran yang relatif lebih kecil karena tingkat kesadaran serta kesetiaan merek pelanggan yang tinggi.
2. Perusahaan akan mempunyai posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor serta pengecer karena pelanggan mengharapkan mendapatkan merek tersebut.
3. Perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi berdasarkan pesaingnya lantaran merek tersebut mempunyai kualitas yang diyakini lebih tinggi.
4. Perusahaan bisa lebih mudah buat melakukan ekspansi merek lantaran merek tersebut mempunyai dapat dipercaya yg tinggi.
5. Merek itu memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang ketat.

Menurut Dharmamesta (1999), secara umum loyalitas merek dapat diukur menggunakan cara menjadi berikut :
1. Runtutan pilihan-merek (merk-choice sequence),
2. Proporsi pembelian (proportion of purchase),
3. Preferensi merek (brand preference), dan
4. Komitmen merek (merk commitment).

Cara pertama serta kedua merupakan pendekatan keperilakuan (behavioral approach), sedangkan cara ketiga serta keempat termasuk dalam pendekatan sikap (attitudinal approach). Dalam prakteknya, pengidentifikasian loyalitas merek harus dilakukan secara terus-menerus. Basis harian, mingguan, atau bulanan dapat dipakai sesuai dengan karakteristik keputusan beli konsumen. Untuk pembelian bahan makanan misalnya, pengidentifikasian loyalitas merek dapat dilakukan secara harian atau mingguan. Perlu diperhatikan juga bahwa jika konsumen membeli produk-produk tertentu karena pengaruh promosi penjualan dari pemasar serta bukannya karena kualitas positif intrinsik produk tersebut, maka konsumen akan memiliki kebiasaan beli hanya ketika diadakan promosi penjualan.

CAUSE RELATED MARKETING SEBAGAI BAGIAN DARI CSR

Cause Related Marketing Sebagai Bagian Dari CSR
Perkembangan usaha dalam beberapa tahun terakhir menampakan salah satu nilai yang membawa perubahan mendasar yaitu konsep corporate social responsibility (CSR), atau tanggung jawab sosial. Tanggung jawab yg dimaksud adalah perusahaan meluaskan kiprahnya lebih dari sekedar menggunakan asal-sumber dayanya serta terlibat dalam kegiatan yg didesain buat menaikkan keuntungan sinkron menggunakan aturan main. Lebih luas serta fundamental, perusahaan harus berperilaku menunjuk pada etika serta berkontribusi terhadap kehidupan yang layak bagi rakyat, sehingga diperlukan perusahaan dapat meminimalkan efek negatif serta memaksimalkan impak positif dari kehadiran CSR (Kiroyan, 2006). 

CSR menunjukkan kesamaan yg sangat semakin tinggi pada global dunia serta pada Indonesia. Adanya pencerahan bahwa laba serta keberlangsungan suatu entitas bisnis secara jangka panjang hanya mampu diperoleh melalui adanya kesejahteraan warga telah mendorong timbulnya komitmen perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial (Abidin, 2006). Hasil riset SWA (2005) memperlihatkan bahwa sebesar 80% responden perusahaan telah menyadari pentingnya tanggung jawab sosial bagi perusahaan dan memasukkan unsur-unsur yang sebagai tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, seperti misalnya kepentingan stakeholders dan kepedulian dalam rakyat dan lingkungan pada kebijakan perusahaan. Penerapan CSR di perusahaan akan membangun iklim saling percaya pada dalamnya, yang akan mempertinggi motivasi serta komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dievaluasi bertanggung jawab sosial, sebagai akibatnya meningkatkan peluang pasar serta keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan memberitahuakn kinerja yg lebih baik dan laba serta pertumbuhan yang meningkat (Kiroyan, 2006).

Menurut Abidin (2006), kegiatan CSR telah dilihat menjadi kewajiban dan tanggung jawab aktivitas dan taktik buat mengklaim keberlangsungan hidup, implementasi nilai-nilai perusahaan dan aktivitas yg bisa menaikkan gambaran perusahaan. Beragamnya isu sosial yg menjadi perhatian di tengah-tengah rakyat serta adanya keterbatasan pada perusahaan, seperti kemampuan finansial serta sumber daya insan menghadapkan perusahaan pada tugas buat memilih informasi sosial yg sempurna sehingga dapat mencapai tujuan yg diharapkan menurut pelaksanaan CSR. Sumardy (2006) menyatakan bahwa perusahaan wajib melakukan cause-business-objective analysis, yaitu analisis secara mendalam kesesuaian acara CSR dengan misi serta tujuan perusahaan atau merek. Adanya pendapat menurut berbagai kalangan akan pentingnya intregrasi antara kegiatan CSR serta usaha. Jika intregrasi kedua aktivitas ini bisa berjalan sinkron dengan tujuannya, diharapkan terjadi sinergi yang mampu menguntungkan perusahaan. Khususnya untuk kegiatan marketing, beberapa gerombolan menamakan intregrasi ini menjadi CSR marketing, yaitu aktivitas pemasaran seperti pengembangan produk dan promosi yang dihubungkan menggunakan aktivitas CSR (Anonim, 2007). 

Kotler serta Keller (2006) membicarakan bahwa CSR marketing yang berhasil akan memberikan banyak laba bagi perusahaan. Keuntungan tadi antara lain merupakan lebih mudahnya akuisisi customer serta pasar niche baru, kenaikan penjualan, serta terbentuknya identitas merek yg baik. Hanya saja, supaya aktivitas CSR mampu efektif dan menaruh dampak yg akbar, dibutuhkan strategi dan acara yg bersiklus dengan baik. Terdapat empat hal yg wajib diperhatikan dalam menyusun strategi kegiatan CSR marketing, yaitu:
  1. Kegiatan CSR wajib mempunyai fokus, artinya perusahaan harus memilih satu atau beberapa tema yg sebagai penekanan kegiatan CSR-nya, misalnya tema pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak memiliki tema yang sebagai fokus akan mengaburkan tujuan aktivitas itu serta bisa menghambat dampak yg diperlukan. 
  2. Kegiatan CSR harus dilakukan secara konsisten. Jika perusahaan melakukan kegiatan CSR-nya secara konsisten pada jangka panjang, kemungkinan besar akan mendapat agama menurut stakeholder dan akan menarik mereka untuk ikut berpartisipasi. 
  3. Kegiatan CSR dihubungkan menggunakan merk yg dimiliki perusahaan, bertujuan buat membetuk identitas merk yg baik lewat kegiatan CSR. 
  4. Perusahaan memerekkan aktivitas CSR itu sendiri, misalnya menggunakan cara memberi nama, menciptakan logo atau slogan tentang aktivitas CSR tersebut. Dengan demikian dibutuhkan perusahaan lebih gampang mengkomunikasikan kegiatan CSR mereka kepada stakeholder-nya.
Menurut Kotler serta Lee (2005), kegiatan CSR marketing terdiri menurut enam bentuk, antara lain corporate cause promotion, cause-related marketing, corporate social marketing, corporate philanthropy, community volunteering serta socially responsibility business practices. Ketika sebuah perusahaan menyatakan bahwa sebagian dari keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan untuk kegiatan sosial eksklusif, maka perusahaan tersebut sedang melakukan apa yg dianggap sebagai cause-related marketing. 

Cause-related marketing sebagai populer dalam dunia bisnis dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 1990 nilai dari cause-related marketing meningkat lebih dari 500% tanpa adanya indikasi yang menurun di kemudian hari. Selama periode tahun 1990-an cause-related marketing sebagai indera pemasaran yang efektif bagi perusahaan. Popularitas cause-related marketing terus semakin semakin tinggi semenjak terjadinya tsunami pada Asia dalam tahun 2004 dan menjadi tren dikalangan perusahaan (Endacott, 2004). 

Polonski dan Speed (2001) mengungkapkan cause-related marketing adalah donasi berdasarkan perusahaan pada penerima atau cause yang berbasis dari jumlah pendapatan yg diterima perusahaan dari output penjualan produk, Varadarajan dan Menon (1988) menyatakan cause-related marketing merupakan aktivitas pemasaran, suatu cara supaya perusahaan sebagai baik dengan melakukan kegiatan yang baik. Manfaat berdasarkan cause-related marketing menurut Endacott (2004) adalah situasi yang saling menguntungkan bagi usaha, penerima (cause) dan konsumen. Konsumen memperoleh kesempatan buat bisa membantu cause. Penerima (cause) acara cause-related marketing akan menaruh keuntungan bagi perusahaan berupa publisitas yang dapat menaikkan penjualan produk dan good corporate citizen. Media primer perusahaan dalam mempromosikan aktivitas cause-related marketing adalah dengan memakai iklan pada aneka macam media. 

Iklan cause-related marketing merupakan bentuk presentasi nonpersonal dan promosi inspirasi, barang dan jasa yang dikendalikan oleh perusahaan eksklusif buat memberitahukan serta membujuk segmen pasar yang dipilih oleh perusahaan tersebut. Iklan tadi adalah komunikasi searah dari pembuat pada konsumen, yang bertujuan buat membicarakan pesan, memberitahukan produk dan jasa, atau buat menarik konsumen serta merangsang pembelian melalui kampanye cause-related marketing. Oleh karena itu, iklan tentang cause-related marketing yang ditayangkan melalui mengembangkan media harus didesain dengan baik sehingga menarik pemirsanya (Belch serta Belch 2004).

Cause-related marketing menaikkan pengetahuan yang beragam terhadap impak dan kinerja pemasaran. Sen dan Bhattacharya (2001) membicarakan adanya dampak yang positif dari cause-related marketing yg berdampak meningkatnya persepsi konsumen terhadap gambaran perusahaan. Webb serta Mohr (1998) menyatakan adanya konsumen yg membeli produk menggunakan penawaran acara cause-related marketing sang perusahaan tidak memberikan dampak positif terhadap konduite pembelian produk. Sebuah studi yang dilakukan sang Creyer serta Ross (1997) menerangkan konsumen akan memberikan perhatian lebih pada perusahan yg memiliki etika yang baik serta menjauhi perusahaan yg nir beretika. Lebih lanjut, Barone et al. (2000) menemukan konsumen yang berpindah pilihan produk kepada perusahaan lain karena perusahaan tadi menerapkan acara cause-related marketing, yakni terjadinya penilaian secara umum sang konsumen yang lebih tertarik pada perusahaan yg melakukan acara cause-related marketing ketika memberikan produk baru. 

Cause-related marketing dapat mempertinggi kegiatan pemasaran produk tergantung dalam pola kampanye acara melalui aneka macam macam taktik yg tepat. Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa jenis strategi yang dilakukan dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu cause-related marketing strategis dan cause-related marketing taktis. Perusahaaan pada mendeterminasikan cause-related marketing strategis serta taktis melalui empat pendekatan, yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment) dan keterlibatan manajemen (management involvement). Determinasi empat faktor tersebut apabila mempunyai nilai yang rendah umumnya menampakan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara taktis, sedangkan apabila mempunyai nilai yg tinggi menunjukkan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara strategis. Pendekatan cause-related marketing nir sepenuhnya harus secara taktis maupun strategis, tetapi setidaknya mempunyai karakteristik berdasarkan bentuk taktis dan strategis. Empat dimensi tadi sebagai dasar yang baik bagi perusahaan buat terlibat pada cause-related marketing. 

Penelitian yang dilakukan sang peneliti merupakan replikasi menurut eksperimen penelitian Brink et al (2006). Program cause-related marketing diduga berpengaruh positif pada membangun loyalitas merek. Loyalitas merupakan konsep penting khususnya pada kondisi pasar menggunakan tingkat pertumbuhan yg sangat rendah tetapi tingkat persaingannya sangat ketat. Keberadaan konsumen yang loyal terhadap suatu merek sangat diharapkan agar perusahaan dapat bertahan hidup. Adanya kegiatan cause-related marketing dibutuhkan dapat menaikkan loyalitas pelanggan terhadap merek produk. Strahilevitz dan Myers (1998) menjelaskan bahwa interaksi antara cause-related marketing dengan loyalitas merek dapat ditingkatkan menggunakan adanya keterlibatan konsumen. Kampanye cause-related marketing lebih efektif dengan menaruh warta yang luas kepada konsumen agar membeli produk dan menyumbangkan sebagian dananya buat aktivitas filantropi. Keterlibatan konsumen dapat dijadikan sebagai faktor pemoderator antara cause-related marketing dengan loyalitas terhadap merek. Keberadaan konsumen yg loyal terhadap suatu merek sangat diharapkan supaya perusahaan bisa bertahan hayati. 

1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler dan Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran keseluruhan adalah konsep yang berbasis pengembangan, desain, implementasi serta aktivitas proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan keseluruhan didasari dalam cara buat mengatasi mengembangkan pertarungan pemasaran yang kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran holistik merupakan integrasi berdasarkan empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan berdasarkan target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior pada konsumen dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen dan warga secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan tiga pertimbangan pada mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu laba perusahaan, kepuasan konsumen, dan kepentingan warga . Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler serta Lee, 2005). 

Pemasaran sosial memakai konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, hadiah fasilitas, insentif-bonus dan perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan grup sasaran. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yang condong buat kegiatan komersial, sesungguhnya bisa jua dikembangkan bagi aktivitas pengembangan masyarakat yg bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menjelaskan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke masyarakat oleh institusi yang berkepentingan buat mengubah perilaku rakyat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk dari produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk dari keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan dapat jua adalah sebuat sikap atau sebuah nilai.

Belch dan Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral menurut societal marketing dan pertukaran ini nir hanya terbatas dalam pertukaran uang untuk barang atau jasa. Sebagai contoh contohnya pada interaksi antara perusahaan donor serta lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu berita sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi menurut perusahaan, tetapi demikian perusahaan sponsor nir menerima bentuk laba material dan kontribusi yg diberikan. Donasi yang diberikan sang perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial dan psikologis bagi perusahaan, seperti misalnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan dari frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah mempertinggi jumlah pengguna kartu kredit, yang kemudian berkembang menggunakan taktik pemasaran lanjutan untuk berkomitmen untuk mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty di Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent berdasarkan penggunaan kartu kredit, serta satu dollar berdasarkan penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan pada tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebesar 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. Kampanye yang dilakukan American Express buat memperbaiki patung Liberty membuat dana sebanyak US$ 1,7 Milyar (Westberg, 2004). 

Varadarajan dan Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yg herbi cause-related marketing yg menyebutkan munculnya konsep sejalan menggunakan teori yang hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Cause-related marketing adalah aktivitas yg khusus yaitu perusahaan berjanji kepada konsumen untuk mendonasikan sumberdaya perusahaan dari setiap penjualan produk atau jasa pada orang-orang yang membutuhkan donasi. Kampanye cause-related marketing memiliki dua tujuan, yaitu untuk mendukung kegiatan sosial serta buat menaikkan output pemasaran. Program cause-related marketing dilaksanakan setidaknya oleh tiga stakeholders, yaitu konsumen perusahaan, shareholders serta satu stakeholder yg nir berafiliasi langsung menggunakan kegiatan komersial menurut perusahaan (Varadarajan serta Menon, 1988). 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yang bisa diperoleh oleh perusahaan serta atau mitranya menggunakan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yang sedari awal telah tertarik buat melakukan cause yg lalu dipromosikan oleh perusahaan. Keuntungan ke 2 merupakan tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial tertentu. Manfaat ketiga, aktivitas sosial bisa dipengaruhi oleh perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya dengan kegiatan sosial tertentu. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan sanggup menerima ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan isu eksklusif, serta konsumen yang tertarik menggunakan gosip tadi akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan berita yg sebagai perhatiannya. Keempat, hasil penjualan mampu semakin tinggi lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yang memiliki kepedulian yg sama. Keuntungan yg terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yg kentara disparitas diantara cause-related marketing dengan philanthropy perusahaan dan sponsorship. Cause-related marketing nir termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan pada cause-related marketing merupakan penjualan serta promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship merupakan aktivitas yg melibatkan uang dan barang pada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk eksklusif serta nama perusahaan melalui aktivitas yang diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship dengan pihak lain melalui perjanjian yg telah disepakati oleh ke 2 pihak mengenai jumlah serta cara donasinya. Perbedaan antara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship disajikan pada Tabel  berikut:

Tabel Perbedaan antara Philanthropy Perusahaan, Sponsorships serta Cause-Related Marketing
Aktivitas

Philanthropy Perusahaan

Sponsorships

Cause-Related Marketing

Fokus Utama
Organisasi
Produk dan Organisasi
Produk
Susunan Waktu
Berkelanjutan
Terbatas
Dapat berkelanjutan dan terbatas
Organisasi
Manajemen Puncak
Departemen Pemasaran
Departemen Pemasaran
Tujuan
Meningkatkan kompetensi organisasi buat kegiatan sosial
Meningkatkan brand awareness dan target market
Meningkatkan penjualan produk
Asosiasi serta Sumber daya
Tidak ada
Asosiasi buat sosialisasi serta perhatian konsumen terhadap produk
Asosiasi agar konsumen mempunyai donasi sosial
Hasil Kunci
Tidak ada
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Pengaruh terhadap penjualan
Tidak ada
Berpengaruh secara nir langsung
Berpengaruh secara langsung
Penerimaan dana
Tidak ada
Eksklusif pada sponsor
Terbagi pada perusahaan dan sponsor

Menurut Kotler serta Lee (2005), masih ada banyak sekali macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (dua) jumlah uang tertentu setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (tiga) persentase tertentu dari penjualan produk, (4) proporsi yg tidak ditentukan sebelumnya menurut penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah donasi menurut konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan higienis, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka ketika tertentu atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan tetapkan batas atas menurut kontribusi (bukan menggunakan ketika). Sumber: Sundar, (2007)

Dari banyak sekali model cause-related marketing di Indonesia, terdapat kesamaan menggunakan jumlah uang tertentu dalam setiap produk yang terjual, misalnya yg dilakukan PT Unilever Indonesia Tbk terhadap produk sabun Lifebouy dan produk es krim Walls. PT. Unilever Indonesia Tbk adalah keliru satu perusahaan yang memiliki perhatian lebih terhadap kegiatan tanggung jawab sosial. PT. Unilever Indonesia menyadari pentingnya memberi dan membuatkan, bukan semata buat menaikkan reputasi, namun membantu perusahaan buat terus tumbuh dan berkembang. Bagi Unilever Indonesia (UI), tanggung jawab sosial tidak terpisahkan berdasarkan bisnis. Setiap hari, begitu poly orang Indonesia menggunakan produknya buat memenuhi kebutuhan nutrisi, kesehatan, serta kebersihan. Mereka ikut membantu perusahaan buat terus tumbuh serta menjadi perusahaan fast moving consumer goods terkemuka. Berbagai manfaat dari pertumbuhan bisnis sudah menjadi bagian menurut budaya perusahaan yang sudah diwujudkan menggunakan mengikutsertakan bisnis kecil menengah (UKM) pada aktivitas produksi, membangun kesempatan kerja, serta memberikan keuntungannya balik kepada rakyat (Susanto, 2007).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi famili Indonesia buat mendukung program peningkatan pencerahan rakyat mengenai kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- pada setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yg terkumpul sejauh ini sudah dirasakan keuntungannya oleh 10.000 murid Sekolah Dasar yg memperoleh modul interaktif tentang perawatan kesehatan langsung. Bahkan dana tadi cukup buat membiayai program menurut sekolah ke sekolah, yg mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut dan dalam menaruh cap kedua tangan mereka pada atas sebuah spanduk menjadi ungkapan tekad mereka untuk mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan nir saja mengembangkan iklan serta kenaikan pangkat yg bertanggung jawab, namun jua memadukan kampanye sosial kesehatan bersama kenaikan pangkat produk. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi jua pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

Selain acara “Lifebouy Berbagi Sehat”, PT. Unilever Indonesia jua melakukan program cause-related marketing melalui produk es krim Walls. Berangkat menurut rasa keprihatinan serta kepedulian terhadap kemajuan pendidikan anak Indonesia saat ini, Unilever menyelenggarakan acara “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” yg bertujuan buat membantu menyekolahkan anak-anak kurang mampu menggunakan dana yg didapat menurut output penjualan es krim Walls dan akan disumbangkan melalui Dompet Dhuafa. Melalui program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta”, Wall’s akan menyumbangkan Rp 1.000 menurut setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya yg terjual, pada 1.000 anak kurang bisa yg berprestasi pada 33 propinsi di Indonesia melalui forum terpercaya, Dompet Dhuafa. Program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” diselenggarakan mulai September 2007, menjelang bulan suci Ramadhan, yg merupakan momen istimewa buat berbagi dan memberi pada sesama. Program ini berakhir pada Desember 2007 (Anonim, 2007) 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), aktivitas cause-related marketing dalam pemasaran mempunyai interaksi yg signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit dan konsumen. Namun, imbas yg dihasilkan akan bhineka tergantung pada situasi tertentu, yakni pola kampanye acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam kampanye cause-related marketing terdiri dari 2 bentuk, yaitu pola strategis dan taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yang fundamental menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun mempunyai dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema menurut cause-related marketing taktis dan strategis

Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing menggunakan cara strategis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing pada jangka waktu yg usang, keterlibatan manajemen yang menyeluruh dari puncak sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada acara akbar, serta adanya kesesuaian interaksi yg tinggi yang dirasakan antara suatu informasi menggunakan lini produk, merk image, positioning serta sasaran pasar. Perusahaan yg memakai cause-related marketing dengan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka waktu yg terbatas serta dalam periode saat eksklusif, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yang dibuat pada kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan tidak sebanyak strategic cause-related marketing, dan kesesuaian interaksi yg nir tinggi yang dirasakan antara suatu gosip menggunakan lini produk, merk image, positioning dan sasaran pasar (Varadarajan serta Menon, 1988). 

a. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan aktivitas cause-related marketing diyakini memberikan impak positif bagi perusahaan. Namun demikian, imbas positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen nir secara gampang menerima inisiatif sosial buat kemudian memberikan reward pada perusahaan. Asosiasi positif yg terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung dalam evaluasi konsumen terhadap inisiatif tadi dalam hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang mempunyai peran penting pada proses penilaian konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing merupakan perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar pada level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor dan kegiatan filantropi buat memutuskan apakah pantas bagi perusahaan tadi buat terlibat dalam suatu sponsorship khusus (Drumwright et al, 1996). Konsumen memiliki keyakinan yang kuat bahwa perusahaan seharusnya mensponsori gosip-gosip sosial yang mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa pada cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yg dirasakan antara suatu info menggunakan lini produk, brand image, positioning dan sasaran pasar. Congruence atau fit asal berdasarkan asosiasi beserta antara merek dan filantropi, misalnya misalnya dimensi produk, afinitas dengan target segmen spesifik, corporate image associations yg terbentuk dampak kegiatan merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel pada suatu perusahaan atau merek dalam domain sosial (Menon dan Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan informasi sosial yg dapat diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau mengembangkan bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa kiprah penting congruence didasarkan sang sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh dalam kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu hubungan, contohnya menaikkan elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau interaksi itu sendiri saat dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta liputan yg terdapat. Alasan ke 2 adalah congruence berpengaruh pada tipe spesifik yg ada pada pikiran, misalnya contohnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mensugesti evaluasi menurut dua objek. Apabila konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi sikap mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial serta mempertanyakan motif menurut apa yang dilakukan sang perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yg dirasakan lemah atau nir terdapat pada aliansi antara organisasi menerangkan bahwa konsumen membutuhkan penjelasan terperinci konitif yang lebih dalam dalam keterangan yg terdapat buat memilih alasan berdasarkan aliansi tadi. 

b. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer serta Sergeant (2006), keliru satu dimensi pada cause-related marketing adalah durasi. Usia yg panjang dalam suatu hubungan terlihat merupakan penting bagi perusahaan yang berkiprah pada bidang usaha menggunakan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi saat yang panjang adalah bentuk yang ideal. Ketika hubungan tadi berjalan dengan ketika yg lama , maka akan terbentuk interaksi partnership yang akan membentuk komitmen perusahaan yang sejalan menggunakan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) pada Wymer dan Sergeant (2006) merogoh suatu pandangan yg lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para kawan atau organisasi non profit buat tidak mencari keuntungan, menggunakan mengenali manfaat-manfaat yg diperlukan menurut para pendukung usaha (perusahaan) buat memastikan bahwa para mitra usaha mendapat publisitas serta pengenalan yg akbar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan usaha tidak tertarik terhadap hubungan-interaksi jangka panjang pada program cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan menggunakan organsiasi non profit melalui pembatasan ketika. Perusahaan memandang hubungan-hubungan pada jangka ketika yg lebih pendek dipercayai bisa memperoleh target output yang lebih baik, dan memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat pada hal biaya -porto yg lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha dengan tujuan primer buat mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung buat mempunyai harapan-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), masih ada dua bentuk durasi program cause-related marketing dari waktu, yaitu:
  1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka ketika yg pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka waktu 3 bulan.
  2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit pada jangka ketika yg panjang, namun nir secara permanen. 
Hubungan antara cause-related marketing perusahaan menggunakan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif bisa menaikkan merk equity melalui kerjasama pada saat yang usang menggunakan organisasi tadi. Asosiasi ke 2 pihak menciptakan ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan serta merek-merek menurut perusahaan dengan mudah bisa mengatur kembali asosiasi network menurut konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yg efektif menurut prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat menaikkan menggunakan gampang dan bertenaga investasi mereka dalam hal yang terkait menggunakan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

c. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya sebagai cost semata, melainkan pula sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan wajib konfiden bahwa terdapat korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing menggunakan meningkatnya apresiasi global internasional juga domestik terhadap perusahaan yg bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan warga terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi misalnya inilah yg pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-usaha pada perusahaan yg bersangkutan. Dari segi penyampaian dan peruntukannya, banyak perusahaan yg telah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis dan metodologis, namun jua masih poly perusahaan yg pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yang diajukan warga (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat dilihat sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing mempunyai 2 tujuan utama, yaitu menaikkan performa perusahaan dan menaruh donasi sosial yang bermanfaat, dengan menaikkan aturan yang sebagian berdasarkan keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan buat kegiatan sosial eksklusif. Dalam beberapa perkara, perusahaan yg melakukan cause-related marketing nir memiliki aturan yg tetap sepanjang saat untuk aktivitas tadi. Porsi dari aturan cause-related marketing lebih poly dipakai melalui iklan yang ditayangkan pada suratkabar atau televisi buat mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan supaya memperoleh respon yg positif menurut konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak langsung pada sisi lainnya merupakan produk yang berkaitan dengan program cause-related marketing bisa dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

d. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru bisa sebagai berkelanjutan bila acara yg dibuat sang suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada pada pada perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias menurut karyawan akan membuahkan acara-program tersebut nir berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program-acara tadi akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) mengungkapkan faktor primer yg dapat mempertinggi kesetiaan pelanggan pada suatu kegiatan pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing merupakan menyatakan terlibat dalam acara tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan istilah lain, cause-related marketing adalah penting bagi suatu kemitraan buat nir mencari laba, bahwa menggunakan mengintegrasikan bantuan, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen zenit perusahaan yg bisa mendukung program cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini menerangkan adanya komitmen yang tinggi berdasarkan perusahaan buat kemitraan pada jangka saat yang panjang, yang pada akhirnya akan membentuk loyalitas menggunakan konsumen. Ketika berbagi suatu acara cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan menggunakan kemitraan tadi, yg paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai menggunakan kemampuan perusahaan pada aplikasi tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang berhubungan dengan CSR mempunyai tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi diantaranya:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan meliputi perwakilan menurut dewan direksi, manajemen puncak , serta pemilik dan sukarelawan menurut aneka macam unit dalam perusahaan yg terkena dampak atau terlibat dengan isu-info seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan sebagai landasan bagi aktivitas penilaian selanjutnya, bisa juga diidentifikasi menjadi nilai-nilai kunci yg memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang dalam setiap strata pada perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan serta penerimaan menurut aktivitas cause-related marketing pada CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan kegiatan perusahaan
Dokumen-dokumen ini meliputi misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip serta dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara spesifik mempunyai proses pengambilan keputusan yg spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek eksklusif dari aktivitas operasionalnya, kegiatan-aktivitas yg secara pribadi berhubungan dengan produk serta layanan yang didapatkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-isu krusial yang sedang hangat pada tanggung jawab sosial. Oleh karena itu diskusi dengan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat krusial guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah penting buat memperoleh kejelasan tentang tujuan diskusi, lantaran stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka mengenai perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka mengenai keberhasilan dalam rangka kerjasamanya menggunakan perusahaan.

Periklanan pada Cause-Related Marketing 
Menurut Belch serta Belch (2004), iklan yang dikeluarkan perusahaan buat menanamkan suatu ilham, gambaran atau kesan tertentu diklaim iklan korporat. Posisi strategis iklan korporat dapat dibagi sebagai empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, serta cause-related advertising. Seluruh iklan tadi diposisikan pada konteks upaya perusahaan untuk membentuk gambaran dan reputasi, meneguhkan perilaku terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan rakyat. Fungi iklan semacam itu bukan buat mengenalkan produk, apalagi membujuk orang buat membeli, tetapi arahnya menjadi alat kehumasan (public relations). Iklan dilakukan buat memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, iklan korporat terkadang dipakai buat membangun opini pada kalangan eksklusif, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra bisnis, eksekutif serta para profesional, atau khalayak spesifik. 

Salah satu metode pada pemasaraan yang waktu ini relatif terkenal pada dunia merupakan cause-related marketing yg membentuk merek dengan membuat suatu hubungan yg sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal. Gaya pemasaran yg berdimensi sosial dan empatik dapat melibatkan konsumen buat berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sembari membeli produk. Warna promosi yg melibatkan konsumen supaya mengeluarkan uang untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba buat membantu memecahkan problema sosial. 

Beberapa promosi cause-related marketing bukan saja membebaskan perusahaan buat menyediakan dana kenaikan pangkat tambahan, namun malah meraup dana melalui konsumen. Dana promosi yg dihimpun dipakai buat menunjukan langkah indera kehumasan yang peduli. Keuntungan perusahaan diperoleh menurut publisitas isu sosial yg membutuhkan donasi amal yang cukup akbar. Gaya kenaikan pangkat simpatik semacam ini poly diterapkan pada era tahun 2000-an Dari tahun 1990, investasi kenaikan pangkat yg ditanamkan perusahaan dalam acara cause-related marketing terus semakin tinggi sebesar 300%, mencapai $ 828 juta pada tahun 2002 (Kotler serta Lee, 2005).

Keterlibatan Konsumen pada Produk (Consumer Product Involvement) 
Berdasarkan Traylor (1981), keterlibatan produk didefinisikan sebagai derajat taraf kepentingan seseorang konsumen buat membeli suatu produk, sedangkan keterlibatan konsumen dalam produk didefinisikan sebagai kepentingan personal yang terlibat dengan kategori dari produk. Dimensi dari keterlibatan menurut Quester serta Lim (2003) terdiri atas:

1. Interest (harapan)
Interest merupakan impian seseorang terhadap suatu produk, yg diartikan memiliki nilai yang krusial. Elemen interest merupakan kepentingan dalam produk, hasrat dalam produk dan konflik pada produk.

2. Pleasure (kesenangan)
Pleasure adalah nilai hedonis dari produk yg mempunyai kemampuan buat menyediakan kenyamanan dan kesenangan. Elemen berdasarkan pleasure merupakan kesenangan ketika membeli produk dan kesenangan mempunyai produk.

3. Sign (tanda)
Sign merupakan nilai produk yang diekspresikan oleh seseorang. Elemen sign berupa personifikasi konsumen pada menentukan produk.

4. Risk Importance (resiko krusial)
Risk importance adalah kepentingan yang didapat menurut konsekuensi negatif yang diasosiasikan pada pilihan produk jelek. Elemen risk importance terdiri dari nilai penting waktu melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai krusial ketika produk tidak nyaman serta ketika menciptakan kesalahan pilihan.

5. Risk Probability (resiko kemungkinan) 
Risk probability merupakan kemungkinan membuat pilihan produk yg buruk. Elemen risk probability merupakan ketidakpastian waktu menentukan, ketidakpastian dalam mengambil produk serta kerumitan pada mengambil keputusan.

Quester dan Lim (2003) menyampaikan bahwa produk menggunakan keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yg tinggi pada keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yg tinggi buat memilih produk (interest), ekspektasi yg tinggi (pleasure) buat menentukan produk, aktualisasi diri kepuasan (sign) bisa mempunyai produk sinkron pilihan, serta resiko pada menciptakan pilihan (risk importance) serta merogoh keputusan (risk probability) yang tinggi dalam produk. 

Menurut Assael (1998), definisi kognitif dari loyalitas merek menunjukkan loyalitas merepresentasikan komitmen serta keterlibatan konsumen pada produk. Loyalitas terhadap merek akan tinggi saat konsumen secara personal terlibat dengan merek dan melakukan pembelian. Hal ini menerangkan keterlibatan produk tinggi, sebagai akibatnya merek merupakan sumber identifikasi diri. Contoh produk menggunakan keterlibatan tinggi merupakan telepon genggam, kosmetik, sepatu serta rokok. Apabila konsumen pada membeli produk tanpa komitmen, maka keterlibatan konsumen pada produk rendah. Konsumen tidak mempunyai opini yang bertenaga terhadap merek produk. Contoh produk menggunakan keterlibatan produk rendah merupakan sabun, bolpen, serta sikat gigi.

Pembuatan keputusan konsumen tidak dapat dilepaskan pada kaitannya dengan taraf keterlibatan konsumen. Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan atau minat yg dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi spesifik. Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian ditentukan oleh kepentingan personal yg dirasakan serta ditimbulkan sang stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh pemrosesan fakta yang bisa mensugesti konsumen yg dalam akhirnya menyebabkan pembuatan keputusan yang kompleks.

Assael (1992) menyatakan masih ada 2 tipe keterlibatan konsumen yaitu keterlibatan situasional (situational involvement) dan keterlibatan tahan lama (enduring involvement). Keterlibatan situasional hanya terjadi seketika pada situasi khusus serta temporer sifatnya. Keterlibatan situasional tercipta berdasarkan simbol-simbol nilai gerombolan rujukan pada suatu produk (bedge value) dan adanya resiko pembelian. Konsumen akan terlibat secara situasional dalam produk-produk yg terdapat hubungannya dengan simbol-simbol dan nilai-nilai grup rujukan. Keterlibatan situasional ditimbulkan oleh adanya resiko dalam pembelian, lantaran konsumen mencicipi adanya ketidakpastian mengenai keputusan pembelian dan adanya akibat tidak baik yg potensial dari pembuatan keputusan. 

Tipe keterlibatan tahan lama (enduring involvement) berlangsung lebih lama serta lebih tetap sifatnya, merupakan taraf keterlibatan konsumen terhadap suatu merek produk lebih memperhatikan resiko sosial yang mungkin diterima oleh konsumen. Keterlibatan tahan lama mendorong keputusan pembelian yang penuh pertimbangan, berita alternatif banyak dikumpulkan, serta penilaian cara lain pun dilakukan tetapi lebih cenderung loyal pada lalu hari. Informasi alternatif tidak poly dikumpulkan dari kehadiran keterlibatan situasional. Keterlibatan situasional bisa berangsur menjadi keterlibatan permanen bila ternyata pembeliannya yang datang-datang tadi memenuhi kebutuhan serta keingianannya yang sudah lama tersimpan pada benak konsumen (Kotler serta Keller, 2006).

Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Merek merupakan nama, indikasi, simbol rancangan atau kombinasi berdasarkan hal-hal yang dimaksudkan buat mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang grup penjual dan buat membedakannya menurut produk pesaing (Kotler dan Keller, 2006). Aaker (1991) dalam Brink et al. (2006) mendefinisikan loyalitas merek (merk loyalty) menjadi situasi yang merefleksikan seberapa senang pelanggan akan berpindah ke merek lain, khususnya saat merek melakukan perubahan baik itu dalam harga atau fitur produk. Loyalitas merek yg berdasarkan pada pelanggan merupakan inti menurut ekuitas merek (brand equity) dan adalah ukuran pelengkap yang dimiliki konsumen menurut sebuah merek. Loyalitas merek secara kualitatif tidak sinkron dengan dimensi primer menurut ekuitas merek lainnya, karena lebih menunjuk dalam pengalaman penggunaan. Loyalitas merek tidak bisa ada tanpa pembelian dan pengalaman penggunaan terlebih dahulu.

Loyalitas merek adalah indikator kedekatan pelanggan pada sebuah merek. Jika loyalitas merek semakin tinggi, keeratan gerombolan pelanggan terhadap pesaing bisa dikurangi. Loyalitas adalah indikator ekuitas merek yg berkaitan menggunakan penjualan dan laba masa depan. Beberapa pengertian loyalitas merek ini dia berdasarkan pada pendekatan sikap sebagai komitmen psikologis dan pendekatan keperilakuan yg tercermin dalam konduite beli aktual. Dharmmesta (1999) telah mengklarifikasi kata tersebut melalui definisi yang meliputi enam syarat yang secara kolektif memadai sebagai berikut:

Loyalitas merek adalah (1) respon keperilakuan yaitu pembelian, (2) yg bersifat bias (nonrandom), (tiga) terungkap secara terus menerus, (4) sang unit pengambilan keputusan, (lima) menggunakan memperhatikan satu atau beberapa merek cara lain berdasarkan sejumlah merek homogen, serta (6) merupakan fungsi proses psikologis (pengambilan keputusan evaluatif). 

Menurut definisi tersebut, penelitian mengenai loyalitas merek selalu berkaitan dengan preferensi konsumen dan pembelian aktual, meskipun bobot relatif yg diberikan pada kedua variabel itu dapat berbeda, bergantung pada bidang produk, atau merek yg terlibat serta faktor situasional yg ada pada ketika pembelian tertentu dilakukan. Pemahaman tentang interaksi antara loyalitas merek secara psikologis dan faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian mencerminkan keterangan kritis yang bisa menghipnotis pengembangan rencana dan strategi pemasaran. Sebagai model, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap disparitas harga atau terhadap syarat kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih akbar dalam penetapan harga kompetitif serta alokasi sumber yang lebih banyak buat mempertahankan distribusi dibandingkan menggunakan loyalitas merek yg kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.

Mowen serta Minor (1998) seperti dikutip dalam Dharmmesta (1999) menggunakan definisi loyalitas merek pada arti kondisi konsumen mempunyai perilaku positif terhadap sebuah merek, memiliki komitmen pada merek tadi, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini jua berdasarkan pada kedua pendekatan yaitu keperilakukan serta sikap. Boulding et al (1993) dalam Dharmmesta (1999) pula mengemukakan bahwa terjadinya loyalitas merek pada konsumen disebabkan oleh adanya impak kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tadi yang terakumulasi secara terus-menerus, disamping adanya persepsi mengenai kualitas produk. Definisi yg dikemukakan berdasarkan pada ke 2 pendekatan, yaitu keperilakuan serta perilaku. Apabila pendekatan yg digunakan merupakan pendekatan keperilakuan, maka perlu dibedakan antara loyalitas merek serta perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang bisa diartikan menjadi perilaku konsumen yg hanya membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan di dalamnya. Sebaliknya, loyalitas merek mengandung aspek selera konsumen dalam sebuah merek. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.

Menurut Dharmmesta (1999), masih ada dua pendekatan yg bisa digunakan untuk tahu loyalitas:

1. Pendekatan keperilakuan (behavioral approach)
Merek didefinisikan dengan aneka macam berukuran konduite, yaitu runtutan pembelian, proporsi pembelian, serta probabilitas pembelian.

2. Pendekatan kesikapan (attitudinal approach)
Pendekatan ini menekankan pada komitmen psikologis terhadap merek. Dalam pendekatan kesikapan, ukuran yg digunakan mencakup kepuasan, komitmen serta niat. Riset loyalitas yg menekankan pada perilaku dicermati lebih penting dan berguna lantaran sikaplah yg mendorong berperilaku tertentu.

Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yg sesungguhnya bisa dilakukan dengan menguji:
1. Loyalitas kognitif merupakan fakta merek yang dipegang sang konsumen (yaitu keyakinan konsumen) harus menunjuk dalam merek fokal yang dianggap superior dalam persaingan.
2. Loyalitas afektif merupakan tingkat kesukaan konsumen arus lebih tinggi daripada merek saingan, dehingga ada preferensi afektif yg jelas dalam merek fokal.
3. Loyalitas konatif adalah struktur niat konsumen terhadap merek fokal, merupakan konsumen harus memiliki niat buat membeli merek fokal, bukan merek lain saat keputusan beli dilakukan.
4. Loyalitas tindakan merupakan loyalitas yang merupakan perilaku atau tindakan atas kontrol tindakan yang adalah pengembangan dari loyalitas konagtif. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yg diikuti motivasi meruapakn kondisi yg mengarah dalam kesiapan bertindak dan pada keinginan buat mengatasi kendala buat mencapai tindakan tersebut. 

Loyalitas yg sesungguhnya akan terjadi hanya saat patronase pengulangan ada beserta sikap relatif yang tinggi. Jika sikap relatifnya rendah, maka loyalitas dapat dipercaya palsu atau pretensi yg tidak diharapkan akan terjadi terus. Konsumen dalam syarat ini (inersia) bisa melakukan pembelian ulang karena hanya satu merek yang tersedia pada penjual. Apabila patronase pengulangan dan sikap relatifnya sama-sama rendah, nir terjadi loyalitas. Akan namun, kebutuhan yg bersifat seringkali buat suatu produk atau layanan, pembelian ulang yang rendah dalam suatu merek masih dapat menaruh harapan bagi pemasar bila dapat ditanamkan perilaku relatif yg tinggi pada konsumen.

Loyalitas terhadap merek tidak terbentuk secara instan, perlu saat panjang buat menciptakannya, berdasarkan output akumulasi pengalaman berinteraksi antara konsumen menggunakan merek tersebut, disebut menggunakan pengalaman merek (brand experience). Loyalitas dapat terbentuk jika konsumen menemukan bahwa pengalaman merek (merk experience) sama dengan keyakinan merek (brand beliefs). Tetapi yg acapkali terjadi adalah pengalaman merek (merk experience) berlawanan dengan keyakinan merek (merk beliefs). Apa yg diyakini oleh konsumen akan didapat saat mencoba (trial) sebuah produk atau jasa, ternyata tidak diperolehnya. Pada kondisi ini proses konversi mencoba (trial) ke pembelian balik (repeat purchase) atau pembelian pulang (repeate purchase) menuju loyalitas merek (merk loyalty) sebagai terhenti. Untuk memperoleh loyalitas merek, perusahaan harus berusaha buat memberikan pengalaman merek (merk experience) yang terbaik dan konsisten menurut saat ke waktu, menurut sejak interaksi awal sampai interaksi-hubungan berikutnya. Setelah terbentuk loyalitas, walaupun masih mungkin terpengaruh oleh promosi kompetitor, tetapi peluangnya menjadi lebih kecil buat berpindah (Kotler serta Keller, 2006). Beberapa manfaat yg bisa diperoleh perusahaan yang memiliki pelanggan dengan loyalitas merek yang kuat merupakan:
1. Perusahaan akan mengeluarkan porto pemasaran yang relatif lebih kecil karena tingkat pencerahan dan kesetiaan merek pelanggan yg tinggi.
2. Perusahaan akan mempunyai posisi yg lebih kuat pada negosiasi menggunakan distributor serta pengecer karena pelanggan mengharapkan mendapatkan merek tadi.
3. Perusahaan bisa mengenakan harga yg lebih tinggi menurut pesaingnya lantaran merek tadi memiliki kualitas yang diyakini lebih tinggi.
4. Perusahaan dapat lebih gampang buat melakukan ekspansi merek lantaran merek tadi mempunyai kredibilitas yang tinggi.
5. Merek itu memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yg ketat.

Menurut Dharmamesta (1999), secara umum loyalitas merek dapat diukur menggunakan cara menjadi berikut :
1. Runtutan pilihan-merek (brand-choice sequence),
2. Proporsi pembelian (proportion of purchase),
3. Preferensi merek (merk preference), dan
4. Komitmen merek (brand commitment).

Cara pertama dan kedua adalah pendekatan keperilakuan (behavioral approach), sedangkan cara ketiga serta keempat termasuk dalam pendekatan sikap (attitudinal approach). Dalam prakteknya, pengidentifikasian loyalitas merek harus dilakukan secara terus-menerus. Basis harian, mingguan, atau bulanan dapat dipakai sinkron dengan karakteristik keputusan beli konsumen. Untuk pembelian bahan makanan misalnya, pengidentifikasian loyalitas merek dapat dilakukan secara harian atau mingguan. Perlu diperhatikan juga bahwa jika konsumen membeli produk-produk eksklusif lantaran imbas kenaikan pangkat penjualan menurut pemasar serta bukannya lantaran kualitas positif intrinsik produk tadi, maka konsumen akan mempunyai norma beli hanya ketika diadakan promosi penjualan.