PENGERTIAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

Pengertian Psikologi Industri Dan Organisasi
Pengertian industri meliputi jua pengertian business (perusahaan).
Psikologi industri serta organisasi merupakan hasil perkembangan menurut psikologi umum, psikologi eksperimen dan psikologi spesifik.

Sekarang, konduite manusia pada kaitan dengan kegiatan indusatri serta organisasi dipelajari untuk pengembangan teori, aturan dan prinsip psikologi baru yg berlaku umum pada lingkup industri dan organisasi

Alat buat mengukur disparitas manusia jua tetap dikembangkan buat menaikkan kecermatan pada melaksanakan pemeriksaan psikologis buat tujuan seleksi, penempatan, sosialisasi diri, penyuluhan kejuruan dan pengembangan kariere.

Segi terapan menurut psikologi industri dan organisasi mengakibatkan tafsiran bahwa psikologi bermanfaat bagi manajemen, bagi pimpinan dan pemilik perusahaan serta merugikan para energi kerja dan konsumen.

Psikologi industri dan organisasi adalah suatu holistik pengetahuan (a body of knowledge) yang berisi informasi, aturan2 dan prinsip2 tentang konduite manusia dalam pekerjaan. Pengetahuan ini dapat disalah pakai sebagai akibatnya bisa membahayakan serta merugikan pihak2 yg terlibat. Penggunaan pengetahuan psikologi industri serta organisasi wajib ditujukan buat kepentingan serta kemanfaatan pihak2 yg terlibat, baik perusahaan menjadi organisasi maupun karyawannya.

Psikologi industri dan organisasi merupakan ilmu yang mengusut konduite manusia:
  • Dalam perannya menjadi energi kerja dan sebagai konsumen
  • Baik secara perorangan maupun secara grup, dengan maksud agar temuannya dapat diterapkan dalam industri serta organisasi buat kepentingan serta kemanfaatan manusianya serta organisasinya.
A. Psikologi industri dan organisasi menjadi ilmu
Masih menerapkan temuan2 menurut psikologi dalam umumnya, psikologi serta industri pada khususnya kedalam industri serta organisasi.

B. Psikologi industri serta organisasi menyelidiki 
Perilaku manusia. 
Yang dimaksudkan denagn perilaku insan ialah segala aktivitas yg dilakukan sang insan, baik yang secara eksklusif dapat diamati seperti berjalan, melompat, menulis, duduk, berbicara serta sebagainya maupun yg tidak bisa diamati secara eksklusif seperti berikir, perasaan, motivasi dan sebagainya..

Ilmu hanya menangani hingga menganalisis fakta2 yg dapat diamati, yang bisa ditinjau, didengar, diraba, diukur dan dilaporkan, yang semuanya adalah konduite yang terbuka.

Perilaku yangtertutup disimpulkan melalui ungkapan kedalam konduite yang terbuka.

Melalui observasi dari konduite terbuka kita kita menafsirkan mengenai erilaku yg tertutup.

C. Perilaku manusia dipelajari pada perannya
Sebagai energi kerja serta menjadi konsumen.
Manusia dipelajari dalam interaksi menggunakan pekerjaannya., menggunakan lingkungan fisik serta lingkungan psiko-sosialnya di pekerjaannya.

Sebagai energi kerja manusia sebagai anggota organisasi industri serta menjadi konsumen dia sebagai pengguna berdasarkan produk atau jasa menurut organisasi perusahaan.

D. Perilaku mabnuysia dipelajari secara perorangan serta secara kelompok.
Dalam organisasi ada unit kerja. Unit kerja yang akbar terdiri menurut unit2 kerja yang lebih kecil dan masing2 terdiri menurut unit kerja yg lebih mini lagi.

Dalam hubungan ini dipelajari bagaimana impak satu kelompok atau unit kerja terhadap konduite seorang tenaga kerja dan kebalikannya.

Juga dipelajari sejauh mana struktur, pola dan jenis organisasi mempengaruhi tenaga kerjanya, terhadap grup tenaga kerja serta terhadap seorang tenaga kerja.

Tentang konsumen dapat berbentuk, sejauh mana terdapat reaksi yg sama dari gerombolan konsumen menggunakan ciri2 tertentu terhadap iklan suatu produk.

Berdasarkan temuan dikembangkan teori aturan2 atau aturan dan prinsip2 yg dapat diterapkan balik kedalam kegiatan2 industri serta organisasi buat kepentingan tenaga kerja, konsumen dan organisasinya dan buat menguji ketepatannya.. Contohnya ditemukannya data mengenai perbedaan manager yg berhasil serta yg tidak.

Wawasan psikologi industri serta organisasi
Psikologi industri serta organisasi herbi industri serta organisasi.

Semula ilmu ini dinamakan psikologi industri yg fungsi utamanya menerapkan ilmu psikologi di industri.

Dengan berkembangnya psikologi industri menjadi ilmu yg berdikari maka namanya menjadi psikologi industri dan (psikologi) organisasi.

Dengan organisasi dimaksudkan organisasi formal yang meliputi organisasi yang mencari keuntungan, menghasilkan barang atau jasa, dan organisasi yang tujuan utamanya bukan mencari laba.

Organisasi dapat ditinjau sebagasi suatu sistim yang terbuka.
Kast dan rosenzweig mengartikan sistim sebagai suatu kesatuan holistik yang terorganisasi,yang terdiri dari 2 atau lebih bagian, komponen atau subsitem, yang saling tergantung, yang dipisahkan menurut suprasistim menjadi lingkungannya sang batas2 yang bisa ditemu kenali.

Sistim berinteraksi menggunakan siustim lainnya serta membangun suatu suprasistim.

Sistim juga terdiri berdasarkan 2 atau lebih subsistim yg saling berinteraksi, dan masing2 subsistim terdiri dari sistim yg lebih mini lagi yg saling berinteraksi dan seterusnya.

Dengan demikian dapat ditemukan suatu tata taraf berdasarkan sistim.
Organisasi sebagai suatu sistim terdiri menurut subsistim, yaitu satuan kerja yg yang besar misalnya devisi atau urusan. Satuan kerja yg besar ini terdiri berdasarkan satuan2 kerja yang lebih kecil (sub-subsistim) seperti bagian. Setiap bagian terdiri dari satuan kerja yg lebih mini lagi, misalnya seksi serta satuan kerja yg terkecil artinya tenaga kerja.

Organisasi industri berinteraksi dengan sistim lain dan masing2 unit memberi efek yg tersendiri pada lingkungannya.

Dengan demikian setiap sistim menciptakan organisasi industri sebagai sistim berada dalam proses pertukaran yg sambung menyambung menggunakan lingkungannya, yaity sistim terbuka.

Sistim juga mempunyai batas yang bisa berupa fisik maupun non-fisik
Batas sistim memiliki fungsi seleksi dan pengendalian terhadap macam serta banyaknya arus menurut masukan serta keluaran.

Obyek yang dipelajari oleh psikolog industri dan organisasi merupakan perilaku insan menjadi energi kerja dan menjadi konsumen dalam kaitan:

A. Fungsi batas sistim
Yaitu secara perorangan atau secara kelompok misalnya:
- Pelamar/calon energi kerja
- Tenaga kerja yg terlibat pada proses pengadaan serta seleksi energi kerja
- Tenaga kerja yang terlibat dalam proses pengendalian mutu, pemasaran serta penjualan
- Konsumen, perorangan maupun perusahaan

B. Proses produksi pada sistim seperti:
- Tenaga kerja pelaksana yang dikelola
- Tenaga kerja pengelola (manager).

Seleksi pembinaan serta pengembangan sasarannya supaya tenaga kerja diubahsuaikan dengan tuntutan lingkungan kerjanya.

Kondisi kerja dan psikologi kerekayasaan berusaha buat menyesuaikan lingkungan kerja fisik, mesin2, alat-alat serta lingkungan kerja psikologis dengan keterbatasan kemampuan para tenaga kerjanya, agar mereka dapat bekerja effisien.

Hubungan antar tenagas kerja bisa saja menyebabkan aneka macam kasus dan perseteruan yg memerlukan penyelesaian.

Pengembangan organisasi menggunakan aneka macam jenis teknik intervensi bisa mengatasi banyak sekali masalah sehingga organisasi bisa menaikkan efisiensi, efektivitas dan “kesehatannya".

A. Kaitan dengan konduite keorganisasian (organizational behavior).
Psikologi industri dan organisasi sangat erat hubungannya dengan konduite keorganisasian. Kesamaan pada bidang kajian terletak dalam memeriksa perilaku insan:
A. Dalam perannya menjadi energi kerja dan sebagai konsumen
B. Baik secara perorangan maupun secara grup.

Untuk kepentingan dan kemanfaatan manusianya serta organisasinya.
Sebagai tenaga kerja poerilaku dipelajari buat menemukenali kepribadian, kecakapan2, ketrampilan, sikap dan ciri2 kepribadian:
1. Dengan tujuan khusus untuk seleksi serta penempatan, untuk training dan pengembangan
2. Dalam hubungan dengan lingkungan fisiknya
3. Dalam hubungan menggunakan lingkungan sosialnya.

Perilaku organisasi lebih serius pada no. 3.

B. Kaitannya dengan manager sumber daya manusia
Di indonesia kebanyakan orang sukar dapat membedakan antara psikologi industri serta organisasi serta managemen sumber daya insan.

Obyek studinya artinya sama yaitu insan menjadi energi manusia.

Perbedaan primer terletak dalam kondisi dimana insan menjadi energi dipelajari kerja.
Pada managemen sumber daya insan, konduite manusia dipelajari pada kaitannya menggunakan managemen dan bagaimana insan menjadi tenaga kerja dapat dimanagemeni secara efektif sebagai utama bahasan.

Topik2 yang sama merupakan seleksi tenaga kerja, pembinaan, motivasi dan kepemimpinan, tetapi masaing2 ditangani menggunakan cara yg tidak sinkron.

Managemen sumber daya manusia bekerja dari effisiensi dan efektivitas kerja sedangkan psikologi industri menurut mencari ciri2 yg absah dalam insan.

PENGERTIAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

Pengertian Psikologi Industri Dan Organisasi
Pengertian industri mencakup jua pengertian business (perusahaan).
Psikologi industri serta organisasi adalah output perkembangan berdasarkan psikologi generik, psikologi eksperimen dan psikologi khusus.

Sekarang, perilaku insan dalam kaitan dengan kegiatan indusatri serta organisasi dipelajari buat pengembangan teori, aturan serta prinsip psikologi baru yg berlaku generik pada lingkup industri dan organisasi

Alat buat mengukur disparitas insan pula tetap dikembangkan buat menaikkan kecermatan dalam melaksanakan pemeriksaan psikologis untuk tujuan seleksi, penempatan, pengenalan diri, penyuluhan kejuruan serta pengembangan kariere.

Segi terapan dari psikologi industri dan organisasi menyebabkan tafsiran bahwa psikologi bermanfaat bagi manajemen, bagi pimpinan serta pemilik perusahaan dan merugikan para tenaga kerja serta konsumen.

Psikologi industri serta organisasi merupakan suatu keseluruhan pengetahuan (a body of knowledge) yang berisi keterangan, aturan2 serta prinsip2 tentang perilaku insan dalam pekerjaan. Pengetahuan ini bisa disalah gunakan sebagai akibatnya dapat membahayakan dan merugikan pihak2 yang terlibat. Penggunaan pengetahuan psikologi industri dan organisasi harus ditujukan buat kepentingan dan kemanfaatan pihak2 yg terlibat, baik perusahaan sebagai organisasi juga karyawannya.

Psikologi industri dan organisasi adalah ilmu yang mempelajari konduite manusia:
  • Dalam kiprahnya sebagai tenaga kerja serta sebagai konsumen
  • Baik secara perorangan maupun secara grup, dengan maksud agar temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi buat kepentingan serta kemanfaatan manusianya dan organisasinya.
A. Psikologi industri dan organisasi sebagai ilmu
Masih menerapkan temuan2 dari psikologi dalam umumnya, psikologi dan industri dalam khususnya kedalam industri serta organisasi.

B. Psikologi industri serta organisasi menilik 
Perilaku insan. 
Yang dimaksudkan denagn konduite insan merupakan segala aktivitas yang dilakukan oleh insan, baik yang secara pribadi dapat diamati misalnya berjalan, melompat, menulis, duduk, berbicara serta sebagainya maupun yang nir dapat diamati secara pribadi misalnya berikir, perasaan, motivasi serta sebagainya..

Ilmu hanya menangani sampai menganalisis fakta2 yg dapat diamati, yang dapat ditinjau, didengar, diraba, diukur dan dilaporkan, yg semuanya adalah perilaku yg terbuka.

Perilaku yangtertutup disimpulkan melalui ungkapan kedalam konduite yang terbuka.

Melalui observasi dari perilaku terbuka kita kita menafsirkan tentang erilaku yg tertutup.

C. Perilaku insan dipelajari pada perannya
Sebagai tenaga kerja serta menjadi konsumen.
Manusia dipelajari dalam interaksi dengan pekerjaannya., menggunakan lingkungan fisik dan lingkungan psiko-sosialnya pada pekerjaannya.

Sebagai energi kerja manusia sebagai anggota organisasi industri serta sebagai konsumen dia sebagai pengguna dari produk atau jasa menurut organisasi perusahaan.

D. Perilaku mabnuysia dipelajari secara perorangan serta secara kelompok.
Dalam organisasi terdapat unit kerja. Unit kerja yg akbar terdiri dari unit2 kerja yg lebih mini serta masing2 terdiri berdasarkan unit kerja yg lebih kecil lagi.

Dalam hubungan ini dipelajari bagaimana efek satu kelompok atau unit kerja terhadap konduite seorang energi kerja dan kebalikannya.

Juga dipelajari sejauh mana struktur, pola serta jenis organisasi mempengaruhi energi kerjanya, terhadap grup energi kerja serta terhadap seseorang energi kerja.

Tentang konsumen bisa berbentuk, sejauh mana ada reaksi yg sama berdasarkan grup konsumen dengan ciri2 tertentu terhadap iklan suatu produk.

Berdasarkan temuan dikembangkan teori aturan2 atau aturan serta prinsip2 yg dapat diterapkan pulang kedalam kegiatan2 industri serta organisasi untuk kepentingan tenaga kerja, konsumen dan organisasinya serta buat menguji ketepatannya.. Contohnya ditemukannya data mengenai perbedaan manager yang berhasil serta yg nir.

Wawasan psikologi industri serta organisasi
Psikologi industri serta organisasi berhubungan dengan industri serta organisasi.

Semula ilmu ini dinamakan psikologi industri yg fungsi utamanya menerapkan ilmu psikologi pada industri.

Dengan berkembangnya psikologi industri menjadi ilmu yg mandiri maka namanya sebagai psikologi industri serta (psikologi) organisasi.

Dengan organisasi dimaksudkan organisasi formal yang meliputi organisasi yang mencari laba, memproduksi barang atau jasa, serta organisasi yg tujuan utamanya bukan mencari keuntungan.

Organisasi dapat ditinjau sebagasi suatu sistim yg terbuka.
Kast serta rosenzweig mengartikan sistim menjadi suatu kesatuan keseluruhan yg terorganisasi,yg terdiri berdasarkan dua atau lebih bagian, komponen atau subsitem, yang saling tergantung, yang dipisahkan dari suprasistim sebagai lingkungannya sang batas2 yang dapat ditemu kenali.

Sistim berinteraksi menggunakan siustim lainnya serta menciptakan suatu suprasistim.

Sistim pula terdiri dari 2 atau lebih subsistim yang saling berinteraksi, serta masing2 subsistim terdiri berdasarkan sistim yg lebih kecil lagi yg saling berinteraksi dan seterusnya.

Dengan demikian dapat ditemukan suatu tata taraf menurut sistim.
Organisasi menjadi suatu sistim terdiri menurut subsistim, yaitu satuan kerja yang yg besar seperti devisi atau urusan. Satuan kerja yang besar ini terdiri menurut satuan2 kerja yg lebih mini (sub-subsistim) misalnya bagian. Setiap bagian terdiri menurut satuan kerja yang lebih mini lagi, contohnya seksi dan satuan kerja yg terkecil ialah energi kerja.

Organisasi industri berinteraksi dengan sistim lain dan masing2 unit memberi imbas yang tersendiri pada lingkungannya.

Dengan demikian setiap sistim membuat organisasi industri sebagai sistim berada pada proses pertukaran yang sambung menyambung menggunakan lingkungannya, yaity sistim terbuka.

Sistim juga mempunyai batas yg bisa berupa fisik maupun non-fisik
Batas sistim memiliki fungsi seleksi serta pengendalian terhadap macam serta banyaknya arus berdasarkan masukan serta keluaran.

Obyek yg dipelajari sang psikolog industri serta organisasi merupakan konduite insan sebagai tenaga kerja serta menjadi konsumen dalam kaitan:

A. Fungsi batas sistim
Yaitu secara perorangan atau secara grup misalnya:
- Pelamar/calon energi kerja
- Tenaga kerja yang terlibat pada proses pengadaan dan seleksi tenaga kerja
- Tenaga kerja yang terlibat pada proses pengendalian mutu, pemasaran serta penjualan
- Konsumen, perorangan maupun perusahaan

B. Proses produksi pada sistim seperti:
- Tenaga kerja pelaksana yg dikelola
- Tenaga kerja pengelola (manager).

Seleksi training dan pengembangan sasarannya supaya tenaga kerja diubahsuaikan dengan tuntutan lingkungan kerjanya.

Kondisi kerja serta psikologi kerekayasaan berusaha buat menyesuaikan lingkungan kerja fisik, mesin2, alat-alat dan lingkungan kerja psikologis menggunakan keterbatasan kemampuan para energi kerjanya, agar mereka bisa bekerja effisien.

Hubungan antar tenagas kerja dapat saja mengakibatkan aneka macam masalah dan perseteruan yg memerlukan penyelesaian.

Pengembangan organisasi dengan banyak sekali jenis teknik intervensi bisa mengatasi aneka macam masalah sehingga organisasi dapat menaikkan efisiensi, efektivitas serta “kesehatannya".

A. Kaitan dengan konduite keorganisasian (organizational behavior).
Psikologi industri serta organisasi sangat erat hubungannya menggunakan perilaku keorganisasian. Kesamaan dalam bidang kajian terletak pada mengusut konduite insan:
A. Dalam kiprahnya sebagai tenaga kerja serta sebagai konsumen
B. Baik secara perorangan juga secara gerombolan .

Untuk kepentingan serta kemanfaatan manusianya serta organisasinya.
Sebagai tenaga kerja poerilaku dipelajari buat menemukenali kepribadian, kecakapan2, ketrampilan, perilaku dan ciri2 kepribadian:
1. Dengan tujuan khusus buat seleksi dan penempatan, untuk pembinaan serta pengembangan
2. Dalam hubungan menggunakan lingkungan fisiknya
3. Dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya.

Perilaku organisasi lebih berfokus dalam no. 3.

B. Kaitannya dengan manager asal daya manusia
Di indonesia kebanyakan orang sukar dapat membedakan antara psikologi industri dan organisasi dan managemen asal daya insan.

Obyek studinya merupakan sama yaitu insan menjadi energi manusia.

Perbedaan utama terletak pada syarat dimana insan sebagai energi dipelajari kerja.
Pada managemen sumber daya insan, konduite manusia dipelajari dalam kaitannya menggunakan managemen dan bagaimana manusia menjadi energi kerja bisa dimanagemeni secara efektif menjadi pokok bahasan.

Topik2 yg sama merupakan seleksi tenaga kerja, training, motivasi dan kepemimpinan, tetapi masaing2 ditangani menggunakan cara yang tidak selaras.

Managemen sumber daya manusia bekerja berdasarkan effisiensi serta efektivitas kerja sedangkan psikologi industri menurut mencari ciri2 yg sah dalam insan.

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan pada artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam banyak sekali perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sebagai akibatnya tersusun peta awal menurut hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada aneka macam setting sehingga istilah budaya pada suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua di kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” adalah suatu konstruk, yg adalah abstraksi berdasarkan fenomena yg bisa diamati berdasarkan poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi dari beragam perspektif serta dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola menurut asumsi-perkiraan dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu grup tertentu menggunakan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi kasus-masalah yg muncul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yang telah berjalan dengan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat tahu, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan kasus-perkara tadi. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada dalam 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada taraf ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) dan filosofi menurut pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih serta cara yang tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yg dimiliki para anggota grup dalam suatu organisasi yg membentuk dan menghipnotis perilaku serta perilaku kelompok tersebut. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang meliputi perilaku, nilai-nilai, norma perilaku dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan menjadi perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional adalah norma-kebiasaan dan nilai-nilai yg mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), dua) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), tiga) herbi sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) didapatkan dan dipertahankan sang grup-kelompok yang secara beserta-sama menciptakan organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memberitahuakn empat fungsi krusial budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) menaikkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membangun konduite menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan juga sebagai “ruh” organisasi lantaran di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang akan sebagai kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya pula konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg majemuk yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yang dipakai pada pengukuran, taraf analisis yg appropriate dan grup kegiatan organisasional mana yang mencerminkan sentra perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tersebut tidak menciptakan konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), terdapat tiga alasan mencakup teoritis, empiris serta mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam sentra seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada aktivitas riset serta konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements mengenai kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak terdapat dua pandangan yg paling poly digunakan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya dengan melihat aneka macam jenis output yg telah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan kelompok atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di pada organisasi. Beberapa contoh keefektifan organisasional yang berkembang dalam khasanah akademik dapat dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka ketika serta terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan kentara antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait mempunyai imbas kuat terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir kentara kriterianya atau tak jarang berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hayati terjamin menjadi hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan nir kentara atau berbagai taktik pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg mengakibatkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak sinkron. Oleh karenanya setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yg sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian banyak persoalan organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian menampakan kegagalan organisasi lebih acapkali ditimbulkan sang pertarungan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Konflik tersebut mendorong Peters serta Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan serta kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat sebagai kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) menerangkan dukungan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang memiliki budaya yang sinkron dengan strategi serta dapat mempertinggi komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) berkata bahwa peningkatan kinerja organisasional jua ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, diantaranya: budaya organisasional, hubungan menggunakan pelanggan (customer elationship) dan citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada output studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri pada Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai impak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai imbas yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) sebagai faktor yg lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, tiga) bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat buat menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian juga output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger dalam dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel menggunakan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over misalnya yg diperoleh menurut sejumlah hasil riset realitas Kreitner serta Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi tentang dampak budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya imbas positif budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) mengungkapkan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional mempunyai kiprah yang sangat strategis buat mendorong serta meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek juga jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting buat menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan serta mengelola asal daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yg senantiasa menarik serta diperbincangkan bagi banyak kalangan yang lalu berakibat jua pada pendefinisian yang beragam serta kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yg dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu serta aspek berdasarkan fenomena perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite berdasarkan seorang individu yang memimpin kegiatan-kegiatan suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan adalah efek antar langsung yg dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses menghipnotis kegiatan-aktivitas sebuah grup yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin merupakan mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial serta yg dibutuhkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebesar jumlah orang yg sudah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses impak sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan sang seorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-kegiatan dan hubungan-interaksi pada dalam sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda berdasarkan peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mempelajari perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan dari ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan dalam atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang nir dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan mencoba menjelaskan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi misalnya kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menyebutkan keefektifan kepemimpinan pada kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan. Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja buat menghipnotis bawahan, tetapi pula mitra sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh penekanan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta pemberian kewenangan pada para pengikut. Studi ini pula berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan bisnis yg luar biasa dan pengorbanan eksklusif buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ gerombolan .
7. Kepemimpinan pada grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan menghipnotis budaya dan kinerja organisasional telah relatif poly ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dipercaya paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin membarui budaya serta struktur organisasi agar lebih konsisten dengan taktik-taktik manajemen buat mencapai target organisasional. Hal tersebut meliputi proses menciptakan komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi agama kepada para pengikut buat mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling mempertinggi diri ke tingkat moralitas serta motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) bisa diperlihatkan sang siapa saja pada organisasi pada jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan menggunakan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yg merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan dengan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menyebabkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap kasus-perkara serta mensugesti para pengikut buat memandang masalah-masalah berdasarkan sebuah perspektif yg baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman mengenai pengembangan pada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass serta Avioli (1990) dengan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim ilham (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan menjadi sejauh mana seseorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, memakai simbol-simbol buat buat memfokuskan bisnis-usaha bawahan, serta memodelkan konduite-perilaku yg sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan dalam para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional menjadi sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yg diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus dan contingent rewards buat menghipnotis motivasi. Komponen selanjutnya merupakan “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga dibubuhi oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yg meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap defleksi yg konkret dari standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional menjadi proses yang berbeda, namun tidak saling tertentu, serta dari Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan ke 2 jenis kepemimpinan tadi pada saat-saat dan situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana interaksi kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini menjadi kenyataan yg sering dibahas pada organisasi. Tetapi demikian poly pakar mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sebagai akibatnya karisma nir cukup pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik menggunakan kepemimpinan transformasional merupakan bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya permanen lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan dalam upaya menanamkan kesetiaan eksklusif berdasarkan pada komitmen terhadap asa.

Dalam interaksi dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan pemimpin serta budaya. Menurutnya para pemimpin memiliki potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 prosedur, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice serta Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan penemuan kultural yg padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yg drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru menggunakan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian pada atas, model berdasarkan penelitian digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah memberitahuakn pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi dalam komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yg sedemikian bertenaga pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik perilaku transformasional yg luar biasa sebagai akibatnya bisa mensugesti budaya warga mencapai hasrat atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan ilustrasi konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Tetapi demikian poly kenyataan pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem serta budaya organisasi pada keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian acapkali ditimbulkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat dalam organisasi tersebut. 

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya serta kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi mengenai suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yg terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak menghipnotis secara penting terhadap tatanan budaya usang dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menerangkan bahwa hubungan eksekutif zenit terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai poly dampak terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yg lebih baik. Secara generik penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sebagai akibatnya kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diperlukan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai karakteristik pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yg sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional. 

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya merupakan melakukan simulasi serta konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tadi.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sebagai akibatnya kata budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua pada kalangan akademisi. Tetapi demikian pada perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi misalnya halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yg adalah abstraksi dari kenyataan yang dapat diamati menurut banyak dimensi. Sehingga banyak pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi berdasarkan majemuk perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yg difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu pola berdasarkan perkiraan-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok eksklusif menggunakan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan menggunakan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-kasus tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara benar dan cara yang sempurna.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan dalam suatu organisasi yang menciptakan dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang mencakup perilaku, nilai-nilai, norma konduite dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-norma serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara fundamental dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), 2) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) herbi sesuatu yg bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh gerombolan -grup yang secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memperlihatkan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi., dua) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membangun perilaku menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya juga konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yang berimplikasi pada kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tersebut ditimbulkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi berdasarkan konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan grup aktivitas organisasional mana yg mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi nir membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), ada 3 alasan meliputi teoritis, realitas dan mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel krusial dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat menciptakan judgements tentang kinerja (performance) banyak sekali organisasi. Namun demikian, paling tidak terdapat 2 pandangan yang paling poly digunakan pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya menggunakan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis hasil yg sudah digunakan, termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan grup atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut menggunakan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi pada dalam organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yg berkembang pada khasanah akademik bisa dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh asal daya-asal daya yg dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan kentara antara aneka macam proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait memiliki efek bertenaga terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir jelas kriterianya atau seringkali berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hayati organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau aneka macam strategi pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan aneka macam konsepsualisasi organisasi yg berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan harus dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional serta ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tadi mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut bisa menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian serta kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memperlihatkan dukungan krusial bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki imbas terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama pada perusahaan yg memiliki budaya yang sesuai dengan taktik serta dapat menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga dipengaruhi sang aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta gambaran perusahaan (merk equity).

Pandangan tadi sejalan menggunakan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter serta Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter serta Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat peran primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi menurut penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki impak yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada dalam perussahaan terdiri berdasarkan orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat untuk menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian jua output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger dalam dekade 1980-an yang memberitahuakn bahwa merger seringkali mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over misalnya yg diperoleh berdasarkan sejumlah output riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung jua oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), serta Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi mengenai efek budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi sudah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari banyak sekali departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yg menemukan bukti empiris adanya dampak positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif pada peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional memiliki kiprah yg sangat strategis untuk mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg kemudian berakibat pula pada pendefinisian yg beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis dalam perspektif-perspektif individu dan aspek dari kenyataan perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite menurut seorang individu yg memimpin aktivitas-aktivitas suatu grup ke suatu tujuan yg ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan eksklusif. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan pembentukan awal dan pemeliharaan struktur dalam asa serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan menjadi proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin adalah mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial dan yg diharapkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap bisnis kolektif dan yg menyebabkan kesediaan buat melakukan bisnis yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses efek sosial (imbas yg sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain buat menstruktur aktivitas-aktivitas dan interaksi-hubungan pada dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung dalam preferensi metoda dari peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut langsung para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yg tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan dari perilaku, terbagi ke dalam 2 kategori. Kategori pertama adalah penelitian tentang sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan saat mereka, dan mencoba mengungkapkan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi serta tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yang efektif serta tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki serta cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi ditinjau menjadi hal krusial bukan saja untuk mensugesti bawahan, namun pula kawan sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mensugesti studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh fokus kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang kepada para pengikut. Studi ini jua berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan bisnis yang luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan dan misi organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana donasi kepemimpinan pada pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan mensugesti budaya dan kinerja organisasional telah cukup banyak ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya serta struktur organisasi supaya lebih konsisten dengan strategi-taktik manajemen buat mencapai sasaran organisasional. Hal tadi meliputi proses membentuk komitmen terhadap sasaran organisasi serta memberi agama pada para pengikut buat mencapai target tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin serta pengikut saling meningkatkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja pada organisasi dalam jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang adalah bentuk kepemimpinan terhadap bawahan menggunakan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yg relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi 3 dimensi yg memformulasikan teori kepemimpinan transformasional mencakup: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yg diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yg padanya seorang pemimpin menghipnotis para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat serta identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual merupakan sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap masalah-kasus dan mensugesti para pengikut buat memandang kasus-kasus menurut sebuah perspektif yang baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yg dikemukakan Bass dan Avioli (1990) menggunakan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yg didefinisikan menjadi sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, menggunakan simbol-simbol buat buat memfokuskan usaha-bisnis bawahan, dan memodelkan perilaku-konduite yang sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan pada para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) jua memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting pada dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan tentang pekerjaan yang diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus serta contingent rewards buat mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yang mencakup penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap penyimpangan yg konkret menurut standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan transformasional sebagai proses yg berbeda, tetapi nir saling tertentu, dan dari Bass pemimpin yang sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tadi pada waktu-saat serta situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional menggunakan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini sebagai kenyataan yg tak jarang dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sehingga karisma nir relatif pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yg membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan eksklusif menurut dalam komitmen terhadap impian.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas interaksi pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 mekanisme, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, tiga) pemodelan kiprah, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yg padanya seseorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yg tidak sama.

Berdasarkan uraian di atas, contoh berdasarkan penelitian digambarkan menjadi berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah menunjukkan dalam kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yg selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian bertenaga dalam mereka yg dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik konduite transformasional yg luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai impian atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan gambaran konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan menghipnotis budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Namun demikian poly fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian tak jarang disebabkan tatanan budaya telah sedemikian bertenaga melekat dalam organisasi tadi. 

Trice serta Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi tentang suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional memperlihatkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menampakan bahwa interaksi eksekutif puncak terhadap kinerja memperlihatkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan nir mempunyai banyak dampak terhadap kinerja kecuali mereka memiliki keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diharapkan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir menghipnotis budaya secara eksklusif, tetapi mempertegas hubungan antara budaya organisasi serta keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan dalam aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga pada pendekatan ini nir menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tadi memungkinkan jenis karakteristik fisik, intelegensia dan psikologi sebagai variabel situasional pada kaitannya menggunakan interaksi antara budaya organisasional serta keefektifan organisasional. 

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU MAUPUN MANAJEMEN SEBAGAI SENI

Manajemen Sebagai Ilmu Maupun Manajemen Sebagai Seni
Perkembangan Teori Ilmu Manajemen
Banyak model yg dapat kita lihat sebagai bukti bahwa orang-orang dahulu sudah menerapkan manajemen dalam kehidupannya. Alexander The Great telah menerapkan konsep staf organisasi pada melakukan kampanye militernya. Menara Pissa pada Italia, Candi Borobudur di Indonesia, hingga banyak sekali bukti sejarah lainnya yang nir bisa disebutkan satu per satu.

Kesemua bukti tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya manajemen bukan adalah ilmu baru, bahkan dalam konsep yang paling tradisional sekalipun, sudah dikenal serta dijalankan oleh orang-orang terdahulu.

Terdapat 3 aliran pemikiran manajemen yg terdapat : genre klasik (yg akan dibagi menjadi 2 genre, manaje­men ilmiah dan teori organisasi klasik), genre hubungan manusiawi (seringkali disebut aliran neoklasik), dan aliran manajemen terbaru. Juga akan dibicarakan dua pendekatan manajemen yg berkembang akhir-akhir ini - pendekatan sistem serta pendekatan kontingen (con­tingency approach) - yang bermaksud buat mengintegrasikan ber­macam-macam teori manajemen yang terdapat.


Kelompok Pertama: Manajemen Klasik
Sebelum sejarah yg dianggap zaman manajemen ilmiah timbul, telah terjadi revolusi industri pada abad ke 19, yg menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan suatu pendekatan manajemen yg sistematik. Usaha-usaha pengembangan manajemen lalu dilaku­kan oleh para teoritisi. Pembahasan perkembangan teori-teori darn prinsip-prinsip manajemen selanjutnya akan dilakukan menggunakan me­nguraikan para tokoh dan gagasan-gagasan mereka.

Perkembangan Awal Teori Manajemen
Ada dua tokoh manajemen, yang mengawali keluarnya manaje­men ilmiah, yang akan dibahas disini, yaitu Robert Owen (1771-1858) dan Charles Babbage (1792-1871).

Robert Owen (1771 - 1858). Pada permulaan tahun 1800 an Robert Owen, seseorang manajer beberapa pabrik pemintalan kapas pada New Lanark Skotlandia, menekankan pentingnya unsur insan pada produksi. Dia membuat perbaikan-pemugaran pada syarat kerja, se­perti pengurangan hari kerja standar, restriksi anak-anak dibawah umur yg bekerja, membangun perumahan yg lebih baik bagi kar­yawan serta mengoperasikan toko perusahaan yang menjual barang-ba­rang dengan murah. Dia mengemukakan bahwa melalui perbaikan syarat karyawanlah yg akan meningkatkan produksi dan keuntung­an (keuntungan), serta investasi yg paling menguntungkan merupakan dalam kar­yawan atau "penting machmes". Disamping itu Owen menyebarkan sejumlah prosedur kerja yang jua memungkinkan peningkatan pro­duktivitas.

Charles Babbage (1792 - 1871). Charles Babbage, seorang profesor matematika dari Inggris, mencurahkan banyak waktunya untukk membuat operasi-operasi pabrik sebagai lebih efisien. Dia percaya bahwa aplikasi prinsip-prinsip ilmiah pada proses kerja akan menaik­kan produktifitas ian menurunkan biaya . Babbage adalah promotor pertama prinsip pembagian kerja me­lalui spesialisasi. Setiap tenaga kerja wajib diberi latihan ketrampilan yg sesuai menggunakan setiap operasi pabrik. Lini perakitan modern yg banyak dijumpai kini , dimana setiap karyawan bertanggung ja­wab atas pekerjaan tertentu yang berulang. Babbage menganjurkan kerjasama yg sa­ling menguntungkan antara kepentingan karyawan dan pemilik pa­brik, serta merencanakan skema pembagian laba.

Manajemen Ilmiah
Aliran manajemen ilmiah (scientific management) ditandai kon­tribusi-donasi berdasarkan Frederick W. Taylor, Frank serta Lillian Gil­breth, Hemy L. Gantt, serta Harrington Emerson, yg akan diuraikan satu persatu.

Frederick W. Tayor (1856 - 1915). Manajemen ilmiah mula-mula dikembangkan sang Frederick Winslow Taylor sekitar tahun 1900-an.taylor disebut menjadi "bapak manajemen ilmiah". Dalam kitab -kitab literatur, manajemen ilmiah tak jarang diarti­kan berbeda. Arti pertama, manajemen ilmiah merupakan penerapan metoda ilmiah dalam studi, analisa, serta pemecahan masalah-masalah organisasi. Sedangkan arti ke 2, manajemen ilmiah adalah seperang­kat mekanisme-prosedur atau teknik-teknik - "a bag of tricks" - buat menaikkan efisiensi kerja organisasi. Taylor menuangkan gagasan-gagasannya dalam 3 judul ma­kalah, yaitu Shop Management, The Principle of Scientific Manage­ment, dan Testimony Before the Special House Committee, yg di­rangkum pada sebuah kitab yg berjudul Scientific Management. Taylor telah memberikan prinsip-prinsip dasar (filsafat) penerapan pendekatan ilmiah dalam manajemen, serta menyebarkan sejumlah teknik-tekniknya buat mencapai efisiensi. Empat prinsip dasar ter­sebut merupakan :
Pengembangan metoda-metoda ilmiah pada manajemen, metoda yg paling baik buat aplikasi se­tiap pekerjaan dapat ditentukan. 

Seleksi ilmiah buat karyawan, agar setiap karyawan dapat di­berikan tanggung jawab atas sesuatu tugas sesuai dengan ke­mampuannya. 
Pendidikan dan pengembangan ilmiah para karyawan.
Kerjasama yg baik antara manajemen serta tenaga kerja.

Frank Bunker Gilbreth dan Lillian Gil­breth. Frank Gilbreth, seseorang pelopor pengembangan studi gerak dan waktu, membentuk berbagai teknik manajemen yg diilhami Taylor. Dia sangat tertarik terhadap perkara efisiensi, terutama un­tuk menemukan "cara terbaik pengerjaan suatu tugas". Sedangkan Lilian Gilbreth lebih tertarik dalam aspek-aspek ma­nusia pada kerja, misalnya seleksi, penempatan dan latihan personalia. Dia mengemukakan gagasannya dalam bukunya yang bexjudul The Psychology of Management. Baginya, manajemen ilmiah mempu­nyai satu tujuan akhir : membantu para karyawan mencapai seluruh potensinya menjadi mahluk hidup.

Hemy L. Gantt (1861 - 1919). Seperti Taylor, Hemy L. Gantt me­ngemukakan gagasan-gagasan (1) kerjasama yang saling menguntung­kan antara tenaga kerja dan manajemen, (dua) seleksi ilmiah tenaga kerja, (3) sistem bonus (insentif) buat merangsang produktivitas, serta (4) penggunaan instruksi-instruksi kerja yg jelas. Kontribusinya yg terbesar adalah penggunaan metoda grafik, yang dikenal sebagai "bagan Gantt" ( Gantt Chart ), buat perenca­naan, koordinasi serta supervisi produksi. Teknik-teknik scheduling modern dikembangkan atas dasar metoda scheduling produksi dari Grant.

Harrington Emerson (1853 - 1931). Pemborosan dan ketidak-efi­sienan merupakan perkara-kasus yang dipandang Emerson sebagai penyakit sistem industri. Oleh karena itu Emerson mengemukakan 12 (dua be­las) prinsip-prinsip efisiensi yang sangat terkenal, yg secara ring­kas adalah sebagai berikut :
1. Tujuan-tujuan dirumuskan dengan kentara.
2. Kegiatan yg dilakukan masuk akal
3. Adanya staf yang cakap.
4. Disiplin.
5. Balas jasa yang adil.
6. Laporan-laporan yang terpercaya, segera, akurat, sis­tem liputan dan akuntansi.
7. Pemberian perintah - perencanaan serta pengurutan kerja.
8. Adanya standar-standar, skedul-skedul, metoda serta ketika setiap aktivitas.
9. Kondisi yg distandardisasi. 
10. Operasi yg distandardisasi.
11. Instruksi-instruksi praktis tertulis yg baku. 
12. Balas jasa efisiensi - planning bonus.

Kebaikan serta kekurangan Manajemen Ilmiah
Metoda-metoda manajemen ilmiah sudah poly diterapkan pa­da beragam kegiatan organisasi, terutama pada bisnis pe­ningkatan produktivitas. Teknik-teknik efisiensi manajemen ilmiah, misalnya studi gerak serta ketika, telah menyebabkan aktivitas dapat pada­laksanakan lebih efisien. Gagasan seleksi serta pengembangan ilmiah para karyawan menimbulkan kesadaran akan pentingnya kemampu­an dan latihan buat menaikkan efektivitas karyawan. Akhirnya, manajemen ilmiah yang sudah mengemukakan pentingnya disain kerja, mendorong manajer buat mencari "cara terbaik" aplikasi tugas. Jadi, manajemen ilmiah tidak hanya berbagi pende­katan rasional buat pemecahan perkara-kasus organisasi tetapi pula meletakkan dasar profesionalisasi manajemen.

Setelah "revolusi mental" yg dicanangkan Taylor terjadi da­lam praktek, ada kasus-masalah sebagai keterbatasan penerap­an manajemen ilmiah. Kenaikan produktivitas seringkali nir diikuti ke­naikan pendapatan. Perilaku insan yang bermacam-macam menja­di kendala. Pendekatan "rasional" hanya memuaskan kebutuhan­kebutuhan hemat dan phisik, tidak memuaskan kebutuhan-kebu­tuhan sosial karyawan. Manajemen ilmiah pula mengabaikan keingin­an manusia buat kepuasan kerja. Beberapa keterbatasan ini yang menyebabkan bisnis-usaha para ahli manajemen berikutnya untuk melengkapi contoh manajemen ilmiah.

Teori Organisasi Klasik
Hemi Fayol (1841 - 1925). Hemi Fayol, seorang industrialis Peran­cis, mengemukakan teori dan teknik-teknik administrasi menjadi pe­doman bagi pengelolaan organisasi-organisasi yang kompleks pada bukunya yg terkenal, Administration Industrielle et Generale(Ad­ministrasi Industri serta Umum). Dalam teori administrasinya Fayol memerinci manajemen menjadi lima unsur, yaitu perencanaan, peng­organisasian, pemberian perintah, pengkoordinasian serta supervisi. Pembagian aktivitas manajemen (administrasi) atas fungsi-fungsi ini dikenal sebagai fungsionalisme Fayol.

Fayol membagi operasi-operasi perusahaan menjadi enam ke­giatan, yg semuanya saling tergantung satu menggunakan yang lain. Ke­giatan-kegiatan tadi merupakan (1) teknik - produksi dan manu­facturing produk, (2) komersial : pembelian bahan standar dan pen­jualan produk (3) keuangan (finansial) : perolehan serta penggunaan modal, (4) keamanan : proteksi karyawan dan kekayaan, (lima) akuntansi : pelaporan, dan pencatatan porto; laba serta hutang, pem­protesis neraca, dan pengumpulan data statistik, dan (6) manajerial.

Disamping itu Fayol juga mengemukakan empat belas prinsip­-prinsip manajemen yang secara ringkas adalah sebagai berikut :

Pembagian kerja : spesialisasi akan menaikkan efisi­ensi pelaksanaan kerja. 

2. Wewenang : hak buat memberi perintah dan dipatuhi.
Disiplin : respek serta ketaatan dalam peranan:peranan dan tujuan:tujuan organisasi. 
Kesatuan perintah : setiap karyawan hanya mendapat instruk­si tentang kegiatan eksklusif dari hanya seorang atasan. 
Kesatuan pengarahan : operasi-operasi pada organisasi yang memiliki tujuan yg sama wajib diarahkan oleh seseorang ma­najer menggunakan penggunaan satu planning. 
Meletakkan kepentingan perseorangan di bawah kepentingan umum : kepentingan perseorangan harus tunduk pada kepen­tingan organisasi. 
Balas jasa : kompensasi buat pekerjaan yg dilaksanakan wajib adil baik bagi karyawan juga pemilik. 
Sentralisasi : adanya ekuilibrium yang sempurna antara sentrali­sasi dan desentralisasi. 
Rantai skalar (garis wewenang) : garis wewenang serta perintah yang jelas. 
Order : bahan:bahan (material) dan orang:orang harus ada pada tempat dan waktu yang sempurna. Terutama orang-orang hendaknya ditempatkan pada posisi:posisi atau pekerjaan-pekerjaan yang paling cocok buat mereka. 

11. Keadilan : harus ada kesamaan perlakuan pada organisasi.
Stabilitas staf organisasi : taraf perputaran energi kerja yang tinggi tidak baik bagi aplikasi fungsi-fungsi organisasi. 
Inisiatif : bawahan wajib diberi kebebasan buat menjalankan serta menuntaskan rencananya, walaupun beberapa kesalahan mungkin terjadi. 
Esprit de Corps (semangat korps. : "kesatuan adalah kekuat­an", aplikasi operasi organisasi perlu memiliki kebanggaan, kesetiaan serta rasa memiliki menurut para anggota yang tercermin pada semangat korps. 

James D. Mooney. Mooney, eksekutif General Motors, mengkatego­rikan prinsip-prinsip dasar manajemen eksklusif. Dia mendefinisikan organisasi sebagai sekelompok, dua atau lebih, orang yang bergabung untuk tujuan tertentu. Menurut mooney, untuk merancang organisasi perlu diperhatikan empat kaidah dasar, yaitu (1) koordinasi : syarat­-syarat adanya koordinasi meliputi wewenang, saling melayani, dok­triri (perumusan tujuan) dan disiplin, (dua) prinsip skalar : proses ska­lar mempunya.I prinsip, prospek dan imbas sendiri yang tercermin menurut kepemimpinan, delegasi serta definisi fungsional, (tiga) prinsip fung­sional : adanya fungsionalisme bermacam-macam tugas yg berbe­da, serta (4) prinsip staf : kejelasan perbedaan antara staf serta lini.

Mary Parker Follett (1868 - 1933). Follett serta Barnard bertindak sebagai "jembatan" antara teori klasik dan hubungan manusiawi, ka­rena pemikiran mereka berdasarkan kerangka klasik, namun memper­kenalkan beberapa unsur-unsur baru tentang aspek-aspek hubungan manusiawi. Follett merupakan ahli ilmu pengetahuan sosial pertama yang me­nerapkan psikologi dalam perusahaan, industri dan pemerintah. Dia memberikan sumbangan besar dalam bidang manajemen melalui apli­kasi praktik ilmu-ilmu sosial dalam administrasi perusahaan. Dia me­nulis panjang lebar mengenai kreatifitas, kerjasama antara manajer serta bawahan, koordinasi serta p'emecahan pertarungan. Follett percaya bahwa perseteruan bisa dibuat konstruktif dengan penggunaan proses integrasi dimana orang-orang yang terlibat mencari jalan pemecahan beserta disparitas-disparitas diantara mereka. Dia pula menguraikan suatu pola organisasi yang ideal di mana manajer mencapai koordinasi me­lalui komunikasi yg terkendali menggunakan para karyawan.

Chaster L.barnard (1886 - 1961), Chester Barnard, presiden perusa­haan Bell Telephone di New Jersey, menulis bermacam-macam su­byek manajemen dalam bukunya The Functions of the Executive yg ditulis dalam tahun 1938. Dia memandang organisasi sebagai sistem aktivitas yg diarahkan dalam tujuan. Fungsi-fungsi utama ma­najemen, dari pandangan Barnard, merupakan perumusan tujuan dan pengadaan sumber daya-sumber daya yg dibutuhkan buat menca­pai tujuan.

Barnard menekankan pentingnya peralatan k,omunikasi, buat pencapaian tujuan kelompok. Dia jua mengemukakan teori peneri­maan dalam kewenangan. Menurut teorinya, bawahan akan menerima perintah hanya jika mereka memahami dan sanggup serta berke­inginan buat menuruti atasan (lihat bab 10). Barnard adalah pelo­por dalam penggunaan "pendekatan sistem" buat pengelolaan orga­nisasi.

Aliran Hubungan Manusiawi
Aliran hubungan manusiawi (konduite manusia atau neoklasik) timbul lantaran ketidak puasan bahwa yg dikemukakan pendekatan klasik nir sepenuhnya membuat efisiensi produksi serta kehar­monisan kerja. Para manajer masih menghadapi kesulitan-kesulitan serta putus harapan karena karyawan tidak selalu mengikuti pola-pola perilaku yg rasional. Sehingga pembahasan "sisi konduite insan" da­lam organisasi sebagai krusial. Beberapa pakar mencoba melengkapi teori organisasi klasik dengan pandangan sosiologi dan psikologi.

Hugo Munsterberg (1863 - 1916). Sebagai pencetus psikologi in­dustri, Hugo Munsterberg acapkali dianggap "bapak psikologi indus­tri". Dalam bukunya Psikology and Industrial Efficiency, dia banyak menguraikan penerapan peralatan-alat-alat psikologi buat membantu pencapaian tujuan produktifitas. Dia mengemukakan bahwa buat mencapai peningkatan produktifitas dapat dilakukan menggunakan melalui 3 cara, (1) inovasi best possible person, (2) penciptaan best possible work, dan (tiga) penggunaan best posible effect untuk memotivasi karyawan. Munsterberg menyarankan penggunaan teknik-teknik yang di­ambil dari psikologi eksperimen. Sebagai model, aneka macam metoda mengenai psikologi dapat dipakai buat menentukan ciri ter­tentu yang cocok menggunakan kebutuhan suatu jabatan. Riset belajar da­pat mengarahkan pengembangan metoda latihan. Dan studi perilaku insan bisa membantu perumusan teknik-teknik psikologi buat memotivasi karyawan. Sebagai tambahan, Munsterberg mengingatkan adanya pengaruh faktor-faktor sosial serta budaya terhadap organisasi.

Elton Mayo (1880 - 1949) dan Percobaan percobaan Hawthorne. "Hubungan manusiawi" tak jarang digunakan menjadi kata umum buat menggambarkan cara pada mana manajer berinteraksi menggunakan bawahan­nya. Jika "manajemen personalia" mendorong lebih banyak serta lebih baik dalam kerja, interaksi manusiawi dalam organisasi adalah "baik". Jika moral dan efisiensi memburuk hubungan manusiawi da­lam organisasi adalah "tidak baik". Untuk membangun interaksi manu­siawi yang baik, manajer harus mengerti mengapa karyawan bertin­dak misalnya yang mereka lakukan serta faktor-faktor sosial dan psiko­logi apa yang memotivasi mereka. Elton Mayo, dan asisten risemya Fritz J. Roethlisberger serta William J. Dickson, mengadakan suatu studi tentang perilaku manu­sia dalam bermacam situasi kerja yg sangat terkenal pada pabrik Howthorne milik perusahaan Western Electric menurut tahun 1927 hingga 1932. Mereka sudah membagi karyawan menjadi grup peneliti­an. Percobaan pertama dilakukan buat meneliti pengaruh syarat penjelasan terhadap produktivitas. Ketika syarat penerangan di­naikkan, produktivitas juga naik seperti yang diperkirakan. Tetapi saat kondisi penerangan dikurangi sampai misalnya bila hanya meng­pakai sinar mentari , ternyata produktivitas tetap naik. Usaha-usa­ha percobaan selanjutnya buat memecahkan perkara "misterius" ini merupakan era baru interaksi manusiawi.

Dalam percobaan selanjutnya, Mayo serta kawan-kawannya me­nempatkan dua grup yang masing-masing terdiri enam karyawa­ti pada ruang terpisah. Dalam keliru satu ruang kondisi diubah-ubah secara periodik, dan ruang lainnya tidak. Sejumlah variabel-variabel dicoba : upah dinaikkan; periode istirahat serta jam makan siang la­manya di ubah-ubah, hari kerja dan minggu kerja diperpendek; pe­neliti yang bertindak menjadi atasan mengikuti gerombolan urtuk me­milih periode istirahatnya sendiri dan memberikan kesempatan un­tuk mengajukan usul perubahan.

Sekali lagi, keluaran pada ke 2 ruang ternyata sama-sama mening­kat. Mayo serta kawan-kawan bisa mengesampingkan bahwa insentif keuangan bukan penyebab kenaikan produktivitas, lantaran skedul pembayaran kelompok yg diteliti dipertahankan sama. Mereka menyimpulkan bahwa rantai reaksi emosional yg kompleks sudah mempengaruhi peningkatan produktivitas. Hubungan manusiawi pada antara anggota kelompok terpilih, maupun menggunakan peneliti (pengawas) lebih penting pada menentukan produktivitas daripada perubahan­perubahan syarat kerja di atas. Perhatian simpatik dari pengawas Yang mereka terima sudah mendorong peningkatan motivasi mereka.

Percobaan ini mengarahkan Mayo buat inovasi penting lain­nya bahwa perhatian khusus misalnya perasaan terpilih sebagai parti­sipan pada studi yang dilakukan manajemen zenit) sangat mempe­ngaruhi usaha-usaha mereka. Phenomena ini dikenal menjadi Haw­ thorne effect.

Penemuan lainnya merupakan bahwa gerombolan kerja informal lingkungan sosial karyawan juga memiliki efek akbar dalam produktifitas. Kemudan, konsep "mahluk sosial" dimotivasi oleh kebutuhan sosial, cita-cita akan hubungan timbal pulang pada pe­kerjaan, serta lebih responsif terhadap dorongan grup kerja supervisi manajemen sudah menggantikan konsep "ma­khluk rasional" yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan phisik manusia. 

Kebaikan dan kekurangan Pendekatan Hubungan Manusiawi
Penekanan kebutuhan-kebutuhan sosial pada genre hubungan manusiawi melengkapi pendekatan klasik, menjadi usaha buat me­ningkatkan produktivitas. Aliran hubungan manusiawi mengutarakan bahwa perhatian terhadap para karyawan akan memberikan keun­tungan. Sebagai tambahan, Mayo menekankan pentingnya gaya ma­najer dan oleh karenanya organisasi perlu merubah latihan manajemennya. Di samping itu, manajer diingatkan pentingnya perhatian terhadap proses grup untuk melengkapi perhatian terhadap ma­sing-masing karyawan secara individual.

Teori interaksi manusiawi ini mengilhami para ilmuwan peri­laku manusia misalnya Argyris, Maslow, serta McGregor buat memba­has lebih lanjut motivasi insan. Konsep "mahluk sosial" tidak mendeskripsikan secara lengkap individu-individu pada tempatnya bekerja. Hal ini merupakan keliru satu keterbatasan teori interaksi manusiawi. Disamping itu perbaik­an-perbaikan kondisi ke:ja serta kepuasan karyawan tidak menghasil­kan peningkatan produktivitas yg dramatik misalnya yg diharap­kan. Juga, lingkungan sosial di tempat kerja hanya salah satu berdasarkan­beberapa faktor yg saling berinteraksi yang mensugesti produk­tivitas. Tingkat upah, seberapa jauh pekerjaan itu menarik, struktur organisasi dan hubungan perburuhan jua memainkan peranan. Jadi, produktivitas dan kepuasan kerja sebagai semakin kompleks dari yang dipikirkan semula.

Aliran Manajemen Modern
Manajemen terbaru berkembang melalui 2 jalur yg berbeda. Jalur pertama merupakan pengembangan dari aliran hu­bungan manusiawi yang dikenal menjadi konduite organisasi, dan yang lain dibangun atas dasar manajemen ilmiah, dikenal menjadi genre kuantitatif (operation research serta management science atau manaje­men operasi). 

Perilaku Organisasi
Perkembangan aliran perilaku organisasi ditandai menggunakan pan­dangan dan pendapat baru tentang perilaku manusia dan sistem so­naas. Tokoh-tokoh genre ini diantaranya :
Abraham Maslow yg mengemukakan adanya "hirarki ke­butuhan" pada penjelasannya tentang perilaku insan dan dinamika proses motivasi. 

2. Douglas McGregor menggunakan teori X serta teori Y nya.
Frederick Herzberg yg menguraikan teori motivasi bersih atau teori 2 faktor. 
Robert Blake dan Jane Mouton yg membahas 5 gaya ke­pemimpinan menggunakan terali manajerial (managerial grid). 
Rensis Likert yg sudah mengidentifikasi serta melakukan pene­litiannya secara ekstensif mengenai empat sistem manajemen, dari sistem 1: exploitif-otoritatif hingga sistem 4 : partisipatif kelompok. 
Fred Fiedler yang menyarankan pendekatan contingency pada studi kepefnimpinan. 
Chris A. Yang memandang organisasi sebagai sistem sosial atau sistem antar interaksi budaya. . 
Edgar Schein yang poly meneliti dinamika grup dalam organisasi, serta lain-lainnya. 
Hampir seluruh gagasan yang dikemukakan tokoh-tokoh di atas akan dibahas lebih jelas pada bab-bab selanjutnya di belakang. 

Prinsip-Prinsip Dasar Perilaku Organisasi
Prinsip dasar berdasarkan pendapat para tokoh manajemen terbaru merupakan menjadi berikut : 
Manajemen nir dapat ditinjau menjadi suatu proses teknik secara ketat (peranan, mekanisme, prinsip). 
3. Manajemen wajib sistematik, serta pendekatan yang dipakai wajib dengan pertimbangan secara hati-hati.
4. Organisasi sebagai suatu keseluruhan dan pendekatan manajer individual buat supervisi harus sesuai dengan situasi.
5. Pendekatan motivasional yang membuat komitmen pekerja terhadap tujuan organisasi sangat diharapkan.

Sebagai tambahan beberapa gagasan yang lebih khusus dari ber­bagai riset perilaku adalah :
1. Unsur manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau kega­galan pencapaian tujuan organisasi.
2. Manajer masa sekarang harus diberi latihan dalam pemahaman prin­sip-prinsip serta konsep-konsep manajemen.
Organisasi harus menyediakan iklim yang mendatangkan kesem­patan bagi karyawan buat memuaskan seluruh kebutuhan me­reka. 
4. Komitmen dapat dikembangkan melalui partisipasi serta keterli­batan para karyawan.
5. Pekerjaan setiap karyawan harus disusun yg memungkinkan mereka mencapai kepuasan diri berdasarkan pekerjaan tadi.
Pola-pola pengawasan serta manajemen supervisi wajib diba­ngun atas dasar pengertian positif yang menyeluruh mengenai karyawan dan reaksi mereka terhadap pekerjaan.