Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Undang-Undang
Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 serta kemudian dirubah sebagai Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penganti Undang Undang No. Lima Tahun 1974, diskusi mengenai efektivitas pelayanan publik dalam otonomi wilayah sebagai semakin menarik buat dibicarakan.
Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang tadi dilakukan, tetapi peningkatan pelayanan publik publik sebagai sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.
Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yg mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten dan kota yg memiliki pemerintahan wilayah yang diatur pada undang-undang. Selanjutnya, pasal 2 ayat (dua) menyebutkan bahwa pemerintah wilayah propinsi, wilayah kabupaten serta kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dari azas swatantra serta tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah sentra, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah serta peraturan lain sesuai menggunakan ketentuan berlaku.
Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut merupakan meningkatkan kecepatan terwujudnya kesejahteraan warga melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan kiprah dan rakyat. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemerintahan daerah dalam menaikkan efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan swatantra daerah, perlu memperhatikan antar susunan pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004 mengatur hubungan keuangan pusat serta wilayah, pelayanan umum, pemanfaatan asal daya alam serta sumber daya lainnya secara adil dan selaras.
Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yg seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah pada kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan, karena itu pemerintah masih perlu membuat taktik serta kebijakan supaya dapat memenuhi hak azazi warga negara serta membutuhkan solusi menyeluruh buat membuat pelayanan publik yg baik. Sebagai citra serta fenomena pelayanan publik pada Provinsi Sumatera Barat waktu ini misalnya terlihat rendahnya taraf kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan pada wilayah. Indikasi menerangkan bahwa Pemda melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006 - 2010 menempatkan hal ini menjadi skala prioritas primer. Dalam bagian IV, (Agenda penyelenggaraan pemerintahan wilayah yang baik serta bersih Bab II diatur mengenai Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) yang menerangkan bahwa menurut output identifikasi pada pelatihan pelayanan publik masih banyak perseteruan yang perlu ditindaklanjuti serta diselesaikan misalnya : belum kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya pandangan hidup kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi berita serta belum ada instrumen yang kentara buat mengevaluasi kualitas pelayanan.
Sasaran yg hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik tahun 2006-2010 ke depan merupakan :
1. Terlaksananya pelayanan publik pada rakyat sinkron menggunakan baku layanan yg ditetapkan.
2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.
3. Meningkatnya pandangan hidup kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.
4. Meningkatnya kemandirian rakyat dalam menerima pelayanan publik.
5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi pada pemberian pelayanan publik.
6. Meningkatnya kiprah warga terhadap evaluasi kinerja aparatur pelayanan publik.
Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan pelayanan publik serta pengembangan partisipasi publik (rakyat) yg berada dalam rencana penyelenggaraan pemerintahan yg baik serta bersih bersamaan menggunakan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi serta nepotisme, pembangunan hukum serta proteksi hak azazi manusia, peningkatan keamanan serta ketertiban.
Dengan demikian "perkara" Pelayanan publik telah diakomodir pada suatu konsepsi serta taktik kebijakan buat kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni menggunakan gosip bagaimana menaikkan kualitas pelayanan publik tadi berdasarkan tahun ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan pada tempat.
Berdasarkan berita pada RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya kualitas pelayanan publik tersebut, galat satu antara lain terdapat dalam Perangkat Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Fakta lain menyebutkan, walaupun jumlah penerimaan daerah yg asal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung pertanda peningkatan dan menaruh kontribusi yg besar terhadap penerimaan wilayah, pencapaian hasil nisbi masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
Bertitik tolak berdasarkan fakta serta fenomena di atas, maka penulis tertarik buat melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap serta menganalisanya secara mendalam menggunakan fokus yang diarahkan pada peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak wilayah yang asal menurut pajak tunggangan bermotor serta bea pulang nama kendaraan bermotor melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat pada Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.
Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan Kantor Bersama SAMSAT ini terdapat tiga unit kerja yg terkait serta bekerjasama, yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.Q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.Q. Kepolisian Daerah serta PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya tiga unit kerja perkara yang ditemukan pada pelayanan adalah bertemunya 3 (3) kepentingan yang tidak sinkron yg saling membutuhkan dan saling berafiliasi, namun menyatu serta saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).
Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan menaruh pelayanan publik secara prima kepada warga . Pihak Pemda pada menaruh pelayanan bertujuan buat peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan dana pembangunan yang dari berdasarkan sumber-asal PAD, sedangkan pada pihak lain Polda lebih berkepentingan pada perkara pengidentifikasian kepemilikan serta keamanan.
Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) telah sinkron dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, tetapi efektivitas eksistensi pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis tertarik buat melakukan kajian karena sepengatahuan penulis belum ada yang menelaahnya, terutama apabila dikaitkan menggunakan suasana dan perbedaan makna tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance and Clean Government). Penulisan serta penganalisaan mempedomani teori-teori dari Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan menggunakan aspek normatif menurut aneka macam ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).
A. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi wilayah yg melekat pada eksistensi pemerintah wilayah, jua sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan wilayah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan serta praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya merupakan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju serta sejahtera, setiap orang bias hidup damai, nyaman, masuk akal sang lantaran memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.
Oleh karenanya keperluan swatantra di tingkat lokal dalam hakekatnya adalah buat memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) swatantra daerah itu diberikan oleh pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya mendapat penyerahan menurut pemerintah sentra. Berbeda halnya menggunakan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi wilayah sudah inheren dalam negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat pada pihak lain (pemerintah daerah) buat dilaksanakan dianggap menggunakan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yg dipakai dalam system pemerintahan adalah kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, wewenang pemerintah baik di sentra juga di daerah, dipusatkan pada tangan pemerintahan sentra.
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi wewenang kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan wilayah yg menghendaki adanya swatantra pada penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak serta pemerintah wilayah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan pada rangka penyerahan kewenangan otonomi wilayah, antara negara yang satu menggunakan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian berdasarkan sebagian kekuasaan pemerintah oleh grup yang berkuasa di sentra terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing mempunyai otorisasi dalam daerah eksklusif suatu negara.
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi menjadi proses melakukan pendekatan pada pemerintah wilayah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan pada daerah. Pemerintah sentra diisyaratkan buat menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Daerahseagai wujud aplikasi desentralisasi.
Tujuan desentralisasi secara umum sang Smith dibedakan atas dua (2) tujuan primer, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain buat memperkuat pemerintah daerah, buat menaikkan keterampilan serta kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan warga , serta buat mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain merupakan untuk menaikkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta buat menaikkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.
Sedangkan D. Juliantara, dkk menaruh pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal menurut bahasa latin, de ialah tanggal serta centrum ialah sentra. Lebih jauh dia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yg lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi terbaru, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan generik yg diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah buat memberikan legitimasi terhadap tugas serta kewenangan forum-lembaga politik di tingkat nasional serta jua pada taraf local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yg memintah serta menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan pada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan swatantra wilayah serta bahkan kadangkala sulit buat membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan swatantra daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih khusus, ungkin nir berlebihan ila dikatakan terdapat atau tidaknya swatantra wilayah sangat ditentukan sang beberapa jauh kewenangan yg sudah didesentralisasikan sang Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis seringkali menggunakan kata desentralisasi serta swatantra wilayah secara bersamaan, interchange”.
Adanya otonomi wilayah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana eksistensi negara hanya dipercaya sebagai instrument sang kaum kapitalis. Kondisi ini lalu melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya swatantra dari imbas partai politik (partai komunis) yg cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk memperkecil serta bahkan menghilangkan dampak-efek ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis serta sosialis. Berbeda halnya menggunakan hadiah otonomi dengan pemerintah local, yaitu buat memperbesar wewenang mengatur serta mengurus tempat tinggal tangganya sendiri.
Oleh karena itu, keperluan swatantra di tingkat local dalam hakikatnya adalah buat memperkecil hegemoni pemerintah pusat kepada wilayah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya menerima penyerahan berdasarkan pemerintah sentra. Berbeda halnya menggunakan otonomi daerah pada negara federal, pada mana otonomi daerah telah melekat dalam negara-negara bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan kewenangan oleh badan-badan generik yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yg lebih rendah buat secara berdikari serta dari pertimbangan kepentingan sendiri merogoh keputusan pengaturan dalam pemerintahan, dan struktur kewenangan yg terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas meliputi setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah sentra baik pada daerah maupun pada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan pada wilayah.
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya memiliki makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yg seluruh termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/forum pemerintahan di wilayah.
Prakarsa buat menemukan prioritas, menentukan alternatif dan merogoh keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik pada hal memilih kebijaksanaan, perencanaan, maupun aplikasi sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Lebih dalam lagi, jika kita cermati prinsip-prinsip aturan dalam pengelolaan perkara-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) jika sumber daya serta kasus-perkara publik dikelola secara efektif dan efisien dan aspiratif yg didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas serta partisipasi masyarakat dan rule of law.
Oleh karenanya aplikasi kewenangan politik, ekonomi dan administrasi pada mengelola kasus-masalah layanan tadi perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan asal daya yang dimiliki, misalnya prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance serta participatory development.
Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam aplikasi swatantra daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani serta diterapkan dalam pengelolaan asal daya pendapatan daerah, lantaran menurut teori subsidiarity secara lugas serta tegas dikatakan bahwa kewenangan yg telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (sentra) kepada pemerintah taraf lebih rendah (seperti provinsi serta atau kabupaten/kota) akan bisa ditarik pulang sang tingkat lebih atas jika ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya nir bisa melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya menjadi mana mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi pada menjalankan urusan swatantra daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya hadiah pelayanan publik yg baik terhadap harus pajak sektor eksklusif jelas akan sebagai berukuran taraf kemampuan yg realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.
Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak sanggup mengelola kewenangan serta administrasi pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat mempunyai otoritas penuh buat menarik kembali penyerahan/hadiah kewenangan buat mengelola urusan seperti wewenang mengelola/memungut pajak wilayah tertentu.
Berdasarkan penerangan di atas, kita dapat tahu bahwa galat satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yg semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan wilayah akan menaruh pelayanan yang lebih baik dibandingkan menggunakan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah menggunakan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah pada era otonomi, dibutuhkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga bisa menaikkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian wilayah adalah supaya daerah bisa mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan wilayah terhadap pusat dalam pengambilan banyak sekali keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yg dibuat sang daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat serta lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Kemandirian wilayah ini adalah dimaksudkan buat tujuan hadiah pelayanan yg efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, sempurna serta cepat itu merupakan adalah cerminan berdasarkan efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien apabila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien jika jalan tersebut berguna oleh rakyat yang ada pada sekitarnya. Begitu pula halnya menggunakan pendirian tempat tinggal sakit dalam lokasi tertentu.
Dalam rangka itu reposisi wilayah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan banyak sekali potensi dan aspirasi warga daerah, sehingga warga di wilayah bisa mengekspresikan kepentingan serta kehendaknya. Untuk itu pemerintah wilayah perlu menyusun kerangka kerja yg memungkinkan terserapnya banyak sekali potensi serta aspirasi warga terutama prinsip pelayanan.
Mengingat tujuan primer dibentuknya pemerintahan merupakan untuk menjaga sistem ketertiban di pada rakyat, sebagai akibatnya sanggup menjalani kehidupannya secara lumrah. Pemerintah diadakan tidaklah buat melayani dirinya sendiri tetapi jua buat melayani masyarakat, dalam mengembangkan kemampuan serta kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut diharapkan oaparatur yang berkualitas, mempunyai kemampuan pada melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan rakyat secara memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi menjadi acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan kegiatan masyarakat tidak membahayakan negara serta bangsa.
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa buat mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan. Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat menggunakan masyarakat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, ekonomis, murah, responsif, inovatif, akomodatif serta produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the closer givernment, the better it service”. Dalam desentralisasi terkandung makna otonomi serta demokratisasi. Dua istilah tadi yakni swatantra serta demokrasi nir mungkin dipisahkan, ia ibarat 2 sisi mata uang yg satu dan yg lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dan sebaliknya demokratisasi tanpa swatantra merupakan kebohongan. Dalam sejarah otonomi pada Indonesia semenjak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal pada undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi pada implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan otoaktivitas wilayah sebagai tersumbat. Hal itulah yg kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yg sangat menguras tenaga menyelesaikannya. Adanya swatantra kebijakan swatantra khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir pada tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu bila sentra menyadari secara filosofis serta sosiologis swatantra yg dibangun bikan linear atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.
2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas serta fungsi utama pemerintah wilayah. Hal ini berkaitan menggunakan fungsi dan tugas pemerintahan secara generik, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yg baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan bisa mewujudkan tujuan negara yaitu membangun kesejahteraan masyarakat. Pelayanan pada rakyat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan. Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tadi dilakukan sang pemerintah sentra, pemerintah wilayah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yg menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, serta ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Dengan demikian yg dimaksud pelayanan publik merupakan pelayanan yg diberikan sang negara/wilayah serta perusahaan milik negara kepada masyarakat buat memenuhi kebutuhan dasarnya pada rangka membangun kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah baik sentra juga daerah mempunyai 3 fungsi utama : 1) menaruh pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi buat menaikkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), serta tiga) memberikan perlindungan (protective) masyarakat. Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib menaruh pelayanan publik secara perorangan juga khalayak/publik. Pelayanan untuk orang perorangan misalnya hadiah KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan liputan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki 5 serta lain-lain.
Oleh karenanya pemerintah daerah wajib menaruh pelayanan perorangan menggunakan porto murah, cepat serta baik, harus mendapatkan pelayanan yg sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas menggunakan perilaku yang sopan serta ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, wajib diperlakukan sama.
Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, porto maupun waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah wilayah kepada khalayak jua harus adil dan merata. Pemda nir boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok warga eksklusif, sehingga yg satu diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.
Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus bisa memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yg diberikan oleh pemerintah wilayah sanggup diukur dengan indikator-indikator : gampang, murah, cepat, nir berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu apabila ada kesulitan, adil dan merata serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, mencakup dimensi-dimensi berikut :
- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan saat tunggu serta saat proses
- Akurasi pelayanan, berkaitan menggunakan keakuratan pelayanan serta bebas berdasarkan kesalahan-kesalahan.
- Kesopanan serta keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan prilaku orang-orang yg berintegrasi pribadi pada pelanggan eksternal.
- Tanggung jawab, berkaitan menggunakan penerimaan pesanan serta penanganan keluhan pelanggan eksternal (rakyat).
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
- Kenyamanan menerima pelayanan, berkaitan menggunakan lokasi, ruangan loka pelayanan, tempat parkir, ketersediaan liputan dan petunjuk panduan lainnya.
- Atribut pendukung lainnya, misalnya lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, serta lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen pemugaran kualitas yang dikenal menggunakan konsep Vincent.
Konsep ini terdiri berdasarkan strategi pemugaran kualitas yaitu :
- Visionary transformation (tranformasi misi)
- Infrastructure (infrastruktur)
- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
- Customer Focus (Fokus Pelanggan)
- Empowerment (Pemberdayaan)
- NewViews of Quality (ilham mengenai kualitas)
- Top Management ( Komitmen manajemen zenit)
4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP membuatkan istilah baru yaitu ”governace” sebagai pendamping istilah ”government”. Istilah tadi sekarang sedang sangat terkenal digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke pada Bahasa Indonesia dalam aneka macam kata. Ada yang menterjemahkan sebagai ”tata pemerintahan”, ada jua yg menterjemahkan sebagai ”kepemerintahan”.
Perubahan penggunaan istilah menggunakan pengertiannya akan mengganti secara fundamental pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan pada seluruh global, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan meliputi 3 dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur interaksi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan wilayah, struktur interaksi antara eksekutif dan legislatif juga struktur hubungan antara pemerintah menggunakan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-fungsi yg dijalankan pemerintah sentra, pemerintah daerah maupun rakyat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi juga eksraorganisasi.
United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada istilah governance menjadi “pelaksanaan wewenang politik, ekonomi, serta administrasi dalam mengelola perkara-perkara bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) jika sumber daya publik dan masalah-perkara publik dikelola secara efektif dan efisien, yg merupakan respon terhadap kebutuhan rakyat. Tentu saja pengelolaan yg efektif serta efisien serta responsive terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam serta pengelolaan kasus-masalah publik yg berdasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparan.
Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yg baik (penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan yg bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yg higienis.
Baik buruknya suatu pemerintahan mampu dievaluasi bila dia telah bersinggungan menggunakan semua unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.
Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap masyarakat negara mempunyai hak dan kewajiban buat merogoh bagian dalam bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat. Partisipasi tersebut bisa dilakukan secara eksklusif maupun melalui institusi intermediasi misalnya DPRD, LSM serta lain sebagainya. Partisipasi warga masyarakat negara dilakukan nir hanya dalam tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara dianggap transparansi pada kegiatan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan, yaitu :
- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
- Ada keterlibatan secara emosional
- Memperoleh manfaat secara langsung juga tidak eksklusif menurut keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan pada rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu kondisi kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan aturan yang adil serta dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yg tegas, tidak akan tercipta kehidupan yg demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yg sehat, baik software (aplikasi), perangkat keras (hardware) maupun asal daya manusia yg menjalankan sistemnya (human ware).
Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance merupakan keterbukaan. Karakteristik ini sinkron menggunakan semangat zaman yang serba terbuka dampak adanya revolusi liputan. Keterbukaan tadi mencakup semua aspek kegiatan yang menyangkut kepentingan publik mulai menurut proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai dalam tahap evaluasi.
Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis menurut keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu mempunyai daya tanggap terhadap hasrat maupun keluhan para pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tadi terutama ditujukan dalam sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, sombong dan berorientasi dalam kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan warga terhadap pelayanan yg diberikan sang sektor publik, secara periodik perlu dilakukan kuesioner tingkat kepuasan konsumen (custumer satisfaction).
Berorientasi dalam Konsenseus (Consensus Orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada dasarnya adalah kreatifitas politik, yg berisi dua hal primer yaitu pertarungan dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan keputusan juga pemecahan kasus beserta lebih diutamakan dari mufakat, yang dilanjutkan menggunakan kesedian buat konsisten melaksanakan mufakat yg telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, lantaran nilai dasar kita pada memecahkan masalah bangsa merupakan melalui “musyawarah”.
Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap rakyat negara memiliki kesempatan yg sama buat memperoleh kesejahteraan. Akan namun lantaran kemampuan masing-masing masyarakat negara bhineka, maka sektor publik perlu memainkan peranan supaya kesejahteraan serta keadilan bisa berjalan seiring sejalan.
Keefektifan serta Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar bisa berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, aktivitas domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas serta efisiensi dalam setiap aktivitas. Tekanan perlunya efektivitas serta efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetensi nir akan tercapai efisiensi.
Akuntabilitas (Accountability)
Setiap kegiatan yg berkaitan menggunakan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan pada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan jua dalam para pemegang saham (stake holder), yakni warga luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan sebagai 5 macam yaitu sebagai berikut :
- Akuntabilitas Organisasional / administratif.
- Akuntabilitas legal
- Akuntabilitas politik
- Akuntabilitas profesional
- Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yg berubah secara bergerak maju misalnya kini ini, setiap domain pada good governance perlu mempunyai visi yg strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri bisa dibedakan antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun (satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5 tahun.
2 Kerangka Konseptual
1) Pengeseran wewenang Administrasi Negara
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta waktu ini sudah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai akibat sebagai akibat adanya pergeseran wewenang yg seluruh bersifat sentralistik sebagai desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yg semua diatur serta dipengaruhi sang Pemerintah Pusat otonotis berpindah serta sudah sebagai wewenang serta tanggung jawab Daerah.
Dalam dalam itu, apabila dipandang pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan forum perekonomian negara, pelatihan serta pemberdayaan sumber daya insan, pemberdayaan sumber daya alam dan teknologi tinggi yg strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan serta berbuat yang bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai memutuskan setiap kebutuhan wilayah.
Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian pada menerbitkan banyak sekali bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yg semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk banyak sekali kewenangan tata usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan sebagai kewenangan dan tanggung jawab daerah.
Selain itu, pada Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan juga bahwa otonomi yg bertanggung jawab merupakan berupa perwujudan pertanggungjawaban menjadi konsekuensi hadiah hak dan wewenang pada Daerah pada wujud tugas dan kewajiban yg wajib dipikul sang Daerah dalam mencapai tujuan anugerah swatantra tadi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat yg semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan serta pemerataan.
Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak serta wewenang pusat berupa ijin yang mencakup ratifikasi, penghapusan, persetujuan, penetapan dan aneka macam wewenang lain bergeser/berpindah sebagai hak serta wewenang Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota.
Begitupun dalam pengertian swatantra luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah dibutuhkan sanggup menaikkan daya saing menggunakan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan dan potensi dari Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip berdasarkan otonomi seluas-luasnya itu yaitu dari asas otonomi serta urusan pembantuan.
Menurut Bagir Manan, ketentuan ini memberikan gambaran bahwa swatantra wilayah itu merupakan wewenang dari wilayah.
2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak keliru satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) menggunakan perubahan sistem perpajakan yaitu menurut sistem official assesment, menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi melalui reorganisasi, wajib terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan harapan dapat menaikkan kinerja yg dapat diukur dari produktivitas, responsivitas serta akuntabilitas.
Sasaran Administrasi perpajakan merupakan buat mempertinggi kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan merupakan untuk menaikkan kepatuhan harus pajak, bahwa dalam sistem self assesment aktifitas primer administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya sinkron dengan ketentuan yang berlaku pada hal:
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak
Menurut Bird dan Jantscher terdapat interaksi antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan harus pajak yg bisa memperkecil nomor ketidak patuhan. Bukan hanya melihat berdasarkan aspek peningkatan penerimaan saja.
Administrasi pajak yg baik pada dasarnya tidak bisa mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi perpajakan yg gampang ditagih, misalnya honor pegawai, namun nir mampu untuk menagih pajak berdasarkan perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi penerimaan pajak bukan adalah berukuran yg tepat atas efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih seksama buat mengetahui efektivitas administrasi perpajakan merupakan berapa besarnya jurang kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya menggunakan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.
Berdasarkan hal tadi di atas bisa dikatakan bahwa kepatuhan harus pajak ketika ini masih rendah. Hal ini dapat ditinjau menurut aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan menggunakan kewajiban; registrasi, pelaporan SPT serta pelunasan pajak terhutang, pendeknya kepatuhan WP bisa diidentifikasikan menjadi berikut:
Pertama : Kepatuhan harus pajak pada mendaftarkan diri, jumlah wajib pajak yang terdaftar dalam administrasi pajak masih sangat rendah (dalam tahun 2002 berdasarkan 210 juta jumlah penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum dapat menaikkan pembayaran beban pajak yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih harus pajak yg menanggung beban pajak (Tax Corverage Ratio).
Kedua : Kepatuhan harus pajak buat menyetor balik Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak pada perhitungan serta pembayaran pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35% berdasarkan keseluruhan harus pajak efektif yaitu dua.583.960 harus pajak).
Keempat : Kepatuhan pada pembayaran tunggakan pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak cukup akbar (sampai tahun 2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun memberitahuakn bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan ketentuan.
Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa terdapat interaksi/korelasi antara reformasi perpajakan menggunakan tingkat kepatuhan harus pajak.
Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan harus pajak ditentukan oleh banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan serta keuangan publik, penawaran energi kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), syarat sosial masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan amnesti pajak.
Mengingat banyaknya faktor yg mempengaruhi kepatuhan harus pajak, untuk membatasi konflik penelitian ini hanya difokuskan pada efek efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yang mencakup reformasi organisasi, prosedur organisasi, taktik organisasi serta budaya organisasi.
Berdasarkan citra pada atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan harus pajak ditentukan sang bagaimana administrasi perpajakan dijalanka.
Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, mekanisme organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi bisa menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak rendah serta ini berdampak pula pada rendahnya kinerja perpajakan.
Permasalahan utama yg akan dibahas pada penelitian ini merupakan apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini telah atau belum secara menyeluruh meliputi perubahan menurut aspek struktur organisasi, mekanisme, strategi organisasi, serta budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) dalam mempertinggi kepatuhan wajib pajak.
3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi berdasarkan, Rue dan Bryan, kinerja merupakan tingkat pencapaian (the degree of accomplishment).
Kinerja bagi setiap organisasi sangat krusial terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu eksklusif. Berbagai pendapat menyamakan kinerja (performance) menggunakan prestasi kualitas pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan serta misinya.
Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi serta efektivitas. (Miles serta Snow 1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)
Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.
Levine, Lima indikator buat mengukur kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu membentuk yang dibutuhkan, berdasarkan segi efisiensi serta efektivitas.
b. Kualitas pelayanan merupakan berukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yg diberikan yaitu warga merasa puas atau tidak puas.
c. Responsivitas adalah berukuran kemampuan organisasi buat mengenali kebutuhan rakyat, menyusun rencana dan prioritas pelayanan publik sinkron kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas merupakan berukuran apakah aplikasi kegiatan sinkron dengan prinsip-prinsip administrasi yg benar.
e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa akbar kebijakan dan aktivitas organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan pada warga atau konsisten dengan kehendak rakyat.
4) Pelayanan Publik pada Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan pada orang lain dengan cara-cara eksklusif yg memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Sedangkan pelayanan generik menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan generik yg dilaksanakan sang instansi pemerintah di pusat, di daerah serta lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah pada bentuk barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan warga juga pada rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari pengertian tentang pelayanan umu pada atas, terkait beberapa istilah pada administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana, tata kerja, mekanisme kerja, sistem kerja, kewajiban serta seterusnya yg diuraikan di bawah ini.
1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud menggunakan instansi pemerintah pada sini adalah sebutan kolektif yang mencakup satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah pada taraf sentra juga instansi pemerintah di tingkat wilayah, termasuk BUMN serta BUMD.
2. Tata Laksana
Yang dimaksud menggunakan tata laksana adalah segala aturan yg ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yg menyangkut tata cara, prosedur serta sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan menggunakan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah serta pembangunan pelayanan pada bidang umum.
3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara aplikasi kerja yg efisien mengenai satu atau serangkaian tugas menggunakan memperhatikan segi-segi tujuan, alat-alat, fasilitas, tenaga saat, ruang, biaya yg tersedia.
4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud menggunakan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yg berkaitan satu sama lain, sebagai akibatnya memberitahuakn adanya urutan secara kentara serta niscaya serta cara-cara yg wajib ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.
5. Sistem Kerja
Sistem kerja pada sini diartikan menggunakan rangkaian rapikan kerja serta mekanisme kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja eksklusif pada rangka mencapai hasil kerja yang diperlukan.
6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan menjadi aparatur penyelenggaraan pelayanan generik buat mengambil tindakan pada rangka aplikasi tugas serta fungsi sesuai menggunakan perundang-undangan yg berlaku. Dalam rangka memuaskan rakyat menjadi pelanggan, kewajiban bukan hanya inheren dalam pejabat, namun setiap aparatur dalam lingkungan kerja saat bertemu menggunakan pelanggan. Misalnya harus buat menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yg hadir pada ketika itu. Artinya harus agresif dalam menyambut kedatangan pelanggan.