PENGERTIAN MANAJEMEN PELAYANAN MASYARAKAT

Pengertian Manajemen Pelayanan Masyarakat 
Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus serta menuntaskan keperluan kebutuhan mayarakat, baik secara perorangan, kelompok serta atau golongan, organisasi ataupun sekelompok anggota organisasi).

Dalam pengertian pelayanan tadi terkandung suatu kondisi bahwa yang melayani mempunyai suatu keterampilan, keahlian dibidang eksklusif. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tadi pihak aparat yang melayani memiliki posisi atau nilai lebih dalam kecakapan tertentu, sehingga sanggup menaruh bantuan dalam menuntaskan suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tadi secara konkrit diutarakan : 
  1. Pelayanan adalah salah satu tugas utama aparatur pemerintah, termasuk pelaku usaha.
  2. Obyek yg dilayani : rakyat (publik)
  3. Bentuk pelayanan itu berupa barang serta jasa yang sesuai menggunakan kepentingan kebutuhan masyarakat serta peraturan perundang-undangan yg berlaku.
Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yg berkaitan menggunakan kepentingan generik dan kepentingan golongan atau individu pada bentuk barang serta jasa.

Pelayanan adalah suatu bentuk aktivitas pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada sentra serta daerah maupun BUMN serta BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan rakyat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik merupakan suatu bisnis buat membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diharapkan orang lain. 

Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yg melayani harus mempunyai suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi kebutuhan spesial (unik, spesifik, istimewa) orang lain agar mereka puas. Pelayanan prima adalah pelayanan yang memenuhi standar pelayanan terhadap permintaan, impian, dan asa masyarakat yang mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas). 

Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin pada Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima mengungkapkan : Tujuan berdasarkan pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sinkron menggunakan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan kualitas pelayanan yang sinkron menggunakan kebutuhan serta atau harapan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti dikutip Yun, Yong, serta Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan serta atau cita-cita menggunakan fenomena.

Konsepsi Pelayanan 
Kekuasaan serta kewenangan pemerintah bersumber berdasarkan masyarakat. Oleh karenanya, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan dukungan masyarakat. Untuk mempertahankan serta menaikkan pelayanan diharapkan dukungan, agama, loyalitas masyarakat, seyogyanya aparat pemerintah pada semua bidang serta tingkat menerapkan suatu konsep pelayanan berwawasan dalam pemenuhan kebutuhan, keperluan, kepentingan rakyat. Segala kebijakan, peraturan, acara yang ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan rakyat. 

Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih meningkatkan kecepatan proses penyelesaian urusan masyarakat, menaruh yang lebih berkualitas, lebih baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap serta tuntas. 

Aparat pemerintah hendaknya telah meninggalkan konsep menjual, yakni memperlihatkan secara militan produk-produk yang dihasilkan berupa kebijaksanaan, peraturan, acara yang belum tentu kondusif menggunakan kebutuhan warga yg berubah cepat, hasrat dan kepuasan masyarakat. Aparat harus cepat tanggap terhadap tuntutan serta perubahan kebutuhan masyarakat. Melakukan banyak sekali pemugaran, perubahan atas aneka macam cara, prosedur kerja, peraturan, kebijakan, acara dalam seluruh bidang kehidupan.

Selanjutnya Sianipar menyebutkan bahwa sejalan menggunakan konsepsi pelayanan yg berwawasan rakyat, maka timbul cara pandang baru yakni merubah posisi warga yg dilayani menurut pada bawah manajemen garis depan menjadi diatas manajemen. Konsepsi memposisikan warga dalam puncak manajemen, merupakan suatu cara pengaktualisasian fungsi aparatur pemerintah sebagai abdi warga . Konsepsi ini pula merupakan pencerminan pemikiran bahwa pelanggan adalah raja. 

Semua aparatur pemerintah mereformasi konsepsi, wawasan berfikir, merubah paradigma, dan -prilaku mereka dari dilayani sebagai melayani. Melayani menggunakan cepat, sempurna pada setiap level dibidang masing-masing sinkron dengan tugas utama dan fungsi. Cara kerja usang yang terkesan lamban diubah, didesain menjadi pelayanan yg cepat, tepat, lebih efektif, lebih efisien. Cara-cara berfikir yang kurang terbuka, yg kaku pada mengartikan, menerapkan peraturan, disiplin, direformasi sebagai pemikir yg kreatif, inovatif, serta adaptif terhadap perubahan. Peraturan kebijakan yg kurang aman terhadap tuntutan rakyat, dikaji, disempurnakan, atau diganti.

Sistem Pelayanan Nasional 
Sebagai titik tolak, esensi pada penyelenggaraan pelayanan publik yang perlu disadari adalah masalah pelayanan publik bersumber pada :
  • Adanya kewajiban pada pihak administrasi negara buat menjalankan fungsi dan wewenangnya menurut prinsip-prinsip pemerintahan yg baik serta bersih.
  • Adanya pengakuan terhadap hak-asasi setiap warganegara atas pemerintahan, perilaku administratif, dan kualitas output pelayanan yang baik.
  • Adanya keanekaragaman jenis serta bidang pelayanan publik pada Indonesia sebagai dampak berdasarkan adanya keragaman urusan dan kepentingan warga yg harus dipenuhi. 
Terlepas berdasarkan disparitas jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pada mana seluruh tugas yg wajib diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijakan umum (public policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada pihak-pihak atau institusi eksklusif yg mempunyai kewenangan (authority), kompetensi (competensi), dan asal-sumber daya (resources) buat menyelenggarakan pelayanan publik.

Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok yg selalu inheren sebagai ciri berdasarkan Pelayanan Publik serta Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public servants) adalah : 
a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan menurut serta dalam rangka realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan buat rakyat generik (pada wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga rakyat) yg ditetapkan melalui aturan-aturan serta perundang-undangan.
b. Diselenggarakan sang petugas-petugas atau instansi yg dari hukum dan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan serta diwajibkan buat memenuhi kualifikasi eksklusif pada menaruh pelayanan. 
c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada rakyat yg dijalankan dari kerangka prosedural tertentu yg telah distandarisasi berdasarkan segi kinerja maupun kualitasnya.
d. Menyangkut pelbagai urusan serta kepentingan masyarakat pada berbagai bidang kehidupan pemenuhannya sebagai tanggung jawab negara, dan penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat atau adonan menurut jenis-jenis pelayanan itu.
e. Tingkat keberhasilannya diukur dari tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan, baik menurut segi kualitas pelayanan, praktikabilitas, taraf biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas produk (barang/jasa/status), taraf responsitivitas terhadap keanekaragaman kepentingan serta kebutuhan warga , serta tingkat responsivitas terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh warga .
f. Selalu harus diselenggarakan dari baku kualitas hasil kerja tertentu yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sehingga bisa dijamin pencapaian tingkat kepuasan rakyat penerima pelayanan publik yang minimal seragam secara nasional dan atau seragam pada pelbagai sektor pelayanan publik yg ada.
g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di pada masyarakat, baik menurut segi kepentingan (interest), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya, sehingga pada penyelenggaraannya tercakup pula adanya jaminan buat bersifat non-diskriminatif, proporsional, obyektif serta imparsial. Artinya, apabila masih ada penyimpangan hanya bisa dibenarkan apabila terdapat justifikasinya pada pada aturan.
h. Lantaran dalam tingkat realisasinya dilaksanakan sang petugas atau pejabat publik eksklusif, adanya standar konduite yg meliputi baku etik maupun manajerial pada wujud code of good conduct sebagai keharusan. Standar semacam itu sebagai pedoman konduite bagi para petugas/pejabat serta panduan penilaian terhadap pemenuhan hak-hak rakyat buat memperoleh pelayanan prima.

Dari citra di atas, bisa disimpulkan bahwa Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Indonesia perlu bersinergi dan saling mengisi pada mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu secara optimal. Faktor-faktor penentu meliputi :

a) Regulasi mengenai Pelayanan Publik
Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-undangan, yg sebagian akbar adalah kaidah-kaidah hukum administrasi negara, yg memberikan dasar hukum menurut beroperasinya sistem palayanan publik. Peraturan-peraturan hukum yang menjadi dasar keabsahan merupakan :
  1. Keberadaan aturan (legal existence) institusi-institusi administrasi negara penyelenggara pelayanan publik.
  2. Bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan serta fungsi penyelenggara pelayanan publik menggunakan pejabat dengan kualifikasi dan kompetensi tertentu.
  3. Penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, wewenang serta hak-hak penyelenggaraan pelayanan publik.
  4. Pengakuan kedudukan, serta penegakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik.
  5. Penetapan berlakunya proses/mekanisme penyeleng- garaan pelayanan jasa publik serta baku minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/output kerja kualitas produk) termasuk indeks kepuasan warga serta proses/prosedur pengajuan serta pelayanan keluhan publik (publik complaint/public grievance).
  6. Berlakunya standar konduite (standard of conduct) para penjabat penyelenggara pelayanan publik.
b) Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Dimaksud menggunakan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah prinsip-prinsip dasar yg menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja, serta panduan penilaian kerja bagi setiap forum penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan dikategorikan menjadi asas-asas generik administrasi publik yg baik (general principles of good administra-tion) serta azas bersifat adaptif.

Bersifat umum karena asas ini secara langsung menyentuh hakekat pelayanan publik menjadi wujud menurut upaya melaksanakan tugas pemerintah pada pemenuhan kebutuhan warga banyak dan/atau tugas aplikasi perintah peraturan perundang-undangan.

Bersifat adaptif, lantaran asas-asas ini secara tidak pribadi bersentuhan dengan anugerah pelayanan kepada warga umum, baik pada bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi menurut pelayanan-pelayanan tadi. 

Menurut Cadbury Committee pada Inggris ( 1992) Asas-asas utama, yg melekat secara inherent dalam esensi Pelayanan Publik adalah : 
1) Asas Keterbukaan (openness)
Keterbukaan sebagai salah satu asas primer buat menjamin bahwa para stakeholders yang mengandalkan proses pengambilan keputusan, tindakan-tindakan oleh institusi publik, pengelolaan kegiatan, serta pengelolaan asal daya manusia dalam melaksanakan pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yg diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci serta jelas menggunakan para stakeholders yang sebagai salah satu prinsip primer berdasarkan suatu good governance.

2) Asas Integritas 
Integritas mengandung makna ”berurusan secara langsung” (straightforward dealings) serta ketuntasan (completeness) pada pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari asas integritas ini terutama merupakan kejujuran, obyektivitas dan standar kesantunan yg tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana serta asal daya publik.

3) Asas Akuntabilitas 
Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan orang-orang yang berfungsi pada dalamnya harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang dibuatnya. Singkatnya, akuntabilitas melahirkan kewajiban buat bertanggung jawab atas fungsi serta kewenangan yg secara absah dipercayakan kepada setiap public servant.

4) Asas Legalitas 
Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik wajib sejalan menggunakan peraturan perundang-undangan yg berlaku, dan dijalankan sinkron dengan aturan serta mekanisme yg ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

6) Asas Non-Diskriminasi serta Perlakuan yang Sama 
Institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar prinsip pemberian pelayanan yg sama dan setara kepada warga , tanpa membedakan gender, ras, agama/agama, kemampuan fisik, aspirasi politik, serta sebagainya.

7) Asas Proporsionalitas 
Asas ini meletakkan kewajiban dalam setiap penyeleng- gara pelayanan publik buat menjamin bahwa beban yang wajib ditanggung oleh masyarakat pengguna jasa layanan publik dampak tindakan-tindakan yang diambil institusi pelayanan publik berbanding proporsional dengan tujuan serta manfaat yg hendak diperoleh warga . Asas ini berkaitan erat dengan beban administratif, biaya serta waktu pelayanan yg wajib ditanggung sang masyarakat jika mereka hendak memperoleh pelayanan publik.

8) Asas Konsistensi 
Berdasarkan asas ini, warga warga dan/atau stakeholders layanan publik dalam umumnya memperoleh agunan bahwa institusi pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sinkron pola kerjanya yang normal pada konduite administratifnya. Penyimpangan terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan spesifik, serta sebagainya) harus memperoleh pembenarannya secara absah (duly justified).

PENGERTIAN MANAJEMEN PELAYANAN MASYARAKAT

Pengertian Manajemen Pelayanan Masyarakat 
Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus dan merampungkan keperluan kebutuhan mayarakat, baik secara perorangan, kelompok serta atau golongan, organisasi ataupun sekelompok anggota organisasi).

Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu syarat bahwa yg melayani mempunyai suatu keterampilan, keahlian dibidang eksklusif. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat yg melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan tertentu, sebagai akibatnya sanggup menaruh donasi dalam menuntaskan suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tadi secara konkrit diutarakan : 
  1. Pelayanan merupakan keliru satu tugas utama aparatur pemerintah, termasuk pelaku bisnis.
  2. Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)
  3. Bentuk pelayanan itu berupa barang serta jasa yg sinkron dengan kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yg berlaku.
Dengan demikian pelayanan publik bisa diartikan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan rakyat terutama yg berkaitan menggunakan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu pada bentuk barang dan jasa.

Pelayanan merupakan suatu bentuk kegiatan pelayanan yg dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pada pusat dan daerah maupun BUMN dan BUMD pada rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sinkron peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus akbar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah suatu bisnis buat membantu menyiapkan (mengurus) apa yg diharapkan orang lain. 

Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan profesional, dan prima merupakan dilakukan secara konkrit bahwa yg melayani wajib memiliki suatu kemampuan pada melayani, menanggapi kebutuhan spesial (unik, spesifik, istimewa) orang lain supaya mereka puas. Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan terhadap permintaan, keinginan, serta asa masyarakat yg memiliki nilai yg tinggi serta bermutu (berkualitas). 

Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin pada Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sinkron dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan kualitas pelayanan yg sinkron menggunakan kebutuhan serta atau cita-cita pelanggan. Zeithaml et el, (1990) misalnya dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan atau asa menggunakan kenyataan.

Konsepsi Pelayanan 
Kekuasaan dan kewenangan pemerintah bersumber berdasarkan rakyat. Oleh karenanya, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan dukungan rakyat. Untuk mempertahankan serta menaikkan pelayanan dibutuhkan dukungan, kepercayaan , loyalitas warga , seyogyanya aparat pemerintah dalam semua bidang dan taraf menerapkan suatu konsep pelayanan berwawasan dalam pemenuhan kebutuhan, keperluan, kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang ditetapkan hendaknya berorientasi pada kepuasan masyarakat. 

Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih mengutamakan kepentingan warga , lebih mempercepat proses penyelesaian urusan masyarakat, menaruh yg lebih berkualitas, lebih baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas. 

Aparat pemerintah hendaknya telah meninggalkan konsep menjual, yakni menawarkan secara militan produk-produk yg dihasilkan berupa kebijaksanaan, peraturan, acara yang belum tentu kondusif dengan kebutuhan masyarakat yang berubah cepat, asa dan kepuasan warga . Aparat wajib cepat tanggap terhadap tuntutan serta perubahan kebutuhan warga . Melakukan berbagai perbaikan, perubahan atas banyak sekali cara, prosedur kerja, peraturan, kebijakan, program pada semua bidang kehidupan.

Selanjutnya Sianipar mengungkapkan bahwa sejalan dengan konsepsi pelayanan yang berwawasan warga , maka ada cara pandang baru yakni merubah posisi warga yg dilayani dari pada bawah manajemen garis depan sebagai diatas manajemen. Konsepsi memposisikan warga dalam zenit manajemen, merupakan suatu cara pengaktualisasian fungsi aparatur pemerintah menjadi abdi masyarakat. Konsepsi ini juga adalah pencerminan pemikiran bahwa pelanggan merupakan raja. 

Semua aparatur pemerintah mereformasi konsepsi, wawasan berfikir, merubah paradigma, serta -prilaku mereka dari dilayani sebagai melayani. Melayani dengan cepat, tepat pada setiap level dibidang masing-masing sinkron dengan tugas utama dan fungsi. Cara kerja usang yang terkesan lamban diubah, dibuat sebagai pelayanan yang cepat, sempurna, lebih efektif, lebih efisien. Cara-cara berfikir yg kurang terbuka, yg kaku dalam mengartikan, menerapkan peraturan, disiplin, direformasi menjadi pemikir yg kreatif, inovatif, serta adaptif terhadap perubahan. Peraturan kebijakan yang kurang aman terhadap tuntutan warga , dikaji, disempurnakan, atau diganti.

Sistem Pelayanan Nasional 
Sebagai titik tolak, esensi pada penyelenggaraan pelayanan publik yg perlu disadari merupakan masalah pelayanan publik bersumber pada :
  • Adanya kewajiban dalam pihak administrasi negara buat menjalankan fungsi dan wewenangnya dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik serta higienis.
  • Adanya pengakuan terhadap hak-asasi setiap warganegara atas pemerintahan, konduite administratif, serta kualitas hasil pelayanan yg baik.
  • Adanya keanekaragaman jenis dan bidang pelayanan publik di Indonesia sebagai dampak menurut adanya keragaman urusan serta kepentingan rakyat yg harus dipenuhi. 
Terlepas berdasarkan perbedaan jenis serta bidang pelayanan pada atas, aktivitas pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan aplikasi tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pada mana semua tugas yang wajib diselenggarakan pada rangka merealisasikan kebijakan umum (public policies) pemerintah wajib bisa didelegasikan dalam pihak-pihak atau institusi tertentu yg mempunyai kewenangan (authority), kompetensi (competensi), serta sumber-asal daya (resources) buat menyelenggarakan pelayanan publik.

Sejalan dengan itu, beberapa hal utama yang selalu inheren menjadi ciri berdasarkan Pelayanan Publik serta Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public servants) adalah : 
a. Umumnya diselenggarakan menjadi pengejawantahan dari dan dalam rangka realisasi kebijaksanaan negara yg ditujukan buat warga generik (dalam wujud penetapan hak dan kewajiban bagi masyarakat warga ) yg ditetapkan melalui aturan-aturan serta perundang-undangan.
b. Diselenggarakan sang petugas-petugas atau instansi yg berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan serta diwajibkan buat memenuhi kualifikasi eksklusif dalam memberikan pelayanan. 
c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada rakyat yang dijalankan berdasarkan kerangka prosedural eksklusif yg telah distandarisasi berdasarkan segi kinerja juga kualitasnya.
d. Menyangkut pelbagai urusan serta kepentingan rakyat dalam aneka macam bidang kehidupan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, serta penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi warga atau gabungan berdasarkan jenis-jenis pelayanan itu.
e. Tingkat keberhasilannya diukur berdasarkan tingkat kepuasan warga penerima pelayanan, baik berdasarkan segi kualitas pelayanan, praktikabilitas, tingkat biaya pelayanan yg harus dimuntahkan, kualitas produk (barang/jasa/status), taraf responsitivitas terhadap keanekaragaman kepentingan dan kebutuhan warga , serta tingkat responsivitas terhadap keluhan-keluhan yg disampaikan oleh masyarakat.
f. Selalu harus diselenggarakan dari standar kualitas output kerja eksklusif yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sebagai akibatnya dapat dijamin pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan publik yang minimal seragam secara nasional dan atau seragam pada pelbagai sektor pelayanan publik yang terdapat.
g. Selalu berhadapan menggunakan pluralitas di dalam rakyat, baik menurut segi kepentingan (interest), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi, sosial, politik, budaya serta sebagainya, sebagai akibatnya dalam penyelenggaraannya tercakup pula adanya jaminan buat bersifat non-diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial. Artinya, apabila terdapat defleksi hanya dapat dibenarkan bila terdapat justifikasinya pada dalam hukum.
h. Lantaran pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas atau pejabat publik tertentu, adanya standar konduite yg mencakup baku etik juga manajerial dalam wujud code of good conduct menjadi keharusan. Standar semacam itu sebagai panduan perilaku bagi para petugas/pejabat serta panduan penilaian terhadap pemenuhan hak-hak rakyat buat memperoleh pelayanan prima.

Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Indonesia perlu bersinergi serta saling mengisi dalam mendukung bekerjanya holistik sistem itu secara optimal. Faktor-faktor penentu meliputi :

a) Regulasi tentang Pelayanan Publik
Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-undangan, yang sebagian besar adalah kaidah-kaidah hukum administrasi negara, yang memberikan dasar aturan berdasarkan beroperasinya sistem palayanan publik. Peraturan-peraturan hukum yg sebagai dasar keabsahan merupakan :
  1. Keberadaan aturan (sah existence) institusi-institusi administrasi negara penyelenggara pelayanan publik.
  2. Bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan dan fungsi penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat dengan kualifikasi serta kompetensi tertentu.
  3. Penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak-hak penyelenggaraan pelayanan publik.
  4. Pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, dan tanggung jawab warga rakyat pengguna pelayanan jasa publik.
  5. Penetapan berlakunya proses/prosedur penyeleng- garaan pelayanan jasa publik serta baku minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/hasil kerja kualitas produk) termasuk indeks kepuasan warga serta proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik (publik complaint/public grievance).
  6. Berlakunya standar konduite (standard of conduct) para penjabat penyelenggara pelayanan publik.
b) Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Dimaksud menggunakan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik merupakan prinsip-prinsip dasar yg sebagai acuan pada pengorganisasian, acuan kerja, serta pedoman evaluasi kerja bagi setiap forum penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan mengkategorikan menjadi asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administra-tion) dan azas bersifat adaptif.

Bersifat umum lantaran asas ini secara eksklusif menyentuh hakekat pelayanan publik menjadi wujud berdasarkan upaya melaksanakan tugas pemerintah pada pemenuhan kebutuhan rakyat poly serta/atau tugas pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan.

Bersifat adaptif, karena asas-asas ini secara tidak langsung bersentuhan menggunakan hadiah pelayanan pada masyarakat generik, baik di bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi dari pelayanan-pelayanan tersebut. 

Menurut Cadbury Committee pada Inggris ( 1992) Asas-asas utama, yg inheren secara inherent dalam esensi Pelayanan Publik merupakan : 
1) Asas Keterbukaan (openness)
Keterbukaan sebagai galat satu asas primer buat mengklaim bahwa para stakeholders yg mengandalkan proses pengambilan keputusan, tindakan-tindakan sang institusi publik, pengelolaan kegiatan, serta pengelolaan asal daya manusia pada melaksanakan pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang diwujudkan melalui pelatihan komunikasi secara penuh, naratif dan jelas menggunakan para stakeholders yg sebagai galat satu prinsip utama menurut suatu good governance.

2) Asas Integritas 
Integritas mengandung makna ”berurusan secara pribadi” (straightforward dealings) serta ketuntasan (completeness) dalam aplikasi fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari asas integritas ini terutama merupakan kejujuran, obyektivitas serta standar kesantunan yang tinggi, dan tanggung jawab atas penggunaan dana-dana dan asal daya publik.

3) Asas Akuntabilitas 
Asas ini berkenaan dengan proses pada mana unit-unit pelayanan publik serta orang-orang yg berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas keputusan serta tindakan yang dibuatnya. Singkatnya, akuntabilitas melahirkan kewajiban buat bertanggung jawab atas fungsi serta wewenang yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant.

4) Asas Legalitas 
Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan, dan aplikasi fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan menggunakan peraturan perundang-undangan yg berlaku, dan dijalankan sesuai dengan aturan serta prosedur yg ditetapkan dari peraturan perundang-undangan. 

6) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan yang Sama 
Institusi penyelenggara pelayanan publik wajib bekerja atas dasar prinsip hadiah pelayanan yg sama dan setara pada warga , tanpa membedakan gender, ras, kepercayaan /kepercayaan , kemampuan fisik, aspirasi politik, dan sebagainya.

7) Asas Proporsionalitas 
Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyeleng- gara pelayanan publik buat menjamin bahwa beban yg harus ditanggung sang masyarakat pengguna jasa layanan publik dampak tindakan-tindakan yang diambil institusi pelayanan publik berbanding proporsional menggunakan tujuan dan manfaat yg hendak diperoleh rakyat. Asas ini berkaitan erat menggunakan beban administratif, porto serta saat pelayanan yg harus ditanggung sang rakyat bila mereka hendak memperoleh pelayanan publik.

8) Asas Konsistensi 
Berdasarkan asas ini, rakyat warga dan/atau stakeholders layanan publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola kerjanya yg normal pada konduite administratifnya. Penyimpangan terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan spesifik, serta sebagainya) wajib memperoleh pembenarannya secara sah (duly justified).

FILOSOFI OTONOMI DAERAH DIKAITKAN DENGAN PELAKSANAAN UNDANGUNDANG

Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Undang-Undang 
Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 serta kemudian dirubah sebagai Undang Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah sebagai penganti Undang Undang No. Lima Tahun 1974, diskusi mengenai efektivitas pelayanan publik pada otonomi daerah menjadi semakin menarik buat dibicarakan. 

Permasalahannya lantaran telah dua (dua) kali perubahan undang-undang tadi dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan terdapat diskusi yang membahas bahwa Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan. 

Undang-undang ini adalah implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yg menyampaikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas wilayah-daerah propinsi serta propinsi terdiri berdasarkan daerah kabupaten serta kota yang memiliki pemerintahan wilayah yg diatur pada undang-undang. Selanjutnya, pasal dua ayat (dua) menjelaskan bahwa pemerintah wilayah propinsi, wilayah kabupaten dan kota mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas swatantra serta tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi serta tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah sentra, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah serta peraturan lain sinkron menggunakan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, maksud pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tadi merupakan meningkatkan kecepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan kiprah dan warga . Selanjutnya dijelaskan bahwa pemerintahan daerah pada menaikkan efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan pemerintahan antar pemerintahan wilayah, potensi serta keanekaragaman daerah pada sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004 mengatur interaksi keuangan sentra dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan asal daya alam dan sumber daya lainnya secara adil serta selaras. 

Di samping itu, dalam menjalankan perannya, wilayah diberikan wewenang yg seluas-luasnya disertai dengan anugerah hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah pada kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Masalah pelayanan publik pada Indonesia masih sangat memprihatinkan, karena itu pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat memenuhi hak azazi warga negara serta membutuhkan solusi menyeluruh buat membuat pelayanan publik yg baik. Sebagai citra serta fenomena pelayanan publik pada Provinsi Sumatera Barat ketika ini misalnya terlihat rendahnya taraf kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan pada wilayah. Indikasi menerangkan bahwa Pemda melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV, (Agenda penyelenggaraan pemerintahan wilayah yang baik dan bersih Bab II diatur mengenai Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) yg menerangkan bahwa berdasarkan hasil identifikasi dalam pelatihan pelayanan publik masih banyak permasalahan yg perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya pandangan hidup kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung sang teknologi fakta dan belum terdapat instrumen yg kentara buat mengevaluasi kualitas pelayanan. 

Sasaran yg hendak dicapai pada peningkatan kualitas pelayanan publik tahun 2006-2010 ke depan merupakan :
1. Terlaksananya pelayanan publik pada rakyat sesuai dengan standar layanan yg ditetapkan.
2. Tercapainya transparansi pada proses pelayanan publik.
3. Meningkatnya pandangan hidup kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.
4. Meningkatnya kemandirian warga pada mendapatkan pelayanan publik.
5. Meningkatnya pengguna teknologi keterangan pada anugerah pelayanan publik.
6. Meningkatnya kiprah rakyat terhadap penilaian kinerja aparatur pelayanan publik.

Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, acara pengembangan pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (warga ) yg berada pada rencana penyelenggaraan pemerintahan yg baik serta bersih bersamaan dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kongkalikong serta nepotisme, pembangunan hukum dan proteksi hak azazi insan, peningkatan keamanan serta ketertiban.

Dengan demikian "perkara" Pelayanan publik sudah diakomodir pada suatu konsepsi dan taktik kebijakan untuk kurun ketika 2006-2010 mendatang yakni menggunakan isu bagaimana menaikkan kualitas pelayanan publik tadi berdasarkan tahun ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan pada loka. 

Berdasarkan kabar dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu antara lain terdapat pada Perangkat Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan wilayah yg dari berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menerangkan peningkatan dan menaruh donasi yg akbar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil relatif masih dibawah target. Khususnya pencapaian sasaran (realisasi) penerimaan pajak daerah berdasarkan sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). 

Bertitik tolak berdasarkan liputan dan fenomena di atas, maka penulis tertarik buat melakukan penelitian serta penulisan ilmiah menggunakan menyingkap dan menganalisanya secara mendalam menggunakan penekanan yang diarahkan pada peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak wilayah yg asal dari pajak kendaraan bermotor dan bea pulang nama tunggangan bermotor melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.

Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan Kantor Bersama SAMSAT ini masih ada 3 unit kerja yang terkait dan berhubungan, yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.Q. Dinas Pendapatan Daerah, Polisi Republik Indonesia c.Q. Kepolisian Daerah serta PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya tiga unit kerja perkara yang ditemukan pada pelayanan merupakan bertemunya tiga (tiga) kepentingan yg tidak sinkron yang saling membutuhkan dan saling berafiliasi, tetapi menyatu serta saling berkaitan (Simbiose Mutualistis). 

Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan menaruh pelayanan publik secara prima kepada warga . Pihak Pemda pada memberikan pelayanan bertujuan buat peningkatan penerimaan wilayah yang diharapkan bagi keperluan dana pembangunan yang asal dari asal-asal PAD, sedangkan pada pihak lain Polda lebih berkepentingan pada perkara pengidentifikasian kepemilikan serta keamanan.

Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) sudah sinkron dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun efektivitas eksistensi pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan. Oleh karenanya, penulis tertarik buat melakukan kajian karena sepengatahuan penulis belum ada yg menelaahnya, terutama apabila dikaitkan dengan suasana dan nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-­teori dari Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari berbagai ketentuan peraturan perundangan menggunakan judul : Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).

A. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi juga otonomi wilayah, adalah bagian dari suatu kebijakan serta praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya merupakan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yg tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bias hayati hening, nyaman, masuk akal sang lantaran memperoleh kemudahan pada segala hal di bidang pelayanan warga .

Oleh karena itu keperluan swatantra di taraf lokal pada hakekatnya adalah buat memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) swatantra wilayah itu diberikan sang pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya menerima penyerahan berdasarkan pemerintah pusat. Berbeda halnya menggunakan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi wilayah sudah inheren pada negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat pada pihak lain (pemerintah daerah) buat dilaksanakan dianggap dengan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang digunakan pada system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, wewenang pemerintah baik pada pusat juga di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yg menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi wewenang kepada pemerintah daerah bawahan pada bentuk penyerahan wewenang. Penerapan prinsip ini melahirkan contoh pemerintahan daerah yg menghendaki adanya swatantra dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat pada satu pihak serta pemerintah daerah pada lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan pada rangka penyerahan wewenang otonomi daerah, antara negara yg satu dengan negara yg lain nir sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.

Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian menurut sebagian kekuasaan pemerintah oleh grup yang berkuasa pada pusat terhadap kelompok-grup lain yang masing-masing mempunyai otorisasi dalam daerah eksklusif suatu negara.

Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi menjadi proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan serta pembagian kekuasaan pada wilayah. Pemerintah pusat diisyaratkan buat menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.

Tujuan desentralisasi secara umum sang Smith dibedakan atas 2 (dua) tujuan primer, yakni tujuan politik dan hemat. Secara politis, tujuan desentralisasi diantaranya buat memperkuat pemerintah wilayah, untuk menaikkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah serta masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain merupakan buat menaikkan kemampuan pemerintah wilayah dalam menyediakan public good and service, dan buat menaikkan efisiensi serta efektifitas pembangunan ekonomi pada daerah.

Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi menggunakan merujuk dalam berasal pungkasnya, bahwa kata desentralisasi dari berdasarkan bahasa latin, de ialah tanggal dan centrum ialah sentra. Lebih jauh beliau menjelaskan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi terbaru, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan umum yg diselenggarakan secara regular serta serentak pada setiap wilayah buat menaruh legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembaga-forum politik di tingkat nasional serta jua di tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yang memintah dan menarik balik sebagian wewenang yg sudah diberikan pada pemerintah pusat, bukan lantaran kebaikan hati pemerintah sentra.

Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan otonomi wilayah dan bahkan kadangkala sulit buat membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi serta otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yg saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih khusus, ungkin nir berlebihan ila dikatakan terdapat atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh kewenangan yg telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemda. Itulah sebabnya, pada studi Pemerintahan Daerah, para analis seringkali menggunakan istilah desentralisasi serta otonomi wilayah secara bersamaan, interchange”.

Adanya swatantra daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dipercaya sebagai instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep Marxis mengenai Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yg menghendaki adanya swatantra berdasarkan dampak partai politik (partai komunis) yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam interaksi ini negara menginginkan swatantra untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan imbas-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis serta sosialis. Berbeda halnya menggunakan hadiah otonomi menggunakan pemerintah local, yaitu buat memperbesar kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Oleh karenanya, keperluan swatantra di tingkat local pada hakikatnya merupakan buat memperkecil hegemoni pemerintah sentra pada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) swatantra daerah itu diberikan oleh pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya mendapat penyerahan berdasarkan pemerintah sentra. Berbeda halnya menggunakan swatantra daerah pada negara federal, pada mana otonomi daerah telah melekat dalam negara-negara bagian.

Reuter, mengemukakan, desentralisasi merupakan sebagian pengakuan atas penyerahan kewenangan oleh badan-badan generik yg lebih tinggi kepada badan-badan umum yg lebih rendah buat secara mandiri serta dari pertimbangan kepentingan sendiri merogoh keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur kewenangan yg terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi berdasarkan arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik pada daerah maupun kepada pejabat pemerintah sentra yg ditugaskan pada wilayah.

Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi dalam dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang seluruh termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah.

Prakarsa buat menemukan prioritas, menentukan alternatif dan mengambil keputusan yg menyangkut kepentingan wilayahnya, baik pada hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun aplikasi sepenuhnya diserahkan pada wilayah.

Lebih dalam lagi, apabila kita cermati prinsip-prinsip aturan pada pengelolaan perkara-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) apabila asal daya dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yg didasarkan pada transparansi, akuntabilitas serta partisipasi warga dan rule of law. 

Oleh karenanya aplikasi kewenangan politik, ekonomi dan administrasi pada mengelola perkara-perkara layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan asal daya yang dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance serta participatory development.

Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam aplikasi otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan sempurna dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, lantaran berdasarkan teori subsidiarity secara lugas serta tegas dikatakan bahwa kewenangan yg telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah taraf lebih rendah (misalnya provinsi serta atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik pulang sang tingkat lebih atas bila ternyata taraf lebih rendah yang menerimanya tidak bisa melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya menjadi mana mestinya.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi pada menjalankan urusan otonomi wilayahnya pada bidang perpajakan including/ termasuk pada dalamnya pemberian pelayanan publik yg baik terhadap harus pajak sektor tertentu jelas akan sebagai ukuran taraf kemampuan yg realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.

Artinya bila pemerintah provinsi ternyata nir bisa mengelola wewenang dan administrasi pengelolaannya menggunakan baik, maka pemerintah sentra memiliki otoritas penuh untuk menarik pulang penyerahan/pemberian kewenangan buat mengelola urusan misalnya wewenang mengelola/memungut pajak daerah tertentu.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa tahu bahwa keliru satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan serta kesejahteraan yang semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diperlukan wilayah akan menaruh pelayanan yg lebih baik dibandingkan menggunakan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah pada era swatantra, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif, sebagai akibatnya bisa menaikkan kesejahteraan warga .

Sasaran berdasarkan kemandirian wilayah adalah agar wilayah dapat mengatur serta mengurus tempat tinggal tangganya sendiri. Kertergantungan wilayah terhadap pusat pada pengambilan banyak sekali keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh wilayah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna serta berhasil guna.

Kemandirian wilayah ini adalah dimaksudkan buat tujuan anugerah pelayanan yg efisien, partisipatif serta akhirnya peningkatan daya saing wilayah. Keputusan publik yang cermat, sempurna serta cepat itu merupakan adalah cerminan berdasarkan efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien jika daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien apabila jalan tersebut bermanfaat oleh warga yg ada di sekitarnya. Begitu pula halnya menggunakan pendirian tempat tinggal sakit dalam lokasi tertentu.

Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan berbagai potensi serta aspirasi warga wilayah, sebagai akibatnya masyarakat pada wilayah dapat mengekspresikan kepentingan dan kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja yg memungkinkan terserapnya aneka macam potensi serta aspirasi rakyat terutama prinsip pelayanan.

Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan merupakan buat menjaga sistem ketertiban pada dalam rakyat, sebagai akibatnya mampu menjalani kehidupannya secara lumrah. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani dirinya sendiri namun jua buat melayani warga , dalam membuatkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.

Untuk mencapai aplikasi pelayanan umum tadi diharapkan oaparatur yang berkualitas, mempunyai kemampuan pada melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan warga secara memuaskan, sesuai menggunakan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat aturan yg berfungsi sebagai acuan dalam pengendalian, pengaturan supaya kekuatan sosial dan aktivitas warga tidak membahayakan negara serta bangsa.

Teori pemerintahan terbaru mengajarkan bahwa buat mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan. Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat menggunakan warga . Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn masyarakat, maka pelayanan yang diberikan sebagai lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif serta produktif. Ryaas Rasyid menyampaikan ”the closer givernment, the better it service”. Dalam desentralisasi terkandung makna swatantra dan demokratisasi. Dua istilah tadi yakni swatantra dan demokrasi nir mungkin dipisahkan, ia ibarat 2 sisi mata uang yg satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan serta sebaliknya demokratisasi tanpa otonomi merupakan kebohongan. Dalam sejarah swatantra di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal pada undang-undang pemerintahan wilayah swatantra diakui, namun dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan aplikasi undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian serta otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal itulah yg lalu melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya swatantra kebijakan otonomi spesifik bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir pada tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu bila pusat menyadari secara filosofis serta sosiologis otonomi yg dibangun bikan linear atau simetris namun suatu asymmetric decentralization.

2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan wilayah adalah tugas dan fungsi utama pemerintah wilayah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara generik, yaitu menaruh pelayanan pada rakyat. Dengan anugerah pelayanan yg baik pada rakyat, maka pemerintah akan bisa mewujudkan tujuan negara yaitu membentuk kesejahteraan rakyat. Pelayanan kepada rakyat tadi terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan. Pelayanan publik herbi pelayanan yg masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan sang pemerintah sentra, pemerintah wilayah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yg menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, serta ketertiban, donasi sosial dan penyiaran. Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat buat memenuhi kebutuhan dasarnya pada rangka membangun kesejahteraan warga .

Pemerintah baik sentra maupun wilayah memiliki 3 fungsi utama : 1) menaruh pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, dua) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), dan tiga) memberikan perlindungan (protective) rakyat. Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib menaruh pelayanan publik secara perorangan juga khalayak/publik. Pelayanan buat orang perorangan contohnya anugerah KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan kabar. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, loka pedagang kaki 5 serta lain-lain.

Oleh karenanya pemerintah daerah harus menaruh pelayanan perorangan dengan porto murah, cepat serta baik, harus mendapatkan pelayanan yang sama. Disamping itu pula harus diperlakukan oleh petugas menggunakan sikap yg sopan serta ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, wajib diperlakukan sama.

Tidak boleh dibeda-bedakan baik menggunakan sikap, biaya juga waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah wilayah pada khalayak juga harus adil serta merata. Pemerintah Daerah nir boleh menganakemaskan atau menganaktirikan gerombolan rakyat eksklusif, sebagai akibatnya yang satu diberi lebih serta yg lain diberi sedikit.

Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah wajib bisa memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yg diberikan sang pemerintah daerah sanggup diukur dengan indikator-indikator : gampang, murah, cepat, nir berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil serta merata dan memuaskan.

3) Kualitas Pelayanan 
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, mencakup dimensi-dimensi berikut :
  • Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan menggunakan ketika tunggu dan waktu proses
  • Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas menurut kesalahan-kesalahan.
  • Kesopanan dan keramahan dalam menaruh pelayanan, berkaitan menggunakan prilaku orang-orang yg berintegrasi eksklusif pada pelanggan eksternal.
  • Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).
  • Kemudahan menerima pelayanan, berkaitan menggunakan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
  • Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan menggunakan lokasi, ruangan loka pelayanan, tempat parkir, ketersediaan keterangan dan petunjuk panduan lainnya.
  • Atribut pendukung lainnya, misalnya lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, serta lain-lain.
Vincent Gesperz jua mengemukakan manajemen pemugaran kualitas yg dikenal menggunakan konsep Vincent. 
Konsep ini terdiri menurut taktik pemugaran kualitas yaitu :
  • Visionary transformation (tranformasi misi)
  • Infrastructure (infrastruktur)
  • Need for Improvement (kebutuhan buat pemugaran)
  • Customer Focus (Fokus Pelanggan)
  • Empowerment (Pemberdayaan)
  • NewViews of Quality (pandangan baru mengenai kualitas)
  • Top Management ( Komitmen manajemen puncak )

4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP berbagi istilah baru yaitu ”governace” sebagai pendamping istilah ”government”. Istilah tersebut sekarang sedang sangat populer dipakai dikalangan akademisi maupun warga luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke pada Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan sebagai ”rapikan pemerintahan”, ada juga yang menterjemahkan menjadi ”kepemerintahan”.

Perubahan penggunaan kata dengan pengertiannya akan membarui secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk pada Indonesia. Perubahannya akan mencakup 3 dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur interaksi antara pemerintahan sentra menggunakan pemerintahan wilayah, struktur interaksi antara eksekutif dan legislatif juga struktur interaksi antara pemerintah dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-fungsi yg dijalankan pemerintah sentra, pemerintah daerah juga masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yg melandasi hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan dalam istilah governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, serta administrasi pada mengelola masalah-perkara bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) jika asal daya publik dan perkara-perkara publik dikelola secara efektif dan efisien, yg merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yg efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam serta pengelolaan kasus-perkara publik yang didasarkan dalam keterlibatan warga , akuntabilitas, serta transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yg baik (penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan yang higienis (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yang bersih.

Baik buruknya suatu pemerintahan mampu dinilai jika beliau telah bersinggungan menggunakan seluruh unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.

Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan masyarakat, setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban buat merogoh bagian dalam bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara eksklusif maupun melalui institusi intermediasi misalnya DPRD, LSM serta lain sebagainya. Partisipasi masyarakat masyarakat negara dilakukan nir hanya pada tahapan implementasi, namun secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, aplikasi, penilaian dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat primer rakyat negara disebut transparansi pada kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan, yaitu :
  • Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
  • Ada keterlibatan secara emosional
  • Memperoleh manfaat secara langsung maupun nir pribadi menurut keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan aturan yg adil serta dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan aturan yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yg demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan aturan, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance merupakan membangu sistem aturan yg sehat, baik software (software), perangkat keras (hardware) maupun asal daya insan yg menjalankan sistemnya (human ware). 

Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sinkron dengan semangat zaman yg serba terbuka akibat adanya revolusi keterangan. Keterbukaan tersebut meliputi semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai dalam tahap evaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis berdasarkan keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat pada proses pembangunan good governance perlu memiliki daya tanggap terhadap asa maupun keluhan para pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tadi terutama ditujukan dalam sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, sombong serta berorientasi dalam kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yg diberikan sang sektor publik, secara periodik perlu dilakukan kuesioner tingkat kepuasan konsumen (custumer satisfaction).

Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation) 
Kegiatan bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat pada dasarnya merupakan kreatifitas politik, yang berisi 2 hal primer yaitu permasalahan dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan kasus bersama lebih diutamakan berdasarkan mufakat, yg dilanjutkan dengan kesedian buat konsisten melaksanakan mufakat yang sudah diputuskan beserta. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, lantaran nilai dasar kita pada memecahkan masalah bangsa merupakan melalui “musyawarah”.

Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap rakyat negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi lantaran kemampuan masing-masing masyarakat negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu memainkan peranan supaya kesejahteraan serta keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

Keefektifan serta Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar sanggup berkompetisi secara sehat dalam percaturan global, aktivitas domain pada governance perlu mengutamakan efektivitas dan efisiensi pada setiap aktivitas. Tekanan perlunya efektivitas serta efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik lantaran sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetensi nir akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (Accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan pada atasan saja melainkan juga dalam para pemegang saham (stake holder), yakni warga luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu menjadi berikut :
  • Akuntabilitas Organisasional / administratif.
  • Akuntabilitas legal
  • Akuntabilitas politik
  • Akuntabilitas profesional
  • Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yg berubah secara bergerak maju misalnya sekarang ini, setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yg strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa serta negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri bisa dibedakan antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun (satu generasi) dan visi jangka pendek (short term vision) lebih kurang 5 tahun. 

2 Kerangka Konseptual
1) Pengeseran kewenangan Administrasi Negara
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan waktu ini sudah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah membawa banyak sekali implikasi menjadi dampak adanya pergeseran kewenangan yg semua bersifat sentralistik sebagai desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yg seluruh diatur dan ditentukan sang Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah sebagai wewenang serta tanggung jawab Daerah.

Dalam pada itu, jika dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa wewenang bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup kebijakan mengenai perencanaan nasional serta pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara serta forum perekonomian negara, pelatihan serta pemberdayaan asal daya insan, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, perlindungan serta standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan serta berbuat yg bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai memutuskan setiap kebutuhan daerah.

Bila pergeseran wewenang termasuk wewenang yg bertalian pada menerbitkan banyak sekali bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) sang pemerintah sentra tentu pergesaran tadi akan termasuk banyak sekali kewenangan rapikan usaha negara atau administrasi negara yg selama ini ditangani pusat akan sebagai kewenangan dan tanggung jawab wilayah.

Selain itu, pada Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan jua bahwa swatantra yg bertanggung jawab merupakan berupa perwujudan pertanggungjawaban menjadi konsekuensi hadiah hak dan kewenangan kepada Daerah pada wujud tugas dan kewajiban yang wajib dipikul sang Daerah dalam mencapai tujuan anugerah swatantra tadi berupa peningkatan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat yg semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak dan wewenang pusat berupa ijin yang meliputi ratifikasi, penghapusan, persetujuan, penetapan serta aneka macam wewenang lain bergeser/berpindah sebagai hak serta wewenang Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. 

Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah dibutuhkan bisa menaikkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan dan potensi berdasarkan Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari swatantra seluas-luasnya itu yaitu dari asas otonomi dan urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan, ketentuan ini memberikan gambaran bahwa swatantra wilayah itu merupakan wewenang menurut wilayah.

2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
Upaya pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak keliru satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) menggunakan perubahan sistem perpajakan yaitu menurut sistem official assesment, menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi melalui reorganisasi, wajib terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan harapan dapat menaikkan kinerja yang bisa diukur menurut produktivitas, responsivitas serta akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan merupakan buat menaikkan kepatuhan harus pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan adalah buat mempertinggi kepatuhan harus pajak, bahwa dalam sistem self assesment aktifitas primer administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi kepatuhan serta meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya sinkron dengan ketentuan yang berlaku pada hal:
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian 
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yg bisa memperkecil angka ketidak patuhan. Bukan hanya melihat berdasarkan aspek peningkatan penerimaan saja.

Administrasi pajak yang baik pada dasarnya nir sanggup mengumpulkan penerimaan pajak sebanyak-besarnya. Administrasi perpajakan yg gampang ditagih, misalnya honor pegawai, namun tidak bisa buat menagih pajak berdasarkan perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi penerimaan pajak bukan merupakan berukuran yg sempurna atas efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat buat mengetahui efektivitas administrasi perpajakan merupakan berapa besarnya jurang kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yg sesungguhnya menggunakan penerimaan pajak potensial dengan taraf kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut pada atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan wajib pajak ketika ini masih rendah. Hal ini bisa dicermati dari aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan menggunakan kewajiban; pendaftaran , pelaporan SPT serta pelunasan pajak terhutang, pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

Pertama : Kepatuhan harus pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah penduduk harus pajak orang eksklusif serta badan yang terdaftar hanya dua.583.960 harus pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum bisa mempertinggi pembayaran beban pajak yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih wajib pajak yg menanggung beban pajak (Tax Corverage Ratio).
Kedua : Kepatuhan wajib pajak buat menyetor balik Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak pada perhitungan dan pembayaran pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35% dari keseluruhan harus pajak efektif yaitu dua.583.960 harus pajak).
Keempat : Kepatuhan pada pembayaran tunggakan pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak relatif akbar (sampai tahun 2000 Rp. 17,tiga Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun memperlihatkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai menggunakan ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tadi terlihat bahwa terdapat hubungan/hubungan antara reformasi perpajakan menggunakan taraf kepatuhan wajib pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak ditentukan oleh poly faktor diantaranya: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan publik, penawaran energi kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral harus pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin serta umur), syarat sosial rakyat, penegakan hukum (audit serta penalti), kompleksitas serta amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, buat membatasi perseteruan penelitian ini hanya difokuskan pada efek efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yg meliputi reformasi organisasi, mekanisme organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi.

Berdasarkan citra di atas, terlihat bahwa taraf kepatuhan wajib pajak dipengaruhi sang bagaimana administrasi perpajakan dijalanka.

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, mekanisme organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi bisa menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan harus pajak rendah serta ini berdampak jua dalam rendahnya kinerja perpajakan.

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah reformasi administrasi perpajakan yang sudah dilakukan selama ini telah atau belum secara menyeluruh meliputi perubahan dari aspek struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, serta budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) pada meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi dari, Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat krusial terutama penilaian berukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.

Di samping itu ada juga pendapat yg menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi serta efektivitas. (Miles serta Snow 1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)

Atmo Sudirjo, beropini bahwa kinerja dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator buat mengukur kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, serta akuntabilitas.
a. Produktivitas adalah berukuran seberapa pelayanan publik itu membuat yang dibutuhkan, berdasarkan segi efisiensi serta efektivitas.
b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran gambaran yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan yaitu warga merasa puas atau nir puas.
c. Responsivitas merupakan ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan warga , menyusun rencana serta prioritas pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi warga .
d. Responsibilitas merupakan berukuran apakah pelaksanaan aktivitas sinkron menggunakan prinsip-prinsip administrasi yang sahih.
e. Akuntabilitas merupakan berukuran seberapa besar kebijakan serta kegiatan organisasi publik bisa dipertanggungjawabkan pada masyarakat atau konsisten menggunakan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses donasi pada orang lain menggunakan cara-cara tertentu yg memerlukan kepekaan serta interaksi interpersonal agar terciptanya kepuasan serta keberhasilan. Sedangkan pelayanan generik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan generik yg dilaksanakan sang instansi pemerintah di pusat, pada daerah serta lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah pada bentuk barang serta atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan rakyat maupun pada rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa istilah pada administrasi Negara, misalnya instansi pemerintah, rapikan laksana, rapikan kerja, mekanisme kerja, sistem kerja, kewajiban serta seterusnya yg diuraikan pada bawah ini.

1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini merupakan sebutan kolektif yg mencakup satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, forum pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah pada tingkat pusat maupun instansi pemerintah pada tingkat wilayah, termasuk BUMN serta BUMD.

2. Tata Laksana
Yang dimaksud menggunakan rapikan laksana merupakan segala anggaran yg ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara, prosedur serta sistem kerja pada melaksanakan kegiatan yg berkenaan dengan penyelenggaraan tugas serta fungsi pemerintah serta pembangunan pelayanan pada bidang generik.

3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara aplikasi kerja yang efisien tentang satu atau serangkaian tugas menggunakan memperhatikan segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas, energi saat, ruang, biaya yang tersedia.

4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud dengan mekanisme kerja adalah rangkaian rapikan kerja yang berkaitan satu sama lain, sehingga memperlihatkan adanya urutan secara kentara dan niscaya dan cara-cara yang harus ditempuh pada rangka penyelesaian suatu bidang tugas.

5. Sistem Kerja
Sistem kerja pada sini diartikan menggunakan rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yg menciptakan suatu kebulatan pola kerja tertentu pada rangka mencapai output kerja yang diharapkan.

6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan pelayanan generik buat mengambil tindakan pada rangka pelaksanaan tugas serta fungsi sinkron menggunakan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka memuaskan rakyat menjadi pelanggan, kewajiban bukan hanya melekat dalam pejabat, namun setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika bertemu menggunakan pelanggan. Misalnya harus untuk menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yang hadir dalam waktu itu. Artinya wajib agresif dalam menyambut kedatangan pelanggan.

FILOSOFI OTONOMI DAERAH DIKAITKAN DENGAN PELAKSANAAN UNDANGUNDANG

Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Undang-Undang 
Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 serta kemudian dirubah sebagai Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penganti Undang Undang No. Lima Tahun 1974, diskusi mengenai efektivitas pelayanan publik dalam otonomi wilayah sebagai semakin menarik buat dibicarakan. 

Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang tadi dilakukan, tetapi peningkatan pelayanan publik publik sebagai sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan. 

Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yg mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten dan kota yg memiliki pemerintahan wilayah yang diatur pada undang-undang. Selanjutnya, pasal 2 ayat (dua) menyebutkan bahwa pemerintah wilayah propinsi, wilayah kabupaten serta kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dari azas swatantra serta tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah sentra, pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah serta peraturan lain sesuai menggunakan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut merupakan meningkatkan kecepatan terwujudnya kesejahteraan warga melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan kiprah dan rakyat. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemerintahan daerah dalam menaikkan efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan swatantra daerah, perlu memperhatikan antar susunan pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004 mengatur hubungan keuangan pusat serta wilayah, pelayanan umum, pemanfaatan asal daya alam serta sumber daya lainnya secara adil dan selaras. 

Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yg seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah pada kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan, karena itu pemerintah masih perlu membuat taktik serta kebijakan supaya dapat memenuhi hak azazi warga negara serta membutuhkan solusi menyeluruh buat membuat pelayanan publik yg baik. Sebagai citra serta fenomena pelayanan publik pada Provinsi Sumatera Barat waktu ini misalnya terlihat rendahnya taraf kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan pada wilayah. Indikasi menerangkan bahwa Pemda melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006 - 2010 menempatkan hal ini menjadi skala prioritas primer. Dalam bagian IV, (Agenda penyelenggaraan pemerintahan wilayah yang baik serta bersih Bab II diatur mengenai Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik) yang menerangkan bahwa menurut output identifikasi pada pelatihan pelayanan publik masih banyak perseteruan yang perlu ditindaklanjuti serta diselesaikan misalnya : belum kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya pandangan hidup kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi berita serta belum ada instrumen yang kentara buat mengevaluasi kualitas pelayanan. 

Sasaran yg hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik tahun 2006-2010 ke depan merupakan :
1. Terlaksananya pelayanan publik pada rakyat sinkron menggunakan baku layanan yg ditetapkan.
2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.
3. Meningkatnya pandangan hidup kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.
4. Meningkatnya kemandirian rakyat dalam menerima pelayanan publik.
5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi pada pemberian pelayanan publik.
6. Meningkatnya kiprah warga terhadap evaluasi kinerja aparatur pelayanan publik.

Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan pelayanan publik serta pengembangan partisipasi publik (rakyat) yg berada dalam rencana penyelenggaraan pemerintahan yg baik serta bersih bersamaan menggunakan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi serta nepotisme, pembangunan hukum serta proteksi hak azazi manusia, peningkatan keamanan serta ketertiban.

Dengan demikian "perkara" Pelayanan publik telah diakomodir pada suatu konsepsi serta taktik kebijakan buat kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni menggunakan gosip bagaimana menaikkan kualitas pelayanan publik tadi berdasarkan tahun ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan pada tempat. 

Berdasarkan berita pada RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya kualitas pelayanan publik tersebut, galat satu antara lain terdapat dalam Perangkat Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Fakta lain menyebutkan, walaupun jumlah penerimaan daerah yg asal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung pertanda peningkatan dan menaruh kontribusi yg besar terhadap penerimaan wilayah, pencapaian hasil nisbi masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB). 

Bertitik tolak berdasarkan fakta serta fenomena di atas, maka penulis tertarik buat melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap serta menganalisanya secara mendalam menggunakan fokus yang diarahkan pada peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak wilayah yang asal menurut pajak tunggangan bermotor serta bea pulang nama kendaraan bermotor melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat pada Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.

Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan Kantor Bersama SAMSAT ini terdapat tiga unit kerja yg terkait serta bekerjasama, yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.Q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.Q. Kepolisian Daerah serta PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya tiga unit kerja perkara yang ditemukan pada pelayanan adalah bertemunya 3 (3) kepentingan yang tidak sinkron yg saling membutuhkan dan saling berafiliasi, namun menyatu serta saling berkaitan (Simbiose Mutualistis). 

Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan menaruh pelayanan publik secara prima kepada warga . Pihak Pemda pada menaruh pelayanan bertujuan buat peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan dana pembangunan yang dari berdasarkan sumber-asal PAD, sedangkan pada pihak lain Polda lebih berkepentingan pada perkara pengidentifikasian kepemilikan serta keamanan.

Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) telah sinkron dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, tetapi efektivitas eksistensi pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis tertarik buat melakukan kajian karena sepengatahuan penulis belum ada yang menelaahnya, terutama apabila dikaitkan menggunakan suasana dan perbedaan makna tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance and Clean Government). Penulisan serta penganalisaan mempedomani teori-­teori dari Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan menggunakan aspek normatif menurut aneka macam ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).

A. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi wilayah yg melekat pada eksistensi pemerintah wilayah, jua sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan wilayah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan serta praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya merupakan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju serta sejahtera, setiap orang bias hidup damai, nyaman, masuk akal sang lantaran memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.

Oleh karenanya keperluan swatantra di tingkat lokal dalam hakekatnya adalah buat memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) swatantra daerah itu diberikan oleh pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya mendapat penyerahan menurut pemerintah sentra. Berbeda halnya menggunakan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi wilayah sudah inheren dalam negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat pada pihak lain (pemerintah daerah) buat dilaksanakan dianggap menggunakan desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yg dipakai dalam system pemerintahan adalah kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi, wewenang pemerintah baik di sentra juga di daerah, dipusatkan pada tangan pemerintahan sentra.

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi wewenang kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan wilayah yg menghendaki adanya swatantra pada penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak serta pemerintah wilayah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan pada rangka penyerahan kewenangan otonomi wilayah, antara negara yang satu menggunakan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan.

Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian berdasarkan sebagian kekuasaan pemerintah oleh grup yang berkuasa di sentra terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing mempunyai otorisasi dalam daerah eksklusif suatu negara.

Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi menjadi proses melakukan pendekatan pada pemerintah wilayah yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan pada daerah. Pemerintah sentra diisyaratkan buat menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Daerahseagai wujud aplikasi desentralisasi.

Tujuan desentralisasi secara umum sang Smith dibedakan atas dua (2) tujuan primer, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan desentralisasi antara lain buat memperkuat pemerintah daerah, buat menaikkan keterampilan serta kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan warga , serta buat mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain merupakan untuk menaikkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta buat menaikkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.

Sedangkan D. Juliantara, dkk menaruh pengertian desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal menurut bahasa latin, de ialah tanggal serta centrum ialah sentra. Lebih jauh dia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yg lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi terbaru, kekuasaan politik diperoleh melalui pemilihan generik yg diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap daerah buat memberikan legitimasi terhadap tugas serta kewenangan forum-lembaga politik di tingkat nasional serta jua pada taraf local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yg memintah serta menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan pada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.

Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan swatantra wilayah serta bahkan kadangkala sulit buat membedakan pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan swatantra daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya. Lebih khusus, ungkin nir berlebihan ila dikatakan terdapat atau tidaknya swatantra wilayah sangat ditentukan sang beberapa jauh kewenangan yg sudah didesentralisasikan sang Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis seringkali menggunakan kata desentralisasi serta swatantra wilayah secara bersamaan, interchange”.

Adanya otonomi wilayah dalam negara, dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dimana eksistensi negara hanya dipercaya sebagai instrument sang kaum kapitalis. Kondisi ini lalu melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya swatantra dari imbas partai politik (partai komunis) yg cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk memperkecil serta bahkan menghilangkan dampak-efek ataupun intervensi kaum-kaum kapitalis serta sosialis. Berbeda halnya menggunakan hadiah otonomi dengan pemerintah local, yaitu buat memperbesar wewenang mengatur serta mengurus tempat tinggal tangganya sendiri.

Oleh karena itu, keperluan swatantra di tingkat local dalam hakikatnya adalah buat memperkecil hegemoni pemerintah pusat kepada wilayah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah sentra (central government), sedangkan pemerintah wilayah hanya menerima penyerahan berdasarkan pemerintah sentra. Berbeda halnya menggunakan otonomi daerah pada negara federal, pada mana otonomi daerah telah melekat dalam negara-negara bagian.

Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan kewenangan oleh badan-badan generik yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yg lebih rendah buat secara berdikari serta dari pertimbangan kepentingan sendiri merogoh keputusan pengaturan dalam pemerintahan, dan struktur kewenangan yg terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas meliputi setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah sentra baik pada daerah maupun pada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan pada wilayah.

Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya memiliki makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yg seluruh termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/forum pemerintahan di wilayah.

Prakarsa buat menemukan prioritas, menentukan alternatif dan merogoh keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik pada hal memilih kebijaksanaan, perencanaan, maupun aplikasi sepenuhnya diserahkan kepada daerah.

Lebih dalam lagi, jika kita cermati prinsip-prinsip aturan dalam pengelolaan perkara-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance dikatakan baik (good atau sound) jika sumber daya serta kasus-perkara publik dikelola secara efektif dan efisien dan aspiratif yg didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas serta partisipasi masyarakat dan rule of law. 

Oleh karenanya aplikasi kewenangan politik, ekonomi dan administrasi pada mengelola kasus-masalah layanan tadi perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan asal daya yang dimiliki, misalnya prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development, good sustainable development govermance serta participatory development.

Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam aplikasi swatantra daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani serta diterapkan dalam pengelolaan asal daya pendapatan daerah, lantaran menurut teori subsidiarity secara lugas serta tegas dikatakan bahwa kewenangan yg telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (sentra) kepada pemerintah taraf lebih rendah (seperti provinsi serta atau kabupaten/kota) akan bisa ditarik pulang sang tingkat lebih atas jika ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya nir bisa melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya menjadi mana mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi pada menjalankan urusan swatantra daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya hadiah pelayanan publik yg baik terhadap harus pajak sektor eksklusif jelas akan sebagai berukuran taraf kemampuan yg realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.

Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak sanggup mengelola kewenangan serta administrasi pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat mempunyai otoritas penuh buat menarik kembali penyerahan/hadiah kewenangan buat mengelola urusan seperti wewenang mengelola/memungut pajak wilayah tertentu.

Berdasarkan penerangan di atas, kita dapat tahu bahwa galat satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yg semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan wilayah akan menaruh pelayanan yang lebih baik dibandingkan menggunakan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah menggunakan sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah pada era otonomi, dibutuhkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga bisa menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Sasaran dari kemandirian wilayah adalah supaya daerah bisa mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan wilayah terhadap pusat dalam pengambilan banyak sekali keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yg dibuat sang daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat serta lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Kemandirian wilayah ini adalah dimaksudkan buat tujuan hadiah pelayanan yg efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, sempurna serta cepat itu merupakan adalah cerminan berdasarkan efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan efisien apabila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien jika jalan tersebut berguna oleh rakyat yang ada pada sekitarnya. Begitu pula halnya menggunakan pendirian tempat tinggal sakit dalam lokasi tertentu.

Dalam rangka itu reposisi wilayah hendaknya dipahami sebgai upaya mengaktualisasikan banyak sekali potensi dan aspirasi warga daerah, sehingga warga di wilayah bisa mengekspresikan kepentingan serta kehendaknya. Untuk itu pemerintah wilayah perlu menyusun kerangka kerja yg memungkinkan terserapnya banyak sekali potensi serta aspirasi warga terutama prinsip pelayanan.

Mengingat tujuan primer dibentuknya pemerintahan merupakan untuk menjaga sistem ketertiban di pada rakyat, sebagai akibatnya sanggup menjalani kehidupannya secara lumrah. Pemerintah diadakan tidaklah buat melayani dirinya sendiri tetapi jua buat melayani masyarakat, dalam mengembangkan kemampuan serta kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.

Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut diharapkan oaparatur yang berkualitas, mempunyai kemampuan pada melayani, memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan rakyat secara memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi menjadi acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan kegiatan masyarakat tidak membahayakan negara serta bangsa.

Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa buat mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan. Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat menggunakan masyarakat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, ekonomis, murah, responsif, inovatif, akomodatif serta produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the closer givernment, the better it service”. Dalam desentralisasi terkandung makna otonomi serta demokratisasi. Dua istilah tadi yakni swatantra serta demokrasi nir mungkin dipisahkan, ia ibarat 2 sisi mata uang yg satu dan yg lain saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dan sebaliknya demokratisasi tanpa swatantra merupakan kebohongan. Dalam sejarah otonomi pada Indonesia semenjak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal pada undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi pada implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan otoaktivitas wilayah sebagai tersumbat. Hal itulah yg kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yg sangat menguras tenaga menyelesaikannya. Adanya swatantra kebijakan swatantra khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir pada tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu bila sentra menyadari secara filosofis serta sosiologis swatantra yg dibangun bikan linear atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.

2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas serta fungsi utama pemerintah wilayah. Hal ini berkaitan menggunakan fungsi dan tugas pemerintahan secara generik, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yg baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan bisa mewujudkan tujuan negara yaitu membangun kesejahteraan masyarakat. Pelayanan pada rakyat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan. Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tadi dilakukan sang pemerintah sentra, pemerintah wilayah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yg menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, serta ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Dengan demikian yg dimaksud pelayanan publik merupakan pelayanan yg diberikan sang negara/wilayah serta perusahaan milik negara kepada masyarakat buat memenuhi kebutuhan dasarnya pada rangka membangun kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah baik sentra juga daerah mempunyai 3 fungsi utama : 1) menaruh pelayanan (service) baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi buat menaikkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), serta tiga) memberikan perlindungan (protective) masyarakat. Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib menaruh pelayanan publik secara perorangan juga khalayak/publik. Pelayanan untuk orang perorangan misalnya hadiah KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan liputan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki 5 serta lain-lain.

Oleh karenanya pemerintah daerah wajib menaruh pelayanan perorangan menggunakan porto murah, cepat serta baik, harus mendapatkan pelayanan yg sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas menggunakan perilaku yang sopan serta ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, wajib diperlakukan sama.

Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, porto maupun waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah wilayah kepada khalayak jua harus adil dan merata. Pemda nir boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok warga eksklusif, sehingga yg satu diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.

Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus bisa memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yg diberikan oleh pemerintah wilayah sanggup diukur dengan indikator-indikator : gampang, murah, cepat, nir berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu apabila ada kesulitan, adil dan merata serta memuaskan.

3) Kualitas Pelayanan 
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, mencakup dimensi-dimensi berikut :
  • Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan saat tunggu serta saat proses
  • Akurasi pelayanan, berkaitan menggunakan keakuratan pelayanan serta bebas berdasarkan kesalahan-kesalahan.
  • Kesopanan serta keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan prilaku orang-orang yg berintegrasi pribadi pada pelanggan eksternal.
  • Tanggung jawab, berkaitan menggunakan penerimaan pesanan serta penanganan keluhan pelanggan eksternal (rakyat).
  • Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
  • Kenyamanan menerima pelayanan, berkaitan menggunakan lokasi, ruangan loka pelayanan, tempat parkir, ketersediaan liputan dan petunjuk panduan lainnya.
  • Atribut pendukung lainnya, misalnya lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC, serta lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen pemugaran kualitas yang dikenal menggunakan konsep Vincent. 
Konsep ini terdiri berdasarkan strategi pemugaran kualitas yaitu :
  • Visionary transformation (tranformasi misi)
  • Infrastructure (infrastruktur)
  • Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
  • Customer Focus (Fokus Pelanggan)
  • Empowerment (Pemberdayaan)
  • NewViews of Quality (ilham mengenai kualitas)
  • Top Management ( Komitmen manajemen zenit)

4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP membuatkan istilah baru yaitu ”governace” sebagai pendamping istilah ”government”. Istilah tadi sekarang sedang sangat terkenal digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke pada Bahasa Indonesia dalam aneka macam kata. Ada yang menterjemahkan sebagai ”tata pemerintahan”, ada jua yg menterjemahkan sebagai ”kepemerintahan”.

Perubahan penggunaan istilah menggunakan pengertiannya akan mengganti secara fundamental pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan pada seluruh global, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan meliputi 3 dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur interaksi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan wilayah, struktur interaksi antara eksekutif dan legislatif juga struktur hubungan antara pemerintah menggunakan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-fungsi yg dijalankan pemerintah sentra, pemerintah daerah maupun rakyat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intraorganisasi, antarorganisasi juga eksraorganisasi.

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada istilah governance menjadi “pelaksanaan wewenang politik, ekonomi, serta administrasi dalam mengelola perkara-perkara bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) jika sumber daya publik dan masalah-perkara publik dikelola secara efektif dan efisien, yg merupakan respon terhadap kebutuhan rakyat. Tentu saja pengelolaan yg efektif serta efisien serta responsive terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam serta pengelolaan kasus-masalah publik yg berdasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yg baik (penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan yg bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan pemerintahan yg higienis.

Baik buruknya suatu pemerintahan mampu dievaluasi bila dia telah bersinggungan menggunakan semua unsur prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.

Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap masyarakat negara mempunyai hak dan kewajiban buat merogoh bagian dalam bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat. Partisipasi tersebut bisa dilakukan secara eksklusif maupun melalui institusi intermediasi misalnya DPRD, LSM serta lain sebagainya. Partisipasi warga masyarakat negara dilakukan nir hanya dalam tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara dianggap transparansi pada kegiatan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan, yaitu :
  • Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
  • Ada keterlibatan secara emosional
  • Memperoleh manfaat secara langsung juga tidak eksklusif menurut keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan pada rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu kondisi kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan aturan yang adil serta dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yg tegas, tidak akan tercipta kehidupan yg demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yg sehat, baik software (aplikasi), perangkat keras (hardware) maupun asal daya manusia yg menjalankan sistemnya (human ware). 

Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance merupakan keterbukaan. Karakteristik ini sinkron menggunakan semangat zaman yang serba terbuka dampak adanya revolusi liputan. Keterbukaan tadi mencakup semua aspek kegiatan yang menyangkut kepentingan publik mulai menurut proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai dalam tahap evaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis menurut keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu mempunyai daya tanggap terhadap hasrat maupun keluhan para pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tadi terutama ditujukan dalam sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, sombong dan berorientasi dalam kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan warga terhadap pelayanan yg diberikan sang sektor publik, secara periodik perlu dilakukan kuesioner tingkat kepuasan konsumen (custumer satisfaction).

Berorientasi dalam Konsenseus (Consensus Orientation) 
Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada dasarnya adalah kreatifitas politik, yg berisi dua hal primer yaitu pertarungan dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan keputusan juga pemecahan kasus beserta lebih diutamakan dari mufakat, yang dilanjutkan menggunakan kesedian buat konsisten melaksanakan mufakat yg telah diputuskan bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, lantaran nilai dasar kita pada memecahkan masalah bangsa merupakan melalui “musyawarah”.

Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap rakyat negara memiliki kesempatan yg sama buat memperoleh kesejahteraan. Akan namun lantaran kemampuan masing-masing masyarakat negara bhineka, maka sektor publik perlu memainkan peranan supaya kesejahteraan serta keadilan bisa berjalan seiring sejalan.

Keefektifan serta Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar bisa berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, aktivitas domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas serta efisiensi dalam setiap aktivitas. Tekanan perlunya efektivitas serta efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetensi nir akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (Accountability)
Setiap kegiatan yg berkaitan menggunakan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan pada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan jua dalam para pemegang saham (stake holder), yakni warga luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan sebagai 5 macam yaitu sebagai berikut :
  • Akuntabilitas Organisasional / administratif.
  • Akuntabilitas legal
  • Akuntabilitas politik
  • Akuntabilitas profesional
  • Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yg berubah secara bergerak maju misalnya kini ini, setiap domain pada good governance perlu mempunyai visi yg strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri bisa dibedakan antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun (satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5 tahun. 

2 Kerangka Konseptual
1) Pengeseran wewenang Administrasi Negara
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta waktu ini sudah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai akibat sebagai akibat adanya pergeseran wewenang yg seluruh bersifat sentralistik sebagai desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yg semua diatur serta dipengaruhi sang Pemerintah Pusat otonotis berpindah serta sudah sebagai wewenang serta tanggung jawab Daerah.

Dalam dalam itu, apabila dipandang pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan forum perekonomian negara, pelatihan serta pemberdayaan sumber daya insan, pemberdayaan sumber daya alam dan teknologi tinggi yg strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan serta berbuat yang bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai memutuskan setiap kebutuhan wilayah.

Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian pada menerbitkan banyak sekali bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yg semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk banyak sekali kewenangan tata usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan sebagai kewenangan dan tanggung jawab daerah.

Selain itu, pada Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan juga bahwa otonomi yg bertanggung jawab merupakan berupa perwujudan pertanggungjawaban menjadi konsekuensi hadiah hak dan wewenang pada Daerah pada wujud tugas dan kewajiban yg wajib dipikul sang Daerah dalam mencapai tujuan anugerah swatantra tadi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat yg semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan serta pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak serta wewenang pusat berupa ijin yang mencakup ratifikasi, penghapusan, persetujuan, penetapan dan aneka macam wewenang lain bergeser/berpindah sebagai hak serta wewenang Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. 

Begitupun dalam pengertian swatantra luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah dibutuhkan sanggup menaikkan daya saing menggunakan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan dan potensi dari Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip berdasarkan otonomi seluas-luasnya itu yaitu dari asas otonomi serta urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan, ketentuan ini memberikan gambaran bahwa swatantra wilayah itu merupakan wewenang dari wilayah.

2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak keliru satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) menggunakan perubahan sistem perpajakan yaitu menurut sistem official assesment, menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi melalui reorganisasi, wajib terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan harapan dapat menaikkan kinerja yg dapat diukur dari produktivitas, responsivitas serta akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan merupakan buat mempertinggi kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan merupakan untuk menaikkan kepatuhan harus pajak, bahwa dalam sistem self assesment aktifitas primer administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya sinkron dengan ketentuan yang berlaku pada hal:
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian 
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat interaksi antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan harus pajak yg bisa memperkecil nomor ketidak patuhan. Bukan hanya melihat berdasarkan aspek peningkatan penerimaan saja.

Administrasi pajak yg baik pada dasarnya tidak bisa mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi perpajakan yg gampang ditagih, misalnya honor pegawai, namun nir mampu untuk menagih pajak berdasarkan perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi penerimaan pajak bukan adalah berukuran yg tepat atas efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih seksama buat mengetahui efektivitas administrasi perpajakan merupakan berapa besarnya jurang kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya menggunakan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tadi di atas bisa dikatakan bahwa kepatuhan harus pajak ketika ini masih rendah. Hal ini dapat ditinjau menurut aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan menggunakan kewajiban; registrasi, pelaporan SPT serta pelunasan pajak terhutang, pendeknya kepatuhan WP bisa diidentifikasikan menjadi berikut:

Pertama : Kepatuhan harus pajak pada mendaftarkan diri, jumlah wajib pajak yang terdaftar dalam administrasi pajak masih sangat rendah (dalam tahun 2002 berdasarkan 210 juta jumlah penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum dapat menaikkan pembayaran beban pajak yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih harus pajak yg menanggung beban pajak (Tax Corverage Ratio).
Kedua : Kepatuhan harus pajak buat menyetor balik Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak pada perhitungan serta pembayaran pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35% berdasarkan keseluruhan harus pajak efektif yaitu dua.583.960 harus pajak).
Keempat : Kepatuhan pada pembayaran tunggakan pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak cukup akbar (sampai tahun 2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun memberitahuakn bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa terdapat interaksi/korelasi antara reformasi perpajakan menggunakan tingkat kepatuhan harus pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan harus pajak ditentukan oleh banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan serta keuangan publik, penawaran energi kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), syarat sosial masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yg mempengaruhi kepatuhan harus pajak, untuk membatasi konflik penelitian ini hanya difokuskan pada efek efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yang mencakup reformasi organisasi, prosedur organisasi, taktik organisasi serta budaya organisasi.

Berdasarkan citra pada atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan harus pajak ditentukan sang bagaimana administrasi perpajakan dijalanka.

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, mekanisme organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi bisa menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak rendah serta ini berdampak pula pada rendahnya kinerja perpajakan.

Permasalahan utama yg akan dibahas pada penelitian ini merupakan apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini telah atau belum secara menyeluruh meliputi perubahan menurut aspek struktur organisasi, mekanisme, strategi organisasi, serta budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) dalam mempertinggi kepatuhan wajib pajak.

3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi berdasarkan, Rue dan Bryan, kinerja merupakan tingkat pencapaian (the degree of accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat krusial terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu eksklusif. Berbagai pendapat menyamakan kinerja (performance) menggunakan prestasi kualitas pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan serta misinya.

Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi serta efektivitas. (Miles serta Snow 1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)

Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator buat mengukur kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu membentuk yang dibutuhkan, berdasarkan segi efisiensi serta efektivitas.
b. Kualitas pelayanan merupakan berukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yg diberikan yaitu warga merasa puas atau tidak puas.
c. Responsivitas adalah berukuran kemampuan organisasi buat mengenali kebutuhan rakyat, menyusun rencana dan prioritas pelayanan publik sinkron kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas merupakan berukuran apakah aplikasi kegiatan sinkron dengan prinsip-prinsip administrasi yg benar.
e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa akbar kebijakan dan aktivitas organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan pada warga atau konsisten dengan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik pada Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan pada orang lain dengan cara-cara eksklusif yg memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Sedangkan pelayanan generik menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan generik yg dilaksanakan sang instansi pemerintah di pusat, di daerah serta lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah pada bentuk barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan warga juga pada rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu pada atas, terkait beberapa istilah pada administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana, tata kerja, mekanisme kerja, sistem kerja, kewajiban serta seterusnya yg diuraikan di bawah ini.

1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud menggunakan instansi pemerintah pada sini adalah sebutan kolektif yang mencakup satuan kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah pada taraf sentra juga instansi pemerintah di tingkat wilayah, termasuk BUMN serta BUMD.

2. Tata Laksana
Yang dimaksud menggunakan tata laksana adalah segala aturan yg ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yg menyangkut tata cara, prosedur serta sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan menggunakan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah serta pembangunan pelayanan pada bidang umum.

3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara aplikasi kerja yg efisien mengenai satu atau serangkaian tugas menggunakan memperhatikan segi-segi tujuan, alat-alat, fasilitas, tenaga saat, ruang, biaya yg tersedia.

4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud menggunakan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yg berkaitan satu sama lain, sebagai akibatnya memberitahuakn adanya urutan secara kentara serta niscaya serta cara-cara yg wajib ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.

5. Sistem Kerja
Sistem kerja pada sini diartikan menggunakan rangkaian rapikan kerja serta mekanisme kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja eksklusif pada rangka mencapai hasil kerja yang diperlukan.

6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan menjadi aparatur penyelenggaraan pelayanan generik buat mengambil tindakan pada rangka aplikasi tugas serta fungsi sesuai menggunakan perundang-undangan yg berlaku. Dalam rangka memuaskan rakyat menjadi pelanggan, kewajiban bukan hanya inheren dalam pejabat, namun setiap aparatur dalam lingkungan kerja saat bertemu menggunakan pelanggan. Misalnya harus buat menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yg hadir pada ketika itu. Artinya harus agresif dalam menyambut kedatangan pelanggan.