PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau kata yg berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan kata personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut menggunakan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut menggunakan kata personel, lalu Makmun (1996) menyebut dengan istilah energi kependidikan, sedangkan kalau melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yg mengatur mengenai energi kependidikan di Indonesia, serta Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya dengan kata tenaga kependidikan. 

Dari banyak sekali kata yg berkaitan menggunakan tenaga kependidikan tersebut secara konseptual dan teoritik semuanya memang benar pada arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Namun perlu diketahui bahwa pada manajemen pula dikenal serta digunakan istilah secara lebih generik, yaitu kata sumber daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan goresan pena di kitab ini, maka kata yang digunakan barangkali serta bisa jadi istilah-kata tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya merupakan sama saja.

Persoalannya yg timbul serta perlu dibahas merupakan siapakah yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tadi jua dijelaskan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi menjadi pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron dengan kekhususannya, serta partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (lima) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tadi dapatlah diketahui bahwa energi kependidikan tersebut adalah memiliki makna dan cakupan yg jauh lebih luas berdasarkan pendidik. Bisa jadi yg dimaksud termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut pada samping pendidik, misalnya pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah pula termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau energi kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini lantaran sangat bermanfaat tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan untuk kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan energi kependidikan khususnya kepala sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya insan tersebut dalam segala fungsi serta kiprahnya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yang dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yang galat, dan galat, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, serta fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan sebagai signifikan dan determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya insan akan sangat menentukan keberhasilanya, serta memang agak tidak selaras menggunakan mengelola material yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang sophisticated dimana mesin-mesin tersebut walaupun pula menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir mampu melawan perintah, nir akan mangkir pada melaksanakan tugas, nir akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam permasalahan-pertarungan seperti insan, nir akan bisa mengajukan tuntutan pemugaran nasib, serta perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tadi, maka pada penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan serta menempati posisi kunci pada sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan yg memiliki kualitas kemampuan yang profesional serta kinerja yg baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan jua berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh pada kualitas peradaban serta martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian pula buat lebih bisa memahami kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik serta simpel, maka kajiannya akan difokuskan dalam energi kependidikan tetentu saja, khususnya ketua sekolah saja, lantaran jabatan ketua sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan menurut guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik buat dibahas karena pada dalam diri ketua sekolah tadi pada samping berfungsi sebagai pendidik pula disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator serta mativator, sehingga jabatan ketua sekolah tersebut acapkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya dalam kepala sekolah pula akan lebih gampang pada menaruh berbagai gambaran, model-model, pendalaman juga pada pengayaannya. 

Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian serta penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan telah bisa dimengerti secara jelas yang dimaksud menggunakan energi kependidikan tadi adalah anggota rakyat yg mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan pada forum-forum pendidikan partikelir, serta seluruh pengambil kebijakan pada birokrasi dan stafnya pada tingkat sentra, wilayah provinsi, kabupaten/kota, taraf keca-matan, serta di tingkat desa.

Kalau dilema jenis-jenis energi kependidikan dan energi pendidikan telah tampak dalam pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih jelas, yang sebagai dilema lebih lanjut adalah kasus bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan ketua sekolah tersebut. Secara teoritik dan mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tadi dapat dibedakan sebagai energi pendidik, energi manajemen kependidikan, energi penunjang teknis kependidikan, energi penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi energi kependidikan tadi, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara eksklusif memberikan pelayanan teknis kependidikan pada peserta didik. Sesungguhnya pada hubungan ini alam sudah melibatkan semua orang yang melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua pada tempat tinggal , para guru/dosen, pembimbing dan instruktur pada sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para pelatih atau fasilitator, pamong belajar dalam pusat-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada banyak sekali serikat atau sanggar atau pedepokan dan organisasi yang melatih serta membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren serta majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV serta Radio yg mengasuh acara dan mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, kitab bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan oleh pemerintah juga oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tersebut bisa secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar jarak jauh, secara korespondensi, serta aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa perkara kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau diperhatikan pasal 9 undang-undang guru bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi acara sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan didapatkan sang perguruan tinggi. Demikian pula pada PP No. 19 tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa pengajar SD/MI/SDLB wajib berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yang sinkron menggunakan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi ketentuan-ketentuan yg diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tadi, sepertinya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seseorang guru tersebut merupakan sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun demikian bila makna suara pasal-pasal yang diatur serta terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang pengajar, serta PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan disenergikan dapat disimpulkan bahwa buat sebagai guru pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya untuk sebagai guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat dapat diangkat menjadi pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan wajib lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau Sekolah Menengah Atas/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi pengajar ini adalah suatu lompatan yg cukup signifikan dalam upaya menaikkan kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi kepada energi teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara aktivitas kependidikan pada semua jenjang tataran sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, hingga pada tingkat operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yg sanggup dimasukkan sebagai tenaga manajemen kependidikan merupakan: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural dari tingkat sentra hingga taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan menggunakan fungsi tenaga penunjang teknis yg dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di bengkel atau workshop, laboran pada laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi sumber belajar pada studio, teknisi sumber belajar pada PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi energi penunjang administrasi kependidikan, energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya mengadakan serta menyiapkan sarana serta prasarana kependidikan dan menaruh layanan jasa administratif pada pihak tenaga manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, serta tenaga teknis fungsional, dan penunjang teknis kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan menggunakan tenaga penunjang admistratif kependidikan ini, diantaranya bisa disebut seperti tenaga admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, serta konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara eksklusif pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, dan kepada energi penunjang administratif kependidikan, namun hanya menyiapkan banyak sekali perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi pada seluruh pihak yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertang-gunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan mengenai kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya pada perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya dalam suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menangani bidang kependidikan memiliki aneka macam sentra penelitian, banyak sekali sentra pengembangan, maupun banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan pada uraian mengenai aneka macam jenis kualifikasi tenaga kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk energi kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan pada taraf persekolahan. Sehingga pada pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat dapat seseorang guru diberikan tugas tambahan sebagai ketua sekolah merupakan seseorang guru apabila sudah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi khusus ketua sekolah. Persyaratan kualifikasi generik yang dimaksudkan adalah menjadi berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan dalam perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam ketika diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) mempunyai penga-halaman mengajar sekuarang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di TK/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya tiga tahun pada Taman Kanak-kanak/RA, dan (d) mempunyai pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan menggunakan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau forum yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang guru untuk dapat diangkat menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1) bersetatus menjadi pengajar SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik menjadi guru SMA/MA, dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah Sekolah Menengah Atas/MA yg diterbitkan oleh forum yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah merupakan tugas tambahan dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih permanen menjadi energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung jua menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan melakukan layanan secara nir eksklusif pada energi teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi pada jabatan kepala sekolah tadi termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dan energi pendidik. Untuk ketua sekolah sebagai kualifikasi energi manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih pada, dan lebih luas pada pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah sebagai kualifikasi energi pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di dalam uraian tentang jenis serta kualifikasi energi kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional kepala sekolah jua disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (dua) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yg bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, dan melakukan penelitian dan darma pada rakyat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi pengajar merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi ketua sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka ketua sekolah jua melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecer-dasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi dan latihan. Demikian jua dalam perkembangan selanjutnya istilah pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pengajaran. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu keluarga serta rakyat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus sahih-benar mengetahui teori-teori dan metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah menjadi seorang pendidik harus mampu menanamkan, memajukan serta menaikkan paling nir empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin serta tabiat insan, (2) nilai moral yang berkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, serta kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan menggunakan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni serta estetika. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan 2 konflik utama, yaitu pertama merupakan sasarannya, serta yang ke 2 adalah cara dalam melaksanakan perannya menjadi pendidik. 

Ada tiga gerombolan yang menjadi target berdasarkan ketua sekolah dalam melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama merupakan peserta didik atau anak didik, yang ke 2 adalah pegawai administrasi, serta yg ketiga adalah guru-pengajar. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran pada pendidikan yg dilakukan sang ketua sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara grup yang satu menggunakan gerombolan yang lainnya mempunyai perbedaan-disparitas yg sangat prinsip, yang secara generik dapat ditinjau pada banyak sekali gejala serta konduite yg ditunjukannya misalnya misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial yang tidak sinkron, motivasi yang berbeda, taraf kesadaran pada bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya disparitas-disparitas tersebut adalah kepala sekolah di pada melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yang berkaitan menggunakan perilaku bathin serta tabiat insan, (dua) nilai moral yang brkaitan dengan hal-hal ajaran baik serta jelek mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan insan secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni serta estetika, pula seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda-beda terhadap setiap target didiknya, tidak mampu dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai oleh ketua sekolah terhadap kelompok sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, dan pengajar-gurunya. Pertama dengan memakai pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan pada sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para siswa, staf pegawai administrasi dan pengajar-guru konfiden akan kebenaran, merasa perlu serta menduga krusial nilai-nilai yang terkandung pada nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta estetika ke pada kehidupan mereka. Persuasi bisa dilakukan secara individu juga secara grup.

Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yg patut, baik dan perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui perilaku, perbuatan, perilaku termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya ketua sekolah pada memakai pendekatan dan strategi persuasi serta keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan pengajar-pengajar tadi harus tetap berpijak dan menghormati kebiasaan-kebiasaan dan etika-etika yg berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih khusus bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi jua adalah menjadi bimbingan, serta yang lebih penting juga merupakan bagaimana pada mengaplikasikannya proses bimbingan tadi. Tampaknya pada interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tadi tidak bisa dilepaskan berdasarkan pengertian pembimbingan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut merupakan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat tersebut memiliki arti bahwa pendidikan wajib bisa memberi model, wajib bisa memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah wajib bisa membentuk dan menum-buhkan kodisi yg aman yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti talenta dan kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, dan mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti pada bersikap memilih ke arah pembentukan kemana murid mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin pada sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-pengajar dan pegawai administrasi lainnya pada melaksanakan tugasnya untuk pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, serta memberi petunjuk, kepala sekolah diperlukan jua bisa mendapat banyak sekali tambahkan, serta kritik dari guru-pengajar. Kepala sekolah jua bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar dan pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing dalam bisnis tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman juga perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan pada beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau istilah yang bhineka. Sutisna (1983) menyebut menggunakan istilah personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan kata sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut dengan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut dengan kata personel, kemudian Makmun (1996) menyebut dengan kata tenaga kependidikan, sedangkan bila melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yang mengatur tentang tenaga kependidikan pada Indonesia, dan Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya menggunakan kata tenaga kependidikan. 

Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan energi kependidikan tersebut secara konseptual serta teoritik semuanya memang benar dalam arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yg memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen juga dikenal serta dipakai istilah secara lebih umum, yaitu istilah asal daya manusia. Kemudian pada kaitannya menggunakan goresan pena di buku ini, maka istilah yg dipakai barangkali serta sanggup jadi kata-istilah tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya adalah sama saja.

Persoalannya yang timbul serta perlu dibahas adalah siapakah yg dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud adalah anggota masyarakat yg mengabdikan diri serta diangkat untuk menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tersebut pula dijelaskan pendidik merupakan energi kependidikan yg berkualifikasi sebagai pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron menggunakan kekhususannya, dan partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan dalam bunyi pasal 1 (5) serta (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tersebut dapatlah diketahui bahwa tenaga kependidikan tadi merupakan memiliki makna serta cakupan yg jauh lebih luas menurut pendidik. Bisa jadi yang dimaksud termasuk menggunakan energi kependidikan tadi di samping pendidik, seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, merupakan jua termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau tenaga kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini karena sangat berguna tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau pada bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan buat kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan tenaga kependidikan khususnya ketua sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya manusia tadi dalam segala fungsi serta perannya sangat krusial bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk pada bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yg dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yg galat, serta keliru, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, dan fasilitas yang lengkap tadi tidak akan menjadi signifikan serta determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya manusia akan sangat menentukan keberhasilanya, dan memang agak tidak sinkron dengan mengelola material yg berupa mesin-mesin atau teknologi yg canggih dimana mesin-mesin tadi walaupun jua memilih keberhasilan suatu organisasi, namun mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir sanggup melawan perintah, nir akan mangkir dalam melaksanakan tugas, tidak akan melaksanakan pemogokan, nir akan terlibat pada permasalahan-pertarungan seperti manusia, nir akan bisa mengajukan tuntutan perbaikan nasib, dan perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tersebut, maka dalam penerangan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yg determinan serta menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya insan atau tenaga kependidikan yg mempunyai kualitas kemampuan yg profesional dan kinerja yang baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja serta jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh dalam kualitas peradaban serta martabat hayati warga , bangsa, dan umat insan dalam umumnya. Demikian juga buat lebih dapat tahu kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik dan simpel, maka kajiannya akan difokuskan pada energi kependidikan tetentu saja, khususnya kepala sekolah saja, lantaran jabatan kepala sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan dari guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan berdasarkan guru cukup menarik buat dibahas lantaran di dalam diri ketua sekolah tersebut di samping berfungsi menjadi pendidik jua disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan mativator, sebagai akibatnya jabatan ketua sekolah tersebut seringkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya pada kepala sekolah pula akan lebih mudah dalam memberikan berbagai ilustrasi, model-contoh, pendalaman maupun dalam pengayaannya. 

Jenis-jenis serta Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian dan penjelasan tentang pengertian energi kependidikan sudah bisa dimengerti secara jelas yg dimaksud dengan energi kependidikan tadi merupakan anggota warga yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, dan fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, kepala, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan dalam forum-forum pendidikan swasta, serta semua pengambil kebijakan di birokrasi serta stafnya di taraf pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, tingkat keca-matan, serta pada taraf desa.

Kalau masalah jenis-jenis tenaga kependidikan serta tenaga pendidikan sudah tampak pada pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih kentara, yang menjadi duduk perkara lebih lanjut merupakan masalah bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan kepala sekolah tersebut. Secara teoritik serta mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi energi kependidikan tersebut dapat dibedakan sebagai tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, tenaga penunjang teknis kependidikan, tenaga penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi tenaga kependidikan tersebut, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi energi kependidikan khususnya ketua sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara langsung menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada peserta didik. Sesungguhnya pada interaksi ini alam sudah melibatkan seluruh orang yang melaksanakan tugas pelayanan tadi termasuk para orang tua di rumah, para guru/dosen, pembimbing dan pelatih di sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para instruktur atau fasilitator, pamong belajar pada sentra-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada aneka macam perkumpulan atau sanggar atau pedepokan serta organisasi yg melatih dan membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren dan majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV dan Radio yang mengasuh acara serta mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, buku bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan pada bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yg diselengarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tadi bisa secara tatap muka secara langsung pada kelas atau melalui TV, sistem belajar jeda jauh, secara korespondensi, dan aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa masalah kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur sang undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, bila diperhatikan pasal 9 undang-undang pengajar bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seseorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu jikalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan dihasilkan sang perguruan tinggi. Demikian jua dalam PP No. 19 tahun 2005 pada pasal 29 (dua) disebutkan bahwa pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB harus berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian pada pasal yg sama ayat tiganya disebutkan bahwa pengajar Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yg sinkron dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dari suara ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang serta peraturan pemerintah tersebut, tampaknya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seorang guru tersebut adalah sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Tetapi demikian jika makna bunyi pasal-pasal yang diatur dan masih ada pada undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang guru, dan PP No. 19 tahun 2005 dirunut serta disenergikan bisa disimpulkan bahwa buat sebagai pengajar pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya buat menjadi guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat bisa diangkat sebagai pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan harus lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau SMA/MA/Sekolah Menengah Kejuruan/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi guru ini merupakan suatu lompatan yang cukup signifikan dalam upaya mempertinggi kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi energi manajemen kependidikan, merupakan energi kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi pada tenaga teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam seluruh jenjang tataran sistem pendidikan mulai taraf struktural sentra, regional atau wilayah, hingga dalam taraf operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yang sanggup dimasukkan menjadi tenaga manajemen kependidikan adalah: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural berdasarkan taraf sentra sampai taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik serta pengawas, penilai serta penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, adalah energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya pada menjamin kelangsungan serta kelancaran proses pendidikan. Sehubungan dengan fungsi energi penunjang teknis yg dimaksudkan merupakan meliputi misalnya teknisi asal belajar di bengkel atau workshop, laboran di laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi asal belajar pada studio, teknisi sumber belajar di PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi tenaga penunjang administrasi kependidikan, tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya mengadakan dan menyiapkan wahana serta prasarana kependidikan serta memberikan layanan jasa administratif kepada pihak energi manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, dan tenaga teknis fungsional, serta penunjang teknis kependidikan sesuai menggunakan kepentingannya. Siapa yg dimaksudkan menggunakan energi penunjang admistratif kependidikan ini, antara lain dapat diklaim misalnya energi admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, dan konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara pribadi pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, serta kepada energi penunjang administratif kependidikan, tetapi hanya menyiapkan berbagai perangkat liputan serta data yang relevan dan bisa dipertanggung jawabkan dan memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi kepada semua pihak yg berkepentingan menggunakan kependidikan, khususnya mereka yg bertugas serta bertang-gunjawab serta terlibat menggunakan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan tentang kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada seluruh jenjang tataran sistem kependidikan khususnya di perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya pada suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yg menangani bidang kependidikan mempunyai aneka macam pusat penelitian, banyak sekali pusat pengembangan, juga banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan dalam uraian tentang banyak sekali jenis kualifikasi energi kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk tenaga kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi serta menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Sehingga di pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat bisa seseorang pengajar diberikan tugas tambahan menjadi ketua sekolah merupakan seseorang pengajar apabila telah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi spesifik kepala sekolah. Persyaratan kualifikasi umum yg dimaksudkan adalah sebagai berikut: (a) mempunyai kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam saat diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) memiliki penga-page mengajar sekuarang-kurangnya lima tahun dari jenjang sekolah masing-masing, kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya 3 tahun pada TK/RA, dan (d) memiliki pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan dengan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau lembaga yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang wajib dipenuhi sang seseorang pengajar buat dapat diangkat menjadi kepala sekolah tadi sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali menjadi model bisa dikutifkan persyaratan kualifikasi spesifik Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) merupakan menjadi berikut: (1) bersetatus menjadi guru Sekolah Menengah Atas/MA, (2) mempunyai sertifikat pendidik menjadi pengajar SMA/MA, serta (tiga) memiliki sertifikat kepla sekolah SMA/MA yg diterbitkan sang lembaga yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah adalah tugas tambahan menurut pengajar, maka secara fungsional tugas ketua sekolah masih tetap sebagai energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara eksklusif juga menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, serta sebagai energi manajemen pendidikan melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan serta menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi dalam jabatan ketua sekolah tersebut termasuk 2 kualifikasi yaitu menjadi kualifikasi energi manajemen pendidikan serta energi pendidik. Untuk kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan ketua sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih dalam, serta lebih luas dalam pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah menjadi kualifikasi tenaga pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di pada uraian tentang jenis serta kualifikasi tenaga kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah adalah jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional ketua sekolah pula disebutkan termasuk energi pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (2) berbunyi pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai output pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Pengajar dan Dosen pada pasal 1 (1) berbunyi guru merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi kepala sekolah menjadi tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka kepala sekolah pula melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan tentang akhlak dan kecer-dasan pikiran sebagai akibatnya pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap serta tata laku seorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Demikian pula pada perkembangan selanjutnya kata pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pedagogi. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut menaruh tanda bahwa proses pendidikan pada samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, bisa pula diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu famili serta masyarakat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus benar-benar mengetahui teori-teori serta metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah sebagai seseorang pendidik harus sanggup menanamkan, memajukan dan menaikkan paling tidak empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak manusia, (dua) nilai moral yang berkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yg diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga wajib memperhatikan dua perseteruan utama, yaitu pertama adalah sasarannya, serta yg ke 2 adalah cara dalam melaksanakan kiprahnya menjadi pendidik. 

Ada tiga grup yg menjadi sasaran dari kepala sekolah pada melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama adalah siswa atau murid, yang kedua merupakan pegawai administrasi, serta yang ketiga merupakan pengajar-pengajar. Ketiga grup ini sebagai sasaran dalam pendidikan yg dilakukan sang kepala sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara kelompok yang satu menggunakan kelompok yg lainnya mempunyai perbedaan-perbedaan yg sangat prinsip, yg secara generik dapat ditinjau dalam aneka macam tanda-tanda serta konduite yang ditunjukannya misalnya misalnya pada taraf kematangannya, latar belakang sosial yang berbeda, motivasi yang berbeda, tingkat pencerahan pada bertanggungjawab, serta lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan ketua sekolah pada dalam melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak insan, (2) nilai moral yg brkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yg diartikan menjadi ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan menggunakan syarat jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yg berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan, juga seharusnya menggunakan memakai cara atau pendekatan yang bhineka terhadap setiap sasaran didiknya, tidak mampu dilakukan menggunakan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai sang ketua sekolah terhadap grup target pada melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, serta pengajar-gurunya. Pertama dengan menggunakan pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan di sini adalah bisa meyakinkan secara halus sebagai akibatnya para siswa, staf pegawai administrasi dan guru-pengajar yakin akan kebenaran, merasa perlu dan menduga krusial nilai-nilai yg terkandung dalam nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta keindahan ke dalam kehidupan mereka. Persuasi dapat dilakukan secara individu maupun secara gerombolan .

Kedua menggunakan pendekatan dan setrategi keteladanan, merupakan hal yg patut, baik serta perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan, konduite termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya kepala sekolah dalam menggunakan pendekatan serta strategi persuasi dan keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, serta pengajar-pengajar tersebut harus permanen berpijak serta menghormati norma-kebiasaan dan etika-etika yang berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih spesifik bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya wajib tahu bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi pula adalah menjadi bimbingan, dan yang lebih krusial jua adalah bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya dalam interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak bisa dilepaskan menurut pengertian pembimbingan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara pada sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang populer pada sistem among tadi adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, serta tut wuri handayani. Ketiga kalimat tadi memiliki arti bahwa pendidikan harus bisa memberi model, harus bisa menaruh dampak, serta harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah harus mampu membentuk serta menum-buhkan kodisi yg aman yg bisa memberi serta membiarkan anak didiknya menuruti talenta serta kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, serta mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti dalam bersikap menentukan ke arah pembentukan kemana anak didik mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin di sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-guru dan pegawai administrasi lainnya dalam melaksanakan tugasnya buat pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, dan memberi petunjuk, ketua sekolah diperlukan juga bisa menerima aneka macam tambahkan, serta kritik berdasarkan pengajar-guru. Kepala sekolah pula bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar serta pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing pada bisnis tambahan pengetahuan keterampilan serta pengalaman juga perubahan sikap yg lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

MANAJEMEN PROFESI KEPENDIDIKAN

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya telah ditegaskan, bahwa tenaga kependidikan merupakan mencakup baik pengajar, juga non pengajar. Secara rinci yg termasuk tenaga kependidikan pada sekolah adalah mencakup: pengajar, ketua sekolah, energi bimbingan, dan tenaga administrasi atau tata-bisnis. Namun dalam kitab ini pembahasan mengenai tenaga kependidikan tersebut lebih ditekankan pada pengkajian jabatan pengajar menjadi suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yg dimaksud dengan energi kependidikan adalah guru. Tenaga kependidikan lainnya, seperti ketua sekolah (administrator pendidikan) serta energi pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa guru yang paling banyak disoroti dalam buku ini adalah, pertama, karena pengajar merupakan tenaga utama pada suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak primer di sektor pendidikan serta paling lebih banyak didominasi peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, pada samping menjadi penggerak utama pada sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling poly di bandingkan dengan menggunakan energi kependidikan yg lainnya. 

Sebagai tenaga penggerak utama dalam bidang pendidikan menggunakan jumlah paling akbar, yg diharapkan bisa memajukan global pendidikan, guru mempunyai tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka tak jarang menerima perlakuan yg kurang adil. Banyak pengajar yg terpaksa ditempatkan dalam loka (tempat kerja) yang berdeak-friksi serta bekerja menggunakan peralatan yang pas-pasan. Mereka pula memperoleh penghasilan yang pas-pasan jua, pada hal menurut sini mereka dibutuhkan dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi menggunakan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti kegiatan ko-kurikuler yang menyita poly saat pengajar, tetapi tanpa imbalan yg memadai. 

Tugas-tugas pengajar tersebut akan semakin terasa lebih berat serta kompleks apabila dihadapkan menggunakan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi menggunakan dukunan fasilitas yang minim dan dengan iklim kerja yang belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan yg dialami masyarakat, maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yg semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana pada sektor pendidikan pada biasanya serta pengajar pada khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa tuntutan baru bagi masyarakat; sedangkan rakyat sendiri telah terbiasa berakibat sekolah sebagai pintu gerbang dalam mengejar perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tadi. Oleh karena itu wajarlah jika tuntutan terhadap sekolah serta peranan pengajar jua semakin tinggi. Atau dengan perkataan lain, rakyat semakin membutuhkan sekolah yang baik menggunakan pengajar-gurunya yg baik atau yg profesional. Masalahnya sekarang merupakan bagaimanakah pengajar yg baik atau profesional itu ? Sebab selama ini menggunakan ketiadaan kreteria yg jelas mengenai pengajar yg baik/profesional tadi dapat menyebabkan beragam penafsiran tentang hal tersebut. Untuk memperjelas hal tersebut berikut adalah akan diuraikan engenai guru yg profesional tersebut.

A. Hakekat Guru Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan pada atas, bahwa pengertian guru yg baik atau yang profesional bisa mengakibatkan poly penafsiran. Di antara penafsiran tersebut antara lain ada yang menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yg lebih ketat, terdapat yg menghendaki supervisi yang lebih efektif serta efisien, ada yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yg tinggi, serta ada pula yg mengutamakan perlunya kelengkapan sarana serta prasarana yang lebih memungkinan para pengajar menerapkan pengetahuan serta keterampilan yang mereka sudah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi serta kondisi eksklusif, semua hal di atas mungkin sama-sama diharapkan. Lepas dari fenomena, bahwa kasus disiplin kerja bukan sekedar kasus ketaatan akan peraturan yang secara ketat, namun mempunyai arti yang jauh lebih luas serta dalam dari itu. Dengan disiplin yang ketat cenderung buat mengakibatkan insan itu bertingkah laku secara rutin dan berrsifat mekanis, pada hal pekerjaan mengajar dan pendidikan lainnya yang wajib dilakukan pengajar serta tenaga kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, bergerak maju serta inovatif. Demikian juga menggunakan pengadaan aneka macam bantuan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yang harmonis, menyenangkan dan nyaman, misalnya pengadaan peralatan laboratorium, bahan-bahan pedagogi serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya bisa jua dikemukakan, bahwa dengan gedung yang mewah dan penuh peralatan pendidikan yg sophisticated, tetapi dihuni oleh guru-pengajar tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, pengabdian dan kompetensi profesional, belumlah merupakan agunan buat berhasilnya pendidikan, serta bahkan mungkin sekali akan berakhir menggunakan frustrasi dan kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat guru menjadi suatu profesi memiliki beberapa kiprah yang inheren pada profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) sebagai berikut: (1) guru merupakan pendidik, (dua) guru berperan sebagai pemimpin serta pendukung nilai-nilai yg dianut oleh masyarakat, (tiga) pengajar berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi siswa, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya output belajar peserta didik, (5) guru menjadi teladan serta menjaga nama baik forum, profesi serta kedudukan sinkron dengan agama yg diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional buat terus menerus menaikkan kemampuannya, dan (7) guru adalah agen pembaharuan. 

Berdasarkan dalam uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mencari jawaban apa serta siapa guru yg baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yang luas dan melingkupi aneka macam segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru yg bagaimana yg dikehendaki. Jawabnya merupakan, bahwa guru yang baik, profesional merupakan pengajar yg bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Untuk sebagai pengajar yg baik, bukanlah sekedar beliau mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan tetapi dia wajib bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Ian wajib mempunyai kompetensi tertentu yang berkaitan dengan tugas profesionalnya. Kompetensi tadi meliputi: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, serta sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan sang UU no. 14/2005 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang pengajar adalah sekaligus sebagai pendidik. Oleh karenanya guru yg profesional wajib mempunyai bekal ilmu pengetahuan yg memadai pada hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yg meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan serta aplikasi pembelajaran, evaluasi output belajar, serta pengembangan peserta didik buat mengaktualisasikan aneka macam potensi yg dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut dibutuhkan guru akan dapat merancang serta melaksanakan segala aktivitas mengajarnya berdasarkan dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan paripurna. Proses belajar-mengajar tidak hanya ditinjau berdasarkan bertambahnya ilmu dalam diri anak saja, tetapi bagi pengajar yang tahu ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yg dilakukan pula wajib mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral serta akhlak yang mulia perlu dilekatkan pada bidang studi atau matapelajaran yang diajarkan. Dengan demikian murid bukan saja pintar pada bidang studi, tapi juga mempunyai tanggung jawab moral yang inheren dalam bidang studi yg dipelajari. Misalnya, saat mengajarkan metematika, pengajar nir hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik supaya setelah pintar matematika tidak digunakan buat hal-hal yg negatif, misalnya menipu atau manipulasi penghitngan yang dipercayakan kepadanya. Demikian jua dalam pelajaran-pelajaran lainnya, bila gurunya telah profesional serta tahu perkara pendidikan, maka diharapkan siswa akan bisa menjadi anak-anak yg pada samping pintar pada matapelajaran, jua bermoral yg baik. Masalah inilah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah kita saat ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, serta berwibawa, sebagai teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya memiliki perilaku kepribadian yang mantap, amanah, adil serta penuh dedikasi, sehingga bisa menjadi sumber teladan bagi subyek didik. Jelasnya beliau memiliki kepribadian yg patut diteladani, sebagai akibatnya bisa melaksanakan kepemimpinan yang baik pada aktivitas belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, serta Tut Wuri Handayani. Orang yang memiliki kompetensi kepribadian yg baik akan bisa tahan menghadapi berbagai gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yang mempunyai kompetensi kepribadian yang baik akan selalu bisa menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) menggunakan baik pada pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penerangan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi profesional adalah kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas dan mendalam yg memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya ia memiliki pengetahuan yg luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yg akan diajarkan beserta penunjangnya, metodologi pengajarannnya, dapat mengevaluasi serta membuatkan materi menggunakan baik. 

Secara rinci kemampuan tadi dirumuskan ke pada 10 kompetensi jabatan pengajar, yaitu mencakup : (1) menguasai bahan/bidang studi, (2) mengelola acara belajar-mengajar, (tiga) mengelola kelas, (4) menggunakan media serta sumber belajar, (lima) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola hubungan belajar-mengajar, (7) menilai prestas siswa untuk kepentingan pedagogi, (8) mengenal fungsi dan program Bimbingan Penyuluhan pada sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip serta menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud menggunakan kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik menjadi bagian berdasarkan warga buat berkomunikasi dan berteman secara efektif menggunakan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, serta rakyat kurang lebih. Memiliki kompetensi sosiaol artinya ia memperlihatkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, memiliki seni pergaulan (the social arts) yg baik, baik pergaulan dengan siswa-muridnya, juga menggunakan sesama guru serta dengan ketua sekolah, bahkan menggunakan warga luas. Di sini guru dituntut buat dapat menerapkan “multiple intellegence” secara sempurna. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara sempurna tersebut, maka guru akan dapat menggunakan mudah menyesuaikan menggunakan berbagai kondisi warga yg dilayaninya. 

Dengan memiliki kompetensi sosial yang baik tersebut, maka akan bisa mendukung terjadinya hubungan yang baik antara pengajar menggunakan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara guru menggunakan “stakeholders” nya tadi, maka keberadaan profesi pengajar akan bisa diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi pengajar akan lebih meluas. Hal inilah yg dapat menguatkan keberadaan profesi pengajar pada dalam warga .

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tadi dapat dilihat pada gambar nomor sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh guru yang profesional

Dalam upaya aplikasi profesionalisasi jabatan pengajar, menurut UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan guru merupakan pekerjaan khusus yg dilaksnakan berdasarkan pada prinsip-prinsip menjadi berikut:
a. Memiliki talenta, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. Memiliki komitmen buat menaikkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia; 
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai menggunakan bidang tugas; 
d. Mempunyai kompetensi yg dibutuhkan sinkron dengan bidang tugas; 
e. Memiliki tanggung jawab atas aplikasi tugas keprofesionalan; 
f. Memperoleh penghasilan yg ditentukan sesuai menggunakan prestasi kerja; 
g. Memiliki kesempatan buat membuatkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan belajar sepanjang hayat; 
h. Mempunyai agunan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; serta 
i. Memiliki organisasi profesi yang memiliki kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Pengajar Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya nir sanggup terlepas berdasarkan profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan menjadi ketua sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Karena merupakan guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah, maka profesi ini nir sanggup terlepas menurut profesi guru. Oleh karenanya pemegang jabatan kepala sekolah juga wajib mempunyai kompetensi yg dipersyaratkan kepada pengajar. Dengan demikian ketua sekolah pula terikat menggunakan semua peraturan yg berkaitan dengan pengajar, terutama UU No. 14/2005 ditambah dengan beberapa perangkat peraturan khusus mengenai jabatan ketua sekolah. Semua persyaratan profesi guru, termasuk kewajiban mempunyai sertifikat sebagai pengajar yang professional pula inheren pada jabatan ketua sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang ketua sekolah menjadi pejabat professional pada bidang kependidikan adalah meliputi 4 kompetensi yg diwajibkan pada guru berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang pengajar serta dosen, yaitu mencakup: (1) kompetensi pedagogig, (dua) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, dan (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi guru yang mendapatkan tugas tambahan menjadi ketua sekolah masih diharuskan menguasai 3 macam kompetensi tambahan misalnya yang diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tadi merupakan meliputi: (1) kompetensi manajerial, (2) kompetensi kewirausahaan, serta (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi menjadi guru professional) sudah dibahas pada pembahasan pengajar menjadi jabatan professional pada bidang kependidikan. Sedangkan tiga kompetensi tamahan tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan dengan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi ketua sekolah tadi adalah kompetensi yang berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, dan menilai semua substansi program aktivitas di sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 16 macam kompetensi menjadi berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah buat aneka macam tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah untuk banyak sekali kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah pada rangka mendayagunakan asal daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan serta pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya serta iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran siswa; 
  • Mengelola pengajar serta staf pada rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola wahana dan prasarana sekolah/madrasah pada rangka eksploitasi secara optimal; 
  • Mengelola hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat dalam rangka pencapaian dukungan wangsit, sumber belajar, serta pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik pada rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan serta pengembangan kapasitas siswa; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sesuai menggunakan arah dan tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sinkron dengan prinsip pengelolaan yg akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem berita sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan acara serta pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi berita bagi peningkatan pembelajaran serta manajemen sekolah/madrasah, dan 
  • Melakukan monitoring, penilaian dan pelaporan pelaksanaan acara aktivitas sekolah/madrasah dengan prosedur yg tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan pada sini merupakan kompetensi pada megusahakan dan memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yg lebih baik, mau dan sanggup bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah, memiliki motivasi buat sukses pada mengelola lembaga yang dipimpinnya, dan pantang menyerah dalam setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan ketua sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi lima macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan inovasi yg bermanfaat bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah/madrasah menjadi organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yg kuat buat sukses pada melaksanakan pokok dan kegunaannya menjadi pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik pada mengatasi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah; serta 
  • Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola aktivitas produksi/jasa sekolah/ madrasah menjadi asal belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan menjadi kompetensi pengawasan pada sini merupakan kompetensi supervise akademik pada membina serta berbagi pengajar agar bisa mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar dan dalam rangka menaikkan profesionalisme pengajar. Dengan demikian kineja pengajar dalam pembelajaran dibutuhkan akan selalu meningkat. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tersebut dibutuhkan akan bisa dicapai kemajuan pendidikan di sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi supervisi kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci sebagai tiga macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan acara supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme pengajar; 
  • melaksanakan pengawasan akademik terhadap pengajar dengan memakai pendekatan dan teknik supervise yang sempurna; serta 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap guru pada rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tadi diharapkan kepala sekolah/madrasah akan bisa sukses dalam menjalankan tugas dan manfaatnya sebagai ketua sekolah, yaitu sebagai pengelola serta Pembina serta pengembang semua aktivitas pendidikan pada sekolah. Dalam pelaksanaan di lapangan, nir semua kepala sekolah mampu menguasai 7 macam kompetensi tersebut secara baik. Untuk itulah diperlukan penilaian, pelatihan serta pengembangan menurut pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga wajib menguasai kompetensi tersebut secara baik agar dapat melakukan tugas serta manfaatnya secara baik. 

C. Hak serta Kewajiban Profesional Guru
Apabila pengajar sudah mempunyai keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka dia akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada warga pemakainya (murid, rakyat, dan stakeholders lainnya). Pelayanan yang diperlukan berdasarkan seseorang energi profesional adalah pelayanan yg mengutamakan nilai-nilai humanisme berdasarkan dalam benda-benda material. Apabila seorang pengajar telah memiliki kompetensi tadi di atas, maka dari Winarno Surachmat (1973) guru tadi sudah mempunyai hak profesional karena ia sudah menggunakan konkret :
1) Mendapat pengakuan dan perlakuan aturan terhadap batas kewenangan keguruan yg sebagai tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan buat mengambil langkah-langkah hubungan edukatif dalam batas tanggung jawabnya serta ikut dan pada proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis dan dukungan pengelolaan yang efektif serta efisien pada rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan serta penghargaan yang wajar terhadap usaha-bisnis serta prestasi yg inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan berbagi kompetensi profesionalnya secara individual, juga secara institusional.

Hak-hak profesional seseorang pengajar yg dimaksudkan oleh Winarno Surachmat pada atas, sampai waktu ini memang belum bisa diaktualisasikan. Gagasan buat memberikan hak-hak tersebut memang sudah terdapat. Bahkan dalam Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 mengenai Pengajar serta Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pengajar memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi sebagai berikut:
a. Memperoleh penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum dan agunan kesejahteraan sosial. Penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum tadi meliputi: 
(1) gaji pokok. Guru yang diangkat sang satuan pendidikan yang diselenggarakan sang Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sinkron menggunakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan sang warga diberi honor dari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(dua) tunjangan yang melekat pada honor , 
(3) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar;
(4) tunjangan fungsional, 
(lima) tunjangan khusus. Tunjangan ini diberikan kepada pengajar yang bertugas di daerah spesifik. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar; dan 
(6) maslahat tambahan yang terkait menggunakan tugasnya menjadi guru yang ditetapkan menggunakan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini dari pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, premi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan buat memperoleh pendidikan bagi putra dan putri pengajar, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. Mendapatkan kenaikan pangkat dan penghargaan sinkron dengan tugas dan prestasi kerja;
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. Memperoleh kesempatan buat menaikkan kompetensi;
e. Memperoleh serta memanfaatkan wahana serta prasarana pembelajaran buat menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan evaluasi dan ikut memilih kelulusan, penghargaan, serta/atau hukuman kepada peserta didik sinkron dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, serta peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh rasa kondusif serta agunan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. Mempunyai kebebasan buat berserikat dalam organisasi profesi;
i. Memiliki kesempatan buat berperan pada penentuan kebijakan pendidikan;
j. Memperoleh kesempatan buat berbagi dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pembinaan serta pengembangan profesi pada bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa pengajar tadi, pada UU No. 14/2005 guru juga diikat dengan aneka macam kewajiban profesional. Kewajban tadi dituangkan dalam Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tadi meliputi menjadi berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, dan menilai dan mengevaluasi output pembelajaran; 
b. Meningkatkan serta berbagi kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni;
c. Bertindak objektif dan nir diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, kepercayaan , suku, ras, dan kondisi fisik eksklusif, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik pengajar, serta nilai-nilai agama serta etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dilihat hak dan kewajiban pengajar sebagaimana diuraikan tersebut, maka jabatan pengajar sebenarnya merupakan jabatan yang sangat prospektif, relatif menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yang terdapat tadi masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya, karena buat merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling tidak UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 butir Peraturan pemerintah (PP) untuk dapat diarealisaikan. Kita belum bisa mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yang diperlukan buat merealisasikan UU No. 14 tersebut dapat diwujudkan. Hingga waktu ini satu PP pun yang diperlukan buat itu belum diterbitkan. Rasa psimispun ada, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yang diharapkan menjadi perangkat aplikasi UU No. 20/2003 yg lebih dulu saja hingga ketika ini baru diterbitkan satu PP. Kemudian kapan giliran penerbitan PP yang berkaitan menggunakan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini nir memberikan asa yang hampa bagi pengajar.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seseorang pengajar telah dirumuskan seperti diuraikan di atas, namun pada fenomena, kondisi-syarat pengajar pada Indoinesia saat ini masih jauh tidak sinkron menggunakan harapan tersebut. Hak-hak profesional pengajar ketika ini masih rendah. Dengan perkataan lain syarat obyektif guru saat ini masih belum layak diklaim sebagai jabatan profesional, karena ditinjau menurut penghasilannya, homogen-rata guru masih menerima penghasilan yang rendah, belum memenuhi standart hayati layak menjadi suatu profesi. Apa lagi bila penghasilan tadi masih harus dipotong untuk biaya pengembangan profesi, contohnya membeli buku-kitab , mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi menggunakan porto berdikari, tentu penghasilan tadi akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi apabila dicermati menurut kebebasan penemuan dan kreativitas guru. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang aplikasi aktivitas belajar-mengajar di sekolah dapat Mengganggu kreativitas serta sifat inovatif guru, karena pengajar secara kaku harus mengikuti peraturan serta ketentuan yang sudah terdapat. 

Berdasarkan uraian di atas bisa dikemukakan, bahwa keberadaan profesi guru pada Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru dalam tingkat embriyonal. Artinya profesi pengajar pada Indonesia ketika ini masih baru dalam tingkat pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan berdasarkan rutinitas ke profesional. Walaupun demikian tanda-tanda ke arah profesional sudah nampak secara nyata, seperti upaya-upaya yg telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya mempertinggi taraf pendidikan para pengajar yang telah berdinas, semula buat guru SD minmal D2, untuk SLTP minimal D3. Dan buat SMU/Sekolah Menengah Kejuruan wajib S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, semua pengajar mulai dari Taman Kanak-kanak hingga SLTA wajib memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sesuai menggunakan bidang studi yang diajar. Semua itu dimaksudkan supaya para pengajar selalu dapat mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan menggunakan bidang profesinya, sehingga selalu dapat menaruh pelayanan sesuai dengan kebutuhan warga yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan guru menurut pegawai biasa sebagai fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem promosi menurut regule ke kenaikan pangkat pilihan serta keharusan untuk mengumpulkan angka kredit eksklusif buat menduduki jenjang jabatan guru tertentu dari SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan guru tadi kemudian diperkuat menggunakan UU 20/2003, PP. No 19/2005 dan lalu UU No. 14/2005 tentang pengajar dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat mini . Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yg besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional pengajar diberikan menurut jenjang sekolah yang diajar, kemudian anugerah tunjangan tersebut berdasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan pada mana ia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru menjadi jabatan profesional, meski belum optimal. Akan tetapi menggunakan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan pengajar menjadi jabatan profesional akan lebih akbar lagi.

Upaya-upaya itulah yang kita anggap sebagai indikator positif buat menuju profesionalisasi jabatan pengajar secara penuh pada Indonesia. Tentu saja masih banyak faktor penentu jabatan profesional yg wajib dipenuhi untuk menunju dalam era jabatan profesinal pengajar secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun ketika ini sudah ada Undang-undang tentang Pengajar dan dosen, yaitu UU No. 14/2005, tetapi eksistensi profesi pengajar di Indonesia sampai saat ini masih berada pada taraf embriyonal, andaipun demikian pertanda-tanda ke arah profesional yg sebenarnya sudah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan ketika yg panjang, karena keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki oleh pemerintah, terutama berdasarkan segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tadi membutuhkan biaya yang cukup mahal. 

Dari banyak sekali kajian dapat dikemukakan, bahwa eksistensi profesi pengajar, pada arti kuat-tidanya posisinya ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tadi anta lain merupakan sebagai beriku: (1) akuntabilitas homogen-rata LPTK rendah, (2) pendidikan dalam jabatan (inservice pelatihan) kurang baik, (tiga) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (5) penghargaan terhadap jabatan pengajar selama ini kurang baik, dan (lima) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tadi dibahas lebih rinci pada bagian ini dia.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas acara LPTK menjadi pembuat energi kependidikan sampai saat ini homogen-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dipandang dari acara/kurikulum, energi guru, wahana serta prasarana pendidikan, pembiayaan dan input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yg demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yg didapatkan. Lantaran mutu lulusa yang dihasilkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut dari hal ini merupakan adanya penghargaan yang rendah dalam para lulusan. Kondisi yg demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yang kurang ketat terhadap eksistensi LPTK-LPTK yg kurang memenuhi persyaratan serta penyelenggrraraan pendidikannya yg carut-marut pada beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin menaruh image, bahwa penyelenggara pendidikan pengajar kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian akbar LPTK relatif rendah. LPTK kurang akomodatif pada penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun serta membuatkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sebagai akibatnya tidak dapat mengakomodasikan kebutuhan riil profesi pada lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan kelompok-grup profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya bisa relevan dengan kebutuhan riil di lapangan.

Demikian jua mengenai energi pengajar LPTK. Umumnya tenaga pengajar pada LPTK, terutama dalam beberapa LPTK partikelir kurang memenuhi persyaratan professional juga akademis eksklusif. Banyak dosen LPTK yang asal-asalan, baik dari segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yg diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, juga menurut segi jenjang pendidikan yg kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para energi dosen tersebut kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yg dihasilkan. Bahkan dampak yg lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap seluruh lulusan LPTK, sebab para lulusan tadi sulit didentifikasi beral menurut LPTK mana.

Manajemen serta faktor kepemimpinan forum jua turut sebagai galat satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj sembarangan, baik yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, sarana serta prasarana, kemahasiswaan, juga substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan dengan baik. Dari sisi manajemen akademik contohnya, banyak LPTK yg menyelenggarakan perkuliahan sembarangan dan kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yang menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan pada loka yg kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian jua perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan terdapat yg sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan menghasilkan lulusan yg kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen serta sarana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya apabila lulusan LPTK tadi diangkat sebagai guru, maka hal tersebut akan bisa memperpuruk citra pengajar menjadi energi profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan kasus pada aplikasi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), training guru-pengajar yg nir lulus tunjangan profesi profesi pengajar melalui jalur portofolio pada rayon 16 (Universitas Jember) yg menerangkan, bahwa guru nir memenuhi kreteria profesional, khususnya pada penguasaan bidang studi yang wajib diajarkan. Banyak pengajar yang mengikuti tunjangan profesi pada bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi saat praktik mengajar (peer teaching), mereka tidak sanggup dan bahkan tidak berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak galat konsep dalam melakukan pembelajaran. Demikian jua dalam kasus guru matematika, banyak pengajar peserta PLPG tersebut ternyata pula menciptakan kesalahan konsep yg sangat mendasar dalam melaksanakan pembelajaran pada peer teaching, dalam hal mereka sudah sebagai guru cukup usang. Inilah diantaranya merupakan galat satu pengaruh menurut proses pendidikan calon guru yang dilaksanakan dengan kurang baik dan asal-asalan. Semua itu jika tidak segera diatasi akan bisa semakin memperpuruk citra profesi guru.

Di samping itu, faktor kelengkapan wahana serta prasarana pendidikan serta rendahnya pembiayaan pendidikan juga merupakan keliru satu hambatan dalam meningktkan kualitas proses dan output pembelajaran pada sebagian besar LPTK. Sebagian akbar LPTK mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan yang relatif memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun nir dimiliki, seperti laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, serta peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, misalnya tidak dapat mempraktikkan pada laboratorium sebagai akibatnya tingkat akurasinya kurang. Demikian pula pada belajar fisika pula tidak dapat dilakukan menggunakan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan dengan ceramah serta diskusi, sebagai akibatnya hingga terlontar sindiran, apakah ini sedang belajar fisika ataukah “sastra fisika”? Sindiran itu timbul karena pembelajaran fisika yang seharusnya banyak dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian pula menurut segi biaya pendidikan, umumnya LPTK merupakan perguruan tinggi yg miskin, sebagai akibatnya pembiayaan proses pembelajaran yg berlangsung pula sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yang cukup mahal, baik buat kesejahteraan dosennya, juga buat biaya -porto operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak dari hal itu akan mengakibatkan kurang berkualitasnya lulusan yg dihasilkan LPTK, serta efek lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK yang terdapat.

Rendahnya input LPTK jua menjadi galat satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh dalam masukan atau input LPTK tersebut. Sebagai suatu misal, lantaran eksistensi jabatan guru masih belum menarik, maka hal itu dapat berdampak dalam perolehan input yg kurang berkualitas juga. Para siswa SLTA yang potensial umumnya tidak tertarik buat memasuki lembaga pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung buat menentukan profesi-profesi yg keren serta bergengsi, seperti dokter, teknologi, farmasi, personal komputer serta lain sebagainya lantaran profesi tadi lebih menjanjikan nasib mereka pada masa yg akan tiba. Dengan nir bisa direkrutnya input yg berkualitas, maka hal itu akan berdampak pada kurang berkualitasnya lulusan LPTK, dan impak lebih lanjut hal itu adalah bisa mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice pelatihan) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena sasaran, sehingga dapat menghipnotis mutu guru. Penataran ternyata nir dapat menaikkan profesional-itas guru. Penataran hanya bisa menambah pengetahuan pengajar serta belum ada bukti bisa mengganti prilaku dan perilaku profesionalisme guru. Bahka output penelitian menerangkan, bahwa para pengajar yang ditatar dan yg tidak ditatar menerangkan konduite yang sama dalam hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak aktivitas penataran yg dilakukan dengan sia-sia, sebab tidak diawali menggunakan identifikasi kebutuhan riil pada lapangan. Penataran umumnya dilakukan dengan pendekatan “top-down”, sehingga materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil pada lapangan. Dampaknya pengajar yg ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, pertarungan lain dari lemahnya penyelenggaraan penataran tadi adalah berkaitan menggunakan energi penatar atau pembinaan. Kebanyakan tenaga penatar atau instruktur yang ditugasi buat melatih kurang menguasai materi menggunakan baik. Demikian juga jika dicermati berdasarkan proses penyelenggraan penataran juga kurang tepat. Selama ini penataran pengajar seringkali nir berdasarkan atas kebutuhan riil para pengajar. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas impian pengambil kebijakan, dan bukan didasarkan atas kebutuhan pengajar di lapangan, sebagai akibatnya output penataran pula kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan output pemetaan kebutuhan pengajar di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan pengajar. Pemetaan kebutuhan guru pula dapat dilakukan berdasarkan output ujian nasional (UNAS/UN). Dari hasil UN tadi bisa dipetakan kebutuhan guru pada lapangan. Apabila hasil UN di daerah tertentu menerangkan, bahwa sebagian akbar siswa pada daerah tertentu nilai matematikanya jelek, maka pengajar matematika memerlukan penataran matematika, apabila bahasa Inggris rata-homogen buruk, maka pengajar bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, serta sebagainya. Dengan demikian acara penataran guru akan menjadi lebih fungsional serta mengena dalam sasaran yang dibutuhkan. 

3. Organisasi Profesi Pengajar Lemah
Keberadaan organisasi profesi guru yg terdapat sampai waktu ini masih rendah. Organisasi tersebut masih acapkali terpancing pada aktivitas-kegiatan non-profesional, seperti politk dan kepentingan tertentu yang nir terdapat kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi menjadi alat buat pengembangan serta perjuangan gerombolan profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi pengajar. Organisasi profesi pengajar hasus diorientasikan pada pengembangan profesionalitas pengajar menggunakan cara acapkali melakukan identifikasi kebutuhan serta pertarungan profesional, serta menindaklanjuti dengan pelatihan kepada anggotanya. Organisasi ini jua wajib bisa mengendalikan keanggotaannya secara ketat, adalah hanya mereka yg memenuhi persyaratan sebagai guru saja yang bisa diterima menjadi anggota serta berpraktik menjadi pengajar, meskipun mengajar pada swasta. Organisasi ini jua wajib memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini juga harus berperan dalam memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yg akan berpraktik sebagai pengajar. Apabila organisasi ini belum memberikan rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah nir boleh memberikan ijin atau mengangkatnya menjadi guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi wajib dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini juga harus dapat menciptakan solidaritas profesi yang tinggi pada antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi harus ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yang tinggi. Solidaritas yg tinggi ini terutama diperlukan untukm peningkatan profesionalitas serta kesejahteraan para anggotanya. Apabila hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini pula akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik sang warga , pemerintah, juga grup profesi lainnya. Dengan demikian, maka eksistensi profesi guru pada masa akan datang akan bisa terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik menjadi landasan moral serta rambu-rambu tingkah laris bagi setiap anggota sangat menghipnotis bertenaga-tidaknya suatu profesi. Hingga ketika ini kode etik profesi pengajar kurang bisa berfungsi menggunakan baik. Kode etik tersebut kurang ”membumi” dan terkesan menjadi pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tadi kurang mewarnai konduite pengajar dalam menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, di negeri kita ini yang merasa terikat menggunakan aneka macam peraturan hanyalah pengajar negeri, sedangkan pengajar swasta tidak merasa terikat. Selama ini guru partikelir merasa terbebas menurut segala peraturan yg dimuntahkan oleh pemerintah, lantaran mereka nir dibayar oleh pemerintah. Pada hal jumlah pengajar swasta relatif banyak, dan bahkan kemungkinan bisa lebih banyak dari pada pengajar negeri. Demikian juga, bila terjadi masalah pelanggaran pada salah satu guru, meskipun itu guru swasta dampaknya relatif luas bagi profesi guru secara holistik. Hal inilah yang perlu segera aicarikan solusinya. Kode etik pengajar harus dikembangkan serta disosialisasikan secara terus menerus, baik dalam guru negeri juga swasta, dan bahkan kepada calon pengajar. Jika perlu kode etik guru wajib masuk pada kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yg inheren dalam kode etik guru tadi telah bisa dihafal serta dijiwai oleh para calon pengajar semenjak pada proses pendidikan guru. Jika ini bisa dicapai, maka di masa mendatang tidak akan ada guru yg masih asing lagi terhadap kode etik jabatan pengajar. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Pengajar Kurang Baik
Nilai suatu jabatan galat satu di antaranya adalah dipengaruhi sang tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Apabila jabatan tersebut mendapat penghargaan yg tinggi (terutama penghargaan finansial atau honor tinggi), maka jabatan tadi bisa dianggap bernilai tinggi sebagai akibatnya dihargai dan diminati poly orang. Sebaliknya bila menurut jabatan tersebut tidak dapat memberikan penghasilan yg tinggi, maka jabatan tadi dipercaya kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai serta kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang menerima penghargaan yang layak. Gaji serta penghasilan guru selama ini sangat rendah. Penghasilan yang diperoleh menurut jabatan pengajar selama ini kurang dapat mengklaim kelayakan hidup famili, apa lagi buat pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan famili. Bahkan poly pada antara para pengajar terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain pada luar profesinya, misalnya sebagai ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan serta jasa lainnya. Semua itu jelas bisa menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tadi nir segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan guru nir akan memperoleh penghargaan yang baik. Dampak lebih jauh merupakan kurang tertariknya generasi muda buat menjadi guru. Jika hal itu terjadi, maka upaa buat menerima pengajar-guru yang baik akan sulit diwujudkan, karena dengan kurang menariknya jabatan guru tadi, maka generasi muda yg baik dan potensial akan enggan menadi pengajar, beliau akan memilih profesi lain yg lebih menarik.

Untuk menaikkan keberadaa profesi guru tadi kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak pengajar yg tercantum pada UU No. 14 tahun 2005. Jika hal itu te;lah dilaksanakan, maka pada masa yang akan datang, profesi pengajar akan menjadi profesi yang relatif bergengsi. Dengan demikian profesi pengajar akan sebagai profesi yang diminati, termasuk generasi belia yang baik dan potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi guru kurang mendapatkan perlindungan secara hukum. Ringannya persyaratan sebagai guru, terutama di forum swasta bisa menurunkan keberadaan profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yg demikian ini membuat eksistensi profesi pengajar menjadi lemah. Untuk mempertinggi eksistensi profesi pengajar tersebut perlu adanya persyaratan yang ketat buat menjadi guru, baik pada sekolah-sekolah negeri, maupun partikelir. Siapa saja yang melakukan tugas menjadi pengajar harus memiliki sertifikat kelayakan sebagai guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan serta UU No. 14/2005 tentang Pengajar serta Dosen, ditegaskan bahwa pengajar mulai TK hingga SLTA harus memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya wajib diterapkan secara ketat. Demikian pula pengawasan serta sangsi terhadap pelanggarannya jua wajib dilakukan secara ketat juga. Seharusnya, siapa saja yg berpraktik menjadi pengajar tanpa mempunyai sertifikat kelayakan sebagai pengajar yang absah dan siapa saja yang memakai/memperkerjakan seorang sebagai guru tanpa disertai sertifikat menjadi pengajar yg sah dinyatakan bersalah serta bisa ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu dibutuhkan keberadaan profesi guru akan terlindungi.