MANAJEMEN PROFESI KEPENDIDIKAN

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya telah ditegaskan, bahwa tenaga kependidikan merupakan mencakup baik pengajar, juga non pengajar. Secara rinci yg termasuk tenaga kependidikan pada sekolah adalah mencakup: pengajar, ketua sekolah, energi bimbingan, dan tenaga administrasi atau tata-bisnis. Namun dalam kitab ini pembahasan mengenai tenaga kependidikan tersebut lebih ditekankan pada pengkajian jabatan pengajar menjadi suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yg dimaksud dengan energi kependidikan adalah guru. Tenaga kependidikan lainnya, seperti ketua sekolah (administrator pendidikan) serta energi pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa guru yang paling banyak disoroti dalam buku ini adalah, pertama, karena pengajar merupakan tenaga utama pada suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak primer di sektor pendidikan serta paling lebih banyak didominasi peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, pada samping menjadi penggerak utama pada sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling poly di bandingkan dengan menggunakan energi kependidikan yg lainnya. 

Sebagai tenaga penggerak utama dalam bidang pendidikan menggunakan jumlah paling akbar, yg diharapkan bisa memajukan global pendidikan, guru mempunyai tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka tak jarang menerima perlakuan yg kurang adil. Banyak pengajar yg terpaksa ditempatkan dalam loka (tempat kerja) yang berdeak-friksi serta bekerja menggunakan peralatan yang pas-pasan. Mereka pula memperoleh penghasilan yang pas-pasan jua, pada hal menurut sini mereka dibutuhkan dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi menggunakan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti kegiatan ko-kurikuler yang menyita poly saat pengajar, tetapi tanpa imbalan yg memadai. 

Tugas-tugas pengajar tersebut akan semakin terasa lebih berat serta kompleks apabila dihadapkan menggunakan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi menggunakan dukunan fasilitas yang minim dan dengan iklim kerja yang belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan yg dialami masyarakat, maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yg semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana pada sektor pendidikan pada biasanya serta pengajar pada khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa tuntutan baru bagi masyarakat; sedangkan rakyat sendiri telah terbiasa berakibat sekolah sebagai pintu gerbang dalam mengejar perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tadi. Oleh karena itu wajarlah jika tuntutan terhadap sekolah serta peranan pengajar jua semakin tinggi. Atau dengan perkataan lain, rakyat semakin membutuhkan sekolah yang baik menggunakan pengajar-gurunya yg baik atau yg profesional. Masalahnya sekarang merupakan bagaimanakah pengajar yg baik atau profesional itu ? Sebab selama ini menggunakan ketiadaan kreteria yg jelas mengenai pengajar yg baik/profesional tadi dapat menyebabkan beragam penafsiran tentang hal tersebut. Untuk memperjelas hal tersebut berikut adalah akan diuraikan engenai guru yg profesional tersebut.

A. Hakekat Guru Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan pada atas, bahwa pengertian guru yg baik atau yang profesional bisa mengakibatkan poly penafsiran. Di antara penafsiran tersebut antara lain ada yang menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yg lebih ketat, terdapat yg menghendaki supervisi yang lebih efektif serta efisien, ada yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yg tinggi, serta ada pula yg mengutamakan perlunya kelengkapan sarana serta prasarana yang lebih memungkinan para pengajar menerapkan pengetahuan serta keterampilan yang mereka sudah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi serta kondisi eksklusif, semua hal di atas mungkin sama-sama diharapkan. Lepas dari fenomena, bahwa kasus disiplin kerja bukan sekedar kasus ketaatan akan peraturan yang secara ketat, namun mempunyai arti yang jauh lebih luas serta dalam dari itu. Dengan disiplin yang ketat cenderung buat mengakibatkan insan itu bertingkah laku secara rutin dan berrsifat mekanis, pada hal pekerjaan mengajar dan pendidikan lainnya yang wajib dilakukan pengajar serta tenaga kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, bergerak maju serta inovatif. Demikian juga menggunakan pengadaan aneka macam bantuan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yang harmonis, menyenangkan dan nyaman, misalnya pengadaan peralatan laboratorium, bahan-bahan pedagogi serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya bisa jua dikemukakan, bahwa dengan gedung yang mewah dan penuh peralatan pendidikan yg sophisticated, tetapi dihuni oleh guru-pengajar tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, pengabdian dan kompetensi profesional, belumlah merupakan agunan buat berhasilnya pendidikan, serta bahkan mungkin sekali akan berakhir menggunakan frustrasi dan kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat guru menjadi suatu profesi memiliki beberapa kiprah yang inheren pada profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) sebagai berikut: (1) guru merupakan pendidik, (dua) guru berperan sebagai pemimpin serta pendukung nilai-nilai yg dianut oleh masyarakat, (tiga) pengajar berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi siswa, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya output belajar peserta didik, (5) guru menjadi teladan serta menjaga nama baik forum, profesi serta kedudukan sinkron dengan agama yg diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional buat terus menerus menaikkan kemampuannya, dan (7) guru adalah agen pembaharuan. 

Berdasarkan dalam uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mencari jawaban apa serta siapa guru yg baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yang luas dan melingkupi aneka macam segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru yg bagaimana yg dikehendaki. Jawabnya merupakan, bahwa guru yang baik, profesional merupakan pengajar yg bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Untuk sebagai pengajar yg baik, bukanlah sekedar beliau mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan tetapi dia wajib bisa menampilkan diri secara utuh menjadi pendidik. Ian wajib mempunyai kompetensi tertentu yang berkaitan dengan tugas profesionalnya. Kompetensi tadi meliputi: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, serta sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan sang UU no. 14/2005 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang pengajar adalah sekaligus sebagai pendidik. Oleh karenanya guru yg profesional wajib mempunyai bekal ilmu pengetahuan yg memadai pada hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yg meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan serta aplikasi pembelajaran, evaluasi output belajar, serta pengembangan peserta didik buat mengaktualisasikan aneka macam potensi yg dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut dibutuhkan guru akan dapat merancang serta melaksanakan segala aktivitas mengajarnya berdasarkan dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan paripurna. Proses belajar-mengajar tidak hanya ditinjau berdasarkan bertambahnya ilmu dalam diri anak saja, tetapi bagi pengajar yang tahu ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yg dilakukan pula wajib mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral serta akhlak yang mulia perlu dilekatkan pada bidang studi atau matapelajaran yang diajarkan. Dengan demikian murid bukan saja pintar pada bidang studi, tapi juga mempunyai tanggung jawab moral yang inheren dalam bidang studi yg dipelajari. Misalnya, saat mengajarkan metematika, pengajar nir hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik supaya setelah pintar matematika tidak digunakan buat hal-hal yg negatif, misalnya menipu atau manipulasi penghitngan yang dipercayakan kepadanya. Demikian jua dalam pelajaran-pelajaran lainnya, bila gurunya telah profesional serta tahu perkara pendidikan, maka diharapkan siswa akan bisa menjadi anak-anak yg pada samping pintar pada matapelajaran, jua bermoral yg baik. Masalah inilah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah kita saat ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, serta berwibawa, sebagai teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya memiliki perilaku kepribadian yang mantap, amanah, adil serta penuh dedikasi, sehingga bisa menjadi sumber teladan bagi subyek didik. Jelasnya beliau memiliki kepribadian yg patut diteladani, sebagai akibatnya bisa melaksanakan kepemimpinan yang baik pada aktivitas belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, serta Tut Wuri Handayani. Orang yang memiliki kompetensi kepribadian yg baik akan bisa tahan menghadapi berbagai gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yang mempunyai kompetensi kepribadian yang baik akan selalu bisa menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) menggunakan baik pada pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penerangan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud menggunakan kompetensi profesional adalah kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas dan mendalam yg memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya ia memiliki pengetahuan yg luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yg akan diajarkan beserta penunjangnya, metodologi pengajarannnya, dapat mengevaluasi serta membuatkan materi menggunakan baik. 

Secara rinci kemampuan tadi dirumuskan ke pada 10 kompetensi jabatan pengajar, yaitu mencakup : (1) menguasai bahan/bidang studi, (2) mengelola acara belajar-mengajar, (tiga) mengelola kelas, (4) menggunakan media serta sumber belajar, (lima) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola hubungan belajar-mengajar, (7) menilai prestas siswa untuk kepentingan pedagogi, (8) mengenal fungsi dan program Bimbingan Penyuluhan pada sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip serta menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud menggunakan kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik menjadi bagian berdasarkan warga buat berkomunikasi dan berteman secara efektif menggunakan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, serta rakyat kurang lebih. Memiliki kompetensi sosiaol artinya ia memperlihatkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, memiliki seni pergaulan (the social arts) yg baik, baik pergaulan dengan siswa-muridnya, juga menggunakan sesama guru serta dengan ketua sekolah, bahkan menggunakan warga luas. Di sini guru dituntut buat dapat menerapkan “multiple intellegence” secara sempurna. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara sempurna tersebut, maka guru akan dapat menggunakan mudah menyesuaikan menggunakan berbagai kondisi warga yg dilayaninya. 

Dengan memiliki kompetensi sosial yang baik tersebut, maka akan bisa mendukung terjadinya hubungan yang baik antara pengajar menggunakan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara guru menggunakan “stakeholders” nya tadi, maka keberadaan profesi pengajar akan bisa diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi pengajar akan lebih meluas. Hal inilah yg dapat menguatkan keberadaan profesi pengajar pada dalam warga .

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tadi dapat dilihat pada gambar nomor sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh guru yang profesional

Dalam upaya aplikasi profesionalisasi jabatan pengajar, menurut UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan guru merupakan pekerjaan khusus yg dilaksnakan berdasarkan pada prinsip-prinsip menjadi berikut:
a. Memiliki talenta, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. Memiliki komitmen buat menaikkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia; 
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai menggunakan bidang tugas; 
d. Mempunyai kompetensi yg dibutuhkan sinkron dengan bidang tugas; 
e. Memiliki tanggung jawab atas aplikasi tugas keprofesionalan; 
f. Memperoleh penghasilan yg ditentukan sesuai menggunakan prestasi kerja; 
g. Memiliki kesempatan buat membuatkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan belajar sepanjang hayat; 
h. Mempunyai agunan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; serta 
i. Memiliki organisasi profesi yang memiliki kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Pengajar Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya nir sanggup terlepas berdasarkan profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan menjadi ketua sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Karena merupakan guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah, maka profesi ini nir sanggup terlepas menurut profesi guru. Oleh karenanya pemegang jabatan kepala sekolah juga wajib mempunyai kompetensi yg dipersyaratkan kepada pengajar. Dengan demikian ketua sekolah pula terikat menggunakan semua peraturan yg berkaitan dengan pengajar, terutama UU No. 14/2005 ditambah dengan beberapa perangkat peraturan khusus mengenai jabatan ketua sekolah. Semua persyaratan profesi guru, termasuk kewajiban mempunyai sertifikat sebagai pengajar yang professional pula inheren pada jabatan ketua sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang ketua sekolah menjadi pejabat professional pada bidang kependidikan adalah meliputi 4 kompetensi yg diwajibkan pada guru berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang pengajar serta dosen, yaitu mencakup: (1) kompetensi pedagogig, (dua) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, dan (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi guru yang mendapatkan tugas tambahan menjadi ketua sekolah masih diharuskan menguasai 3 macam kompetensi tambahan misalnya yang diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tadi merupakan meliputi: (1) kompetensi manajerial, (2) kompetensi kewirausahaan, serta (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi menjadi guru professional) sudah dibahas pada pembahasan pengajar menjadi jabatan professional pada bidang kependidikan. Sedangkan tiga kompetensi tamahan tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan dengan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi ketua sekolah tadi adalah kompetensi yang berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, dan menilai semua substansi program aktivitas di sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 16 macam kompetensi menjadi berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah buat aneka macam tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah untuk banyak sekali kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah pada rangka mendayagunakan asal daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan serta pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya serta iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran siswa; 
  • Mengelola pengajar serta staf pada rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola wahana dan prasarana sekolah/madrasah pada rangka eksploitasi secara optimal; 
  • Mengelola hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat dalam rangka pencapaian dukungan wangsit, sumber belajar, serta pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik pada rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan serta pengembangan kapasitas siswa; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sesuai menggunakan arah dan tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sinkron dengan prinsip pengelolaan yg akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem berita sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan acara serta pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi berita bagi peningkatan pembelajaran serta manajemen sekolah/madrasah, dan 
  • Melakukan monitoring, penilaian dan pelaporan pelaksanaan acara aktivitas sekolah/madrasah dengan prosedur yg tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan pada sini merupakan kompetensi pada megusahakan dan memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yg lebih baik, mau dan sanggup bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah, memiliki motivasi buat sukses pada mengelola lembaga yang dipimpinnya, dan pantang menyerah dalam setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan ketua sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi lima macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan inovasi yg bermanfaat bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah/madrasah menjadi organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yg kuat buat sukses pada melaksanakan pokok dan kegunaannya menjadi pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik pada mengatasi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah; serta 
  • Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola aktivitas produksi/jasa sekolah/ madrasah menjadi asal belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan menjadi kompetensi pengawasan pada sini merupakan kompetensi supervise akademik pada membina serta berbagi pengajar agar bisa mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar dan dalam rangka menaikkan profesionalisme pengajar. Dengan demikian kineja pengajar dalam pembelajaran dibutuhkan akan selalu meningkat. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tersebut dibutuhkan akan bisa dicapai kemajuan pendidikan di sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi supervisi kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci sebagai tiga macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan acara supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme pengajar; 
  • melaksanakan pengawasan akademik terhadap pengajar dengan memakai pendekatan dan teknik supervise yang sempurna; serta 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap guru pada rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tadi diharapkan kepala sekolah/madrasah akan bisa sukses dalam menjalankan tugas dan manfaatnya sebagai ketua sekolah, yaitu sebagai pengelola serta Pembina serta pengembang semua aktivitas pendidikan pada sekolah. Dalam pelaksanaan di lapangan, nir semua kepala sekolah mampu menguasai 7 macam kompetensi tersebut secara baik. Untuk itulah diperlukan penilaian, pelatihan serta pengembangan menurut pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga wajib menguasai kompetensi tersebut secara baik agar dapat melakukan tugas serta manfaatnya secara baik. 

C. Hak serta Kewajiban Profesional Guru
Apabila pengajar sudah mempunyai keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka dia akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada warga pemakainya (murid, rakyat, dan stakeholders lainnya). Pelayanan yang diperlukan berdasarkan seseorang energi profesional adalah pelayanan yg mengutamakan nilai-nilai humanisme berdasarkan dalam benda-benda material. Apabila seorang pengajar telah memiliki kompetensi tadi di atas, maka dari Winarno Surachmat (1973) guru tadi sudah mempunyai hak profesional karena ia sudah menggunakan konkret :
1) Mendapat pengakuan dan perlakuan aturan terhadap batas kewenangan keguruan yg sebagai tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan buat mengambil langkah-langkah hubungan edukatif dalam batas tanggung jawabnya serta ikut dan pada proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis dan dukungan pengelolaan yang efektif serta efisien pada rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan serta penghargaan yang wajar terhadap usaha-bisnis serta prestasi yg inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan berbagi kompetensi profesionalnya secara individual, juga secara institusional.

Hak-hak profesional seseorang pengajar yg dimaksudkan oleh Winarno Surachmat pada atas, sampai waktu ini memang belum bisa diaktualisasikan. Gagasan buat memberikan hak-hak tersebut memang sudah terdapat. Bahkan dalam Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 mengenai Pengajar serta Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pengajar memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi sebagai berikut:
a. Memperoleh penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum dan agunan kesejahteraan sosial. Penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum tadi meliputi: 
(1) gaji pokok. Guru yang diangkat sang satuan pendidikan yang diselenggarakan sang Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sinkron menggunakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan sang warga diberi honor dari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(dua) tunjangan yang melekat pada honor , 
(3) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar;
(4) tunjangan fungsional, 
(lima) tunjangan khusus. Tunjangan ini diberikan kepada pengajar yang bertugas di daerah spesifik. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok pengajar; dan 
(6) maslahat tambahan yang terkait menggunakan tugasnya menjadi guru yang ditetapkan menggunakan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini dari pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, premi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan buat memperoleh pendidikan bagi putra dan putri pengajar, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. Mendapatkan kenaikan pangkat dan penghargaan sinkron dengan tugas dan prestasi kerja;
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. Memperoleh kesempatan buat menaikkan kompetensi;
e. Memperoleh serta memanfaatkan wahana serta prasarana pembelajaran buat menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan evaluasi dan ikut memilih kelulusan, penghargaan, serta/atau hukuman kepada peserta didik sinkron dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, serta peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh rasa kondusif serta agunan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. Mempunyai kebebasan buat berserikat dalam organisasi profesi;
i. Memiliki kesempatan buat berperan pada penentuan kebijakan pendidikan;
j. Memperoleh kesempatan buat berbagi dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pembinaan serta pengembangan profesi pada bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa pengajar tadi, pada UU No. 14/2005 guru juga diikat dengan aneka macam kewajiban profesional. Kewajban tadi dituangkan dalam Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tadi meliputi menjadi berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, dan menilai dan mengevaluasi output pembelajaran; 
b. Meningkatkan serta berbagi kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni;
c. Bertindak objektif dan nir diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, kepercayaan , suku, ras, dan kondisi fisik eksklusif, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik pengajar, serta nilai-nilai agama serta etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dilihat hak dan kewajiban pengajar sebagaimana diuraikan tersebut, maka jabatan pengajar sebenarnya merupakan jabatan yang sangat prospektif, relatif menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yang terdapat tadi masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya, karena buat merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih dibutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling tidak UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 butir Peraturan pemerintah (PP) untuk dapat diarealisaikan. Kita belum bisa mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yang diperlukan buat merealisasikan UU No. 14 tersebut dapat diwujudkan. Hingga waktu ini satu PP pun yang diperlukan buat itu belum diterbitkan. Rasa psimispun ada, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yang diharapkan menjadi perangkat aplikasi UU No. 20/2003 yg lebih dulu saja hingga ketika ini baru diterbitkan satu PP. Kemudian kapan giliran penerbitan PP yang berkaitan menggunakan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini nir memberikan asa yang hampa bagi pengajar.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seseorang pengajar telah dirumuskan seperti diuraikan di atas, namun pada fenomena, kondisi-syarat pengajar pada Indoinesia saat ini masih jauh tidak sinkron menggunakan harapan tersebut. Hak-hak profesional pengajar ketika ini masih rendah. Dengan perkataan lain syarat obyektif guru saat ini masih belum layak diklaim sebagai jabatan profesional, karena ditinjau menurut penghasilannya, homogen-rata guru masih menerima penghasilan yang rendah, belum memenuhi standart hayati layak menjadi suatu profesi. Apa lagi bila penghasilan tadi masih harus dipotong untuk biaya pengembangan profesi, contohnya membeli buku-kitab , mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi menggunakan porto berdikari, tentu penghasilan tadi akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi apabila dicermati menurut kebebasan penemuan dan kreativitas guru. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang aplikasi aktivitas belajar-mengajar di sekolah dapat Mengganggu kreativitas serta sifat inovatif guru, karena pengajar secara kaku harus mengikuti peraturan serta ketentuan yang sudah terdapat. 

Berdasarkan uraian di atas bisa dikemukakan, bahwa keberadaan profesi guru pada Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru dalam tingkat embriyonal. Artinya profesi pengajar pada Indonesia ketika ini masih baru dalam tingkat pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan berdasarkan rutinitas ke profesional. Walaupun demikian tanda-tanda ke arah profesional sudah nampak secara nyata, seperti upaya-upaya yg telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya mempertinggi taraf pendidikan para pengajar yang telah berdinas, semula buat guru SD minmal D2, untuk SLTP minimal D3. Dan buat SMU/Sekolah Menengah Kejuruan wajib S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, semua pengajar mulai dari Taman Kanak-kanak hingga SLTA wajib memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sesuai menggunakan bidang studi yang diajar. Semua itu dimaksudkan supaya para pengajar selalu dapat mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan menggunakan bidang profesinya, sehingga selalu dapat menaruh pelayanan sesuai dengan kebutuhan warga yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan guru menurut pegawai biasa sebagai fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem promosi menurut regule ke kenaikan pangkat pilihan serta keharusan untuk mengumpulkan angka kredit eksklusif buat menduduki jenjang jabatan guru tertentu dari SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan guru tadi kemudian diperkuat menggunakan UU 20/2003, PP. No 19/2005 dan lalu UU No. 14/2005 tentang pengajar dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat mini . Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yg besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional pengajar diberikan menurut jenjang sekolah yang diajar, kemudian anugerah tunjangan tersebut berdasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan pada mana ia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru menjadi jabatan profesional, meski belum optimal. Akan tetapi menggunakan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan pengajar menjadi jabatan profesional akan lebih akbar lagi.

Upaya-upaya itulah yang kita anggap sebagai indikator positif buat menuju profesionalisasi jabatan pengajar secara penuh pada Indonesia. Tentu saja masih banyak faktor penentu jabatan profesional yg wajib dipenuhi untuk menunju dalam era jabatan profesinal pengajar secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun ketika ini sudah ada Undang-undang tentang Pengajar dan dosen, yaitu UU No. 14/2005, tetapi eksistensi profesi pengajar di Indonesia sampai saat ini masih berada pada taraf embriyonal, andaipun demikian pertanda-tanda ke arah profesional yg sebenarnya sudah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan ketika yg panjang, karena keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki oleh pemerintah, terutama berdasarkan segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tadi membutuhkan biaya yang cukup mahal. 

Dari banyak sekali kajian dapat dikemukakan, bahwa eksistensi profesi pengajar, pada arti kuat-tidanya posisinya ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tadi anta lain merupakan sebagai beriku: (1) akuntabilitas homogen-rata LPTK rendah, (2) pendidikan dalam jabatan (inservice pelatihan) kurang baik, (tiga) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (5) penghargaan terhadap jabatan pengajar selama ini kurang baik, dan (lima) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tadi dibahas lebih rinci pada bagian ini dia.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas acara LPTK menjadi pembuat energi kependidikan sampai saat ini homogen-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dipandang dari acara/kurikulum, energi guru, wahana serta prasarana pendidikan, pembiayaan dan input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yg demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yg didapatkan. Lantaran mutu lulusa yang dihasilkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut dari hal ini merupakan adanya penghargaan yang rendah dalam para lulusan. Kondisi yg demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yang kurang ketat terhadap eksistensi LPTK-LPTK yg kurang memenuhi persyaratan serta penyelenggrraraan pendidikannya yg carut-marut pada beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin menaruh image, bahwa penyelenggara pendidikan pengajar kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian akbar LPTK relatif rendah. LPTK kurang akomodatif pada penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun serta membuatkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sebagai akibatnya tidak dapat mengakomodasikan kebutuhan riil profesi pada lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan kelompok-grup profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya bisa relevan dengan kebutuhan riil di lapangan.

Demikian jua mengenai energi pengajar LPTK. Umumnya tenaga pengajar pada LPTK, terutama dalam beberapa LPTK partikelir kurang memenuhi persyaratan professional juga akademis eksklusif. Banyak dosen LPTK yang asal-asalan, baik dari segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yg diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, juga menurut segi jenjang pendidikan yg kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para energi dosen tersebut kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yg dihasilkan. Bahkan dampak yg lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap seluruh lulusan LPTK, sebab para lulusan tadi sulit didentifikasi beral menurut LPTK mana.

Manajemen serta faktor kepemimpinan forum jua turut sebagai galat satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj sembarangan, baik yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, sarana serta prasarana, kemahasiswaan, juga substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan dengan baik. Dari sisi manajemen akademik contohnya, banyak LPTK yg menyelenggarakan perkuliahan sembarangan dan kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yang menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan pada loka yg kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian jua perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan terdapat yg sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan menghasilkan lulusan yg kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen serta sarana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya apabila lulusan LPTK tadi diangkat sebagai guru, maka hal tersebut akan bisa memperpuruk citra pengajar menjadi energi profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan kasus pada aplikasi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), training guru-pengajar yg nir lulus tunjangan profesi profesi pengajar melalui jalur portofolio pada rayon 16 (Universitas Jember) yg menerangkan, bahwa guru nir memenuhi kreteria profesional, khususnya pada penguasaan bidang studi yang wajib diajarkan. Banyak pengajar yang mengikuti tunjangan profesi pada bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi saat praktik mengajar (peer teaching), mereka tidak sanggup dan bahkan tidak berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak galat konsep dalam melakukan pembelajaran. Demikian jua dalam kasus guru matematika, banyak pengajar peserta PLPG tersebut ternyata pula menciptakan kesalahan konsep yg sangat mendasar dalam melaksanakan pembelajaran pada peer teaching, dalam hal mereka sudah sebagai guru cukup usang. Inilah diantaranya merupakan galat satu pengaruh menurut proses pendidikan calon guru yang dilaksanakan dengan kurang baik dan asal-asalan. Semua itu jika tidak segera diatasi akan bisa semakin memperpuruk citra profesi guru.

Di samping itu, faktor kelengkapan wahana serta prasarana pendidikan serta rendahnya pembiayaan pendidikan juga merupakan keliru satu hambatan dalam meningktkan kualitas proses dan output pembelajaran pada sebagian besar LPTK. Sebagian akbar LPTK mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan yang relatif memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun nir dimiliki, seperti laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, serta peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, misalnya tidak dapat mempraktikkan pada laboratorium sebagai akibatnya tingkat akurasinya kurang. Demikian pula pada belajar fisika pula tidak dapat dilakukan menggunakan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan dengan ceramah serta diskusi, sebagai akibatnya hingga terlontar sindiran, apakah ini sedang belajar fisika ataukah “sastra fisika”? Sindiran itu timbul karena pembelajaran fisika yang seharusnya banyak dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian pula menurut segi biaya pendidikan, umumnya LPTK merupakan perguruan tinggi yg miskin, sebagai akibatnya pembiayaan proses pembelajaran yg berlangsung pula sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yang cukup mahal, baik buat kesejahteraan dosennya, juga buat biaya -porto operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak dari hal itu akan mengakibatkan kurang berkualitasnya lulusan yg dihasilkan LPTK, serta efek lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK yang terdapat.

Rendahnya input LPTK jua menjadi galat satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh dalam masukan atau input LPTK tersebut. Sebagai suatu misal, lantaran eksistensi jabatan guru masih belum menarik, maka hal itu dapat berdampak dalam perolehan input yg kurang berkualitas juga. Para siswa SLTA yang potensial umumnya tidak tertarik buat memasuki lembaga pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung buat menentukan profesi-profesi yg keren serta bergengsi, seperti dokter, teknologi, farmasi, personal komputer serta lain sebagainya lantaran profesi tadi lebih menjanjikan nasib mereka pada masa yg akan tiba. Dengan nir bisa direkrutnya input yg berkualitas, maka hal itu akan berdampak pada kurang berkualitasnya lulusan LPTK, dan impak lebih lanjut hal itu adalah bisa mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice pelatihan) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena sasaran, sehingga dapat menghipnotis mutu guru. Penataran ternyata nir dapat menaikkan profesional-itas guru. Penataran hanya bisa menambah pengetahuan pengajar serta belum ada bukti bisa mengganti prilaku dan perilaku profesionalisme guru. Bahka output penelitian menerangkan, bahwa para pengajar yang ditatar dan yg tidak ditatar menerangkan konduite yang sama dalam hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak aktivitas penataran yg dilakukan dengan sia-sia, sebab tidak diawali menggunakan identifikasi kebutuhan riil pada lapangan. Penataran umumnya dilakukan dengan pendekatan “top-down”, sehingga materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil pada lapangan. Dampaknya pengajar yg ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, pertarungan lain dari lemahnya penyelenggaraan penataran tadi adalah berkaitan menggunakan energi penatar atau pembinaan. Kebanyakan tenaga penatar atau instruktur yang ditugasi buat melatih kurang menguasai materi menggunakan baik. Demikian juga jika dicermati berdasarkan proses penyelenggraan penataran juga kurang tepat. Selama ini penataran pengajar seringkali nir berdasarkan atas kebutuhan riil para pengajar. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas impian pengambil kebijakan, dan bukan didasarkan atas kebutuhan pengajar di lapangan, sebagai akibatnya output penataran pula kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan output pemetaan kebutuhan pengajar di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan pengajar. Pemetaan kebutuhan guru pula dapat dilakukan berdasarkan output ujian nasional (UNAS/UN). Dari hasil UN tadi bisa dipetakan kebutuhan guru pada lapangan. Apabila hasil UN di daerah tertentu menerangkan, bahwa sebagian akbar siswa pada daerah tertentu nilai matematikanya jelek, maka pengajar matematika memerlukan penataran matematika, apabila bahasa Inggris rata-homogen buruk, maka pengajar bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, serta sebagainya. Dengan demikian acara penataran guru akan menjadi lebih fungsional serta mengena dalam sasaran yang dibutuhkan. 

3. Organisasi Profesi Pengajar Lemah
Keberadaan organisasi profesi guru yg terdapat sampai waktu ini masih rendah. Organisasi tersebut masih acapkali terpancing pada aktivitas-kegiatan non-profesional, seperti politk dan kepentingan tertentu yang nir terdapat kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi menjadi alat buat pengembangan serta perjuangan gerombolan profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi pengajar. Organisasi profesi pengajar hasus diorientasikan pada pengembangan profesionalitas pengajar menggunakan cara acapkali melakukan identifikasi kebutuhan serta pertarungan profesional, serta menindaklanjuti dengan pelatihan kepada anggotanya. Organisasi ini jua wajib bisa mengendalikan keanggotaannya secara ketat, adalah hanya mereka yg memenuhi persyaratan sebagai guru saja yang bisa diterima menjadi anggota serta berpraktik menjadi pengajar, meskipun mengajar pada swasta. Organisasi ini jua wajib memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini juga harus berperan dalam memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yg akan berpraktik sebagai pengajar. Apabila organisasi ini belum memberikan rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah nir boleh memberikan ijin atau mengangkatnya menjadi guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi wajib dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini juga harus dapat menciptakan solidaritas profesi yang tinggi pada antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi harus ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yang tinggi. Solidaritas yg tinggi ini terutama diperlukan untukm peningkatan profesionalitas serta kesejahteraan para anggotanya. Apabila hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini pula akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik sang warga , pemerintah, juga grup profesi lainnya. Dengan demikian, maka eksistensi profesi guru pada masa akan datang akan bisa terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik menjadi landasan moral serta rambu-rambu tingkah laris bagi setiap anggota sangat menghipnotis bertenaga-tidaknya suatu profesi. Hingga ketika ini kode etik profesi pengajar kurang bisa berfungsi menggunakan baik. Kode etik tersebut kurang ”membumi” dan terkesan menjadi pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tadi kurang mewarnai konduite pengajar dalam menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, di negeri kita ini yang merasa terikat menggunakan aneka macam peraturan hanyalah pengajar negeri, sedangkan pengajar swasta tidak merasa terikat. Selama ini guru partikelir merasa terbebas menurut segala peraturan yg dimuntahkan oleh pemerintah, lantaran mereka nir dibayar oleh pemerintah. Pada hal jumlah pengajar swasta relatif banyak, dan bahkan kemungkinan bisa lebih banyak dari pada pengajar negeri. Demikian juga, bila terjadi masalah pelanggaran pada salah satu guru, meskipun itu guru swasta dampaknya relatif luas bagi profesi guru secara holistik. Hal inilah yang perlu segera aicarikan solusinya. Kode etik pengajar harus dikembangkan serta disosialisasikan secara terus menerus, baik dalam guru negeri juga swasta, dan bahkan kepada calon pengajar. Jika perlu kode etik guru wajib masuk pada kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yg inheren dalam kode etik guru tadi telah bisa dihafal serta dijiwai oleh para calon pengajar semenjak pada proses pendidikan guru. Jika ini bisa dicapai, maka di masa mendatang tidak akan ada guru yg masih asing lagi terhadap kode etik jabatan pengajar. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Pengajar Kurang Baik
Nilai suatu jabatan galat satu di antaranya adalah dipengaruhi sang tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Apabila jabatan tersebut mendapat penghargaan yg tinggi (terutama penghargaan finansial atau honor tinggi), maka jabatan tadi bisa dianggap bernilai tinggi sebagai akibatnya dihargai dan diminati poly orang. Sebaliknya bila menurut jabatan tersebut tidak dapat memberikan penghasilan yg tinggi, maka jabatan tadi dipercaya kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai serta kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang menerima penghargaan yang layak. Gaji serta penghasilan guru selama ini sangat rendah. Penghasilan yang diperoleh menurut jabatan pengajar selama ini kurang dapat mengklaim kelayakan hidup famili, apa lagi buat pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan famili. Bahkan poly pada antara para pengajar terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain pada luar profesinya, misalnya sebagai ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan serta jasa lainnya. Semua itu jelas bisa menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tadi nir segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan guru nir akan memperoleh penghargaan yang baik. Dampak lebih jauh merupakan kurang tertariknya generasi muda buat menjadi guru. Jika hal itu terjadi, maka upaa buat menerima pengajar-guru yang baik akan sulit diwujudkan, karena dengan kurang menariknya jabatan guru tadi, maka generasi muda yg baik dan potensial akan enggan menadi pengajar, beliau akan memilih profesi lain yg lebih menarik.

Untuk menaikkan keberadaa profesi guru tadi kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak pengajar yg tercantum pada UU No. 14 tahun 2005. Jika hal itu te;lah dilaksanakan, maka pada masa yang akan datang, profesi pengajar akan menjadi profesi yang relatif bergengsi. Dengan demikian profesi pengajar akan sebagai profesi yang diminati, termasuk generasi belia yang baik dan potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi guru kurang mendapatkan perlindungan secara hukum. Ringannya persyaratan sebagai guru, terutama di forum swasta bisa menurunkan keberadaan profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yg demikian ini membuat eksistensi profesi pengajar menjadi lemah. Untuk mempertinggi eksistensi profesi pengajar tersebut perlu adanya persyaratan yang ketat buat menjadi guru, baik pada sekolah-sekolah negeri, maupun partikelir. Siapa saja yang melakukan tugas menjadi pengajar harus memiliki sertifikat kelayakan sebagai guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan serta UU No. 14/2005 tentang Pengajar serta Dosen, ditegaskan bahwa pengajar mulai TK hingga SLTA harus memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya wajib diterapkan secara ketat. Demikian pula pengawasan serta sangsi terhadap pelanggarannya jua wajib dilakukan secara ketat juga. Seharusnya, siapa saja yg berpraktik menjadi pengajar tanpa mempunyai sertifikat kelayakan sebagai pengajar yang absah dan siapa saja yang memakai/memperkerjakan seorang sebagai guru tanpa disertai sertifikat menjadi pengajar yg sah dinyatakan bersalah serta bisa ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu dibutuhkan keberadaan profesi guru akan terlindungi.

Comments