PENGERTIAN DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF INTERNET TIK KELAS 9

1. Internet

Internet singkatan menurut interconnected-networking adalah sistem dunia berdasarkan semua jaringan yang ada lewat komputer serta saling terhubung menggunakan memakai standar Internet Protocol Suite (TCP/IP). Hal ini buat melayani semua pengguna internet yg terdapat pada semua dunia. Internet menggunakan memakai huruf 'I' besar , merupakan sistem menurut komputer umum, yang sudah terhubung secara global menggunakan memakai TCP/IP sebagai protokol buat pertukaran paket data(packet switching communication protocol). Seluruh rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Sedangkan cara menghubungkan rangkaian menggunakan sistem ini dianggap internetworking.
2. Dampak Poaitif

- Internet sebagai media komunikasi, merupakan fungsi internet yg paling poly dipakai     dimana setiap pengguna internet bisa berkomunikasi menggunakan pengguna lainnya berdasarkan semua global.
-  Media pertukaran data, menggunakan memakai email, newsgroup, ftp serta world wide web  para pengguna internet di seluruh global bisa saling bertukar fakta menggunakan cepat serta murah.
- Media buat mencari keterangan atau data, perkembangan internet yg pesat, membuahkan www menjadi salah satu asal keterangan yang penting dan seksama.
- Kemudahan memperoleh liputan yang terdapat di internet sebagai akibatnya manusia tahu apa saja yg terjadi.
- Bisa digunakan menjadi lahan fakta buat bidang pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain
- Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan sebagai akibatnya tidak perlu pergi menuju ke loka penawaran/penjualan.

3. Dampak Negatif Internet

Pornografi
Anggapan yg menyampaikan bahwa internet identik dengan pornografi, memang nir galat. Dengan kemampuan penyampaian berita yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. Untuk mengantisipasi hal ini, para produsen ‘browser’ melengkapi acara mereka dengan kemampuan buat memilih jenis home-halaman yang dapat di-akses. Di internet masih ada gambar-gambar pornografi dan kekerasan yg bisa mengakibatkan dorongan kepada seorang buat bertindak kriminal.

Violence and Gore
Kekejaman dan kesadisan juga poly ditampilkan. Lantaran segi bisnis serta isi pada dunia internet tidak terbatas, maka para pemilik situs memakai segala macam cara agar bisa ‘menjual’ situs mereka. Salah satunya menggunakan menampilkan hal-hal yg bersifat tabu.

Penipuan

Hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet pun tidak luput menurut agresi penipu. Cara yang terbaik adalah tidak mengindahkan hal ini atau mengkonfirmasi warta yang Anda dapatkan pada penyedia informasi tadi.

Carding
Karena sifatnya yang eksklusif, cara belanja dengan memakai Kartu kredit adalah carayang paling poly dipakai pada global internet. Para penjahat internet pun paling banyak melakukan kejahatan dalam bidang ini. Dengan sifat yang terbuka, para penjahat mampu mendeteksi adanya transaksi (yang menggunakan Kartu Kredit) on-line serta mencatat kode Kartu yang dipakai. Untuk selanjutnya mereka menggunakan data yang mereka dapatkan buat kepentingan kejahatan mereka.

Perjudian
Dampak lainnya adalah meluasnya perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, para penjudi nir perlu pulang ke tempat khusus untuk memenuhi keinginannya. Anda hanya perlu menghindari situs misalnya ini, lantaran biasanya situs perjudian tidak militan serta memerlukan poly persetujuan menurut pengunjungnya.

1. Mengurangi sifat sosial manusia karena cenderung lebih senang berhubungan lewat internet daripada bertemu secara langsung.
2. Dari sifat sosial yg berubah bisa menyebabkan perubahan pola warga dalam berinteraksi.
3. Kejahatan seperti menipu dan mencuri dapat dilakukan pada internet sebagai akibatnya kejahatan juga ikut berkembang.
4. Bisa menciptakan seseorang kecanduan, terutama yang menyangkut pornografi serta bisa menghabiskan uang karena hanya buat melayani kecanduan tersebut.

ASPEK SOSIAL AMDAL SEJARAH TEORI DAN METODE

Aspek Sosial Amdal Sejarah, Teori Dan Metode
1. Peranan AMDAL dalam Perencanaan Pembangunan
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pembangunan diperlukan buat mengatasi banyak masalah, termasuk perkara lingkungan. Tetapi pengalaman memperlihatkan bahwa pembangunan bisa membawa impak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif ini bisa berupa pencemaran serta kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa kita harus memperhitungkan efek negatif serta berusaha buat menekannya menjadi sekecil-kecilnya. Upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini adalah menggunakan melakukan pembangunan yg berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan semenjak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada operasi pembangunan itu. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan maka pembangunan bisa berkelanjutan.

Makna pembangunan nasional bukan hanya buat menaikkan ekonomi namun pada dasarnya mempunyai arti yg lebih luas berdasarkan perkembangan ekonomi, yaitu buat menaikkan kesejahteraan dalam arti luas dimana terkandung peningkatan mutu atau kualitas hidup. Untuk mencapai tujuan ini sumber daya manusia adalah peran utama pada pada memanfaatkan dan mengelola asal daya alam untuk kepentingan manusia jua. Oleh karena itu buat mengurangi kerusakan lebih lanjut, maka kebijaksanaan dalam mengelola sumber daya alam menjadi kunci utamanya.

Manusia dengan segala kemampuannya akan selalu berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia menghipnotis serta ditentukan oleh lingkungan hidupnya. Makin akbar perubahan itu makin akbar jua impak terhadap diri manusia. Untuk perubahan yg kecil manusia dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan perubahn itu, tetapi pada perubahan yang akbar seringkali terdapat di luar kemampuan diri sehingga perubahan itu pada hal-hal eksklusif bisa mengancam kelangsungan hayati. 

Makin maju teknologi, makin besar pula kemampuan manusia buat merubah lingkungan. Pengaruh perubahan lingkungan dampak suatu kegiatan pembangunan terhadap masyarakat, terdapat yg menaruh laba dalam kehidupan sosial ekonomi, namun terdapat juga yg menimbulkan kerugian terhadap kesejahteraan warga sehingga menambah beban warga serta mengurangi manfaat dari pembangunan itu.

Dari uraian di atas pada rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup maka nampak gambaran bagi proyek-proyek yang akan dibangun atau yg sudah berjalan, perlu diteliti sampai seberapa akbar bisa menaikkan kualitas ligkungan hayati setempat. Selain itu terkandung juga pengertian seberapa besar bisa memaksimumkan manfaat (dampak positif) terhadap lingkungan yang mengandung makna wajib dapat membentuk aktivitas ekonomi baru dan penyediaan fasilitas sosial ekonomi bagi warga setempat. Atau kebalikannya malah menurunkan kualitas lingkungan hayati pada arti lebih poly menaruh kerugian (dampak negatif) bagi rakyat lebih kurang.

Untuk mengatasi semua itu, analisa impak lingkungan merupakan keliru satu cara pengendalian yg efektif untuk dikembangkan. AMDAL bertujuan buat mengurangi atau meniadakan impak-efek tidak baik (negatif) terhadap lingkungan serta bukan menghambat aktifitas ekonomi. AMDAL pada hakekatnya merupakan penyempurnaan suatu proses perencanaan proyek pembangunan pada mana nir saja diperhatikan aspek sosial proyek itu, melainkan pula aspek efek proyek itu terhadap sosial budaya, fisika, kimia, serta lain-lain. 

Tujuan serta target primer AMDAL merupakan buat mengklaim agar suatu bisnis atau kegiatan pembangunan bisa beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak serta mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain bisnis atau kegiatan tersebut layak menurut segi aspek lingkungan. Sedangkan kegunaan AMDAL merupakan sebagai bahan untuk mengambil kebijaksanaan (contohnya perizinan) maupun menjadi panduan pada menciptakan berbagai perlakuan penanggulangan efek negatif. 

Secara umum kegunaan AMDAL adalah:
1. Memberikan kabar secara jelas tentang suatu rencana usaha, berikut pengaruh-efek lingkungan yang akan ditimbulkannya.
2. Menampung aspirasi, pengetahuan dan pendapat penduduk khusunya pada perkara lingkungan sewaktu akan didirikannya suatu planning proyek atau bisnis.
3. Menampung warta setempat yang berguna bagi pemrakarsa dan warga dalam mengantisipasi pengaruh dan mengelola lingkungan.

Selanjutnya pada bisnis menjaga kualitas lingkungan, secara spesifik AMDAL berguna dalam hal:
1. Mencegah supaya potensi sumber daya alam yg dikelola nir rusak, terutama sumber daya alam yang nir bisa diperbaharui.
2. Menghindari efek samping dari pengolahan asal daya terhadap sumber daya alam lainnya, proyek-proyek lain, serta warga agar tidak muncul pertentangan-kontradiksi.
3. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran sebagai akibatnya nir mengganggu kesehatan, ketenangan, dan keselamatan rakyat.
4. Agar dapat diketahui manfaatnya yg berdaya guna serta berhasil guna bagi bangsa, negara serta rakyat. 

Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan lingkungan sebuah planning usaha atau aktivitas pembangunan diperlukan mampu optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan yang negatif, dan dapat memanfaatkan dan mengelola asal daya alam secara efesien.

Munn (1979) sebagaimana dikutip sang Helneliza, mengemukakan bahwa AMDAL merupakan galat satu menurut bagian perencanaan dalam rangka membuat tindakan pembangunan yang selaras dengan lingkungan, memanfaatkan asal daya lingkungan dengan sebaik-baiknya dan menghindari degradasi. Di poly negara AMDAL dinyatakan berhasil menghambat laju kerusakan lingkungan. Hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro telah menandakan hal ini, di mana ± 158 negara menyatakan bahwa AMDAL adalah alat yang efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan. AMDAL sebagai bagian yg integral menurut pembangunan berkelanjutan, memberi arti bahwa sekurang-kurangnya dengan adanya AMDAL mengingatkan pemrakarsa agar memperhatikan kelestarian lingkungan.

Dalam menciptakan sebuah proyek, sebelumnya tentu harus dilakukan identifikasi perkara mengapa suatu proyek pembangunan ingin dilaksanakan dan tentu saja harus jelas tujuan dan kegunaannya. Selanjutnya diadakan studi kelayakan secara teknik, hemat, serta lingkungan sebelum melangkah ke perencanaan berdasarkan pembangunan proyek.

Pelaksanaan pembangunan proyek usahakan dimulai sesudah hasi AMDAL diketahui sehingga bisa dilakukan meningkatkan secara optimal buat mendapatkan keadaan yang optimum bagi proyek tadi. Dalam hal ini, impak lingkungan bisa dikendalikan melalui pendekatan teknik dan pengendalian limbah sebagai akibatnya dapat membentuk porto pengelolaan dampak yang murah serta kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.

Menurut Imam Supardi, pengelolaan lingkungan pada usaha menghindari kerusakan akibat berdasarkan satu proyek pembangunan baru dapat dilakukan selesainya diketahui dampak lingkungan yg akan terjadi akibat dari proyek-proyek pembangunan yang akan dibangun. Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam pengelolaan lingkungan, maka harus selalu dilakukan pemantauan sejak awal pembangunan secara terjadwal. Hasil pemantauan ini bisa digunakan buat memperbaiki bahkan mengubah pengelolaan lingkungan, apabila memang hasil pemantauan nir sesuai dengan pendugaan dalam AMDAL atau sebaliknya jua dapat digunakan buat mengoreksi pendugaan AMDAL yg mungkin kurang mengena.

Dari hasil AMDAL dapat diketahui apakah proyek pembangunan berpotensi menimbulkan dampak atau nir. Jika berdampak besar terutama yang negatif, tentu saja proyek tadi tidak boleh dibangun atau boleh dibangun dengan persyaratan eksklusif agar dampak negatif tersebut bisa dikurangi hingga tidak membahayakan lingkungan. Dampak negatif yg perlu diperhatikan merupakan:
1. Apakah pengaruh negatif yg mungkin muncul itu melampaui atau nir, batas toleransi pencemaran terhadap kualitas lingkungan.
2. Apakah menggunakan banyak yg akan dibangun ini atau tidak atau akan mengakibatkan gejolak terhadap banyak pembangunan lain atau masyarakat.
3. Apakah impak negatif ini bisa menghipnotis kehidupan atau keselamatan rakyat atau tidak.
4. Seberapa jauh perubahan ekosistem yg mungkin terjadi sebagai dampak pembangunan proyek ini.

Bila berdasarkan AMDAL tidak akan menimbulkan dampak yang berarti, maka proyek pembangunan dapat dilaksanakan sinkron usulan dengan permanen berpedoman supaya permanen memperhatikan impak-efek negatif yg mungkin muncul, diluar asumsi semula. Dalam hal ini, sebelum proyek dilaksanakan haruslah ditentukan dulu panduan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagai bisnis menjaga kelestariannya. Perlu kiranya ditekankan, AMDAL sebagai indera dalam perencanaan wajib memiliki peranan pada pengambilan keputusan tentang proyek yg sedang direncanakan. Artinya, AMDAL tidak banyak artinya apabila dilakukan sehabis diambil keputusan buat melaksanakan proyek tadi. Pada lain pihak pula nir sahih buat menganggap AMDAL menjadi satu-satunya faktor penentu pada pengambilan keputusan mengenai proyek itu. Yang sahih ialah AMDAL adalah masukan tambahan buat pengambilan keputusan, disamping masukan dari bidang teknis, ekonomi, dan lain-lainnya. Misalnya dapat saja terjadi laporan AMDAL menyatakan bahwa suatu proyek diprakirakan akan memiliki impak lingkungan yang besar dan krusial. Namun pemerintah dari atas pertimbangan politik atau keamanan yg mendesak tetapkan buat melaksanakan proyek tersebut. Yang penting buat ditinjau pada hal ini adalah keputusan tersebut diambil tidak menggunakan mengabaikan aspek lingkungan, melainkan sesudah mempertimbangkan dan memperhitungkannya. Dengan ini keputusan tadi diambil menggunakan menyadari sepenuhnya akan kemungkinan akan terjadinya efek lingkungan yang negatif. Maka pemerintah pun bisa melakukan persiapan buat menghadapi kemungkinan tadi sebagai akibatnya kelak nir akan dihadapkan dalam suatu kejutan yg nir menyenagkan serta tidak terduga sebelumnya. Dengan persiapan ini imbas negatif bisa diusahakan sebagai sekecil-kecilnya. 

2. Dimensi AMDAL dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Dr Ardinis Arbain mengungkapkan bahwa peranan AMDAL sangat mini pada mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Menurut beliau yg paling penting merupakan penataan ruang. Dalam tata ruang itu wajib kentara pemisahan antara kawasan budi daya serta kawasan lindung. Pembangunan hanya boleh dilakukan pada tempat budi daya sedangkan daerah lindung wajib tetap terjaga kelestariannya sinkron menggunakan peruntukannya.

Keadaan alam ini bervariasi, tetapi bukan berarti bahwa alam ini tidak teratur. Hubungan karena akibat tetaplah berjalan baik. Tentu saja, insiden-peristiwa yang sekali waktu terjadi seperti badai, gempa atau letusan gunung berapi nir dapat diramalkan dan tidak bisa dihindari. Namun frekuensinya bisa dapat digambarkan menggunakan fungsi distribusi kemungkinan. Namun, peristiwa-insiden misalnya banjir dan tanah longsor merupakan peristiwa yang penyebabnya sebagian besar disebabkan sang ulah tangan manusia. Manusia dengan jumlah dan kegiatannya yg terus bertambah telah berangsur-angsur merubah daerah lindung menjadi tempat pemukiman, pabrik dan pertokoan. Akibatnya alam jadi nir seimbang serta keberlanjutan ekosistem mulai terancam. Sebetulnya alam bisa dipelajari sebagai sebuah sistem. Itulah satu-satunya cara pengkajian dampak lingkungan yg perlu dilakukan. 

Tugas primer dari AMDAL adalah memilah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktifitas pembangunan yang ditawarkan supaya menjadi bagian dari daur alam. Satu eksperimen yg terkendali dapat dilakukan buat membandingkan perubahan dalam parameter kualitas lingkungan. Satu sistem disiapkan menjadi pengontrol, fungsi ini dapat dibebankan pada kawasan lindung. Sedangkan sistem alam lainnya yaitu pada tempat budi daya berlangsung aktifitas pembangunan. Pengkajian AMDAL yg terpenggal-penggal atau mengabaikan satu komponen tertentu dapat menyebabkan terganggunya kestabilan komponen yang lain. 

AMDAL dimaksudkan buat pembangunan, perbaikan pembangunan diidentifikasi menggunakan AMDAL. AMDAL merupakan keliru satu indera pembangunan berkelanjutan sebagai sarana pengambilan keputusan di taraf proyek. Seharusnya AMDAL sebagai salah satu motor pembangunan, namun memang bila salah langkah proses AMDAL bisa jadi beban. 

3. Efektifitas AMDAL
Analisis tentang imbas lingkungan sudah banyak dilakukan di Indonesia serta pada negara lain. Akan namun pengalaman memberitahuakn, AMDAL tidak selalu memberi output yg kita harapakan sebagai indera perencanaan. Bahkan nir jarang, AMDAL hanyalah merupakan dokumen formal saja, yaitu sekedar buat memenuhi ketentuan dalam undang-undang. Dengan istilah lain, pelaksanaan AMDAL hanyalah pro forma saja. Setelah laporan AMDAL didiskusikan dan disetujui, laporan tersebut disimpan serta nir dipakai lagi. Laporan itu tidak mempunyai pengaruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan proyek selanjutnya. Hal ini pula terjadi pada nagara yang sudah maju, bahkan di Amerika Serikat yang adalah negara pelopor AMDAL. 

Otto Soemarwoto mengemukakan beberapa karena tidak digunakannya AMDAL yaitu:
  1. AMDAL dilakukan terlambat sebagai akibatnya nir bisa lagi memberikan masukan buat pengambilan keputusan dalam proses perencanaan. 
  2. Tidak adanya pemantauan, baik dalam termin pelaksanaan maupun dalam tahap operasional proyek.. 
  3. Adanya penyalahgunaan AMDAL buat membenarkan diadakannya suatu proyek. 
Pelaksanaan AMDAL sekedar buat memenuhi persyaratan peraturan saja, menciptakan tenaga dan porto yang dikeluarkan sebagai mubazir. Oleh karena itu perlu dilakukan bisnis supaya AMDAL sahih-sahih bisa menjadi indera perencanaan acara serta proyek buat mencapai tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Sehubungan dengan itu, Otto Soemarwoto menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mempertinggi efektifitas AMDAL ialah:

Menumbuhkan pengertian di kalangan para perencana dan pemrakarsa proyek bahwa AMDAL bukanlah alat untuk merusak pembangunan, melainkan sebaliknya, AMDAL adalah indera untuk menyempurnakan perencanaan pembangunan. Tujuan ini dapat dicapai menggunakan menginternalkan AMDAL ke dalam jajak kelayakan proyek. Dengan penyempurnaan ini output yg dicapai pada pembangunan akan dapatlebih baik, yaitu pembangunan itu sebagai berwawasan lingkungan dan terlanjutkan. AMDAL dapat juga berhemat porto menggunakan menghindari terjadinya biaya sebagai mubazir, lantaran kemudian ternyata proyek itu nir layak menurut segi lingkungan. Atau biaya proyek naik sangat akbar, karena diperlukannya porto tambahan buat menanggulangi impak negatif tertentu. Dalam hal lain terdapat manfaat proyek yang nir termanfaatkan. 

Sebagian besar laporan AMDAL mengandung banyak sekali data, namun banyak antara lain yg tidak relevan dengan kasus yang dipelajari. Tidak atau kurang adanya fokus adalah kelemahan yang banyak terdapat dalam pelaksanaan AMDAL. Hal ini perlu dikoreksi menggunakan melakukan pembatasan ruang lingkup dengan pelingkupan (scoping) yg baik. Koreksi akan lebih mempermudah penggunaan laporan AMDAL oleh para perencana dan pemrakarsa pembangunan. 

Agar para perencana serta pelaksana proyek bisa memakai hasil jajak AMDAL menggunakan mudah, laporan AMDAL haruslah ditulis menggunakan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti sang perencana dan pelaksana tadi. Untuk maksud ini, ”bahasa ilmiah” perlu dihindari, tetapi hasil AMDAL itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Rekomendasi yang diberikan haruslah spesifik serta kentara sebagai akibatnya para perencana dapat menggunakannya. Rekomendasi yang bersifat umum tidak poly gunanya. Misalnya, rekomendasi dalam laporan AMDAL buat perencanaan sebuah pabrik yang menyatakan perlunya diambil tindakan pengendalian pencemaran tanpa menampakan bagaimana caranya, tidaklah dapat membantu. Masalah ini akan teratasi dengan sendirinya bila AMDAL diintegrasikan ke pada jajak kelayakan lantaran dengan integrasi itu terjadi hubungan umpan balik . 

Persyaratan proyek yg tertera pada laporan AMDAL yg sudah disetujui harus sebagai bagian integral izin aplikasi proyek serta memiliki kekuatan yang sama misalnya apa yg termuat dalam rancangan rekayasa yang telah disetujui oleh badan yang bersangkutan. 

Adanya komisi AMDAL yang berkualitas serta berwibawa. Badan pemerintah tersebut haruslah memiliki wewenang untuk mengatasi bahwa yg direkomendasikan dalam laporan AMDAL dan sudah sebagai salah satu dasar hadiah biar , sahih-sahih dipakai dalam perencanaan dan aplikasi proyek yang bersangkutan. Jika terjadi penyimpangan, badan pemerintah tadi wajib bisa menegur dan apabila perlu memerintahkan untuk membongkar bagian proyek yang nir sesuai atau bahkan memerintahkan buat menghentikan proyek tadi. Dalam kaitan ini pemantauan aplikasi proyek adalah bagian penting dalam tindak lanjut AMDAL. 

Belum digunakan RPL menjadi umpan pulang untuk menyempurnakan implementasi serta operasi proyek sehingga AMDAL bersifat aktivitas yg tidak aktif dan bukannya bergerak maju yang dengan terus menerus berinteraksi dengan implementasi dan operasi proyek.

ASPEK SOSIAL AMDAL SEJARAH TEORI DAN METODE

Aspek Sosial Amdal Sejarah, Teori Dan Metode
1. Peranan AMDAL pada Perencanaan Pembangunan
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pembangunan dibutuhkan untuk mengatasi banyak kasus, termasuk kasus lingkungan. Namun pengalaman memperlihatkan bahwa pembangunan dapat membawa efek negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif ini bisa berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa kita wajib memperhitungkan impak negatif dan berusaha buat menekannya menjadi sekecil-kecilnya. Upaya yg dapat dilakukan buat mewujudkan hal ini merupakan dengan melakukan pembangunan yg berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan semenjak mulai pembangunan itu direncanakan hingga dalam operasi pembangunan itu. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan maka pembangunan dapat berkelanjutan.

Makna pembangunan nasional bukan hanya buat meningkatkan ekonomi namun pada dasarnya memiliki arti yang lebih luas berdasarkan perkembangan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas dimana terkandung peningkatan mutu atau kualitas hidup. Untuk mencapai tujuan ini sumber daya manusia merupakan kiprah primer pada pada memanfaatkan serta mengelola asal daya alam buat kepentingan manusia pula. Oleh karena itu buat mengurangi kerusakan lebih lanjut, maka kebijaksanaan dalam mengelola asal daya alam sebagai kunci utamanya.

Manusia menggunakan segala kemampuannya akan selalu berinteraksi menggunakan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi serta dipengaruhi sang lingkungan hidupnya. Makin akbar perubahan itu makin besar jua dampak terhadap diri insan. Untuk perubahan yang mini manusia menggunakan mudah menyesuaikan dirinya menggunakan perubahn itu, namun pada perubahan yg akbar tak jarang terdapat di luar kemampuan diri sehingga perubahan itu dalam hal-hal tertentu bisa mengancam kelangsungan hidup. 

Makin maju teknologi, makin akbar juga kemampuan manusia buat merubah lingkungan. Pengaruh perubahan lingkungan dampak suatu kegiatan pembangunan terhadap rakyat, ada yg menaruh laba pada kehidupan sosial ekonomi, tetapi terdapat jua yg menyebabkan kerugian terhadap kesejahteraan rakyat sehingga menambah beban rakyat serta mengurangi manfaat berdasarkan pembangunan itu.

Dari uraian di atas pada rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hayati maka nampak citra bagi proyek-proyek yang akan dibangun atau yang sudah berjalan, perlu diteliti sampai seberapa akbar bisa mempertinggi kualitas ligkungan hidup setempat. Selain itu terkandung pula pengertian seberapa besar bisa memaksimumkan manfaat (imbas positif) terhadap lingkungan yang mengandung makna harus dapat membangun kegiatan ekonomi baru dan penyediaan fasilitas sosial ekonomi bagi rakyat setempat. Atau kebalikannya malah menurunkan kualitas lingkungan hidup dalam arti lebih poly menaruh kerugian (imbas negatif) bagi rakyat lebih kurang.

Untuk mengatasi seluruh itu, analisa impak lingkungan adalah keliru satu cara pengendalian yang efektif buat dikembangkan. AMDAL bertujuan buat mengurangi atau meniadakan dampak-efek jelek (negatif) terhadap lingkungan dan bukan Mengganggu aktifitas ekonomi. AMDAL dalam hakekatnya merupakan penyempurnaan suatu proses perencanaan proyek pembangunan pada mana nir saja diperhatikan aspek sosial proyek itu, melainkan jua aspek pengaruh proyek itu terhadap sosial budaya, fisika, kimia, dan lain-lain. 

Tujuan serta target utama AMDAL merupakan buat menjamin supaya suatu bisnis atau kegiatan pembangunan dapat beroperasi secara berkelanjutan tanpa menghambat dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain bisnis atau kegiatan tersebut layak berdasarkan segi aspek lingkungan. Sedangkan kegunaan AMDAL merupakan menjadi bahan untuk mengambil kebijaksanaan (misalnya perizinan) juga menjadi panduan pada menciptakan aneka macam perlakuan penanggulangan pengaruh negatif. 

Secara umum kegunaan AMDAL merupakan:
1. Memberikan berita secara jelas mengenai suatu planning bisnis, berikut pengaruh-pengaruh lingkungan yg akan ditimbulkannya.
2. Menampung aspirasi, pengetahuan serta pendapat penduduk khusunya dalam kasus lingkungan sewaktu akan didirikannya suatu planning proyek atau bisnis.
3. Menampung kabar setempat yang bermanfaat bagi pemrakarsa dan warga dalam mengantisipasi pengaruh dan mengelola lingkungan.

Selanjutnya dalam usaha menjaga kualitas lingkungan, secara khusus AMDAL berguna pada hal:
1. Mencegah supaya potensi sumber daya alam yg dikelola tidak rusak, terutama asal daya alam yg nir bisa diperbaharui.
2. Menghindari imbas samping menurut pengolahan sumber daya terhadap asal daya alam lainnya, proyek-proyek lain, serta warga supaya tidak timbul pertentangan-kontradiksi.
3. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan dampak pencemaran sehingga nir mengganggu kesehatan, ketenangan, dan keselamatan rakyat.
4. Supaya dapat diketahui keuntungannya yg berdaya guna serta berhasil guna bagi bangsa, negara dan rakyat. 

Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan lingkungan sebuah planning usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan bisa optimal meminimalkan kemungkinan impak lingkungan yang negatif, dan dapat memanfaatkan serta mengelola sumber daya alam secara efesien.

Munn (1979) sebagaimana dikutip sang Helneliza, mengemukakan bahwa AMDAL adalah galat satu berdasarkan bagian perencanaan pada rangka membuat tindakan pembangunan yang selaras menggunakan lingkungan, memanfaatkan asal daya lingkungan menggunakan sebaik-baiknya dan menghindari degradasi. Di banyak negara AMDAL dinyatakan berhasil menghambat laju kerusakan lingkungan. Hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro sudah menerangkan hal ini, di mana ± 158 negara menyatakan bahwa AMDAL merupakan indera yang efektif pada mencegah kerusakan lingkungan. AMDAL menjadi bagian yg integral dari pembangunan berkelanjutan, memberi arti bahwa sekurang-kurangnya dengan adanya AMDAL mengingatkan pemrakarsa agar memperhatikan kelestarian lingkungan.

Dalam menciptakan sebuah proyek, sebelumnya tentu harus dilakukan identifikasi perkara mengapa suatu proyek pembangunan ingin dilaksanakan serta tentu saja harus jelas tujuan dan kegunaannya. Selanjutnya diadakan studi kelayakan secara teknik, irit, dan lingkungan sebelum melangkah ke perencanaan dari pembangunan proyek.

Pelaksanaan pembangunan proyek usahakan dimulai sesudah hasi AMDAL diketahui sebagai akibatnya dapat dilakukan meningkatkan secara optimal buat menerima keadaan yg optimum bagi proyek tadi. Dalam hal ini, dampak lingkungan dapat dikendalikan melalui pendekatan teknik serta pengendalian limbah sehingga dapat membuat biaya pengelolaan impak yg murah serta kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.

Menurut Imam Supardi, pengelolaan lingkungan dalam usaha menghindari kerusakan dampak berdasarkan satu proyek pembangunan baru dapat dilakukan sesudah diketahui impak lingkungan yg akan terjadi dampak menurut proyek-proyek pembangunan yg akan dibangun. Untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam pengelolaan lingkungan, maka wajib selalu dilakukan pemantauan semenjak awal pembangunan secara bersiklus. Hasil pemantauan ini dapat dipakai buat memperbaiki bahkan membarui pengelolaan lingkungan, bila memang hasil pemantauan tidak sesuai menggunakan pendugaan pada AMDAL atau kebalikannya pula dapat dipakai buat mengoreksi pendugaan AMDAL yg mungkin kurang mengena.

Dari output AMDAL bisa diketahui apakah proyek pembangunan berpotensi menimbulkan efek atau nir. Jika berdampak akbar terutama yang negatif, tentu saja proyek tadi nir boleh dibangun atau boleh dibangun menggunakan persyaratan tertentu supaya dampak negatif tadi bisa dikurangi hingga nir membahayakan lingkungan. Dampak negatif yg perlu diperhatikan adalah:
1. Apakah imbas negatif yang mungkin muncul itu melampaui atau tidak, batas toleransi pencemaran terhadap kualitas lingkungan.
2. Apakah dengan poly yg akan dibangun ini atau tidak atau akan menyebabkan gejolak terhadap poly pembangunan lain atau masyarakat.
3. Apakah pengaruh negatif ini dapat menghipnotis kehidupan atau keselamatan rakyat atau tidak.
4. Seberapa jauh perubahan ekosistem yang mungkin terjadi menjadi akibat pembangunan proyek ini.

Bila berdasarkan AMDAL tidak akan mengakibatkan dampak yg berarti, maka proyek pembangunan bisa dilaksanakan sesuai usulan menggunakan permanen berpedoman supaya permanen memperhatikan pengaruh-imbas negatif yang mungkin timbul, diluar perkiraan semula. Dalam hal ini, sebelum proyek dilaksanakan haruslah dipengaruhi dulu panduan pengelolaan serta pemantauan lingkungan sebagai usaha menjaga kelestariannya. Perlu kiranya ditekankan, AMDAL menjadi alat dalam perencanaan wajib mempunyai peranan pada pengambilan keputusan tentang proyek yg sedang direncanakan. Artinya, AMDAL nir banyak merupakan jika dilakukan sehabis diambil keputusan buat melaksanakan proyek tersebut. Pada lain pihak jua nir sahih buat menganggap AMDAL menjadi satu-satunya faktor penentu dalam pengambilan keputusan tentang proyek itu. Yang sahih adalah AMDAL adalah masukan tambahan untuk pengambilan keputusan, disamping masukan berdasarkan bidang teknis, ekonomi, dan lain-lainnya. Misalnya dapat saja terjadi laporan AMDAL menyatakan bahwa suatu proyek diprakirakan akan memiliki imbas lingkungan yg akbar serta penting. Tetapi pemerintah menurut atas pertimbangan politik atau keamanan yg mendesak memutuskan buat melaksanakan proyek tadi. Yang penting buat ditinjau pada hal ini adalah keputusan tadi diambil tidak menggunakan mengabaikan aspek lingkungan, melainkan setelah mempertimbangkan dan memperhitungkannya. Dengan ini keputusan tadi diambil menggunakan menyadari sepenuhnya akan kemungkinan akan terjadinya impak lingkungan yang negatif. Maka pemerintah pun dapat melakukan persiapan buat menghadapi kemungkinan tadi sehingga kelak nir akan dihadapkan dalam suatu kejutan yang nir menyenagkan dan nir terduga sebelumnya. Dengan persiapan ini efek negatif bisa diusahakan menjadi sekecil-kecilnya. 

2. Dimensi AMDAL pada Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Dr Ardinis Arbain membicarakan bahwa peranan AMDAL sangat mini dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Menurut beliau yang paling krusial merupakan penataan ruang. Dalam tata ruang itu wajib kentara pemisahan antara daerah budi daya serta tempat lindung. Pembangunan hanya boleh dilakukan di tempat budi daya sedangkan daerah lindung harus permanen terjaga kelestariannya sinkron dengan peruntukannya.

Keadaan alam ini bervariasi, namun bukan berarti bahwa alam ini tidak teratur. Hubungan sebab dampak tetaplah berjalan baik. Tentu saja, insiden-peristiwa yg sekali waktu terjadi misalnya badai, gempa atau letusan gunung berapi nir dapat diramalkan serta nir dapat dihindari. Tetapi frekuensinya dapat dapat digambarkan dengan fungsi distribusi kemungkinan. Namun, peristiwa-insiden misalnya banjir dan tanah longsor merupakan peristiwa yg penyebabnya sebagian besar ditimbulkan oleh ulah tangan manusia. Manusia dengan jumlah serta kegiatannya yg terus bertambah sudah berangsur-angsur merubah tempat lindung sebagai kawasan pemukiman, pabrik dan pertokoan. Akibatnya alam jadi tidak seimbang serta keberlanjutan ekosistem mulai terancam. Sebetulnya alam dapat dipelajari menjadi sebuah sistem. Itulah satu-satunya cara pengkajian impak lingkungan yang perlu dilakukan. 

Tugas utama menurut AMDAL adalah memilah perubahan-perubahan yg ditimbulkan sang aktifitas pembangunan yg ditawarkan supaya sebagai bagian menurut daur alam. Satu eksperimen yg terkendali bisa dilakukan buat membandingkan perubahan pada parameter kualitas lingkungan. Satu sistem disiapkan menjadi pengontrol, fungsi ini dapat dibebankan kepada tempat lindung. Sedangkan sistem alam lainnya yaitu pada kawasan budi daya berlangsung aktifitas pembangunan. Pengkajian AMDAL yang terpenggal-penggal atau mengabaikan satu komponen eksklusif bisa mengakibatkan terganggunya kestabilan komponen yg lain. 

AMDAL dimaksudkan untuk pembangunan, perbaikan pembangunan diidentifikasi menggunakan AMDAL. AMDAL adalah salah satu alat pembangunan berkelanjutan menjadi wahana pengambilan keputusan di tingkat proyek. Seharusnya AMDAL sebagai keliru satu motor pembangunan, tetapi memang bila galat langkah proses AMDAL bisa jadi beban. 

3. Efektifitas AMDAL
Analisis mengenai impak lingkungan telah poly dilakukan di Indonesia serta pada negara lain. Akan namun pengalaman menerangkan, AMDAL tidak selalu memberi output yang kita harapakan sebagai indera perencanaan. Bahkan nir sporadis, AMDAL hanyalah adalah dokumen formal saja, yaitu sekedar untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang. Dengan kata lain, pelaksanaan AMDAL hanyalah pro forma saja. Setelah laporan AMDAL didiskusikan serta disetujui, laporan tersebut disimpan serta tidak dipakai lagi. Laporan itu tidak memiliki efek terhadap perencanaan dan aplikasi proyek selanjutnya. Hal ini pula terjadi pada nagara yang sudah maju, bahkan di Amerika Serikat yang merupakan negara pelopor AMDAL. 

Otto Soemarwoto mengemukakan beberapa karena nir digunakannya AMDAL yaitu:
  1. AMDAL dilakukan terlambat sehingga nir bisa lagi menaruh masukan buat pengambilan keputusan pada proses perencanaan. 
  2. Tidak adanya pemantauan, baik pada termin aplikasi maupun dalam termin operasional proyek.. 
  3. Adanya penyalahgunaan AMDAL buat membenarkan diadakannya suatu proyek. 
Pelaksanaan AMDAL sekedar buat memenuhi persyaratan peraturan saja, membuat energi dan biaya yang dimuntahkan menjadi mubazir. Oleh karenanya perlu dilakukan usaha agar AMDAL benar-sahih dapat sebagai indera perencanaan program dan proyek buat mencapai tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Sehubungan dengan itu, Otto Soemarwoto menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menaikkan efektifitas AMDAL adalah:

Menumbuhkan pengertian di kalangan para perencana dan pemrakarsa proyek bahwa AMDAL bukanlah indera untuk Mengganggu pembangunan, melainkan sebaliknya, AMDAL adalah indera buat menyempurnakan perencanaan pembangunan. Tujuan ini bisa dicapai dengan menginternalkan AMDAL ke dalam telaah kelayakan proyek. Dengan penyempurnaan ini output yang dicapai dalam pembangunan akan dapatlebih baik, yaitu pembangunan itu sebagai berwawasan lingkungan serta terlanjutkan. AMDAL dapat pula menghemat biaya menggunakan menghindari terjadinya porto menjadi mubazir, lantaran kemudian ternyata proyek itu nir layak menurut segi lingkungan. Atau biaya proyek naik sangat besar , lantaran diperlukannya biaya tambahan buat menanggulangi imbas negatif eksklusif. Dalam hal lain terdapat manfaat proyek yg nir termanfaatkan. 

Sebagian akbar laporan AMDAL mengandung banyak sekali data, tetapi poly diantaranya yg nir relevan dengan masalah yang dipelajari. Tidak atau kurang adanya fokus adalah kelemahan yg poly masih ada dalam aplikasi AMDAL. Hal ini perlu dikoreksi menggunakan melakukan restriksi ruang lingkup dengan pelingkupan (scoping) yang baik. Koreksi akan lebih mempermudah penggunaan laporan AMDAL oleh para perencana dan pemrakarsa pembangunan. 

Agar para perencana dan pelaksana proyek bisa memakai output jajak AMDAL dengan mudah, laporan AMDAL haruslah ditulis menggunakan jelas dan menggunakan bahasa yg dapat dimengerti sang perencana serta pelaksana tadi. Untuk maksud ini, ”bahasa ilmiah” perlu dihindari, namun hasil AMDAL itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Rekomendasi yang diberikan haruslah khusus dan jelas sebagai akibatnya para perencana dapat menggunakannya. Rekomendasi yg bersifat generik nir poly gunanya. Misalnya, rekomendasi pada laporan AMDAL buat perencanaan sebuah pabrik yang menyatakan perlunya diambil tindakan pengendalian pencemaran tanpa menampakan bagaimana caranya, tidaklah dapat membantu. Masalah ini akan teratasi dengan sendirinya apabila AMDAL diintegrasikan ke dalam jajak kelayakan karena menggunakan integrasi itu terjadi interaksi umpan balik . 

Persyaratan proyek yg tertera pada laporan AMDAL yang telah disetujui wajib menjadi bagian integral izin pelaksanaan proyek dan mempunyai kekuatan yg sama misalnya apa yang termuat pada rancangan rekayasa yg telah disetujui sang badan yg bersangkutan. 

Adanya komisi AMDAL yg berkualitas dan berwibawa. Badan pemerintah tadi haruslah mempunyai kewenangan buat mengatasi bahwa yg direkomendasikan dalam laporan AMDAL serta telah sebagai keliru satu dasar pemberian izin, benar-sahih dipakai pada perencanaan dan aplikasi proyek yg bersangkutan. Apabila terjadi penyimpangan, badan pemerintah tadi harus dapat menegur serta apabila perlu memerintahkan buat membongkar bagian proyek yg tidak sesuai atau bahkan memerintahkan buat menghentikan proyek tadi. Dalam kaitan ini pemantauan pelaksanaan proyek adalah bagian krusial pada tindak lanjut AMDAL. 

Belum dipakai RPL sebagai umpan balik buat menyempurnakan implementasi dan operasi proyek sebagai akibatnya AMDAL bersifat aktivitas yg tidak aktif serta bukannya dinamis yang dengan terus menerus berinteraksi dengan implementasi serta operasi proyek.

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PUSARAN DESENTRALISASI DAN GOOD GOVERNANCE

Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Pusaran Desentralisasi Dan Good Governance
Di era globalisasi (globalisation) serta perekonomian dunia yg pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang (Coleman, 1990). Para stakeholder yang bekerja di pada sistem perekonomian semakin yakin bahwa kapital nir hanya berwujud indera-indera produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, serta mesin-mesin, akan namun pula berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. 

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan ketrampilan merupakan ‘kemampuan masyarakat buat melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain’. Kemampuan ini akan sebagai modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi jua bagi setiap aspek eksistensi sosial yg lain. Modal yang demikian ini diklaim dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan rakyat untuk bekerja beserta demi mencapai tujuan bersama dalam suatu grup serta organisasi (Coleman, 1990). Oleh karena itu nir salah jika Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi modal (capital) pada pada ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar indera-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga (3) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) kapital kultural (cultural capital), serta (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan menggunakan kepemilikan indera-indera produksi. 

Modal kultural, terinstitusionalisasi pada bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri berdasarkan kewajiban - kewajiban sosial. 

Semakin mengemukanya pencermatan terhadap eksistensi potensi serta peran penting modal sosial di pada sistem perekonomian dewasa ini, mulai terjadi saat para ahli dan pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah kejanggalan serta kegagalan implementasi ’mazab ekonomi neo-klasik’ yg pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian dunia baru dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan sang Fukuyama (1992), bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera sang banyak penyakit. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa implementasi mazab neo-klasik yang dewasa ini diterapkan secara menyeluruh di pada sistem perekonomian global, telah melupakan apa yg ditekankan pada beberapa bagian dari pemikiran pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith. 

Pemikiran Smith ini dituangkan pada bukunya Theory of Moral Sentiments, dimana diungkapkan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam dalam kehidupan sosial serta dalam dasarnya tidak mampu dipahami terpisah berdasarkan adat, moral, serta norma-norma warga dimana proses ekonomi itu terjadi (Muller, 1992). Dengan demikian jauh pada masa sebelumnya, yaitu dalam abad XVIII, para pelopor mazab ekonomi klasik sudah menegaskan bahwa tatanan ekonomi global baru yang akan berlangsung harus tidak boleh meninggalkan eksistensi potensi serta kiprah keterlibatan apa yang dianggap dengan istilah 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting menurut kontrak sosial ini diantaranya apa yg mereka sebut sebagai karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik , serta kewajiban-kewajiban bersama, dimana unsur-unsur penting ini disebut menggunakan modal sosial (Fukuyama, 1992). 

Keberadaan potensi serta peran penting keterlibatan modal sosial pada dalam sistem perekonomian ini jauh di masa sebelumnya jua sudah ditegaskan oleh para ekonom pelopor mazab ekonomi sosialis, dalam beberapa dasa warsa selesainya kelahiran mazab ekonomi klasik. Mark dan Engle menjadi pelopornya mengungkapkan mengenai keberadaan kapital sosial ini menggunakan kata ’keterikatan yg memiliki solidaritas’ (bounded solidarity). Terminologi bounded solidarity menggambarkan tentang kemungkinan munculnya pola hubungan serta kerjasama yg kuat pada suatu gerombolan . 

A. Definisi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) bisa didefinisikan sebagai kemampuan warga buat bekerja beserta, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai gerombolan . Sejumlah kejanggalan serta kegagalan tersebut muncul di bagian atas karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menduga bawa faktor-faktor kultural berdasarkan perilaku (behavior) insan menjadi makluk rasional serta mempunyai kepentingan diri (self interested) menjadi sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992). Singkatnya kehidupan ekonomi tidak sanggup dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk semua aspek insan, termasuk konduite ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis. 

Ditegaskan sang Smith bahwa motivasi ekonomi menjadi sesuatu yang sangat kompleks tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan serta aturan-aturan yang lebih luas. Oleh karenannya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang penting dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas berdasarkan norma-kebiasaan, anggaran-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan norma-norma lain yang beserta-sama membangun masyarakat (Muller, 1992). Serta organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, kapital sosial merupakan kemampuan rakyat untuk melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat krusial bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi pula setiap aspek keberadaan sosial yang lain. 

Fukuyama (1995) mendifinisikan, kapital sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu grup yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar insan yang ditopang sang jaringan, norma-kebiasaan, serta agama sosial yang memungkinkan efisien serta efektifnya koordinasi serta kerjasama buat laba dan kebajikan beserta. 

Sejalan menggunakan Fukuyama dan Cox, Partha serta Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial menjadi hubungan-hubungan yang tercipta dan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial pada rakyat pada spektrum yg luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yg menjaga kesatuan anggota gerombolan secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau kebiasaan-kebiasaan yang diwujudkan dalam konduite yg bisa mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk berafiliasi serta berkoordinasi buat membuat donasi akbar terhadap keberlanjutan produktivitas. 

Adapun dari Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah menjadi setiap interaksi yg terjadi serta diikat oleh suatu agama (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai beserta (shared value) yg mengikat anggota kelompok untuk menciptakan kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien serta efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menyebutkan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yg berkaitan dengan kolaborasi pada warga atau bangsa buat mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang sebagai unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu warga atau bangsa dan sejenisnya. 

B. Dimensi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya menggunakan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ insan. Investasi human capital konvensional adalah pada bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pembinaan sebagai seorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yg sempurna lainnya. Sedangkan kapital sosial merupakan kapabilitas yang muncul berdasarkan agama generik pada dalam sebuah rakyat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial bisa dilembagakan dalam bentuk grup sosial paling mini atau paling mendasar dan juga gerombolan -grup rakyat paling besar seperti halnya negara (bangsa). 

Modal sosial ditransmisikan melalui prosedur-mekanisme kultural misalnya kepercayaan , tradisi, atau norma sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial diperlukan buat menciptakan jenis komunitas moral yg nir mampu diperoleh misalnya pada masalah bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. 

Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu syarat dimana komunitas itu mau saling berbagi buat mencari titik temu kebiasaan-norma dan nilai-nilai bersama. Jika titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka dalam gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk dalam kepentingan-kepentingan komunitas grup, misalnya kesetiaan, kejujuran, serta dependability. Modal sosial lebih didasarkan dalam kebajikan-kebajikan sosial umum. 

Bank Dunia (1999) meyakini kapital sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yg membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial pada rakyat. Modal sosial bukanlah sekedar kumpulan jumlah institusi atau kelompok yg menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan menggunakan spektrum yg lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yg menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. 

Dimensi modal sosial tumbuh di pada suatu warga yang didalamnya berisi nilai serta norma dan pola-pola interaksi sosial pada mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karenanya Adler serta Kwon (2000) menyatakan, dimensi kapital sosial merupakan merupakan citra berdasarkan keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama menurut proses dinamika sosial yg terjadi pada pada rakyat. 

Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yg menciptakan masyarakat bersekutu buat mencapai tujuan beserta atas dasar kebersamaan, dan didalamnya diikat sang nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta serta Serageldin, 1999). 

Dimensi kapital sosial inheren pada struktur rekanan sosial dan jaringan sosial di pada suatu masyarakat yg membentuk aneka macam ragam kewajiban sosial, membentuk iklim saling percaya, membawa saluran kabar, dan memutuskan norma-kebiasaan, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota rakyat tadi (Coleman, 1999). 

Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) menggunakan tegas menyatakan, belum tentu kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai beserta yg dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laris itu otomatis menjadi kapital sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai beserta yang dibangkitkan sang agama (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-asa terhadap keteraturan, kejujuran, serta konduite kooperatif yang ada dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang berdasarkan dalam kebiasaan-norma yg dianut bersama sang para anggotanya. Norma-norma tersebut mampu berisi pernyataan-pernyataan yg berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. 

Setidaknya dengan mendasarkan dalam konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka bisa ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi berdasarkan kapital sosial adalah menaruh fokus dalam kebersamaan masyarakat buat mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, serta senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan serta upaya mencapai tujuan tadi, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, serta bertingkah-laku , dan berafiliasi atau membentuk jaringan dengan pihak lain. 

Beberapa acuan nilai dan unsur yg merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yg partisipatif, perilaku yang saling memperhatikan, saling memberi serta mendapat, saling percaya mempercayai dan diperkuat sang nilai-nilai serta norma-kebiasaan yg mendukungnya.

Unsur lain yg memegang peranan penting merupakan kemauan rakyat buat secara terus menerus agresif baik dalam mempertahakan nilai, menciptakan jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-wangsit baru. Inilah jati diri kapital sosial yang sebenarnya. 

Oleh karena itu dari Hasbullah (2006), dimensi inti jajak dari kapital sosial terletak dalam bagaimana kemampuan warga buat berafiliasi membentuk suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tadi diwarnai oleh suatu pola interrelasi yg imbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun diatas agama yg ditopang sang kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai sosial yang positif dan bertenaga. Kekuatan tadi akan maksimal apabila didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip perilaku yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi serta mendapat, saling percaya mempercayai serta diperkuat sang nilai-nilai dan kebiasaan-norma yg mendukungnya. 

C. Tipologi Modal Sosial 
Mereka yang mempunyai perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik buat menelaah kerekatan interaksi sosial dimana rakyat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola hubungan sosial atau interaksi sosial antar anggota masyarakat atau grup dalam suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan kegiatan mereka pada suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji. 

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan menggunakan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara kapital sosial yg berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya mempunyai akibat yang tidak sama dalam hasil-output yg dapat dicapai dan efek-pengaruh yg bisa timbul pada proses kehidupan dan pembangunan warga . 

1. Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) 
Modal sosial terikat merupakan cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang sebagai ciri dasar yg inheren pada tipologi ini, sekaligus sebagai karakteristik khasnya, pada konteks ide, relasi dan perhatian, merupakan lebih berorientasi ke pada (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yg sebagai anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). 

Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal jua sebagai karakteristik sacred society. Menurut Putman (1993), pada warga sacred society dogma tertentu mendominasi serta mempertahankan struktur masyarakat yg totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di pada pola hubungan sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu serta feodal. 

Hasbullah (2006) menyatakan, dalam mayarakat yg bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki taraf kohesifitas yg bertenaga, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut buat membentuk serta memiliki kapital sosial yg bertenaga. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas grup dalam keadaan tertentu, struktur hierarki feodal, kohesifitas yg bersifat bonding. 

Salah satu kehawatiran poly pihak selama ini merupakan terjadinya penurunan keanggotaan dalam perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas gerombolan , terbatasnya jaringan-jaringan sosial yg dapat diciptakan, menurunnya saling mempercayai serta hancurnya nilai-nilai serta norma-norma sosial yang tumbuh serta berkembang dalam suatu entitas sosial. 

Menurut Woolcock (1998), pada pola yang berbentuk bonding atau exclusive dalam umumnya perbedaan makna hubungan yg terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan pada pola yg berbentuk bridging atau inclusive lebih menunjuk ke ke pola outward looking. 

Misalnya semua anggota kelompok rakyat asal dari suku yang sama. Apa yg menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun temurun yang telah diakui serta dijalankan sebagai bagian menurut rapikan perilaku (code conduct) dan perilaku moral (code of ethics). Mereka lebih ortodok serta mengutamakan solidarity making berdasarkan pada hal-hal yang lebih konkret buat menciptakan diri dan grup masyarakatnya sinkron menggunakan tuntutan nilai-nilai serta norma-kebiasaan yang lebih terbuka. 

Jalinan kohesifitas kultural yg tercipta belum tentu merefkesikam kapital sosial dalam arti luas (beberapa dimensi). Ide dan nilai-nilai dalam warga dibuat sang pengamalan kultural. Nuansa kehidupan merupakan spektrum orthodoxy, di mana kohesifitas, kebersamaan, serta interaksi sosial cenderung lebih kuat serta intens, akan namun rakyat itu sendiri didominasi sang situasi yang sulit karena imbas yang kuat berdasarkan hirarki sosial di atasnya. Mereka yang bertenaga, kelas atau kepentingan, seringkali menggunakan apa yg dikatan menjadi kekerasan simbolik buat memaksa warga yg berada pada bawah garisnya. 

Secara generik pola yg demikian ini akan lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial terkadang berkecenderungan buat menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yg ekstrim mengidap kebencian terhadap warga lain pada luar kelompok, class, asosiasi dan sukunya. Oleh karenanya pada pada keikatannya menggunakan upaya pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang ketika ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara seksama mengenai kesamaan serta konfigurasi kapital sosial di masing-masing wilayah sebagai keliru satu kebutuhan primer. 

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah galat jika dalam rakyat tradisonal yang socially inward looking kelompok-gerombolan rakyat yang terbentuk dikatakan tidak mempunyai kapital sosial. Modal sosial itu terdapat, akan tetapi kekuatannya terbatas dalam satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas kelompok. Kohesifitas gerombolan yg terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional ke dalam yg sangat kuat. Keeratan tadi jua ditimbulkan sang pola nilai yang inheren pada setiap proses hubungan yg pula berpola tradisional. 

Mereka pula miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas serta kompetisi yg dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain berdasarkan sifat serta tipologi ketertutupan sosial ini merupakan sulitnya berbagi ide baru, orientasi baru, serta nilai-nilai dan norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan kebiasaan yg sudah terdapat. Kelompok bonding social capital yg terbentuk dalam akhirnya mempunyai resistensi kuat terhadap perubahan. 

Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yg demikian bahkan akan Mengganggu interaksi yg kreatif menggunakan negara, dengan kelomok warga lain, serta merusak pembangunan rakyat itu sendiri secara holistik. 

Dampak negatif lain yg sangat menonjol di era terkini ini adalah masih kuatnya penguasaan grup warga bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan kuat juga taraf akomodasi rakyat terhadap berbagai konduite defleksi yang dilakukan sang anggota kelompok terhadap gerombolan lain atau negara, yang berada di luar kelompok mereka. 

Demikian pula telah adalah informasi umum, bahwa sering sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana serta para praktisi pembangunan dibentuk kaget serta gelisah mengamati output-output pembangunan yg dicapai. Antar wilayah pada suatu negara stimulus pembangunan yg dicapai cenderung sama, akan namun hasilnya jauh berbeda. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tadi diarahkan dalam varian human capital yg ada di suatu daerah atau wilayah serta beberapa faktor lainnya, akan namun mengabaikan adanya varian kultural yang direfleksikan sang adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi modal sosial. 

2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) 
Akibatnya, grup rakyat tadi terisolasi dan sulit keluar dari pola-pola kehidupan yg sudah turun temurun sebagai kebiasaan. Di negara-negara berkembang, dalam dimensi tertentu, kelompok masyarakat yg demikian dalam dasarnya mewarisi kelimpah-ruahan kapital sosial pada satu dimensi, yaitu dalam bentuk interaksi kekarabatan (kinship) atau gerombolan -gerombolan sosial tradisonal yang berasal menurut garis keturunan (lineage). Apa yg tidak dimiliki adalah rentang radius jaringan (the radius of networks) yg menghubungkan mereka dengan grup warga lainnya, lintas suku, lintas kelas sosial, lintas profesi, dan lintas lapangan pekerjaan. Korupsi misalnya, akan tumbuh fertile serta sulit diberantas, lantaran apa yg dikorup sang anggota kelompok akan menguntungkan bonding class mereka. 

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini biasa juga diklaim bentuk modern berdasarkan suatu pengelompokan, class, asosiasi, atau rakyat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut berdasarkan pada prinsip-prinsip universal mengenai: (a) persamaan, (b) kebebasan, dan (c) nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian (kemanusiaan, terbuka, serta berdikari). 

Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu gerombolan masyarakat memiliki hak-hak serta kewajiban yg sama. Setiap keputusan kelompok menurut konvensi yg egaliter berdasarkan setiap anggota kelompok. Pimpinan grup warga hanya menjalankan kesepakatan -kesepakatan yg telah ditentukan sang para anggota kelompok. 

Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota grup bebas berbicara, mengemukakan pendapat serta ilham yang bisa menyebarkan grup tersebut. Iklim kebebasan yg tercipta memungkinkan wangsit-pandangan baru kreatif ada dari pada (gerombolan ), yaitu berdasarkan majemuk pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya wangsit-pandangan baru kolektif yg tumbuh dalam kelompok tersebut. 

Prinsip kemajemukan serta humanitarian, bahwasanya nilai-nilai humanisme, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota serta orang lain yg merupakan prinsip dasar pada pengembangan asosiasi, group, gerombolan , atau suatu masyarakat. Kehendak bertenaga buat membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yg dihadapi orang lain, adalah adalah dasar-dasar ilham humanitarian. 

Sebagai konsekuensinya, rakyat yang menyandarkan pada bridging social capital umumnya tidak sejenis dari aneka macam ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota grup memiliki akses yg sama untuk menciptakan jaringan atau koneksi keluar kelompoknya menggunakan prinsip persamaan, humanisme, serta kebebasan yg dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan buat lebih cepat berkembang menggunakan kemampuan menciptakan networking yg bertenaga, menggerakkan bukti diri yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, dan akumulasi ide yang lebih memungkinkan buat berkembang sesuai menggunakan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. 

Mengikuti Colemen (1999), tipologi warga bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan dalam dimensi fight for (berjuang buat). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama buat menuntaskan kasus yang dihadapi sang grup (dalam situasi eksklusif, termasuk masalah di dalam gerombolan atau dilema yg terjadi pada luar kelompok tadi). Pada keadaan eksklusif jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan -kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada gerombolan rakyat yang demikian ini, perilaku gerombolan yg dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). 

Hal ini sangat berbeda dengan grup tradisional yg memiliki pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yang berada pada piramida atas memiliki wewenang dan hak- hak yg lebih akbar, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan serta laba ekonomi. 

Kebebasan (freedom of conscience) merupakan jati diri grup dan anggota grup (freedom of conscience). Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya donasi akbar terhadap perkembangan organisasi. 

Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu kesadaran yg bertenaga bahwa hidup yang berwarna warni, menggunakan beragam suku, rona kulit serta cara hidup adalah bagian menurut kekayaan manusia. Pada spektrum ini kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berpikir yang tidak sama berada dalam titik yg minimal. Kelompok ini memiliki sikap dan pandangan yang terbuka serta senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar kelompok masyarakatnya (outward looking). 

Bentuk kapital sosial yg menjembatani (bridging capital social) biasanya sanggup memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan warga . Hasil-output kajian pada banyak negara menerangkan bahwa menggunakan tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan perkembangan pada banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, meningkatkan kecepatan keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hayati manusia akan menaikkan serta bangsa menjadi jauh lebih bertenaga. 

Persoalannya dari Hasbullah (2006), fakta yg terdapat pada negara-negara berkembang menampakan kesamaan bahwa dampak positif modal sosial menurut prosedur outward looking tidak berjalan misalnya yang diidealkan. Walaupun asosiasi yang dibangun oleh rakyat menggunakan keaggotaannya yg hiterogen serta dibentuk dengan penekanan dan jiwa buat mengatasi problem sosial ekonomi rakyat (masalah solving oriented), akan namun nir mampu bekerja secara optimal. 

Buruknya unsur-unusr penopang seperti trust, dan norma-norma yang telah mengalami kehancuran akibat represi rezim otoriter yang pengaruhnya cukup pada pada kehidupan masyarakat, kapital sosial yg terbentuk pun menjadi kurang sekuat dan seberpengaruh misalnya yg diharapkan. Akibatnya nir memiliki efek yang signifikan bagi pemugaran kualitas hidup individu, juga bagi perkembangan rakyat dan bangsa secara lebih luas. 

D. Parameter serta Indkator Modal Sosial
Modal sosial mirip bentuk-bentuk kapital lainnya, pada arti dia juga bersifat produktif. Modal sosial bisa dijelaskan menjadi produk relasi manusia satu sama lain, khususnya rekanan yang intim serta konsisten. Modal sosial menunjuk dalam jaringan, kebiasaan dan kepercayaan yg berpotensi dalam produktivitas rakyat. Tetapi demikian, kapital sosial tidak sinkron dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah menggunakan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial nir akan habis bila dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih acapkali ditimbulkan bukan karena dipakai, melainkan lantaran ia tidak dipergunakan. Berbeda menggunakan modal manusia, modal sosial pula menunjuk pada kemampuan orang buat berasosiasi menggunakan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar pada kebiasaan-norma dan nilai-nilai beserta, asosiasi antar insan tersebut membentuk agama yang pada gilirannya mempunyai nilai ekonomi yg akbar dan terukur (Fukuyama, 1995).

Merujuk dalam Ridell (1997), terdapat tiga parameter kapital sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-kebiasaan (norms) dan jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), agama merupakan harapan yg tumbuh pada pada sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku amanah, teratur, serta kerjasama menurut kebiasaan-kebiasaan yang dianut bersama. 

Kepercayaan sosial adalah penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) lalu mencatat bahwa dalam rakyat yg mempunyai taraf agama tinggi, anggaran-anggaran sosial cenderung bersifat positif; interaksi-interaksi pula bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: 5). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk menurut modal sosial yg baik. Adanya kapital sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan kapital sosial akan mengakibatkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma
Norma-kebiasaan terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, asa-asa serta tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber berdasarkan kepercayaan , pedoman moral, juga standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. 

Norma-kebiasaan dibangun serta berkembang menurut sejarah kerjasama di masa lalu serta diterapkan buat mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-kebiasaan bisa merupaka pra-syarat maupun produk dari agama sosial.

3. Jaringan
Infrastruktur dinamis berdasarkan kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan hubungan, memungkinkan tumbuhnya agama dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yg kokoh. Orang mengetahui dan bertemu menggunakan orang lain. Mereka lalu menciptakan inter-rekanan yg kental, baik bersifat formal juga informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya dan manfaat-manfaat menurut partisipasinya itu.

Bersandar dalam parameter di atas, beberapa indikator kunci yg dapat dijadikan berukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
a. Perasaan bukti diri;
b. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi;
c. Sistem agama dan ideologi;
d. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan;
e. Ketakutan-ketakutan;
f. Sikap-sikap terhadap anggota lain pada masyarakat;
g. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, asal serta fasilitas (contohnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, agunan sosial);
h. Opini tentang kinerja pemerintah yang sudah dilakukan terdahulu;
i. Keyakinan pada lembaga-lembaga warga dan orang-orang pada umumnya;
j. Tingkat kepercayaan ;
k. Kepuasaan pada hayati serta bidang-bidang kemasyarakatan lainnya;
l. Harapan-asa yg ingin dicapai pada masa depan;

Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan berdasarkan bawah (bottom-up), tidak hierarkis serta berdasar dalam interaksi yg saling menguntungkan. Oleh karena itu, kapital sosial bukan adalah produk dari inisiatif serta kebijakan pemerintah. Tetapi demikian, modal sosial bisa ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PUSARAN DESENTRALISASI DAN GOOD GOVERNANCE

Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Pusaran Desentralisasi Dan Good Governance
Di era globalisasi (globalisation) serta perekonomian dunia yang pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin kentara bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang (Coleman, 1990). Para stakeholder yang bekerja di pada sistem perekonomian semakin yakin bahwa kapital nir hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, indera-alat, dan mesin-mesin, akan namun juga berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ insan. 

Kandungan lain berdasarkan human capital selain pengetahun dan ketrampilan merupakan ‘kemampuan warga untuk melakukan asosiasi (bekerjasama) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal krusial bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun pula bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yg demikian ini diklaim menggunakan ‘kapital sosial’ (social capital), yaitu kemampuan warga buat bekerja bersama demi mencapai tujuan beserta pada suatu gerombolan serta organisasi (Coleman, 1990). Oleh karenanya nir galat apabila Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi kapital (capital) pada pada ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yg lebih luas dan dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (3) golongan, yaitu: (a) kapital ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), serta (c) kapital sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan indera-alat produksi. 

Modal kultural, terinstitusionalisasi pada bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial. 

Semakin mengemukanya pencermatan terhadap eksistensi potensi serta peran penting modal sosial pada pada sistem perekonomian dewasa ini, mulai terjadi saat para ahli serta pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah kejanggalan serta kegagalan implementasi ’mazab ekonomi neo-klasik’ yang pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian dunia baru dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan sang Fukuyama (1992), bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera oleh banyak penyakit. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa implementasi mazab neo-klasik yg dewasa ini diterapkan secara menyeluruh pada dalam sistem perekonomian global, telah melupakan apa yang ditekankan pada beberapa bagian berdasarkan pemikiran pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith. 

Pemikiran Smith ini dituangkan dalam bukunya Theory of Moral Sentiments, dimana diungkapkan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial serta dalam dasarnya tidak mampu dipahami terpisah berdasarkan istiadat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan warga dimana proses ekonomi itu terjadi (Muller, 1992). Dengan demikian jauh di masa sebelumnya, yaitu pada abad XVIII, para pelopor mazab ekonomi klasik telah menegaskan bahwa tatanan ekonomi dunia baru yang akan berlangsung harus tidak boleh meninggalkan keberadaan potensi serta kiprah keterlibatan apa yang dianggap menggunakan istilah 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting menurut kontrak sosial ini antara lain apa yang mereka sebut menjadi ciri jaringan sosial, pola-pola imbal pulang, dan kewajiban-kewajiban beserta, dimana unsur-unsur penting ini dianggap menggunakan modal sosial (Fukuyama, 1992). 

Keberadaan potensi serta peran krusial keterlibatan modal sosial di pada sistem perekonomian ini jauh di masa sebelumnya pula sudah ditegaskan sang para ekonom pelopor mazab ekonomi sosialis, dalam beberapa dekade setelah kelahiran mazab ekonomi klasik. Mark dan Engle menjadi pelopornya menjelaskan mengenai eksistensi modal sosial ini dengan istilah ’keterikatan yang memiliki solidaritas’ (bounded solidarity). Terminologi bounded solidarity mendeskripsikan mengenai kemungkinan munculnya pola interaksi serta kerjasama yg kuat pada suatu gerombolan . 

A. Definisi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) bisa didefinisikan sebagai kemampuan rakyat buat bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, pada dalam berbagai gerombolan . Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul pada permukaan karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bawa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional serta memiliki kepentingan diri (self interested) sebagai sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992). Singkatnya kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk semua aspek manusia, termasuk konduite ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis. 

Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yg sangat kompleks tertancap dalam norma-kebiasaan serta anggaran-anggaran yang lebih luas. Oleh karenannya kegiatan ekonomi merepresentasikan bagian yg penting menurut kehidupan sosial dan diikat beserta oleh varietas yang luas berdasarkan kebiasaan-norma, aturan-anggaran, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-norma lain yg beserta-sama membangun warga (Muller, 1992). Serta organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat buat melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain serta selanjutnya sebagai kekuatan yg sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. 

Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau norma-kebiasaan informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu grup yg memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses interaksi antar insan yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yg memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama buat laba dan kebajikan bersama. 

Sejalan menggunakan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-interaksi yg tercipta serta norma-kebiasaan yg membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial pada rakyat dalam spektrum yang luas, yaitu menjadi perekat sosial (social glue) yg menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yg diwujudkan dalam konduite yg bisa mendorong kemampuan dan kapabilitas buat berhubungan dan berkoordinasi buat membuat kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. 

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), kapital sosial adalah menjadi setiap interaksi yg terjadi dan diikat oleh suatu agama (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), serta nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota grup buat menciptakan kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen serta Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, kapital sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama pada warga atau bangsa buat mencapai kapasitas hayati yang lebih baik, ditopang sang nilai-nilai dan norma yg menjadi unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu rakyat atau bangsa dan sejenisnya. 

B. Dimensi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) tidak sinkron definisi serta terminologinya dengan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital merupakan ‘pengetahuan’ serta ‘ketrampilan’ insan. Investasi human capital konvensional adalah pada bentuk misalnya halnya pendidikan universitas, pembinaan sebagai seseorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yg sempurna lainnya. Sedangkan kapital sosial merupakan kapabilitas yg ada berdasarkan agama umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial bisa dilembagakan dalam bentuk grup sosial paling kecil atau paling fundamental serta jua gerombolan -gerombolan warga paling besar misalnya halnya negara (bangsa). 

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti kepercayaan , tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan buat menciptakan jenis komunitas moral yang nir sanggup diperoleh misalnya pada perkara bentuk-bentuk human capital. Akuisisi kapital sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas serta dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. 

Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu syarat dimana komunitas itu mau saling menyebarkan buat mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai beserta. Jika titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk dalam kepentingan-kepentingan komunitas gerombolan , misalnya kesetiaan, kejujuran, serta dependability. Modal sosial lebih didasarkan dalam kebajikan-kebajikan sosial generik. 

Bank Dunia (1999) meyakini modal sosial merupakan sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, serta kebiasaan-norma yg menciptakan kualitas serta kuantitas interaksi sosial pada warga . Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau grup yg menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu menjadi perekat (social glue) yg menjaga kesatuan anggota gerombolan secara beserta-sama. 

Dimensi kapital sosial tumbuh pada dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola hubungan sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock serta Narayan, 2000). Oleh karenanya Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial merupakan adalah gambaran menurut keterikatan internal yg mewarnai struktur kolektif serta memberikan kohesifitas dan laba-laba beserta menurut proses dinamika sosial yg terjadi pada pada warga . 

Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yang menciptakan rakyat bersekutu buat mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999). 

Dimensi modal sosial melekat pada struktur rekanan sosial serta jaringan sosial pada dalam suatu warga yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, membentuk iklim saling percaya, membawa saluran warta, dan tetapkan kebiasaan-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). 

Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) menggunakan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai beserta yang dibangkitkan oleh agama (trust). Dimana trust ini adalah adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, serta perilaku kooperatif yang timbul dari dalam sebuah komunitas rakyat yg berdasarkan pada norma-kebiasaan yang dianut bersama sang para anggotanya. Norma-norma tadi sanggup berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. 

Setidaknya dengan mendasarkan dalam konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi berdasarkan modal sosial merupakan memberikan fokus dalam kebersamaan rakyat buat mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan serta penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-kebiasaan yg dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, serta bertingkah-laku , dan berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain. 

Beberapa acuan nilai serta unsur yang adalah ruh kapital sosial diantaranya: perilaku yg partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai serta diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-kebiasaan yang mendukungnya.

Unsur lain yang memegang peranan penting merupakan kemauan warga buat secara terus menerus proaktif baik pada mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama juga menggunakan penciptaan kreasi serta ide-ilham baru. Inilah jati diri modal sosial yg sebenarnya. 

Oleh karenanya dari Hasbullah (2006), dimensi inti telaah menurut kapital sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat buat berafiliasi membentuk suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tadi diwarnai sang suatu pola interrelasi yang imbal kembali dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yg ditopang sang norma-norma serta nilai-nilai sosial yang positif dan bertenaga. Kekuatan tadi akan maksimal bila didukung oleh semangat agresif membuat jalinan interaksi diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai serta norma-kebiasaan yg mendukungnya. 

C. Tipologi Modal Sosial 
Mereka yang memiliki perhatian terhadap kapital sosial pada umumnya tertarik buat menyelidiki kerekatan hubungan sosial dimana rakyat terlibat didalamnya, terutama kaitannya menggunakan pola-pola interaksi sosial atau interaksi sosial antar anggota masyarakat atau kelompok pada suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik buat dikaji. 

Dimensi lain yg juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara kapital sosial yg berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yg tidak sinkron pada output-hasil yang bisa dicapai dan pengaruh-efek yang bisa ada dalam proses kehidupan dan pembangunan rakyat. 

1. Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) 
Modal sosial terikat merupakan cenderung bersifat tertentu (Hasbullah, 2006). Apa yg sebagai karakteristik dasar yg inheren pada tipologi ini, sekaligus menjadi ciri khasnya, pada konteks ilham, relasi serta perhatian, merupakan lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan menggunakan berorientasi keluar (outward looking). Ragam rakyat yang menjadi anggota kelompok ini dalam biasanya homogenius (cenderung homogen). 

Di pada bahasa lain bonding social capital ini dikenal jua sebagai karakteristik sacred society. Menurut Putman (1993), dalam rakyat sacred society dogma tertentu mendominasi serta mempertahankan struktur rakyat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai serta kebiasaan-norma yg menguntungkan level hierarki tertentu serta feodal. 

Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yg bonded atau inward looking atau sacred, meskipun interaksi sosial yang tercipta mempunyai taraf kohesifitas yg bertenaga, akan namun kurang merefleksikan kemampuan rakyat tadi buat membentuk dan mempunyai modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar pada batas kelompok pada keadaan eksklusif, struktur hierarki feodal, kohesifitas yg bersifat bonding. 

Salah satu kehawatiran poly pihak selama ini merupakan terjadinya penurunan keanggotaan pada perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas grup, terbatasnya jaringan-jaringan sosial yg bisa diciptakan, menurunnya saling mempercayai serta hancurnya nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan sosial yg tumbuh serta berkembang dalam suatu entitas sosial. 

Menurut Woolcock (1998), dalam pola yg berbentuk bonding atau exclusive pada umumnya perbedaan makna hubungan yg terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan dalam pola yg berbentuk bridging atau inclusive lebih menunjuk ke ke pola outward looking. 

Misalnya semua anggota grup warga asal dari suku yg sama. Apa yang sebagai perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yg turun temurun yang telah diakui serta dijalankan menjadi bagian dari rapikan konduite (code conduct) dan konduite moral (code of ethics). Mereka lebih konservatif dan mengutamakan solidarity making berdasarkan pada hal-hal yg lebih konkret buat membentuk diri dan grup masyarakatnya sinkron dengan tuntutan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg lebih terbuka. 

Jalinan kohesifitas kultural yang tercipta belum tentu merefkesikam modal sosial dalam arti luas (beberapa dimensi). Ide serta nilai-nilai pada masyarakat dibentuk sang pengamalan kultural. Nuansa kehidupan merupakan spektrum orthodoxy, pada mana kohesifitas, kebersamaan, serta hubungan sosial cenderung lebih kuat serta intens, akan namun warga itu sendiri didominasi sang situasi yang sulit lantaran pengaruh yang kuat menurut hirarki sosial pada atasnya. Mereka yang bertenaga, kelas atau kepentingan, sering memakai apa yang dikatan sebagai kekerasan simbolik buat memaksa rakyat yg berada pada bawah garisnya. 

Secara generik pola yg demikian ini akan lebih banyak membawa impak negatif dibandingkan dengan dampak positifnya. Kekuatan hubungan sosial terkadang berkecenderungan buat menjauhi, menghindar, bahkan dalam situasi yang ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain pada luar grup, class, asosiasi dan sukunya. Oleh karenanya di dalam keikatannya menggunakan upaya pembangunan rakyat pada negara-negara berkembang waktu ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara akurat mengenai kesamaan serta konfigurasi kapital sosial di masing-masing daerah sebagai galat satu kebutuhan utama. 

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru apabila dalam rakyat tradisonal yang socially inward looking grup-kelompok warga yg terbentuk dikatakan tidak mempunyai kapital sosial. Modal sosial itu terdapat, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas gerombolan . Kohesifitas kelompok yg terbentuk karena faktor keeratan interaksi emosional ke pada yg sangat kuat. Keeratan tersebut jua disebabkan sang pola nilai yg melekat pada setiap proses interaksi yang jua berpola tradisional. 

Mereka jua miskin menggunakan prinsip-prinsip kehidupan rakyat modern yg mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yg dibangun atas prinsip pergaulan yg egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya berbagi pandangan baru baru, orientasi baru, dan nilai-nilai dan kebiasaan baru yang memperkaya nilai-nilai serta norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi bertenaga terhadap perubahan. 

Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yg demikian bahkan akan menghambat interaksi yang kreatif menggunakan negara, menggunakan kelomok masyarakat lain, serta merusak pembangunan rakyat itu sendiri secara keseluruhan. 

Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era terkini ini adalah masih kuatnya dominasi gerombolan warga bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan bertenaga pula tingkat akomodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yg dilakukan oleh anggota grup terhadap grup lain atau negara, yang berada di luar grup mereka. 

Demikian pula sudah merupakan berita umum, bahwa tak jarang sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana serta para praktisi pembangunan dibentuk kaget serta gelisah mengamati output-output pembangunan yg dicapai. Antar wilayah pada suatu negara stimulus pembangunan yg dicapai cenderung sama, akan namun hasilnya jauh tidak selaras. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tadi diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu daerah atau daerah serta beberapa faktor lainnya, akan namun mengabaikan adanya varian kultural yg direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi kapital sosial. 

2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) 
Akibatnya, kelompok rakyat tersebut terisolasi serta sulit keluar menurut pola-pola kehidupan yang sudah turun temurun menjadi kebiasaan. Di negara-negara berkembang, pada dimensi tertentu, gerombolan masyarakat yg demikian pada dasarnya mewarisi kelimpah-ruahan kapital sosial pada satu dimensi, yaitu pada bentuk hubungan kekarabatan (kinship) atau kelompok-grup sosial tradisonal yang asal berdasarkan garis keturunan (lineage). Apa yang nir dimiliki adalah rentang radius jaringan (the radius of networks) yang menghubungkan mereka menggunakan gerombolan warga lainnya, lintas suku, lintas kelas sosial, lintas profesi, serta lintas lapangan pekerjaan. Korupsi contohnya, akan tumbuh subur dan sulit diberantas, karena apa yang dikorup oleh anggota grup akan menguntungkan bonding class mereka. 

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk kapital sosial yg menjembatani ini biasa pula dianggap bentuk terkini berdasarkan suatu pengelompokan, class, asosiasi, atau warga . Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut berdasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, dan (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). 

Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota pada suatu gerombolan masyarakat memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama. Setiap keputusan gerombolan berdasarkan konvensi yang egaliter berdasarkan setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok warga hanya menjalankan kesepakatan -konvensi yang sudah dipengaruhi oleh para anggota grup. 

Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota gerombolan bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan pandangan baru yg dapat menyebarkan grup tersebut. Iklim kebebasan yg tercipta memungkinkan inspirasi-ide kreatif muncul berdasarkan dalam (kelompok), yaitu menurut majemuk pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya inspirasi-pandangan baru kolektif yg tumbuh dalam kelompok tadi. 

Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai humanisme, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota serta orang lain yang merupakan prinsip dasar pada pengembangan asosiasi, class, kelompok, atau suatu rakyat. Kehendak bertenaga buat membantu orang lain, mencicipi penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yg dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar wangsit humanitarian. 

Sebagai konsekuensinya, warga yang menyandarkan dalam bridging social capital umumnya heterogen dari aneka macam ragam unsur latar belakang budaya serta suku. Setiap anggota grup memiliki akses yang sama buat membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yg dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan buat lebih cepat berkembang dengan kemampuan membangun networking yang bertenaga, menggerakkan identitas yg lebih luas serta reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ilham yg lebih memungkinkan buat berkembang sesuai menggunakan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. 

Mengikuti Colemen (1999), tipologi warga bridging social capital dalam gerakannya lebih menaruh tekanan dalam dimensi fight for (berjuang buat). Yaitu yg mengarah kepada pencarian jawaban bersama buat menyelesaikan perkara yang dihadapi sang kelompok (pada situasi tertentu, termasuk duduk perkara di pada kelompok atau duduk perkara yg terjadi pada luar kelompok tadi). Pada keadaan eksklusif jiwa gerakan lebih diwarnai sang semangat fight againts yg bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul serta kepercayaan -agama tradisional yang dianut sang gerombolan masyarakat. Pada kelompok warga yg demikian ini, konduite gerombolan yang secara umum dikuasai adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). 

Hal ini sangat tidak sama menggunakan gerombolan tradisional yang mempunyai pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yg berada pada piramida atas memiliki kewenangan serta hak- hak yg lebih akbar, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan serta keuntungan ekonomi. 

Kebebasan (freedom of conscience) adalah jati diri kelompok serta anggota kelompok (freedom of conscience). Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya donasi akbar terhadap perkembangan organisasi. 

Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu pencerahan yg bertenaga bahwa hidup yg berwarna warni, menggunakan beragam suku, warna kulit dan cara hidup adalah bagian menurut kekayaan insan. Pada spektrum ini kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berpikir yg berbeda berada pada titik yang minimal. Kelompok ini memiliki sikap serta pandangan yang terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar gerombolan masyarakatnya (outward looking). 

Bentuk modal sosial yg menjembatani (bridging capital social) umumnya bisa memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan rakyat. Hasil-output kajian pada poly negara menerangkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk kapital sosial yg menjembatani ini memungkinan perkembangan pada banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hayati insan akan menaikkan serta bangsa menjadi jauh lebih kuat. 

Persoalannya menurut Hasbullah (2006), liputan yang terdapat di negara-negara berkembang menampakan kecenderungan bahwa impak positif kapital sosial menurut prosedur outward looking tidak berjalan misalnya yg diidealkan. Walaupun asosiasi yg dibangun sang warga dengan keaggotaannya yg hiterogen dan dibuat dengan penekanan serta jiwa buat mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat (duduk perkara solving oriented), akan tetapi nir mampu bekerja secara optimal. 

Buruknya unsur-unusr penopang seperti trust, dan kebiasaan-kebiasaan yg sudah mengalami kehancuran dampak represi rezim otoriter yang pengaruhnya cukup pada dalam kehidupan masyarakat, modal sosial yg terbentuk pun menjadi kurang sekuat serta seberpengaruh seperti yg dibutuhkan. Akibatnya tidak memiliki imbas yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup individu, juga bagi perkembangan warga dan bangsa secara lebih luas. 

D. Parameter serta Indkator Modal Sosial
Modal sosial seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, dalam arti ia jua bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yg intim dan konsisten. Modal sosial memilih dalam jaringan, norma dan agama yang berpotensi pada produktivitas rakyat. Tetapi demikian, kapital sosial berbeda dengan modal finansial, karena kapital sosial bersifat kumulatif serta bertambah dengan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, kapital sosial tidak akan habis apabila digunakan, melainkan semakin semakin tinggi. Rusaknya modal sosial lebih seringkali disebabkan bukan lantaran dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda menggunakan kapital manusia, kapital sosial jua menunjuk dalam kemampuan orang buat berasosiasi menggunakan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar dalam norma-kebiasaan serta nilai-nilai bersama, asosiasi antar insan tersebut membuat agama yang dalam gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar serta terukur (Fukuyama, 1995).

Merujuk dalam Ridell (1997), terdapat tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) serta jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah asa yg tumbuh pada dalam sebuah warga yg ditunjukkan sang adanya perilaku amanah, teratur, dan kerjasama berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dianut bersama. 

Kepercayaan sosial adalah penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) lalu mencatat bahwa pada rakyat yang memiliki taraf agama tinggi, anggaran-aturan sosial cenderung bersifat positif; interaksi-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: lima). Kepercayaan sosial pada dasarnya adalah produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yg baik ditandai oleh adanya lembaga-forum sosial yang kokoh; kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang serasi (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menyebabkan anomie serta perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, asa-asa dan tujuan-tujuan yang diyakini serta dijalankan bersama sang sekelompok orang. Norma-kebiasaan bisa bersumber dari agama, panduan moral, juga baku-baku sekuler misalnya halnya kode etik profesional. 

Norma-kebiasaan dibangun serta berkembang dari sejarah kerjasama pada masa kemudian serta diterapkan buat mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma bisa merupaka pra-syarat juga produk dari agama sosial.

3. Jaringan
Infrastruktur bergerak maju dari kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tadi memfasilitasi terjadinya komunikasi dan hubungan, memungkinkan tumbuhnya agama serta memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung mempunyai jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu menggunakan orang lain. Mereka lalu membangun inter-relasi yg kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya dan manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar pada parameter pada atas, beberapa indikator kunci yg dapat dijadikan ukuran modal sosial diantaranya (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
a. Perasaan bukti diri;
b. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi;
c. Sistem agama serta ideologi;
d. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan;
e. Ketakutan-ketakutan;
f. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat;
g. Persepsi tentang akses terhadap pelayanan, sumber serta fasilitas (contohnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial);
h. Opini mengenai kinerja pemerintah yg sudah dilakukan terdahulu;
i. Keyakinan pada lembaga-lembaga warga serta orang-orang dalam umumnya;
j. Tingkat kepercayaan ;
k. Kepuasaan pada hidup serta bidang-bidang kemasyarakatan lainnya;
l. Harapan-harapan yang ingin dicapai pada masa depan;

Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis serta berdasar pada hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, kapital sosial bukan merupakan produk berdasarkan inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, kapital sosial bisa ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).