INDONESIA ADALAH NEGARA KONSTITUSIONAL

Visiunversal---Warga Belajar dan anak didik sekalian, Perjuangan bangsa Indonesia buat mengusir penjajah mempunyai tujuan utuk mendirikan negara yang merdeka bebas menurut tindakan sewenang-wenang yang dilakukan sang penjajah, Para pejuang bangsa bercita-cita membentuk negara yg demokratis nir diktator dan nir absolut tetapi bercita-cita membentuk negara yg memiliki pemerintahan yang dari pada peraturan /aturan atau negara yg konstitusional.

Sistem pemerintahan Indonesia menurut pada konstitusi, tidak bersifat absolut. Pemerintahan konstitusional artinya pemerintahan yang menurut pada konstitusi atau Undang-undang Dasar.

Hal ini berdasarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

  1. Pasal 1 ayat 2 berbunyi "Kedaulatan berada ditangan warga serta dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar".
  2. Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar".
Negara konstitusional mempunyai konstitusi yang bercirikan:
Membatasi kekuasaan pemerintah
Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara

Berdasarkan penjesalan tersebut bisa kita simpulkan bahwa Indonesia adalah negara yg demokrasi (kekuasaan di tangan warga ) bukan ditangan pemimpin atau penguasa, para penyelenggara negara hanya menjalankan amanat berdasarkan warga . Para penyelenggara negara yaitu orang-orang yang dipercaya masyarakat menduduki jabatan penting atau anggota berdasarkan forum-lembaga tinggi negara, mereka menjalankan tugas sesuai dengan kehendak rakyat yg dituangkan pada dalam konstitusi.

Demikian tentang kompendium Indonesia merupakan negara konstitusional. Semoga berguna. Terimakasih. 

PENGERTIAN SISTEM HUKUM NASIONAL MENURUT AHLI

Pengertian Sistem Hukum Nasional 
Sistem merupakan kesatuan yg terdiri menurut bagian-bagian yang satu dengan yg lain saling bergantung buat mencapai tujuan tertentu. Ada juga yang mengungkapkan bahwa sistem adalah holistik yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yg terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu menggunakan yg lain secara teratur. Sedangkan hukum nasional merupakan hukum atau peratuan perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan buat mencapai tujuan, dasar, dan cita aturan suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau perundang-undangan yg dibangun buat mencapai tujuan negara yg bersumber dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. 

Dikatakan demikian, karena pada dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, serta cita hukum negara Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spesial budaya bangsa Indonesia yg tumbuh serta berkembang dalam pencerahan hidup bermasyarakat selama berabad-abad. 

Dengan demikian, sistem aturan nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di semua wilayah Indonesia yang mencakup semua unsur aturan (seperti isi, struktur, budaya, wahana, peraturan perundang-undangan, dan seluruh sub unsurnya) yg antara satu dengan yang lain saling bergantung serta yg bersumber berdasarkan Pembukaan serta pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 (Mahfud, 2006:21). 

Unsur-unsur sistem hukum 
Ketika menyebut unsur-unsur utama sistem aturan, poly orang mengacu dalam Friedman yg menjelaskan adanya 3 unsur yakni substance(materi/substansi), structure (struktur), serta culture (budaya). Tetapi, banyak juga yg lalu mengembangkannya ke dalam unsur-unsur yg lebih khusus sehingga komponennya bukan hanya 3 namun lebih berdasarkan itu. GBHN-GBHN menjelang masa akhir Orde Baru pada politik pembangunan hukumnya contohnya menyebut empat unsur yakni isi, aparat, budaya, serta wahana-prasarana (Mahfud, 2006:22). 

Sebagai pembanding, Sunaryati Hartono merinci unsur-unsur sistem aturan ke dalam 12 unsur yaitu (1) filsafat (termasuk asas-asas hukum), (dua) substansi atau materi aturan, (3) keseluruhan lembaga-lembaga hukum, (4) proses serta mekanisme aturan, (5) asal daya insan (brainware), (6) sistem pendidikan hukum, (7) susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antarlembaga aturan, (8) alat-alat perkantoran forum-forum hukum (hardware), (9) aplikasi (aplikasi) misalnya petunjuk aplikasi yg tepat, (10) kabar aturan, perpustakaan serta penerbitan dokumen-dokumen serta buku atau website (melalui internet), (11) pencerahan aturan serta konduite rakyat (budaya hukum), serta (12) anggaran belanja negara yg disediakan bagi pelaksanaan tugas-tugas lembaga aturan dan penyelenggaraan pembangunan hukum yang profesional. Sementara itu, Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa kasus-perkara yang dipersoalkan pada sistem hukum mencakup 5 hal, yaitu (1) elemen atau unsur-unsur sistem aturan, (dua) bidang-bidang sistem aturan, (tiga) konsistensi sistem hukum, (4) pengertianpengertian dasar sistem hukum, serta (lima) kelengkapan sistem aturan. 

Peradilan Nasional 
Kebebasan lembaga peradilan berdasarkan campur tangan serta intervensi kekuatan pada luarnya merupakan kasus yang sangat esensial pada penegakan aturan. Di Indonesia, masalah ini sudah sebagai diskusi resmi di kalangan pendiri Republik Indonesia di BPUPKI dan sebagai diskusi publik semenjak awal Orde Baru sampai sekarang (Mahfud, 2006:89). 

Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan forum peradilan ini, tetapi UUD ini nir menegaskan prinsip kebebasan itu apakah ke dalam struktur ataukah relatif kegunaannya saja. Di aneka macam negara yg penegakan hukumnya sudah nisbi cantik, secara struktural memang nir ada keharusan adanya pemisahan tegas antara forum yudikatif serta eksekutif, lantaran yg utama merupakan kegunaannya. Namun, buat Indonesia terdapat pertimbangan eksklusif yg mendorong adanya pemisahan struktural itu. 

Salah satu hal yg perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Ini krusial ditegaskan karena tak jarang muncul pandangan bahwa negara demokrasi itu wajib menganut konsep Trias Politika misalnya apa adanya. Namun, pelembagaan banyak sekali kekuasaan negara di Indonesia memberitahuakn dengan tegas bahwa para perumus Undang-Undang Dasar 1945 sangat ditentukan oleh ajaran Trias Politika. Dikatakan menjadi ditentukan tetapi nir menganut Trias Politika lantaran poros-poros kekuasaan pada Indonesia bukan hanya tiga, melainkan semula terdapat 5 yang sejajar, yaitu legislatif (Presiden serta DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (BPK), dan konsultatif (DPA). Kemudian di atas kelima poros itu ada MPR yg adalah lembaga suprematif. Selain itu, poros kekuasaan yg dipengaruhi Undang-Undang Dasar 1945 itu tidaklah diletakkan dalam posisi yang terpisah secara absolut melainkan dijalin sang satu interaksi kerjasama fungsional. Setelah amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945, forum-lembaga negara tetap lebih berdasarkan 3 namun nir terdapat lagi yang lebih tinggi antara satu dengan yg lain. 

1. Kekuasaan Kehakiman Era Orde Lama 
Sejak kemerdekaan, pada saat pembentukan Kabinet pertama (2 September 1945), di lingkungan eksekutif sudah dibuat Departemen Kehakiman yg eksistensinya berlanjut hingga sekarang. 

Di pada era Demokrasi Terpimpin yg pula diklaim era Orde Lama ini, sistem politik yg dibangun Bung Karno merupakan sistem politik otoriter yg mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan presiden. Sistem politik yang semacam ini berimbas juga pada dilemahkannya lembaga peradilan dan dihilangkannya kebebasannya. UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965 memuat ketentuan yg kentara-jelas menghilangkan kebebasan kekuasan peradilan. 

Pada pasal 19 UU No. 19 tahun1964 dicantumkan ketentuan bahwa : “Demi kehormatan revolusi, negara serta bangsa atau kepentingan rakyat yg sangat mendesak, Presiden bisa turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. 

Ketentuan ini memperlihatkan bahwa betapa campur tangan Presiden dalam soal-soal pengadilan diberi pembenaran oleh undnag-undang. Meskipun disebutkan bahwa campur tangan itu hanya bisa dilakukan dengan alasan demi kehormatan revolusi, negara, serta bangsa atau kepentingan warga yang sangat mendesak, kriteria alasan-alasan tadi batas-batasnya tidak dipengaruhi sehingga beliau lebih poly diserahkan pada pandangan serta kemauan presiden. Seumpama terdapat kriterianya pun, campur tangan pemerintah atas lembaga peradilan menggunakan alasan apa pun tetap tidak bisa dibenarkan di dalam negara konstitusional. 

2. Pembenahan Masa Orde Baru 
Setelah Orde Baru lahir, menggunakan tema menegakkan kehidupan yang konstitusional atau melaksanakan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni serta konsekuen, maka upaya memberikan kemerdekaan pada kekuasaan kehakiman mulai diteriakkan. Orde Baru memang lahir menggunakan semangat konstitusionalisme. 

Krisis politik serta ekonomi yang melilit negara pada masa Demokrasi Terpimpin dinilai menjadi dampak dari terlalu otoriter dan inkonstitusionalnya Bung Karno menjadi Presiden. Untuk mengatasi krisis tadi, maka ajakan hidup bernegara secara konstitusional diteriakkan di mana-mana. Komitmen buat menegakkan Pancasila serta UUD 1945 diperkokoh dan demokratisasi ditawarkan menjadi babakan baru pada kehidupan bernegara. Sejauh menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, somasi-somasi atas keberadaan UU No. 19 Tahun 1964 serta UU No. 13 Tahun 1965 diteriakkan secara gencar. 

Keluarnya Tap MPRS No. XIX Tahun 1966 bisa dipercaya sebagai pernyataan mengenai inkonstitusionalnya kedua UU produk Orde Lama itu, terutama sejauh menyangkut campur tangan presiden. 

Pada awal Orde Baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah mengungkapkan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat kelengkapan negara yang berdiri sendiri. Tetapi, langkah awal tersebut ternyata wajib surut ketika dalam tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman yg ternyata masih menganut sistem pelatihan administratif dan finansial hakim oleh eksekutif. Hal ini permanen bisa menjadi problem bila dia dikaitkan dengan harapan buat mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yg bebas merdeka. 

3. Era Reformasi 
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun 1998, seluruh produk aturan era Orde baru yg berwatak konservatif segera diubah. Ini sinkron menggunakan dalil bahwa sebagai produk politik maka hukum-aturan akan berubah sejalan dengan perubahan politik. Hukum-aturan yg diubah waktu itu merupakan hukum-aturan pada bidang politik yg terkait dengan hubungan kekuasaan yg perubahannya diarahkan berdasarkan tabiat sentralistik dan otoriter sebagai partisipatif dan demokratis. 

Hukum pada bidang kekuasaan kehakiman yang selama Orde Baru terlalu membuka peluang bagi campur tangan pihak eksekutif kemudian diubah serta diganti. UU No. 14 Tahun 1970 diganti menggunakan UU No. 35 Tahun 1999 yg salah satu politik hukumnya merupakan menyatuatapkan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Dengan penyatuatapan ini, maka pelatihan hakim yg semula dipencar ke eksekutif (pada hal kepegawaian, administratif dan finansial) dan ke yudikatif atau MA (pada hal teknis yudisial) berdasarkan UU tadi disatukan semua pada bawah Mahkamah Agung. 

Perkembangan yang lebih maju dalam politik aturan kekuasaan kehakiman ini lalu dituangkan jua pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada amandemen ketiga tahun 2001, pasal 24 ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945 mengungkapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan sang Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi menggunakan kompetensi yg tidak sama. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara menggunakan hak melakukan uji materi (judicial review atau secara lebih spesifik melakukan constitutional review) UU terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi pula memiliki tugas spesifik lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden nir lagi memenuhi syarat; memutus pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan pada dalam UUD sehingga mereka dapat diproses untuk diberhentikan; memutus sengketa wewenang antar forum negara yg kewenangannya diberikan sang Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran parpol serta memutus konkurensi output pemilu. Sementara itu, Mahkamah Agung mengadili kasus-perkara konvensional lainnya ditambah dengan hak uji materi peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi. 

Selain mengatur pembentukan Mahkamah Konstitusi perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga memperkenalkan lembaga negara baru pada rumpun kekuasaan kehakiman menjadi lembaga pembantu (auxiliary institution) yaitu Komisi Yudisial (KY). UU mengenai Komisi Yudisial dibentuk pada tahun 2004 melalui UU No. 22 Tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk dalam pertengahan tahun 2005. 

4. Hukum serta Peradilan Internasional 
Dalam hubungan antarnegara sangat mungkin muncul konfrontasi akibat ketidaksepahaman dua atau beberapa negara mengenai suatu hal. Karena itu diperlukan suatu aturan yang disepakati bersama serta dihormati secara internasional sang negara-negara yg terdapat pada global. Dua atau lebih negara bisa menjalin konvensi mengenai maslaah bersama. Kesepakatan semacam ini diharapkan agar tercipta ketertiban dunia. 

Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum internasional merupakan holistik kaidah serta asas yg mengatur hubungan atau duduk perkara yg melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara. Hukum internasional diberlakukan dalam rangka menjaga interaksi serta kolaborasi antarnegara. Karena itu, hukum tersebut nir boleh dibuat tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu, aturan internasional harus memperhatikan asas-asas berikut: 

a. Asas teritorial 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi seluruh orang dan semua barang pada daerahnya. Jadi, terhadap seluruh barang atau orang yg berada di luar daerah tersebut berlaku aturan asing (internasional) sepenuhnya. 

b. Asas kebangsaan 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara buat mengatur rakyat negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun berada, tetap berada pada bawah jangkauan hukum negara asalnya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya, aturan suatu negara permanen berlaku bagi warga negaranya walaupun beliau berada pada negara lain. 

c. Asas kepentingan generik 
Asas ini didasarkan pada wewenang negara buat melindungi serta mengatur kepentingan pada kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri menggunakan seluruh keadaan serta insiden yg bersangkut paut menggunakan kepentingan generik. Jadi, hukum nir terikat dalam batas-batas daerah suatu negara. 

Apabila ketiga asas ini nir diperhatikan, akan timbul kekacauan dalam hubungan antarbangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara menggunakan negara lain perlu terdapat interaksi yg teratur serta tertib dalam bentuk hukum internasional.

KEBUTUHAN UNTUK KOMPUTERISASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN

Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan 
UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh masyarakat Indonesia. Keberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 berlandaskan dalam legitimasi kedaulatan masyarakat sehingga Undang-Undang Dasar 1945 adalah aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Oleh karenanya, output-hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berimplikasi terhadap semua lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut mencakup hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 buah ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 199 butir ketentuan.

UUD 1945 memuat baik asa, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal menggunakan kata tujuan nasional yang tertuang pada alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; serta (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. 

Untuk mencapai impian tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 sudah menaruh kerangka susunan kehidupan berbangsa serta bernegara. Norma-kebiasaan dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik namun juga kehidupan ekonomi serta sosial. Hal itu karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa masyarakat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yg wajib menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, serta sosial, baik oleh negara (state), warga (civil society), ataupun pasar (market). 

Keseluruhan konvensi yang menjadi materi konstitusi pada pada dasarnya me­nyang­kut prinsip pengaturan dan restriksi kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Lantaran itu, dari William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”. Konstitu­sio­nalisme mengatur 2 hubungan yg saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan menggunakan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yg satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Lantaran itu, umumnya, isi konstitusi dimak­sudkan buat mengatur mengenai 3 hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan restriksi kekuasaan organ-organ negara, (b) meng­atur interaksi antara lembaga-lembaga negara yg satu dengan yg lain, serta (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-forum negara dengan rakyat negara.

Dengan demikian, galat satu materi krusial serta selalu terdapat dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu bisa dimengerti lantaran kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas serta wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana forum-forum negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan interaksi antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yg dianut. 

Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, ada ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi serta kebudayaan besar -besaran di semua penjuru global. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi dan hak asasi insan yg sangat kuat di hampir semua dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai hal ini bisa dibaca pada tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984). Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya 3 gelombang besar demokrasi semenjak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung hingga menggunakan tahun 1922 yg ditandai oleh peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, serta Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng­alami backlash menggunakan keluarnya fasisme, totali­tarianisme, serta stalinisme terutama di Jerman (Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin). 

Gelombang kedua terjadi sejak berakhirnya, fasisme serta totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada waktu yg sama muncul jua gelombang dekolonisasi besar -besaran, menumbang imperialisme serta kolonialisme. Karena itu, di­katakan bahwa berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan oleh inspirasi demokrasi, baik pada negara-negara pemenang  itu sen­diri juga di negara-negara yang kalah dan semua negara bekas jajahan di semua global, terutama pada benua Asia serta Afrika. Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya dari tahun 1958 dengan keluarnya kenyataan rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini muncul karena dinamika internal yg terjadi pada masing-masing negara yang baru mer­de­ka yg memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter­sentralisasi serta terkonsentrasi pada sentra-pusat ke­kua­saan negara.

Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus sang munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu menggunakan keluarnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti pada Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin misalnya pada Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung jua di Asia, seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur serta Uni Soviet yg kemudian ber­ubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.

Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi pula berlangsung sangat cepat sejak tahun 1970-an. Penggambaran tentang terjadinya Mega Trends seperti yg ditulis oleh John Naisbitt serta Patricia Aburdene menunjukkan menggunakan kentara bagaimana di seluruh global, negara-negara inter­ven­sionist pada seluruh dunia dipaksa oleh keadaan buat mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis. Dari tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, serta debirokratisasi akbar-besaran pada Ing­gris, pada Perancis, di Jerman, pada Jepang, serta pada Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di global dipaksa sang keadaan buat mengadakan privatisasi terhadap badan bisnis yang sebelumnya dimiliki serta dikelola oleh negara.

Di bidang kebudayaan, yang terjadi jua serupa menggunakan gelombang perubahan pada bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem­bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele­ko­mu­ni­­kasi, dan keterangan, dunia semakin berubah menjadi satu, serta semua aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke­adaan menunjuk pada sistem nilai yg serupa. Bahkan, dalam masalah kesukaan musik, selera, ma­kanan, serta selera berpakaianpun terjadi proses penye­ra­gaman serta interaksi saling impak mem­penga­ruhi antar negara. Sementara itu, sebagai respons ter­hadap gejala penyeragaman itu, ada pula fenomea perlawanan budaya menurut berbagai tradisi lokal di setiap negara, sebagai akibatnya timbul gelombang yg saling ber­sitegang satu sama lain, antara globalisasi versus lokalisasi, sebagai akibatnya secara berseloroh melahirkan kata baru yg dikenal dengan glokalisasi.

Perubahan-perubahan itu, dalam pokoknya, me­nun­tut respons yang lebih adaptif dari organisasi negara serta pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne­gara itu harus mengurangi kiprahnya serta membatasi diri buat tidak mencampuri dinamika urusan masya­rakat dan pasar yg memiliki prosedur kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yg sebelumnya meng­ideal­kan perluasan tanggungjawab negara ke pada urusan-urusan warga serta pasar, dalam masa kini dituntut buat melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk mengklaim efisiensi serta efektifitas pelayanan generik yg lebih memenuhi harapan warga .

Jika dibandingkan dengan kecenderungan se­usang abad ke-20, dan terutama selesainya, waktu gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh sangat terkenal pada dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai akibat kelemahan-kelemahan paham liberalisme serta kapi­talis­me klasik, dalam abad ke-19 timbul paham sosialisme yg sangat populer dan melahirkan doktrin welfare state menjadi reaksi terhadap doktrin nach­wach­taersstaat yg mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, merupakan tanggungjawab sosial negara buat mengurusi nasib orang miskin dan yg tidak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga­ni­sasi birokrasinya jua menjangkau kebutuhan yg lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yg mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka pada perkembangannya kemudian timbul sebutan intervensionist state.

Dalam bentuknya yg paling ekstrim timbul pula rezim negara-negara komunis pada kutub yg sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh biro­krasi negara sebagai akibatnya ruang kebebasan pada kehidupan warga (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah­teraan itu di hampir semua dunia mengalami in­efisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus berkembang sebagai sangat besar , dan cara kerjanyapun sebagai sangat lamban serta sangat nir efisien. Di pihak lain, kebebasan masyarakat negara sebagai terkungkung dan ketakutan terus menghantui kehidupan masyarakat negara. Sementara itu, lantaran perkembangan ilmu penge­tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio­nal, regional, serta internasional yang cenderung berubah sangat bergerak maju, aneka aspirasi ke arah per­ubahan meluas jua di setiap negara pada global, baik di bidang ekonomi juga politik. Tuntutan aspirasi itu pada pokoknya menunjuk kepada aspirasi demokra­tisasi serta pengurangan peranan negara pada semua bi­dang kehidupan, misalnya yang tercermin pada gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan sang Samuel P. Huntington tersebut di atas.

Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara terbaru dewasa ini seakan dituntut buat berpaling balik ke doktrin usang misalnya pada paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government. Tentu saja, negara terkini sekarang nir mungkin balik ke masa kemudian begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam nir mungkin balik ke masa lalu. Tetapi demikian, meskipun negara terbaru kini nir mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yg wajib dihadapi dewasa ini memang mengharuskan seluruh pemerintahan negara-negara di dunia melaku­kan perubahan besar -besaran terhadap format kelem­ba­gaan yg diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan buat merspons kebutuhan konkret secara tepat. Semua negara modern kini ini tidak dapat lagi mempertahankan format usang kelem­bagaan negara serta birokrasi pemerintahannya yang ma­kin dirasakan nir efisien dalam memenuhi tun­tutan aspirasi warga yang terus semakin tinggi.

Semua negara dituntut buat mengadakan pem­baruan di sektor birokrasi dan administrasi publik. Sebagai citra, selesainya masing-masing melakukan pembaruan tadi secara besar -besaran semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir seluruh negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), membuatkan kebijakan yg sama. Alice Rivlin, dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar menurut 24 negara anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan mendasar buat melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yg diberikan sang hampir seluruh negara nisbi sama, yaitu menggunakan melakukan tujuh rencana sebagai berikut:
  1. decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
  2. a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
  3. downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
  4. consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
  5. “customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
  6. benchmarking and measuring performance; and
  7. reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut Laporan OECD yg dikemukakan sang Alice Rivlin tadi, untuk menghadapi tantangan ekonomi dunia serta ketidakpuasan warganegara yang tuntutan kepentingannya terus semakin tinggi, seluruh negara OECD dipaksa oleh keadaan buat melakukan serangkaian rencana pembaruan yg bersifat sangat fundamental. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan kewenangan dan devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu meng­adakan evaluasi kembali tentang (i) apa yg peme­rintah wajib dibiayai dan lakukan oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, serta (iii) apa yg tidak perlu didanai sendiri dan sekaligus nir perlu dilakukan sendiri; Ketiga, seluruh pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, serta memprivatisasikan dan mengkorporatisasikan aktivitas-aktivitas yg sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan buat menyebarkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, misalnya kontrak out-sourcing, prosedur percaya, serta biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi pada konsumen, ter­ma­suk dalam membuatkan pelayanan generik menggunakan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yg terukur; serta Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang dirancang buat menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya -biaya yg tidak efisien.

Semua kebijakan tadi krusial dilakukan un­tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne serta Ted Gaebler disebut reinventing government. Buku terakhir ini malah sangat populer pada Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, langsung menerima perhatian rakyat luas, termasuk pada Indonesia. Bahkan sejak tahun 1990-an, kitab ini dijadikan baku pada rangka pendidikan dan pelatihan pejabat tinggi pemerintahan buat menduduki jabatan eselon tiga, eselon 2, serta bahkan eselon 1 yg diselenggarakan sang Lembaga Admi­nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya merupakan buat menyadarkan penentu kebijakan tentang bobroknya birokrasi negara yang diwarisi menurut masa lalu, serta memperkenalkan ke dalam dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yg lebih efisien, misalnya yg lazim dipraktekkan di global usaha dan pada kalangan para enterpreneurs.

Mengiringi, melanjutkan, dan bahkan men­da­hului kitab David Osborne serta Ted Gaebler ini bahkan poly lagi buku-kitab lain yg mengkritik kinerja birokrasi negara terkini yang dianggap nir efisien. Misalnya, seseorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan pada tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966) bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi gejala the death of bureaucracy tersebut, baik di taraf pusat juga pada wilayah pada aneka macam negara dibentuk poly forum baru yang dibutuhkan dapat bekerja lebih efisien. Da­lam studi yang dilakukan Gerry Stoker terhadap pe­merintah lokal Inggris, misalnya, ditemukan kenyataan bahwa:

“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984). Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio­nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”

Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah ada semenjak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal pada Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yg diklaim joint committees, boards, dan sebagainya buat tujuan mencapai prinsip economies of scale pada rangka peningkatan pelayanan generik. Misalnya, dalam pengoperasian transportasi bus generik, dibentuk kelembagaan tersendiri yg dianggap board atau authority.

Pemerintah Inggris membentuk beraneka ragam forum baru yang sangat bertenaga kekuasaannya dalam urusan-urusan yang sangat spesifik. Misalnya, dalam mulanya dibuat Regional Hospital Board serta kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regio­nal Health Authorities. New Town Develop­ment Corporation juga dibentuk buat maksud me­nyukseskan acara yg dibutuhkan akan meng­hubung­kan kota-kota satelit di lebih kurang kota-kota metoropolitan misalnya London serta lain-lain. Demikian jua untuk program pembangunan perdesaan, pada­bentuk juga badan-badan otoritas yg spesifik me­nangani Rural Development Agencies pada daerah-wilayah Mid-Wales dan the Scottish Highlands.

Perkembangan yg terjadi di negara-negara lain kurang lebih jua sama dengan apa yang terjadi pada Inggris. Sebabnya merupakan lantaran banyak sekali kesulitan ekonomi dan ketidakstablan dampak terjadinya banyak sekali perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui banyak sekali bentuk organ pemerintahan yg dinilai lebih efektif dan efisien, baik pada taraf nasional atau sentra juga di tingkat wilayah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi pada non-elected agencies yg dapat dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan dengan elected agencies misalnya parlemen. Tujuannya nir lain adalah buat menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-sahih efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi slimming down bureaucracies yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian rupa buat memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru. 

Di berbagai negara jua terbentuk banyak sekali organisasi atau forum yang dianggap dengan rupa-rupa istilah seperti dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, serta sebagainya. Tetapi, pada pengalaman di banyak negara, tujuan yang mulia buat efisiensi serta efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai menggunakan yg diharap­kan. Lantaran itu, kita perlu belajar berdasarkan kekurangan dan kelemahan yg dialami sang banyak sekali negara, sebagai akibatnya kecenderungan buat latah pada negara-negara sedang ber­kembang untuk meniru negara maju dalam me­lakukan pembaharuan pada banyak sekali sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yang tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibentuk itu, berdasarkan Gerry Stoker dapat dibagi ke pada enam tipe organisasi, yaitu:
1. Tipe pertama merupakan organ yg bersifat central government’s arm’s length agency;
2. Tipe ke 2, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3. Tipe ketiga, organ atau institusi menjadi public/private partnership organisation;
4. Tipe keempat, organ sebagai user-organisation.
5. Tipe kelima, organ yg merupakan inter-governmental forum;
6. Tipe Keenam, organ yang adalah Joint Boards.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, mencakup pemerintah sentra, kementerian-kementerian yg bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti­tutions. Organ-organ tadi dalam umumnya berfungsi menjadi a quasi-governmental world of appoin­ted bodies, dan bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, serta mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi adonan misalnya di satu pihak sebagai pengatur (regulator), tetapi jua menghukum misalnya yudikatif yang dicampur menggunakan legislatif.

Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti pada Amerika Serikat dan Perancis, dalam 3 dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak ber­tum­buhan forum-lembaga negara baru. Lembaga-lem­baga baru tadi biasa dianggap menjadi state auxiliary organs, atau auxiliary institutions menjadi forum negara yang bersifat penunjang. Di antara forum-lembaga itu kadang-kadang terdapat pula yg diklaim menjadi self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau forum-forum yang men­jalankan fungsi adonan (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, serta fungsi peng­hukum­an yg umumnya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh forum-lembaga baru tersebut.

Di antaranya, terdapat juga lembaga-forum yg hanya bersifat ad hoc atau nir tetap. Badan-badan atau forum-forum yang bersifat ad hoc itu, betapapun, dari John Alder, permanen bisa diklaim memiliki alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya, 

“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”

Lembaga-forum negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, berdasarkan Sir Ivor Jennings, umumnya dibuat lantaran galat satu menurut 5 alasan primer (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yang bersifat personal yg diidealkan bebas dari risiko campur tangan politik, seperti contohnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya impian buat mengatur dinamika pasar yg sama sekali bersifat non-politik, misalnya contohnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen misalnya pada bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan buat mengadakan anggaran mengenai pelayanan-pelayanan yg bersifat teknis (technical services) seperti diantaranya dengan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya aneka macam institusi yang berfungsi menjadi alat perlengkapan yang bersifat semi-judisial buat merampungkan berbagai konkurensi pada luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).

Kelima alasan tersebut ditambah sang John Alder menggunakan alasan keenam, yaitu adanya ilham bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Pemilikan sang publik pada bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor eksklusif dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti yang poly dikembangkan akhir-akhir ini, contohnya dengan wangsit Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Karena demikian banyak jumlah dan ragam corak lembaga-lembaga ini, oleh para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, dan quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, sang Yves Meny dan Andrew Knapp, secara sederhana juga dibedakan adanya tiga tipe primer lembaga-forum pemerintahan yang bersifat spesifik tadi (three main types of specialized administration), yaitu: (i) regulatory and monitoring bodies (badan-badan yang melakukan fungsi regulasi dan pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan umum); and (iii) those engaged in productive activities (badan-badan yg terlibat pada kegiatan-aktivitas produksi).

Dari pengalaman di berbagai negara, dapat diketahui bahwa semua bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan pada atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan di demam isu hujan. Ketika wangsit pembaruan kelembagaan diterima menjadi pendapat umum, maka dimana pada semua lini dan seluruh bidang, orang berusaha buat menerapkan wangsit pembentukan forum serta organisasi-organisasi baru itu menggunakan idealisme, yaitu buat modernisasi serta pembaruan menuju efisiensi serta efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi perkara artinya, proses pembentukan forum-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas desain yg matang dan komprehensif. 

Timbulnya ide demi inspirasi bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, namun dibungkus sang idealisme serta heroisme yg tinggi. Ide pembaruan yang menyertai pembentukan lembaga-lembaga baru itu dalam umumnya didasarkan atas dorongan buat mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yg lebih memberi kesempatan buat dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, demam isu pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sebagai akibatnya jumlahnya poly sekali, tanpa disertai sang penciutan kiprah birokrasi yg akbar.

Upaya buat melakukan slimming down bureaucracies misalnya yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, forum-forum baru yg demikian poly malah telah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah in­efisien­si lantaran menaikkan beban anggaran negara serta menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang ada pula lembaga yang dibentuk menggunakan maksud hanya bersifat ad hoc buat masa ketika eksklusif. Akan tetapi, karena poly jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya nir atau belum jua dibubarkan, ad interim para peng­urusnya terus menerus digaji berdasarkan anggaran pen­dapatan dan belanja negara ataupun aturan pendapatan serta belanja wilayah. 

Dengan perkataan lain, pengalaman praktek pada poly negara memberitahuakn bahwa tanpa adanya desain yg mencakup dan menyeluruh tentang kebutuhan akan pembentukan lembaga-forum negara tersebut, yang akan dihasilkan bukanlah efisiensi, namun malah semakin inefisien dan menga­caukan fungsi-fungsi antar lembaga-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan serta mengefisienkan pelayanan generik (public services). Apalagi, apabila ne­gara-negara yg sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yg mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktekkan di negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan berdasarkan masyarakatnya buat menerapkan ilham-pandangan baru mulia yg datang berdasarkan dunia lain itu.

Perubahan-perubahan dalam bentuk perombak­an fundamental terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan pada semua lapisan serta di seluruh sektor, selama sepeuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas serta fundamental. Apalagi, dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita juga harus ditata kembali sinkron dengan cetak biru yg diamanatkan oleh UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama pada sejarah republik kita. Kalau dalam praktek, kita mendapati bahwa wangsit-inspirasi serta rancangan-rancangan perubahan kelembagaan datang begitu saja dalam setiap saat dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa perombakan struktural yg sedang terjadi berlangsung tanpa desain yg menyeluruh, persis misalnya pengalaman yg terjadi di poly negara lain yg justru terbukti nir membentuk efisiensi misalnya yg diperlukan. Lantaran itu, di masa transisi sejak tahun 1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan besar -besaran pada rangka menata pulang sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat UUD 1945.

Hubungan AntarLembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945

1. Pengertian Lembaga Negara
Untuk tahu pengertian forum atau organ negara se­ca­ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya berdasarkan pan­dang­an Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ da­lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel­sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func­tion determined by the legal order is an organ”. Siapa sa­ja yang menjalankan suatu fungsi yang dipengaruhi sang su­a­tu tata-hukum (legal order) merupakan suatu organ. 

Artinya, organ negara itu nir selalu berbentuk or­ga­­nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu­­­as lagi, setiap jabatan yang ditentukan sang hukum dapat pu­­la diklaim organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men­­­cipta­kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men­­­­jalan­kan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac­ter, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanc­tion”. 

Menurut Kelsen, parlemen yg menetapkan un­dang-undang serta masyarakat negara yang memilih para wakil­nya melalui pemilihan umum sama-sama adalah or­gan negara pada arti luas. Demikian pula hakim yang meng­­adili dan menghukum penjahat serta terpidana yang men­jalan­kan hukuman tadi pada lembaga pemasyara­kat­­an, adalah juga adalah organ negara. Pendek istilah, da­lam pengertian yg luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan ter­tentu pada konteks aktivitas bernegara. Inilah yg pada­­sebut sebagai jabatan publik atau jabatan generik (public offi­ces) serta pejabat publik atau pejabat umum (public offi­cials).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen pula meng­urai­kan adanya pengertian organ negara dalam arti yg sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In­­dividu dikatakan organ negara hanya bila ia secara pri­­­badi memiliki kedudukan aturan yg tertentu (...he per­­­sonally has a specific legal position). Suatu transaksi aturan perdata, misalnya, kontrak, merupakan adalah tin­dak­an atau perbuatan yang menciptakan hukum misalnya halnya suatu putusan pengadilan.

Lembaga negara terkadang diklaim dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibuat menurut atau lantaran diberi kekuasaan sang Undang-Undang Dasar, ada juga yang di­bentuk dan menerima kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada juga yang hanya dibuat berdasar­kan Ke­pu­tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan­nya tentu saja tergantung dalam derajat pengaturannya me­nu­rut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Lembaga negara yg diatur serta dibentuk sang UUD me­rupakan organ konstitusi, sedangkan yg dibentuk ber­dasarkan UU adalah organ UU, sementara yg hanya dibuat karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan serta derajat perlakuan aturan ter­ha­dap pejabat yg duduk di dalamnya. Demikian pula bila forum dimaksud dibuat dan diberi kekuasaan ber­da­sarkan perda, tentu lebih rendah lagi ting­katan­nya.

Dalam setiap pembicaraan tentang organisasi negara, ada 2 unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sinkron maksud pembentukannya. Dalam naskah Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, terdapat yg diklaim secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada jua lembaga atau organ yg dianggap bahwa baik namanya juga fungsi atau kewenangannya akan diatur menggunakan peraturan yg lebih rendah.

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Jika dikaitkan dengan hal tadi pada atas, maka bisa dikemukakan bahwa pada UUD 1945, masih ada nir kurang berdasarkan 34 organ yg dianggap keberadaannya pada Undang-Undang Dasar 1945. Ke-34 organ atau lembaga tadi adalah:
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (Majelis Permusyawaratan Rakyat) diatur dalam Bab III Undang-Undang Dasar 1945 yg jua diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi 2 pasal, yaitu Pasal dua yang terdiri atas 3 ayat, Pasal tiga yg juga terdiri atas 3 ayat;
2) Presiden yg diatur keberadaannya dalam Bab III Undang-Undang Dasar 1945, dimulai menurut Pasal 4 ayat (1) pada pengaturan tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yg berisi 17 pasal;
3) wapres yg keberadaannya pula diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu sang satu orang wapres";
4) Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri pada Bab V Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (dua), dan (tiga);
5) Menteri Luar Negeri menjadi menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (tiga) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan menjadi pelaksana tugas kepresidenan bila masih ada kekosongan dalam saat yang bersamaan pada jabatan Presiden serta Wakil Presiden;
6) Menteri Dalam Negeri menjadi triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan berdasarkan Pasal 8 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar 1945;
7) Menteri Pertahanan yg bersama-sama menggunakan Menteri Luar Negeri serta Menteri Dalam Negeri ditentukan menjadi menteri triumpirat dari Pasal 8 ayat (tiga) UUD 1945. Ketiganya perlu diklaim secara sendiri-sendiri, lantaran dapat saja terjadi pertarungan atau konkurensi wewenang konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau forum negara lainnya;
8) Dewan Pertimbangan Presiden yg diatur pada Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yg berbunyi, "Presiden menciptakan suatu dewan pertimbangan yg bertugas memberikan petuah dan pertimbangan pada Presiden, yg selanjutnya diatur pada undang-undang";
9) Duta misalnya diatur dalam Pasal13 ayat (1) serta (dua);
10) Konsul seperti yg diatur pada Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (dua), (3), (lima), (6) serta ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945;
12) Gubemur Kepala Pemda seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, misalnya yg diatur dalam Pasal18 ayat tiga UUD 1945;
14) Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud sang Pasal 18 ayat (dua), (tiga), (lima), (6) serta ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yg diatur dalam Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten misalnya yang diatur pada Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
17) Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud sang Pasal 18 ayat (2), (tiga), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemda Kota seperti yg diatur pada Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
20) Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang spesifik dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yg bersifat spesifik atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah spesial Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, dan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan tentang kekhususan atau keistimewaannya itu diatur menggunakan undang-undang. Oleh karenanya, pemerintahan daerah yg demikian ini perlu diklaim secara tersendiri menjadi forum atau organ yg keberadaannya diakui serta dihormati oleh negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur pada Bab VII Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi Pasal 19 sampai menggunakan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yg diatur pada Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23) Komisi Penyelenggaran Pemilu yg diatur pada Pasal 22E ayat (lima) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa pemilihan generik wajib diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, permanen, dan berdikari. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang dipengaruhi oleh Undang-Undang Dasar 1945, melainkan sang Undang-Undang;
24) Bank sentral yg disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yg susunan, kedudukan, wewenang, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum memilih nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang dipengaruhi sang Undang-Undang Dasar 1945, melainkan oleh undang-undang dari fenomena yang diwarisi berdasarkan sejarah pada masa lalu.
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yg diatur tersendiri pada Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (dua ayat), serta Pasal 23G (dua ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 serta Pasal 24A UUD 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yg juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 serta Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945;
28) Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yg diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945;
29) TNI (Tentara Nasional Indonesia) diatur tersendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam Bab XII mengenai Pertahanan dan Keamanan Negara, dalam Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan Darat (TNI AD) diatur pada Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur pada Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang pula diatur pada Bab XII Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
34) Badan-badan lain yang kegunaannya terkait menggunakan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar 1945 yg berbunyi, "Badan-badan lain yg fungsinya berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman diatur pada undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang dipengaruhi pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tadi dapat juga membuka pintu bagi forum-lembaga negara lain yg kegunaannya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang nir secara eksplisit diklaim dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 memilih, "Badan-badan lain yang manfaatnya berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat badan-badan lainnya yg jumlahnya lebih menurut satu yang mempunyai fungsi yg berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yg semula dalam rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum menjadi galat satu forum yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, namun tidak menerima kesepakatan , sebagai akibatnya pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditiadakan.

Namun, lantaran yang dianggap dalam Pasal 24 ayat (tiga) tersebut pada atas merupakan badan-badan, berarti jumlahnya lebih berdasarkan satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, terdapat lagi forum lain yang kegunaannya pula berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, serta/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya merupakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit dianggap dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun sama-sama mempunyai constitutional importance dalam sistem konstitusional menurut UUD 1945.

Misalnya, tentang keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi proteksi konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis pada global. Untuk melindungi serta mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, menggunakan sengaja negara membentuk satu komisi yg bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat krusial bagi negara demokrasi konstitusional. Lantaran itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri pada UUD, tetapi keberadaannya sebagai forum negara mempunyai apa yg diklaim menjadi constitutional importance yg sama dengan lembaga-forum negara lainnya yg disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.

Sama halnya menggunakan keberadaan Kejaksaan Agung serta kepolisian negara pada setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Tetapi, dalam UUD 1945, yang dipengaruhi kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali nir disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan buat menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau mempunyai constitutional importance yg sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yg demokratis, haruslah mempunyai perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai forum-forum penegak aturan yang efektif.

3. Pembedaan Dari Segi Fungsi dan Hierarki
Dari segi kegunaannya, ke-34 forum tersebut, terdapat yg bersifat utama atau utama, serta terdapat pula yg bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan berdasarkan segi hirarkinya, ke-30 lembaga itu bisa dibedakan ke pada tiga lapis. Organ lapis pertama dapat dianggap menjadi lembaga tinggi negara. Organ lapis ke 2 disebut sebagai forum negara saja, sedangkan organ lapis ketiga adalah forum wilayah. Memang sahih sekarang nir ada lagi sebutan lembaga tinggi serta forum tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi dalam lapis pertama dapat diklaim menjadi forum tinggi negara, yaitu:
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang menerima kewenangannya menurut UUD, dan ada jua yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang mendapatkan wewenang dari UUD, contohnya, merupakan Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, serta Kepolisian Negara; sedangkan forum yg asal kewenangannya adalah undang-undang, contohnya, merupakan Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, serta sebagainya. Kedudukan ke 2 jenis lembaga negara tadi bisa disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, namun jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit pada undang-undang, sehingga nir dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya lantaran kebijakan pembentukan undang­undang. Lembaga-forum negara sebagai organ konstitusi lapis ke 2 itu adalah:
1) Menteri Negara;
2) Tentara Nasional lndonesia;
3) Kepolisian Negara;
4) Komisi Yudisial;
5) Komisi pemilihan generik;
6) Bank sentral.

Dari keenam forum atau organ negara tadi di atas, yg secara tegas dipengaruhi nama serta kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, serta Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan wewenang pokoknya, yaitu menjadi lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Akan namun, nama lembaganya apa, nir secara tegas dianggap, karena perkataan komisi pemilihan generik tidak diklaim menggunakan alfabet akbar.

Ketentuan Pasal 22E ayat (lima) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan generik diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan generik yg bersifat nasional, permanen, serta mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan dipengaruhi oleh undang-undang. Undang-undang bisa saja memberi nama kepada forum ini bukan Komisi Pemilihan Umum, namun misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.

Selain itu, nama serta kewenangan bank sentral jua tidak tercantum eksplisit pada UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yg susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang telah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya pada undang-undang. Demikian juga dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU.

Dengan demikian derajat protokoler grup organ konstitusi dalam lapis ke 2 tadi di atas kentara tidak selaras dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini bisa disejajarkan dengan posisi lembaga-forum negara yg dibuat dari undang-undang, misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran serta Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.

Kelompok ketiga merupakan organ konstitusi yg termasuk kategori lembaga negara yg sumber kewenangannya berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Jika presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang buat itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung pada beleid presiden.

Di samping itu, terdapat jua forum-lembaga daerah yg diatur dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan tadi diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat dianggap menjadi organ daerah atau lembaga daerah yg merupakan forum negara yang masih ada pada wilayah. Lembaga-lembaga daerah itu merupakan:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi;
2) Gubemur;
3) DPRD provinsi;
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5) Bupati;
6) DPRD Kabupaten;
7) Pemerintahan Daerah Kota;
8) Walikota;
9) DPRD Kota

Di samping itu, pada Pasal 18B ayat (1) serta ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945, dianggap juga adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yg bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan wilayah yg bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui serta dihormati keberadaannya secara tegas sang undang-undang dasar, sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.

Oleh karena itu, nir bisa nir, eksistensi unit atau satuan pemerintahan daerah yg bersifat khusus atau istimewa itu wajib jua dipahami sebagai bagian dari pengertian lembaga wilayah pada arti yang lebih luas. Dengan demikian, lembaga wilayah dalam pengertian di atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau forum.

Di antara forum-lembaga negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat yg bisa mengkategorikan sebagai organ utama atau utama (primary constitutional organs), serta ada pula yg adalah organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami per­bedaan pada antara keduanya, forum-lembaga negara tadi bisa dibedakan dalam 3 ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif serta fungsi supervisi; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada presiden serta wakil presiden yg adalah satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun forum pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi, tetapi pada samping keduanya ada pula Komisi Yudisial menjadi lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan konduite hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak aturan (the enforcer of the rule of law), tetapi adalah forum penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

Sedangkan pada fungsi pengawasan serta kekuasaan legislatif, masih ada empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis permusyawaratan Rakyat (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara itu, pada cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya 3 lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya 2, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim serta menjadi lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yg bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen serta berada pada luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, serta karena itu kedudukannya bersifat independen serta nir tunduk kepada pengaruh keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial dipengaruhi kekuasaannya pada Undang-Undang Dasar 1945, nir berarti beliau mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi.

Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung nir dipengaruhi kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Kepolisian Negara dipengaruhi dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman ketentuan tentang wewenang Kepolisian itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak bisa dijadikan alasan buat menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum yang demokratis, lembaga kepolisian serta kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan tentang kepolisian negara itu pada Undang-Undang Dasar 1945, pula tidak bisa ditafsirkan seakan menjadikan forum kepolisian negara itu menjadi forum konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-forum tinggi negara lainnya, seperti presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal dianggap atau tidaknya atau dipengaruhi tidaknya kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar nir serta merta menentukan hirarki kedudukan forum negara yg bersangkutan pada struktur ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945.

Dengan demikian, berdasarkan segi keutamaan kedudukan dan kegunaannya, lembaga (tinggi) negara yg dapat dikatakan bersifat pokok atau primer merupakan (i) Presiden; (ii) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); (iii) DPD (Dewan Perwakilan Daerah); (iv) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); (v) MK (Mahkamah Konstitusi); (vi) MA (Mahkamah Agung); dan (vii) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Lembaga tadi di atas dapat diklaim menjadi lembaga tinggi negara. Sedangkan forum-lembaga negara yg lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya rapikan urutan protokoler ke 7 lembaga negara tersebut dapat disusun menurut sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.

Oleh sebab itu, misalnya interaksi antara KY dengan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang sebagai penentu yang pokok. Mes­kipun posisinya bersifat independen terhadap MA, namun KY tetap nir dipandang sederajat sebagai forum tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap tidak sama dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas Kejaksaan serta Komisi Kepolisian permanen tidak dapat disederajatkan secara struktural dengan organisasi POLRI serta Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen serta atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang bisa diklaim sebagai lembaga tinggi negara yg primer tetaplah forum-forum tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan primer negara, yaitu legislature, executive, serta judiciary.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa forum-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, serta lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya pada UUD 1945 misalnya Presiden/Wakil Presiden, DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MK, serta MA, namun berdasarkan segi manfaatnya forum-forum tadi bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, buat memilih apakah KY sederajat menggunakan MA dan MK, maka kriteria yang digunakan tidak hanya bahwa wewenang KY itu seperti halnya kewenangan MA serta MK dipengaruhi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karena, wewenang TNI dan POLRI juga dipengaruhi pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, nir menggunakan begitu, kedudukan struktural Tentara Nasional Indonesia dan POLRI bisa disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yg sudah diuraikan di atas. TNI serta POLRI permanen tidak bisa disejajarkan strukturnya menggunakan presiden serta wakil presiden, meskipun kewenangan TNI serta POLRI dipengaruhi tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Demikian jua, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur pada UUD 1945, tetapi kedudukannya nir dapat dikatakan berada pada bawah POLRI dan Tentara Nasional Indonesia hanya lantaran kewenangan kedua forum terakhir ini diatur dalam UUD 1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak ditentukan kewe­nangannya pada Undang-Undang Dasar, melainkan hanya dipengaruhi sang undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung serta Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada Tentara Nasional Indonesia dan POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif wewenang lembaga-forum tersebut nir otomatis memilih status hukumnya dalam hirarkis susunan antara forum negara.

4. Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga Negara
Perubahan UUD 1945 yg bersifat mendasar tentu menyebabkan dalam perubahan kelembagaan negara. Hal ini nir saja lantaran adanya perubahan terhadap butir-buah ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan negara, namun jua karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yg memilih hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, dan Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.

Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yg berbunyi "Kedaulatan berada pada tangan rakyat dan dilaksanakan dari Undang-Undang Dasar." Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan masyarakat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Majelis Permusyawaratan Rakyat nir lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-forum tinggi negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar aturan tertinggi pelaksanaan kedaulatan masyarakat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh semua organ konstitusional dengan masing-masing fungsi serta kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Apabila menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan lalu didistribusikan kepada forum-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan output perubahan Pasal 1 ayat (dua) UUD 1945 kedaulatan permanen berada pada tangan masyarakat dan pelaksanaannya pribadi didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) pada organ-organ konstitusional.

Konsekuensinya, setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 nir dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan forum tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yg adalah organ konstitusional kedudukannya nir lagi seluruhnya hierarkis pada bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun sejajar dan saling berhubungan berdasarkan kewenangan masing-masing dari Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yg dianut tidak sepenuhnya sistem presidentil. Jika ditinjau hubungan antara DPR sebagai parlemen menggunakan Presiden yang sejajar (neben), dan adanya masa jabatan Presiden yg dipengaruhi (fix term) memang memperlihatkan karakteristik sistem presidentil. Namun apabila ditinjau menurut keberadaan MPR yg menentukan, memberikan mandat, serta bisa memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden merupakan mandataris MPR dan menjadi konsekuensinya Presiden bertanggungjawab pada MPR serta Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa memberhentikan Presiden.

Salah satu kesepakatan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 terkait Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah "setuju buat mempertahankan sistem presidensiil (pada pengertian sekaligus menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri generik sistem presidensiil)." Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan fundamental pertama adalah perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengakibatkan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat nir lagi adalah lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya buat menyempurnakan sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR serta Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden serta wapres yg dilakukan secara pribadi sang warga dan prosedur pemberhentian dalam masa jabatan sebagaimana diatur pada Pasal 6, 6A, 7, 7A, serta 8 Undang-Undang Dasar 1945. Karena Presiden serta Wakil Presiden dipilih secara pribadi sang masyarakat, maka mempunyai legitimasi bertenaga serta tidak dapat menggunakan mudah diberhentikan kecuali lantaran melakukan tindakan pelanggaran hukum .

Proses usulan pemberhentian Presiden serta atau wapres nir lagi sepenuhnya diserahkan kepada prosedur politik, namun menggunakan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah kasus pelanggaran hukum , maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilewati. Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden menciptakan Undang-Undang sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak mengusulkan rancangan undang-undang dan diserahkan pada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu jua ditegaskan Presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.

Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) namun seringkali disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) namun juga memegang kekuasaan menciptakan undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama menggunakan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan dilakukan sang sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman dari undang-undang.

Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yg semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan output Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal lima ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif merupakan Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang diperlukan persetujuan Presiden, tetapi fungsi Presiden pada hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan menjadi legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (serta badan-badan peradilan di bawahnya) serta Mahkamah Konstitusi dari Pasal 24 ayat (dua) UUD 1945.

Hubungan antara kekuasaan eksekutif yg dilakukan sang Presiden, kekuasaan legislatif sang DPR serta kekuasaan yudikatif yang dilakukan sang MA serta MK adalah perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan buat mengimbangi pembangian kekuasaan yang dilakukan supaya tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan eksklusif atau terjadi kebuntuan dalam interaksi antarlembaga. Oleh karena itu, pada pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran forum lain.

Dalam aplikasi kekuasaan pembuatan undang-undang contohnya, walaupun dipengaruhi kekuasaan membuat undang-undang dimiliki sang DPR, tetapi dalam pelaksanaannya membutuhkan kolaborasi menggunakan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan beserta DPR dan Presiden dan telah disahkan serta diundangkan pun bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat sang MK jika dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Khusus mengenai DPD, meskipun terkait menggunakan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang tertentu, namun fungsinya tidak disebut sebagai fungsi legislatif. DPD hanya berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat dan melakukan pengawasan yg sifatnya nir mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap fungsi DPR.

Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan nir hanya dilakukan selesainya suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi jua pada ketika dibentuk perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR pada hal ini cukup bertenaga lantaran memiliki fungsi anggaran secara spesifik selain fungsi legislasi dan fungsi supervisi sebagaimana diatur pada Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian kekuasaan DPR jua terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden serta atau wapres kecuali lantaran alasan pelanggaran hukum . Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke MPR.

KEBUTUHAN UNTUK KOMPUTERISASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN

Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan 
UUD 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia yg adalah output kesepakatan seluruh warga Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan dalam legitimasi kedaulatan rakyat sehingga Undang-Undang Dasar 1945 adalah aturan tertinggi pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa serta bernegara. Apalagi perubahan tersebut mencakup hampir keseluruhan materi Undang-Undang Dasar 1945. Jika naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 berisi 71 buah ketentuan, maka sehabis empat kali mengalami perubahan materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 199 butir ketentuan.

UUD 1945 memuat baik impian, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan kata tujuan nasional yg tertuang pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan semua tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan generik; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Untuk mencapai asa tersebut, UUD 1945 telah menaruh kerangka susunan kehidupan berbangsa serta bernegara. Norma-kebiasaan pada Undang-Undang Dasar 1945 nir hanya mengatur kehidupan politik namun jua kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu lantaran para pendiri bangsa menghendaki bahwa masyarakat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, serta konstitusi sosial yg wajib sebagai acuan serta landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik sang negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). 

Keseluruhan konvensi yg sebagai materi konstitusi dalam pada dasarnya me­nyang­kut prinsip pengaturan serta restriksi kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, berdasarkan William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”. Konstitu­sio­nalisme mengatur 2 hubungan yg saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, interaksi antara pemerintahan menggunakan warga negara; serta Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Lantaran itu, umumnya, isi konstitusi dimak­sudkan buat mengatur mengenai 3 hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan restriksi kekuasaan organ-organ negara, (b) meng­atur hubungan antara forum-lembaga negara yg satu dengan yg lain, serta (c) mengatur interaksi kekuasaan antara lembaga-lembaga negara menggunakan masyarakat negara.

Dengan demikian, keliru satu materi penting dan selalu ada pada konstitusi merupakan pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti lantaran kekuasaan negara dalam akhirnya diterjemahkan ke pada tugas serta kewenangan lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara serta hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut. 

Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, timbul ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar -besaran pada semua penjuru dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi serta hak asasi manusia yg sangat bertenaga di hampir semua dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984). Dalam tulisan ini, Huntington mendeskripsikan adanya tiga gelombang besar demokrasi semenjak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung hingga menggunakan tahun 1922 yg ditandai sang peristiwa-insiden besar pada Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng­alami backlash menggunakan keluarnya fasisme, totali­tarianisme, dan stalinisme terutama pada Jerman (Hitler), Italia (Musolini), serta Rusia (Stalin). 

Gelombang ke 2 terjadi semenjak berakhirnya, fasisme dan totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada waktu yg sama muncul juga gelombang dekolonisasi besar -besaran, menumbang imperialisme serta kolonialisme. Karena itu, pada­katakan bahwa berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan sang pandangan baru demokrasi, baik di negara-negara pemenang  itu sen­diri juga pada negara-negara yang kalah dan seluruh negara bekas jajahan di semua global, terutama di benua Asia serta Afrika. Tetapi, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya dari tahun 1958 dengan keluarnya kenyataan rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana pada semua global. Backlash kedua ini muncul karena dinamika internal yang terjadi pada masing-masing negara yang baru mer­de­ka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter­sentralisasi serta terkonsentrasi pada pusat-sentra ke­kua­saan negara.

Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu menggunakan keluarnya gelombang gerakan pro demokrasi pada Eropa Selatan misalnya pada Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan sang negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula pada Asia, seperti pada Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda jua negara-negara Eropa Timur serta Uni Soviet yg kemudian ber­ubah berdasarkan rezim komunis sebagai demokrasi.

Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi pula berlangsung sangat cepat dari tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends misalnya yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di semua dunia, negara-negara inter­ven­sionist pada seluruh global dipaksa sang keadaan buat mengurangi campur tangannya pada urusan-urusan bisnis. Dari tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, serta debirokratisasi akbar-besaran pada Ing­gris, pada Perancis, pada Jerman, di Jepang, serta di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa sang keadaan buat mengadakan privatisasi terhadap badan bisnis yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara.

Di bidang kebudayaan, yang terjadi jua serupa dengan gelombang perubahan di bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem­bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele­ko­mu­ni­­kasi, serta informasi, dunia semakin berubah menjadi satu, dan seluruh aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke­adaan mengarah pada sistem nilai yg serupa. Bahkan, pada masalah selera musik, selera, ma­kanan, serta selera berpakaianpun terjadi proses penye­ra­gaman serta hubungan saling dampak mem­penga­ruhi antar negara. Sementara itu, sebagai respons ter­hadap tanda-tanda penyeragaman itu, muncul pula fenomea perlawanan budaya dari banyak sekali tradisi lokal pada setiap negara, sebagai akibatnya muncul gelombang yg saling ber­sitegang satu sama lain, antara globalisasi lawan lokalisasi, sebagai akibatnya secara berseloroh melahirkan istilah baru yg dikenal dengan glokalisasi.

Perubahan-perubahan itu, pada pokoknya, me­nun­tut respons yg lebih adaptif menurut organisasi negara serta pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne­gara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri buat tidak mencampuri dinamika urusan masya­rakat serta pasar yang memiliki prosedur kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yg sebelumnya meng­ideal­kan ekspansi tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, dalam masa sekarang dituntut buat melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk menjamin efisiensi serta efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan masyarakat.

Jika dibandingkan menggunakan kesamaan se­usang abad ke-20, dan terutama sehabis, ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh sangat terkenal di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai dampak kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapi­talis­me klasik, dalam abad ke-19 timbul paham sosialisme yang sangat populer serta melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap doktrin nach­wach­taersstaat yang mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, merupakan tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin serta yg tidak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga­ni­sasi birokrasinya pula menjangkau kebutuhan yg lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka pada perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.

Dalam bentuknya yg paling ekstrim muncul juga rezim negara-negara komunis dalam kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri sang biro­krasi negara sebagai akibatnya ruang kebebasan pada kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah­teraan itu pada hampir seluruh dunia mengalami in­efisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus berkembang sebagai sangat akbar, serta cara kerjanyapun menjadi sangat lamban serta sangat nir efisien. Di pihak lain, kebebasan rakyat negara menjadi terkungkung serta ketakutan terus menghantui kehidupan masyarakat negara. Sementara itu, lantaran perkembangan ilmu penge­tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio­nal, regional, serta internasional yg cenderung berubah sangat bergerak maju, aneka aspirasi ke arah per­ubahan meluas jua di setiap negara di dunia, baik pada bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan aspirasi itu dalam pokoknya mengarah kepada aspirasi demokra­tisasi serta pengurangan peranan negara pada seluruh bi­dang kehidupan, misalnya yg tercermin pada gelombang ketiga demokratisasi yg digambarkan sang Samuel P. Huntington tersebut pada atas.

Dengan adanya tuntutan perkembangan yg demikian itu, negara terkini dewasa ini seakan dituntut buat berpaling kembali ke doktrin usang misalnya dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 menggunakan mengidealkan prinsip the best government is the least government. Tentu saja, negara modern kini nir mungkin pulang ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam nir mungkin kembali ke masa lalu. Namun demikian, meskipun negara terbaru sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yg harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara pada global melaku­kan perubahan besar -besaran terhadap format kelem­ba­gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud wajib dilakukan buat merspons kebutuhan konkret secara sempurna. Semua negara terbaru kini ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem­bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yg ma­kin dirasakan nir efisien pada memenuhi tun­tutan aspirasi rakyat yang terus semakin tinggi.

Semua negara dituntut untuk mengadakan pem­baruan pada sektor birokrasi serta administrasi publik. Sebagai citra, sehabis masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara akbar-besaran sejak dasawarsa 1970-an serta 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), membuatkan kebijakan yg sama. Alice Rivlin, pada laporannya dalam tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan mendasar buat melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi dunia, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu menggunakan melakukan tujuh agenda menjadi berikut:
  1. decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
  2. a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
  3. downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
  4. consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
  5. “customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
  6. benchmarking and measuring performance; and
  7. reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut Laporan OECD yg dikemukakan oleh Alice Rivlin tadi, untuk menghadapi tantangan ekonomi dunia dan ketidakpuasan warganegara yg tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa sang keadaan buat melakukan serangkaian rencana pembaruan yg bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan wewenang serta devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yg lebih rendah; Kedua, seluruh pemerintahan perlu meng­adakan evaluasi pulang mengenai (i) apa yg peme­rintah wajib didanai dan lakukan sang pemerintah, (ii) apa yg wajib dibiayai namun tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yg tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus nir perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, seluruh pemerintahan dianjurkan buat berbagi kebijakan yg pelayanan yg lebih cost-effective, misalnya kontrak out-sourcing, prosedur percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter­ma­suk pada berbagi pelayanan generik menggunakan kualitas yg pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yg dirancang buat menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya -biaya yg nir efisien.

Semua kebijakan tersebut penting dilakukan un­tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne serta Ted Gaebler dianggap reinventing government. Buku terakhir ini malah sangat terkenal pada Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, pribadi mendapat perhatian rakyat luas, termasuk pada Indonesia. Bahkan dari tahun 1990-an, kitab ini dijadikan baku dalam rangka pendidikan serta training pejabat tinggi pemerintahan buat menduduki jabatan eselon tiga, eselon dua, dan bahkan eselon 1 yg diselenggarakan oleh Lembaga Admi­nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya merupakan buat menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya birokrasi negara yang diwarisi berdasarkan masa kemudian, serta memperkenalkan ke pada dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, misalnya yg lazim dipraktekkan di global usaha dan pada kalangan para enterpreneurs.

Mengiringi, melanjutkan, serta bahkan men­da­hului kitab David Osborne dan Ted Gaebler ini bahkan banyak lagi kitab -buku lain yg mengkritik kinerja birokrasi negara modern yg dipercaya nir efisien. Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966) bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi tanda-tanda the death of bureaucracy tersebut, baik pada taraf pusat maupun pada daerah pada banyak sekali negara dibentuk banyak lembaga baru yg dibutuhkan bisa bekerja lebih efisien. Da­lam studi yg dilakukan Gerry Stoker terhadap pe­merintah lokal Inggris, contohnya, ditemukan fenomena bahwa:

“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984). Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio­nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”

Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah ada semenjak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan memakai banyak ragam dan bentuk organisasi yg disebut joint committees, boards, dan sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, pada pengoperasian transportasi bus generik, dibentuk kelembagaan tersendiri yang diklaim board atau authority.

Pemerintah Inggris membangun beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya pada urusan-urusan yg sangat khusus. Misalnya, dalam mulanya dibentuk Regional Hospital Board serta kemudian dalam tahun 1974 sebagai Area and Regio­nal Health Authorities. New Town Develop­ment Corporation juga dibuat buat maksud me­nyukseskan program yang diperlukan akan meng­hubung­kan kota-kota satelit pada sekitar kota-kota metoropolitan seperti London serta lain-lain. Demikian jua buat program pembangunan perdesaan, pada­bentuk pula badan-badan otoritas yg khusus me­nangani Rural Development Agencies di wilayah-daerah Mid-Wales serta the Scottish Highlands.

Perkembangan yang terjadi pada negara-negara lain sekitar pula sama dengan apa yang terjadi pada Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi serta ketidakstablan dampak terjadinya aneka macam perubahan sosial dan ekonomi memaksa poly negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui aneka macam bentuk organ pemerintahan yang dievaluasi lebih efektif dan efisien, baik pada tingkat nasional atau pusat juga di tingkat wilayah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi dalam non-elected agencies yang bisa dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan menggunakan elected agencies misalnya parlemen. Tujuannya tidak lain merupakan buat menerapkan prinsip efisiensi supaya pelayanan umum (public services) dapat benar-sahih efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah sebagai slimming down bureaucracies yg pada pada dasarnya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru. 

Di aneka macam negara jua terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yg diklaim menggunakan rupa-rupa kata misalnya dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, serta sebagainya. Namun, dalam pengalaman pada banyak negara, tujuan yg mulia buat efisiensi serta efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharap­kan. Karena itu, kita perlu belajar menurut kekurangan serta kelemahan yang dialami oleh aneka macam negara, sebagai akibatnya kesamaan buat latah pada negara-negara sedang ber­kembang buat meniru negara maju pada me­lakukan pembaharuan di aneka macam sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yg tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibuat itu, dari Gerry Stoker bisa dibagi ke dalam enam tipe organisasi, yaitu:
1. Tipe pertama merupakan organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2. Tipe kedua, organ yg merupakan local authority implementation agency;
3. Tipe ketiga, organ atau institusi menjadi public/private partnership organisation;
4. Tipe keempat, organ menjadi user-organisation.
5. Tipe kelima, organ yg merupakan inter-governmental forum;
6. Tipe Keenam, organ yg merupakan Joint Boards.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, mencakup pemerintah pusat, kementerian-kementerian yg bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti­tutions. Organ-organ tadi dalam umumnya berfungsi sebagai a quasi-governmental world of appoin­ted bodies, serta bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, serta diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi adonan misalnya pada satu pihak menjadi pengatur (regulator), tetapi jua menghukum seperti yudikatif yg dicampur dengan legislatif.

Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, seperti pada Amerika Serikat serta Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, pula banyak ber­tum­buhan lembaga-forum negara baru. Lembaga-lem­baga baru tersebut biasa diklaim sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions menjadi forum negara yang bersifat penunjang. Di antara forum-lembaga itu kadang-kadang ada jua yang diklaim menjadi self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau forum-forum yg men­jalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi peng­hukum­an yang umumnya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan sang forum-forum baru tersebut.

Di antaranya, terdapat juga forum-forum yang hanya bersifat ad hoc atau tidak tetap. Badan-badan atau lembaga-lembaga yg bersifat ad hoc itu, betapapun, berdasarkan John Alder, tetap bisa dianggap mempunyai alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya, 

“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”

Lembaga-lembaga negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, berdasarkan Sir Ivor Jennings, biasanya dibuat karena galat satu menurut lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan buat menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yg bersifat personal yg diidealkan bebas menurut risiko campur tangan politik, misalnya contohnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya hasrat buat mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, misalnya contohnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen misalnya di bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan anggaran tentang pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) misalnya antara lain menggunakan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yg berfungsi sebagai alat perlengkapan yg bersifat semi-judisial buat menuntaskan banyak sekali sengketa pada luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).

Kelima alasan tadi ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya inspirasi bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Pemilikan oleh publik pada bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor eksklusif dipercaya lebih sempurna diorganisasikan pada wadah organisasi tersendiri, seperti yang poly dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Karena demikian poly jumlah serta ragam corak forum-forum ini, sang para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, serta quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, sang Yves Meny serta Andrew Knapp, secara sederhana pula dibedakan adanya 3 tipe primer lembaga-lembaga pemerintahan yg bersifat spesifik tadi (three main types of specialized administration), yaitu: (i) regulatory and monitoring bodies (badan-badan yg melakukan fungsi regulasi serta pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan yg bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan generik); and (iii) those engaged in productive activities (badan-badan yg terlibat dalam aktivitas-kegiatan produksi).

Dari pengalaman di banyak sekali negara, bisa diketahui bahwa seluruh bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan pada atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan pada trend hujan. Ketika ilham pembaruan kelembagaan diterima menjadi pendapat umum, maka dimana pada seluruh lini dan seluruh bidang, orang berusaha buat menerapkan wangsit pembentukan lembaga serta organisasi-organisasi baru itu menggunakan idealisme, yaitu untuk modernisasi serta pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang sebagai perkara merupakan, proses pembentukan forum-forum baru itu tumbuh cepat tanpa berdasarkan atas desain yg matang serta komprehensif. 

Timbulnya wangsit demi wangsit bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, namun dibungkus sang idealisme serta jiwa kepahlawanan yang tinggi. Ide pembaruan yg menyertai pembentukan forum-forum baru itu dalam umumnya didasarkan atas dorongan buat mewujudkan idenya sesegera mungkin lantaran adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan buat dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, demam isu pembentukan forum-forum baru itu tumbuh bagaikan cendawan di animo hujan, sebagai akibatnya jumlahnya poly sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang akbar.

Upaya buat melakukan slimming down bureaucracies seperti yg dikemukakan sang Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, forum-forum baru yg demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang didapatkan, melainkan justru menambah in­efisien­si lantaran mempertinggi beban aturan negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin poly. Kadang-kadang terdapat pula forum yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc buat masa ketika eksklusif. Akan tetapi, lantaran poly jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng­urusnya terus menerus digaji dari aturan pen­dapatan serta belanja negara ataupun anggaran pendapatan serta belanja wilayah. 

Dengan perkataan lain, pengalaman praktek pada banyak negara menampakan bahwa tanpa adanya desain yang meliputi dan menyeluruh tentang kebutuhan akan pembentukan forum-forum negara tadi, yang akan didapatkan bukanlah efisiensi, namun malah semakin inefisien serta menga­caukan fungsi-fungsi antar forum-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan generik (public services). Apalagi, bila ne­gara-negara yg sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang gampang kagum buat meniru begitu saja apa yg dipraktekkan pada negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya serta kerangka kelembagaan dari masyarakatnya buat menerapkan inspirasi-ide mulia yang datang berdasarkan dunia lain itu.

Perubahan-perubahan pada bentuk perombak­an mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan pada seluruh lapisan dan di seluruh sektor, selama sepeuluh tahun terakhir bisa dikatakan sangat luas serta fundamental. Apalagi, menggunakan adanya perubahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita jua wajib ditata kembali sinkron menggunakan cetak biru yg diamanatkan sang UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama pada sejarah republik kita. Kalau pada praktek, kita mendapati bahwa wangsit-wangsit serta rancangan-rancangan perubahan kelembagaan tiba begitu saja pada setiap saat dan pada setiap sektor, maka bisa dikatakan bahwa perombakan struktural yg sedang terjadi berlangsung tanpa desain yg menyeluruh, persis misalnya pengalaman yang terjadi pada poly negara lain yg justru terbukti nir membuat efisiensi misalnya yg diperlukan. Lantaran itu, pada masa transisi dari tahun 1998, usahakan bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan akbar-besaran pada rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Hubungan AntarLembaga Negara Berdasarkan UUD 1945

1. Pengertian Lembaga Negara
Untuk memahami pengertian forum atau organ negara se­ca­ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya berdasarkan pan­dang­an Hans Kelsen tentang the concept of the State-Organ da­lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel­sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func­tion determined by the legal order is an organ”. Siapa sa­ja yg menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh su­a­tu rapikan-aturan (legal order) adalah suatu organ. 

Artinya, organ negara itu nir selalu berbentuk or­ga­­nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu­­­as lagi, setiap jabatan yang dipengaruhi sang aturan bisa pu­­la dianggap organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men­­­cipta­kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men­­­­jalan­kan kebiasaan (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac­ter, are all ultimately aimed at the execution of a sah sanc­tion”. 

Menurut Kelsen, parlemen yg menetapkan un­dang-undang dan warga negara yang menentukan para wakil­nya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan or­gan negara pada arti luas. Demikian juga hakim yang meng­­adili serta menghukum penjahat dan terpidana yang men­jalan­kan sanksi tersebut di forum pemasyara­kat­­an, merupakan jua adalah organ negara. Pendek kata, da­lam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yg menjalankan fungsi atau jabatan ter­tentu pada konteks kegiatan bernegara. Inilah yang di­­sebut menjadi jabatan publik atau jabatan umum (public offi­ces) dan pejabat publik atau pejabat generik (public offi­cials).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen jua meng­urai­kan adanya pengertian organ negara pada arti yg sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In­­dividu dikatakan organ negara hanya apabila beliau secara pri­­­badi memiliki kedudukan hukum yg eksklusif (...he per­­­sonally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, contohnya, kontrak, merupakan merupakan tin­dak­an atau perbuatan yang menciptakan hukum misalnya halnya suatu putusan pengadilan.

Lembaga negara terkadang diklaim dengan kata lembaga pemerintahan, forum pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yg dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan sang Undang-Undang Dasar, terdapat jua yg pada­bentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, serta bahkan ada jua yg hanya dibuat berdasar­kan Ke­pu­tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan­nya tentu saja tergantung dalam derajat pengaturannya me­nu­rut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Lembaga negara yg diatur dan dibentuk oleh UUD me­rupakan organ konstitusi, sedangkan yg dibentuk ber­dasarkan UU adalah organ UU, sementara yg hanya dibentuk lantaran keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi strata serta derajat perlakuan hukum ter­ha­dap pejabat yg duduk pada dalamnya. Demikian jua bila lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan ber­da­sarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi ting­katan­nya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ serta functie. Organ merupakan bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sinkron maksud pembentukannya. Dalam naskah Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yg dimaksud, ada yg disebut secara eksplisit namanya, serta ada pula yg disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada jua lembaga atau organ yg diklaim bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Jika dikaitkan menggunakan hal tadi di atas, maka bisa dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang menurut 34 organ yg disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau forum tadi merupakan:
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur pada Bab III UUD 1945 yg pula diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yg terdiri atas 3 ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas 3 ayat;
2) Presiden yg diatur keberadaannya dalam Bab III Undang-Undang Dasar 1945, dimulai menurut Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) wapres yg keberadaannya juga diatur pada Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu sang satu orang wapres";
4) Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri pada Bab V Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (dua), dan (tiga);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bersama-sama menggunakan Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pertahanan menjadi pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam ketika yang bersamaan dalam jabatan Presiden serta wapres;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat beserta-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dari Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu dianggap secara indvidual-sendiri, karena bisa saja terjadi permasalahan atau konkurensi wewenang konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membangun suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yg selanjutnya diatur dalam undang-undang";
9) Duta seperti diatur pada Pasal13 ayat (1) serta (dua);
10) Konsul misalnya yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (tiga), (5), (6) serta ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945;
12) Gubemur Kepala Pemerintah Daerah misalnya yang diatur pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur pada Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14) Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (lima), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten misalnya yang diatur pada Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur pada Pasal18 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar 1945;
17) Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (tiga), (lima), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota misalnya yg diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota misalnya yg diatur sang Pasal 18 ayat (tiga) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintahan Daerah yg bersifat spesifik atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, diatur dengan undang-undang. Lantaran kedudukannya yg khusus serta diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yg bersifat spesifik atau istimewa ini diatur tersendiri sang UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, dan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur menggunakan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan wilayah yg demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai forum atau organ yang keberadaannya diakui serta dihormati sang negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yg diatur dalam Bab VII UUD 1945 yg berisi Pasal 19 hingga dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yg terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23) Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (lima) UUD 1945 yg memilih bahwa pemilihan generik wajib diselenggarakan sang suatu komisi yg bersifat nasional, permanen, dan berdikari. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan sang Undang-Undang Dasar 1945, melainkan sang Undang-Undang;
24) Bank sentral yang dianggap eksplisit sang Pasal 230, yaitu "Negara mempunyai suatu bank sentral yg susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, serta independensinya diatur menggunakan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, Undang-Undang Dasar 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral kini adalah Bank Indonesia. Namun, nama Bank Indonesia bukan nama yang dipengaruhi sang Undang-Undang Dasar 1945, melainkan sang undang-undang dari fenomena yang diwarisi dari sejarah pada masa kemudian.
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yg diatur tersendiri pada Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas tiga pasal, yaitu Pasal 23E (tiga ayat), Pasal 23F (2 ayat), serta Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yg pula diatur keberadaannya pada Bab IX, Pasal 24 serta Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945;
28) Komisi Yudisial yg pula diatur dalam Bab IX, Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 menjadi auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 serta Pasal 24A UUD 1945;
29) TNI (Tentara Nasional Indonesia) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XII tentang Pertahanan serta Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan Darat (Tentara Nasional Indonesia AD) diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur pada Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang jua diatur pada Bab XII Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait menggunakan kehakiman misalnya kejaksaan diatur pada undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yg berbunyi, "Badan-badan lain yang kegunaannya berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yg ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat juga membuka pintu bagi lembaga-forum negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit dianggap dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 memilih, "Badan-badan lain yang kegunaannya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur pada undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial serta kepolisian negara yg sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih berdasarkan satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu diantaranya merupakan Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum menjadi galat satu lembaga yang diusulkan diatur pada Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak menerima konvensi, sebagai akibatnya pengaturannya pada UUD 1945 ditiadakan.

Namun, karena yang dianggap dalam Pasal 24 ayat (tiga) tadi di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih berdasarkan satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang manfaatnya pula berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, serta/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya merupakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-forum ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit diklaim dalam UUD 1945, namun sama-sama mempunyai constitutional importance pada sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia adalah materi utama setiap konstitusi tertulis di global. Untuk melindungi serta mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membangun satu komisi yg bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan forum negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat krusial bagi negara demokrasi konstitusional. Lantaran itu, meskipun pengaturan serta pembentukannya hanya berdasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri pada Undang-Undang Dasar, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang diklaim sebagai constitutional importance yang sama dengan forum-forum negara lainnya yg disebutkan eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sama halnya dengan eksistensi Kejaksaan Agung serta kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yg demokratis. Keduanya memiliki derajat kepentingan (importance) yang sama. Tetapi, pada UUD 1945, yang dipengaruhi kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak diklaim. Hal nir disebutnya Kejaksaan Agung yg dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian pada UUD 1945, nir bisa dijadikan alasan buat menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama krusial atau mempunyai constitutional importance yg sama. Setiap yg mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara aturan yg demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara serta kejaksaan menjadi forum-lembaga penegak hukum yg efektif.

3. Pembedaan Dari Segi Fungsi serta Hierarki
Dari segi manfaatnya, ke-34 forum tadi, ada yg bersifat utama atau utama, serta ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan berdasarkan segi hirarkinya, ke-30 forum itu bisa dibedakan ke dalam 3 lapis. Organ lapis pertama bisa dianggap menjadi forum tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai forum negara saja, sedangkan organ lapis ketiga adalah forum wilayah. Memang benar sekarang nir ada lagi sebutan forum tinggi serta forum tertinggi negara. Tetapi, buat memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama bisa diklaim menjadi lembaga tinggi negara, yaitu:
1) Presiden serta wapres;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua dapat diklaim forum negara saja. Ada yg menerima kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar, dan ada juga yang mendapatkan kewenangannya menurut undang-undang. Yang mendapatkan wewenang menurut Undang-Undang Dasar, contohnya, adalah Komisi Yudisial, TNI, serta Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang asal kewenangannya merupakan undang-undang, contohnya, merupakan Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis forum negara tadi bisa disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, namun jauh lebih bertenaga. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak bisa ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang­undang. Lembaga-lembaga negara menjadi organ konstitusi lapis ke 2 itu adalah:
1) Menteri Negara;
2) Tentara Nasional lndonesia;
3) Kepolisian Negara;
4) Komisi Yudisial;
5) Komisi pemilihan umum;
6) Bank sentral.

Dari keenam forum atau organ negara tersebut pada atas, yg secara tegas dipengaruhi nama dan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, serta Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu menjadi lembaga penyelenggara pemilihan generik (pemilu). Akan namun, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum nir dianggap dengan alfabet akbar.

Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan sang suatu komisi pemilihan generik yang bersifat nasional, tetap, serta berdikari". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur menggunakan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan dipengaruhi oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama pada forum ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.

Selain itu, nama dan wewenang bank sentral pula tidak tercantum eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, wewenang, tanggung jawab, serta independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yg telah dikenal misalnya selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya pada undang-undang. Demikian juga dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU.

Dengan demikian derajat protokoler grup organ konstitusi dalam lapis kedua tadi pada atas jelas tidak sinkron dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis ke 2 ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yg dibentuk menurut undang-undang, misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran serta Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.

Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yg termasuk kategori forum negara yg asal kewenangannya berasal menurut regulator atau pembentuk peraturan pada bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional serta Komisi Ombudsman Nasional dibuat menurut Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya berdasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Apabila presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang buat itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung pada beleid presiden.

Di samping itu, ada pula forum-forum daerah yang diatur pada Bab VI UUD 1945 mengenai Pemda. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang bisa diklaim sebagai organ daerah atau forum wilayah yg merupakan lembaga negara yg terdapat pada wilayah. Lembaga-forum daerah itu adalah:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi;
2) Gubemur;
3) DPRD provinsi;
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5) Bupati;
6) DPRD Kabupaten;
7) Pemerintahan Daerah Kota;
8) Walikota;
9) DPRD Kota

Di samping itu, pada Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dianggap pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yg bersifat spesifik atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas sang undang-undang dasar, sebagai akibatnya eksistensinya sangat bertenaga secara konstitusional.

Oleh sebab itu, tidak dapat nir, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus jua dipahami sebagai bagian menurut pengertian lembaga daerah dalam arti yg lebih luas. Dengan demikian, forum daerah pada pengertian pada atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.

Di antara forum-forum negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat yang bisa mengkategorikan menjadi organ utama atau utama (primary constitutional organs), dan terdapat juga yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami per­bedaan di antara keduanya, lembaga-forum negara tersebut bisa dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif serta fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara terdapat presiden serta wakil presiden yang adalah satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu terdapat dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun pada samping keduanya ada juga Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas prestise, kehormatan, serta perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah forum penegak hukum (the enforcer of the rule of law), namun adalah forum penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

Sedangkan dalam fungsi supervisi dan kekuasaan legislatif, masih ada empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara itu, pada cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga forum, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya 2, yaitu Mahkamah Konstitusi, serta Mahkamah Agung. Tetapi, pada rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan menjadi lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibuat lembaga tersendiri yg bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, serta karenanya kedudukannya bersifat independen dan nir tunduk pada pengaruh keduanya. Akan namun, fungsinya permanen bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang masih ada pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial dipengaruhi kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yg sederajat menggunakan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung nir ditentukan kewenangannya pada UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara dipengaruhi dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan namun, pencantuman ketentuan mengenai wewenang Kepolisian itu pada Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara aturan yang demokratis, forum kepolisian serta kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa menjadi lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai kepolisian negara itu pada Undang-Undang Dasar 1945, jua tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan forum kepolisian negara itu sebagai forum konstitusional yang sederajat kedudukannya menggunakan lembaga-forum tinggi negara lainnya, seperti presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal dianggap atau tidaknya atau dipengaruhi tidaknya kekuasaan sesuatu forum pada undang-undang dasar nir dan merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia dari Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan serta fungsinya, lembaga (tinggi) negara yg dapat dikatakan bersifat utama atau primer merupakan (i) Presiden; (ii) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); (iii) DPD (Dewan Perwakilan Daerah); (iv) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat); (v) MK (Mahkamah Konstitusi); (vi) MA (Mahkamah Agung); dan (vii) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Lembaga tersebut di atas bisa disebut menjadi lembaga tinggi negara. Sedangkan lembaga-forum negara yg lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut bisa disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.

Oleh karena itu, misalnya hubungan antara KY menggunakan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang sebagai penentu yang pokok. Mes­kipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak ditinjau sederajat sebagai forum tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap berbeda menggunakan MA. Demikian pula Komisi Pengawas Kejaksaan serta Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural menggunakan organisasi POLRI serta Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen serta atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dilihat sederajat. Yang dapat dianggap sebagai forum tinggi negara yang utama tetaplah forum-forum tinggi negara yg mencerminkan cabang-cabang kekuasaan primer negara, yaitu legislature, executive, serta judiciary.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara misalnya Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, serta lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti Presiden/Wakil Presiden, DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MK, serta MA, tetapi berdasarkan segi kegunaannya forum-forum tersebut bersifat auxiliary atau memang berada pada satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk memilih apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yg dipakai nir hanya bahwa kewenangan KY itu misalnya halnya kewenangan MA dan MK dipengaruhi dalam UUD 1945. Karena, wewenang TNI serta POLRI jua dipengaruhi pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural Tentara Nasional Indonesia dan POLRI dapat disejajarkan menggunakan tujuh lembaga negara yg sudah diuraikan di atas. TNI serta POLRI tetap tidak bisa disejajarkan strukturnya menggunakan presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan POLRI ditentukan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Demikian juga, Pusat Pelaporan serta Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, namun kedudukannya tidak bisa dikatakan berada di bawah POLRI serta TNI hanya karena kewenangan kedua forum terakhir ini diatur pada Undang-Undang Dasar 1945. Kejaksaan Agung serta Bank Indonesia sebagai bank sentral jua tidak ditentukan kewe­nangannya dalam Undang-Undang Dasar, melainkan hanya ditentukan sang undang-undang. Namun kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia nir bisa dikatakan lebih rendah daripada Tentara Nasional Indonesia serta POLRI. Oleh karena itu, sumber normatif wewenang forum-forum tersebut tidak otomatis memilih status hukumnya dalam hirarkis susunan antara forum negara.

4. Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga Negara
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang bersifat mendasar tentu menyebabkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan negara, tetapi pula lantaran perubahan kerangka berpikir aturan dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip fundamental yg memilih hubungan antar lembaga negara antara lain merupakan Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, dan Pemisahan Kekuasaan serta Check and Balances.

Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan fundamental dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan perubahan Pasal 1 ayat (2) yg berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD." Ketentuan ini membawa akibat bahwa kedaulatan masyarakat tidak lagi dilakukan sepenuhnya sang Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilakukan dari ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara pada atas lembaga-lembaga tinggi negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (dua) UUD 1945 tadi, UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi aplikasi kedaulatan warga . Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan sang seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat serta lalu didistribusikan kepada forum-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 kedaulatan tetap berada di tangan masyarakat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) pada organ-organ konstitusional.

Konsekuensinya, sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikenal lagi konsepsi forum tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yang adalah organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis pada bawah MPR, tetapi sejajar serta saling bekerjasama menurut wewenang masing-masing berdasarkan UUD 1945.

Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan yang dianut nir sepenuhnya sistem presidentil. Jika ditinjau interaksi antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yg sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yg dipengaruhi (fix term) memang menerangkan ciri sistem presidentil. Tetapi bila dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, serta bisa memberhentikan Presiden, maka sistem tadi mempunyai ciri-karakteristik sistem parlementer. Presiden merupakan mandataris MPR serta sebagai konsekuensinya Presiden bertanggungjawab pada MPR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat memberhentikan Presiden.

Salah satu konvensi dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah "putusan bulat buat mempertahankan sistem presidensiil (pada pengertian sekaligus menyempumakan agar benar -betul memenuhi karakteristik-ciri umum sistem presidensiil)." Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan mendasar pertama merupakan perubahan kedudukan MPR yg mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan forum tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya buat menyempurnakan sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara forum eksekutif dan legislatif, pada hal ini terutama antara DPR serta Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden serta wapres yang dilakukan secara pribadi oleh rakyat serta prosedur pemberhentian pada masa jabatan sebagaimana diatur pada Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 Undang-Undang Dasar 1945. Karena Presiden serta wapres dipilih secara eksklusif sang warga , maka mempunyai legitimasi bertenaga dan nir dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan delik.

Proses usulan pemberhentian Presiden serta atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan pada prosedur politik, namun menggunakan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah kasus pelanggaran hukum , maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi wajib dilewati. Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal lima ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Perubahan, diganti menggunakan hak mengusulkan rancangan undang-undang serta diserahkan pada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden tidak bisa membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C Undang-Undang Dasar 1945.

Pemisahan Kekuasaan serta Check and Balances
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi acapkali dianggap dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden nir hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) namun pula memegang kekuasaan membangun undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) pada UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yg semula dimiliki oleh Presiden sebagai dimiliki sang DPR dari output Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1), maka yg diklaim menjadi lembaga legislatif (primer) adalah DPR, sedangkan forum eksekutif merupakan Presiden. Walaupun pada proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden pada hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan menjadi legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945.

Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan sang Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan yudikatif yg dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan buat mengimbangi pembangian kekuasaan yg dilakukan agar nir terjadi penyalahgunaan kekuasaan sang lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan pada hubungan antarlembaga. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.

Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya, walaupun dipengaruhi kekuasaan membuat undang-undang dimiliki sang DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kolaborasi dengan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang sudah menerima persetujuan beserta DPR serta Presiden serta sudah disahkan serta diundangkan pun bisa dinyatakan nir memiliki kekuatan aturan mengikat sang MK bila dinyatakan bertentangan menggunakan Undang-Undang Dasar 1945.

Khusus tentang DPD, meskipun terkait dengan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang eksklusif, namun fungsinya nir dianggap sebagai fungsi legislatif. DPD hanya berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat dan melakukan pengawasan yang sifatnya nir mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap fungsi DPR.

Di sisi lain, Presiden pada menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan menurut DPR. Pengawasan nir hanya dilakukan selesainya suatu aktivitas dilaksanakan, namun pula pada saat dibentuk perencanaan pembangunan serta alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR pada hal ini relatif kuat lantaran memiliki fungsi aturan secara spesifik selain fungsi legislasi serta fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi demikian kekuasaan DPR jua terbatas, DPR nir bisa menjatuhkan Presiden serta atau Wakil Presiden kecuali karena alasan delik. Usulan DPR tersebut harus melalui forum aturan di MK sebelum bisa diajukan ke MPR.