PENGERTIAN SISTEM HUKUM NASIONAL MENURUT AHLI
Pengertian Sistem Hukum Nasional
Sistem merupakan kesatuan yg terdiri menurut bagian-bagian yang satu dengan yg lain saling bergantung buat mencapai tujuan tertentu. Ada juga yang mengungkapkan bahwa sistem adalah holistik yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yg terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu menggunakan yg lain secara teratur. Sedangkan hukum nasional merupakan hukum atau peratuan perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan buat mencapai tujuan, dasar, dan cita aturan suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau perundang-undangan yg dibangun buat mencapai tujuan negara yg bersumber dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.
Dikatakan demikian, karena pada dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, serta cita hukum negara Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spesial budaya bangsa Indonesia yg tumbuh serta berkembang dalam pencerahan hidup bermasyarakat selama berabad-abad.
Dengan demikian, sistem aturan nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di semua wilayah Indonesia yang mencakup semua unsur aturan (seperti isi, struktur, budaya, wahana, peraturan perundang-undangan, dan seluruh sub unsurnya) yg antara satu dengan yang lain saling bergantung serta yg bersumber berdasarkan Pembukaan serta pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 (Mahfud, 2006:21).
Unsur-unsur sistem hukum
Ketika menyebut unsur-unsur utama sistem aturan, poly orang mengacu dalam Friedman yg menjelaskan adanya 3 unsur yakni substance(materi/substansi), structure (struktur), serta culture (budaya). Tetapi, banyak juga yg lalu mengembangkannya ke dalam unsur-unsur yg lebih khusus sehingga komponennya bukan hanya 3 namun lebih berdasarkan itu. GBHN-GBHN menjelang masa akhir Orde Baru pada politik pembangunan hukumnya contohnya menyebut empat unsur yakni isi, aparat, budaya, serta wahana-prasarana (Mahfud, 2006:22).
Sebagai pembanding, Sunaryati Hartono merinci unsur-unsur sistem aturan ke dalam 12 unsur yaitu (1) filsafat (termasuk asas-asas hukum), (dua) substansi atau materi aturan, (3) keseluruhan lembaga-lembaga hukum, (4) proses serta mekanisme aturan, (5) asal daya insan (brainware), (6) sistem pendidikan hukum, (7) susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antarlembaga aturan, (8) alat-alat perkantoran forum-forum hukum (hardware), (9) aplikasi (aplikasi) misalnya petunjuk aplikasi yg tepat, (10) kabar aturan, perpustakaan serta penerbitan dokumen-dokumen serta buku atau website (melalui internet), (11) pencerahan aturan serta konduite rakyat (budaya hukum), serta (12) anggaran belanja negara yg disediakan bagi pelaksanaan tugas-tugas lembaga aturan dan penyelenggaraan pembangunan hukum yang profesional. Sementara itu, Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa kasus-perkara yang dipersoalkan pada sistem hukum mencakup 5 hal, yaitu (1) elemen atau unsur-unsur sistem aturan, (dua) bidang-bidang sistem aturan, (tiga) konsistensi sistem hukum, (4) pengertianpengertian dasar sistem hukum, serta (lima) kelengkapan sistem aturan.
Peradilan Nasional
Kebebasan lembaga peradilan berdasarkan campur tangan serta intervensi kekuatan pada luarnya merupakan kasus yang sangat esensial pada penegakan aturan. Di Indonesia, masalah ini sudah sebagai diskusi resmi di kalangan pendiri Republik Indonesia di BPUPKI dan sebagai diskusi publik semenjak awal Orde Baru sampai sekarang (Mahfud, 2006:89).
Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan forum peradilan ini, tetapi UUD ini nir menegaskan prinsip kebebasan itu apakah ke dalam struktur ataukah relatif kegunaannya saja. Di aneka macam negara yg penegakan hukumnya sudah nisbi cantik, secara struktural memang nir ada keharusan adanya pemisahan tegas antara forum yudikatif serta eksekutif, lantaran yg utama merupakan kegunaannya. Namun, buat Indonesia terdapat pertimbangan eksklusif yg mendorong adanya pemisahan struktural itu.
Salah satu hal yg perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Ini krusial ditegaskan karena tak jarang muncul pandangan bahwa negara demokrasi itu wajib menganut konsep Trias Politika misalnya apa adanya. Namun, pelembagaan banyak sekali kekuasaan negara di Indonesia memberitahuakn dengan tegas bahwa para perumus Undang-Undang Dasar 1945 sangat ditentukan oleh ajaran Trias Politika. Dikatakan menjadi ditentukan tetapi nir menganut Trias Politika lantaran poros-poros kekuasaan pada Indonesia bukan hanya tiga, melainkan semula terdapat 5 yang sejajar, yaitu legislatif (Presiden serta DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (BPK), dan konsultatif (DPA). Kemudian di atas kelima poros itu ada MPR yg adalah lembaga suprematif. Selain itu, poros kekuasaan yg dipengaruhi Undang-Undang Dasar 1945 itu tidaklah diletakkan dalam posisi yang terpisah secara absolut melainkan dijalin sang satu interaksi kerjasama fungsional. Setelah amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945, forum-lembaga negara tetap lebih berdasarkan 3 namun nir terdapat lagi yang lebih tinggi antara satu dengan yg lain.
1. Kekuasaan Kehakiman Era Orde Lama
Sejak kemerdekaan, pada saat pembentukan Kabinet pertama (2 September 1945), di lingkungan eksekutif sudah dibuat Departemen Kehakiman yg eksistensinya berlanjut hingga sekarang.
Di pada era Demokrasi Terpimpin yg pula diklaim era Orde Lama ini, sistem politik yg dibangun Bung Karno merupakan sistem politik otoriter yg mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan presiden. Sistem politik yang semacam ini berimbas juga pada dilemahkannya lembaga peradilan dan dihilangkannya kebebasannya. UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965 memuat ketentuan yg kentara-jelas menghilangkan kebebasan kekuasan peradilan.
Pada pasal 19 UU No. 19 tahun1964 dicantumkan ketentuan bahwa : “Demi kehormatan revolusi, negara serta bangsa atau kepentingan rakyat yg sangat mendesak, Presiden bisa turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.
Ketentuan ini memperlihatkan bahwa betapa campur tangan Presiden dalam soal-soal pengadilan diberi pembenaran oleh undnag-undang. Meskipun disebutkan bahwa campur tangan itu hanya bisa dilakukan dengan alasan demi kehormatan revolusi, negara, serta bangsa atau kepentingan warga yang sangat mendesak, kriteria alasan-alasan tadi batas-batasnya tidak dipengaruhi sehingga beliau lebih poly diserahkan pada pandangan serta kemauan presiden. Seumpama terdapat kriterianya pun, campur tangan pemerintah atas lembaga peradilan menggunakan alasan apa pun tetap tidak bisa dibenarkan di dalam negara konstitusional.
2. Pembenahan Masa Orde Baru
Setelah Orde Baru lahir, menggunakan tema menegakkan kehidupan yang konstitusional atau melaksanakan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni serta konsekuen, maka upaya memberikan kemerdekaan pada kekuasaan kehakiman mulai diteriakkan. Orde Baru memang lahir menggunakan semangat konstitusionalisme.
Krisis politik serta ekonomi yang melilit negara pada masa Demokrasi Terpimpin dinilai menjadi dampak dari terlalu otoriter dan inkonstitusionalnya Bung Karno menjadi Presiden. Untuk mengatasi krisis tadi, maka ajakan hidup bernegara secara konstitusional diteriakkan di mana-mana. Komitmen buat menegakkan Pancasila serta UUD 1945 diperkokoh dan demokratisasi ditawarkan menjadi babakan baru pada kehidupan bernegara. Sejauh menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, somasi-somasi atas keberadaan UU No. 19 Tahun 1964 serta UU No. 13 Tahun 1965 diteriakkan secara gencar.
Keluarnya Tap MPRS No. XIX Tahun 1966 bisa dipercaya sebagai pernyataan mengenai inkonstitusionalnya kedua UU produk Orde Lama itu, terutama sejauh menyangkut campur tangan presiden.
Pada awal Orde Baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah mengungkapkan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat kelengkapan negara yang berdiri sendiri. Tetapi, langkah awal tersebut ternyata wajib surut ketika dalam tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman yg ternyata masih menganut sistem pelatihan administratif dan finansial hakim oleh eksekutif. Hal ini permanen bisa menjadi problem bila dia dikaitkan dengan harapan buat mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yg bebas merdeka.
3. Era Reformasi
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun 1998, seluruh produk aturan era Orde baru yg berwatak konservatif segera diubah. Ini sinkron menggunakan dalil bahwa sebagai produk politik maka hukum-aturan akan berubah sejalan dengan perubahan politik. Hukum-aturan yg diubah waktu itu merupakan hukum-aturan pada bidang politik yg terkait dengan hubungan kekuasaan yg perubahannya diarahkan berdasarkan tabiat sentralistik dan otoriter sebagai partisipatif dan demokratis.
Hukum pada bidang kekuasaan kehakiman yang selama Orde Baru terlalu membuka peluang bagi campur tangan pihak eksekutif kemudian diubah serta diganti. UU No. 14 Tahun 1970 diganti menggunakan UU No. 35 Tahun 1999 yg salah satu politik hukumnya merupakan menyatuatapkan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Dengan penyatuatapan ini, maka pelatihan hakim yg semula dipencar ke eksekutif (pada hal kepegawaian, administratif dan finansial) dan ke yudikatif atau MA (pada hal teknis yudisial) berdasarkan UU tadi disatukan semua pada bawah Mahkamah Agung.
Perkembangan yang lebih maju dalam politik aturan kekuasaan kehakiman ini lalu dituangkan jua pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada amandemen ketiga tahun 2001, pasal 24 ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945 mengungkapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan sang Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi menggunakan kompetensi yg tidak sama. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara menggunakan hak melakukan uji materi (judicial review atau secara lebih spesifik melakukan constitutional review) UU terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi pula memiliki tugas spesifik lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden nir lagi memenuhi syarat; memutus pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan pada dalam UUD sehingga mereka dapat diproses untuk diberhentikan; memutus sengketa wewenang antar forum negara yg kewenangannya diberikan sang Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran parpol serta memutus konkurensi output pemilu. Sementara itu, Mahkamah Agung mengadili kasus-perkara konvensional lainnya ditambah dengan hak uji materi peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Selain mengatur pembentukan Mahkamah Konstitusi perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga memperkenalkan lembaga negara baru pada rumpun kekuasaan kehakiman menjadi lembaga pembantu (auxiliary institution) yaitu Komisi Yudisial (KY). UU mengenai Komisi Yudisial dibentuk pada tahun 2004 melalui UU No. 22 Tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk dalam pertengahan tahun 2005.
4. Hukum serta Peradilan Internasional
Dalam hubungan antarnegara sangat mungkin muncul konfrontasi akibat ketidaksepahaman dua atau beberapa negara mengenai suatu hal. Karena itu diperlukan suatu aturan yang disepakati bersama serta dihormati secara internasional sang negara-negara yg terdapat pada global. Dua atau lebih negara bisa menjalin konvensi mengenai maslaah bersama. Kesepakatan semacam ini diharapkan agar tercipta ketertiban dunia.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum internasional merupakan holistik kaidah serta asas yg mengatur hubungan atau duduk perkara yg melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara. Hukum internasional diberlakukan dalam rangka menjaga interaksi serta kolaborasi antarnegara. Karena itu, hukum tersebut nir boleh dibuat tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu, aturan internasional harus memperhatikan asas-asas berikut:
a. Asas teritorial
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi seluruh orang dan semua barang pada daerahnya. Jadi, terhadap seluruh barang atau orang yg berada di luar daerah tersebut berlaku aturan asing (internasional) sepenuhnya.
b. Asas kebangsaan
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara buat mengatur rakyat negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun berada, tetap berada pada bawah jangkauan hukum negara asalnya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya, aturan suatu negara permanen berlaku bagi warga negaranya walaupun beliau berada pada negara lain.
c. Asas kepentingan generik
Asas ini didasarkan pada wewenang negara buat melindungi serta mengatur kepentingan pada kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri menggunakan seluruh keadaan serta insiden yg bersangkut paut menggunakan kepentingan generik. Jadi, hukum nir terikat dalam batas-batas daerah suatu negara.
Apabila ketiga asas ini nir diperhatikan, akan timbul kekacauan dalam hubungan antarbangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara menggunakan negara lain perlu terdapat interaksi yg teratur serta tertib dalam bentuk hukum internasional.
Comments
Post a Comment