PENGERTIAN SISTEM HUKUM NASIONAL MENURUT AHLI

Pengertian Sistem Hukum Nasional 
Sistem adalah kesatuan yang terdiri menurut bagian-bagian yg satu dengan yg lain saling bergantung buat mencapai tujuan eksklusif. Ada jua yang menyampaikan bahwa sistem merupakan keseluruhan yg terdiri dari poly bagian atau komponen yang terjalin dalam interaksi antara komponen yg satu dengan yang lain secara teratur. Sedangkan aturan nasional adalah hukum atau peratuan perundang-undangan yang dibuat serta dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. Dalam konteks ini, aturan nasional Indonesia merupakan kesatuan hukum atau perundang-undangan yg dibangun buat mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. 

Dikatakan demikian, karena pada dalam Pembukaan dan Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita aturan negara Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spesial budaya bangsa Indonesia yg tumbuh serta berkembang pada kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. 

Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia merupakan sistem hukum yang berlaku di seluruh daerah Indonesia yang meliputi seluruh unsur aturan (seperti isi, struktur, budaya, wahana, peraturan perundang-undangan, dan seluruh sub unsurnya) yg antara satu menggunakan yg lain saling bergantung serta yg bersumber dari Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 (Mahfud, 2006:21). 

Unsur-unsur sistem hukum 
Ketika menyebut unsur-unsur utama sistem aturan, poly orang mengacu dalam Friedman yang menyebutkan adanya tiga unsur yakni substance(materi/substansi), structure (struktur), serta culture (budaya). Tetapi, banyak jua yang lalu mengembangkannya ke dalam unsur-unsur yg lebih spesifik sehingga komponennya bukan hanya 3 tetapi lebih berdasarkan itu. GBHN-GBHN menjelang masa akhir Orde Baru pada politik pembangunan hukumnya misalnya menyebut empat unsur yakni isi, aparat, budaya, dan sarana-prasarana (Mahfud, 2006:22). 

Sebagai pembanding, Sunaryati Hartono merinci unsur-unsur sistem aturan ke pada 12 unsur yaitu (1) filsafat (termasuk asas-asas aturan), (dua) substansi atau materi hukum, (3) keseluruhan lembaga-forum aturan, (4) proses serta prosedur hukum, (5) sumber daya insan (brainware), (6) sistem pendidikan aturan, (7) susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antarlembaga aturan, (8) alat-alat perkantoran lembaga-forum hukum (hardware), (9) perangkat lunak (software) misalnya petunjuk pelaksanaan yang sempurna, (10) keterangan hukum, perpustakaan dan penerbitan dokumen-dokumen serta kitab atau website (melalui internet), (11) pencerahan hukum serta konduite warga (budaya hukum), serta (12) anggaran belanja negara yang disediakan bagi aplikasi tugas-tugas forum hukum serta penyelenggaraan pembangunan aturan yang profesional. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa kasus-perkara yang dipersoalkan pada sistem hukum mencakup lima hal, yaitu (1) elemen atau unsur-unsur sistem hukum, (2) bidang-bidang sistem hukum, (tiga) konsistensi sistem hukum, (4) pengertianpengertian dasar sistem hukum, serta (5) kelengkapan sistem hukum. 

Peradilan Nasional 
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan serta intervensi kekuatan di luarnya adalah perkara yg sangat esensial dalam penegakan hukum. Di Indonesia, masalah ini telah menjadi diskusi resmi di kalangan pendiri Republik Indonesia di BPUPKI serta menjadi diskusi publik semenjak awal Orde Baru sampai sekarang (Mahfud, 2006:89). 

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan forum peradilan ini, tetapi Undang-Undang Dasar ini nir menegaskan prinsip kebebasan itu apakah ke dalam struktur ataukah cukup kegunaannya saja. Di banyak sekali negara yg penegakan hukumnya telah nisbi indah, secara struktural memang tidak terdapat keharusan adanya pemisahan tegas antara lembaga yudikatif serta eksekutif, karena yang primer adalah fungsinya. Tetapi, buat Indonesia ada pertimbangan tertentu yg mendorong adanya pemisahan struktural itu. 

Salah satu hal yg perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Ini penting ditegaskan lantaran sering timbul pandangan bahwa negara demokrasi itu wajib menganut konsep Trias Politika seperti apa adanya. Namun, pelembagaan banyak sekali kekuasaan negara di Indonesia menerangkan menggunakan tegas bahwa para perumus UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika. Dikatakan sebagai dipengaruhi tetapi tidak menganut Trias Politika lantaran poros-poros kekuasaan di Indonesia bukan hanya tiga, melainkan semula terdapat 5 yang sejajar, yaitu legislatif (Presiden dan DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (BPK), serta konsultatif (DPA). Kemudian pada atas kelima poros itu ada MPR yg adalah lembaga suprematif. Selain itu, poros kekuasaan yang dipengaruhi UUD 1945 itu tidaklah diletakkan pada posisi yang terpisah secara mutlak melainkan dijalin sang satu interaksi kerjasama fungsional. Setelah amandemen atas UUD 1945, lembaga-forum negara permanen lebih menurut 3 tetapi tidak ada lagi yg lebih tinggi antara satu menggunakan yg lain. 

1. Kekuasaan Kehakiman Era Orde Lama 
Sejak kemerdekaan, pada waktu pembentukan Kabinet pertama (dua September 1945), di lingkungan eksekutif telah dibentuk Departemen Kehakiman yang eksistensinya berlanjut hingga kini . 

Di dalam era Demokrasi Terpimpin yang pula disebut era Orde Lama ini, sistem politik yg dibangun Bung Karno merupakan sistem politik otoriter yang mengkonsentrasikan kekuasaan pada tangan presiden. Sistem politik yg semacam ini berimbas jua pada dilemahkannya forum peradilan dan dihilangkannya kebebasannya. UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965 memuat ketentuan yg kentara-jelas menghilangkan kebebasan kekuasan peradilan. 

Pada pasal 19 UU No. 19 tahun1964 dicantumkan ketentuan bahwa : “Demi kehormatan revolusi, negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yg sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan pada soal-soal pengadilan. 

Ketentuan ini menampakan bahwa betapa campur tangan Presiden dalam soal-soal pengadilan diberi pembenaran sang undnag-undang. Meskipun disebutkan bahwa campur tangan itu hanya dapat dilakukan menggunakan alasan demi kehormatan revolusi, negara, serta bangsa atau kepentingan rakyat yg sangat mendesak, kriteria alasan-alasan tersebut batas-batasnya nir dipengaruhi sebagai akibatnya beliau lebih banyak diserahkan pada pandangan dan kemauan presiden. Seumpama terdapat kriterianya pun, campur tangan pemerintah atas forum peradilan menggunakan alasan apa pun tetap tidak dapat dibenarkan pada pada negara konstitusional. 

2. Pembenahan Masa Orde Baru 
Setelah Orde Baru lahir, menggunakan tema menegakkan kehidupan yg konstitusional atau melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka upaya menaruh kemerdekaan dalam kekuasaan kehakiman mulai diteriakkan. Orde Baru memang lahir dengan semangat konstitusionalisme. 

Krisis politik serta ekonomi yg melilit negara pada masa Demokrasi Terpimpin dinilai sebagai dampak menurut terlalu otoriter serta inkonstitusionalnya Bung Karno sebagai Presiden. Untuk mengatasi krisis tadi, maka ajakan hayati bernegara secara konstitusional diteriakkan pada mana-mana. Komitmen buat menegakkan Pancasila serta UUD 1945 diperkokoh dan demokratisasi ditawarkan sebagai babakan baru pada kehidupan bernegara. Sejauh menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, somasi-gugatan atas keberadaan UU No. 19 Tahun 1964 serta UU No. 13 Tahun 1965 diteriakkan secara gencar. 

Keluarnya Tap MPRS No. XIX Tahun 1966 dapat dianggap sebagai pernyataan tentang inkonstitusionalnya kedua UU produk Orde Lama itu, terutama sejauh menyangkut campur tangan presiden. 

Pada awal Orde Baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah menyampaikan pendapat supaya badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat kelengkapan negara yg berdiri sendiri. Namun, langkah awal tersebut ternyata harus surut saat dalam tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman yg ternyata masih menganut sistem training administratif serta finansial hakim oleh eksekutif. Hal ini permanen dapat menjadi persoalan bila dia dikaitkan dengan asa buat mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka. 

3. Era Reformasi 
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun 1998, seluruh produk hukum era Orde baru yang berwatak ortodok segera diubah. Ini sinkron menggunakan dalil bahwa menjadi produk politik maka aturan-hukum akan berubah sejalan dengan perubahan politik. Hukum-aturan yg diubah saat itu adalah hukum-aturan di bidang politik yang terkait menggunakan interaksi kekuasaan yang perubahannya diarahkan menurut tabiat sentralistik serta otoriter sebagai partisipatif serta demokratis. 

Hukum pada bidang kekuasaan kehakiman yang selama Orde Baru terlalu membuka peluang bagi campur tangan pihak eksekutif kemudian diubah serta diganti. UU No. 14 Tahun 1970 diganti dengan UU No. 35 Tahun 1999 yg galat satu politik hukumnya adalah menyatuatapkan kekuasaan kehakiman pada bawah Mahkamah Agung. Dengan penyatuatapan ini, maka pelatihan hakim yang semula dipencar ke eksekutif (pada hal kepegawaian, administratif serta finansial) serta ke yudikatif atau MA (pada hal teknis yudisial) menurut UU tersebut disatukan semua di bawah Mahkamah Agung. 

Perkembangan yg lebih maju dalam politik aturan kekuasaan kehakiman ini kemudian dituangkan pula dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada amandemen ketiga tahun 2001, pasal 24 ayat (dua) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan sang Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi menggunakan kompetensi yg tidak sama. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara menggunakan hak melakukan uji materi (judicial review atau secara lebih khusus melakukan constitutional review) UU terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi pula memiliki tugas khusus lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden nir lagi memenuhi kondisi; memutus pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sebagai akibatnya mereka dapat diproses untuk diberhentikan; memutus sengketa wewenang antar forum negara yang kewenangannya diberikan sang Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran parpol serta memutus sengketa hasil pemilu. Sementara itu, Mahkamah Agung mengadili kasus-perkara konvensional lainnya ditambah menggunakan hak uji materi peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi. 

Selain mengatur pembentukan Mahkamah Konstitusi perubahan ketiga UUD 1945 jua memperkenalkan forum negara baru pada rumpun kekuasaan kehakiman sebagai forum pembantu (auxiliary institution) yaitu Komisi Yudisial (KY). UU tentang Komisi Yudisial dibuat dalam tahun 2004 melalui UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk dalam pertengahan tahun 2005. 

4. Hukum serta Peradilan Internasional 
Dalam interaksi antarnegara sangat mungkin timbul pertikaian akibat ketidaksepahaman 2 atau beberapa negara tentang suatu hal. Lantaran itu diperlukan suatu anggaran yang disepakati bersama dan dihormati secara internasional oleh negara-negara yg ada di global. Dua atau lebih negara bisa menjalin konvensi tentang maslaah bersama. Kesepakatan semacam ini diharapkan supaya tercipta ketertiban dunia. 

Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa aturan internasional merupakan holistik kaidah serta asas yg mengatur interaksi atau duduk perkara yg melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara. Hukum internasional diberlakukan pada rangka menjaga interaksi dan kolaborasi antarnegara. Lantaran itu, hukum tadi nir boleh dibentuk tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu, aturan internasional wajib memperhatikan asas-asas berikut: 

a. Asas teritorial 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan aturan bagi semua orang dan seluruh barang di daerahnya. Jadi, terhadap semua barang atau orang yang berada pada luar wilayah tersebut berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya. 

b. Asas kebangsaan 
Asas ini berdasarkan pada kekuasaan negara buat mengatur warga negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara pada manapun berada, tetap berada di bawah jangkauan hukum negara asalnya. Asas ini memiliki kekuatan exteritorial. Artinya, hukum suatu negara permanen berlaku bagi rakyat negaranya walaupun beliau berada di negara lain. 

c. Asas kepentingan umum 
Asas ini berdasarkan pada kewenangan negara buat melindungi serta mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara bisa mengikuti keadaan dengan seluruh keadaan dan insiden yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat dalam batas-batas wilayah suatu negara. 

Apabila ketiga asas ini tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan dalam hubungan antarbangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara menggunakan negara lain perlu ada hubungan yang teratur serta tertib dalam bentuk hukum internasional.

PENGERTIAN SISTEM HUKUM NASIONAL MENURUT AHLI

Pengertian Sistem Hukum Nasional 
Sistem merupakan kesatuan yg terdiri menurut bagian-bagian yang satu dengan yg lain saling bergantung buat mencapai tujuan tertentu. Ada juga yang mengungkapkan bahwa sistem adalah holistik yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yg terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu menggunakan yg lain secara teratur. Sedangkan hukum nasional merupakan hukum atau peratuan perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan buat mencapai tujuan, dasar, dan cita aturan suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau perundang-undangan yg dibangun buat mencapai tujuan negara yg bersumber dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. 

Dikatakan demikian, karena pada dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, serta cita hukum negara Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spesial budaya bangsa Indonesia yg tumbuh serta berkembang dalam pencerahan hidup bermasyarakat selama berabad-abad. 

Dengan demikian, sistem aturan nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di semua wilayah Indonesia yang mencakup semua unsur aturan (seperti isi, struktur, budaya, wahana, peraturan perundang-undangan, dan seluruh sub unsurnya) yg antara satu dengan yang lain saling bergantung serta yg bersumber berdasarkan Pembukaan serta pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 (Mahfud, 2006:21). 

Unsur-unsur sistem hukum 
Ketika menyebut unsur-unsur utama sistem aturan, poly orang mengacu dalam Friedman yg menjelaskan adanya 3 unsur yakni substance(materi/substansi), structure (struktur), serta culture (budaya). Tetapi, banyak juga yg lalu mengembangkannya ke dalam unsur-unsur yg lebih khusus sehingga komponennya bukan hanya 3 namun lebih berdasarkan itu. GBHN-GBHN menjelang masa akhir Orde Baru pada politik pembangunan hukumnya contohnya menyebut empat unsur yakni isi, aparat, budaya, serta wahana-prasarana (Mahfud, 2006:22). 

Sebagai pembanding, Sunaryati Hartono merinci unsur-unsur sistem aturan ke dalam 12 unsur yaitu (1) filsafat (termasuk asas-asas hukum), (dua) substansi atau materi aturan, (3) keseluruhan lembaga-lembaga hukum, (4) proses serta mekanisme aturan, (5) asal daya insan (brainware), (6) sistem pendidikan hukum, (7) susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antarlembaga aturan, (8) alat-alat perkantoran forum-forum hukum (hardware), (9) aplikasi (aplikasi) misalnya petunjuk aplikasi yg tepat, (10) kabar aturan, perpustakaan serta penerbitan dokumen-dokumen serta buku atau website (melalui internet), (11) pencerahan aturan serta konduite rakyat (budaya hukum), serta (12) anggaran belanja negara yg disediakan bagi pelaksanaan tugas-tugas lembaga aturan dan penyelenggaraan pembangunan hukum yang profesional. Sementara itu, Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa kasus-perkara yang dipersoalkan pada sistem hukum mencakup 5 hal, yaitu (1) elemen atau unsur-unsur sistem aturan, (dua) bidang-bidang sistem aturan, (tiga) konsistensi sistem hukum, (4) pengertianpengertian dasar sistem hukum, serta (lima) kelengkapan sistem aturan. 

Peradilan Nasional 
Kebebasan lembaga peradilan berdasarkan campur tangan serta intervensi kekuatan pada luarnya merupakan kasus yang sangat esensial pada penegakan aturan. Di Indonesia, masalah ini sudah sebagai diskusi resmi di kalangan pendiri Republik Indonesia di BPUPKI dan sebagai diskusi publik semenjak awal Orde Baru sampai sekarang (Mahfud, 2006:89). 

Penjelasan UUD 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan forum peradilan ini, tetapi UUD ini nir menegaskan prinsip kebebasan itu apakah ke dalam struktur ataukah relatif kegunaannya saja. Di aneka macam negara yg penegakan hukumnya sudah nisbi cantik, secara struktural memang nir ada keharusan adanya pemisahan tegas antara forum yudikatif serta eksekutif, lantaran yg utama merupakan kegunaannya. Namun, buat Indonesia terdapat pertimbangan eksklusif yg mendorong adanya pemisahan struktural itu. 

Salah satu hal yg perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Ini krusial ditegaskan karena tak jarang muncul pandangan bahwa negara demokrasi itu wajib menganut konsep Trias Politika misalnya apa adanya. Namun, pelembagaan banyak sekali kekuasaan negara di Indonesia memberitahuakn dengan tegas bahwa para perumus Undang-Undang Dasar 1945 sangat ditentukan oleh ajaran Trias Politika. Dikatakan menjadi ditentukan tetapi nir menganut Trias Politika lantaran poros-poros kekuasaan pada Indonesia bukan hanya tiga, melainkan semula terdapat 5 yang sejajar, yaitu legislatif (Presiden serta DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (BPK), dan konsultatif (DPA). Kemudian di atas kelima poros itu ada MPR yg adalah lembaga suprematif. Selain itu, poros kekuasaan yg dipengaruhi Undang-Undang Dasar 1945 itu tidaklah diletakkan dalam posisi yang terpisah secara absolut melainkan dijalin sang satu interaksi kerjasama fungsional. Setelah amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945, forum-lembaga negara tetap lebih berdasarkan 3 namun nir terdapat lagi yang lebih tinggi antara satu dengan yg lain. 

1. Kekuasaan Kehakiman Era Orde Lama 
Sejak kemerdekaan, pada saat pembentukan Kabinet pertama (2 September 1945), di lingkungan eksekutif sudah dibuat Departemen Kehakiman yg eksistensinya berlanjut hingga sekarang. 

Di pada era Demokrasi Terpimpin yg pula diklaim era Orde Lama ini, sistem politik yg dibangun Bung Karno merupakan sistem politik otoriter yg mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan presiden. Sistem politik yang semacam ini berimbas juga pada dilemahkannya lembaga peradilan dan dihilangkannya kebebasannya. UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965 memuat ketentuan yg kentara-jelas menghilangkan kebebasan kekuasan peradilan. 

Pada pasal 19 UU No. 19 tahun1964 dicantumkan ketentuan bahwa : “Demi kehormatan revolusi, negara serta bangsa atau kepentingan rakyat yg sangat mendesak, Presiden bisa turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. 

Ketentuan ini memperlihatkan bahwa betapa campur tangan Presiden dalam soal-soal pengadilan diberi pembenaran oleh undnag-undang. Meskipun disebutkan bahwa campur tangan itu hanya bisa dilakukan dengan alasan demi kehormatan revolusi, negara, serta bangsa atau kepentingan warga yang sangat mendesak, kriteria alasan-alasan tadi batas-batasnya tidak dipengaruhi sehingga beliau lebih poly diserahkan pada pandangan serta kemauan presiden. Seumpama terdapat kriterianya pun, campur tangan pemerintah atas lembaga peradilan menggunakan alasan apa pun tetap tidak bisa dibenarkan di dalam negara konstitusional. 

2. Pembenahan Masa Orde Baru 
Setelah Orde Baru lahir, menggunakan tema menegakkan kehidupan yang konstitusional atau melaksanakan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni serta konsekuen, maka upaya memberikan kemerdekaan pada kekuasaan kehakiman mulai diteriakkan. Orde Baru memang lahir menggunakan semangat konstitusionalisme. 

Krisis politik serta ekonomi yang melilit negara pada masa Demokrasi Terpimpin dinilai menjadi dampak dari terlalu otoriter dan inkonstitusionalnya Bung Karno menjadi Presiden. Untuk mengatasi krisis tadi, maka ajakan hidup bernegara secara konstitusional diteriakkan di mana-mana. Komitmen buat menegakkan Pancasila serta UUD 1945 diperkokoh dan demokratisasi ditawarkan menjadi babakan baru pada kehidupan bernegara. Sejauh menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, somasi-somasi atas keberadaan UU No. 19 Tahun 1964 serta UU No. 13 Tahun 1965 diteriakkan secara gencar. 

Keluarnya Tap MPRS No. XIX Tahun 1966 bisa dipercaya sebagai pernyataan mengenai inkonstitusionalnya kedua UU produk Orde Lama itu, terutama sejauh menyangkut campur tangan presiden. 

Pada awal Orde Baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah mengungkapkan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat kelengkapan negara yang berdiri sendiri. Tetapi, langkah awal tersebut ternyata wajib surut ketika dalam tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman yg ternyata masih menganut sistem pelatihan administratif dan finansial hakim oleh eksekutif. Hal ini permanen bisa menjadi problem bila dia dikaitkan dengan harapan buat mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yg bebas merdeka. 

3. Era Reformasi 
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun 1998, seluruh produk aturan era Orde baru yg berwatak konservatif segera diubah. Ini sinkron menggunakan dalil bahwa sebagai produk politik maka hukum-aturan akan berubah sejalan dengan perubahan politik. Hukum-aturan yg diubah waktu itu merupakan hukum-aturan pada bidang politik yg terkait dengan hubungan kekuasaan yg perubahannya diarahkan berdasarkan tabiat sentralistik dan otoriter sebagai partisipatif dan demokratis. 

Hukum pada bidang kekuasaan kehakiman yang selama Orde Baru terlalu membuka peluang bagi campur tangan pihak eksekutif kemudian diubah serta diganti. UU No. 14 Tahun 1970 diganti menggunakan UU No. 35 Tahun 1999 yg salah satu politik hukumnya merupakan menyatuatapkan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Dengan penyatuatapan ini, maka pelatihan hakim yg semula dipencar ke eksekutif (pada hal kepegawaian, administratif dan finansial) dan ke yudikatif atau MA (pada hal teknis yudisial) berdasarkan UU tadi disatukan semua pada bawah Mahkamah Agung. 

Perkembangan yang lebih maju dalam politik aturan kekuasaan kehakiman ini lalu dituangkan jua pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada amandemen ketiga tahun 2001, pasal 24 ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945 mengungkapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan sang Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi menggunakan kompetensi yg tidak sama. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara menggunakan hak melakukan uji materi (judicial review atau secara lebih spesifik melakukan constitutional review) UU terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi pula memiliki tugas spesifik lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden nir lagi memenuhi syarat; memutus pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan pada dalam UUD sehingga mereka dapat diproses untuk diberhentikan; memutus sengketa wewenang antar forum negara yg kewenangannya diberikan sang Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran parpol serta memutus konkurensi output pemilu. Sementara itu, Mahkamah Agung mengadili kasus-perkara konvensional lainnya ditambah dengan hak uji materi peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi. 

Selain mengatur pembentukan Mahkamah Konstitusi perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga memperkenalkan lembaga negara baru pada rumpun kekuasaan kehakiman menjadi lembaga pembantu (auxiliary institution) yaitu Komisi Yudisial (KY). UU mengenai Komisi Yudisial dibentuk pada tahun 2004 melalui UU No. 22 Tahun 2004 mengenai Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk dalam pertengahan tahun 2005. 

4. Hukum serta Peradilan Internasional 
Dalam hubungan antarnegara sangat mungkin muncul konfrontasi akibat ketidaksepahaman dua atau beberapa negara mengenai suatu hal. Karena itu diperlukan suatu aturan yang disepakati bersama serta dihormati secara internasional sang negara-negara yg terdapat pada global. Dua atau lebih negara bisa menjalin konvensi mengenai maslaah bersama. Kesepakatan semacam ini diharapkan agar tercipta ketertiban dunia. 

Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum internasional merupakan holistik kaidah serta asas yg mengatur hubungan atau duduk perkara yg melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara. Hukum internasional diberlakukan dalam rangka menjaga interaksi serta kolaborasi antarnegara. Karena itu, hukum tersebut nir boleh dibuat tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu, aturan internasional harus memperhatikan asas-asas berikut: 

a. Asas teritorial 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan hukum bagi seluruh orang dan semua barang pada daerahnya. Jadi, terhadap seluruh barang atau orang yg berada di luar daerah tersebut berlaku aturan asing (internasional) sepenuhnya. 

b. Asas kebangsaan 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara buat mengatur rakyat negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara di manapun berada, tetap berada pada bawah jangkauan hukum negara asalnya. Asas ini mempunyai kekuatan exteritorial. Artinya, aturan suatu negara permanen berlaku bagi warga negaranya walaupun beliau berada pada negara lain. 

c. Asas kepentingan generik 
Asas ini didasarkan pada wewenang negara buat melindungi serta mengatur kepentingan pada kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara dapat menyesuaikan diri menggunakan seluruh keadaan serta insiden yg bersangkut paut menggunakan kepentingan generik. Jadi, hukum nir terikat dalam batas-batas daerah suatu negara. 

Apabila ketiga asas ini nir diperhatikan, akan timbul kekacauan dalam hubungan antarbangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara menggunakan negara lain perlu terdapat interaksi yg teratur serta tertib dalam bentuk hukum internasional.

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN NASIONAL

Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional 
Dengan diproklamasikannya Indonesia sebagai negara merdeka (17 Agustus 1945 yg silam),maka di Indonesia lahir rapikan hukum baru, yaitu tata aturan nasional yang mencerminkan impian aturan Indonesia serta menjadi wahana bagi ,rakyat Indonesia buat menanggulangi masalah-perkara aktual yang dihadapinya. Walau demikian bukan berarti bahwa sejak ketika itu telah lahir rapikan hukum nasional yg benar - benar rapikan aturan nasional;pada arti yang sesuai menggunakan cita-cita warga Indonesia.hal ini bisa berarti karena menjadi Negara yg baru merdekatentu saja(bisa dimaklumi)belum bisa begitu saja(seketika itu pula)membuat rapikan aturan yang baru sama sekali, melainkan menggunakan dari Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (yg lahir sehari setelah proklamasi), sistem hukum yang pluralistis jaman penjajahan masih berlaku bagi negara Indonesia yg telah merdeka ini . Bahkan dalam usianya yang ke 50 (1/2 abad) negara ini masih memakai peraturan produk sebelum merdeka.

Sebagai Negara yg berkembang,yg mewarisi rapikan aturan yang bersifat pluralistis,dihadapkan dalam perkembangan IPTEK di abad terkini pada era globalisasi ini. Tata hukum lamapun tentu saja akan ketinggalan serta memang sudah ketinggalan menggunakan perkembangan IPTEK ,baik didalam negeri juga pada dunia internasional. Oleh lantaran itulah ,pada Indonesia diadakan pembangunan hukum ,yg adalah upaya merombaktata hokum usang sebagai rapikan hukum nasional yg baru . Pembangunan hukum di Indonesia sampai ketika ini (PJP II) sedang dan terus digalakkan ,karena pembangunan disegala bidang tidak mungkin berjalan mulus bila tidak dilandasi sistem Hukum Nasional yg memenuhi kebutuhan warga masa kini serta dapat mengantisipasi kebutuhan dimasyarakat pada abad ke- 21.

Upaya pembentukan tata hukum nasional yg mengabdi pada kepentingan nasional (sebagaimana arahan GBHN),maka tentu saja wajib memperhatikan hokum yg telah ada (Hukum tata cara/Hukum yg berlaku dalam warga serta Hukum Kolonial) juga hokum yg kini sedang berkembang di global internasional. Dalam tulisan ini akan dibahas pembangunan aturan pada Indonesia ditinjau berdasarkan pendekatan sistem menggunakan aturan norma sebagai galat satu inputnya.

Hukum Adat serta Hukum Modern
Dalam kepustakaan poly sekali para ahli Hukum Adat yg menaruh definisi tantang Hukum Adat ,serta konsepsi Hukum Adat itupun berdasarkan waktu ke waktu mengalami perkembangan yg disebabkan oleh terjadinya perubahan di pada Hukum Adat itu sendiri maupun akibat terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya masyarakat oleh perkembangan ilmu serta teknologi. Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan satu persatu pandangan para pakar aturan adat mengenai konsepsi Hukum Adat . Akan namun yang dijadikan pijakan pada tulisan ini artinya konsepsi Hukum Adat yang sudah dirumuskan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1974 di Yogyakarta.seminar tadi telah menyimpulkan bahwa ”Hukum Adat Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk Perundang-undangan Republik Indonesia yg disana sini mengandung unsur kepercayaan .”

Dengan demikian maka Hukum Adat mempunyai ciri- karakteristik sebagai berikut :
  • Hukum Indonesia asli;
  • Bentuknya nir tertulis;
  • Mengandung unsure-unsur kepercayaan .
Hukum Adat pun acapkali jua disebut menjadi aturan tidak formal,lantaran mekanisme pembuatan serta implementasinya, yaitu menjadi hukum warga yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya proses sejarah. Hukum ini mengedepankan dimensi kultur serta bertumpu diatas dasar kesetiaan kultural masyarakat warga . Lantaran mengedepankan dimensi kultur dan bertumpu diatas dasar kultural ,maka Hukum Adat pada hakekatnya jua meliputi peraturan-peraturan yg dijelmakan didalam keputusan para pejabat hukumdalam arti luas.keputusan- keputusan itu diambil atas dasar nilai-nilai yang hayati dan sesuai menggunakan rakyat masyarakat dimana keputusan itu diambil. Sehingga tidaklah mengherankan jika Hukum Adat sebagai aturan yg hayati berlakunya hanya tergantung pada kekuatan dan proses sosial yg terjadi didalam masyarakat yang bersangkutan.

Seperti sudah disebutkan dalam bagian terdahulu ,bahwa bentuk Hukum Adat ialah tidak tertulis ,dalam arti nir tertulis dalam Perundang-undangan Republik Indonesia.mengenai hal ini masih banyak yang belum sendapat,terdapat yg mengungkapkan bahwa usahakan Hukum Adat itu buat menyebut aturan yang tertulis, Ada jua yang berkata bahwa Hukum Adat itu juga terdiri dari bagian-bagian yg tertulis. Untuk menghindarkan perbedaan pendapat dan kesimpangsiuran tentang hal tersebut, maka sebaiknya digunakan istilah Hukum Tradisional,yg mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 
  • Mempunyai sifat kolektifitas yg kuat ;
  • Mempunyai corak magis-religius,yaitu yang behubungan dengan etos rakyat orisinil;
  • Sistem hukumnya diliputi oleh pikiran serba konkrit, merupakan aturan tradisional sangat memperhatikan banyaknya serta berulang-ulangnyanhubungan-interaksi yang konkret yang terjadi didalam masyaraka;
  • Sistem hukum tradisional bersifat visual, ialah interaksi-interaksi aturan dianggap terjadi karena ditetepkan menggunakan suatu ikatan yang bisa dicermati atau menggunakan suatu tanda yang tampak .
Ciri-karakteristik hukum tradisional pada rakyat tradisional itu pada perkembangannya , mau tidak mau dihadapkan kepada aturan terbaru ,contohnya hokum tradisional bangsa Indonesia dulu dihadapkan pada hukum terkini ,contohnya aturan tradisional babgsa Indonesia dulu dihadapkan kepada hokum yg sedang berkembang menjadi hukum terbaru saat ini. Ciri-ciri hukum terkini itu artinya sebagai berikut:
  • Sistem aturan tadi terdiri berdasarkan peraturan-peraturan yg seragam,baik berdasarkan segi isi mau pun segi pelaksanaannya; 
  • Sistem hukum tadi bersifat tradisionil ,merupakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban ada menurut perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan sang faktor- faktor usia,kelas,agamaataupun disparitas antara wanita menggunakan laki-laki ; 
  • Sistem hukum terbaru bersifat universalistis,adalah bisa dilaksanakan secara generik;
  • Adanya hierarkhi peradilan yg tegas;
  • Birokratis ,adalah melaksanakan mekanisme sinkron peraturan –peraturan yang telah ditetapkan ;
  • Rasionil ;
  • Para pelaksana aturan terdiri berdasarkan orang-orang yg telah berpengalaman;
  • Dengan berkembangnya spesialisasi dalam warga yg kompleks ,maka sine qua non penghubung antara bagian-bagian yang ada sebagai akibat adanya pengkotakan ;
  • Sistem ini mudah dirubah untuk mengikuti keadaan dengan perkembangan perubahan masyarakat;
  • Lembaga-forum pelaksana danpenegak aturan adalah lembaga-forum kenegaraan ,oleh karena negaralah yang memiliki monopoli kekuasaaan ;
  • Pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif,legislative,judikatif.
Kemudian Satjipto Rahardjo, menggelarkan beberapa ciri aturan terkini dan perbandingan antara dua budaya hukum yaitu menjadi berikut : 
Beberapa karakteristik hukum terbaru


I
Sikap-sikap dan nilai nilai yg sesuai buat mendukung hukum modern
II
Sikap sikap serta nilai-nilai yg masih merata pada orang Indonesia
III
1.karya insan yg dibuat dengan sadar.
2.ditujukan buat mencapai sesuatu
1.kesadaran individu tinggi.
2.pertarunga menjadi sesuatu yang fungsional
1.menilai tinggi kesadaran
2.menolak konflik
3.kecenderungan pada ikatan ikatan primordial
4.paternalistis
5.diferensiasi antara sector-sektor publik dan privat belum tinggi

Penjelasan tentang ciri – ciri hukum terbaru serta dua macam kultur hukum diatas, merupakan sebagai berikut : 

Kita nir sanggup memberlakukan secara umum begitu saja nilai-nilai dan sikap-perilaku yang masih ada pada kolom III, menjadi yang masih ada secara merata diseluruh Indonesia, contohnya hal tadi lebih kuat dijumpai pada wilayah Jawa dan Bali daripada diberbagai wilayah lainnya. Menjalankan hukum modern secara optimum akan lebih berhasil bila didukung sang budaya aturan yg bersumber dalam sikap-perilaku dan nilai-nilai yang terdapat pada kolom II daripada yang terdapat dalam kolom III. Disamping itu dijalankannya sistem hukum modern menggunakan dukungan budaya aturan yg bersumber dalam apa yg tertera dalam kolom III dalam akhirnya akan menyebabkan suatu jenis praktek aturan tersendiri dengan kecenderungan budaya Indonesia.

Sedangkan dari pendapat Lawrence M. Friedman karakteristik-ciri aturan modern adalah menjadi berikut : 
  1. Bersifat sekuler dan progmatis ;
  2. Berorientasi pada kepentingan serta adalah bisnis yang dilakukan secara sadar sang manusia;
  3. Bersifat terbuka dan mengandung unsure perubahan yg dilakukan secara sengaja.
Untuk memilih sifat rasionalnya, Friedman menggunakan kultur hukum sebagai sarana buat mencirikan hukum modern, kultur hukum ini berupa nilai-nilai dan sikap-sikap yang menghipnotis bekerjanya aturan. Bagi Friedman yang penting bukanlah bahwa hukum modern itu merupakan rasional. Akan namun orangnyalah yg berpikir bahwa mereka seharusnya bertingkah laris sesuai menggunakan itu 

Kemudian berdasarkan pembicaraan tentang sejarah modernisasi pada Indonesia, dapatlah diketahui bahwa telah terjadi perubahan-perubahan dalam konsep-konsep, asas-asas serta potsulat-potsulat yang berhubungan dengan hukum yg berlaku (selama modernisasi itu berlangsung). Perubahan-perubahan itu bisa ditinjau sebagai timbulnya kesengajaan antara perubahan hukum yg berlaku menggunakan kultur hukumnya. Insiden itu memperlihatkan urutan peristiwa menjadi berikut :
  1. Terjadi perubahan aturan yang berlaku 
  2. Perubahan hukum tersebut mengandung jua perubahan dalam konsepsi mengenai apa yg seharusnya dilakukan sang hukum. Konsepsi yg usang beropini bahwa aturan itu hanyalah melestarikan saja adat tata cara yang asal berdasarkan nenek moyang desa , sedang konsep yang baru mengatakan, bahwa mengeluarkan hukum berarti pula menjalankan kekuasaan yg mampu menjurus pada pengubahan-pengubahan.
  3. Perubahan tersebut tidak dapat dibiarkan oleh anggota-anggota masyarakat dan mereka menentukan buat mencari tempat pemukiman yg lain sehingga menggunakan demikian mereka permanen bisa menjalankan aturan sebagaimana diterima selama ini.
Dari penjelasan-penjelasan dimuka, memang telah jelas bahwa pada akhirnya Hukum Adat, yang dapat dikatakan sebagai Hukum Tradisional itu akan dihadapkan kepada hukum modern pada saat tumbuhnya efisiensi ekonomis , pemakaian teknologi moder , pembangunan industri, rasionalisasi, birokrasi dalam pengelolaan dan lain-lainnya yang sejenis .timbullah pertanyaan, apakah kita harus mempertentangkan Hukum Adat serta Hukum Modern ? Bagaimana keberadaan Hukum Adat dan Lembaga-lembaga Tradisonal dalam kehidupan hukum yang sedang menuju kepada Tata Hukum Nasional yang baru ini ? dalam hal ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan Soerjono Soekanto, yaitu bahwa permasalahannya ialah bukan mempertentangkan antara Hukum Adat dengan Hukum Modern, tetapi bagaimana membentuk Hukum Modern yang fungsional. Mempertentangkan Hukum Adat dengan Hukum Modern ialah merupakan paham yang keliru ,karena paham ini didasarkan pada anggapan-anggapan bahwa Hukum Adat merupakan hukum yang dianutoleh dan berlaku dalam masyarakat-masyarkat primitive yang masih irrasionil, sebaliknya Hukum Modern dikaitkan dengan masyarakat-masyarakat modern yang terutama akan dapat ditemukan di negara-nagara Barat. Oleh karena itu, yang penting disini ialah bukan mempertentangkan melainkan mengetahui apakah tanpa Hukum Adat bisa dibentuk Hukum Modern yang fungsional, dengan kata lain apakah mungkin pembentukan hukum nasional itu dengan mengabaikan Hukum Adat? Dan mungkinkah Hukum Adat itu tetap dipertahankan sampai sekarang?

Pembangunan Hukum Pasca 1965
Dalam kepustakaan poly sekali dirumuskan pengertian pembangunan. Seperti misalnya, rumusan Robert S. Seidman, pada bukunya “The State, Law and Development”, mengartikan bahwa pembangunan merupakan perubahan terus-menerus dan mencakup bidang-bidang konduite, ekonomi serta kelembagaan. Dikatakan juga bahwa pada pembangunan, ilmu merangsang perubahan-perubahan perilaku, dan selanjutnya menuntut uasaha serta kegiatan partisipasi, usaha kebersamaan (koperatif) serta kegiatan pemecahan problema. Lebih menurut itu semua, harus disadari bahwa pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik, yang ditopang kehendak beserta. Yang kentara pembangunan memang adalah usaha terus-menerus buat mengadakan perubahan-perubahan kearah yg lebih baik daripada sebelumnya pada rangka pembangunan bangsa yang dilakukan secara sadar sang suatu bangsa , negara,pemerintah.

Pembangunan nasional dinegara-negara berkembang, pada hakekatnya, adalah bisnis kearah modernisasi dalam aneka macam kehidupan bangsa yang bersangkutan, termasuk modernisasi aturan. Modernisasi aturan disini dapat diartikan sebagai transformasi total berdasarkan rapikan aturan usang sebagai tata aturan baru yang lebih baik sinkron menggunakan kemajuan dan keadaan yg lebih baik. Pembangunan aturan mengandung ambiguitas, yaitu : 
Pertama, sebagai suatu bisnis buat memperbaharui aturan positif sendiri, sehingga sesuai menggunakan kebutuhan buat melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian biasa diklaim modernisasi aturan.
Kedua, sebagai suatu bisnis buat memfungsionalkan aturan dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana diharapkan oleh suatu warga yg sedang menciptakan.

Akan namun berdasarkan Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, karena memang keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya akan tergabung menjadi satu. 

Dalam pembangunan aturan pada Indonesia, juga diinginkan adanya transformasi total, pada arti sebagai upaya perombakan secara fundamental terhadap hukum yg usang untuk 

Digantikan dengan tata aturan yang baru sama sekali. Pembangunan aturan ini memiliki keterikatan yang erat menggunakan politik, mulai dari pembentukannya hingga pada pelembagaannya, melalui berbagai lembaga dan kekuatan dalam warga “Law is Politics’, begitu istilah R. Wietholther dalam “Political Rechtstheorie”. Hal ini menyangkut jua karakteristik training aturan pada Indonesia, yang ingin dimulai dari landasan yg paling fundamental, yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia baru. Pembangunan hukum di Indonesia bisa dimasukkan dalam kategori revolusioner. Keinginan buat mempunyai suatu tata hukum sendiri, mendorong kita buat menemukan nilai-nilai serta asas-asas baru yg akan dimasukkan kedalam tata aturan tadi.

Sebagai negara yang sedang berkembang yang sekaligus sebagai negara bekas jajahan yang mewarisi struktur hukum dan social yang beragam, maka perkara pembangunan hukum pada Indonesia relatif memberitahuakn aspek-aspeknya yang kompleks. Hal ini menjadikan, walaupun tujuan yg hendak dicapai untuk mencapainyapun sudah mampu ditentukan, tetapi masih poly pula masalah-problem antara yang dijumpai. Misalnya, walaupun tujuan yang dikehendaki pada pembangunan aturan diIndonesia sudah kentara, yaitu warga industry terkini, namun buat mencapainya wajib melalui berbagai-bagai tahap pertumbuhan.

Konsep pembangunan hukum meliputi,lembaga-lembaga,peraturan-peraturan,kegiatan orang-orang yang terlibat kedalam pekerjaan hukum. Penelahan lebih lanjut tentang konsep pembangunan aturan itu menampakan adanya aspek tidak aktif dan bergerak maju. Aspek tidak aktif merupakan bentuk penyebutan mengenai lembaga-lembaga,aktifitas serta pelaku-pelaku yang terlibat dalam pembangunan itu sendiri. Sedangkan aspek dinamis muncul karena pembangunan hukum juga hingga pada pengamatan tentang bagaimana bekerjanya aturan hukum sehari-hari,kendala-hambatan apa yg terjadi, apakah penyebabnya, dan melihat pula proses yg dikenal menjadi umpan kembali. Proses ini tentu tidak bisa diamati menggunakan baik tanpa melinatkan lingkungan bekerjanya aturan itu, seperti politik,ekonomi,budaya,hankam,serta hal lainnya yg terkait.

Dalam membicarakan pembangunan aturan di Indonesia, maka nir sanggup tanggal dari Politik Hukum Nasional, yang pertama sekali ditetapkan melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1973, yg menetapkan bahwa pembangunan bidang hukum pada Negara Hukum Indonesian berdasar atas landasan sumber tertib aturan. Yaitu hasrat yang terkandung dalam pandangan, pencerahan, dan asa aturan serta keinginan moral, yg luhur yang meliputi suasana kejiwaan dan watak berdasarkan bangsa Indonesia yg dipadatkan dalam Pancasila serta UUD 1945. Hal ini lalu diwujudkan lebih lanjut dalam Keppres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Repelita Kedua. Politik Hukum Nasional yang lahir pada masa orde baru (pasca 1966)ini tentu saja ditentukan oleh keadaan perkembangan aturan dan pembangunan hukum sebelumnya.

Prioritea pembabguna pada masa orde baru pun berbeda menggunakan orde usang (yang meletekkan politik menjadi panglima), yaitu menggunakan mengutamakan pembangunan ekonomi buat mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi . Dengan dibentuknya kabinet baru (cabinet pembangunan )dalam tahun 1968 merupakan titik awal perubahan kebijakan secara menyeluruh , dari kebijakan “politik revolusioner menjadi panglima “ke kebijakan “pembanguna ekonomi menjadi bagian dari perjuangan orde baru “. Hal ini sangat berpengaruh juga pada peran hukum pada Indonesia , sebagai akibatnya kiprah hukum berubah , menurut kiprahnya yg tersubordinasi buat mensukseskan revolusi nasional melawan neo- kolonialisme serta imperialism ke peran menjadi bagian wahana pembangunan . Dalam hal ini maka adagio “Indonesia merupakan negara dari atas aturan “ada dan tumbuh pulang , menggunakan latar belakang adanya maksud untuk mengukuhkan fungsi hukum menjadi “tool of social engineering”serta pengefektifan aturan sebagai sarana buat melindungi hak asasi insan. Oleh karena itu , dalam era orde baru , perkembangan hukumnya mencakup perkembangan dalam konfigurasi konsep “law as a tool social engineering “serta konfigurasi hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusi (rakyat sipil )berdasarkan kesewenangan penguasa.

Karena titik berat pembangunan dalam masa orde baru merupakan ekonomi , maka pembangunan hukumnya dirintis buat memfungsionalkan aturan bagi kepentingan ekonomi. Ide “law as tool social engineering baru ditujukan secara selektif buat memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja. Kelembagaan aturan buat kepentingan pembangunan ekonomi (misalnya pengaturan tentang pertahanan ,pertambangan ,perpajakan, serta lain-lainnya yg sejenis)akan menaruh agunan kepastian yg penting buat pembangunan ekonomi. Lantaran nir dianjurkan untuk mengutamakan acum hukum norma atau aturan klasik colonial, maka aturan nasional dalam masa orde baru tersebut dikualifikasi menjadi aturan nasional menjadi hukum nasional modern, yang boleh dikatakan nir sekedar”mengikuti arah perkembangan sejarah aturan yang sudah berlangsung di Indonesia melainkan tetapkan sendiri secara spesifik arah perkembangan itu . Ide aturan nasional menggunakan mengutamakan regulasi kehidupan ekonomi(secara selektif melalui perundang- undangan nasional)pada saat itu ternyata berkenan di hati penghasil kebijakan , yang hal ini teersirat pada Pidato Presiden Soeharto dalam pembukaan konferensi Lawasia di Jakarta tahun 1973, yg berkata : pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan , bahkan juga perubahan-perubahan yg sangat mendasar. Sekalipun begitu. Indonesia akan permanen menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban pada setiap gerak kemajuan yg akan diperoleh lewat perubahan-perubahan yang diperoleh yang demikian itu, dan dalam hal ini hukum akan adalah wahana krusial guna mempertahankan ketertiban itu. Nmun ini tidak boleh diartikan bahwa aturan hendak berpihak kepada keadaan status quo . Hukum akan menentukan lingkup perubahan-perubahan itu, tetapi tidaklah tepat apabila dengan demikian hukum menghalangi setiap usaha perubahan hanya semata-mata lantaran ingin mempertahankan nilai-nilai usang . Sesungguhnya aturan itu akan berfungsi menjadi pembuka jalan serta kesempatan menuju ke pembaharuan-pembaharuan yang dikehendaki. Hal tersebutsecara eksplisit dan resmi terekm dalam naskah REPELITA KEDUA(1974), Bab 27 paragraf IV butir 1 page 279: bahwa prioritas akan diberikan buat meninjau pulang serta merancang peraturan-peraturan perundang-undangan supaya segala peraturan itu bersearah serta bersesuaian menggunakan pembangunan sosial ekonomi, khususnya dibidang pertanian ,industri, pertambangan ,komunikasi serta perdagangan ….dst”.

Ide “law as a tool engineering “ini ,ternyata ada pula yg menentang , yaitu para pakar aturan yg percaya bahwa sine qua non kontinuitas perkembangan hukum berdasarkan hukum colonial ke aturan nasional (jadi hukum nasional harus bersumber menurut aturan kolonial ) serta para pakar hukum yg percaya bahwa hukum nasional wajib berakar serta /bersumber serta diangkat berdasarkan aturan norma. Dengan mengacu pendapat yg terakhir ini, maka pembangunan nasional I (Indonesia ) wajib bersumber berdasarkan aturan colonial serta bisa jua bersumber menurut aturan istiadat. 

Perkembangan pada era orde baru, implementasiide aturan nasional menjadi aturan perekayasa memperoleh tempat pada kerangka kebijaka pemerintah Orde Baru. Sedangkan kiprah hukum istiadat dalam percaturan pembangunan aturan nasional memang makin terdesak (tetapi nir hilang).

Pada PJP II, target pembangunan hukum artinya terbentuk serta berfungsi sistem aturan nasional yg mantap, bersumber Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945, dengan memperhatikan hukum yg berlaku , yg mampu menjamin kepastian , ketertiban , penegakkan dan proteksi hukum yang berintikan keadilan serta kebenaran dan sanggup mendukung pembangunan nasional , yg didukung oleh aparatur hukum, wahana dan prasarana yang memadai dan masyarakat yg sadar serta taat hukum.

Sedangkan arah pembangunan hukum dalam PJP II adalah membuat produk hukum nasional yang sanggup mengatur tugas umum pemerintah dan penyelenggaraan pembangunan nasional, didukung sang aparatur hukum yg bersih dan berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan sinkron dengan kemanusiaan, serta professional, efisien serta efektif, dilengkapi ddengan wahana serta prasarana aturan. Penyusunan serta perencanaan hukum nasional wajib dilakukan secara terpadudalam sistem aturan nasional. Sedangkan target pembangunan hukum Pelita Keenam ialah penataan hukum nasional yg bersumber Pancasila dan UUD 1945; penyusunan kerangka sistem aturan nasional dan penginventarisan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum pada rangka pembaharuan aturan nasional ; peningkatan penegakkan hukum serta pembinaan aparatur hukum nasional ;serta peningkatan wahana serta prasarana aturan. Kebijakan Pelita Keenam Bidang Hukum, mencakup : Materi Hukum, Aparatur Hukum, Sarana dan Prasarana Hukum.

Dengan melihat ketentuan GBHN 1993 tadi, maka dalam pembangunan / pembaharuan hukum nasional pada arti luas tidak hanya memperbaharui materi/isi hukum melainkan jua wahana dan prasarananya. Ini semua merupakan konsep yang ada dalam GBHN, yg sedang dan masih dinantikan pelaksanaannya dalam lima tahun serta 25 tahun mendatang.

Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Nasional
Sebagaiman disebutkan dalam bahasan terdahulu , bahwa tidak akan dipertentangkan antara Hukum Adat serta Hukum Modern. Dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, ciri-ciri hukum modern harusnya dipenuhi. Kalau dipenuhi, bagaimana kedudukan hukum adat? Dalam hal ini hukum adat tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pembentukan hukum nasional.dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, dirumuskan bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan Pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada unifikasi hukum yang dan yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundangan, dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam Pembinaan Hukum . Dengan Demikian Hukum Adat ditempatkan pada posisi penting dalam proses pembangunan hukum nasional.

Memperkembangkan unsure-unsur orisinil, unsure-unsur asing mungkin saja berguna bagi pembentukan aturan nasional, sebagai akibatnya dalam hakekatnya masalahnya merupakan bagaimana peranan aturan istiadat (yang merupakan konk sistem nilai serta budaya ) dalam pembentukan hukum nasional yang fungsional (yang kemudian dinamakan “Hukum Indonesia Modern “)

Untuk mengetahui peranan hukum tata cara pada pembentukan/pembangunan aturan nasional, maka harus diketahui nilai-nilai sosial dan budaya yang menjadi latar belakang hukum tata cara tersebut, serta kiprahnya masing-masing yaitu:
a. Nilai-nilai yang menunjang pembangunan (aturan), nilai-nilai mana harus dipelihara dan malahan diperkuat .
b. Nilai-nilai yang menunjang pembangunan (hukum), jika nilai-nilai tersebut diubahsuaikan atau diharmonisir dengan proses pembangunan.
c. Nilai-nilai yang Mengganggu pembangunan(aturan), akan namun secara berangsur-angsur akan berubah apabila lantaran faktor-faktor lain dalam pembangunan.
d. Nilai-nilai yg secara definitif menghambat pembangunan (hukum)dan oleh karena itu wajib dihapuskan menggunakan sengaja.

Dengan demikian berfungsinya Hukum Adat pada proses pembangunan/pembentukan aturan nasional adalah sangat tergantung dalam tafsiran terhadap nilai-nilai yg menjadi latar belakang aturan adat itu sendiri . Dengan cara ini bisa dihindari akibat negatif, yang mengungkapkan bahwa hukum istiadat memiliki peranan terpenting atau lantaran sifatnya yg tradisional,maka Hukum Adat harus ditinggalkan.

Dalam kepustakaan memang dikemukakan adanya 3 golongan pendapat yg menyoroti kedudukan aturan adat pada mas sekarang , yaitu: 
a. Golongan yang menentang Hukum Adat, yg memandang Hukum Adat, sebagia aturan yg telah ketinggalan jaman yg harus segera ditinggalkan dan digantin dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih terbaru .aliran ini beropini bahwa aturan norma tak dapat memenuhi kebutuhan hukum pada masa kini , lebih-lebih untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan modern .
b. Golongan yg mendukung sepenuhnya terhadap hukum istiadat. Golongan ini mengemukakan pendapat yang sangat mengagung-agungkan Hukum Adat, karena aturan norma yg paling cocok menggunakan kehidupan bangsa Indonesia sehingga oleh karenanya wajib tetap dipertahankan terus sebagai dasar bagi pembentukan Hukum Nasional.
c. Golongan Moderat yg mengambil jalan tengah ke 2 pendapat golongan diatas. Golongan ini mengatakan bahwa hanya sebagian saja dari dalam hukum norma yg dapat digunakan pada lingkungan Tata Hukum Nasional, sedangkan buat selebihnya akan diambil menurut unsur-unsur aturan lainnya. Unsur-unsur aturan adat yamg masih mungkin dipertahankan terus merupakan berkenaan dengan perkara hukum kekeluargaan serta aturan warisan, sedangkan buat lapangan aturan lainnya bisa diambil dari unsur-unsur bahan-bahan aturan yang berasal dari luar, misal hukum barat.

Dari pendapat berdasarkan ketiga golongan tersebut , kami menyetujui pendapat golongan yg ketiga (golongan moderat), karena memang dalam kenyataannya poly ketentuan aturan adat yang nir sinkron dengan tuntutan jaman terkini., akan tetepi yg perlu diperhatikan disini ialah bahwa asas- asas Hukum Adat bersifat universal wajib permanen mendasari Pembinaan Hukum Nasionaldalam rangka menuju pada rapikan hukum nasional yang baru, walaupun asaa-asas dan kaidah-kaidah baru akan lebih mendominasi aturan nasional, seperti apa yang dikatakan sang Soetandjo Wignjosoebroto :” Hukum Nasional tak hanya hendak merefleksi pilihan atas kaidah-kaidah aturan suku/lokal atau hukum tradisional untuk menegakkan tertib sosial masa kini , akan tetapi pula hendak mengembangkan kaidah-kaidah baru yang dicermati fungsional buat membarui dan membentuk masyarakat baru guna kepentingan masa depan. Maka kalau demikian halnya , asas-asas serta kaidah-kaidah hukum baru akan poly mendominasi hukum nasional “. 

Kemudian pada meninjau sumbangan Hukum Adat dalam pembentukan hukum nasional , perlu disimak juga pandangan Paul Bohannan , yg menyatakan bahwa aturan itu ada dari pelembagaan ganda , yaitu diberikannya suatu kekuatan spesifik , sebuah senjata bagi berfungsinya pranata-pranata “istiadat istiadat “: perkawinan , keluarga, agama. Tetapi ,ia jua menyampaikan bahwa hukum itu tumbuh sedemikian rupa dengan karakteristik dan dinamikanya sendiri. Hukum membentuk masyarakat yg memiliki struktur dan dimensi aturan ; aturan tidak menjadi sekedar pencerminan, tetapi berinteraksi dengan pranata-pranata tertentu . Selanjutnya dia berpendapat bahwa aturan secara istimewa berada diluar fase warga , dan proses inilah yang sekaligus adalah tanda-tanda karena menurut perubahan sosial (Periksa. Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, 1988,h.198). Pandangan Bohannan tadi berguna untuk menyangkal keunggulan peraturan hukum , buat memahami sifat umum dari warga -warga yg nir stabil atau mengalami kemajuan . Disamping itu pula adalah abstraksi buat merumuskan hakekat kekal aturan itu dengan pengandaian kebenaran yang belum niscaya . Hukum tidak memiliki hakekat misalnya itu namun memiliki sifat historis yang bisa dirumuskan. 

Sebagaiman penjelasan dimuka, yaitu bahwa Hukum Adat yang dibentuk dalam “Law Energi society”memiliki peranan yang penting dalam pembentukan / Pembangunan Hukum Nasional(hukum terkini). Kemudian timbullah pertanyaan, bagaimana proses pembangunan (pembentukan )Hukum Nasional dilihat menurut pendekatan system dengan Hukum Adat sebagai keliru satu input (masukkannya)?

Pembangunan Hukum Nasiona Ditinjau dari Pendekatan Sistem 
Semua system selalu mempunyai misi untuk mencapai tujuan tertentu . Untuk mencapai maksud tadi dibutuhkan proses yg mengubah masukan (input)sebagai hasil (hasil). Untuk kelangsungan hidupnya dan menjaga mutu prestasinya , maka setiap sistem memerlukan terlaksananya fungsi kontrol, yang meliputi monitoring serta koreksi . Fungsi –fungsi monitoring tadi dalam analisis sistem acapkali disebut umpan pulang(feedback). Adanya umpan kembali itu memungkinkan adanya perbaikan (koreksi) sistem instruksional selama pengembangannya (Sasbani 1987,h.19). Disamping itu, dalam proses perubahan menurut input menjadi output dipengaruhi oleh aplikasi (aplikasi)dan perangkat keras (hardware). Dengan demikian, pendekatan sistem (System Approach) berorientasi dalam tujuan , sedangkan kegiatannya melibatkan unsur-unsur melalui proses tertentu buat mencapai tujuan .

Manusia hidup pada lingkungan yg serba bersistem. Sistem itu dibuat dan disusun menurut komponen-komponen yg telah dibakukan dan mudah diganti-ganti , yg masing-masing saling berinteraksi secara timbale balik ,berulang-ulang,ajeg dan tunduk dalam pola dasar yg permanen.

Pada jaman modern misalnya sekarang ini manusia dengan sengaja sudah menciptakan dan menggerakkan sistem –sistem itu menggunakan tujuan yang sadar buat membuat hidupnya kian efisien produltifitasnya kian semakin tinggi dan komunikasinya kian efektif , lancar dan intensif(Soetandyo Wignjosoebroto, tanpa tahun,h. 12).

Dengan demikian pada proses pembentukan hukum nasional menggunakan model/missal Hukum Adat menjadi inputnya buat tujuan menghasilakan hasil Hukum Nasional yg mengabdi kepada kepentingan nasional, akan melibatkan mengembangkan subsistem-subsistem dalam warga lainnya. Hal ini disebabkan lantaran aturan adalah alat control mekanisme berdasarkan sistem . Dalam pembentukan aturan nasional tersebut , perlu diperhatikan teori Talcott Parsons mengenai kerangka buat memahami warga yang digambarkan pada bentuk bagan sibernetik menjadi berikut : 

KEBENARAN JATI
(Ultimate Reality)
  • Subsistem Budaya
  • Subsistem Sosial
  • Subsistem Politik
  • Subsistem Ekonomi
DUNIA FISIK –ORGANIS
(Bio –Physical Environment)
Berdasarkan bagan dimuka terlihat bahwa rakyat dihadapkan kepada 2 kategori lingkungan yg masing-masing berdiri serta berada secara otonom. Karena sifat otonom itulah maka kategori yang satu tidak bisa dikembalikan kepada yg lain. Masing-masing berdiri sendiri dan masing-masing memberikan bebannya kepada masyarakat dan pula pada sub-subsistem yang menciptakan warga tersebut beban ini digambarkan dalam bentuk dua arah panah yg mengarah ke bawah, mendeskripsikan arus liputan . Dengan demikian berarti bahwa subsistem budaya mengandung kekayaan informasi tertinggi dan akan mengalir ke bawah pada subsistem-subsistem lainnya. Sub-sistem lainya tadi mengandung kekayaan keterangan yg lebih rendah , dengan demikian subsistem ekonomi paling miskin dalam kekayaan warta dibandingkan menggunakan yg lain-lainnya . Akan namun subsistem ekonomi ini memiliki kekayaan energy yg paling besar . Jadi arus yg menuju ke atas yang bertolak dari subsistem ekonomi ialah arus energy.

Dalam hal arus energy tersebut , subsistem ekonomi memiliki energy yang paling kaya ,makin ke atas makin mini , serta subsistem budaya merupakan subsistem yang paling miskin tenaga.

Kekuatan-kekuatan berita serta energy itulah yang membuat struktur Ideologi, Politik, Sosial, dan Budaya. Sistem sosial, struktur warga serta susunan warga semua sanggup dikembalikan kepada Kebenaran Jati (Ultimate Reality) serta Dunia Fisik Organis (Bio- Physical Environment).

Sesuai subsistem diatas menempati kedudukannya sendiri-sendiri sinkron dengan fungsi-fungsi yg dijelaskan . Fungsi yang mereka jalankan disebut fungsi primer.

Subsistem budaya berfungsi mempertahankan pola , menghubungkan lingkungan (kebenaran jati)menggunakan rakyat . Subsistem inilah yg menyerap lingkungan tersebut dengan membangun nilai-nilai yg kemudian disebarkan ke pada warga , sebagai akibatnya dapat terbentuk warga dari sistem nilai yang dipilihnya .

Subsistem sosial memiliki fungsi integrasi, yaitu memiliki hubungan yg erat dengan proses hubungan pada rakyat.

Subsistem politik memiliki fungsi buat mencapai tujuan ,yaitu berhubungan dengan kasus-kasus penentuan tujuan-tujuan yg harus dicapai sang warga serta bagaimana mengorganisasikan serta memobilisasi asal-asal daya buat mencapainya .

Sedangkan subsistem ekonomi mempunyai fungsi adaptasi , yaitu merupakan penghubung antara rakyat dengan lingkungan yg berupa global fisik-organik.

Kalau melihat subsistem-subsistem dimuka maka aturan yg memiliki kedudukan menjadi indera control mekanisme menurut sistem termasuk dalm subsitem sosial. Karena pada system social , interaksi sosial atau interaksi antara sesama anggota rakyat tidak cukup bila hanya ditegaskan sang nilai-nilai dalam masyarakat yg disebarkan oleh subsistem budaya . Sebagaimana diketahui bahwa pada interaksi sosial itu selalu menunjuk kepada timbulnya permasalahan karena antara masing-masing anggota masyarakat itu ada perbedaan kepentingan . Subsistem kebudayaan sebetulnya ,menaruh sumbangan buat mencegah terjadinya pertarungan trsebut, namun tampaknya ia tidak melakukannya secara kuat. Subsistem sosial memiliki kemampuan yang lebih bertenaga sebab secara aktif mendisiplinkan perilaku dan interaksi –hubungan pada masyarakat , nir hanya mempertahankan asas-asas sebagaimana dilakukan subsistem budaya. Pendisplinan itu dilakukan dengan dukungan hukuman, disinilah aturan menjadi subsistem dari subsistem social berperan . Dengan hukuman tadi , aturan mengkoordinasikan unit-unit pada lalu lintas kehidupan sosial , dengan cara menaruh pedoman orientasi tentang bagaimanaseharusnya orang bertindak atau diharapkan buat bertindak.

Proses pembangunan (pembentuan)aturan nasional dengan sendirinya akan dipengaruhi sang keadaan subsistem budaya, subsistem politik serta subsistem ekonomi yg kini terdapat dan berlaku di Indonesia. Dalam kaitannya Hukum Adat menjadi masukan pada rangka pencapaian tujuan sebagai Hukum Nasional, maka kedudukannya sebagai masukan itu sendiri juga telah dipengaruhi oleh subsistem-subsistem tadi diatas. Dalam tahap proses disampaikan Hukum Adat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan subsistem budaya, subsistem politik, dan subsistem ekonomi pula sangat ditentukan oleh perangkat keras yg berupa lembaga pembentuk Undang-undang (legislatif), forum yudikatif (contohnya pengadilan serta forum kepolisian )dan forum-lembaga lainya yg mensugesti system penegak aturan. Oleh karenanya , pembentukan aturan nasional tidaklah mudah, melainkan adalah suatu proses yang kompleks, yang bila nir hati-hati akan mengakibatkan gejolak dalam masyarakat.

Dalam proses pembentukan hukum nasional itu , yang akan sangat berpengaruh adalah subsistem politik walaupun subsistem ekonomi jua akan menghipnotis lantaran memiliki energy yg paling tinggi , tetepi subsistem politiklah yg lebih dekat menggunakan subsistem sosial , sebagai akibatnya adalah yang lebih berpengaruh.

Di negara–negara yang berkembang, seperti Indonesia ini , politik sangat mensugesti pembentukan aturan. Hal ini ditimbulkan , aturan di Indonesiasaat sekarang ini apabila dihubungkan dengan pendapat Nonet dan Philip Selznick , baru termasuk hukum Represip, yaitu aturan merupakan indera berdasarkan penguasa (Periksa. Mulyono W. Kusumah serta Paul S. Baut ,1988,h.15). Dengan demikian hukum mempunyai kedudukan dibawah politik , walaupun tujuan nanti (idealnya) merupakan hukum Responsip, yaitu hukum serta politik berjalan seiring sejalan . Karena politik berada diatas , maka dalam pembentukan Hukum Nasional tentunya yang penting merupakan tercapai tujuan politik itu sendiri . Hubungan antara subsistem politik serta subsistem sosial (hukum )itu bisa terjadi , lantaran subsistem politik ternyata memiliki konsentrasi energy yg lebih tinggi daripada aturan, sebagai akibatnya jika hukum harus dihadapkan kepada politik, maka hukum berada pada kedudukan yang lebih lemah . Hubungan ini disebut interaksi yg mengkondisikan .politik merupakan kondisi dijalankannya oleh aturan . Hal ini sinkron menggunakan apa yg dikatakan sang Daniel S. Lev menjadi berikut ;”Untuk tahu sistem -sistem aturan ditengah-tengah transformasi politik , kita wajib mengamati mulai dari bawah , buat mengetahui macam kiprah politik dan sosial apakah yang diberikan orang kepadanya, yg didorong untuk melakukannya , serta yg dilarang buat menjalankannya”

Memang disetiap negara , politik selalu m,emegang kendali atau bisa dikatakan sebagai komandan , sedangkan subsitem-subsistem lainnya merupakan menjadi indera politik . Bahkan menurut Teori Hukum Politik (Political Rochtstheorie), yg dikembangkan sang R. Wietholther, bisa disimpulkan bahwa aturan adalah politik (Law is politics). Dalam keadaan separti itu maka aturan tidak merupakan gejala yg bebas nilai dan gejala netral, tetapi antara keduanya terdapat hubungan yg immanent, karena aturan selalu merupakan output proses politik (kategori politik).

Dengan demikian apakah aturan itu dibuat oleh forum yang berwenang atau bukan, pembentuksn hukum itu sendiri merupakan hubungan antara forum-lembaga eksekutif (badan politik) serta forum legislatif (badan politik).secara singkat bisa dikatakan bahwa pada waktu dibentuk hukum merupakan proses politik. Maka hukum baik didunia intrnasional dan nasional selalu adalah hasil keputusan politik. Walaupun demikian,supaya tatanan politik itu baik maka hukum tetap dibutuhkan , jadi bagaimanapun baiknya tatanan politik beliau permanen membutuhka aturan,. Sebaliknya agar aturan itu baik , juga membutuhkan politik. Disamping itu hukum serta politik ini pun membutuhkan moral , yang moral ini terdapat dalam subsistem budaya. Budaya diartikan secara amat sempit akan merujuk kepada hal-hal yang bersifat normatif belaka dan nilai-nilai yang bersifat imperative. Dalam pengertian tersebut konsep budaya sebagai sebagai kalah luas dari konsep sosial ,sebabapa yang disebut warga dan kehidupan sosial itu mencakup seluruh perilaku yang ajeg, baik yg berwarna baik maupun yang berwarna netral atau bahkan nisbi jelek. Budaya yang maknanya yang sempit akan terpandang sebagai “inner system” suatu kehidupan social. Budaya yg dimengerti sebagai nilai-nilai imperative dan kaidah-kaidah yg instruktif telah dijabarkan sebagai “the inner subsystem” suatu kehidupan sosial menggunakan fungsi utama sebagai pengendali “the outher subsystem “ .the outher subsystem ini terdiri menurut :
  1. Perilaku-konduite ekonomi yang rasional dan yang gampang beradaptasi ke perubahan-perubahan kepentingan sesaat.serta 
  2. Perilaku-perilaku politik yg secara realistik mau berkompromi secara bijak demi tercapainya tujuan-tujuan yg menjamin eksistensi. 
Outer system yang progresif dilawankan dengan the inner system (budaya)yg condong berwatak ortodok serta suka mengontrol. Hubungan antara the outer system serta the inner system dalam sistem sosial merupakan interaksi yang bersifat tarik menarik atau saling tekan, menggunakan banyak sekali kemungkinan resultante . The inner system bisa mendominasi sebagai akibatnya mengakibatkan terjadinya rakyat yang statis serta ortodok :dapat terjadi juga bahwa the outer system itulah yg mendominasi sebagai akibatnya rakyat tampil sebagai warga yg serba beranjak tanpa keberatan moral apapun; serta kemungkinannya yg lain adalah tejadinya dominasi yang berkesinambungan secara dinamik antara ke 2 sistem itu sebagai akibatnya membentuk perubahan-perubahan yang terkendali.

Perubahan-perubahan pada sistem sosial-budaya ternyata tidak berlangsung sama ketika dan sama cepat diantara komponen-komponenya. The outer system lebih cepat berubah seiring dan selaras menggunakan perubahan-perubahan lingkungan, sedangkan the inner system akan condong bertahan. Gejala-tanda-tanda itulah yang dalam teori-teori perubahan sosial diklaim cultural lag. 

Apabila perubahan itu berlangsung secara evolosionistis, maka efek ke dalam sitem sosial –budaya tidaklah akan parah. Adaptasi sang the outer system dengan gampang akan diteruskan dan diimbangi proses akomodasi yang berangsur sang the inner system. Tekan buat ikut berubah dalam the inner system akan menyebabkan tegangan-tegangan dan kecemasan-kecemasan yang amat bmenggelisahkan atau bahkan mengakibatkan pertarungan-permasalahan budaya yang merelatifkan semua bentuk pegangan hayati pada masyarakat . Inilah yg lazim dirujuk sebagai permasalahan impak social-budaya (yang disebabkan sang perubahan-perubahan lingkungan ). Perubahan-perubahan yg disengaja atas dasar kebijakanmanusia terbaru (menggunakan motif ekonomi serta politik)dalam prinsipnya berlangsung menggunakan amat pesat dank arena itu menimbulkan pengaruh-impak budaya yg berat. Perubahan timbale balik sebagaimana dijelaskan dengan “cultural lag” tersebut,akan menekan system sosial budaya menggunakan intensitas serta akibat imbas yang tidak sama. Subsistem ekonomi atau the outer system pada umumnya tidak mengalami atau menghadapi banyak kasus adaptasi. Sebaliknya the inner system jika ditekan buat berubah akan menghadapi banyak perkara. Disini mengontrol yg berfungsi menegakkan dan melestarikan pola justru ditekan buat ikut berubah serta tidak lestari. Kesulitan yang terjadi sebagai akibat pertarungan antara tuntutan serta perubahan serta tuntutan berlestari akan hadir menjadi duduk perkara.

Berdasarkan penerangan dimuka, jelaslah bahwa pada pembentukan hukum nasional akan dipengaruhi oleh politik, karena kenyataannya memang di Indonesia politik masih diatas hukum, atau dapat dikatakan masih pada taraf Represive Law. Akan tetepi pada pembentukan hukum nasional baru tentu saja ditujukan agar tercapai/tercipta Responsive Law, yaitu hukum yang tanggap terhadap kebutuhan terbuka dalam pengaruh serta lebih efektif dalam menangani masalah-kasus social. Dalam aturan responsive ini kesempatan buat berpartisipasi pada pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam keadaan ini memang aturan dan politik telah bisa berjalan seiring sejalan secara serasi (antara the outer system serta the inner system ).

Langkah-langkah Pendekatan Sistem 
Pembangunan hukum merupakan suatu bisnis yg tidak berdiri sendiri , melainkan yg perlu dilihat kehadirannya pada suatu konteks tertentu , dalam hal ini perubahan sosial serta modernisasi .apakah ditinjau sebagai usaha melalui aturan buat melakukan perombakan masyarakat ataukah menjadi perubahan berdasarkan sistem itu sendiri ,kedua-duanya sama-sama dibatasi sang perubahan sosial yg terjadi. Jika dibicarakan pembangunan hukum sebagai suatu bisnis buat melakukan perombakan stuktur masyarakat melalui jalan aturan, maka disinilah aturan akan digunakan/dimanfaatkan sebagai wahana untuk melakukan social engineering. Dalam hal ini aturan ditempatkan dalam kedudukan ditengah-tengah system-sistem nilai yg masih ada dalam masyarakat Indonesia.

Adanya aneka macam sitem nilai itu penting pada interaksi menggunakan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan sosial, karena kemajemukan itu juga mengakibatkan kemajemukan yg lain, yaitu pada potsulat-potsulat aturan yg bersumberkan dalam sistem nilai yang berbeda-beda diajarkan sebagai berikut : 

Macam hukum , sistem nilainya serta potsulat-potsulatnya
Macam Hukumnya
Sistem nilai
Potsulat-potsulat
Hukum Adat hukum yg melayani warga pertanian subsistem














Hukum Modern
1.bersifat Religius  ,magis

2.bersifat Komun


3.menghindar menurut perseteruan











1.mengagungkan prestise individu.
2.berorientsi kepada kemajuan , pertumbuhan , serta perubahan .
1.hukum itu hendaknya keseimbangan
2.hukum itu hendaknya mempertahankan suasana keselarasan .
3.hukum bekerja tidak atas pembeda-bedaan melainkan menyamakan . (tidak terdapat disparitas antara aturan public serta perdata;antara “persoonlijk recht”serta “zakelijk recht”).
4.keputusan-keputusan aturan tidak ditujukan pada pemenuhan hak-hak serta tuntutan perorangan .

1.Melindungi serta memajukan hak-hak individu.
2.hukum hendaknaya dipakai sebagai wahana yang sadar buat membentuk rakyat yg dicita-citakan .
Problem yang dihadapi Indonesia adalah bahwa nir mempunyai potsulat-potsulat aturan yg bersumber dalam satu system nilai saja. Dalam suasana kemajemukan tersebut, maka yg dihadapi pada pembangunan aturan pada Indonesia artinya bagaimana orang bisa menaruh panduan pada para pembuat serta perencana hukum supaya memiliki gambaran yang jelas mengenai potsulat-potsulat mana yg hendak dipegangnya. Pemberian pedoman disini mampu dilakukan dengan memperhatikan target yang hendak dituju serta penggunaan potsulat-potsulat mana yang diharapkan buat mampu mengantarkannya ke arah target yg ingin dicapai itu.

Untuk dapat membangun perubahan-perubahan sesuai menggunakan struktur rakyat yg diinginkan ,maka aturan harus dipandang menjadi suatu usaha bersama yang pada akhirnya berakibat hasil yang dikehendaki . Maka menurut itu konsep pembangunan aturan meliputi lembaga-lembaga,peraturan-peraturan, kegiatan dan orang-orang yang terlibat kedalam pekerjaan hukum. Apabila hal itu diperinci maka unsure-unsurnya adalah :
  1. Pembuatan peraturannya 
  2. Penyampaian isi peraturan 
  3. Kesiapan para pelaksana hukum buat menjalankan peranannya 
  4. Kesiapan rakyat Negara buat berbuat sinkron dengan masing-masing peranan yg diharapkan daripadanya
  5. Pengamatan mengenai bekerjanya hukum itu dalam rakyat sehari-hari
Penelaahan konsep pembangunan aturan memberitahuakn aspek statis serta dinamis.
Pendekatan system pada rangka pembangunan hukum nasional, menggunakan bahan Hukum Adat menjadi tambahkan haruslah memperhatikan langkah-langkah pendekatan sistem. Dari beberapa pendapat mengenai pendapat system, dapatlah disimpulkan adanya langkah-langkah pendekatan sistem sebagai berikut : 
1. Identifikasi
2. Perumusan tujuan 
3. Identifikasi kendala atau seringkali dilengkapi menggunakan asal daya /dana serta kendala 
4. Penyajian alternatif terbaik 
5. Implementasi
6. Modifikasi bilamana diperlukan (revisi).

Oleh karenanya dalam pembentukan hukum nasional, pertama-tama yang wajib dilakukan ialah identifikasi kebutuhan.seperti diketahui bahwa tentunya tidak semua ketentuan aturan tata cara bisa dimasukkan dalam hukum nasional , akan tetapi hanya asas-asas atau kaidah-kaidah yg bersifat universal sajalah yang sanggup dipertahankan terus atau diambil alih dalam pembentukan rapikan hukum nasional baru. Misalnya unsure-unsur aturan istiadat yg berkenaan dengan hukum famili serta aturan waris . Dalam goresan pena ini sebagai contohnya merupakan tentang aturan waris.

Berdasarkan identifikasi kebutuhan , galat satu bidang aturan adat perlu dijadikan hukum nasional ,pada hal ini aturan waris . Pada mulanya aturan waris ini menyangkut mengenai pemilihan, yaitu pengalian harta menurut pewaris kepada pakar waris ( dalam masa Low energy society), akan namun pada masa High energy society nilai-nilai tersebut mengalami pergeseran sehingga fungsi hukum adat pada bidang ini menjadi lebih luas daripada sebelumnya. Pergeseran ini wajib diperhatikan dalam rangka menetapkan apakah aturan tata cara itu betul-benar mampu dijadikan hukum nasional sesuai dengan kondisi pada waktu kini dan yang akan datang atau nir? Setelah diketahui bahwa aturan adat waris ini mampu dijadikan aturan nasional maka haruslah dirumuskan tujuannya, contohnya: supaya terdapat keseragaman Hukum Waris buat seluruh warga Indonesia diseluruh Indonesia. Setelah tujuan terumuskan, maka pada mencapai tujuan itu tentunya akan terjadi kendala-hambatan,misalnya hambatan pada sistem Hukum Waris masing-masing wilayah atau suku atau masing-masing hubungan adat (Sistem Parental, Patrilinial, Matrilinial) atau kendala lantaran pergeseran fungsi Hukum waris itu sendiri lantaran pergeseran nila-nilai tentang warisan. Disamping itu wajib diidentifikasi hambatan-kendala yang asal dari subsistem budaya, subsistem social itu sendiri, subsistem politik serta subsistem ekonomi. Sedangkanhambatan lainnya mungkin datang berdasarkan pembentuk undang-undang itu sendiri (legislatif) juga berdasarkan forum eksekutif sendiri dan dari lemabaga yudikatif.

Langkah-langkah dimuka merupakan identifikasi kasus terhadap kemungkinan dijadikannya Hukum Waris Adat sebagai Hukum Nasional. Sedangkan pemecahan masalahnya yaitu memilih galat satu kemungkinan yang paling tepat atau cocok sinkron menggunakan tujuan yg hendak dicapai. Misalnya mencari asas-asas yang sama antara system Hukum Waris masing-masing suku atau system kekerabatan, sebagai akibatnya asas-asas itu sanggup menjadi bagian Hukum Waris Nasional, atau mengesahkan system pewarisan yang tumbuh dalam warga yg adalah pergeseran berdasarkan Hukum Waris Lama.

Setelah diadakan penyajian alternatif terbaik tersebut maka menggunakan cara-cara serta prosedur pembuatan undang-undang, hal tadi dibahas dan digodok oleh pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR), tentunya dengan melalui dengar pendapat menggunakan para ahli dibidang Hukum Waris dan instansi yg terkait lainnya. Kemudian selesainya RUU disetujui sang Presiden atau DPR barulah diundangkan sebagai undang-undang. Dengan demikian sudah terpenuhi tujuannya. Akan tetapi hal ini nir cukup selesai sampai disini, sebab akan timbul permasalahan baru, yaitu apakah Hukum Waris yg baru dibentuk/disahkan itu benar-sahih mencerminkan Hukum Waris Nasional yang sinkron menggunakan kepribadian bangsa Indonesia atau tidak? Apakah sanggup dilaksanakan/diterapkan atau nir? Jawaban atas pertanyaan itu kemudian menjadi umpan kembali (feedback), yg akan sebagai masukkan baru dalam proses pemugaran atau pembaharuan Hukum Nasional tersebut. Hal ini akan terus berlangsung pada proses terwujudnya Hukum Waris Nasional yg responsif. Proses ini akan berhenti jika telah terwujud satu Hukum Waris yg benar-benar sanggup mengikuti perkembangan jaman, yaitu Hukum Nasional yang responsip. Dan yg jelas proses pembuatan Hukum Waris itu adalah proses politik. Oleh karenanya alangkah baiknya jika hasil proses politik itu bisa diterima warga dan bisa dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat, hal ini tentunya wajib disiapkan secara matang dalam proses pembentukannya. Disamping itu dari Sunarti Hartono, ada beberapa hal yang bisa kita perkirakan akan terjadi pada kurun ketika 25 tahun mendatang atau selama kurun ketika PJP II diantaranya, yaitu:
  1. Pesatnya perkembangan teknologi serta ilmu pengetahuan yang mensugesti pola hayati kita sehari-hari;
  2. Arus keterangan berdasarkan semua penjuru global yg akan juga menghipnotis perkembangan bepergian hayati bangsa kita, diantaranya menggunakan semakin banyaknya campur tangan pihak asing dalam urusan (yg umumnya dipercaya sebagai urusan) dalam negeri;
  3. Semakin terbatasnya ruang mobilitas insan yg ditimbulkan sang pesatnya pertambahan penduduk dunia;
  4. Ruang gerak kehidupan serta penghidupan yg sangat ditentukan sang tingkat pencemaran lingkungan hidup;
  5. Globalisasi ekonomi dunia yg menyebabkan internasionalisasi Hukum Nasional;
  6. Semakin langkanya asal daya alam yg umumnya dipakai menjadi bahan makan serta semakin banyaknya bahan-bahan lain sebagai makanan kita sehari-hari;
  7. Kembalinya kehidupan keluarga yg lebih intim berdasarkan dalam sekarang;
  8. Perubahan besar pada dunia kedokteran serta pemeliharaan kesehatan;
  9. Desakkan positif juga negatif yg lebih akbar menurut negara-negara berkembang, yang bisa menyerupai sejarah politik abad ke 17 dan 18 dalam bentuk terbaru, sebagaimana tercermin dalam meletusnya banyak sekali ancaman kekerasan serta peperangan di seluruh penjuru dunia;
  10. Perubahan besar dalam gaya diplomasi serta upaya mempertahankan keamanan bangsa dan kedaulatan negara;
  11. Dan sebagainya. Oleh karenanya, pada membahas dan memilih pola kebijaksanaan pembangunan dan pelatihan Hukum Nasional yg mengacu kepada perkembangan kehidupan serta perilaku pencerahan hukum mayarakat modern dimasa mendatang, harus mempertimbangkan factor-faktor yg dikemukakan diatas.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu pada suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan warga menggunakan berdasarkan pada: Ketuhanan yg Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia merupakan merupakan Negara aturan, yg berkeinginan buat membangun suatu aturan baru sesuai dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan impian tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sebagai akibatnya poly mendapatkan sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yang berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan hukum Belanda yang sudah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karenanya sanggup dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih menggunakan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah Indonesia waktu itu masih disibukkan dengan berbagai bisnis untuk mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg sejak tahun 1974 lalu dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai menggunakan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku sampai akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak pulang ke Undang-Undang Dasar-45 serta lalu diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg lalu berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat Jenderal pada Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah ikut aktif pada pembuatan peta hukum nasional, yg sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 butir UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai hambatan semenjak semula juga terus menghadang, tidak hanya sang penganut teori resepsi,[2] yang masih poly bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang asal menurut kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan penguasaan aturan Islam[3] dalam hukum nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih tahu hukum Islam secara sepotong-pangkas serta terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yg sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan pencerahan buat melaksanakan hukum Islam itu pada empiris kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat menggunakan kontribusi serta prospek aturan Islam terhadap training aturan nasional di Indonesia,[4] mencakup beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan keberadaan hukum Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, 3) Prospek penerapan aturan Islam pada Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yg diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi rakyat yg tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, tetapi juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu tidak hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun pula berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat pada menggapai hasrat.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan aneka macam perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam[6] itu mengandung 2 dimensi:
  • Hukum Islam pada kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yg merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian disebut menggunakan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yang ke 2 inilah, yg lalu menaruh kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan hukum Islam secara bhineka,[9] sinkron dengan konteks permasalahan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yg lalu berhasil mengambil alih semua kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit hukum Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yg tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, aturan Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, aturan Islam nir pernah mangkat serta bahkan selalu hadir pada kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme juga masa kemerdekaan serta hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu[12] kemudian dibagi sebagai 2:
  • Hukum Islam yg bersifat normatif, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana[13] sekalipun sampai sekarang masih pada termin perjuangan), yang telah sebagai bagian menurut hukum positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih menerima perbedaan pada pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai menggunakan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi aturan Islam Indonesia merupakan hukum-aturan Islam yang hidup[14] pada warga Indonesia, baik yg bersifat normatif maupun yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi aturan Islam pada Indonesia yang sebagian daripadanya telah terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, aturan Islam pada Indonesia dapat dibagi sebagai empat periode,[16] dua periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya sudah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua masalah hukum yang berlaku di masyarakat.

Setelah Belanda menggunakan VOC-nya mulai semakin kuat pada menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang lalu dikenal menggunakan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang nir hanya memuat pemberlakuan aturan Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), namun juga menggantikan wewenang lembaga-lembaga peradilan Islam yg dibentuk oleh para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan protesis Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] pada Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir menggunakan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama pada Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan sang teori Receptio yg dikemukakan sang Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai sang Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu menggunakan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut menurut lingkungan rapikan aturan Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat dua dinyatakan:

"Dalam hal terjadi kasus perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim kepercayaan Islam apabila aturan Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan pada atas, maka menggunakan alasan aturan waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum istiadat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan kepercayaan dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tadi menggunakan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, pada samping dibuat buat melumpuhkan system dan kelembagaan aturan Islam yang terdapat, jua secara nir eksklusif telah menyebabkan perkembangan hukum Barat pada Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sebagai akibatnya dalam kasus-kasus eksklusif lalu dibutuhkan aturan Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini aturan Islam mengalami kemunduran menjadi rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode ke 2, yakni sesudah kemerdekaan bisa dibagi pula ke pada dua fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yg dalam hukum konstitusi diklaim dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sesudah diyakini.
b. Hukum Islam menjadi asal otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni menjadi sumber hukum yang eksklusif mempunyai kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan sebagai asal persuasuf UUD-45.[25] Tetapi sehabis Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi asal otoritatif.

Suatu hal yg niscaya adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, memiliki arti yg sangat krusial bagi perkembangan sistem aturan pada Indonesia.

Bangsa Indonesia yg sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system aturan Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara berdikari.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yg sudah lama melembaga dalam rapikan-pola kehidupan bangsa merupakan nir mudah. Ia memerlukan upaya persuasif dan wajib dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap aturan Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan sang Belanda buat merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis karena mengajak umat Islam buat nir mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan sesudah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan aturan kebalikan menurut Receptio, yakni bahwa aturan istiadat itu baru dapat diberlakukan apabila tidak bertentangan menggunakan aturan Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi memiliki ruang gerak yg lebih leluasa.

Dari uraian pada atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan hukum Islam pada Indonesia telah melampaui 3 tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram dampak politik kolonial Belanda, 3. Masa kesadaran dengan berakibat aturan Islam sebagai salah satu alternative primer yang dipercaya sang pemerintah RI pada upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud kontribusi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan serta nilai islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana buat waktu ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman pada pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan generik, dua) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga sebagai undang-undang tertulis serta berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian eksklusif yang hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan sesudah melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku pada tiga zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan training Peradilan Agama serta Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. Lima/SD/1946[30] kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan pulang pendiriannya buat permanen memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut dari penegasan tadi, setidak-tidaknya telah diterbitkan 3 peraturan perundang-undangan yg mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama pada jawa serta Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya dengan disahkannya jua UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas eksistensi forum Peradilan Agama pada system pengadilan nasional, pula sudah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan berdasarkan bahasa Arab, Tajdid yang dalam istilah Indonesia dikenal dengan terkini, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, genre, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat adat, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan dengan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan pada pemikiran Islam, kasus tajdid itu timbul terutama sesudah Islam sebagai agama serta sekaligus tradisi besar , berhadapan dengan aneka macam budaya local, aneka macam faham non Islam serta aneka bentuk pemerintahan yang ada, baik di global Timur juga Barat.[32]

Dalam bidang hukum Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud sanggup berbentuk pikiran atau gerakan (dalam bidang hukum Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran usang yang bersumber menurut ketentuan yang bersifat zanni (aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i buat diadaptasi dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan oleh kemajuan zaman serta budaya lokal pada Indonesia, pada rangka pembangunan, pelatihan dan pembentukan hukum nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yg terlahir menurut Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yg berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum menurut kitab -buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim agama dalam merogoh keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri berdasarkan bab-bab serta pasal-pasal, merupakan merupakan salah satu donasi pembaharuan hukum Islam pada Indonesia.

Disebut sebagai pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), pula beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi warga Islam Indonesia, misalnya ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke pada bagian ini contohnya adalah UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama, serta PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang nir dikenal dalam rapikan hukum nasional.

Dengan telah adanya aneka macam pembaharuan tadi, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sesuai serta seiring dengan perubahan sosial terutama pada era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi liputan tak jarang bisa mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dianggap telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut serta sekaligus mencari solusi serta pemecahan yang sempurna, maka nir tidak mungkin Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan serta ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai dengan munculnya aneka macam pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap aneka macam problem kemasyarakatan pada arti luas (bukan hanya dalam bidang hukum saja, namun jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah tak jarang menyajikan berita yg relatif menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya relatif variatif, diantaranya merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi eksklusif bisa menimbulkan kecurigaan serta kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dipercaya sang sebagian orang menjadi upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat sahih dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung dalam kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan banyak sekali masalah yang baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan dari kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai model konkrit, khususnya pada bidang hukum Islam merupakan penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] serta Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya menurut kalangan umum , namun yang sangat keras justru dari dalam cendekiawan, seperti Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kecenderungan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam membicarakan prospek aturan Islam di Indonesia, setidaknya ada 2 aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam yang berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan menggunakan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah serta akhlaq, pula memuat aturan-anggaran hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini sudah menjadi satu kesatuan yg nir terpisahkan dalam Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yang saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum pada Islam, asas dan tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang buat kebaikan insan semata, sinkron menggunakan fitrah serta kodratnya yang karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, serta melarang perbuatan yang Mengganggu.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sinkron dengan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun karena syareat Islam dibangun pada atas dan demi kebaikan insan itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam aturan nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa aturan Islam itu terdapat di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis maupun tidak tertulis, dalam banyak sekali lapangan kehidupan aturan dan praktek hukum.[46]

d. Telah terwujudnya kontribusi aturan Islam pada aturan nasional, baik dalam bentuk UU maupun IP,[47] merupakan bukti konkret tentang kekuatan dan kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi dengan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung sebagai berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 sebagai dasar Negara, yang sila-silanya merupakan kebiasaan dasar serta kebiasaan tertinggi bagi berlakunya semua kebiasaan hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan agama (terutama pada sila pertama) dalam posisi yang sangat fundamental, dan memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila dengan agama sangat erat, karena menempatkannya dalam posisi sentral, pertama dan utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yang adalah agama anutan mayoritas penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai hukum nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, diantaranya disebutkan: 

"…berfungsinya system hukum yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan tatanan aturan yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam untuk ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi karena hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.

Dengan memperhatikan banyak sekali aspek tersebut pada atas, maka bisa disimpulkan bahwa prospek hukum Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Tetapi demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yg memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta hambatan itu[50] adalah:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, jua budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, pada rakyat Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang memiliki syarat yg saling tidak sinkron yg menyebabkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional wajib dipilih, mana yg telah bisa diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi warga non Islam, sangat dimengerti jika lalu tidak senang terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) aturan Islam dalam aturan nasional, sementara pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yg bertenaga buat memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali dampak trauma masa kemudian sang adanya kelompok ekstrim Islam menggunakan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir oleh kelompok Imam Samudra serta Amrozi sebagai akibatnya mengakibatkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran warga Islam sendiri (kecuali di NAD menurut swatantra khsusus yg masih pada taraf uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan aturan Islam (kecuali pada nikah, cerai serta rujuk), dan diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yang memperbolehkan umat Islam buat memilih antara Peradilan Agama menggunakan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman dan penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan sang banyak faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab serta metode istinbat, ad interim aturan Islam yg poly tersebar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan banyak sekali perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain karena sudah tidak terkait lagi menggunakan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, jua kasusnya memang tidak sama sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi insan). 
Untuk menanggulangi aneka macam kendala serta kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan bisa dipertimbangkan, antara lain:
1) Mengadakan pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam aturan Islam juga aturan umum yg mencakup pola serta kurikulum, sebagai akibatnya dapat mencetak para sarjana hukum yang handal, produktif, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan sosial masyarakat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina hukum Islam menggunakan fakultas aturan generik sebagai Pembina ilmu aturan.
3) Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan sesamanya, dan dengan pakar aturan umum buat menemukan kesamaan visi serta persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, dalam Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" serta tidak bisa sebagai "aturan" bila belum diresapi sang aturan tata cara. Walaupun sejak pemberlakuan UU Perkawinan pada 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tadi dengan sendirinya sudah mati, tetapi arwah serta semangatnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian sarjana hukum Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, aturan Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, serta bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yg memang merupakan sub system hukum nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan adat, keberadaannya telah menjadi autoritive source semenjak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sinkron menggunakan kebutuhan warga . Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup holistik rapikan kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi kondisi tertentu mengenai al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi merupakan aturan syara' yang bersifat mudah diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, pada Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yg mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan generik, yg mengakibatkan pelakunya bisa diancam menggunakan hukuman eksklusif serta adalah penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, hukum yang diterima dan digunakan secara konkret dalam kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dianggap sudah sinkron menggunakan pencerahan hukum serta cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tersebut, selengkapnya bisa ditelaah pada H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, pada Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada buku Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam serta Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama menggunakan hukum istiadat yg nir tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum pada Indonesia pada Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, pada Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph pada Undang-Undang Dasar-45 yang kemudian menjadi sila pertama Pancasila menjadi Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan kondisi Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia sebagai Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. Tiga-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika dan Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam pada Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum serta Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi forum peradilan pada bentuknya yang masih sederhana dengan tokoh kepercayaan menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar serta Asas-Asas Hukum Islam pada Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran dan Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, dari segi kedudukan belum menjadi UU bukan hukum tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, dan seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan dari Sudut Perundang-Undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam ada akibat pemahaman yg sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais pada Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan serta Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman di Pakistan dan Nurcholis Madjid di Indonesia, yg dipercaya terlalu liberal, elitis dan tidak membumi, dan terlepas dari realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah serta Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yg Hilang, Dalam Pesantren No. 2, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam pada Indonesia (Makalah), h. 3-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, sanggup ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional pada Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 mengenai Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, serta UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam pada Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan dalam upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta kendala tadi, bisa dipandang pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.