INDONESIA ADALAH NEGARA KONSTITUSIONAL

Visiunversal---Warga Belajar dan anak didik sekalian, Perjuangan bangsa Indonesia buat mengusir penjajah mempunyai tujuan utuk mendirikan negara yang merdeka bebas menurut tindakan sewenang-wenang yang dilakukan sang penjajah, Para pejuang bangsa bercita-cita membentuk negara yg demokratis nir diktator dan nir absolut tetapi bercita-cita membentuk negara yg memiliki pemerintahan yang dari pada peraturan /aturan atau negara yg konstitusional.

Sistem pemerintahan Indonesia menurut pada konstitusi, tidak bersifat absolut. Pemerintahan konstitusional artinya pemerintahan yang menurut pada konstitusi atau Undang-undang Dasar.

Hal ini berdasarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

  1. Pasal 1 ayat 2 berbunyi "Kedaulatan berada ditangan warga serta dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar".
  2. Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar".
Negara konstitusional mempunyai konstitusi yang bercirikan:
Membatasi kekuasaan pemerintah
Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara

Berdasarkan penjesalan tersebut bisa kita simpulkan bahwa Indonesia adalah negara yg demokrasi (kekuasaan di tangan warga ) bukan ditangan pemimpin atau penguasa, para penyelenggara negara hanya menjalankan amanat berdasarkan warga . Para penyelenggara negara yaitu orang-orang yang dipercaya masyarakat menduduki jabatan penting atau anggota berdasarkan forum-lembaga tinggi negara, mereka menjalankan tugas sesuai dengan kehendak rakyat yg dituangkan pada dalam konstitusi.

Demikian tentang kompendium Indonesia merupakan negara konstitusional. Semoga berguna. Terimakasih. 

APA MENGAPA DAN BAGAIMANA WAWASAN NUSANTARA

Apa Mengapa Dan Bagaimana Wawasan Nusantara 
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Kata wawasan dari menurut istilah “wawas” ( bahasa Jawa ) yang berarti melihat atau memandang. Apabila ditambah menggunakan akhiranan maka secara harfiah berarti cara penglihatan, cara tinjau, cara pandang.nusantara merupakan sebuah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuno yakni nusa yang berarti pulau, dan antara merupakan lain.wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai sang paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Beberapa teori paham kekuasaan serta teori geopolitik. Perumusan wawasan nasional lahir menurut pertimbangan serta pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasionalnya dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan.

Teori-teori yg bisa mendukung rumusan tersebut diantaranya:
a. Paham Machiavelli (Abad XVII)
Dalam bukunya mengenai politik yang diterjemahkan kedalam bahasa dengan judul “The Prince”, Machiavelli menaruh pesan tentang cara menciptakan kekuatan politik yang besar supaya sebuah negara dapat berdiri menggunakan kokoh. Didalamnya terkandung beberapa postulat serta cara pandang mengenai bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan pada merebut dan mempertahankan kekuasaan; kedua, buat menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) adalah sah; serta ketiga, pada global politik (yg disamakan menggunakan kehidupan hewan buas ), yang kuat niscaya dapat bertahan serta menang. Semasa Machiavelli hayati, kitab “The Prince” dihentikan beredar sang Sri Paus lantaran dianggap amoral. Tetapi sehabis Machiavelli mangkat , kitab tersebut menjadi sangat dan banyak dipelajari sang orang-orang dan dijadikan pedoman sang banyak kalangan politisi serta para kalangan elite politik.

b. Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Kaisar Napoleon adalah tokoh revolusioner di bidang cara pandang, selain penganut baik menurut Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di masa depan akan adalah perang total yang mengerahkan segala upaya dan kekuatan nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung oleh syarat sosial budaya berupa ilmu pengetahuan teknologi demi terbentuknya kekuatan hankam untuk menduduki serta menjajah negara-negara disekitar Prancis. Ketiga postulat Machiavelli telah diimplementasikan menggunakan sempurna sang Napoleon, tetapi sebagai bumerang bagi dirinya sendiri sehingg akhir kariernya dibuang ke Pulau Elba.

c. Paham Jendral Clausewitz (XVIII)
Pada era Napoleon, Jenderal Clausewitz sempat terusir sang tentara Napoleon berdasarkan negaranya hingga ke Rusia. Clausewitz akhirnya bergabung dan menjadi penasihat militer Staf Umum Tentara Kekaisaran Rusia. Sebagaimana kita ketahui, invasi tentara Napoleon dalam akhirnya terhenti di Moskow serta diusir kembali ke Perancis. Clausewitz, selesainya Rusia bebas kembali, di angkat menjadi ketua staf komando Rusia. Di sana dia menulis sebuah buku mengenai perang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang). Menurut Clausewitz, perang adalah kelanjutan politik menggunakan alternatif. Baginya, peperangan merupakan sah-absah saja buat mencapai tujuan nasional suatu bangsa. Pemikiran inilah yg membenarkan Rusia berekspansi sehingga menimbulkan perang Dunia I dengan kekalahan di pihak Rusia atau Kekaisaran Jerman.

d. Paham Feuerbach dan Hegel
Paham materialisme Feuerbach serta teori buatan Hegel menyebabkan 2 aliran akbar Barat yang berkembang didunia, yaitu kapitalisme pada satu pihak serta komunisme di pihak yang lain. Pada abad XVII paham perdagangan bebas yang merupakan nenek moyang liberalisme sedang marak. Saat itu orang-orang beropini bahwa ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya, terutama diukur menggunakan emas. Paham ini memicu nafsu kolonialisme negara Eropa Barat dalam mencari emas ke loka yg lain. Inilah yang memotivasi Columbus buat mencari daerah baru, kemudian Magellan, dan lain-lainnya. Paham ini pula yang mendorong Belanda untuk melakukan perdagangan (VOC) serta pada akhirnya menjajah Nusantara selama 3,5 abad.

e. Paham Lenin (XIX)
Lenin sudah memodifikasi paham Clausewitz. Menurutnya, perang merupakan kelanjutan politik menggunakan cara kekerasan. Bagi Leninisme/komunisme, perang atau pertumpahan darah atau revolusi di seluruh global merupakan sah pada kerangka mengkomuniskan seluruh bangsa di global. Lantaran itu, selama perang dingin, baik Uni Soviet maupun RRC berlomba-lomba untuk mengekspor paham komunis ke semua global. G.30.S/PKI merupakan salah satu komoditi ekspor RRC pada tahun 1965. Sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa paham komunisme ternyata berakhir secara tragis misalnya runtuhnya Uni Soviet.

f. Paham Lucian W.pye serta Sidney
Dalam buku Political Culture and Political Development (Princeton University Press, 1972 ), mereka menyampaikan :”The political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action can take place, it provides the subjective orientation to politics.....the political culture of society is highly significant aspec of the political system”. Para pakar tersebut menyebutkan adanya unsur-unsur sebyektivitas serta psikologis dalam tatanan dinamika kehidupan politik suatu bangsa, kemantapan suatu sistem politik dapat dicapai bila sistem tersebut berakar pada kebudayaan politik bangsa yg bersangkutan.samudera Hindia).

Latar belakang yang mensugesti tumbuhnya konsespi wawasan nusanatara adalah menjadi berikut :
a. Aspek Historis
Dari segi sejarah, bahwa bangsa Indonesia menginginkan sebagai bangsa yg bersatu menggunakan wilayah yang utuh adalah karena dua hal yaitu :
  1. Kita pernah mengalami kehidupan menjadi bangsa yang terjajah dan terpecah, kehidupan sebagai bangsa yang terjajah merupakan penederitaaan, kesengsaraan, kemiskinan serta kebodohan. Penjajah pula membangun perpecahan pada diri bangsa Indonesia. Politik Devide et impera. Dengan adanya politik ini orang-orang Indonesia justru melawan bangsanya sendiri. Dalam setiap perjuangan melawan penjajah selalu ada pahlawan, tetapi jua ada pengkhianat bangsa. 
  2. Kita pernah mempunyai wilayah yg terpisah-pisah, secara historis wilayah Indonesia adalah wialayah bekas jajahan Belanda . Wilayah Hindia Belanda ini masih terpisah0pisah menurut ketentuan Ordonansi 1939 dimana bahari territorial Hindia Belanda merupakan sejauh tiga (tiga) mil. Dengan adanya ordonantersebut , bahari atau perairan yang ada diluar tiga mil tersebut adalah samudera bebas serta berlaku menjadi perairan internasional. Sebagai bangsa yang terpecah-pecah serta terjajah, hal ini jelas adalah kerugian besar bagi bangsa Indonesia.
Keadaan tadi tidak mendudkung kita dalam mewujudkan bangsa yg merdeka, bersatu serta berdaulat.untuk sanggup keluar berdasarkan keadaan tersebut kita membutuhkan semangat kebangsaan yang melahirkan visi bangsa yang bersatu. Upaya buat mewujudkan wilayah Indonesia menjadi wilayah yang utuh nir lagi terpisah baru terjadi 12 tahun lalu setelah Indonesia merdeka yaitu ketika Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan pernyataan yg selanjutnya dianggap sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Isi utama berdasarkan deklarasi tersebut menyatakan bahwa laut territorial Indonesia nir lagi sejauh 3 mili melainkan selebar 12 mil dan secara resmi menggantikam Ordonansi 1939. 

Dekrasi Djuanda jua dikukuhkan dalam UU No.4/Prp Tahun 1960 tenatang perairan Indonesia yg berisi :
1. Perairan Indonesia adalah laut daerah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia
2. Laut daerah Indonesia adalah jalur bahari 12 mil laut
3. Perairan pedalaman Indonesia adalah seluruh perairan yg terletak dalam sisi dalam menurut garis dasar.

Keluarnya Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi wawasan Nusantara dimana bahari tidak lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai penghubung.uu mengenai perairan Indonesia diperbaharui menggunakan UU No.6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia.

Deklarasi Djuanda pula diperjuangkan dalam lembaga internasional. Melalui usaha panjanag akhirnya Konferensi PBB lepas 30 April mendapat “ The United Nation Convention On The Law Of the Sea”(UNCLOS) . Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut Indonesia diakui menjadi negara dengan asas Negara Kepulauan (Archipelago State).

b. Aspek Geografis dan Sosial Budaya
Dari segi geografis dan Sosial Budaya, Indonesia meruapakan negara bangsa menggunakan wialayah dan posisi yg unik dan bangsa yang heterogen. Keunikan wilayah dan serta heterogenitas menjadikan bangsa Indonesia perlu memilikui visi sebagai bangsa yg satu serta utuh . Keunikan wilayah dan heterogenitas itu anatara lain menjadi berikut :
1. Indonesia bercirikam negara kepulauan atau maritime
2. Indonesia terletak anata 2 benua dan 2 sameudera(posisi silang)
3. Indonesia terletak dalam garis khatulistiwa
4. Indonesia berada pada iklim tropis menggunakan dua musim
5. Indonesia sebagai rendezvous dua jalur pegunungan yaitu sirkumpasifik dan Mediterania
6. Wilayah subur dan dapat dihuni
7. Kaya akan tumbuhan dan hewan serta sumberdaya alam
8. Memiliki etnik yang banyak sehingga memiliki kebudayaan yang beragam
9. Memiliki jumlah penduduk pada jumlah yg akbar, sebesar 218.868 juta jiwa (tahun 2005 – www.datastatistik-Indonesia.com

Berdasarkan Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN, Wawasan Nusantara yang adalah wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila dan dari Undang-Undang Dasar 1945 adalah cara pandang serta perilaku bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya menggunakan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

A. Isi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara meliputi :
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, pada arti :
a. Bahwa kebulatan daerah nasional menggunakan segala isi serta kekayaannya adalah satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, serta kesatuan matra seluruh bangsa dan menjadi kapital serta milik bersama bangsa.
b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari aneka macam suku serta berbicara dalam aneka macam bahasa daerah serta memeluk serta meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa wajib adalah satu kesatuan bangsa yang bundar dalam arti yg seluas-luasnya.
c. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia wajib merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, dan memiliki tekad pada mencapai hasrat bangsa.
d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa serta negara yg melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.
e. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
f. Bahwa semua Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem aturan dalam arti bahwa hanya terdapat satu aturan nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional.
g. Bahwa bangsa Indonesia yg hayati berdampingan menggunakan bangsa lain ikut membangun ketertiban global yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian tak pernah mati, serta keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.

2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, pada arti :
a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial juga efektif adalah kapital serta milik bersama bangsa, serta bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di semua wilayah tanah air.
b. Tingkat perkembangan ekonomi wajib serasi serta seimbang pada semua wilayah, tanpa meninggalkan ciri spesial yg dimiliki oleh wilayah dalam pengembangankehidupanekonominya.
c. Kehidupan perekonomian pada seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yg diselenggarakan menjadi bisnis beserta atas asas kekeluargaan serta ditujukan bagi sebanyak-akbar kemakmuran rakyat. 

3. Perwujudan Kepulauan Nusantara menjadi Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti :
a. Bahwa warga Indonesia merupakan satu, perikehidupan bangsa wajib merupakan kehidupan bangsa yg serasi menggunakan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yg sama, merata serta seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yg sesuai menggunakan tingkat kemajuan bangsa.
b. Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya merupakan satu, sedangkan corak ragam budaya yg ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang sebagai kapital dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, menggunakan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak bertentangan menggunakan nilai budaya bangsa, yang output-hasilnya dapat dinikmati sang bangsa. 

4. Perwujudan Kepulauan Nusantara menjadi Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti :
a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu wilayah dalam hakekatnya adalah ancaman terhadap semua bangsa dan negara.
b. Bahwa tiap-tiap rakyat negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara serta bangsa. 

B. Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga daerahnya merupakan laut membentang ke utara dengan pusatnya pada pulau Jawa membentuk citra kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan pada salah satu doktrin nasional yangdisebut Wawasan Nusantara serta politik luar negeri bebas aktif.

Wawasan nusantara menjadi geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional menggunakan fokus bahwa daerah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yg dihubungkan sang bahari. Laut yg menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang beredar pada seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara merupakan konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia menjadi satu kesatuan daerah, mencakup tanah (darat), air (laut) termasuk dasar bahari dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yg menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yg meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang adalah manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia sudah ditegaskan pada GBHN menggunakan Tap. MPR No.iv tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang sudah diperjuangkan semenjak Dekrarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.

Sebagai bangsa yg majemuk yg sudah menegara, bangsa Indonesia dalam membina serta menciptakan atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan keamanan warga semestanya, selalu mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah.

2. Unsur-Unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah (contour)
Wadah kehidupan bermayarakat, berbangsa, serta bernegara meliputi semua daerah Indonesia yg mempunyai sifat serba nusantara dengan kekayaan alam serta penduduk serta aneka budaya adalah bangsa Indonesia. Setelah menegara dalm negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yang merupakan wadah berbagai aktivitas kenegaraan dalam wujud supra struktur politik, sedangkan wadah pada kehidupan bermasyarakat merupakan berbagai kelembagaan pada wujud infra struktur politik.

Dari Penjelasan di atas, dapatlah dipandang bahwa wadah yg dimaksud dalam unsur pertama ini merupakan batas ruang lingkup atau bentuk wujud berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diumumkan melalui Dekrit Juanda tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografi Indonesia adalah negara kepulauan yg terdiri atas ribuan pulau akbar serta kecil. Deklarasi ini kemudian disahkan melalui Perpu No. 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Bentuk wujud ini nir bisa dipisahkan dari azaz Archipelago yg sudah diperjuangkan dalam pertemuan kesepakatan hukum bahari internasional tahun 1982, mengikat seluruh negara. Oleh karena itu bentuk nusantara batas-batasnya ditentukan sang bahari, sejauh 12 mil dengan pada dalamnya terdapat pulau-pulau serta perpaduan pulau, berjumlah 17.508 butir pulau (11.808 diantanya belum memiliki nama), yg satu sama lain dihubungkan, tidak dipisahkan oleh air, baik berupa laut dan selat. Dengan demikian bentuk wujud nusantara kini ini terdiri 65% wilayah laut/perairan serta 35% daratan. Luas seluruhnya kira-kira lima juta km2 luas daratan, menggunakan panjang pantai 81.000 km. Adapun topografi daratannya adalah pegunungan dengan gunung-gunung berapi, baik yg masih aktif juga yg sudah nir aktif. Nusantara Indonesiadisamping bentuk wujud pada atas, pula memiliki letak geografis yg spesial , yaitu menjadi inti daripada posisi silang dunia, yang mempunyai imbas yang besar dalam tata kehidupan serta sifat perikehidupan nasionalnya.

2. Isi (content)
“Isi” adalah pandangan baru bangsa yang berkembang pada masyarakat dan impian serta tujuan nasional yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945. Menyadari bahwa buat mencapai aspirasi yang berkembang di warga maupun harapan dan tujuan nasional seperti tersebut pada atas bangsa Indonesia harus mampu membangun persatuan serta kesatuan dalam kebhinekaan pada kehidupan nasional yg berupa politik, ekonomi, sosial budaya, serta hankam. Oleh karenanya “isi” menyangkut dua hal yang esensial yakni: Pertama, Realisasi aspirasi bangsa sebagai kesepakatan bersama serta perwujudannya, pencapaian cita-cita tujuan nasional, dan Kedua. Persatuan dan kesatuan pada kebhinekaan yg meliputi seluruh aspek kehidupan nasional.

Berdasarkan ke 2 hal yg disebutkan di atas, maka dapat dilihat tujuan nasional yg telah dirumuskan dalam pembukaan undang-undang dasar kita yg, berbunyi “lalu daripada itu buat membangun suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia dan buat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia menurut kemerdekaan, perdamaian tak pernah mati dan keadilan sosial”. Merupakan bentuk nyata berdasarkan isi konsepsi wawasan nusantara yang harus menjadi impian seluruh bangsa Indonesia, yg pada hakekatnya bertujuan unutk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, serta keamanan bagi bangsa Indonesia serta jua buat kebahagiaan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia.

3. Tatalaku (conduct)
Tata laris merupakan output hubungan antara wadah serta isi, yg terdiri berdasarkan tata laku batiniah dan lahiriah. Rapikan laris batiniah mencerminkan jiwa, semangat, dan mentalitas yg baik dari bangsa Indonesia, se¬dangkan tata laris lahiriah tercermin dalam tindakan, perbuatan, dan konduite dari bangsa Indonesia. Kedua hal tersebut akan mencermin¬kan bukti diri jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia berdasarkan kekeluargaan serta kebersamaan yang memiliki rasa bangga dan cinta kepada bangsa dan tanah air sehingga menimbuhkan nasionalisme yg tinggi pada semua aspek kehidupm nasional.

3. HAKIKAT WAWASAN NUSANTARA
Hakikat wawasan nusantara adalah keutuhan nusantara, pada pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh pada lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap rakyat bangsa serta aparatur negar wajib berpikir, bersikap, serta bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa dan negara indonesia. Demikian jua produk yang didapatkan oleh forum negara harus pada lingkup dan demi kepentingan bangsa serta negaraIndonesia, tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, misalnya kepentingan daerah, golongan serta orang perorang

Asas wawasan nusantara Merupakan ketentuan – ketentuan atau kaidah – kaidah dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara, serta diciptakan demi permanen taat serta setianya komponen pembentuk bangsa Indonesia terhadap konvensi beserta.jika hal ini diabaikan, maka komponen pembentuk kesepakatan beserta akan melanggar konvensi beserta tadi, yang berarti bahwa tercerai berainya bangsa serta negara Indonesia

Asas Wawasan Nusantara terdiri berdasarkan :
  1. Kepentingan yang sama
  2. KeadilanYang berarti kesesuaian pembagian hasil dengan adil.
  3. KejujuranYang berarti keberanian berfikir, menyampaikan, dan bertindak sesuai menggunakan relita serta ketentuan yg benar biarpun realita atau kebenaran itu getir.
  4. SolidaritasYang berarti rasa setia kawan, mau memberi dan berkorban demi orang lain tanpa meninggalkan ciri dan karakter budaya masing-masing.
  5. Kerja sama Adanya koordinasi, saling pengertian yang didasarkan atas kesetaraan demi terciptanya sinergi yg lebih baik.
  6. Kesetiaan terhadap ikrar atau konvensi bersama demi terpeliharanya persatuann dan kesatuandalam bhinekaan.merupakan tonggak utama dalam terciptanya persatuan serta kesatuan dalam kebhinekaan. Jika hal ini ambruk maka rusaklah persatuan dan kesatuan kebhinekaan Indonesia.
4. KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA.
1. Kedudukan
a. Wawasan nusantara menjadi wawasan nasional angsa Indonesia adalah ajaran yang diyakini kebenarannya oleh semua masyarakat agar tidak terjadi penyesatan dan defleksi pada upaya mencapai dan mewujudkan harapan serta tujuan nasional.
b. Wawasan nusantara pada paradigma nasional bisa ditinjau menurut stratifikasinya menjadi berikut:
  1. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idiil.
  2. Undang-undang dasar 1945 menjadi landasan konstitusi negara, berkedudukan menjadi landasan konstitusional.
  3. Wawasan nusantara menjadi visi nasional, berkedudukan menjadi landasan visional.
  4. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional atau menjadi kebijaksanaan nasional, berkedudukan menjadi landasan operasional.
2. Fungsi
Wawasan nusantara berfungsi menjadi panduan, motivasi, dorongan, dan rambu-rambu pada memilih segala jenis kebijaksanaan, keputusan, tindakan danperbuatan bagi penyelenggara negara pada tingkat pusat serta daerah juga bagi seluruh masyarakat Indonesia pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

3. Tujuan
Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yg tinggi pada segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yg lebih mementingkan kepentingan nasional dari pada kepentingan individu, grup, golongan, suku bangsa, atau wilayah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan individu, grup, suku bangsa,atau daerah.

5. IMPLEMENTASI DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI DARI WAWASAN NUSANTARA
Indonesia, sebagai negara bangsa (nation state) kini sedang berada dipersimpangan jalan. Di tengah himpitan upaya untuk keluar menurut krisisekonomi, Indonesia wajib menghadapi ragam tuntutan berdasarkan daerah yang entah kebetulan atau tidak muncul dalam ketika yang hampir bersamaan. Tuntutantersebut jenisnya beragam; berdasarkan sekadar menuntut pembagian keuanganyang lebih adil, tuntutan otonomi yg lebih luas, tuntutan federalisasi,hingga ke tuntutan kemerdekaan. Akibatnya, eksistensi negara bangsaIndonesia menjadi negara kesatuan dalam ideologi, politik, sosial, budaya,pertahanan serta keamanan (sebagaimana dinyatakan pada konsep yang selama inidisebut “wawasan nusantara”), kemudian dipertanyakan kesahihannya 

6. ARAH PANDANG WAWASAN NUSANTARA.
1. Arah Pandang Ke Dalam
Arah pandang ke dalam bertujuan mengklaim perwujudan persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah juga sosial. Arah pandang ke pada mengandung arti bahwa bangasa indonesia wajib peka dan berusaha buat mencegah serta mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan harus mengupayakan permanen terbina serta terpeliharanya persatua serta kesatuan pada kebhinekaan.

2. Arah Pandang Ke Luar
Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam duna serba berubah maupun kehidupan pada negeri dan pada melaksanakan ketertiban global yang dari kemerdekaan, perdamaian tak pernah mati, dan keadilan sosial, dan kolaborasi dan perilaku saling menghormati. Arah pandang ke luar mengandung arti bahwa kehidupan internasionalnya, bangsa Idonesia wajib berusaha mengamankan kepentingan nasionalnya pada seluruh aspek kehidupan demi tercapainya tujuan nasional sinkron tertera dalam Pembukaan UUD1945.

APA MENGAPA DAN BAGAIMANA WAWASAN NUSANTARA

Apa Mengapa Dan Bagaimana Wawasan Nusantara 
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Kata wawasan asal menurut kata “wawas” ( bahasa Jawa ) yg berarti melihat atau memandang. Apabila ditambah menggunakan akhiranan maka secara harfiah berarti cara penglihatan, cara tinjau, cara pandang.nusantara merupakan sebuah istilah beragam yg diambil menurut bahasa Jawa Kuno yakni nusa yang berarti pulau, serta antara ialah lain.wawasan nasional suatu bangsa dibentuk serta dijiwai oleh paham kekuasaan serta geopolitik yang dianutnya. Beberapa teori paham kekuasaan dan teori geopolitik. Perumusan wawasan nasional lahir dari pertimbangan serta pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasionalnya bisa diwujudkan serta dipertanggungjawabkan.

Teori-teori yang bisa mendukung rumusan tersebut antara lain:
a. Paham Machiavelli (Abad XVII)
Dalam bukunya tentang politik yg diterjemahkan kedalam bahasa dengan judul “The Prince”, Machiavelli menaruh pesan mengenai cara membentuk kekuatan politik yg akbar supaya sebuah negara dapat berdiri menggunakan kokoh. Didalamnya terkandung beberapa postulat serta cara pandang mengenai bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan jika menerapkan dalil-dalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan; ke 2, buat menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) merupakan absah; serta ketiga, pada dunia politik (yg disamakan menggunakan kehidupan hewan buas ), yang kuat niscaya bisa bertahan serta menang. Semasa Machiavelli hayati, kitab “The Prince” dihentikan tersebar oleh Sri Paus karena dipercaya amoral. Tetapi setelah Machiavelli meninggal, buku tersebut sebagai sangat dan banyak dipelajari oleh orang-orang serta dijadikan panduan sang banyak kalangan politisi dan para kalangan elite politik.

b. Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Kaisar Napoleon adalah tokoh revolusioner di bidang cara pandang, selain penganut baik dari Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di masa depan akan adalah perang total yang mengerahkan segala upaya serta kekuatan nasional. Kekuatan ini pula perlu didukung oleh kondisi sosial budaya berupa ilmu pengetahuan teknologi demi terbentuknya kekuatan hankam buat menduduki serta menjajah negara-negara disekitar Prancis. Ketiga postulat Machiavelli sudah diimplementasikan menggunakan paripurna oleh Napoleon, tetapi menjadi bumerang bagi dirinya sendiri sehingg akhir kariernya dibuang ke Pulau Elba.

c. Paham Jendral Clausewitz (XVIII)
Pada era Napoleon, Jenderal Clausewitz sempat terusir oleh tentara Napoleon dari negaranya hingga ke Rusia. Clausewitz akhirnya bergabung dan sebagai penasihat militer Staf Umum Tentara Kekaisaran Rusia. Sebagaimana kita ketahui, pencaplokan tentara Napoleon dalam akhirnya terhenti pada Moskow serta diusir pulang ke Perancis. Clausewitz, setelah Rusia bebas balik , di angkat sebagai ketua staf komando Rusia. Di sana dia menulis sebuah kitab mengenai perang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang). Menurut Clausewitz, perang adalah kelanjutan politik menggunakan cara lain . Baginya, peperangan merupakan absah-absah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa. Pemikiran inilah yang membenarkan Rusia berekspansi sebagai akibatnya mengakibatkan perang Dunia I dengan kekalahan di pihak Rusia atau Kekaisaran Jerman.

d. Paham Feuerbach dan Hegel
Paham materialisme Feuerbach serta teori sintesis Hegel menyebabkan dua genre besar Barat yang berkembang didunia, yaitu kapitalisme pada satu pihak dan komunisme di pihak yg lain. Pada abad XVII paham perdagangan bebas yg merupakan nenek moyang liberalisme sedang marak. Saat itu orang-orang berpendapat bahwa ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa akbar surplus ekonominya, terutama diukur dengan emas. Paham ini memicu nafsu kolonialisme negara Eropa Barat dalam mencari emas ke tempat yang lain. Inilah yg memotivasi Columbus buat mencari wilayah baru, lalu Magellan, dan lain-lainnya. Paham ini juga yang mendorong Belanda untuk melakukan perdagangan (VOC) serta dalam akhirnya menjajah Nusantara selama 3,5 abad.

e. Paham Lenin (XIX)
Lenin telah memodifikasi paham Clausewitz. Menurutnya, perang merupakan kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Bagi Leninisme/komunisme, perang atau pertumpahan darah atau revolusi pada semua dunia merupakan absah dalam kerangka mengkomuniskan semua bangsa pada global. Lantaran itu, selama perang dingin, baik Uni Soviet maupun RRC berlomba-lomba buat mengekspor paham komunis ke semua dunia. G.30.S/PKI merupakan salah satu komoditi ekspor RRC dalam tahun 1965. Sejarah selanjutnya menunjukkan bahwa paham komunisme ternyata berakhir secara tragis misalnya runtuhnya Uni Soviet.

f. Paham Lucian W.pye dan Sidney
Dalam kitab Political Culture and Political Development (Princeton University Press, 1972 ), mereka mengungkapkan :”The political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action can take place, it provides the subjective orientation to politics.....the political culture of society is highly significant aspec of the political system”. Para pakar tadi menyebutkan adanya unsur-unsur sebyektivitas serta psikologis dalam tatanan dinamika kehidupan politik suatu bangsa, kemantapan suatu sistem politik dapat dicapai bila sistem tadi berakar pada kebudayaan politik bangsa yg bersangkutan.lautan Hindia).

Latar belakang yang mensugesti tumbuhnya konsespi wawasan nusanatara merupakan sebagai berikut :
a. Aspek Historis
Dari segi sejarah, bahwa bangsa Indonesia menginginkan menjadi bangsa yang manunggal menggunakan wilayah yang utuh merupakan lantaran 2 hal yaitu :
  1. Kita pernah mengalami kehidupan sebagai bangsa yg terjajah dan terpecah, kehidupan menjadi bangsa yg terjajah adalah penederitaaan, kesengsaraan, kemiskinan dan kebodohan. Penjajah jua membentuk perpecahan pada diri bangsa Indonesia. Politik Devide et impera. Dengan adanya politik ini orang-orang Indonesia justru melawan bangsanya sendiri. Dalam setiap usaha melawan penjajah selalu terdapat pahlawan, tetapi juga terdapat pengkhianat bangsa. 
  2. Kita pernah memiliki daerah yg terpisah-pisah, secara historis daerah Indonesia merupakan wialayah bekas jajahan Belanda . Wilayah Hindia Belanda ini masih terpisah0pisah berdasarkan ketentuan Ordonansi 1939 dimana bahari territorial Hindia Belanda merupakan sejauh tiga (3) mil. Dengan adanya ordonantersebut , bahari atau perairan yang ada diluar 3 mil tadi merupakan samudera bebas serta berlaku sebagai perairan internasional. Sebagai bangsa yang terpecah-pecah dan terjajah, hal ini jelas adalah kerugian akbar bagi bangsa Indonesia.
Keadaan tersebut nir mendudkung kita dalam mewujudkan bangsa yg merdeka, manunggal dan berdaulat.untuk mampu keluar menurut keadaan tersebut kita membutuhkan semangat kebangsaan yg melahirkan visi bangsa yg manunggal. Upaya buat mewujudkan wilayah Indonesia menjadi wilayah yang utuh tidak lagi terpisah baru terjadi 12 tahun kemudian sehabis Indonesia merdeka yaitu waktu Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan pernyataan yang selanjutnya dianggap menjadi Deklarasi Djuanda dalam 13 Desember 1957. Isi utama menurut deklarasi tadi menyatakan bahwa bahari territorial Indonesia nir lagi sejauh 3 mili melainkan selebar 12 mil dan secara resmi menggantikam Ordonansi 1939. 

Dekrasi Djuanda pula dikukuhkan pada UU No.4/Prp Tahun 1960 tenatang perairan Indonesia yang berisi :
1. Perairan Indonesia adalah laut daerah Indonesia bersama perairan pedalaman Indonesia
2. Laut daerah Indonesia merupakan jalur laut 12 mil laut
3. Perairan pedalaman Indonesia merupakan seluruh perairan yg terletak dalam sisi dalam berdasarkan garis dasar.

Keluarnya Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi wawasan Nusantara dimana laut tidak lagi menjadi pemisah, namun sebagai penghubung.uu tentang perairan Indonesia diperbaharui dengan UU No.6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia.

Deklarasi Djuanda juga diperjuangkan pada lembaga internasional. Melalui perjuangan panjanag akhirnya Konferensi PBB tanggal 30 April menerima “ The United Nation Convention On The Law Of the Sea”(UNCLOS) . Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 tadi Indonesia diakui sebagai negara dengan asas Negara Kepulauan (Archipelago State).

b. Aspek Geografis dan Sosial Budaya
Dari segi geografis serta Sosial Budaya, Indonesia meruapakan negara bangsa menggunakan wialayah dan posisi yang unik dan bangsa yg tidak sejenis. Keunikan wilayah dan dan heterogenitas menjadikan bangsa Indonesia perlu memilikui visi sebagai bangsa yg satu serta utuh . Keunikan daerah dan heterogenitas itu anatara lain menjadi berikut :
1. Indonesia bercirikam negara kepulauan atau maritime
2. Indonesia terletak anata dua benua serta 2 sameudera(posisi silang)
3. Indonesia terletak dalam garis khatulistiwa
4. Indonesia berada pada iklim tropis dengan 2 musim
5. Indonesia menjadi pertemuan 2 jalur pegunungan yaitu sirkumpasifik dan Mediterania
6. Wilayah fertile serta dapat dihuni
7. Kaya akan flora serta fauna serta sumberdaya alam
8. Memiliki etnik yg banyak sebagai akibatnya memiliki kebudayaan yang beragam
9. Memiliki jumlah penduduk dalam jumlah yg besar , sebesar 218.868 juta jiwa (tahun 2005 – www.datastatistik-Indonesia.com

Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 serta 1998 tentang GBHN, Wawasan Nusantara yg adalah wawasan nasional yg bersumber pada Pancasila serta menurut Undang-Undang Dasar 1945 merupakan cara pandang serta sikap bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

A. Isi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara meliputi :
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara menjadi Satu Kesatuan Politik, dalam arti :
a. Bahwa kebulatan daerah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, serta kesatuan matra semua bangsa dan sebagai modal dan milik beserta bangsa.
b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri berdasarkan berbagai suku serta berbicara pada aneka macam bahasa daerah dan memeluk serta meyakini banyak sekali agama serta agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus adalah satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.
c. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia wajib merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta memiliki tekad dalam mencapai harapan bangsa.
d. Bahwa Pancasila merupakan satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa serta negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.
e. Bahwa kehidupan politik pada semua daerah Nusantara adalah satu kesatuan politik yg diselenggarakan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
f. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum pada arti bahwa hanya terdapat satu aturan nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
g. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan menggunakan bangsa lain ikut membangun ketertiban global yg menurut kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.

2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, pada arti :
a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah kapital serta milik bersama bangsa, serta bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
b. Tingkat perkembangan ekonomi wajib serasi dan seimbang pada semua daerah, tanpa meninggalkan karakteristik khas yg dimiliki sang wilayah dalam pengembangankehidupanekonominya.
c. Kehidupan perekonomian pada seluruh wilayah Nusantara adalah satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan serta ditujukan bagi sebanyak-akbar kemakmuran rakyat. 

3. Perwujudan Kepulauan Nusantara menjadi Satu Kesatuan Sosial serta Budaya, pada arti :
a. Bahwa warga Indonesia merupakan satu, perikehidupan bangsa wajib adalah kehidupan bangsa yg serasi menggunakan terdapatnya taraf kemajuan warga yg sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yg sesuai menggunakan taraf kemajuan bangsa.
b. Bahwa budaya Indonesia dalam hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yg ada mendeskripsikan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang nir bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya bisa dinikmati oleh bangsa. 

4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti :
a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya adalah ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
b. Bahwa tiap-tiap masyarakat negara mempunyai hak serta kewajiban yang sama pada rangka pembelaan negara serta bangsa. 

B. Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya merupakan bahari membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa menciptakan gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan pada salah satu doktrin nasional yangdisebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif.

Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami menjadi konsep kewilayahan nasional menggunakan fokus bahwa wilayah negara Indonesia terdiri berdasarkan pulau-pulau yang dihubungkan oleh bahari. Laut yang menghubungkan serta mempersatukan pulau-pulau yg tersebar pada seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara merupakan konsep politik bangsa Indonesia yg memandang Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah, mencakup tanah (darat), air (bahari) termasuk dasar laut serta tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yg menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh meliputi segenap bidang kehidupan nasional yg meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik serta kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia sudah ditegaskan pada GBHN menggunakan Tap. MPR No.iv tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yg telah diperjuangkan semenjak Dekrarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.

Sebagai bangsa yang majemuk yg telah menegara, bangsa Indonesia dalam membina dan menciptakan atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan keamanan masyarakat semestanya, selalu mengutamakanpersatuan serta kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah.

2. Unsur-Unsur Dasar Wawasan Nusantara
1. Wadah (contour)
Wadah kehidupan bermayarakat, berbangsa, serta bernegara mencakup seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka budaya artinya bangsa Indonesia. Setelah menegara dalm negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yg merupakan wadah aneka macam aktivitas kenegaraan dalam wujud supra struktur politik, sedangkan wadah dalam kehidupan bermasyarakat merupakan banyak sekali kelembagaan pada wujud infra struktur politik.

Dari Penjelasan pada atas, dapatlah dilihat bahwa wadah yg dimaksud dalam unsur pertama ini merupakan batas ruang lingkup atau bentuk wujud berdasarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yg diumumkan melalui Dekrit Juanda tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografi Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar serta mini . Deklarasi ini lalu disahkan melalui Perpu No. 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Bentuk wujud ini nir dapat dipisahkan berdasarkan azaz Archipelago yang telah diperjuangkan pada rendezvous konvensi aturan bahari internasional tahun 1982, mengikat semua negara. Oleh karenanya bentuk nusantara batas-batasnya ditentukan oleh bahari, sejauh 12 mil dengan pada dalamnya terdapat pulau-pulau serta deretan pulau, berjumlah 17.508 buah pulau (11.808 diantanya belum memiliki nama), yang satu sama lain dihubungkan, tidak dipisahkan sang air, baik berupa laut dan selat. Dengan demikian bentuk wujud nusantara kini ini terdiri 65% wilayah bahari/perairan serta 35% daratan. Luas seluruhnya kira-kira lima juta km2 luas daratan, menggunakan panjang pantai 81.000 km. Adapun topografi daratannya merupakan pegunungan menggunakan gunung-gunung berapi, baik yang masih aktif juga yang telah nir aktif. Nusantara Indonesiadisamping bentuk wujud di atas, jua mempunyai letak geografis yang khas, yaitu sebagai inti daripada posisi silang global, yg mempunyai dampak yang akbar pada rapikan kehidupan dan sifat perikehidupan nasionalnya.

2. Isi (content)
“Isi” adalah inspirasi bangsa yang berkembang di rakyat serta harapan dan tujuan nasional yg terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Menyadari bahwa buat mencapai aspirasi yang berkembang pada rakyat juga hasrat dan tujuan nasional seperti tersebut di atas bangsa Indonesia wajib sanggup membentuk persatuan serta kesatuan pada kebhinekaan pada kehidupan nasional yang berupa politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Oleh karenanya “isi” menyangkut 2 hal yg esensial yakni: Pertama, Realisasi aspirasi bangsa sebagai konvensi beserta dan perwujudannya, pencapaian keinginan tujuan nasional, dan Kedua. Persatuan dan kesatuan pada kebhinekaan yg mencakup semua aspek kehidupan nasional.

Berdasarkan kedua hal yg disebutkan pada atas, maka dapat dicermati tujuan nasional yg telah dirumuskan pada pembukaan undang-undang dasar kita yang, berbunyi “lalu daripada itu buat membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta semua tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan generik, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia menurut kemerdekaan, perdamaian kekal serta keadilan sosial”. Merupakan bentuk nyata berdasarkan isi konsepsi wawasan nusantara yg wajib menjadi impian seluruh bangsa Indonesia, yang dalam hakekatnya bertujuan unutk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, dan keamanan bagi bangsa Indonesia serta juga buat kebahagiaan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia.

3. Tatalaku (conduct)
Tata laris adalah output interaksi antara wadah serta isi, yang terdiri dari rapikan laku batiniah serta lahiriah. Tata laris batiniah mencerminkan jiwa, semangat, dan mentalitas yg baik dari bangsa Indonesia, se¬dangkan rapikan laku lahiriah tercermin dalam tindakan, perbuatan, serta konduite menurut bangsa Indonesia. Kedua hal tadi akan mencermin¬kan bukti diri jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia menurut kekeluargaan serta kebersamaan yg mempunyai rasa bangga dan cinta kepada bangsa dan tanah air sebagai akibatnya menimbuhkan nasionalisme yang tinggi pada semua aspek kehidupm nasional.

3. HAKIKAT WAWASAN NUSANTARA
Hakikat wawasan nusantara merupakan keutuhan nusantara, pada pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap rakyat bangsa serta aparatur negar wajib berpikir, bersikap, serta bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa serta negara indonesia. Demikian jua produk yang dihasilkan oleh lembaga negara harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa serta negaraIndonesia, tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, misalnya kepentingan wilayah, golongan dan orang perorang

Asas wawasan nusantara Merupakan ketentuan – ketentuan atau kaidah – kaidah dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara, serta diciptakan demi permanen taat dan setianya komponen pembentuk bangsa Indonesia terhadap konvensi beserta.apabila hal ini diabaikan, maka komponen pembentuk konvensi beserta akan melanggar kesepakatan beserta tersebut, yg berarti bahwa tercerai berainya bangsa serta negara Indonesia

Asas Wawasan Nusantara terdiri dari :
  1. Kepentingan yang sama
  2. KeadilanYang berarti kesesuaian pembagian output dengan adil.
  3. KejujuranYang berarti keberanian berfikir, mengungkapkan, serta bertindak sinkron dengan relita serta ketentuan yg sahih biarpun realita atau kebenaran itu pahit.
  4. SolidaritasYang berarti rasa setia kawan, mau memberi dan berkorban demi orang lain tanpa meninggalkan ciri dan karakter budaya masing-masing.
  5. Kerja sama Adanya koordinasi, saling pengertian yg berdasarkan atas kesetaraan demi terciptanya sinergi yang lebih baik.
  6. Kesetiaan terhadap ikrar atau konvensi beserta demi terpeliharanya persatuann serta kesatuandalam bhinekaan.merupakan tonggak utama dalam terciptanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Apabila hal ini ambruk maka rusaklah persatuan dan kesatuan kebhinekaan Indonesia.
4. KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA.
1. Kedudukan
a. Wawasan nusantara sebagai wawasan nasional angsa Indonesia adalah ajaran yang diyakini kebenarannya sang semua warga supaya tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai serta mewujudkan asa serta tujuan nasional.
b. Wawasan nusantara pada kerangka berpikir nasional dapat dilihat dari stratifikasinya menjadi berikut:
  1. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idiil.
  2. Undang-undang dasar 1945 menjadi landasan konstitusi negara, berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
  3. Wawasan nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan menjadi landasan visional.
  4. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional atau sebagai kebijaksanaan nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional.
2. Fungsi
Wawasan nusantara berfungsi menjadi pedoman, motivasi, dorongan, dan rambu-rambu dalam memilih segala jenis kebijaksanaan, keputusan, tindakan danperbuatan bagi penyelenggara negara pada taraf sentra serta daerah juga bagi semua rakyat Indonesia pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

3. Tujuan
Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan warga Indonesia yg lebih mementingkan kepentingan nasional dari dalam kepentingan individu, grup, golongan, suku bangsa, atau wilayah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan individu, kelompok, suku bangsa,atau daerah.

5. IMPLEMENTASI DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI DARI WAWASAN NUSANTARA
Indonesia, sebagai negara bangsa (nation state) kini sedang berada dipersimpangan jalan. Di tengah himpitan upaya buat keluar berdasarkan krisisekonomi, Indonesia harus menghadapi ragam tuntutan berdasarkan daerah yang entah kebetulan atau nir timbul pada ketika yang hampir bersamaan. Tuntutantersebut jenisnya beragam; dari sekadar menuntut pembagian keuanganyang lebih adil, tuntutan swatantra yg lebih luas, tuntutan federalisasi,sampai ke tuntutan kemerdekaan. Akibatnya, keberadaan negara bangsaIndonesia sebagai negara kesatuan pada ideologi, politik, sosial, budaya,pertahanan serta keamanan (sebagaimana dinyatakan pada konsep yg selama inidisebut “wawasan nusantara”), kemudian dipertanyakan kesahihannya 

6. ARAH PANDANG WAWASAN NUSANTARA.
1. Arah Pandang Ke Dalam
Arah pandang ke pada bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah maupun sosial. Arah pandang ke dalam mengandung arti bahwa bangasa indonesia harus peka serta berusaha buat mencegah serta mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa serta harus mengupayakan permanen terbina dan terpeliharanya persatua dan kesatuan dalam kebhinekaan.

2. Arah Pandang Ke Luar
Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional pada duna serba berubah juga kehidupan pada negeri serta pada melaksanakan ketertiban global yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian tak pernah mati, dan keadilan sosial, dan kerja sama dan sikap saling menghormati. Arah pandang ke luar mengandung arti bahwa kehidupan internasionalnya, bangsa Idonesia harus berusaha mengamankan kepentingan nasionalnya dalam seluruh aspek kehidupan demi tercapainya tujuan nasional sesuai tertera dalam Pembukaan UUD1945.

KEBUTUHAN UNTUK KOMPUTERISASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN

Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan 
UUD 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia yg adalah output kesepakatan seluruh warga Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan dalam legitimasi kedaulatan rakyat sehingga Undang-Undang Dasar 1945 adalah aturan tertinggi pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa serta bernegara. Apalagi perubahan tersebut mencakup hampir keseluruhan materi Undang-Undang Dasar 1945. Jika naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 berisi 71 buah ketentuan, maka sehabis empat kali mengalami perubahan materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 199 butir ketentuan.

UUD 1945 memuat baik impian, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan kata tujuan nasional yg tertuang pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan semua tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan generik; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yg berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Untuk mencapai asa tersebut, UUD 1945 telah menaruh kerangka susunan kehidupan berbangsa serta bernegara. Norma-kebiasaan pada Undang-Undang Dasar 1945 nir hanya mengatur kehidupan politik namun jua kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu lantaran para pendiri bangsa menghendaki bahwa masyarakat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, serta konstitusi sosial yg wajib sebagai acuan serta landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik sang negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). 

Keseluruhan konvensi yg sebagai materi konstitusi dalam pada dasarnya me­nyang­kut prinsip pengaturan serta restriksi kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, berdasarkan William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”. Konstitu­sio­nalisme mengatur 2 hubungan yg saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, interaksi antara pemerintahan menggunakan warga negara; serta Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Lantaran itu, umumnya, isi konstitusi dimak­sudkan buat mengatur mengenai 3 hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan restriksi kekuasaan organ-organ negara, (b) meng­atur hubungan antara forum-lembaga negara yg satu dengan yg lain, serta (c) mengatur interaksi kekuasaan antara lembaga-lembaga negara menggunakan masyarakat negara.

Dengan demikian, keliru satu materi penting dan selalu ada pada konstitusi merupakan pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti lantaran kekuasaan negara dalam akhirnya diterjemahkan ke pada tugas serta kewenangan lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara serta hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut. 

Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, timbul ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar -besaran pada semua penjuru dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi serta hak asasi manusia yg sangat bertenaga di hampir semua dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984). Dalam tulisan ini, Huntington mendeskripsikan adanya tiga gelombang besar demokrasi semenjak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung hingga menggunakan tahun 1922 yg ditandai sang peristiwa-insiden besar pada Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng­alami backlash menggunakan keluarnya fasisme, totali­tarianisme, dan stalinisme terutama pada Jerman (Hitler), Italia (Musolini), serta Rusia (Stalin). 

Gelombang ke 2 terjadi semenjak berakhirnya, fasisme dan totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada waktu yg sama muncul juga gelombang dekolonisasi besar -besaran, menumbang imperialisme serta kolonialisme. Karena itu, pada­katakan bahwa berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan sang pandangan baru demokrasi, baik di negara-negara pemenang  itu sen­diri juga pada negara-negara yang kalah dan seluruh negara bekas jajahan di semua global, terutama di benua Asia serta Afrika. Tetapi, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya dari tahun 1958 dengan keluarnya kenyataan rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana pada semua global. Backlash kedua ini muncul karena dinamika internal yang terjadi pada masing-masing negara yang baru mer­de­ka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter­sentralisasi serta terkonsentrasi pada pusat-sentra ke­kua­saan negara.

Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu menggunakan keluarnya gelombang gerakan pro demokrasi pada Eropa Selatan misalnya pada Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan sang negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula pada Asia, seperti pada Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda jua negara-negara Eropa Timur serta Uni Soviet yg kemudian ber­ubah berdasarkan rezim komunis sebagai demokrasi.

Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi pula berlangsung sangat cepat dari tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends misalnya yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di semua dunia, negara-negara inter­ven­sionist pada seluruh global dipaksa sang keadaan buat mengurangi campur tangannya pada urusan-urusan bisnis. Dari tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, serta debirokratisasi akbar-besaran pada Ing­gris, pada Perancis, pada Jerman, di Jepang, serta di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa sang keadaan buat mengadakan privatisasi terhadap badan bisnis yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara.

Di bidang kebudayaan, yang terjadi jua serupa dengan gelombang perubahan di bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem­bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele­ko­mu­ni­­kasi, serta informasi, dunia semakin berubah menjadi satu, dan seluruh aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke­adaan mengarah pada sistem nilai yg serupa. Bahkan, pada masalah selera musik, selera, ma­kanan, serta selera berpakaianpun terjadi proses penye­ra­gaman serta hubungan saling dampak mem­penga­ruhi antar negara. Sementara itu, sebagai respons ter­hadap tanda-tanda penyeragaman itu, muncul pula fenomea perlawanan budaya dari banyak sekali tradisi lokal pada setiap negara, sebagai akibatnya muncul gelombang yg saling ber­sitegang satu sama lain, antara globalisasi lawan lokalisasi, sebagai akibatnya secara berseloroh melahirkan istilah baru yg dikenal dengan glokalisasi.

Perubahan-perubahan itu, pada pokoknya, me­nun­tut respons yg lebih adaptif menurut organisasi negara serta pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne­gara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri buat tidak mencampuri dinamika urusan masya­rakat serta pasar yang memiliki prosedur kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yg sebelumnya meng­ideal­kan ekspansi tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, dalam masa sekarang dituntut buat melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk menjamin efisiensi serta efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan masyarakat.

Jika dibandingkan menggunakan kesamaan se­usang abad ke-20, dan terutama sehabis, ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan sedang tumbuh sangat terkenal di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai dampak kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapi­talis­me klasik, dalam abad ke-19 timbul paham sosialisme yang sangat populer serta melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap doktrin nach­wach­taersstaat yang mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, merupakan tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin serta yg tidak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga­ni­sasi birokrasinya pula menjangkau kebutuhan yg lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka pada perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.

Dalam bentuknya yg paling ekstrim muncul juga rezim negara-negara komunis dalam kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri sang biro­krasi negara sebagai akibatnya ruang kebebasan pada kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah­teraan itu pada hampir seluruh dunia mengalami in­efisiensi. Di satu sisi, bentuknya terus berkembang sebagai sangat akbar, serta cara kerjanyapun menjadi sangat lamban serta sangat nir efisien. Di pihak lain, kebebasan rakyat negara menjadi terkungkung serta ketakutan terus menghantui kehidupan masyarakat negara. Sementara itu, lantaran perkembangan ilmu penge­tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio­nal, regional, serta internasional yg cenderung berubah sangat bergerak maju, aneka aspirasi ke arah per­ubahan meluas jua di setiap negara di dunia, baik pada bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan aspirasi itu dalam pokoknya mengarah kepada aspirasi demokra­tisasi serta pengurangan peranan negara pada seluruh bi­dang kehidupan, misalnya yg tercermin pada gelombang ketiga demokratisasi yg digambarkan sang Samuel P. Huntington tersebut pada atas.

Dengan adanya tuntutan perkembangan yg demikian itu, negara terkini dewasa ini seakan dituntut buat berpaling kembali ke doktrin usang misalnya dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 menggunakan mengidealkan prinsip the best government is the least government. Tentu saja, negara modern kini nir mungkin pulang ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam nir mungkin kembali ke masa lalu. Namun demikian, meskipun negara terbaru sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yg harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara pada global melaku­kan perubahan besar -besaran terhadap format kelem­ba­gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud wajib dilakukan buat merspons kebutuhan konkret secara sempurna. Semua negara terbaru kini ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem­bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yg ma­kin dirasakan nir efisien pada memenuhi tun­tutan aspirasi rakyat yang terus semakin tinggi.

Semua negara dituntut untuk mengadakan pem­baruan pada sektor birokrasi serta administrasi publik. Sebagai citra, sehabis masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara akbar-besaran sejak dasawarsa 1970-an serta 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), membuatkan kebijakan yg sama. Alice Rivlin, pada laporannya dalam tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan mendasar buat melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi dunia, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu menggunakan melakukan tujuh agenda menjadi berikut:
  1. decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
  2. a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
  3. downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
  4. consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
  5. “customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
  6. benchmarking and measuring performance; and
  7. reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut Laporan OECD yg dikemukakan oleh Alice Rivlin tadi, untuk menghadapi tantangan ekonomi dunia dan ketidakpuasan warganegara yg tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa sang keadaan buat melakukan serangkaian rencana pembaruan yg bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan wewenang serta devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yg lebih rendah; Kedua, seluruh pemerintahan perlu meng­adakan evaluasi pulang mengenai (i) apa yg peme­rintah wajib didanai dan lakukan sang pemerintah, (ii) apa yg wajib dibiayai namun tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yg tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus nir perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, seluruh pemerintahan dianjurkan buat berbagi kebijakan yg pelayanan yg lebih cost-effective, misalnya kontrak out-sourcing, prosedur percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter­ma­suk pada berbagi pelayanan generik menggunakan kualitas yg pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yg dirancang buat menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya -biaya yg nir efisien.

Semua kebijakan tersebut penting dilakukan un­tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne serta Ted Gaebler dianggap reinventing government. Buku terakhir ini malah sangat terkenal pada Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, pribadi mendapat perhatian rakyat luas, termasuk pada Indonesia. Bahkan dari tahun 1990-an, kitab ini dijadikan baku dalam rangka pendidikan serta training pejabat tinggi pemerintahan buat menduduki jabatan eselon tiga, eselon dua, dan bahkan eselon 1 yg diselenggarakan oleh Lembaga Admi­nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya merupakan buat menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya birokrasi negara yang diwarisi berdasarkan masa kemudian, serta memperkenalkan ke pada dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, misalnya yg lazim dipraktekkan di global usaha dan pada kalangan para enterpreneurs.

Mengiringi, melanjutkan, serta bahkan men­da­hului kitab David Osborne dan Ted Gaebler ini bahkan banyak lagi kitab -buku lain yg mengkritik kinerja birokrasi negara modern yg dipercaya nir efisien. Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966) bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi tanda-tanda the death of bureaucracy tersebut, baik pada taraf pusat maupun pada daerah pada banyak sekali negara dibentuk banyak lembaga baru yg dibutuhkan bisa bekerja lebih efisien. Da­lam studi yg dilakukan Gerry Stoker terhadap pe­merintah lokal Inggris, contohnya, ditemukan fenomena bahwa:

“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984). Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio­nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”

Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah ada semenjak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan memakai banyak ragam dan bentuk organisasi yg disebut joint committees, boards, dan sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, pada pengoperasian transportasi bus generik, dibentuk kelembagaan tersendiri yang diklaim board atau authority.

Pemerintah Inggris membangun beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya pada urusan-urusan yg sangat khusus. Misalnya, dalam mulanya dibentuk Regional Hospital Board serta kemudian dalam tahun 1974 sebagai Area and Regio­nal Health Authorities. New Town Develop­ment Corporation juga dibuat buat maksud me­nyukseskan program yang diperlukan akan meng­hubung­kan kota-kota satelit pada sekitar kota-kota metoropolitan seperti London serta lain-lain. Demikian jua buat program pembangunan perdesaan, pada­bentuk pula badan-badan otoritas yg khusus me­nangani Rural Development Agencies di wilayah-daerah Mid-Wales serta the Scottish Highlands.

Perkembangan yang terjadi pada negara-negara lain sekitar pula sama dengan apa yang terjadi pada Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi serta ketidakstablan dampak terjadinya aneka macam perubahan sosial dan ekonomi memaksa poly negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui aneka macam bentuk organ pemerintahan yang dievaluasi lebih efektif dan efisien, baik pada tingkat nasional atau pusat juga di tingkat wilayah atau lokal. Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi dalam non-elected agencies yang bisa dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan menggunakan elected agencies misalnya parlemen. Tujuannya tidak lain merupakan buat menerapkan prinsip efisiensi supaya pelayanan umum (public services) dapat benar-sahih efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah sebagai slimming down bureaucracies yg pada pada dasarnya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru. 

Di aneka macam negara jua terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yg diklaim menggunakan rupa-rupa kata misalnya dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, serta sebagainya. Namun, dalam pengalaman pada banyak negara, tujuan yg mulia buat efisiensi serta efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharap­kan. Karena itu, kita perlu belajar menurut kekurangan serta kelemahan yang dialami oleh aneka macam negara, sebagai akibatnya kesamaan buat latah pada negara-negara sedang ber­kembang buat meniru negara maju pada me­lakukan pembaharuan di aneka macam sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yg tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibuat itu, dari Gerry Stoker bisa dibagi ke dalam enam tipe organisasi, yaitu:
1. Tipe pertama merupakan organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2. Tipe kedua, organ yg merupakan local authority implementation agency;
3. Tipe ketiga, organ atau institusi menjadi public/private partnership organisation;
4. Tipe keempat, organ menjadi user-organisation.
5. Tipe kelima, organ yg merupakan inter-governmental forum;
6. Tipe Keenam, organ yg merupakan Joint Boards.

Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, mencakup pemerintah pusat, kementerian-kementerian yg bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti­tutions. Organ-organ tadi dalam umumnya berfungsi sebagai a quasi-governmental world of appoin­ted bodies, serta bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, serta diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi adonan misalnya pada satu pihak menjadi pengatur (regulator), tetapi jua menghukum seperti yudikatif yg dicampur dengan legislatif.

Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, seperti pada Amerika Serikat serta Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, pula banyak ber­tum­buhan lembaga-forum negara baru. Lembaga-lem­baga baru tersebut biasa diklaim sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions menjadi forum negara yang bersifat penunjang. Di antara forum-lembaga itu kadang-kadang ada jua yang diklaim menjadi self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau forum-forum yg men­jalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi peng­hukum­an yang umumnya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan sang forum-forum baru tersebut.

Di antaranya, terdapat juga forum-forum yang hanya bersifat ad hoc atau tidak tetap. Badan-badan atau lembaga-lembaga yg bersifat ad hoc itu, betapapun, berdasarkan John Alder, tetap bisa dianggap mempunyai alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya, 

“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”

Lembaga-lembaga negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, berdasarkan Sir Ivor Jennings, biasanya dibuat karena galat satu menurut lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan buat menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yg bersifat personal yg diidealkan bebas menurut risiko campur tangan politik, misalnya contohnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya hasrat buat mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, misalnya contohnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen misalnya di bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan anggaran tentang pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) misalnya antara lain menggunakan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yg berfungsi sebagai alat perlengkapan yg bersifat semi-judisial buat menuntaskan banyak sekali sengketa pada luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).

Kelima alasan tadi ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya inspirasi bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Pemilikan oleh publik pada bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor eksklusif dipercaya lebih sempurna diorganisasikan pada wadah organisasi tersendiri, seperti yang poly dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Karena demikian poly jumlah serta ragam corak forum-forum ini, sang para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, serta quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, sang Yves Meny serta Andrew Knapp, secara sederhana pula dibedakan adanya 3 tipe primer lembaga-lembaga pemerintahan yg bersifat spesifik tadi (three main types of specialized administration), yaitu: (i) regulatory and monitoring bodies (badan-badan yg melakukan fungsi regulasi serta pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan yg bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan generik); and (iii) those engaged in productive activities (badan-badan yg terlibat dalam aktivitas-kegiatan produksi).

Dari pengalaman di banyak sekali negara, bisa diketahui bahwa seluruh bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan pada atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan pada trend hujan. Ketika ilham pembaruan kelembagaan diterima menjadi pendapat umum, maka dimana pada seluruh lini dan seluruh bidang, orang berusaha buat menerapkan wangsit pembentukan lembaga serta organisasi-organisasi baru itu menggunakan idealisme, yaitu untuk modernisasi serta pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang sebagai perkara merupakan, proses pembentukan forum-forum baru itu tumbuh cepat tanpa berdasarkan atas desain yg matang serta komprehensif. 

Timbulnya wangsit demi wangsit bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, namun dibungkus sang idealisme serta jiwa kepahlawanan yang tinggi. Ide pembaruan yg menyertai pembentukan forum-forum baru itu dalam umumnya didasarkan atas dorongan buat mewujudkan idenya sesegera mungkin lantaran adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan buat dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, demam isu pembentukan forum-forum baru itu tumbuh bagaikan cendawan di animo hujan, sebagai akibatnya jumlahnya poly sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang akbar.

Upaya buat melakukan slimming down bureaucracies seperti yg dikemukakan sang Stephen P. Robbins, belum lagi berhasil dilakukan, forum-forum baru yg demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang didapatkan, melainkan justru menambah in­efisien­si lantaran mempertinggi beban aturan negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin poly. Kadang-kadang terdapat pula forum yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc buat masa ketika eksklusif. Akan tetapi, lantaran poly jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng­urusnya terus menerus digaji dari aturan pen­dapatan serta belanja negara ataupun anggaran pendapatan serta belanja wilayah. 

Dengan perkataan lain, pengalaman praktek pada banyak negara menampakan bahwa tanpa adanya desain yang meliputi dan menyeluruh tentang kebutuhan akan pembentukan forum-forum negara tadi, yang akan didapatkan bukanlah efisiensi, namun malah semakin inefisien serta menga­caukan fungsi-fungsi antar forum-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan generik (public services). Apalagi, bila ne­gara-negara yg sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang gampang kagum buat meniru begitu saja apa yg dipraktekkan pada negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya serta kerangka kelembagaan dari masyarakatnya buat menerapkan inspirasi-ide mulia yang datang berdasarkan dunia lain itu.

Perubahan-perubahan pada bentuk perombak­an mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan pada seluruh lapisan dan di seluruh sektor, selama sepeuluh tahun terakhir bisa dikatakan sangat luas serta fundamental. Apalagi, menggunakan adanya perubahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita jua wajib ditata kembali sinkron menggunakan cetak biru yg diamanatkan sang UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama pada sejarah republik kita. Kalau pada praktek, kita mendapati bahwa wangsit-wangsit serta rancangan-rancangan perubahan kelembagaan tiba begitu saja pada setiap saat dan pada setiap sektor, maka bisa dikatakan bahwa perombakan struktural yg sedang terjadi berlangsung tanpa desain yg menyeluruh, persis misalnya pengalaman yang terjadi pada poly negara lain yg justru terbukti nir membuat efisiensi misalnya yg diperlukan. Lantaran itu, pada masa transisi dari tahun 1998, usahakan bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan akbar-besaran pada rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Hubungan AntarLembaga Negara Berdasarkan UUD 1945

1. Pengertian Lembaga Negara
Untuk memahami pengertian forum atau organ negara se­ca­ra lebih dalam, kita dapat mendekatinya berdasarkan pan­dang­an Hans Kelsen tentang the concept of the State-Organ da­lam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kel­sen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a func­tion determined by the legal order is an organ”. Siapa sa­ja yg menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh su­a­tu rapikan-aturan (legal order) adalah suatu organ. 

Artinya, organ negara itu nir selalu berbentuk or­ga­­nik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih lu­­­as lagi, setiap jabatan yang dipengaruhi sang aturan bisa pu­­la dianggap organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men­­­cipta­kan norma (normcreating) dan/atau bersifat men­­­­jalan­kan kebiasaan (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying charac­ter, are all ultimately aimed at the execution of a sah sanc­tion”. 

Menurut Kelsen, parlemen yg menetapkan un­dang-undang dan warga negara yang menentukan para wakil­nya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan or­gan negara pada arti luas. Demikian juga hakim yang meng­­adili serta menghukum penjahat dan terpidana yang men­jalan­kan sanksi tersebut di forum pemasyara­kat­­an, merupakan jua adalah organ negara. Pendek kata, da­lam pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yg menjalankan fungsi atau jabatan ter­tentu pada konteks kegiatan bernegara. Inilah yang di­­sebut menjadi jabatan publik atau jabatan umum (public offi­ces) dan pejabat publik atau pejabat generik (public offi­cials).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen jua meng­urai­kan adanya pengertian organ negara pada arti yg sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. In­­dividu dikatakan organ negara hanya apabila beliau secara pri­­­badi memiliki kedudukan hukum yg eksklusif (...he per­­­sonally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, contohnya, kontrak, merupakan merupakan tin­dak­an atau perbuatan yang menciptakan hukum misalnya halnya suatu putusan pengadilan.

Lembaga negara terkadang diklaim dengan kata lembaga pemerintahan, forum pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yg dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan sang Undang-Undang Dasar, terdapat jua yg pada­bentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, serta bahkan ada jua yg hanya dibuat berdasar­kan Ke­pu­tusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukan­nya tentu saja tergantung dalam derajat pengaturannya me­nu­rut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Lembaga negara yg diatur dan dibentuk oleh UUD me­rupakan organ konstitusi, sedangkan yg dibentuk ber­dasarkan UU adalah organ UU, sementara yg hanya dibentuk lantaran keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi strata serta derajat perlakuan hukum ter­ha­dap pejabat yg duduk pada dalamnya. Demikian jua bila lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan ber­da­sarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi ting­katan­nya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ serta functie. Organ merupakan bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sinkron maksud pembentukannya. Dalam naskah Un­dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yg dimaksud, ada yg disebut secara eksplisit namanya, serta ada pula yg disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada jua lembaga atau organ yg diklaim bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Jika dikaitkan menggunakan hal tadi di atas, maka bisa dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang menurut 34 organ yg disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau forum tadi merupakan:
1) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur pada Bab III UUD 1945 yg pula diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yg terdiri atas 3 ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas 3 ayat;
2) Presiden yg diatur keberadaannya dalam Bab III Undang-Undang Dasar 1945, dimulai menurut Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) wapres yg keberadaannya juga diatur pada Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu sang satu orang wapres";
4) Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri pada Bab V Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (dua), dan (tiga);
5) Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bersama-sama menggunakan Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pertahanan menjadi pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam ketika yang bersamaan dalam jabatan Presiden serta wapres;
6) Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat beserta-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dari Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu dianggap secara indvidual-sendiri, karena bisa saja terjadi permasalahan atau konkurensi wewenang konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membangun suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yg selanjutnya diatur dalam undang-undang";
9) Duta seperti diatur pada Pasal13 ayat (1) serta (dua);
10) Konsul misalnya yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (tiga), (5), (6) serta ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945;
12) Gubemur Kepala Pemerintah Daerah misalnya yang diatur pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur pada Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14) Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (lima), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten misalnya yang diatur pada Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
16) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur pada Pasal18 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar 1945;
17) Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (tiga), (lima), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18) Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota misalnya yg diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota misalnya yg diatur sang Pasal 18 ayat (tiga) UUD 1945;
20) Satuan Pemerintahan Daerah yg bersifat spesifik atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, diatur dengan undang-undang. Lantaran kedudukannya yg khusus serta diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yg bersifat spesifik atau istimewa ini diatur tersendiri sang UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, dan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur menggunakan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan wilayah yg demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai forum atau organ yang keberadaannya diakui serta dihormati sang negara.
21) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yg diatur dalam Bab VII UUD 1945 yg berisi Pasal 19 hingga dengan Pasal 22B;
22) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yg terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23) Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (lima) UUD 1945 yg memilih bahwa pemilihan generik wajib diselenggarakan sang suatu komisi yg bersifat nasional, permanen, dan berdikari. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan sang Undang-Undang Dasar 1945, melainkan sang Undang-Undang;
24) Bank sentral yang dianggap eksplisit sang Pasal 230, yaitu "Negara mempunyai suatu bank sentral yg susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, serta independensinya diatur menggunakan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, Undang-Undang Dasar 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral kini adalah Bank Indonesia. Namun, nama Bank Indonesia bukan nama yang dipengaruhi sang Undang-Undang Dasar 1945, melainkan sang undang-undang dari fenomena yang diwarisi dari sejarah pada masa kemudian.
25) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yg diatur tersendiri pada Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas tiga pasal, yaitu Pasal 23E (tiga ayat), Pasal 23F (2 ayat), serta Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945;
27) Mahkamah Konstitusi (MK) yg pula diatur keberadaannya pada Bab IX, Pasal 24 serta Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945;
28) Komisi Yudisial yg pula diatur dalam Bab IX, Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 menjadi auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 serta Pasal 24A UUD 1945;
29) TNI (Tentara Nasional Indonesia) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XII tentang Pertahanan serta Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan Darat (Tentara Nasional Indonesia AD) diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
31) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
32) Angkatan Udara (TNI AU) diatur pada Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945;
33) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang jua diatur pada Bab XII Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945;
34) Badan-badan lain yang fungsinya terkait menggunakan kehakiman misalnya kejaksaan diatur pada undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yg berbunyi, "Badan-badan lain yang kegunaannya berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".

Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yg ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat juga membuka pintu bagi lembaga-forum negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit dianggap dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 memilih, "Badan-badan lain yang kegunaannya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur pada undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial serta kepolisian negara yg sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih berdasarkan satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan menggunakan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu diantaranya merupakan Kejaksaan Agung yang semula dalam rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum menjadi galat satu lembaga yang diusulkan diatur pada Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak menerima konvensi, sebagai akibatnya pengaturannya pada UUD 1945 ditiadakan.

Namun, karena yang dianggap dalam Pasal 24 ayat (tiga) tadi di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih berdasarkan satu. Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang manfaatnya pula berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, serta/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud misalnya merupakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-forum ini, seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit diklaim dalam UUD 1945, namun sama-sama mempunyai constitutional importance pada sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.

Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia adalah materi utama setiap konstitusi tertulis di global. Untuk melindungi serta mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membangun satu komisi yg bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan forum negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat krusial bagi negara demokrasi konstitusional. Lantaran itu, meskipun pengaturan serta pembentukannya hanya berdasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri pada Undang-Undang Dasar, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang diklaim sebagai constitutional importance yang sama dengan forum-forum negara lainnya yg disebutkan eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sama halnya dengan eksistensi Kejaksaan Agung serta kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun negara hukum yg demokratis. Keduanya memiliki derajat kepentingan (importance) yang sama. Tetapi, pada UUD 1945, yang dipengaruhi kewenangannya hanya kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak diklaim. Hal nir disebutnya Kejaksaan Agung yg dibandingkan dengan disebutnya Kepolisian pada UUD 1945, nir bisa dijadikan alasan buat menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama krusial atau mempunyai constitutional importance yg sama. Setiap yg mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara aturan yg demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara serta kejaksaan menjadi forum-lembaga penegak hukum yg efektif.

3. Pembedaan Dari Segi Fungsi serta Hierarki
Dari segi manfaatnya, ke-34 forum tadi, ada yg bersifat utama atau utama, serta ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan berdasarkan segi hirarkinya, ke-30 forum itu bisa dibedakan ke dalam 3 lapis. Organ lapis pertama bisa dianggap menjadi forum tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai forum negara saja, sedangkan organ lapis ketiga adalah forum wilayah. Memang benar sekarang nir ada lagi sebutan forum tinggi serta forum tertinggi negara. Tetapi, buat memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama bisa diklaim menjadi lembaga tinggi negara, yaitu:
1) Presiden serta wapres;
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat);
5) Mahkamah Konstitusi (MK);
6) Mahkamah Agung (MA);
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua dapat diklaim forum negara saja. Ada yg menerima kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar, dan ada juga yang mendapatkan kewenangannya menurut undang-undang. Yang mendapatkan wewenang menurut Undang-Undang Dasar, contohnya, adalah Komisi Yudisial, TNI, serta Kepolisian Negara; sedangkan lembaga yang asal kewenangannya merupakan undang-undang, contohnya, merupakan Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis forum negara tadi bisa disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun tidak lebih tinggi, namun jauh lebih bertenaga. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak bisa ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang­undang. Lembaga-lembaga negara menjadi organ konstitusi lapis ke 2 itu adalah:
1) Menteri Negara;
2) Tentara Nasional lndonesia;
3) Kepolisian Negara;
4) Komisi Yudisial;
5) Komisi pemilihan umum;
6) Bank sentral.

Dari keenam forum atau organ negara tersebut pada atas, yg secara tegas dipengaruhi nama dan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, serta Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu menjadi lembaga penyelenggara pemilihan generik (pemilu). Akan namun, nama lembaganya apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum nir dianggap dengan alfabet akbar.

Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan umum diselenggarakan sang suatu komisi pemilihan generik yang bersifat nasional, tetap, serta berdikari". Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur menggunakan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan dipengaruhi oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi nama pada forum ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.

Selain itu, nama dan wewenang bank sentral pula tidak tercantum eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, wewenang, tanggung jawab, serta independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yg telah dikenal misalnya selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya pada undang-undang. Demikian juga dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU.

Dengan demikian derajat protokoler grup organ konstitusi dalam lapis kedua tadi pada atas jelas tidak sinkron dari kelompok organ konstitusi lapis pertama. Organ lapis ke 2 ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga negara yg dibentuk menurut undang-undang, misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran serta Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya.

Kelompok ketiga adalah organ konstitusi yg termasuk kategori forum negara yg asal kewenangannya berasal menurut regulator atau pembentuk peraturan pada bawah undang-undang. Misalnya Komisi Hukum Nasional serta Komisi Ombudsman Nasional dibuat menurut Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya secara hukum hanya berdasarkan atas kebijakan presiden (presidential policy) atau beleid presiden. Apabila presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu presiden berwenang buat itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya tergantung pada beleid presiden.

Di samping itu, ada pula forum-forum daerah yang diatur pada Bab VI UUD 1945 mengenai Pemda. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang bisa diklaim sebagai organ daerah atau forum wilayah yg merupakan lembaga negara yg terdapat pada wilayah. Lembaga-forum daerah itu adalah:
1) Pemerintahan Daerah Provinsi;
2) Gubemur;
3) DPRD provinsi;
4) Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5) Bupati;
6) DPRD Kabupaten;
7) Pemerintahan Daerah Kota;
8) Walikota;
9) DPRD Kota

Di samping itu, pada Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dianggap pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yg bersifat spesifik atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas sang undang-undang dasar, sebagai akibatnya eksistensinya sangat bertenaga secara konstitusional.

Oleh sebab itu, tidak dapat nir, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus jua dipahami sebagai bagian menurut pengertian lembaga daerah dalam arti yg lebih luas. Dengan demikian, forum daerah pada pengertian pada atas dapat dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.

Di antara forum-forum negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat yang bisa mengkategorikan menjadi organ utama atau utama (primary constitutional organs), dan terdapat juga yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami per­bedaan di antara keduanya, lembaga-forum negara tersebut bisa dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif serta fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara terdapat presiden serta wakil presiden yang adalah satu kesatuan institusi kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu terdapat dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun pada samping keduanya ada juga Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas prestise, kehormatan, serta perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah forum penegak hukum (the enforcer of the rule of law), namun adalah forum penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

Sedangkan dalam fungsi supervisi dan kekuasaan legislatif, masih ada empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (ii) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), (iii) Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR), dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara itu, pada cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga forum, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya 2, yaitu Mahkamah Konstitusi, serta Mahkamah Agung. Tetapi, pada rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan menjadi lembaga pengusul pengangkatan hakim agung, dibuat lembaga tersendiri yg bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, serta karenanya kedudukannya bersifat independen dan nir tunduk pada pengaruh keduanya. Akan namun, fungsinya permanen bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi kehakiman yang masih ada pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial dipengaruhi kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai kedudukan yg sederajat menggunakan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung nir ditentukan kewenangannya pada UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara dipengaruhi dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan namun, pencantuman ketentuan mengenai wewenang Kepolisian itu pada Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara aturan yang demokratis, forum kepolisian serta kejaksaan sama-sama memiliki constitutional importance yang serupa menjadi lembaga penegak hukum. Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai kepolisian negara itu pada Undang-Undang Dasar 1945, jua tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan forum kepolisian negara itu sebagai forum konstitusional yang sederajat kedudukannya menggunakan lembaga-forum tinggi negara lainnya, seperti presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain sebagainya. Artinya, hal dianggap atau tidaknya atau dipengaruhi tidaknya kekuasaan sesuatu forum pada undang-undang dasar nir dan merta menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia dari Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan serta fungsinya, lembaga (tinggi) negara yg dapat dikatakan bersifat utama atau primer merupakan (i) Presiden; (ii) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat); (iii) DPD (Dewan Perwakilan Daerah); (iv) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat); (v) MK (Mahkamah Konstitusi); (vi) MA (Mahkamah Agung); dan (vii) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Lembaga tersebut di atas bisa disebut menjadi lembaga tinggi negara. Sedangkan lembaga-forum negara yg lainnya bersifat menunjang atau auxiliary belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh lembaga negara tersebut bisa disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.

Oleh karena itu, misalnya hubungan antara KY menggunakan MA, maka faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang sebagai penentu yang pokok. Mes­kipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap tidak ditinjau sederajat sebagai forum tinggi negara. Kedudukan protokolemya tetap berbeda menggunakan MA. Demikian pula Komisi Pengawas Kejaksaan serta Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara struktural menggunakan organisasi POLRI serta Kejaksaan Agung, meskipun komisi-komisi pengawas itu bersifat independen serta atas dasar itu kedudukannya secara fungsional dilihat sederajat. Yang dapat dianggap sebagai forum tinggi negara yang utama tetaplah forum-forum tinggi negara yg mencerminkan cabang-cabang kekuasaan primer negara, yaitu legislature, executive, serta judiciary.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara misalnya Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, serta lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti Presiden/Wakil Presiden, DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MK, serta MA, tetapi berdasarkan segi kegunaannya forum-forum tersebut bersifat auxiliary atau memang berada pada satu ranah cabang kekuasaan. Misalnya, untuk memilih apakah KY sederajat dengan MA dan MK, maka kriteria yg dipakai nir hanya bahwa kewenangan KY itu misalnya halnya kewenangan MA dan MK dipengaruhi dalam UUD 1945. Karena, wewenang TNI serta POLRI jua dipengaruhi pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural Tentara Nasional Indonesia dan POLRI dapat disejajarkan menggunakan tujuh lembaga negara yg sudah diuraikan di atas. TNI serta POLRI tetap tidak bisa disejajarkan strukturnya menggunakan presiden dan wakil presiden, meskipun kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan POLRI ditentukan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Demikian juga, Pusat Pelaporan serta Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, namun kedudukannya tidak bisa dikatakan berada di bawah POLRI serta TNI hanya karena kewenangan kedua forum terakhir ini diatur pada Undang-Undang Dasar 1945. Kejaksaan Agung serta Bank Indonesia sebagai bank sentral jua tidak ditentukan kewe­nangannya dalam Undang-Undang Dasar, melainkan hanya ditentukan sang undang-undang. Namun kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia nir bisa dikatakan lebih rendah daripada Tentara Nasional Indonesia serta POLRI. Oleh karena itu, sumber normatif wewenang forum-forum tersebut tidak otomatis memilih status hukumnya dalam hirarkis susunan antara forum negara.

4. Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga Negara
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang bersifat mendasar tentu menyebabkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur mengenai kelembagaan negara, tetapi pula lantaran perubahan kerangka berpikir aturan dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip fundamental yg memilih hubungan antar lembaga negara antara lain merupakan Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, dan Pemisahan Kekuasaan serta Check and Balances.

Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan fundamental dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan perubahan Pasal 1 ayat (2) yg berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD." Ketentuan ini membawa akibat bahwa kedaulatan masyarakat tidak lagi dilakukan sepenuhnya sang Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilakukan dari ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara pada atas lembaga-lembaga tinggi negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (dua) UUD 1945 tadi, UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi aplikasi kedaulatan warga . Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan sang seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat serta lalu didistribusikan kepada forum-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 kedaulatan tetap berada di tangan masyarakat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) pada organ-organ konstitusional.

Konsekuensinya, sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikenal lagi konsepsi forum tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yang adalah organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis pada bawah MPR, tetapi sejajar serta saling bekerjasama menurut wewenang masing-masing berdasarkan UUD 1945.

Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan yang dianut nir sepenuhnya sistem presidentil. Jika ditinjau interaksi antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yg sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yg dipengaruhi (fix term) memang menerangkan ciri sistem presidentil. Tetapi bila dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, serta bisa memberhentikan Presiden, maka sistem tadi mempunyai ciri-karakteristik sistem parlementer. Presiden merupakan mandataris MPR serta sebagai konsekuensinya Presiden bertanggungjawab pada MPR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat memberhentikan Presiden.

Salah satu konvensi dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah "putusan bulat buat mempertahankan sistem presidensiil (pada pengertian sekaligus menyempumakan agar benar -betul memenuhi karakteristik-ciri umum sistem presidensiil)." Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan mendasar pertama merupakan perubahan kedudukan MPR yg mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan forum tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya buat menyempurnakan sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara forum eksekutif dan legislatif, pada hal ini terutama antara DPR serta Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden serta wapres yang dilakukan secara pribadi oleh rakyat serta prosedur pemberhentian pada masa jabatan sebagaimana diatur pada Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 Undang-Undang Dasar 1945. Karena Presiden serta wapres dipilih secara eksklusif sang warga , maka mempunyai legitimasi bertenaga dan nir dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan delik.

Proses usulan pemberhentian Presiden serta atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan pada prosedur politik, namun menggunakan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah kasus pelanggaran hukum , maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi wajib dilewati. Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal lima ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Perubahan, diganti menggunakan hak mengusulkan rancangan undang-undang serta diserahkan pada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden tidak bisa membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C Undang-Undang Dasar 1945.

Pemisahan Kekuasaan serta Check and Balances
Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi acapkali dianggap dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden nir hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) namun pula memegang kekuasaan membangun undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) pada UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yg semula dimiliki oleh Presiden sebagai dimiliki sang DPR dari output Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1), maka yg diklaim menjadi lembaga legislatif (primer) adalah DPR, sedangkan forum eksekutif merupakan Presiden. Walaupun pada proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden pada hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan menjadi legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (dua) Undang-Undang Dasar 1945.

Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan sang Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR dan kekuasaan yudikatif yg dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan buat mengimbangi pembangian kekuasaan yg dilakukan agar nir terjadi penyalahgunaan kekuasaan sang lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan pada hubungan antarlembaga. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.

Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya, walaupun dipengaruhi kekuasaan membuat undang-undang dimiliki sang DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kolaborasi dengan co-legislator, yaitu Presiden. Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang sudah menerima persetujuan beserta DPR serta Presiden serta sudah disahkan serta diundangkan pun bisa dinyatakan nir memiliki kekuatan aturan mengikat sang MK bila dinyatakan bertentangan menggunakan Undang-Undang Dasar 1945.

Khusus tentang DPD, meskipun terkait dengan kekuasaan legislatif, khususnya berkenaan dengan rancangan undang-undang eksklusif, namun fungsinya nir dianggap sebagai fungsi legislatif. DPD hanya berfungsi terbatas memberi saran, pertimbangan atau pendapat dan melakukan pengawasan yang sifatnya nir mengikat. Karena itu DPD bukan sepenuhnya sebagai lembaga legislatif. Keberadaannya hanya bersifat penunjang terhadap fungsi DPR.

Di sisi lain, Presiden pada menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan menurut DPR. Pengawasan nir hanya dilakukan selesainya suatu aktivitas dilaksanakan, namun pula pada saat dibentuk perencanaan pembangunan serta alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR pada hal ini relatif kuat lantaran memiliki fungsi aturan secara spesifik selain fungsi legislasi serta fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi demikian kekuasaan DPR jua terbatas, DPR nir bisa menjatuhkan Presiden serta atau Wakil Presiden kecuali karena alasan delik. Usulan DPR tersebut harus melalui forum aturan di MK sebelum bisa diajukan ke MPR.