INDONESIA ADALAH NEGARA KONSTITUSIONAL

Visiunversal---Warga Belajar dan anak didik sekalian, Perjuangan bangsa Indonesia buat mengusir penjajah mempunyai tujuan utuk mendirikan negara yang merdeka bebas menurut tindakan sewenang-wenang yang dilakukan sang penjajah, Para pejuang bangsa bercita-cita membentuk negara yg demokratis nir diktator dan nir absolut tetapi bercita-cita membentuk negara yg memiliki pemerintahan yang dari pada peraturan /aturan atau negara yg konstitusional.

Sistem pemerintahan Indonesia menurut pada konstitusi, tidak bersifat absolut. Pemerintahan konstitusional artinya pemerintahan yang menurut pada konstitusi atau Undang-undang Dasar.

Hal ini berdasarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu :

  1. Pasal 1 ayat 2 berbunyi "Kedaulatan berada ditangan warga serta dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar".
  2. Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar".
Negara konstitusional mempunyai konstitusi yang bercirikan:
Membatasi kekuasaan pemerintah
Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara

Berdasarkan penjesalan tersebut bisa kita simpulkan bahwa Indonesia adalah negara yg demokrasi (kekuasaan di tangan warga ) bukan ditangan pemimpin atau penguasa, para penyelenggara negara hanya menjalankan amanat berdasarkan warga . Para penyelenggara negara yaitu orang-orang yang dipercaya masyarakat menduduki jabatan penting atau anggota berdasarkan forum-lembaga tinggi negara, mereka menjalankan tugas sesuai dengan kehendak rakyat yg dituangkan pada dalam konstitusi.

Demikian tentang kompendium Indonesia merupakan negara konstitusional. Semoga berguna. Terimakasih. 

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional
A. Mukadimah
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik aturan cenderung mendiskripsikan efek politik terhadap aturan atau impak sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum adalah output tarik-menarik banyak sekali kekuatan politik yg mengejawantah dalam produk hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (aturan yg akan dan wajib ditetapkan) buat memenuhi kebutuhan perubahan pada kehidupan warga . Politik aturan terkadang juga dikaitkan menggunakan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik aturan juga didefinisikan menjadi pembangunan aturan. Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa aturan merupakan instrumentasi menurut putusan atau hasrat politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antar-kepentingan. 

Badan produsen undang-undang adalah representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yg ada pada warga . Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pada badan penghasil undang-undang menjadi krusial lantaran pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi aturan secara standar berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan menciptakan putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan serta kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar nir dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama sang golongan yg memiliki kekuasaan serta kekuatan, baik secara sosial, politik juga ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah pada bidang politik sudah lazim, begitu jua di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat mayoritas pada dalam mewarnai politik aturan di Indonesia.

Menurut Mahfud MD, politik hukum juga meliputi pengertian tentang bagaimana politik mensugesti aturan dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yg terdapat pada belakang pembuatan dan penegakan aturan. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, lantaran hal itu ada hubungannya menggunakan ditaati atau tidaknya hukum itu pada suatu rakyat.

Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi pada kalangan elit politik yg berbasis pada banyak sekali kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yg kuat dalam hubungan politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun mempunyai peluang yang sangat besar . Begitupula sebaliknya saat menengok sejarah dalam masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dicermati sebagai hukum jika diresepsi ke pada aturan istiadat, itu pun pada tingkatan ketiga setelah hukum Eropah serta hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India). Indonesia yg merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem aturan asing ke dalam aturan rakyat pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam merupakan tuntutan menurut fenomena nilai-nilai serta fikrah (pemikiran) umat Islam pada bidang hukum, kesadaran berhukum dalam syari’at Islam secara sosiologis dan kultural nir pernah mati serta selalu hayati dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan serta masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menampakan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat mempunyai akar bertenaga buat tampil menawarkan konsep hukum menggunakan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima sang siapa saja dan di mana saja, lantaran Islam merupakan sistem nilai yg ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan semua alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi serta menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan poly dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus masalah, tetapi spesifik pada bidang ekonomi masih belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan aturan Islam pada bentuk peraturan perundang-undangan yg mengatur masalah kegiatan pada bidang ekonomi syari’ah adalah suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam khususnya, serta bagi para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah dalam biasanya.

Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi menurut rapikan nilai yang diyakini masyarakat menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan aturan yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi rakyat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yg bersifat kekinian, melainkan jua sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik pada masa depan.

Pluralitas kepercayaan , sosial dan budaya di Indonesia nir relatif sebagai alasan buat membatasi implementasi aturan Islam hanya sebagai aturan famili. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) contohnya, aturan perbankan serta perdagangan bisa diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yg signifikan, tetapi poly menyisakan konflik karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai forum yang berwenang merampungkan problem tersebut. Hal ini masuk akal, mengingat belum adanya hukum subtansial pada bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. 

Pembangunan aturan nasional secara obyektif mengakui pluralitas aturan dalam batas-batas eksklusif. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan eksklusif serta subyek aturan eksklusif merupakan wajar lantaran nir mungkin memaksakan satu unifikasi hukum buat beberapa bidang kehidupan. Oleh karenanya nir perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam -yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan aturan ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar jua dalam interaksi famili terkadang hukum adat setempat lebih lebih banyak didominasi. 

Prinsip unifikasi aturan memang harus jadi panduan, tetapi sejauh unifikasi nir mungkin, maka pluralitas aturan haruslah secara empiris diterima. Idealnya pluralitas aturan ini haruslah diterima menjadi bagian berdasarkan tatanan hukum nasional. 

Untuk memenuhi kebutuhan aturan terhadap bidang-bidang yang nir dapat diunifikasi, negara menggunakan segala kedaulatan serta wewenang yg ada padanya bisa mengakui atau mempertahankan aturan yang hayati pada rakyat, sekalipun itu bukan produk aturan negara, seperti aturan norma yang merupakan warisan nenek moyang, aturan Islam yang bersumber menurut ajaran agama dan hukum Barat yg adalah peninggalan kolonialis.

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional
Dari perspektif sistem aturan nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yang sang Friedman dianggap sebagai “people attitudes” yang mengandung hal-hal misalnya di atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia adalah suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita serta asa-asa. Dengan unsur-unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi warga Indonesia mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, dari Solly Lubis, dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa serta bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik dan aturan.

Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama sudah lama diakaui eksistensinya, namun masih belum memiliki kitab aturan yang dijadikan standarisasi bagi hakim pada memutus perkara selevel KUHPdt. Suatu hal yg perlu dicatat merupakan sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif juga legislatif buat merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama pada menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui acara legislasi nasional itu, aturan Islam tidak hanya mejadi aturan positif, namun kadar aturan itu akan sebagai bagian terbesar menurut pelaksanaan aturan termasuk antara lain hukum Islam yg mengatur perkara ekonomi syari’ah. 

Pendekatan yg bisa digunakan sebagai upaya mentransformasikan aturan ekonomi syari’ah ke pada hukum nasional merupakan meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des rechts). Menurut teori ini berlakunya sutu hukum wajib bisa dikembalikan pada aturan yang lebih tinggi kedudukannya yakni:
  1. Ada hasrat hukum (rechtsidee) yg adalah kebiasaan abstrak.
  2. Ada kebiasaan antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yg digunakan menjadi mediator buat mencapai asa.
  3. Ada norma konkrit (concrete norm), sebagai output penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan.
D. Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yg ciri utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu aturan Islam walaupun mempunyai asal-sumber tertulis dalam al-Qur’an, as-Sunnah serta pendapat para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi pada bentuk buku perundang-undangan yang gampang dirujuki. Oleh karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya jua aturan istiadat, sering ditinjau menjadi aturan tidak tertulis pada bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan gambaran pada atas, maka umat Islam yang menghendaki pemberlakuan ekonomi syari’ah menjadi hukum positif juga harus mengupayakan politik aturan melalui proses legislasi dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yg diajukan kepada badan legislatif (DPR) buat menerima persetujuan. Berkenaan dengan proses legislasi, bisa dikatakan mencakup kegiatan mempelajari, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU sanggup melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.

Mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah pada bentuk Peraturan Perundang-undangan yg baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika menurut bangsa tersebut. Moral serta etika dalam dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yg tidak baik, sedangkan nilai yang baik adalah pandangan dan harapan yg dijunjung tinggi yg di dalamnya terdapat nilai kebenaran, keadilan serta kesusilaan serta aneka macam nilai lainnya yg dipercaya baik. 

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya wajib sesuai dengan keyakinan generik atau pencerahan hukum warga . Hal ini krusial agar perundang-undangan yang dibentuk ditaati sang warga . Hukum yang dibuat wajib sinkron dengan “aturan yg hidup” (the living law) pada masyarakat, tetapi produk perundang-undangan nir sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), sebab apabila masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kesamaan dan harapan rakyat wajib dapat diprediksi serta terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yg berorientasi masa depan. 

Landasan yuridis, adalah landasan hukum (yurisdische gelding) yang sebagai dasar kewenangan (bevoegdheid competentie). Dasar aturan wewenang membangun peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seseorang pejabat atau suatu badan merupakan tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. 

Landasan Politis, adalah garis kebijaksanaan politik yg menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan acara legislasi nasional

Kecenderungan contoh pengembangan hukum Islam di Indonesia berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yg berkembang pada luar undang-undang). Diantara ke 2 jalur tadi, kesamaan pada jalur ke 2 lebih poly mewarnai praktek penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam pada Indonesia selalu menghadapi hambatan struktural serta kultural, baik secara internal juga eksternal. Secara internal, para pendukung sistem aturan Islam belum tentu beranggapan bahwa aturan Islam itu menjadi suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan pada konteks aturan nasional. Sedangkan kendala eksternal yakni struktur politik yang terdapat belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.

Kendatipun pada prakteknya legislasi bukan merupakan kecenderungan, tetapi pengembangan aturan Islam melalui jalur legislasi-terutama yg mengatur bidang ekonomi syari’ah- tetap dibutuhkan karena:
  1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syari’ah sifatnya urgen terkait dengan kewenangan baru Pengadilan Agama dalam merampungkan konkurensi dalam bidang tersebut, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Juga melihat kebutuhan hukum dewasa ini, legislasi merupakan tuntutan obyektif, lantaran akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara yuridis formal.
  2. Materi aturan ekonomi syari’ah merupakan merupakan hukum privat Islam bukan aturan publik, sehingga apabila bidang ini diangkat ke jalur legislasi nir akan memunculkan perseteruan serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yang universal dan netral.
D. Prospek Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Ranah Sistem Hukum Nasional
Mengusung hokum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk serta proses. Dalam hal subtansi sebagaimana telah dikemukakan pada depan, yakni berupa doktrin-doktrin yg terdapat dalam kitab fikih, ijtihad serta fatwa para ulama, dan putusan hakim pada bentuk yurisprudensi serta yang sudah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan –khususnya KHES-, adalah acuan yg nir bisa diabaikan. Dalam hal bentuk, yg perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya diadaptasi menggunakan tingkatan hirarkis perundang-undangan di negara Republik Indonesia berdasarkan Tap MPRS Nomor XXX/1966. Sedangkan pada hal proses tergantung dalam yg dipilih, lantaran legislasi aturan ekonomi syari’ah menjurus dalam bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah serta peraturan-peraturan dibawahnya, namun demikian melihat kenyataan yg terdapat, lahirnya undang-undang tentang ekonomi syari’ah mempunyai peluang yang cukup akbar, bebarapa hal penting yang berpotensi menjadi faktor pendukung yakni diantaranya:
  • Subtansi aturan ekonomi syariah yang established (telah mapan), disamping telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang telah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun dalam dalam warga , jua ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yg sudah usang digagas oleh para ahli aturan Islam di Indonesia.
  • Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam wajib mendapatkan dukungan suara dominan di forum pembentuk aturan serta warta politik menampakan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan dominan pada Indonesia, tetapi memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir relatif memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk aturan nasional yang bernuansa Islami, seperti halnya: 
  1. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya bisa dicermati dalam pasal 1 ayat (12), Pasal 6 huruf (u), pasal 7 huruf ©, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat (1) serta ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) alfabet ©.
  2. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, yg semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah pada Indonesia.
  3. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;
  4. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat;
  5. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam yg memberi swatantra khusus kepada Daerah Istimewa Aceh buat menerapkan syari’at Islam, hal ini memperlihatkan bahwa ajaran Islam sudah terimplementasi pada kehidupan sehari-hari masyarakat Islam. 
  6. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai output amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan wewenang baru berupa penyelesaian konkurensi ekonomi syari’ah. Dalam perjalanannya amandemen undang-undang ini tidak menemui kendala yg berarti dibandingkan menggunakan lahirnya undang-undang sebelumnya.
  7. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Diharapkan menjadi kran pembuka terhadap Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.
  8. Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 pada tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, meskipun ketika ini kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan dapat diperjuangkan melalui jalur legislasi menjadi kitab undang-undang.
  • Selain yang berbentuk peraturan perundang-undangan pula berbentuk fatwa-fatwa para ulama yg diterbitkan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar aplikasi kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yg membuka cabang syari’ah. Tetapi demikian fatwa-fatwa di atas belum mengakomodir seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Juga perlu dicatat bahwa hanya sebagian mini saja dari fatwa-fatwa tersebut yang sudah terserap pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
  • 3) Materi aturan yang hendak diusung ke jalur legislasi meliputi hukum privat yang bersifat universal serta netral sebagai akibatnya tidak memancing sentimen agama lain. Kemungkinan besar nir akan mengakibatkan gejolak sosial yg cost-nya sangat mahal.
  • Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh serta berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi buat melegislasikan hukum Islam.
  • Pada tataran yuridis konstitusional, dari Sila Pertama Pancasila serta Pasal 29 UUD 1945, aturan Islam adalah bagian dari hukum nasional serta wajib ditampung dalam training hukum nasional, serta sejalan menggunakan acara legislasi nasional.
Dibalik peluang legislasi yg terbuka lebar, ada beberapa tantangan yg perlu diantisipasi yakni:
  1. Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yang sebagian menolak gagasan legislasi.
  2. Perbedaan pendapat pada kalangan intern Islam mengenai subtansi hukum (ekonomi syari’ah) yang yg akan diundangkan kemungkinan terdapat ikhtilafi (ada perbedaan pendapat).
  3. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi aturan Islam “ekonomi syari’ah” pada Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai masyarakat negara kelas dua) dan ini juga dipicu sang perilaku dan pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi perjuangan hukum Islam.
Hukum ekonomi syari’ah yg diusung ke jalur legislasi pada bentuk buku atau kitab undang-undang yg tersusun rapi, simpel serta sistematis bukan hanya asal berdasarkan satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih serta pada-tarjih (menguatkan galat satu dari beberapa pendapat madzhab) menurut banyak sekali pendapat madzhab fikih yang lebih sesuai dengan syarat dan kemaslahatan yg menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan perilaku ta’assub (fanatik) madzhab, seperti fikih madzhab Hanafi yg digunakan pada kerajaan Turki dalam tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yg digunakan pada wilayah Mesir dan Suriah dan fikih madzhab Imam Malik yang digunakan di Irak.

E. Aspek Positif dan Aspek Negatif Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
a. Aspek-aspek Positif:
Selanjutnya perlu dikemukakan kelebihan dan kelemahan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo yg mengutip pendapat Algra dan Duyyendijk kelebihan berdasarkan bentuk perundang-undangan dibandingkan menggunakan norma-kebiasaan lain adalah:
1) Tingkat prediktibilitasnya tinggi. Adanya citra aturan secara pasti sebelum suatu perbuatan itu dilakukan rakyat, sebagai akibatnya sudah bisa diprediksi dampak hukumnya.
2) Perundang-undangan pula memberikan kepastian mengenai nilai yg dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka sebagai niscaya jua nilai yg hendak dilindungi sang peraturan tadi. Oleh karenanya orang nir perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau nir. 

Sedangkan menurut ulama fikih, sisi positif aturan Islam pada bentuk perundang-undangan antara lain:
  1. Memudahkan para praktisi hukum buat merujuk aturan sinkron menggunakan keinginannya. Kitab-buku fikih yang beredar pada global Islam penuh dengan disparitas pendapat yg kadang-kadang membingungkan serta menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah, para hakim / praktisi aturan nir perlu lagi mentarjih banyak sekali pendapat pada literatur fikih.
  2. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi jua perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yang sama, sehingga sulit buat menentukan pendapat terkuat berdasarkan sekian banyak pendapat pada satu madzhab. Keadaan misalnya ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang awam) buat menentukan aturan yg akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yang berperkara tersebut bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sehingga hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki nir diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yg sinkron dengan pendapat yang bertenaga akan lebih praktis dan mudah dirujuk sang para hakim, apalagi di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-kondisi mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
  3. Menghindari perilaku taqlid madzhab di kalangan praktisi aturan, yang selama ini menjadi kendala pada forum-forum hukum.
  4. Menciptakan unifikasi aturan bagi lembaga-forum peradilan. Jika aturan dalam suatu negara tidak hanya satu, maka akan ada disparitas keputusan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, namun jua mengganggu stabilitas keputusan yg saling bertentangan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya.
b. Aspek-aspek Negatif: 
Di samping sisi positif maupun kelebihan-kelebihan di atas, aturan Islam pada bentuk perundang-undangan pula mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo diantaranya:
1) Norma-normanya sebagai kaku.
2) Mengabaikan perbedaan-disparitas atau karakteristik-karakteristik spesifik yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. 

Selain itu, buat mengganti aturan yg berbentuk perundang-undangan memerlukan rapikan cara tertentu, sebagai akibatnya membutuhkan waktu, biaya serta persiapan yg tidak mini . 

Sedangkan menurut Ibnu al-Muqaffa sisi negatif pelembagaan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan adalah menjadi berikut:
  1. Munculnya kekakuan aturan, sedangkan insan menggunakan segala masalah kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini sering nir diiringi dengan aturan yang mengaturnya. Dalam masalah ini ulama fikih menyatakan,”Hukum bisa terbatas, sedangkan perkara yg terjadi nir terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan berlaku sepanjang masa, namun hanya buat menjawab problem yg muncul dalam suatu syarat, masa, dan loka tertentu. Oleh karena itu, aturan senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, loka, zaman yang lain. Tidak jarang ditemukan bahwa insiden yang menghendaki aturan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karenanya. Adanya undang-undang mampu memperlambat perkembangan aturan itu sendiri.
  2. Mandegnya upaya ijtihad. 
  3. Munculnya masalah taklid baru. 
c. Menakar Aspek Positif dan Aspek Negatif 
Menganalisa sisi positif dan sisi negatif, kekuatan serta kelemahan bentuk perundang-undangan menurut aturan Islam yang mengatur mengenai ekonomi syari’ah, maka dengan memperhatikan kondisi yg berkembang pada Pengadilan Agama serta tradisi aturan yang dianut oleh negara Indonesia, maka berdasarkan irit penulis, pelembagaan aturan ekonomi syari’ah pada bentuk perundang-undangan permanen adalah pilihan sempurna.

Kehadiran undang-undang yg mengatur kegiatan ekonomi syari’ah tidak perlu diperdebatkan, keberadaannya di satu sisi buat memenuhi kebutuhan hukum rakyat terutama pelaku usaha syariah, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan menjadi landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam merampungkan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagaimana teori kontrak social, maka diharapkan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban generik dalam pelaksanaannya.

Adapun pembentukan undang-undang yang mengatur aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah yg akan datang berdasarkan hemat penulis, seharusnya mempertimbangkan:
1. Mendahulukan pengaturan aspek-aspek ekonomi syari’ah yang bersifat lex generalis menggunakan alasan kebutuhan terhadap undang-undang yang mengatur kasus ekonomi syari’ah sifatnya urgen, karena dasar hukum yg dipakai ketika ini, baik sang para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah maupun Hakim Pengadilan Agama dalam merampungkan konkurensi ekonomi syari’ah merupakan KHES atau fikih muamalah. 
2. Dalam penyusunan undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syari’ah –disamping membuahkan KHES sebagai acuan primer- juga perlu mempertimbangkan beberapa fatwa yg telah diterbitkan oleh DSN, baik yg terserap dalam PBI serta SEBI juga yg nir terserap, lantaran sudah nyata bahwa lahirnya fatwa-fatwa di atas adalah menjadi respon berdasarkan beberapa pertarungan riil yg dimintakan fatwa berkenaan menggunakan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yang tengah berjalan. 
3. Perlu pula mempertimbangkan pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) pada merampungkan sengketa antara bank syari’ah serta nasabahnya, hal ini nantinya dapat dijadikan acuan dan masukan bagi Peradilan Agama pada menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah di masa depan. Melihat masalah-masalah arbitrase syari’ah yang diajukan ke BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa problem inti merupakan kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, serta nasabah menjadi pengguna dana, atau antara bank sebagai investor serta sekaligus pula sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah menjadi pengguna dana pada pihak lain. Kontrak yang paling generik dilakukan adalah akad mudharabah, akad musyarakah, akad murabahah serta lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fikih berbagai madzhab. Dalam penyelesaian sengketa, BASYARNAS memakai dua hukum yang tidak sinkron, yaitu hukum Islam sebagaimana diformulasikan oleh DSN serta pasal-pasal KUHPerdata (khususnya tentang perjanjian). Hal itu dilakukan lantaran ketiadaan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara generik.
4. Disampng KHES, -buat penyempurnaan- perlu pula mempertimbangkan dan mengkomparasikan menggunakan Pasal-pasal dalam KUHD dan KUHPerdata khususnya yg berkenaan menggunakan perjanjian, alasannya adalah:
a) Pasal-pasal tersebut selama ini telah lazim di pakai dasar buat mengadakan kontrak di bidang ekonomi pada Indonesia, seperti jual beli, sewa menyewa perjanjian kerja, perjanjian usaha pada bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruiklening), peminjaman dengan bagi hasil, perjanjian pertanggungan (iuran pertanggungan), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yg adalah perjanjian-perjanjian menggunakan nama seperti diklaim di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan perjanjian-perjanjian lain menggunakan nama apapun jua, atau bahkan tanpa nama, apabila kaum muslimin menghendaki, maka melalui asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa sepenuhnya melakukannya dari ajaran-ajaran serta akhlak Islam, sebagai akibatnya seluruh perbuatannya tersebut akan tunduk kepada serta terhadapnya berlaku hukum Islam. Dengan demikian, maka simpel dalam seluruh kehidupan keperdataan atau muamalah, bagi umat Islam pada Indonesia sudah dapat diberlakukan aturan Islam, asalkan mereka menghendaki.

Seperti halnya dinyatakan dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menganut asas kebebasan berkontrak, ini berarti setiap individu anggota warga bebas membuat atau mengikat perjanjian menggunakan individu anggota mayarakat lain menurut kehendaknya, sepanjang sinkron menggunakan undang-undang serta tidak bertentangan menggunakan ketertiban umum serta kesusilaan. Pasal-pasal tadi pula tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Bahkan lebih dari itu, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yg membuatnya. Dari ketentuan pasal tadi, seluruh pakar hukum sepakat menyimpulkan bahwa pada hal aturan perjanjian, aturan positif (hukum yg berlaku) di Indonesia menganut system “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas buat menciptakan perjanjian apa dan bagaimanapun jua, sepanjang pembuatannya dilakukan sinkron dengan undang-undang serta isinya tidak bertentangan menggunakan ketertiban generik serta atau kesusilaan. Tetapi yang perlu mendapat stressing pada sini adalah aspek syariat yg menyangkut etika transaksi serta pemahaman batasan-batasan syariat yang meliputi rukun dan kondisi-syarat akad yg masih ada dalam asas-asas kontrak menurut hukun Islam yang mungkin dalam penerapannya tidak sinkron menggunakan KUHP.

Asas aturan ini dalam keadaan bagaimanapun nir mungkin dihilangkan menurut tatanan hayati umat insan pada warga yg beradab, karena kebebasan individu adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yg tidak suatu kekuasaanpun, termasuk kekuasaan negara berhak mencabutnya. Asas kebebasan berkontrak di pada kegiatan keperdataan tersebut sangat sesuai dengan pengertian “ibadah muamalah”.

Dengan kelarnya undang-undang yang mengatur ekonomi syari’ah, maka tidaklah tidak mungkin, pada masa-masa mendatang engkau muslimin Indonesia dalam menjalankan kegiatan usaha mereka di segala bidang keperdataan, akan berakibat undang-undang tadi menjadi landasannya. Masalahnya adalah sederhana, mereka ingin agar seluruh aktivitas hayati mereka, sesuai dengan rasa keimanan serta keyakinannya, hal ini nir bertentangan menggunakan jiwa Pancasila.

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas pencerahan insan atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para pakar memberikan julukan pada abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yang disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, di pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan sosio politis yg berkembang, dan mementum yg semakin mengokohkan agunan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia saat reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus sebagai starting poin bagi penhuatan demokrasi yg berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yg selanjutnya disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi manusia diberi pengertian menjadi hak yang inheren pada diri manusia yg merupakan anugerah Tuhan semenjak insan lahir, sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini tidak boleh tidak wajib inheren dalam insan, lantaran apabila tidak; manusia akan kehilangan sifat humanisme serta keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan serta hak atas umat insan dari prinsip keadilan yg menaruh pengakuan bahwa manusia mempunyai hak serta kewajiban yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia kemudian melakukan perjanjian (kontrak) buat membentuk negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi insan adalah hak yang inheren menggunakan eksistensi kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita mengembangkan diri serta memenuhi kebutuhan kita menjadi insan. Hak-hak ini pula melindungi kehidupan, keutuhan fisik serta psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi insan terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi manusia nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi insan merupakan hak insan lantaran ia seseorang insan. Hak adalah hak-hak moral yg berasal berdasarkan kemanusiaan setiap insan serta hak-hak itu bertujuan buat menjamin martabat setiap manusia (Natural Rights). Kedua, hak asasi manusia adalah hak-hak berdasarkan hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum berdasarkan warga itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini merupakan persetujuan dari yg diperintah, yaitu persetujuan menurut para rakyat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu serta nir hanya tata tertib alamiah yg adalah dasar menurut arti yg pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM sudah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yang bercorak lokal/kaukus. Puncak atas usaha ini adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948 yg kemudian menjadi acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membentuk instrumen HAM. Kesadaran dan pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya dalam kehidupan bermasyarakat serta berpolitik bhineka pelaksanaannya. Semuanya bertolak berdasarkan perumusan HAM yg sangat tergantung dalam situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM ketika ini telah sebagai sorotan utama global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan dengan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati serta Ucu Martanto, mengutip Robertson dan Giddens mengartikan globalisasi sebagai pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh global yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sebagai akibatnya insiden-peristiwa di suatu loka ditentukan sang insiden lain yang terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ dan demikian sebaliknya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam sudah ikut andil dalam menciptakan aturan bangsa-bangsa yang berkembang di Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial dan politik masyarakat negara, baik secara individual maupun kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu hingga kini , HAM seringkali sangat bergantung dalam willingness of the states. Begitu jua ajaran agama dan budaya setempat sudah sangat mensugesti perilaku warga terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara masyarakat Barat dan Timur, khususnya Asia Tenggara pertanda adanya impak positif pada luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, disparitas persepsi HAM Barat dan Timur yang terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik dan pula kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia sebagai negara aturan telah memiliki instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah banyak dikenal banyak sekali dokumen konstitusional juga peraturan perundangan yg memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS serta Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang proteksi HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sehingga diharapkan sanggup memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya penegakan aturan pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan mengenai konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca memahami permasalahan konstitusi dan HAM, pula diperlukan bisa menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian pada globalisasi serta pengaruhnya dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, selesainya mengadakan pengamatan, maka penelitian mengenai dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945 dalam perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM dan konstitusi sudah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana yang membahas HAM berkaitan menggunakan aturan pidana secara generik, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan menggunakan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila serta hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM dalam konstitusi. 

Kemudian kitab Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi tentang apa saja yang menjadi pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani adalah karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM pada tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membentuk bangsa pada perspektif demokrasi dan HAM dan memberikan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia sudah dikenal semenjak 1908, serta menelaah perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah mengambil langkah konkret pada masalah degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan serta Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan pada kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi pada Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi menjadi suatu tipe perundang-undangan yg spesial serta membawanya ke ranah ilmu hukum yang tidak hanya berkutat pada perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu hukum serta masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan dalam menelaah hasil-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dilema-persoalan lain yang melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, dalam bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yg sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat mengenai sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman tentang makna strategis berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Dimyati Hartono, pada Problematik serta Solusi Amandemen UUD 1945 memandang problem amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi berdasarkan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat tadi yg nir konsisten karena menggunakan pendekatan yg praktis, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami serta melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Rekomendasi berdasarkan kitab ini antara lain adalah melakukan lagi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yang sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 menggunakan memberlakukan pulang UUD 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hayati bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun dalam bentuk amandemen.

Sementara, buku karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah sumber yang membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia hingga pada pembahasan nomokrasi serta demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum serta selesainya amandemen menurut amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan impak amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM di dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki dalam bukunya Pengadilan HAM pada Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai perkara pelanggaran HAM masa lalu. Pada kenyataannya, itu hanya asa semu. Dengan keluarnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan asa yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, namun miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung dan medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, tetapi jua jadi loka untuk menyucikan kembali motif serta tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, telah semenjak lama problem negara hukum serta hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-pakar hukum ketatanegaraan dan dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya untuk mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia yg dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia tak jarang dipahami secara dangkal lantaran hanya dipercaya sebagai panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian adalah pemahaman yang keliru, pemahamannya bukan hanya pada tatanan moral akan tetapi juga pada tatanan aturan. Kenyataan menunjukkan dampak pemahaman yg dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan serta penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, menyebutkan, hak asasi manusia adalah perwujudan eksistensi serta kemandirian seorang sebagai seorang insan. Yang harus dihormati serta dijaga kehormatannya, sebagai akibatnya bisa bertahan berdasarkan bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, dan impian, dan sebagai landasan yang bertenaga bagi pembentukan sebuah bangsa yg demokratis dan ideal, karena hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada dalam diri langsung individu, dan hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hidup secara merdeka pada komunitas-komunitas warga . 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki menyebutkan, memutus rantai politik otoriter hanya bisa apabila melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman poly negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, pada fenomena Indonesia mengalami peristiwa dalam upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku serta nir bisa mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini dalam bukunya yg berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana pada Indonesia, mengungkapkan, di pada UUD 1945 tidak ada satu pasalpun yg secara tegas mencantumkan asas praduga tidak bersalah, berbeda dengan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu pada dalam pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, keberadaan asas tersebut sudah ditemukan serta diatur dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana sudah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada hukum, asas ini secara tegas diatur baik di dalam KRIS 1949 serta UUDS 1950 maupun UUD 1945 yaitu pada pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu menyelidiki konsep normatif atau peraturan perundang-undangan pada hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu menelaah fenomena empiris yang berpijak pada fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yg menghipnotis konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan memakai data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel serta bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme dan hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian buat menyelesaikan masalah demgam cara menggambarkan perkara melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, kemudian dijelaskan serta selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yang dipakai pada penelitian ini meliputi data primer, data sekunder serta data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg mencakup:
1) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai kitab mengenai globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan aturan yang memberi penerangan mengenai bahan primer, meliputi buku-buku hukum, buku-buku mengenai globalisasi, hasil penelitian, jurnal, makalah dan literatur lain yg berkaitan menggunakan fokus penelitian, baik tentang hukum secara generik, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, mencakup:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir menggunakan angka-nomor , rumus-rumus dan penghitungan eksakta lainnya sebagai alat bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yang nir bisa dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks dengan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat dilarang masuk ke semua bidang kehidupan umat insan. Globalisasi adalah proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg bergerak secara ekstensif dan intensif ke dalam rakyat dunia. 

Globalisasi merupakan kata yg mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama digunakan pada 1960, serta sebagai mode yg makin terkenal dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yg disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, beliau jua kekuatan tidak tertahankan, akan tetapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia dalam 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu fenomena pada mana agen-agen ekonomi di bagian manapun di global jauh lebih terkena impak insiden yg terjadi di loka lain di global berdasarkan dalam sebelumnya.

Brink Lindsey pada bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan istilah globalisasi dalam 3 makna yang tidak sama yaitu: Pertama, untuk mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan fenomena politik yang terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yg dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yang merujuk pada suatu keadaan pada mana antara satu negara dengan negara lain sudah menyatu. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, misalnya radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi sebagai kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi telah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini berakibat manusia dengan rekanan-rekanan sosial budayanya sebagai sub-human pada pusaran pasar global global. Globalisasi bahkan adalah zenit menurut kapitalisme dunia pada penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar pada global kemanusiaan menjadi tersubordinasi dan terkooptasi sang mesin kapitalisme dunia yang keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis kemanusiaan diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya ada lima pengaruh tidak baik globalisasi bagi masyarakat. 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sehingga kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan oleh penghasil kabar serta penyebarannya yg mayoritas sehingga mengakibatkan gangguan yang tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak insan yg dipropagandakan adalah versi Barat dengan bersandar dalam individualisme. Hak-hak gerombolan banyak terlanggar, namun diabaikan saja. Hak-hak insan acapkali dikalahkan oleh hak-hak kapital, sebagai akibatnya globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap manusia serta negara bebas memilih yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman di global yg sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala akbar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak bisa dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yang mencolok terlihat dari perubahan pola hubungan antar anggota rakyat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis serta acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan menurut efek tidak baik globalisasi. Globalisasi yg ditandai menggunakan pesatnya inovasi hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah menggunakan cepat. Melalui berbagai alat-alat tadi banyak sekali peristiwa atau insiden yang terjadi pada belahan dunia yg lain pun dapat dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin banyak insan memakai alat-alat tersebut semakin poly liputan yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus warta tadi demikian banyak dan padat, maka taraf kecepatan buat mendapatkan informasi tadi menjadi meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yg semakin erat menurut seluruh aspek kehidupan, suatu tanda-tanda yang timbul menurut interaksi yg semakin intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan akbar pada zaman ini yg membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok global serta memberikan keuntungan bagi semuanya. Namun di sisi lain, globalisasi melahirkan kontradiksi antar insan pada muka bumi ini, yg disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa efek positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yg semakin luas; globalisasi jua membawa efek negatif misalnya syarat ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk di Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan kata lain, globalisasi adalah tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait dengan situasi nyata serta hayati mati manusia pada planet bumi, maka sudah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan dua premis menyangkut standar etika sosial tersebut. 
Pertama, rakyat hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang sebagai dasar premis ini adalah prestise insan. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg tidak sanggup dan nir punya peluang buat ambil bagian pada proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, dan globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah wahana demi kesejahteraan hayati serta perkembangan insan. Yang menjadi orientasi di sini merupakan tanggung jawab beserta pada aneka macam taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan bersama.

Globalisasi dilukiskan sebagai penyusutan ruang serta ketika yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala dunia. Ia dipahami sebagai tatanan rakyat baru yg tidak lagi mengungkapkan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi dunia sudah merambah ke semua dunia, yg mana tidak lagi terdapat batas-batas yg jelas dalam suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, hukum serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi mengakibatkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan adalah kenyataan krusial yang nir sanggup dihindarkan sang siapapun, bangsa manapun dan negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

2. Konstitusi serta Kostitusionalisme
Konstitusi dari Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum seringkali digunakan beberapa kata menggunakan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan untuk arti tidak sama digunakan kata yang sama. Demikian pula halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu Undang-Undang Dasar serta aturan dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan UUD dan ke 2, pendapat yg menyamakan konstitusi menggunakan UUD. Saat ini sepertinya pendapat ke 2 lebih diterima.

Konstitusi juga dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik merupakan semata-mata dokumen hukum yang berisi pasal-pasal yg mengandung norma-kebiasaan dasar dalam penyelenggaraan Negara, hubungan rakyat menggunakan Negara, antar lembaga Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, lantaran mengandung cita-cita sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis tentang Negara, rumusan sistem sosial dan ekonomi, dan sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yg pula berkaitan dengan kata juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat manusia. Kata politeia menurut kebu­daya­an Yunani bisa dianggap yg paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya kata yang mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang tiba kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yang kita maksudkan kini ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), pada bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai kata teknis buat menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan dengan poly aspek dari aturan Romawi yang dipinjam ke pada sistem pemikiran aturan di kalangan gereja, maka kata teknis constitution juga dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku pada semua gereja atau­pun buat beberapa peraturan eklesiastik yg ber­laku pada gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, buku-kitab Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yg seringkali dipercaya menjadi sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution pada sejarah.

Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, pada arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian istilah politea serta nomoi. Pengertian politiea bisa dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi merupakan undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi berdasarkan dalam nomoi, lantaran politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena beliau hanya merupakan materi yg wajib di­bentuk agar su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak memilih struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya produsen un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan menggunakan istilah konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut interaksi antara gereja dan pemerintahan Negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang diklaim menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Tetapi, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu seringkali pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill seringkali meng­guna­kan istilah constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill jua mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yg menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yg dimuntahkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yg hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir pada Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu serta selama mudun-abad sesudahnya, per­kata­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini dipakai buat membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian sekarang. Hanya saja kandungan maknanya lebih luas serta lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min pada pernyataan Sir James Whitelocke dalam se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yg adalah kerangka alami serta konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi dalam 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg dapat ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero bisa dianggap sebagai sarjana pertama yg meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai istilah teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif serta saya­mu­indah. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam pada perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg dalam akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terkini. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan menggunakan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution juga diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karenanya, constitution bisa pula digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dipercaya “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi dianggap mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yang telah lama berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih khusus lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada pada dasarnya konstitusionalisme adalah proses aturan.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yang tercermin pada kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yang mengatasinya menurut luar dan nir ada pula yg mendahuluinya.

Fredrich berpendapat konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu formasi aktivitas yg diselenggarakan atas nama masyarakat yg tunduk pada beberapa pembatasan buat menjamin kekuasaan yg dibutuhkan pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, semua pemegang kekuasaan harus dibatasi. Di satu sisi tidak ada satu pihak atau satu lembaga pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai dengan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum dan HAM 
Konstitusi, artinya kerangka warga politik, yang diorganisir berdasarkan hukum, yang membangun forum-lembaga tetap dengan tugas dan kewenangan eksklusif. Dengan demikian konstitusi merupakan perpaduan prinsip-prinsip yg mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat dan interaksi antara kedua hal tersebut.

Konstitusi digunakan pada dua pengertian, yakni konstitusi pada arti abstrak dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, dan konvensi yg memutuskan susunan serta kewenangan alat perlengkapan negara itu satu dengan yg lain dan dengan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret adalah dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat krusial yang ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti konkret pula disebut UUD.

Negara yang berdasar konstitusi merupakan yang kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya dan interaksi antara kekuasaan pemerintah serta hak-hak rakyat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan Undang-Undang Dasar bagi negara yg satu tidak selaras dengan negara lain. Hal ini ditimbulkan karena beberapa hal, diantaranya: sejarah yg dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam waktu menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yang menjadi alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak masyarakat negara menurut negara yang bersangkutan supaya terjamin hak-haknya, serta bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya untuk menjamin supaya masih ada pola atau sistem tertentu atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak menurut pembentuk negara tadi agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce di atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu UUD 1945 yang dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945 merupakan kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya serta mengklaim kepastian aturan.

Negara hukum, dari Aristoteles, merupakan negara yang diperintah menggunakan konstitusi serta berkedaulatan aturan. Terdapat tiga unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan buat kepentingan generik, pemerintahan menurut aturan berdasar ketentuan generik, dan pemerintahan atas kehendak rakyat.

Kant, membicarakan gagasan negara hukum formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah dua unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar aturan serta adanya peradilan administrasi yg berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah aturan (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law harus mempunyai syarat-syarat esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-syarat minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 di Inggris tetapi sulit buat mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga ketika ini. Di Indonesia kata negara hukum adalah terjemahan eksklusif berdasarkan rechsstaat, kata rechsstaat mulai terkenal di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara hukum sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah buku berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia walaupun keduanya permanen berjalan dalam target yang sama namun keduanya tetap berjalan menggunakan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law yg mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(2) Pemerintahan berdasarkan konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi insan.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara aturan the rule of law bertumpu pada common law, yg menekankan dalam tiga (tiga) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(dua) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang didasarkan dalam hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tersebut dikaitkan menggunakan ketentuan aturan yang berlaku pada Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara hukum bisa terlihat berdasarkan Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan serta perlindungan atas hak-hak asasi manusia, bisa ditemukan jaminannya pada pada pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yaitu pada dalam Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, lalu pada pada alinea IV disebutkan pula keliru satu dasar yaitu ”humanisme yg adil serta beradab”, sedangkan pada pada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara di dalam aturan serta pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan buat berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan usaha pertahanan dan keamanan negara), serta Pasal 31 (jaminan hak buat menerima pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas menurut impak sesuatu kekuasaan, dapat dicermati pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan”. Ciri selanjutnya tentang legalitas dalam arti hukum segala bentuknya serta kekuasaan yg dijalankan dari atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan serta kebijakannya wajib menurut ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan beropini bahwa Undang-Undang Dasar sebagai asal aturan yg tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para masyarakat warga , terutama rakyat negaranya berdasarkan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara aturan modern yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan serta diperluas, yakni hingga menggunakan terselenggaranya kepentingan warga sebagai akibatnya nir hanya sekadar terjaminnya perlindungan aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun juga setiap anggota masyarakat Negara dapat mengembangkan hak-hak sebagai insan.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya sudah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sangat dipengaruhi sang globalisasi pemikira HAM yang telah sangat mendunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam banyak sekali tahap yg bisa dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka tentang aturan, konstitusi HAM serta aneka macam peraturan perundang-undangan, dan surat keterangan tentang globalisasi dan pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan serta pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam termin ini adalah menganalisa data output penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data serta kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.