KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu pada suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan warga menggunakan berdasarkan pada: Ketuhanan yg Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia merupakan merupakan Negara aturan, yg berkeinginan buat membangun suatu aturan baru sesuai dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan impian tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sebagai akibatnya poly mendapatkan sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yang berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan hukum Belanda yang sudah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karenanya sanggup dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih menggunakan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah Indonesia waktu itu masih disibukkan dengan berbagai bisnis untuk mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg sejak tahun 1974 lalu dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai menggunakan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku sampai akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak pulang ke Undang-Undang Dasar-45 serta lalu diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg lalu berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat Jenderal pada Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah ikut aktif pada pembuatan peta hukum nasional, yg sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 butir UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun berbagai hambatan semenjak semula juga terus menghadang, tidak hanya sang penganut teori resepsi,[2] yang masih poly bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang asal menurut kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan penguasaan aturan Islam[3] dalam hukum nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih tahu hukum Islam secara sepotong-pangkas serta terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yg sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan pencerahan buat melaksanakan hukum Islam itu pada empiris kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat menggunakan kontribusi serta prospek aturan Islam terhadap training aturan nasional di Indonesia,[4] mencakup beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan keberadaan hukum Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, 3) Prospek penerapan aturan Islam pada Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yg diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi rakyat yg tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, tetapi juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu tidak hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun pula berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat pada menggapai hasrat.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan aneka macam perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam[6] itu mengandung 2 dimensi:
  • Hukum Islam pada kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yg merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian disebut menggunakan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yang ke 2 inilah, yg lalu menaruh kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan hukum Islam secara bhineka,[9] sinkron dengan konteks permasalahan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang lebih banyak didominasi penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yg lalu berhasil mengambil alih semua kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit hukum Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yg tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, aturan Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, aturan Islam nir pernah mangkat serta bahkan selalu hadir pada kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme juga masa kemerdekaan serta hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu[12] kemudian dibagi sebagai 2:
  • Hukum Islam yg bersifat normatif, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana[13] sekalipun sampai sekarang masih pada termin perjuangan), yang telah sebagai bagian menurut hukum positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih menerima perbedaan pada pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai menggunakan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi aturan Islam Indonesia merupakan hukum-aturan Islam yang hidup[14] pada warga Indonesia, baik yg bersifat normatif maupun yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi aturan Islam pada Indonesia yang sebagian daripadanya telah terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, aturan Islam pada Indonesia dapat dibagi sebagai empat periode,[16] dua periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya sudah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua masalah hukum yang berlaku di masyarakat.

Setelah Belanda menggunakan VOC-nya mulai semakin kuat pada menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang lalu dikenal menggunakan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang nir hanya memuat pemberlakuan aturan Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), namun juga menggantikan wewenang lembaga-lembaga peradilan Islam yg dibentuk oleh para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan protesis Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] pada Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir menggunakan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama pada Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan sang teori Receptio yg dikemukakan sang Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai sang Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu menggunakan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut menurut lingkungan rapikan aturan Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat dua dinyatakan:

"Dalam hal terjadi kasus perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim kepercayaan Islam apabila aturan Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan pada atas, maka menggunakan alasan aturan waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum istiadat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan kepercayaan dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tadi menggunakan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, pada samping dibuat buat melumpuhkan system dan kelembagaan aturan Islam yang terdapat, jua secara nir eksklusif telah menyebabkan perkembangan hukum Barat pada Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sebagai akibatnya dalam kasus-kasus eksklusif lalu dibutuhkan aturan Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini aturan Islam mengalami kemunduran menjadi rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode ke 2, yakni sesudah kemerdekaan bisa dibagi pula ke pada dua fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yg dalam hukum konstitusi diklaim dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sesudah diyakini.
b. Hukum Islam menjadi asal otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative source, yakni menjadi sumber hukum yang eksklusif mempunyai kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan sebagai asal persuasuf UUD-45.[25] Tetapi sehabis Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi asal otoritatif.

Suatu hal yg niscaya adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, memiliki arti yg sangat krusial bagi perkembangan sistem aturan pada Indonesia.

Bangsa Indonesia yg sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system aturan Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara berdikari.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yg sudah lama melembaga dalam rapikan-pola kehidupan bangsa merupakan nir mudah. Ia memerlukan upaya persuasif dan wajib dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap aturan Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan sang Belanda buat merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis karena mengajak umat Islam buat nir mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan sesudah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan aturan kebalikan menurut Receptio, yakni bahwa aturan istiadat itu baru dapat diberlakukan apabila tidak bertentangan menggunakan aturan Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi memiliki ruang gerak yg lebih leluasa.

Dari uraian pada atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan hukum Islam pada Indonesia telah melampaui 3 tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram dampak politik kolonial Belanda, 3. Masa kesadaran dengan berakibat aturan Islam sebagai salah satu alternative primer yang dipercaya sang pemerintah RI pada upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud kontribusi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan serta nilai islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana buat waktu ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman pada pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan generik, dua) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga sebagai undang-undang tertulis serta berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian eksklusif yang hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan sesudah melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku pada tiga zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan training Peradilan Agama serta Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. Lima/SD/1946[30] kemudian sesudah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan pulang pendiriannya buat permanen memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut dari penegasan tadi, setidak-tidaknya telah diterbitkan 3 peraturan perundang-undangan yg mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama pada jawa serta Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya dengan disahkannya jua UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas eksistensi forum Peradilan Agama pada system pengadilan nasional, pula sudah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan berdasarkan bahasa Arab, Tajdid yang dalam istilah Indonesia dikenal dengan terkini, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, genre, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat adat, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan dengan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan pada pemikiran Islam, kasus tajdid itu timbul terutama sesudah Islam sebagai agama serta sekaligus tradisi besar , berhadapan dengan aneka macam budaya local, aneka macam faham non Islam serta aneka bentuk pemerintahan yang ada, baik di global Timur juga Barat.[32]

Dalam bidang hukum Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud sanggup berbentuk pikiran atau gerakan (dalam bidang hukum Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran usang yang bersumber menurut ketentuan yang bersifat zanni (aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i buat diadaptasi dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan oleh kemajuan zaman serta budaya lokal pada Indonesia, pada rangka pembangunan, pelatihan dan pembentukan hukum nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yg terlahir menurut Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yg berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum menurut kitab -buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim agama dalam merogoh keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri berdasarkan bab-bab serta pasal-pasal, merupakan merupakan salah satu donasi pembaharuan hukum Islam pada Indonesia.

Disebut sebagai pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), pula beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi warga Islam Indonesia, misalnya ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke pada bagian ini contohnya adalah UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama, serta PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang nir dikenal dalam rapikan hukum nasional.

Dengan telah adanya aneka macam pembaharuan tadi, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sesuai serta seiring dengan perubahan sosial terutama pada era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi liputan tak jarang bisa mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dianggap telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut serta sekaligus mencari solusi serta pemecahan yang sempurna, maka nir tidak mungkin Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan serta ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai dengan munculnya aneka macam pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap aneka macam problem kemasyarakatan pada arti luas (bukan hanya dalam bidang hukum saja, namun jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah tak jarang menyajikan berita yg relatif menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya relatif variatif, diantaranya merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi eksklusif bisa menimbulkan kecurigaan serta kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dipercaya sang sebagian orang menjadi upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat sahih dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung dalam kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan banyak sekali masalah yang baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan dari kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai model konkrit, khususnya pada bidang hukum Islam merupakan penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] serta Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya menurut kalangan umum , namun yang sangat keras justru dari dalam cendekiawan, seperti Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kecenderungan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam membicarakan prospek aturan Islam di Indonesia, setidaknya ada 2 aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam yang berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan menggunakan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah serta akhlaq, pula memuat aturan-anggaran hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini sudah menjadi satu kesatuan yg nir terpisahkan dalam Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yang saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum pada Islam, asas dan tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang buat kebaikan insan semata, sinkron menggunakan fitrah serta kodratnya yang karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, serta melarang perbuatan yang Mengganggu.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sinkron dengan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun karena syareat Islam dibangun pada atas dan demi kebaikan insan itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam aturan nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa aturan Islam itu terdapat di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis maupun tidak tertulis, dalam banyak sekali lapangan kehidupan aturan dan praktek hukum.[46]

d. Telah terwujudnya kontribusi aturan Islam pada aturan nasional, baik dalam bentuk UU maupun IP,[47] merupakan bukti konkret tentang kekuatan dan kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi dengan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung sebagai berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 sebagai dasar Negara, yang sila-silanya merupakan kebiasaan dasar serta kebiasaan tertinggi bagi berlakunya semua kebiasaan hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan agama (terutama pada sila pertama) dalam posisi yang sangat fundamental, dan memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila dengan agama sangat erat, karena menempatkannya dalam posisi sentral, pertama dan utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yang adalah agama anutan mayoritas penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai hukum nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, diantaranya disebutkan: 

"…berfungsinya system hukum yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan tatanan aturan yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam untuk ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi karena hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.

Dengan memperhatikan banyak sekali aspek tersebut pada atas, maka bisa disimpulkan bahwa prospek hukum Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Tetapi demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yg memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta hambatan itu[50] adalah:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, jua budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, pada rakyat Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang memiliki syarat yg saling tidak sinkron yg menyebabkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional wajib dipilih, mana yg telah bisa diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi warga non Islam, sangat dimengerti jika lalu tidak senang terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) aturan Islam dalam aturan nasional, sementara pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yg bertenaga buat memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali dampak trauma masa kemudian sang adanya kelompok ekstrim Islam menggunakan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir oleh kelompok Imam Samudra serta Amrozi sebagai akibatnya mengakibatkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran warga Islam sendiri (kecuali di NAD menurut swatantra khsusus yg masih pada taraf uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan aturan Islam (kecuali pada nikah, cerai serta rujuk), dan diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yang memperbolehkan umat Islam buat memilih antara Peradilan Agama menggunakan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman dan penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan sang banyak faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab serta metode istinbat, ad interim aturan Islam yg poly tersebar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan banyak sekali perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain karena sudah tidak terkait lagi menggunakan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, jua kasusnya memang tidak sama sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi insan). 
Untuk menanggulangi aneka macam kendala serta kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan bisa dipertimbangkan, antara lain:
1) Mengadakan pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam aturan Islam juga aturan umum yg mencakup pola serta kurikulum, sebagai akibatnya dapat mencetak para sarjana hukum yang handal, produktif, responsif dan antisipatif terhadap perkembangan sosial masyarakat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina hukum Islam menggunakan fakultas aturan generik sebagai Pembina ilmu aturan.
3) Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan sesamanya, dan dengan pakar aturan umum buat menemukan kesamaan visi serta persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, dalam Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" serta tidak bisa sebagai "aturan" bila belum diresapi sang aturan tata cara. Walaupun sejak pemberlakuan UU Perkawinan pada 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tadi dengan sendirinya sudah mati, tetapi arwah serta semangatnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian sarjana hukum Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, aturan Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, serta bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yg memang merupakan sub system hukum nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan adat, keberadaannya telah menjadi autoritive source semenjak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sinkron menggunakan kebutuhan warga . Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup holistik rapikan kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi kondisi tertentu mengenai al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi merupakan aturan syara' yang bersifat mudah diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, pada Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yg mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan generik, yg mengakibatkan pelakunya bisa diancam menggunakan hukuman eksklusif serta adalah penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, hukum yang diterima dan digunakan secara konkret dalam kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dianggap sudah sinkron menggunakan pencerahan hukum serta cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tersebut, selengkapnya bisa ditelaah pada H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, pada Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada buku Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam serta Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama menggunakan hukum istiadat yg nir tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum pada Indonesia pada Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, pada Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph pada Undang-Undang Dasar-45 yang kemudian menjadi sila pertama Pancasila menjadi Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan kondisi Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia sebagai Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. Tiga-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika dan Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam pada Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum serta Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi forum peradilan pada bentuknya yang masih sederhana dengan tokoh kepercayaan menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar serta Asas-Asas Hukum Islam pada Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran dan Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, dari segi kedudukan belum menjadi UU bukan hukum tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, dan seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan dari Sudut Perundang-Undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam ada akibat pemahaman yg sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais pada Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan serta Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman di Pakistan dan Nurcholis Madjid di Indonesia, yg dipercaya terlalu liberal, elitis dan tidak membumi, dan terlepas dari realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah serta Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yg Hilang, Dalam Pesantren No. 2, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam pada Indonesia (Makalah), h. 3-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, sanggup ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional pada Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 mengenai Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, serta UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam pada Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan dalam upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta kendala tadi, bisa dipandang pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional
A. Mukadimah
Hukum adalah produk politik, sebagai akibatnya ketika membahas politik aturan cenderung mendiskripsikan impak politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan aturan. Hukum adalah hasil tarik-menarik banyak sekali kekuatan politik yang mengejawantah pada produk aturan. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (aturan positif) menurut ius contituendum (hukum yg akan serta wajib ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan pada kehidupan warga . Politik hukum terkadang juga dikaitkan menggunakan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik aturan jua didefinisikan sebagai pembangunan hukum. Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sebagai akibatnya pembuatan undang-undang sarat menggunakan kepentingan-kepentingan eksklusif. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan serta pergumulan antar-kepentingan. 

Badan produsen undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan serta kepentingan yang ada dalam rakyat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan penghasil undang-undang sebagai penting lantaran pembuatan undang-undang terkini bukan sekadar merumuskan materi hukum secara standar berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan menciptakan putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan pada badan produsen undang-undang, intervensi-hegemoni berdasarkan luar nir bisa diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama sang golongan yg memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah pada bidang politik telah lazim, begitu juga pada negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai waktu ini pemerintah sangat mayoritas pada dalam mewarnai politik hukum pada Indonesia.

Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian mengenai bagaimana politik mempengaruhi aturan dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yg terdapat di belakang pembuatan serta penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi rakyat yg bersangkutan, karena hal itu terdapat hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu pada suatu rakyat.

Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik aturan itu adalah produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis pada banyak sekali grup serta budaya. Ketika elit politik Islam mempunyai daya tawar yg kuat dalam hubungan politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun mempunyai peluang yg sangat besar . Begitupula kebalikannya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang menjadi hukum jika diresepsi ke dalam hukum istiadat, itu pun dalam strata ketiga sesudah hukum Eropah serta hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India). Indonesia yang adalah negara jajahan Belanda, sudah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi serta proses perkembangan sistem aturan asing ke dalam hukum warga pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan aturan Islam merupakan tuntutan berdasarkan fenomena nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam pada bidang hukum, pencerahan berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah tewas dan selalu hidup pada sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal serta hukum norma mempunyai akar bertenaga buat tampil memperlihatkan konsep aturan dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima sang siapa saja serta pada mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan semua alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun pada realitanya sudah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), serta poly dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus masalah, tetapi khusus pada bidang ekonomi masih belum adalah undang-undang negara. Oleh karenanya pelembagaan aturan Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur perkara aktivitas di bidang ekonomi syari’ah adalah suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam khususnya, dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.

Secara sosiologis, aturan merupakan refleksi dari rapikan nilai yg diyakini warga menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan aturan yg berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi warga yang tumbuh serta berkembang bukan hanya yg bersifat kekinian, melainkan jua sebagai acuan pada mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Pluralitas agama, sosial serta budaya pada Indonesia tidak cukup menjadi alasan buat membatasi implementasi aturan Islam hanya sebagai aturan keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) contohnya, aturan perbankan dan perdagangan bisa diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah pada Indonesia pada perkembangannya sudah mengalami pertumbuhan yang signifikan, tetapi banyak menyisakan perseteruan karena belum terakomodir secara baik pada regulasi formil yg dijadikan acum oleh Pengadilan Agama sebagai forum yang berwenang menuntaskan duduk perkara tadi. Hal ini wajar, mengingat belum adanya aturan subtansial pada bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. 

Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas aturan dalam batas-batas eksklusif. Pemberlakuan aturan istiadat dan aturan agama buat lingkungan tertentu dan subyek hukum eksklusif merupakan lumrah lantaran nir mungkin memaksakan satu unifikasi aturan buat beberapa bidang kehidupan. Oleh karenanya nir perlu dipersoalkan apabila terhadap subyek hukum Islam -yg melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya masuk akal jua pada hubungan famili terkadang aturan tata cara setempat lebih dominan. 

Prinsip unifikasi hukum memang wajib jadi pedoman, namun sejauh unifikasi nir mungkin, maka pluralitas aturan haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima menjadi bagian dari tatanan hukum nasional. 

Untuk memenuhi kebutuhan aturan terhadap bidang-bidang yg tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan serta kewenangan yg terdapat padanya bisa mengakui atau mempertahankan aturan yang hidup dalam warga , sekalipun itu bukan produk hukum negara, misalnya aturan istiadat yang merupakan warisan nenek moyang, aturan Islam yg bersumber menurut ajaran kepercayaan serta aturan Barat yg merupakan peninggalan kolonialis.

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional
Dari perspektif sistem aturan nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yg oleh Friedman diklaim menjadi “people attitudes” yg mengandung hal-hal seperti pada atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia merupakan suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita serta asa-harapan. Dengan unsur-unsur tadi, paham negara kesatuan bagi masyarakat Indonesia memiliki makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional adalah pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, dari Solly Lubis, pada praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik dan hukum.

Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama sudah lama diakaui eksistensinya, tetapi masih belum mempunyai kitab aturan yg dijadikan standarisasi bagi hakim pada memutus perkara selevel KUHPdt. Suatu hal yang perlu dicatat merupakan sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif juga legislatif buat merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui acara legislasi nasional itu, hukum Islam nir hanya mejadi hukum positif, namun kadar hukum itu akan menjadi bagian terbesar dari aplikasi aturan termasuk diantaranya hukum Islam yg mengatur kasus ekonomi syari’ah. 

Pendekatan yang bisa dipakai menjadi upaya mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah ke pada hukum nasional merupakan meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des rechts). Menurut teori ini berlakunya sutu hukum wajib dapat dikembalikan pada aturan yang lebih tinggi kedudukannya yakni:
  1. Ada asa hukum (rechtsidee) yg adalah norma tak berbentuk.
  2. Ada kebiasaan antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yg dipakai menjadi mediator buat mencapai keinginan.
  3. Ada norma konkrit (concrete norm), menjadi output penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan.
D. Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya merupakan peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun memiliki sumber-asal tertulis pada al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para fuqaha (doktrin fikih) dalam umumnya tidak terkodifikasi pada bentuk buku perundang-undangan yg gampang dirujuki. Oleh karenanya, hukum Islam pada Indonesia misalnya halnya jua hukum tata cara, seringkali dilihat menjadi hukum tidak tertulis pada bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yg menghendaki pemberlakuan ekonomi syari’ah menjadi hukum positif pula wajib mengupayakan politik hukum melalui proses legislasi menggunakan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yg diajukan pada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan persetujuan. Berkenaan menggunakan proses legislasi, bisa dikatakan meliputi aktivitas mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.

Mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah pada bentuk Peraturan Perundang-undangan yg baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis serta politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tadi. Moral serta etika dalam dasarnya berisi nilai-nilai yg baik serta yg jelek, sedangkan nilai yang baik adalah pandangan serta cita-cita yang dijunjung tinggi yg di dalamnya terdapat nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan dan banyak sekali nilai lainnya yang dipercaya baik. 

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya harus sinkron menggunakan keyakinan umum atau pencerahan hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yg dibentuk ditaati sang rakyat. Hukum yg dibuat harus sinkron dengan “hukum yg hayati” (the living law) pada warga , namun produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), sebab bila masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan warga wajib dapat diprediksi serta terakumulasi pada peraturan perundang-undangan yg berorientasi masa depan. 

Landasan yuridis, adalah landasan aturan (yurisdische gelding) yg menjadi dasar wewenang (bevoegdheid competentie). Dasar aturan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seseorang pejabat atau suatu badan merupakan nir berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. 

Landasan Politis, adalah garis kebijaksanaan politik yang sebagai dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan serta pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan program legislasi nasional

Kecenderungan contoh pengembangan aturan Islam di Indonesia berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yang berkembang pada luar undang-undang). Diantara ke 2 jalur tadi, kesamaan pada jalur kedua lebih poly mewarnai praktek penerapan aturan Islam pada Pengadilan Agama. Hal ini dimaklumi lantaran proses legislasi aturan Islam pada Indonesia selalu menghadapi hambatan struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem aturan Islam belum tentu beranggapan bahwa aturan Islam itu menjadi suatu sistem yg belum final, perlu dikembangkan dalam konteks hukum nasional. Sedangkan hambatan eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi aturan Islam.

Kendatipun pada prakteknya legislasi bukan adalah kesamaan, namun pengembangan aturan Islam melalui jalur legislasi-terutama yang mengatur bidang ekonomi syari’ah- permanen diperlukan karena:
  1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syari’ah sifatnya urgen terkait dengan wewenang baru Pengadilan Agama pada menuntaskan sengketa pada bidang tadi, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Juga melihat kebutuhan aturan dewasa ini, legislasi adalah tuntutan obyektif, lantaran akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti serta mengikat secara yuridis formal.
  2. Materi aturan ekonomi syari’ah merupakan merupakan hukum privat Islam bukan aturan publik, sehingga apabila bidang ini diangkat ke jalur legislasi nir akan memunculkan konflik berfokus, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yg universal dan netral.
D. Prospek Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Ranah Sistem Hukum Nasional
Mengusung hokum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk dan proses. Dalam hal subtansi sebagaimana telah dikemukakan pada depan, yakni berupa doktrin-doktrin yg terdapat dalam kitab fikih, ijtihad serta fatwa para ulama, dan putusan hakim pada bentuk yurisprudensi dan yang telah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan –khususnya KHES-, merupakan acuan yg nir bisa diabaikan. Dalam hal bentuk, yg perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya diadaptasi dengan tingkatan hirarkis perundang-undangan di negara Republik Indonesia berdasarkan Tap MPRS Nomor XXX/1966. Sedangkan pada hal proses tergantung dalam yg dipilih, karena legislasi hukum ekonomi syari’ah menjurus pada bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah serta peraturan-peraturan dibawahnya, namun demikian melihat fenomena yang ada, lahirnya undang-undang mengenai ekonomi syari’ah memiliki peluang yg relatif akbar, bebarapa hal krusial yang berpotensi sebagai faktor pendukung yakni antara lain:
  • Subtansi aturan ekonomi syariah yg established (sudah mapan), disamping sudah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang sudah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun pada dalam warga , juga ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yg sudah lama digagas oleh para ahli aturan Islam pada Indonesia.
  • Produk legislasi merupakan produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam wajib menerima dukungan bunyi dominan di lembaga pembentuk hukum dan kabar politik menampakan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas pada Indonesia, namun memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk aturan nasional yang bernuansa Islami, misalnya halnya: 
  1. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya bisa dipandang pada pasal 1 ayat (12), Pasal 6 alfabet (u), pasal 7 alfabet ©, pasal 8 ayat (1) dan ayat (dua), pasal 11 ayat (1) serta ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) huruf ©.
  2. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yg semakin memperkuat kedudukan aktivitas ekonomi syari’ah pada Indonesia.
  3. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;
  4. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat;
  5. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 mengenai Nangroe Aceh Darussalam yg memberi swatantra spesifik kepada Daerah Istimewa Aceh buat menerapkan syari’at Islam, hal ini memberitahuakn bahwa ajaran Islam sudah terimplementasi pada kehidupan sehari-hari warga Islam. 
  6. Lahirnya UU No. Tiga Tahun 2006 menjadi hasil amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yg memberikan wewenang baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Dalam perjalanannya amandemen undang-undang ini nir menemui kendala yg berarti dibandingkan menggunakan lahirnya undang-undang sebelumnya.
  7. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Diharapkan menjadi kran pembuka terhadap Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.
  8. Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 dalam lepas 10 September 2008 mengenai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, meskipun ketika ini kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan bisa diperjuangkan melalui jalur legislasi menjadi buku undang-undang.
  • Selain yang berbentuk peraturan perundang-undangan pula berbentuk fatwa-fatwa para ulama yg diterbitkan sang Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Fatwa-fatwa tersebut sebagai dasar aplikasi aktivitas dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah. Tetapi demikian fatwa-fatwa di atas belum mengakomodir semua item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Juga perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil saja berdasarkan fatwa-fatwa tersebut yg sudah terserap dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
  • 3) Materi aturan yg hendak diusung ke jalur legislasi meliputi hukum privat yg bersifat universal serta netral sebagai akibatnya nir memancing sentimen kepercayaan lain. Kemungkinan besar nir akan mengakibatkan gejolak sosial yg cost-nya sangat mahal.
  • Sistem politik Indonesia menaruh peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi buat melegislasikan hukum Islam.
  • Pada tataran yuridis konstitusional, dari Sila Pertama Pancasila serta Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, hukum Islam merupakan bagian dari aturan nasional serta harus ditampung pada pembinaan aturan nasional, serta sejalan dengan program legislasi nasional.
Dibalik peluang legislasi yang terbuka lebar, ada beberapa tantangan yg perlu diantisipasi yakni:
  1. Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yg sebagian menolak gagasan legislasi.
  2. Perbedaan pendapat pada kalangan intern Islam mengenai subtansi hukum (ekonomi syari’ah) yang yang akan diundangkan kemungkinan terdapat ikhtilafi (ada disparitas pendapat).
  3. Adanya resistensi menurut kalangan non muslim yang menduga legislasi aturan Islam “ekonomi syari’ah” di Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai warga negara kelas 2) dan ini jua dipicu sang sikap serta pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yg justru kontra produktif bagi perjuangan aturan Islam.
Hukum ekonomi syari’ah yang diusung ke jalur legislasi pada bentuk kitab atau buku undang-undang yang tersusun rapi, simpel serta sistematis bukan hanya berasal berdasarkan satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih dan di-tarjih (menguatkan galat satu menurut beberapa pendapat madzhab) menurut aneka macam pendapat madzhab fikih yg lebih sinkron dengan syarat dan kemaslahatan yg menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan perilaku ta’assub (fanatik) madzhab, seperti fikih madzhab Hanafi yg digunakan pada kerajaan Turki dalam tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yang dipakai pada daerah Mesir dan Suriah dan fikih madzhab Imam Malik yg digunakan di Irak.

E. Aspek Positif dan Aspek Negatif Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
a. Aspek-aspek Positif:
Selanjutnya perlu dikemukakan kelebihan serta kelemahan aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Algra serta Duyyendijk kelebihan menurut bentuk perundang-undangan dibandingkan menggunakan norma-kebiasaan lain merupakan:
1) Tingkat prediktibilitasnya tinggi. Adanya citra hukum secara niscaya sebelum suatu perbuatan itu dilakukan warga , sehingga sudah mampu diprediksi akibat hukumnya.
2) Perundang-undangan pula memberikan kepastian tentang nilai yg dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibentuk, maka sebagai pasti juga nilai yang hendak dilindungi sang peraturan tersebut. Oleh karenanya orang nir perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak. 

Sedangkan menurut ulama fikih, sisi positif aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan diantaranya:
  1. Memudahkan para praktisi aturan buat merujuk hukum sinkron menggunakan keinginannya. Kitab-kitab fikih yang beredar di global Islam penuh dengan disparitas pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah, para hakim / praktisi hukum nir perlu lagi mentarjih aneka macam pendapat pada literatur fikih.
  2. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh menggunakan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi jua perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yg sama, sehingga sulit buat menentukan pendapat terkuat menurut sekian poly pendapat dalam satu madzhab. Keadaan misalnya ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang umum ) buat menentukan aturan yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yg berperkara tadi bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sebagai akibatnya hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yg sinkron dengan pendapat yang bertenaga akan lebih mudah dan mudah dirujuk oleh para hakim, apalagi pada zaman terkini ini para hakim dalam umumnya belum memenuhi kondisi-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan sang ulama.
  3. Menghindari perilaku taqlid madzhab di kalangan praktisi hukum, yang selama ini menjadi hambatan pada lembaga-forum aturan.
  4. Menciptakan unifikasi hukum bagi forum-lembaga peradilan. Jika hukum pada suatu negara nir hanya satu, maka akan timbul perbedaan keputusan antara satu peradilan dengan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi pula mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya.
b. Aspek-aspek Negatif: 
Di samping sisi positif juga kelebihan-kelebihan pada atas, aturan Islam pada bentuk perundang-undangan pula mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana dikemukakan sang Satjipto Rahardjo antara lain:
1) Norma-normanya sebagai kaku.
2) Mengabaikan perbedaan-disparitas atau karakteristik-ciri spesifik yang nir bisa disamaratakan begitu saja. 

Selain itu, buat mengganti hukum yg berbentuk perundang-undangan memerlukan rapikan cara tertentu, sehingga membutuhkan waktu, porto dan persiapan yg nir kecil. 

Sedangkan menurut Ibnu al-Muqaffa sisi negatif pelembagaan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Munculnya kekakuan aturan, sedangkan insan dengan segala dilema kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini tak jarang nir diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam duduk perkara ini ulama fikih menyatakan,”Hukum sanggup terbatas, sedangkan perkara yg terjadi nir terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam nir dimaksudkan berlaku sepanjang masa, namun hanya buat menjawab masalah yang timbul dalam suatu kondisi, masa, serta tempat eksklusif. Oleh karenanya, hukum senantiasa perlu diadaptasi dengan syarat, loka, zaman yang lain. Tidak sporadis ditemukan bahwa peristiwa yg menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan menggunakan aturan itu sendiri. Oleh karena itu. Adanya undang-undang bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
  2. Mandegnya upaya ijtihad. 
  3. Munculnya dilema taklid baru. 
c. Menakar Aspek Positif serta Aspek Negatif 
Menganalisa sisi positif dan sisi negatif, kekuatan serta kelemahan bentuk perundang-undangan menurut aturan Islam yang mengatur mengenai ekonomi syari’ah, maka dengan memperhatikan syarat yg berkembang pada Pengadilan Agama serta tradisi aturan yang dianut sang negara Indonesia, maka dari irit penulis, pelembagaan aturan ekonomi syari’ah pada bentuk perundang-undangan tetap merupakan pilihan tepat.

Kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah tidak perlu diperdebatkan, keberadaannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat terutama pelaku bisnis syariah, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan menjadi landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan konkurensi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagaimana teori kontrak social, maka diharapkan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya lantaran berhubungan dengan ketertiban umum pada pelaksanaannya.

Adapun pembentukan undang-undang yang mengatur kegiatan pada bidang ekonomi syari’ah yang akan datang berdasarkan ekonomis penulis, seharusnya mempertimbangkan:
1. Mendahulukan pengaturan aspek-aspek ekonomi syari’ah yg bersifat lex generalis menggunakan alasan kebutuhan terhadap undang-undang yang mengatur kasus ekonomi syari’ah sifatnya urgen, lantaran dasar aturan yg digunakan saat ini, baik oleh para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah maupun Hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah merupakan KHES atau fikih muamalah. 
2. Dalam penyusunan undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah –disamping mengakibatkan KHES sebagai acuan primer- pula perlu mempertimbangkan beberapa fatwa yang sudah diterbitkan sang DSN, baik yg terserap pada PBI dan SEBI juga yang tidak terserap, karena telah konkret bahwa lahirnya fatwa-fatwa pada atas merupakan sebagai respon menurut beberapa konflik riil yang dimintakan fatwa berkenaan dengan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yg tengah berjalan. 
3. Perlu jua mempertimbangkan pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) pada menyelesaikan sengketa antara bank syari’ah dan nasabahnya, hal ini nantinya dapat dijadikan acuan dan masukan bagi Peradilan Agama pada merampungkan sengketa ekonomi syari’ah pada masa depan. Melihat masalah-kasus arbitrase syari’ah yang diajukan ke BASYARNAS, tampak dengan kentara bahwa masalah inti merupakan kontrak antara penyedia dana menjadi investor, bank sebagai pengelola dana, serta nasabah menjadi pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus jua sebagai pengelola dana pada satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana pada pihak lain. Kontrak yg paling generik dilakukan merupakan akad mudharabah, akad musyarakah, akad murabahah serta lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fikih aneka macam madzhab. Dalam penyelesaian konkurensi, BASYARNAS memakai 2 aturan yg tidak selaras, yaitu aturan Islam sebagaimana diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal KUHPerdata (khususnya mengenai perjanjian). Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syari’ah secara spesifik serta ekonomi syari’ah secara generik.
4. Disampng KHES, -buat penyempurnaan- perlu pula mempertimbangkan serta mengkomparasikan dengan Pasal-pasal dalam KUHD dan KUHPerdata khususnya yg berkenaan dengan perjanjian, karena:
a) Pasal-pasal tersebut selama ini sudah lazim pada gunakan dasar untuk mengadakan kontrak di bidang ekonomi di Indonesia, seperti jual beli, sewa menyewa perjanjian kerja, perjanjian bisnis dalam bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruiklening), peminjaman dengan bagi output, perjanjian pertanggungan (asuransi), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yg merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama misalnya disebut pada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta perjanjian-perjanjian lain menggunakan nama apapun jua, atau bahkan tanpa nama, bila kaum muslimin menghendaki, maka melalui asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa sepenuhnya melakukannya berdasarkan ajaran-ajaran dan akhlak Islam, sebagai akibatnya seluruh perbuatannya tadi akan tunduk pada serta terhadapnya berlaku aturan Islam. Dengan demikian, maka praktis dalam seluruh kehidupan keperdataan atau muamalah, bagi umat Islam pada Indonesia sudah bisa diberlakukan hukum Islam, asalkan mereka menghendaki.

Seperti halnya dinyatakan pada pasal 1338 KUH Perdata yg menganut asas kebebasan berkontrak, ini berarti setiap individu anggota rakyat bebas membuat atau mengikat perjanjian menggunakan individu anggota mayarakat lain berdasarkan kehendaknya, sepanjang sesuai menggunakan undang-undang dan nir bertentangan menggunakan ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal tersebut pula tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Bahkan lebih berdasarkan itu, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yg membuatnya. Dari ketentuan pasal tadi, semua pakar aturan putusan bulat menyimpulkan bahwa pada hal hukum perjanjian, hukum positif (aturan yang berlaku) pada Indonesia menganut system “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas buat menciptakan perjanjian apa dan bagaimanapun pula, sepanjang pembuatannya dilakukan sinkron menggunakan undang-undang serta isinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta atau kesusilaan. Tetapi yang perlu mendapat stressing pada sini adalah aspek syariat yg menyangkut etika transaksi dan pemahaman batasan-batasan syariat yang mencakup rukun dan syarat-syarat akad yang masih ada pada asas-asas kontrak menurut hukun Islam yg mungkin pada penerapannya berbeda dengan kitab undang-undang hukum pidana.

Asas aturan ini pada keadaan bagaimanapun nir mungkin dihilangkan berdasarkan tatanan hidup umat insan pada masyarakat yg beradab, lantaran kebebasan individu merupakan merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak suatu kekuasaanpun, termasuk kekuasaan negara berhak mencabutnya. Asas kebebasan berkontrak di dalam kegiatan keperdataan tersebut sangat sinkron menggunakan pengertian “ibadah muamalah”.

Dengan kelarnya undang-undang yang mengatur ekonomi syari’ah, maka tidaklah mustahil, dalam masa-masa mendatang engkau muslimin Indonesia dalam menjalankan aktivitas usaha mereka pada segala bidang keperdataan, akan membuahkan undang-undang tadi menjadi landasannya. Masalahnya adalah sederhana, mereka ingin supaya semua kegiatan hayati mereka, sinkron dengan rasa keimanan serta keyakinannya, hal ini tidak bertentangan menggunakan jiwa Pancasila.