TEORI ASAL USUL NEGARA

Cara flexi---Warga belajar dan anak didik sekalian, pada pembahasan materi Pelajaran PKn dan Tatanegara kita seringkali menyinggung masalah Negara. Apa itu negara?, kemaren sudah kita bahas bersama mengenai pengertian dan konsep negara termasuk konsep atau definisi negara yang pernah diutarakan sang para pakar (Konsep dan Definisi Negara sang para ahli serta ahli lihat pada sini !!). 

Istilah negara, bangsa, dan rakyat kerap kali kita dengar dari ucapan seorang pejabat pemerintah atau orang-orang yang mengurusi pembangunan negara kita, secara eksklusif atau melalui media elektronik maupun cetak. Namun, kata-istilah tadi tidak gampang kita pahami menggunakan baik. Sering terjadi kerancuan dalam menafsirkan yg berakibat dalam kesalahan penerapan dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh karena itu, Anda menjadi masyarakat negara, warga bangsa dan warga masyarakat berkewajiban, memahami konsep-konsep tersebut.

Asal mula terjadinya negara dibagi menjadi dua yaitu; 1) Secara Primer atau Asal mula terjadinya negara dari pendekatan teoritis, serta dua) Secara Sekunder atau Asal mula terjadinya negara berdasarkan informasi.

1. Secara Primer

Terjadinya negara secara primer adalah bertahap yaitu dimulai dari adanya masyarakat hukum yang paling sederhana, lalu berevolusi ketingkat yg lebih maju serta nir dihubungkan dengan negara yang sudah terdapat sebelumnya. Dengan demikian terjadinya negara secara utama merupakan membahas dari mula terjadinya negara yang pertama di dunia.

Menurut G. Jellinek, terjadinya negara secara utama melalui 4 tahapan (Fase) yaitu :
    • Fase Persekutuan insan.
    • Fase Kerajaan.
    • Fase Negara.
    • Fase Negara demokrasi dan Diktatur.


2. Secara Sekunder

Terjadinya negara secara sekunder merupakan membahas terjadinya negara baru yang dihubungkan dengan negara lain yg sudah ada sebelumnya, berkaitan menggunakan hal tersebut maka pengakuan negara lain pada teori sekunder adalah unsur penting berdirinya suatu negara baru.
Untuk mengetahui terjadinya negara baru bisa memakai pendekatan faktual yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada fenomena serta pengalaman sejarah yang benar–benar terjadi.

Menurut fenomena sejarah, terjadinya suatu negara lantaran :

a. Penaklukan/Pendudukan (Occupasi).
Suatu wilayah belum ada yang menguasai lalu diduduki oleh suatu bangsa. Contoh : Liberia diduduki budak–budak negro yg dimerdekakan tahun 1847.

b. Pelepasan diri (Proklamasi).
Suatu daerah yg semula termasuk daerah negara tertentu melepaskan diri dan menyatakan kemerdekaannya. Contoh : Belgia melepaskan diri dari Belanda tahun 1839, Indonesia tahun 1945, Pakistan tahun 1947 (semula wilayah Hindustan), Banglades tahun 1971 (semula wilayah Pakistan), Papua Nugini tahun1975 (semula wilayah Australia), tiga negara Baltik (Latvia, Estonia, Lituania) melepaskan diri berdasarkan Uni Soviet tahun 1991, dsb.C. Peleburan sebagai satu (Fusi). Beberapa negara mengadakan peleburan sebagai satu negara baru. Contoh : Kerajaan Jerman (1871), Vietnam (1975), Jerman (1990), dsb.

d. Pencaplokan / Penguasaan ( Anexatie )
Suatu negara berdiri di suatu wilayah yang dikuasai ( dicaplok ) sang bangsa lain tanpa reaksi berarti. Contoh: negara Israel saat dibuat tahun 1948 poly mencaplok daerah Palestina, Suriah, Yordania dan Mesir.

e. Pelenyapan serta pembentukan negara baru.
Suatu negara pecah dan lenyap, kemudian diatas wilayah itu timbul negara baru.
Contoh : Jerman sebagai Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1945.

f. Fusi – Peleburan 
dua negara atau lebih serta membangun sebagai 1 negara.

g. Acessie – Penarikan
Bertambahnya suatu daerah lantaran proses pelumpuran laut dalam kurun saat yg usang serta dihuni oleh grup.

h. Cessie – Penyerahan
Sebuah daerah diserahkan pada Negara lain dari perjanjian.

i. Inovasi
Suatu Negara pecah, kemudian lenyap dan memunculkan Negara baru pada atasnya.

j. Separasi 
Suatu daerah yang semula adalah bagian dari negara eksklusif, kemudian memisahkan diri menurut negara induknya serta menyatakan kemerdekaan. Contoh: Belgia dalam tahun 1839 melepaskan diri dari Belanda


Di aneka macam kitab dan literatur poly teori mengenai asal usul negara pada antaranya akan dijelaskan secara singkat menjadi berikut :

1. Teori Ketuhanan

Teroi ini menganggap bahwa terjadinya negara memang telah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Anggapan ini berawal dari deteminisme religius, yaitu segala sesuatu yg terjadi ini sudah takdir Allah. Misalnya, Anda bisa membaca Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 atas berkat rahmat Allah...serta seterusnya.


2. Teori Kenyataan

Teori ini menganggap bahwa negara itu timbul karena kenyataan, merupakan berdasarkan kondisi-syarat eksklusif yang sudah dipenuhi, contohnya adanya pemerintahan, daerah, penduduk serta pengakuan menurut dalam serta luar.


3. Teori Perjanjian atau kontrak sosial

Teroi ini mengenganggap negara itu terbentuk menurut perjanjian beserta. Perjanjian ini bisa antar-individu yang bersepakat mendirikan suatu negara ataupun perjanjian antar-individu yg menjajah dengan yang dijajah.


4. Teori Penaklukan

Teori ini menganggap negara itu ada karena adanya grup manusia mengalahkan gerombolan manusia yg lain. Dengan demikian, pembentukan negara dapat terjadi lantaran proklamasi, peleburan dan dominasi atau pemberontakan (Kansil, 1985: 2-tiga). Teori ini juga diklaim teori kekuatan (force theory) karena dalam teori ini kekuatan menciptakan aturan, serta kekuatan itu sendiri adalah pembenaran atau raison d'etic-nya negara


5. Teori Alamiah

Teori ini menduga bahwa negara merupakan ciptaan alam karena insan dipercaya menjadi makhluk sosial dan sekaligus makhluk politik. Oleh karenanya, manusia ditakdirkan untuk hayati bernegara. Jadi dalam situasi dan syarat loka yang terdapat, negara terbentuk dengan sendirinya.


6. Teori Filosofis

Teori filosofis ini jua dikenal sebagai teori idealistis, teori absolut, teori  metafisis. Teori ini bersifat filosofis lantaran merupakan renungan-renungan tentang negara dan bagaimana negara itu seharusnya ada. Bersifat idelis karena adalah pemikiran tentang negara sebagaimana negara itu seharusnya ada, "Negara menjadi ide" bersifat absolut lantaran melihat negara sebagai suatu kesatuan yg omnipetent dan omnikompeten. Bersifat metafisis lantaran adanya negara terlepas dari individu yang menjadi bagian menurut bangsa. Negara memiliki atau mempunyai kemauan sendiri, kepentingan sendiri, serta nilai moral sendiri.


7. Teori Historis

Teori ini menduga bahwa forum-forum sosial tidak dibentuk, namun ada secara evolusioner sinkron dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Olaeh karena itu, forum-lembaga sosial kenegaraan itu ditentukan oleh situasi dan syarat berdasarkan lingkungan setempat, ketika, dna tuntutan zaman sehingga secara historis berkembang menjadi negara-negara misalnya yang kita lihat sekarang ini.


8. Teori Organis

Teori ini menganggap bahwa negara sebagai insan. Pemerintah dianggap menjadi tulang, undang-undang dianggap menjadi syaraf, ketua negara dipercaya sebagai kepala, rakyat dipercaya sebagai daging. Dengan demikian, negara itu lahir, tumbuh, serta berkembang kemudian meninggal.



9. Teori Patrilineal dan Matrilineal

Teori Partilineal serta Matrilineal ini menganggap bahwa negara itu ada menurut perkembangan grup famili yang dikuasai oleh garis keturunan Ayah (patrilineal) atau garis keturunan ibu (matrilineal). Keluarga tersebut terus berkembang dari garis keturunan yang ada dan sebagai benih-benih negara sampai terbentuknya pemerintahan yg terdesentralisasi.


10. Teori Kedaluwarsa

Teori Kedaluwarsa menganggap bahwa negara terbentuk karena memang kekuasaan raja (diterima atau ditolah oleh rakyat) sudah kedaluwarsa mempunyai kerajaan (telah lama memiliki kekuasaan) serta dalam akhirnya sebagai hak milik oleh karena norma. Menurut teori ini, raja bertahta bukan lantaran jure devino (kekuasaan berdasarkan hak-hak ketuhanan), namun dari kebiasaan jure consetudinarjo. Laju dan organisasinya yaitu negara kerajaan ada karena adanya milik yang sudah lama yang kemudian melahirkan hak milik. Raja bertahta sang karena hak milik itu yang didasarkan dalam hukum kebiasaan.


Dari semua teori berasal usul negara tersebut, terlihat jelas bahwa masing-masing teori memiliki konsepsi dasar sesuai menggunakan angapan dan pandangannya sendiri. Pada dasarnya Negara itu mempunyai sifat-sifat spesifik sebagai manisfestasi dari kedaultan yg dimilikinya. Umumnya setiap negara mempunyai sifat memaksa, sifat monopoli dan sifat mencakup semua.

Demikianlah mengenai teori dan berasal usul negara, semoga berguna buat menambah ilmu pengetahuan kita dan menjadi bahan belajar baik pada mata pelajaran PKn ataupun Ketatanegaraan. Terimakasih.

ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat menggunakan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi serta pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yang konsisten dan langgeng untuk setiap persoalan yg dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu masyarakat. Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seseorang aktor, yg biasa diklaim “Negara. Kedekatan antara “Teori” dengan “Strategi” itu, lebih ditimbulkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” menjadi masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh menurut keprihatinan terhadap negara-negara ndeso, menggunakan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada warga itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Namun secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” berdasarkan dalam ilmu sosial umumnya.

Tetapi dalam perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” dengan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan menciptakan perbedaan yang lebih kentara serta bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yg akan dimiliki oleh berbagai teori dan kiprah apa yang bisa dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan sekarang ini, yg selama satu dekade lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik pada teori pembangunan juga pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi perkara pembangunan yang relatif tidak sinkron. Satu aspek penting berdasarkan adanya krisis ini, berkait menggunakan peran negara, apakah negara adalah bagian menurut kasus atau bagian berdasarkan solusi, atau bahkan keduanya. Jadi galat satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, adalah menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai sang derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat menggunakan nasib taktik pembangunan nasional. Bagi dunia ke-3 (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, tetapi transformasi menurut model pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi masalah yang sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan mengenai teori pembangunan sudah membentuk beberapa sumbangan yg bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Tetapi persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan perkara keterbelakangan selama 3 dekade sudah mengakibatkan teori pembangunan juga relevan bagi dunia maju. Apakah usaha yg terkini guna menerapkan teori pembangunan pada problem pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yang selama kurun ketika panjang sudah menjadi contoh bagi negara-negara “ndeso”, sudah mencapai batas contoh aliran terbesar. Bagaimana contoh ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yg tergambar pada latar belakang di atas, maka perumusan perkara pada makalah ini bisa diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana efek globalisasi teori pembangunan global terhadap taktik pembangunan nasional di Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh memuncaknya krisis serta runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yg termuat pada proposal TEIB dan laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 dan 1983) mensyaratkan pendekatan “satu global-satu sistem”. Jadi istilah kunci pada laporan Brandt, merupakan ketergantungan satu sama lain, yg mengandung teori dan strategi. Teorinya merupakan, bahwa dunia yg saling tergantung mengusahakan perdamaian serta pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan lembaga internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah terdapat semenjak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah warga yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi dan mencukupi diri sendiri ke dalam sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses ekspansi ini memiliki dua dimensi, yaitu: perluasan geografis dan pendalaman negara pusat dalam membarui arena eksternal yang besar sebagai wilayah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci pada menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di global, pada mana negara pusat mengambil peranan sebagai produsen industri, sementara kawasan pinggiran diberi kiprah sebagai produser pertanian. Ini merupakan kriteria yang krusial bagi status semi-pinggiran, apabila dibandingkan menggunakan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yang kuat dan ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem dunia sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan dan memprakarsai proses pembangunan yg mandiri pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga menaruh nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka senang atau nir, tetap adalah bagian menurut “sistem” serta bahwa benar-benar ada “kemungkinan transformasi yg terbatas pada perekonomian global kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem global, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengganti posisi struktural berdasarkan pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yang secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Karena itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan dunia yang sosialis, sebuah prospek yang memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural terbaru meliputi poly kasus dan taraf analisis. Dalam hal eksklusif, pendekatan ini dapat dianggap menjadi dualisme dalam tingkat dunia karena ciri yang paling menonjol dalam sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi di satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah dari suatu struktur internasional ke struktur transnasional yang sangat konsisten dan dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang muncul, terdiri dari orang-orang menurut aneka macam bangsa tetapi menggunakan nilai dan gagasan, serta pola perilaku yg sama. Di sisi lain dalam struktur dunia ganda ini, warga nasional sebagai penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yg kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi serta pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan dan otoritarianisme yg bisa ditinjau pada negara maju juga pada negara kurang pandai. Tetapi dalam saat yang sama, masyarakat nasional membentuk sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu taktik pembangunan memiliki 2 komponen, yaitu tujuan (pembangunan) dan indera (taktik). Adapun teori pembangunan terbaru semenjak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) terdapat asumsi, bahwa pembangunan adalah suatu proses yg bisa dikendalikan dan dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang sudah mengungkapkan, mengapa pembangunan sebagai konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar aliran. Interpretasi teoritis tentang pembangunan dunia tergantung pada bagaimana cara orang memandang kenyataan realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB maupun Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya memahami dunia menjadi sistem tunggal serta lantaran itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, artinya agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung dalam strategi pembangunan, terkait erat dengan negara sebagai aktor secara umum dikuasai.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri pada dunia, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yang sanggup mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar dari depresi. Sementara itu, ada konvensi yg berkembang di antara negara-negara pada global ketiga mengenai perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal diharapkan pada daerah miskin berkembang karena sama cepatnya di antara agen pembangunan di negara-negara maju. Namun persoalan primer TEIB, seperti halnya dengan semua strategi dunia, bahwa dia adalah taktik tanpa aktor yang jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi untuk strategi pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin dunia berfungsi sebagai pengangguran, karena mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yang didapatkan sang negara-negara industri. Dengan demikian masalah ekonomi negara industri jua akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya harus beranjak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan global kaya, yang merupakan taktik TEIB serta usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, beragam tanggapan yg ada sinkron menggunakan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Bagi para pendukung pembangunan yang tidak tergabung pada grup kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari impak ekologis kapitalisme global dan kesulitan institusional buat menaikkan produksi global dalam memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan menciptakan keraguan mengenai kelangsungan taktik yang menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam strategi pembangunan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang menggunakan pertanda-pertanda pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan pada periode krisis menggunakan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan buat memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, taktik ini menekankan dalam sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan primer, yg berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut strategi ini hegemoni negara merupakan hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, taktik ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) di sektor pertanian, menjadi alat buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu strategi yg dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan dan kekayaan, serta tingkat partisipasi tinggi sebagi indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yang katakan sang Griffin dapat menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yang ditawarkan oleh Griffin dapat sebagai strategi alternatif bagi pemerintah Indonesia yg dalam ketika ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan dimensi situasi serta syarat yg melingkupi negara yang akan memakai strategi ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya kembali lagi pada keberanian dan konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan strategi ini. Karena biasanya yg paling rumit serta memilih apakah suatu alternatif cara serta pendekatan pemecahan masalah dipilih dan digunakan terletak pada mekanisme ini. 

Secara sederhana Enam taktik yg ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya menjadi berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan dalam peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri serta interaksi eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital dalam bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi dalam pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan utama.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai dari redistribusi pendapatan dan kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan dalam kiprah negara dalam pembangunan, mulai berdasarkan statisme hingga ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun berdasarkan Wallerstein, pada prinsipnya dalam teori sistem dunia hanya terdapat 3 taktik, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini merupakan taktik klasik, yang melibatkan tindakan agresif negara untuk mentransformasikan struktur keunggulan komparatif menggunakan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik kenaikan pangkat dengan mengundang didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada, seperti taraf upah yang rendah serta keterbukaan umum; (c) taktik kemandirian yang berorientasi ke pada, namun pada konteks sistem global sekarang ini, strategi ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu dapat dijelaskan pada bentuk tabel menjadi berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor buat menanamkan investasi-nya, seperti tingkat upah yang rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yang berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam tingkat egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yg tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis serta liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan interaksi yg radikal juga konservatif, misalnya telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yang tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yg tinggi,
c)Tidak mengenal strata pada rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh dunia luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan dunia interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme serta egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan pada ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia bisnis,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian tetapi mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari global luar & terbatas dalam menghasilkan barang,
b)Masyarakat pada-sebaiknya berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan warga pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor lebih banyak didominasi yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa taktik pembangunan yang telah dikemukakan sang para ahli teori pembangunan itu, bagi Indonesia strategi pembangunan yang telah ditempuh selama ini sudah mencerminkan maksud serta tujuan berdasarkan pembangunan itu. Tetapi pada prakteknya sudah terjadi bias, sehingga esensi yg sebenarnya menurut pembangunan itu sendiri nir terwujudkan. Apabila hakekat pembangunan itu, merupakan perbaikan kehidupan masyarakat yg lebih baik (berdasarkan tradisional ke terbaru), maka intinya bagaimana cara membentuk manusia yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yg lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yang dimaksud ternyata sudah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat dengan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi dan pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yg konsisten dan langgeng buat setiap dilema yang dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu warga . Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seorang aktor, yang biasa disebut “Negara. Kedekatan antara “Teori” menggunakan “Strategi” itu, lebih disebabkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” sebagai masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh berdasarkan keprihatinan terhadap negara-negara udik, dengan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada masyarakat itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Tetapi secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” dari pada ilmu sosial umumnya.

Tetapi pada perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” menggunakan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan membuat disparitas yang lebih kentara dan bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yang akan dimiliki sang banyak sekali teori dan kiprah apa yg dapat dimainkan sang para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan kini ini, yang selama satu dasa warsa lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik dalam teori pembangunan maupun pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi masalah pembangunan yang relatif tidak sama. Satu aspek krusial menurut adanya krisis ini, berkait menggunakan kiprah negara, apakah negara merupakan bagian menurut kasus atau bagian menurut solusi, atau bahkan keduanya. Jadi keliru satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, merupakan menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai oleh derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat dengan nasib strategi pembangunan nasional. Bagi dunia ke-tiga (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, namun transformasi dari contoh pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi persoalan yg sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan tentang teori pembangunan sudah menghasilkan beberapa sumbangan yang bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Namun persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan kasus keterbelakangan selama tiga dasa warsa sudah berakibat teori pembangunan pula relevan bagi global maju. Apakah bisnis yang terkini guna menerapkan teori pembangunan dalam persoalan pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yg selama kurun saat panjang telah sebagai contoh bagi negara-negara “bodoh”, telah mencapai batas contoh genre terbesar. Bagaimana model ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yang tergambar dalam latar belakang di atas, maka perumusan kasus pada makalah ini dapat diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh globalisasi teori pembangunan dunia terhadap taktik pembangunan nasional pada Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, dalam dasarnya dilatarbelakangi sang memuncaknya krisis dan runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yang termuat dalam proposal TEIB serta laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 serta 1983) mensyaratkan pendekatan “satu dunia-satu sistem”. Jadi istilah kunci dalam laporan Brandt, adalah ketergantungan satu sama lain, yang mengandung teori serta taktik. Teorinya merupakan, bahwa global yg saling tergantung mengusahakan perdamaian dan pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan forum internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah ada sejak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah rakyat yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi serta mencukupi diri sendiri ke pada sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses perluasan ini mempunyai dua dimensi, yaitu: perluasan geografis serta pendalaman negara pusat dalam mengganti arena eksternal yg besar menjadi daerah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci dalam menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di dunia, pada mana negara pusat merogoh peranan menjadi penghasil industri, sementara daerah pinggiran diberi peran menjadi produser pertanian. Ini merupakan kriteria yg penting bagi status semi-pinggiran, bila dibandingkan dengan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yg kuat serta ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem global sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan serta memprakarsai proses pembangunan yg berdikari pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga memberikan nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka suka atau nir, tetap merupakan bagian berdasarkan “sistem” dan bahwa sungguh ada “kemungkinan transformasi yang terbatas dalam perekonomian dunia kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem dunia, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengubah posisi struktural menurut pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yg secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Lantaran itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan global yang sosialis, sebuah prospek yg memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural modern meliputi banyak perkara serta taraf analisis. Dalam hal tertentu, pendekatan ini bisa dipercaya menjadi dualisme pada tingkat dunia karena karakteristik yang paling menonjol pada sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi pada satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah berdasarkan suatu struktur internasional ke struktur transnasional yg sangat konsisten serta dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang timbul, terdiri berdasarkan orang-orang menurut banyak sekali bangsa namun dengan nilai serta gagasan, dan pola konduite yg sama. Di sisi lain pada struktur global ganda ini, masyarakat nasional menjadi penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yang kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi dan pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan serta otoritarianisme yg dapat dilihat di negara maju maupun pada negara terbelakang. Tetapi pada ketika yg sama, warga nasional membuat sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu strategi pembangunan memiliki dua komponen, yaitu tujuan (pembangunan) serta indera (strategi). Adapun teori pembangunan modern sejak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) ada anggapan, bahwa pembangunan adalah suatu proses yang dapat dikendalikan serta dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang telah mengungkapkan, mengapa pembangunan menjadi konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar genre. Interpretasi teoritis mengenai pembangunan global tergantung dalam bagaimana cara orang memandang fenomena realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB juga Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya tahu global menjadi sistem tunggal serta karena itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, ialah agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung pada taktik pembangunan, terkait erat dengan negara menjadi aktor dominan.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri di global, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yg mampu mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar berdasarkan depresi. Sementara itu, timbul konvensi yg berkembang pada antara negara-negara pada dunia ketiga tentang perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal dibutuhkan pada daerah miskin berkembang lantaran sama cepatnya di antara agen pembangunan pada negara-negara maju. Tetapi masalah utama TEIB, seperti halnya dengan seluruh taktik global, bahwa beliau adalah taktik tanpa aktor yg jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi buat taktik pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin global berfungsi menjadi pengangguran, sebab mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yg dihasilkan sang negara-negara industri. Dengan demikian kasus ekonomi negara industri pula akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya wajib bergerak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan dunia kaya, yang adalah taktik TEIB dan usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, majemuk tanggapan yg ada sinkron dengan ideologi pembangunan yg bhineka. Bagi para pendukung pembangunan yg nir tergabung pada gerombolan kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari imbas ekologis kapitalisme dunia serta kesulitan institusional buat menaikkan produksi global pada memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga dalam akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan membentuk keraguan mengenai kelangsungan taktik yg menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam taktik pembangunan dapat dipakai menjadi bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang dengan pertanda-indikasi pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan dalam periode krisis dengan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan untuk memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya sebagai mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, strategi ini menekankan dalam sektor manufaktur sebagai sumber pertumbuhan utama, yang berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut taktik ini intervensi negara adalah hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, strategi ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) pada sektor pertanian, menjadi indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu taktik yg dimulai dari redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan taraf partisipasi tinggi sebagi alat untuk memobilisasi rakyat dalam proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yg katakan oleh Griffin bisa menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yg ditawarkan oleh Griffin dapat menjadi strategi cara lain bagi pemerintah Indonesia yang dalam saat ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa menggunakan memperhatikan dimensi situasi serta kondisi yg melingkupi negara yang akan memakai taktik ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya pulang lagi dalam keberanian serta konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan taktik ini. Lantaran biasanya yg paling rumit serta menentukan apakah suatu cara lain cara dan pendekatan pemecahan perkara dipilih dan dipakai terletak dalam prosedur ini. 

Secara sederhana Enam taktik yang ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya sebagai berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan pada peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri dan hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital pada bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-tumbuhan ekonomi nasional melalui sektor manufaktur sebagai asal pertumbuhan primer.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai alat buat memobilisasi warga pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan pada peran negara pada pembangunan, mulai berdasarkan statisme sampai ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun dari Wallerstein, dalam prinsipnya pada teori sistem global hanya ada 3 strategi, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini adalah strategi klasik, yg melibatkan tindakan militan negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif dengan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik promosi menggunakan mengundang berdasarkan dalam keunggulan komparatif yg terdapat, misalnya tingkat upah yang rendah dan keterbukaan umum; (c) strategi kemandirian yg berorientasi ke pada, namun dalam konteks sistem global kini ini, taktik ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu bisa dijelaskan pada bentuk tabel sebagai berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor untuk menanamkan investasi-nya, misalnya tingkat upah yg rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yg berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-tanaman ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam taraf egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yang tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis dan liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan hubungan yg radikal maupun ortodok, seperti telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yg tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yang tinggi,
c)Tidak mengenal strata dalam rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh global luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan global interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme dan egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan di ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia usaha,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian namun mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari dunia luar & terbatas dalam memproduksi barang,
b)Masyarakat di-usahakan berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan rakyat pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor secara umum dikuasai yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa strategi pembangunan yang sudah dikemukakan sang para pakar teori pembangunan itu, bagi Indonesia taktik pembangunan yg sudah ditempuh selama ini telah mencerminkan maksud serta tujuan dari pembangunan itu. Namun dalam prakteknya telah terjadi bias, sebagai akibatnya esensi yang sebenarnya dari pembangunan itu sendiri tidak terwujudkan. Jika hakekat pembangunan itu, adalah pemugaran kehidupan warga yang lebih baik (menurut tradisional ke terkini), maka pada dasarnya bagaimana cara membangun insan yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yang lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yg dimaksud ternyata telah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.