SEJARAH PANCASILA


Padatanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945 buat merumuskan falsafah dasar negara baginegara Indonesia. Selama empat hari bersidang ada 3 puluh tiga pembicara.pada hari keempat, Soekarno mengusulkan 5 asas yaitu kebangsaan Indonesia,internasionalisme atau peri-humanisme, persatuan dan kesatuan, kesejahteraansosial, dan ketuhanan yang Maha Esa, yg sang Soekarno dinamakan Pancasila,Pidato Soekarno diterima dengan gegap gempita oleh peserta sidang. Oleh karenaitu, tanggal 1 Juni 1945 diketahui menjadi hari lahirnya pancasila.

Tokohlain yang yang menyumbangkan pikirannya mengenai Dasar Negara diantaranya adalahMohamad Hatta, Muhammad Yamin serta Soepomo.

Padatanggal 17 Agustus 1945, setelah upacara proklamasi kemerdekaan, datangberberapa utusan dari daerah Indonesia Bagian Timur. Berberapa utusan tersebutadalah sebagai berikut:
  1. Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi
  2. Hamidhan, wakil dari Kalimantan
  3. I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara
  4. Latuharhary, wakil berdasarkan Maluku.
Merekasemua berkeberatan dan mengemukakan pendapat tentang bagian kalimat dalamrancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar yg juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya,yang berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagipemeluk-pemeluknya".

PadaSidang PPKI I, yaitu dalam lepas 18 Agustus 1945, Hatta kemudian mengusulkanmengubah tujuh kata tadi sebagai "Ketuhanan Yang Maha Esa".pengubahan kalimat ini sudah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta dengan 4orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M.hasan. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuanbangsa, peristiwa ini juga adalah keliru satu sejarah yang terdapat dalamkiasan lambang sangga pendobrak. Dan akhirnya bersamaan menggunakan penetapanrancangan pembukaan dan btg tubuh UUD 1945 dalam Sidang PPKI I lepas 18Agustus 1945 Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.

ØSimbol-simbolmelambangkan sila-sila pada Pancasila, yaitu:


1.ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkandengan Perisai hitam menggunakan sebuah bintang emas berkepala lima menggambarkanagama yang terdapat di Indonesia.

2.kemanusiaanyang adil dan beradab : Rantai yg disusun atas gelang-gelang mini inimenandakan hubungan manusia satu menggunakan yang lainnya saling membantu.gelangyang berbentuk bundar melambangan wanita serta gelang persegi melambanganpria.
3.persatuanIndonesia : Pohon berngin merupakan sebuah pohon Indonesia beraar tunjang,sebuahaar tumggal panjang yg menunjang pohon yang akbar tadi menggunakan bertrumbuhsangat pada ke dalam tanah.ini menggambarkan kesatuan Indonesia. Pohon inijuga mempunyai banya akar yang menggelantung menurut ranting-rantingnya.hal inimenggambarkan Indonesia menjadi Negara kesatuan namun memiliki aneka macam akarbudaya yang berbeda-beda.

4.kerakyatanyang dipimpin sang hikmat kebijaksanaan pada permusyawaratan perwakilan :Banteng merupakan binatang sosial, sama halnya menggunakan insan cetusan PresidenSoekarno dimana pengambilan keputusan yg dilakuakan bersama(musyawarah),gotong royong,dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai spesial bangsaIndonesia.

5.keadilansosial bagi seluruh masyarakat Indonesia : Padi dan Kapas adalah kebutuhan pokoksetiap rakyat Indonesia tanpa melihat status maupunkedudukannya.menggambaran persamaan sosial dimana nir adanya kesenjangansosial satu dengan yang lainnya,tetapi hal itu buan berarti bahwa NegaraIndonesia menggunakan Ideologi Komunisme.

ØHariKesaktian Pancasila



Padatanggal 30 September1965, merupakan awal menurut Gerakan30 September(G/30S/PKI). Pemberontakan ini merupakan wujud bisnis membarui unsur Pancasilamenjadi ideologi komunis. Hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnyadibunuh menjadi upaya perebutan kekuasaan. Namun berkat pencerahan buat mempertahankanPancasila maka upaya tadi mengalami kegagalan. Maka 30 Septemberdiperingati menjadi Hari Peringatan Gerakan 30 September dan lepas 1 Oktoberditetapkan menjadi Hari Kesaktian Pancasila, memperingati bahwa dasarIndonesia, Pancasila, merupakan sakti, tak tergantikan.

INILAH SEJARAH BERDIRINYA MONUMEN PANCASILA SAKTI

Cara flexi---apabila kita balik mundur kebelakang, menyusuri jejak perjalanan sejarah masa kemudian bangsa Kita Indonesia, bisnis-usaha untuk menerapkan ideologi komunis di Indonesia nir pernah berhenti walaupun menerima tantangan dan rintangan. Para kader PKI melakukan aneka macam cara, baik sah maupun illegal buat mencapai keinginan mereka yaitu masyarakat Indonesia yg komunis. Cara ilegal dilakukan menggunakan mengadakan pemberontakan-pemberontakan, teror, penghilangan nyawa-penghilangan nyawa yg menelan poly korban bangsa sendiri. Cara legalpun dilakukan menggunakan menguasai Komite Nasional Indonesia (KNI) baik pada pusat maupun wilayah buat menguasai Parlemen melalui organisasi politik dan organisasi massa.
1 Oktober merupakan hari selamatnya bangsa Indonesia menurut malapetaka Gerakan 30 September (G.30.S). Selamatnya bangsa Indonesia lantaran berkat usaha serta upaya insan dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
Pada 30 September itu telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal putra terbaik bangsa Indonesia. Mereka yg menjadi korban itu merupakan: Letnan Jenderal A. Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Letnan Satu Pire Andreas Tendean, serta Brigadir Polisi Karel Susult Tubun. Sementara Jenderal A.H. Nasution berhasil meloloskan diri berdasarkan kepungan G.30.S PKI, meski kakinya kena tembak dan putrinya Ade Irma Suryani sebagai korban serta beberapa hari kemudian mangkat dunia.
Pada tanggal tadi pemberontak berhasil menguasai dua sarana komunikasi yaitu RRI Pusat serta Pusat Telekomunikasi masing-masing pada Jalan Merdeka Barat dan di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi jam 07.20 serta jam 08.15. Pemberontak mengumumkan tentang terbentuknya “Dewan Revolusi” di sentra serta di daerah-wilayah. Dewan Revolusi adalah asal segala kekuasaan pada Negara Republik Indonesia. Juga diumum, gerakan tersebut ditujukan kepada “Jenderal-Jenderal” anggota Dewan Jenderal yg akan mengadakan coup terhadap pemerintah.
Pada waktu bersamaan diumumkan pendemisioniran Kabinet Dwikora. Jam 14.00 diumumkan lagi bahwa Dewan Revolusi diketuai sang Letnan Kolonel Untung menggunakan wakil-wakilnya Brigjen Supardjo, Letkol (Udara) Heru, (Laut) Sunardi serta Arjun Komisaris Besar Polisi Anwas.
Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen Tentara Nasional Indonesia Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, yang lalu dia mendapat gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Usaha PKI buat menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri dia yg berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution sudah gugur sebagai korban kebiadaban grup G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini Ade Irma Suryani sudah gugur sebagai tameng Ayahandanya. Para pemimpin Tentara Nasional Indonesia AD tersebut serta Ajudan Jenderal TNI Nasution berhasil diculik dan dibunuh sang gerombolan G 30 S/PKI tersebut, lalu secara kejam dibuang/dikuburkan di dalam satu loka yakni di sumur tua pada Lubang Buaya wilayah Pondok Gede.
Setelah adanya tindakan PKI menggunakan G 30 S/PKI-nya tadi, maka keadaan pada semua tanah air menjadi kacau. Rakyat berada pada keadaan kebingungan, sebab nir diketahui di mana Pimpinan Negara berada. Demikian pula halnya nasih para Pemimpin Tentara Nasional Indonesia AD yang diculikpun tidak diketahui bagaimana nasib serta beradanya pula.
Usaha buat mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik sang grup G 30 S/PKI dilakukan sang segenap Kesatuan Tentara Nasional Indonesia/ABRI serta akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan Tentara Nasional Indonesia AD tersebut telah dibunuh secara kejam serta jenazahnya dimasukan ke pada sumur tua di wilayah Pondok Gede, yg dikenal menggunakan nama Lubang Buaya.
Sejarah Berdiri Monumen Pancasila Sakti

Pemberontakan-pemberontakan PKI bertujuan menggantikan Dasar Negara Pancasila menggunakan Komunis yang bertentangan dengan Pancasila. Pemberontakan pertama dilancarkan dalam tanggal 18 September 1948 di Madiun. Setelah gagal dalam pemberontakan pertama, PKI balik melancarkan pemberontakan kedua dalam lepas. L Oktober 1965 yang dikenal menggunakan nama Gerakan Tiga Puluh September (G.30.S/PKI).
Sebagai langkah pertama mereka menculik dan kemudian membunuh beberapa orang perwira serta pejabat teras Tentara Nasional Indonesia-AD yg dianggap menjadi versus politik. Dalam saat yang relative singkat pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh ABRI dan masyarakat yang Pancasilais. Hal ini menandakan keampuhan dan Kesaktian Pancasila dalam melawan ideologi yang tidak sesuai menggunakan Pancasila Dasar Negara. Dari pemberontakan-pemberontakan PKI 1948 dan 1965 itu, maka kita putusan bulat bahwa komunis merupakan bahaya yg perlu kita waspadai secara terus menerus terutama dalam keadaan seperti waktu ini. Bertolak berdasarkan kewaspadaan itulah lalu dibangun Monumen pancasila Sakti serta Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yg menyajikan aneka macam aktivitas makar serta pengkhianatan PKI sejak tahun 1945 serta penumpasannya oleh rakvat Indonesia bersama ABRI.
Dengan memvisualisasikan kisah pemberontakan itu, baik berupa relief pada museum maupun dalam bentuk diorama serta melestarikan tempat-loka yg ada hubungannya dengan pemberontakan, para pengunjung diharapkan dapat mengetahui peristiwa yang pernah menimpa bangsa kita yang dilakukan oleh komunis. Dengan Monumen Pancasila Sakti dan Museum pengkhianatan PKI (Komunis) diperlukan kewaspadaan terhadap bahaya komunis lebih meningkat.
Monumen Pancasila Sakti mulai dibangun dalam tahun 1967, sedangkan penyelesaian pembangunan serta peresmiannya dalam tahun 1972.tujuan serta hakekat spirituil pembangunan Monumen pancasila Sakti merupakan sebagai berikut :
  1. Untuk mengenang jasa pahlawan yang gugur pada membela negara, bangsa dan pancasila hingga titik darah penghabisan.
  2. Membina semangat Korsa dikalangan prajurit TNI.
  3. Monumen peringatan bagi perjuangan Nasional.
  4. Cermin perjuangan Bangsa Indonesia kepada global internasional.
Selain pembangunan monumen pancasila Sakti, maka untuk mencapai tujuan tersebut setiap tanggal 1 Oktober dijadikan dan ditetapkan dan dilaksanakan Upacara Hari Kesaktian Pancasila atau Mengenang Tragedi Nasional akibat Pengkhianatan terhadap pancasila.
Pahlawan Revolusi adalah gelar yg diberikan pada sejumlah perwira militer yang gugur dalam tragedi G30S yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada lepas 30 September 1965.
Para pahlawan tersebut adalah:
  1. Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Anumerta) Achmad Yani
  2. Letjen. (Anumerta) Mas Tirtodarmo Harjono
  3. Letjen. (Anumerta) Siswondo Parman
  4. Letjen. (Anumerta) Suprapto
  5. Mayjen. (Anumerta) Donald Isaac Pandjaitan
  6. Mayjen. (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo
  7. Aipda (Anumerta) Karel Satsuit Tubun
  8. Kapten CZI (Anumerta) Pierre Tendean
  9. Kolonel Inf. (Anumerta) Sugiono - wafat di Yogyakarta
  10. Brigjen. (Anumerta) Katamso Darmokusumo - wafat di Yogyakarta.

Demikian sejarah singkat beridirinya monumen Pancasila sakti, semoga berguna. Terimakasih

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers saat negara Indonesia didirikan. Tetapi dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa serta bernegara, Pancasila tak jarang mengalami banyak sekali deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut mampu berupa penambahan, pengurangan, dan defleksi menurut makna yang seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan pulang.

Pancasila acapkali digolongkan ke pada ideologi tengah di antara 2 ideologi akbar dunia yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya seringkali disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme serta bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg bikin capek aktualisasi nilai-nilainya ke pada kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yg selalu berkiprah ke kanan dan ke arah kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna pada tengah.

Pada ketika berdirinya negara Republik Indonesia, kita putusan bulat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 pada mengatur serta menjalankan kehidupan negara.

Namun sejak Nopember 1945 hingga sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia membarui haluan politiknya menggunakan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi dengan munculnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser serta digerakan ke arah kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sang kekuatan politik pada Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri menggunakan dibuatnya poros Jakarta-Peking serta Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) serta berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yg dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya sanggup memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa seluruh realitas pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik serta suatu proses yang terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi empiris dan bukti diri diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa serta bernegara ? Dan, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti wajib kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai pada ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas menurut imbas perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh saat dan tempat, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan keberadaan sesuatu, yang mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar dan karakteristik khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yg sudah menyengsarakan warga , maupun berdasarkan impian yg ditanamkan dalam kepercayaan dan tradisi tentang suatu masyarakat yg adil dan makmur dari kebersamaan, persatuan serta kesatuan semua masyarakat rakyat.

Kedua, nilai fragmental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah klasifikasi dari nilai dasar tersebut, yg merupakan arahan kinerjanya buat kurun ketika tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai fragmental haruslah mengacu pada nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif serta dinamik dalam bentuk-bentuk baru buat mewujudkan semangat yg sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, acara, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai instrumental ini merupakan MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, sang organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis adalah sasana perseteruan antara idealisme serta realitas.

Jika dilihat berdasarkan segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan dalam rumusan abstrak, dan bukan juga dalam kebijaksanaan, strategi, rencana, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, namun dalam kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi bisa memiliki rumusan yg amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan namun, jika dalam nilai praksisnya rumusan tadi tidak bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu nir akan ada perkara. Masalah baru timbul apabila terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hayati berbangsa serta bernegara, maka perlu Pancasila formal yg abstrak-generik-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, serta bahkan menjadi Pancasila yg khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila sebagai sifat-sifat menurut subjek gerombolan serta individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku pada lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan eksklusif.

Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa kebiasaan-kebiasaan) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa perkara apabila tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,serta penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah perkara yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami serta menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya tidak sempurna menciptakan “sakral” serta taboo banyak sekali konsep serta pengertian, seakan-akan sudah jelas betul serta niscaya sahih, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu menciptakan berbagai konsep serta pengertian sebagai statik, kaku dan nir berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap serta abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual juga operasional. Banyak hal wajib ditinjau pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yg ada. Atau menggunakan istilah lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah berdasarkan pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yang bisa dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai empiris merupakan sumber daya buat proses ke-sebagai-an yg selanjutnya. Apabila dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum serta perundang-undangan pada segala tingkatan, menjadi aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan serta penilaian atau pengkajian mengenai keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila sebagai kebiasaan hidup sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yg mencakup; daerah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yg meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membangun persatuan Indonesia. Sedangkan buat tahu transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-5 yg berkaitan dengan hayati keagamaan, kemanusiaan dan sosial irit (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan serta perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu dampak yang timbul berdasarkan dalam, melainkan sanggup terjadi lantaran imbas dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan berdasarkan pada (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yang terkait atau berrelasi menggunakan empiris yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada kegiatan pada dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling kentara dari terjadinya perubahan transformatif pada aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yg sudah dilakukan MPR dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu serta teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hayati masyarakat yg begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup kedap berdasarkan imbas budaya asing. Demikian juga terhadap perkara ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran serta perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang fenomena masuknya arus budaya asing menggunakan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat serta luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yg mengikat kepentingan nasional nir luput dari pengaruhnya serta bisa menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia sudah jauh menghipnotis rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir tidak mungkin tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa fakta dalam banyak sekali ragam bentuk serta isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau impak nilai-nilai asing adalah kesesatan berpikir, yang seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang sanggup berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead disebut menjadi the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika efek itu tidak sinkron dengan nilai-nilai yg hidup dalam masyarakat, atau nir mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan perilaku yg kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, pandangan baru-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, kasus rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik merupakan sesuatu yg wajib terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi akbar pada global sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru menggunakan corak nilai, ajaran serta konsep kunci tentang kehidupan yg mempunyai perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi dampak budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi terbaru dan latar belakang filsafatnya yg dari menurut luar.

Prof. Notonagoro sudah menemukan cara buat memanfaatkan imbas dari luar tersebut, yaitu secara eklektif merogoh ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan menurut luar tersebut, namun dengan melepaskan diri menurut sistem filsafat yg bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap imbas baru menurut luar, maka Pancasila bersifat terbuka menggunakan syarat dilepaskan menurut sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang bisa menggarap apa yang tiba menurut luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan bila terdapat daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang buat menyerap, menghargai, dan menentukan nilai-nilai hidup yang sempurna serta baik buat sebagai etos bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila mampu ditawarkan serta berpengaruh, dan menyokong pada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila pula tampil menjadi alternatif buat melandasi rapikan kehidupan internasional, baik buat memberikan orientasi pada negara-negara berkembang pada khususnya, juga mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yg bebas serta rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi pada kehidupan insan serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran menurut luar yang memang diakui menerangkan arti dan makna yg positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi menjadi gejala masuk akal. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yg dinamik, yaitu memiliki kesediaan buat mengadakan pembaharuan yg bermanfaat bagi perkembangan eksklusif insan serta masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan menjadi kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari cara lain bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan bisa memperkaya serta memperkembangkan kebudayaan sendiri, dan meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, menjadi pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif serta tertutup sebagai akibatnya sesuatu yg berbau asing wajib ditangkal serta dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya tidak dibutuhkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sebagai akibatnya segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa panduan buat memilih mana yg pantas serta mana yg tidak pantas buat diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau nir mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, tetapi nir tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi nir dapat dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain pada interaksi mondial pada menentukan arah kehidupan insan seluruhnya. Untuk mampu menjalankan kiprah itu, bangsa Indonesia sendiri wajib memiliki kesatuan nilai yang sebagai keunikan bangsa, sehingga bisa memberikan sumbangan yg relatif berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yg tertutup tetapi sesuatu yg terus dibuat pada hubungan dengan gerombolan rakyat bangsa, negara, insan, sistem warga global (Sastrapratedja, 1996: tiga).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg mampu neneruskan dan membuatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” pada menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan menggunakan budaya orisinil. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yg berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu merupakan terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya bisa memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia pada memperkembangkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya hasrat pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, tetapi kepribadian yang terbentuk dalam zaman yang tidak selaras haruslah memiliki kesinambungan menurut masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yg didapatkan di masa lampau buat diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yg kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme dari Aristoteles sanggup mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibentuk (morfe), tetapi materi tidaklah pasif. Artinya terdapat gerak. Setiap relitas yang telah berbentuk (berdasar materi) bisa juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sebagai akibatnya setiap empiris mengalami perubahan. Perubahan yg terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yg kesinambungan. Artinya, aktualitas yg terdapat kini berdasar dalam realitas yg telah terdapat pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan pada masa depan.

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam bepergian panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi pada aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tadi sanggup berupa penambahan, pengurangan, serta penyimpangan menurut makna yg seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan balik .

Pancasila sering digolongkan ke pada ideologi tengah di antara dua ideologi akbar global yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya tak jarang disifatkan bukan ini serta bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila nir berpaham individualisme serta tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi serta bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg membuat repot aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan serta ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna di tengah.

Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada mengatur dan menjalankan kehidupan negara.

Namun semenjak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden lima Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia sebagai pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi menggunakan keluarnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan serta dimanfaatkan sang kekuatan politik di Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak dalam kebijaksanaan pemerintah yg anti terhadap Barat (kapitalisme) serta pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya merupakan insiden pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yg tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dipercaya penyimpang berdasarkan garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat serta berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru sudah timbul 4 regim Pemerintahan Reformasi hingga ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap defleksi pada mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan sang Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua empiris pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif serta baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yg terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi realitas serta identitas diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat jua dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu empiris (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? Serta, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) memberitahuakn adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu merupakan:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas berdasarkan dampak perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat generik, tidak terikat oleh waktu dan loka, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan eksistensi sesuatu, yg mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar serta ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan sang para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang sudah menyengsarakan rakyat, juga berdasarkan cita-cita yg ditanamkan dalam kepercayaan serta tradisi mengenai suatu masyarakat yang adil serta makmur dari kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat rakyat.

Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah pembagian terstruktur mengenai dari nilai dasar tersebut, yg adalah arahan kinerjanya buat kurun saat tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai fragmental ini bisa dan bahkan harus diadaptasi menggunakan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu dalam nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif dan dinamik pada bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, pada batas-batas yg dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai fragmental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, program, bahkan pula proyek-proyek yg menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai fragmental ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, serta DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung pada fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, sang organisasi kemasyarakatan, sang badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang perseteruan antara idealisme serta empiris.

Jika ditinjau menurut segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya dalam nilai praksislah dipengaruhi tegak atau tidaknya nilai dasar serta nilai fragmental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan tak berbentuk, dan bukan pula dalam kebijaksanaan, strategi, planning, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya pada lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling krusial merupakan bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat memiliki rumusan yg amat ideal menggunakan ulasan yg amat logis dan konsisten dalam tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika dalam nilai praksisnya rumusan tersebut nir bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai fragmental, serta nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan terdapat perkara. Masalah baru ada apabila terdapat inkonsisitensi pada 3 tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi pada mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang tak berbentuk-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang spesifik individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat menurut subjek gerombolan dan individual, sebagai akibatnya menjiwai seluruh tingkah laku dalam lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan langsung.

Driyarkara menyebutkan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan citra gerak transformasi Pancasila formal menjadi kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa norma-norma) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa kasus jika tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (pada Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif serta dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke pada kehidupan praksis kemasyarakatan serta kenegaraan bukanlah kasus yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yg mendasar dalam cara orang tahu dan menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya nir sempurna menciptakan “sakral” dan taboo aneka macam konsep serta pengertian, seakan-akan sudah kentara betul serta pasti benar, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap misalnya itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan nir berkembang, serta mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten pada tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus dicermati pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan merupakan pemugaran berdasarkan pada dan melalui sistem yg terdapat. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa pada pada diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi pada pengertian ini merupakan kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat bisa berubah. Subjek sendiri yg berubah menurut pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (menjadi aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yg dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual menjadi realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yg selanjutnya. Jika dikaitkan menggunakan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan aturan serta perundang-undangan pada segala strata, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan dan evaluasi atau pengkajian tentang keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hayati sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat tahu transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membentuk persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-lima yang berkaitan dengan hidup keagamaan, humanisme serta sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan serta Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber menurut satu sisi saja, yaitu dampak yg ada dari pada, melainkan bisa terjadi karena impak berdasarkan luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan menurut dalam (potensi) menurut Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yg terkait atau berrelasi dengan realitas yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas pada pada menyerap atau menerima serta menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur menurut luar (asing). Contoh paling jelas menurut terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yg telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, dampak kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa serta negara mampu mengisolir diri serta menutup rapat menurut imbas budaya asing. Demikian pula terhadap masalah ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang kenyataan masuknya arus budaya asing dengan aneka macam aspeknya. Kemajuan pada bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi menjadi bagian budaya insan sudah jauh mensugesti rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yg tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa liputan pada banyak sekali ragam bentuk dan isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau dampak nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yg seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead dianggap sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Apabila imbas itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yg hayati pada warga , atau nir mendukung bagi terciptanya syarat yg sinkron menggunakan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, wangsit-pandangan baru yg tiba dari luar.

Dalam konteks budaya, perkara rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, namun memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yg baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, lantaran bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar pada global kini ini diperhatikan dengan akurat, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu sudah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila wajib sanggup menghadapi imbas budaya asing, khususnya ilmu serta teknologi terkini serta latar belakang filsafatnya yang dari menurut luar.

Prof. Notonagoro telah menemukan cara buat memanfaatkan efek menurut luar tadi, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan berdasarkan luar tadi, tetapi menggunakan melepaskan diri menurut sistem filsafat yang bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan pada struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan berdasarkan sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham menggunakan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yg terbuka dinamik, yg dapat menggarap apa yg datang dari luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti serta mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang untuk menyerap, menghargai, serta menentukan nilai-nilai hayati yang tepat dan baik buat sebagai pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional serta pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yg menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, tetapi nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menyebutkan, bahwa dinamika yg terdapat dalam aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif buat melandasi tata kehidupan internasional, baik buat menaruh orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional serta kritis supaya membuka iklim hayati yg bebas serta rasional jua. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yg terjadi dalam kehidupan manusia serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yg memang diakui menampakan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sebagai akibatnya menggunakan demikian menduga proses akulturasi sebagai tanda-tanda lumrah. Dengan begitu ideologi Pancasila akan memberitahuakn sifatnya yg dinamik, yaitu mempunyai kesediaan buat mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan langsung manusia dan warga . Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas pada konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari alternatif bagi pemecahan kasus-kasus politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru serta kebudayaan asing, melainkan sanggup menyerap nilai-nilai yg dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat humanisme bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, nir defensif dan tertutup sebagai akibatnya sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya nir diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman buat memilih mana yg pantas serta mana yang nir pantas buat diintegrasikan pada pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau tidak mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam serta hilang pada dalamnya. Proses akulturasi nir bisa dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif pada pergaulan global.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain dalam hubungan mondial pada menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk sanggup menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yg menjadi keunikan bangsa, sebagai akibatnya bisa memberikan sumbangan yang relatif berarti pada percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup namun sesuatu yg terus dibentuk dalam hubungan dengan gerombolan masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat global (Sastrapratedja, 1996: 3).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg sanggup neneruskan dan berbagi nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” dalam menghadapi tanda-tanda penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yg dibutuhkan dari hubungan itu merupakan terpeliharanya relatif diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia nir mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya mampu menaruh pedoman, ilham, dan dukungan dalam setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak dalam masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya impian pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang tidak selaras haruslah mempunyai transedental dari masa lampau hingga masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan dalam masa sekarang serta masa mendatang. Unsur yang sama serta permanen juga unsur yang kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme menurut Aristoteles mampu mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibuat (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya terdapat mobilitas. Setiap relitas yg sudah berbentuk (berdasar materi) bisa juga sebagai materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yg ada sekarang berdasar pada empiris yang sudah ada dalam masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

INILAH ALASAN BANGSA INDONESIA MEMPERTAHANKAN IDEOLOGI PANCASILA

Cara flexi---Warga belajar serta siswa sekalian, pada pembahasan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kita akan melihat tentang alasan bangsa Indonesia mempertahankan Ideologi Pancasila. Seperti kita ketahui bahwa Pancasila adalah dasar negara dan ideologi negara yang wajib dipahami, diamalkan, serta dipertahankan sang seluruh warga negara Indonesia.

Jika kita melihat balik ke masa kemudian dalam rentang sejarah bepergian Pancasila menjadi ideologi, maka kita akan melihat poly nya godaan dan gangguan yg berusaha buat merubah serta mengganti ideologi Pancasila ini menggunakan paham serta ideologi lain. Tetapi kita bangsa Indonesia tetap tak bergeming dan terus mempertahankan Ideologi Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi bangsa Indonesia ini.

Adapun alasan bangsa Indonesia mempertahankan Ideologi Pancasila bisa diketahui menurut 3 aspek, yaitu ; Historis,  Sosiologis, serta Ancaman ideologi lain. 

a. Historis

     Secara Historis, nilai-nilai Pancasila sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya, kita sebagai bangsa Indonesia harus menghayati, melestarikan, dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila itu dalam hayati bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


b. Sosiologis

       Melemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi Pancasila dapat mengancam persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia yg sudah usang dibina, dipelihara serta dijaga. Oleh karenanya, sebagai bangsa Indonesia harus mengembangkan dan menelaah lagi nilai-nila Pancasila menjadi hasil karya akbar menurut bangsa sendiri.


c. Ancaman ideologi lain

       Dalam rangka mempertahankan ideologi Pancasila kita sadar akan keberadaan ideologi lain yg membahayakan kelangsungan hidup Pancasila, misalnya;
1) Paham komunis
2) Paham liberalisme
3) Paham yang menyalahgunakan agama

Golongan-golongan yg mengatas-namakan kepercayaan sering melakukan aktivitas yg membahayakan kelestarian Pancasila. Agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran, cinta kasih sesama insan, tetapi acapkali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan kepercayaan tetapi ajarannya bertentangan agama sebagai akibatnya menyesatkan rakyat.

Demikian mengenai alasan bangsa Indonesia mempertahankan Ideologi Pancasila, semoga bermanfaat menjadi bahan belajar buat memahami lebih jauh mengenai Ideologi Pancasila. Terimakasih.

* * *

CABANGCABANG FILSAFAT

Cabang-Cabang Filsafat
A. MENGAPA MANUSIA BERFILSAFAT?
Sikap iman penuh taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa tidak menunda insan buat selalu menggunakan nalar budi dan fikirannya demi mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala fenomena. Proses itu mencari memahami itu membuat sebuah kesadaran yang diklaim pengetahuan. Apabila proses itu mempunyai karakteristik-karakteristik metodis, sistematis serta koheren, serta cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tadi bisa dipakai buat memberitahuakn gejala-gejala eksklusif di bidang pengetahuan tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali serta menekuni hal-hal yang spesifik dari kenyataan, maka makin nyatalah tuntutan buat mencari memahami tentang seluruh kenyataan tersebut. Dan filsafat adalah pengetahuan tentang seluruh fenomena yg direfleksikan buat mencapai hakikat (kebenaran) serta memperoleh hikmat (kebijaksanaan). Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat tiba sebelum dan selesainya ilmu pengetahuan; diklaim “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai menjadi bagian berdasarkan filsafat dan diklaim “sesudah” lantaran ilmu pengetahuan khusus niscaya menghadapi pertanyaan tentang batas-batas menurut kekhususannya.

Ilmu filsafat mempunyai obyek material serta obyek formal. Obyek material merupakan apa yang dipelajari serta dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu tanda-tanda "insan di global yg mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini kentara ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, global, dan akhirat. Maka terdapat filsafat mengenai manusia (antropologi), filsafat mengenai alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat. Antropologi, kosmologi serta teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan jua, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak bisa dilepaskan berdasarkan yg lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yg dikenal manusia dalam dunianya. Maka ketiga ilmu tersebut dapat dianggap sebagai filsafat mengenai seluruh keseluruhan fenomena menggunakan obyek yg dikaji merupakan eksistensi (keberadaan) serta esensi (hakekat).

Obyek formal adalah cara pendekatan yang digunakan atas obyek material, yg sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang aktivitas yg bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. Maka dapat dikatakan bahwa filsafat berangkat dari pengalaman nyata insan yg sungguh kaya menggunakan segala sesuatu yg tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. 

B. CABANG-CABANG FILSAFAT
Filsafat terdiri menurut 3 gerombolan akbar yaitu epistemologi/filsafat pengetahuan, logika, serta kritik ilmu. 

1. Epistemologi/Filsafat Pengetahuan.
Obyek material menurut filsafat pengetahuan adalah gejala "insan memahami". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu menurut karena-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (lawan "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (lawan "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana dari pengetahuan serta kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan berdasarkan sebab-musabab pertama) membentuk filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap tanda-tanda pengetahuan dicermati menggunakan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yg masih ada pada ilmu-ilmu pengetahuan. Cabang filsafat ini lalu berkembang sebagai cabang-cabang filsafat yg mempunyai bidang kajian yg lebih spesifik, antara lain:

a. Etika (Filsafat Moral) 
Etika merupakan ilmu tentang apa yg biasa dilakukan atau ilmu tentang tata cara norma. Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan moral yg sebagai pegangan bagi seorang atau suatu gerombolan dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa diklaim sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku. Kedua, etika berarti deretan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau tidak baik. Etika sebagai ilmu jika kemungkinan-kemungkinan etis sebagai bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis serta metodis.

b. Estetika (Filsafat Seni)
Estetika merupakan ilmu yang membahas keindahan, bagaimana dia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang mampu merasakannya. Pembahasan lebih lanjut tentang estetika adalah sebuah filosofi yg mengusut nilai-nilai sensoris, yg kadang dianggap sebagai evaluasi terhadap sentimen dan rasa. 

c. Metafisika (Mengkaji mengenai “ada” serta “nir ada”)
Metafisika merupakan bagian Falsafah mengenai hakikat yg ada pada sebalik ekamatra. Hakikat yg bersifat tak berbentuk serta di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang empiris kehidupan pada alam ini: dengan mempertanyakan yg Ada (being), Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita pada kehidupan ini?. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian mengenai sesuatu yg bersifat rohani dan yg tidak dapat diterangkan menggunakan kaedah penerangan yg ditemukan dalam ilmu yang lain.

d. Politik (Mengkaji mengenai organisasi sosial yg ideal)
Filasafat politik merupakan studi tentang evaluasi serta kritik moral terhadap proses yg melandasi kehidupan sosial, politik serta ekonomi yg diarahkan dalam penciptaan susunan organisasi masyarakat yg baik dan sempurna.

e. Filsafat Agama
Filsafat kepercayaan adalah cara pandang yg menyeluruh, radikal serta objektif mengenai yang terdapat buat mengetahui hakikat agama serta ber-bagai masalah yang masih ada pada kepercayaan itu. Dengan istilah lain, objek yg dikaji merupakan pembahasan yg mendalam dan fundamental dari setiap hal yg sebagai ajaran berdasarkan semua agama pada dunia ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting pada setiap agama adalah ajaran mengenai Tuhan. Pembahasan ini nir hanya melihat argumentasi yg memperkuat keyakinan tentang Tuhan, tetapi pula argumen yg membantah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yg dibahas dalam filsafat kepercayaan .

Filsafat kepercayaan jua dapat dikatakan menjadi pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) mengenai tanda-tanda agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus: adanya kenyataan trans-empiris, yg begitu mempengaruhi dan memilih, tetapi sekaligus membentuk serta sebagai dasar tingkah-laris manusia. Kepada Yang Kudus itulah insan hanya beriman, yang dapat diamati pada konduite hidup yg penuh dengan perilaku "takut-dan-taqwa".

f. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah jajak kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu secara spesifik yg berlandaskan pada teori ontologis, epistemologis serta aksiologis. Obyek material filsafat ilmu adalah ilmu itu sendiri, sedangkan obyek formal filsafat ilmu merupakan hakekat serta esensi ilmu.

Dengan istilah lain, filsafat ilmu merupakan jajak kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan tentang hakikat ilmu, yg dipandang berdasarkan segi ontologis, epistemelogis juga aksiologisnya. Filsafat ilmu adalah bagian menurut epistemologi (filsafat pengetahuan) yg secara khusus mengakaji hakikat ilmu, misalnya:
  • Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yg hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi menggunakan daya tangkap manusia yg mengakibatkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
  • Bagaimana proses yg memungkinkan ditimbanya pengetahuan yg berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang wajib diperhatikan supaya mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yg diklaim kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita pada menerima pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
  • Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yg merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-kebiasaan moral/profesional? (Landasan aksiologis)
g. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yg diterapkan dalam bisnis pemikiran dan pemecahan perkara pendidikan. Filsafat pendidikan dapat didekati dari problema-problema pendidikan yang yang bersifat filosofis yang memerlukan jawaban yg filosofis jua.

h. Filsafat Hukum
Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yg menyelidiki hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum merupakan ilmu yang memeriksa hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah aturan, serta objek tadi dikaji secara mendalam hingga pada inti atau dasarnya, yang diklaim dengan hakikat. Ada jua yang menyampaikan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat yg memeriksa hukum yang benar atau adalah sebuah pembahasan secara filosofis tentang aturan. Filsafat hukum jua tak jarang dikonotasikan sebagai penelitian fundamental serta pengertian hukum secara tak berbentuk.

Filsafat aturan mempelajari hukum secara spekulatif serta kritis. Artinya filsafat aturan berusaha buat mempelajari nilai menurut pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai aturan ; 
  • Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan tentang hakekat aturan.
  • Secara kritis, filsafat aturan berusaha buat menyelidiki gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi serta manfaatnya.
i. Filsafat Matematika
Berdasarkan perspektif epistemologi, kebenaran matematika terbagi dalam dua kategori, yaitu pandangan mutlak dan pandangan fallibilis. Absolutis memandang kebenaran matematika secara mutlak, bahwa „mathematics is the one and perhaps the only realm of certain, unquestionable and objective knowledge‟, sedangkan menurut fallibilis mathematic truth is corrigible, and can never regarded as being above revision and correction‟

Pengetahuan terbagi dalam 2 kategori, yaitu pengetahuan a priori serta pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan a priori memuat proposisi yang berdasarkan atas serta tanpa dibantu dengan observasi terhadap dunia. Penalaran di sini memuat penggunaan akal deduktif dan makna berdasarkan istilah-kata, secara tipikal bisa ditemukan pada definisi. Secara paradoksal pengetahuan a posteriori memuat proposi yang berdasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi dunia.

Absolutis memandang pengetahuan matematika berdasarkan atas 2 jenis asumsi; matematika ini berkaitan dengan perkiraan berdasarkan aksioma dan definisi, serta akal yg berkaitan dengan perkiraan aksioma, anggaran menarik konklusi serta bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) serta ada dunia (macro) perkiraan, seperti deduksi nalar relatif buat tetapkan kebenaran matematika.

j. Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah merupakan cabang menurut filsafat yang menyelidiki mengenai prinsip-prinsip fundamental (hakekat) sejarah sejauh bisa ditangkap sang akal serta bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, artinya bersifat rasional-ilmiah. Filsafat sejarah menyelidiki prinsip-prinsip dasar keilmuan sejarah. Filsafat sejarah mengungkapkan “ada” sebagai sejarah. Pertanyaan yg bisa dikemukakan pada filsafat sejarah adalah struktur mendasar atau esensi dasar apa yg mengakibatkan sejarah (masa lampau) itu menjadi terdapat atau hal-hal mendasar apa yang menyebabkan sesuatu itu terjadi atau berubah. Filsafat sejarah menyampaikan hakekat sejarah atau esensi dasar sejarah.

Manfaat primer mempelajari filsafat sejarah adalah akan mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah. Artinya, bahwa bagi seorang peneliti atau pengkaji sejarah (sejarawan) yg dibekali menggunakan pengetahuan filsafat sejarah akan membuahkan dirinya sebagai seorang “kritikus” yg handal.

Dengan dilatarbelakangi pengetahuan sejarah, maka seorang peneliti sejarah akan lebih sanggup melakukan suatu kritik atau evaluasi serta koreksi mengenai hasil pengkajian sejarah. Oleh karena itu filsafat sejarah mutlak diharapkan supaya dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa sekarang dengan lebih bermakna dan memuaskan. Kajian mengenai sejarah akan lebih tuntas, menarik, dan bermakna bagi kehidupan insan pada hari ini dan esok apabila unsur-unsur dasarnya bias ditemukan. Seorang peneliti sejarah yang mengetahui dan tahu filsafat sejarah akan sanggup menemukan struktur dasar (hakekat) pada pada penjelasan (eksplanasi) sejarah. Lantaran itu setiap pakar sejarah yang menggunakan benar-benar-sungguh menemkuni profesinya menjadi seorang sejarawan professional, bukan sejarawan amatiran, mau tidak mau menganut beberapa pendapat yang mengakar pada filsafat sejarah

2. Logika (Mengkaji mengenai sahih atau galat)
Logika herbi pengetahuan, dan herbi bahasa. Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menilik kesehatan cara berfikir dan aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya. 

Kritik ilmu
Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu ketika ilmu yang satu berkait menggunakan ilmu lain, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian serta jenis informasi yang diberikan. 

Dari seluruh penerangan tersebut bisa disimpulkan bahwa kekaguman atau keheranan, keraguan atau kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan adalah 3 hal yang mendorong insan utuk berfilsafat. Rasa heran dan mencurigai ini mendorong manusia buat berpikir lebih mendalam, menyeluruh serta kritis buat memperoleh kepastian serta kebenaran yg hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh serta kritis seperti ini dianggap menggunakan berfilsafat. Berfilsafat bisa jua bermula berdasarkan adanya suatu kesadaran akan keterbatasan dalam dirinya. Jika seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama dalam waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka menggunakan adanya kesadaran akan keterbatasannya itu manusia berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yg terbatas, pastilah terdapat sesuatu yg tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran yg hakiki.

CABANGCABANG FILSAFAT

Cabang-Cabang Filsafat
A. MENGAPA MANUSIA BERFILSAFAT?
Sikap iman penuh taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa nir menunda insan buat selalu memakai akal budi serta fikirannya demi mencari tahu apa sebenarnya yg ada dibalik segala fenomena. Proses itu mencari tahu itu membuat sebuah kesadaran yg dianggap pengetahuan. Apabila proses itu memiliki karakteristik-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tadi dapat digunakan buat menunjukkan tanda-tanda-gejala eksklusif pada bidang pengetahuan tersebut. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang spesifik menurut kenyataan, maka makin nyatalah tuntutan buat mencari tahu tentang seluruh kenyataan tersebut. Dan filsafat adalah pengetahuan tentang seluruh fenomena yg direfleksikan buat mencapai hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan). Secara singkat, filsafat meliputi “segalanya”. Filsafat datang sebelum serta sesudah ilmu pengetahuan; diklaim “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian berdasarkan filsafat dan diklaim “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan mengenai batas-batas menurut kekhususannya.

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material merupakan apa yg dipelajari serta dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu tanda-tanda "manusia di dunia yg mengembara menuju akhirat". Dalam tanda-tanda ini kentara terdapat tiga hal menonjol, yaitu insan, dunia, serta akhirat. Maka ada filsafat mengenai insan (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat. Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan jua, sebab pembicaraan mengenai yang satu pastilah nir bisa dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat mengenai akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal insan pada dunianya. Maka ketiga ilmu tersebut dapat disebut sebagai filsafat mengenai semua holistik kenyataan menggunakan obyek yang dikaji adalah keberadaan (eksistensi) dan esensi (hakekat).

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yg sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang aktivitas yg bersangkutan. Apabila cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat. Maka bisa dikatakan bahwa filsafat berangkat berdasarkan pengalaman nyata manusia yang benar-benar kaya menggunakan segala sesuatu yg implisit ingin dinyatakan secara tersurat. 

B. CABANG-CABANG FILSAFAT
Filsafat terdiri menurut tiga kelompok akbar yaitu epistemologi/filsafat pengetahuan, logika, serta kritik ilmu. 

1. Epistemologi/Filsafat Pengetahuan.
Obyek material berdasarkan filsafat pengetahuan adalah tanda-tanda "manusia memahami". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu dari karena-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (lawan "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "bisikan hati", menurut mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material jua, serta kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) membuat filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap tanda-tanda pengetahuan dipandang menggunakan teliti. Kekhususan itu terletak pada cara kerja atau metode yg masih ada pada ilmu-ilmu pengetahuan. Cabang filsafat ini kemudian berkembang menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih khusus, antara lain:

a. Etika (Filsafat Moral) 
Etika merupakan ilmu mengenai apa yg biasa dilakukan atau ilmu tentang norma norma. Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai serta norma-kebiasaan moral yg sebagai pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini sanggup diklaim sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku. Kedua, etika berarti deretan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu mengenai yg baik atau tidak baik. Etika sebagai ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis.

b. Estetika (Filsafat Seni)
Estetika merupakan ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia mampu terbentuk, serta bagaimana seorang sanggup merasakannya. Pembahasan lebih lanjut tentang keindahan merupakan sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dipercaya menjadi evaluasi terhadap sentimen dan rasa. 

c. Metafisika (Mengkaji tentang “ada” dan “tidak ada”)
Metafisika merupakan bagian Falsafah mengenai hakikat yg ada di sebalik fisika. Hakikat yg bersifat abstrak dan pada luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan pada alam ini: menggunakan mempertanyakan yg Ada (being), Alam ini wujud atau nir? Siapakah kita? Apakah peranan kita pada kehidupan ini?. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yg tidak bisa diterangkan dengan kaedah penjelasan yg ditemukan pada ilmu yg lain.

d. Politik (Mengkaji mengenai organisasi sosial yang ideal)
Filasafat politik adalah studi mengenai evaluasi serta kritik moral terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang diarahkan dalam penciptaan susunan organisasi masyarakat yg baik serta sempurna.

e. Filsafat Agama
Filsafat agama adalah cara pandang yang menyeluruh, radikal serta objektif mengenai yang ada buat mengetahui hakikat kepercayaan dan ber-bagai duduk perkara yang masih ada pada agama itu. Dengan istilah lain, objek yang dikaji merupakan pembahasan yg mendalam dan mendasar menurut setiap hal yang menjadi ajaran menurut seluruh kepercayaan di global ini. Seperti diungkapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam setiap agama merupakan ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini nir hanya melihat argumentasi yg memperkuat keyakinan tentang Tuhan, namun jua argumen yg membantah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang dibahas pada filsafat agama.

Filsafat kepercayaan jua bisa dikatakan sebagai pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala kepercayaan : hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat interaksi manusia dengan Yang Kudus: adanya kenyataan trans-empiris, yg begitu mempengaruhi dan memilih, namun sekaligus menciptakan serta sebagai dasar tingkah-laris insan. Kepada Yang Kudus itulah manusia hanya beriman, yg dapat diamati pada konduite hayati yg penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa".

f. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan jajak kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu secara spesifik yang berlandaskan dalam teori ontologis, epistemologis dan aksiologis. Obyek material filsafat ilmu adalah ilmu itu sendiri, sedangkan obyek formal filsafat ilmu merupakan hakekat serta esensi ilmu.

Dengan kata lain, filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yg ingin menjawab pertanyaan tentang hakikat ilmu, yang ditinjau berdasarkan segi ontologis, epistemelogis juga aksiologisnya. Filsafat ilmu merupakan bagian berdasarkan epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara khusus mengakaji hakikat ilmu, misalnya:
  • Obyek apa yg ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud yang hakiki menurut obyek tadi? Bagaimana hubungan antara obyek tersebut menggunakan daya tangkap manusia yg membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
  • Bagaimana proses yg memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yg harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yg sahih? Apakah kriterianya? Apa yang dianggap kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yg membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yg berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
  • Untuk apa pengetahuan yg berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yg ditelaah dari pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan kebiasaan-norma moral/profesional? (Landasan aksiologis)
g. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan ilmu pendidikan yg bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam bisnis pemikiran dan pemecahan perkara pendidikan. Filsafat pendidikan bisa didekati berdasarkan problema-problema pendidikan yg yg bersifat filosofis yang memerlukan jawaban yg filosofis jua.

h. Filsafat Hukum
Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yg menilik hakikat aturan. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat aturan adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam hingga dalam inti atau dasarnya, yang dianggap menggunakan hakikat. Ada jua yang mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan cabang filsafat yg mengusut hukum yg benar atau adalah sebuah pembahasan secara filosofis tentang aturan. Filsafat aturan jua sering dikonotasikan sebagai penelitian mendasar serta pengertian hukum secara tak berbentuk.

Filsafat hukum menilik hukum secara spekulatif dan kritis. Artinya filsafat aturan berusaha untuk mengusut nilai berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ; 
  • Secara spekulatif, filsafat aturan terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat aturan.
  • Secara kritis, filsafat aturan berusaha buat mempelajari gagasan-gagasan mengenai hukum yg sudah ada, melihat koherensi, korespondensi serta manfaatnya.
i. Filsafat Matematika
Berdasarkan perspektif epistemologi, kebenaran matematika terbagi pada 2 kategori, yaitu pandangan absolut dan pandangan fallibilis. Absolutis memandang kebenaran matematika secara absolut, bahwa „mathematics is the one and perhaps the only realm of certain, unquestionable and objective knowledge‟, sedangkan berdasarkan fallibilis mathematic truth is corrigible, and can never regarded as being above revision and correction‟

Pengetahuan terbagi dalam dua kategori, yaitu pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan a priori memuat proposisi yang didasarkan atas dan tanpa dibantu menggunakan observasi terhadap global. Penalaran pada sini memuat penggunaan akal deduktif dan makna berdasarkan istilah-istilah, secara tipikal bisa ditemukan dalam definisi. Secara paradoksal pengetahuan a posteriori memuat proposi yang berdasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi dunia.

Absolutis memandang pengetahuan matematika didasarkan atas 2 jenis perkiraan; matematika ini berkaitan menggunakan perkiraan berdasarkan aksioma serta definisi, dan akal yg berkaitan menggunakan asumsi aksioma, anggaran menarik kesimpulan serta bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) dan terdapat dunia (macro) perkiraan, seperti konklusi nalar cukup untuk tetapkan kebenaran matematika.

j. Filsafat Sejarah
Filsafat sejarah adalah cabang dari filsafat yang memeriksa mengenai prinsip-prinsip mendasar (hakekat) sejarah sejauh dapat ditangkap sang nalar dan bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, merupakan bersifat rasional-ilmiah. Filsafat sejarah menyelidiki prinsip-prinsip dasar keilmuan sejarah. Filsafat sejarah membicarakan “terdapat” menjadi sejarah. Pertanyaan yg bisa dikemukakan dalam filsafat sejarah adalah struktur mendasar atau esensi dasar apa yang mengakibatkan sejarah (masa lampau) itu sebagai terdapat atau hal-hal fundamental apa yg mengakibatkan sesuatu itu terjadi atau berubah. Filsafat sejarah menyampaikan hakekat sejarah atau esensi dasar sejarah.

Manfaat primer memeriksa filsafat sejarah merupakan akan mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti sejarah. Artinya, bahwa bagi seorang peneliti atau pengkaji sejarah (sejarawan) yg dibekali menggunakan pengetahuan filsafat sejarah akan mengakibatkan dirinya menjadi seseorang “kritikus” yg handal.

Dengan dilatarbelakangi pengetahuan sejarah, maka seorang peneliti sejarah akan lebih bisa melakukan suatu kritik atau penilaian serta koreksi mengenai hasil pengkajian sejarah. Oleh karena itu filsafat sejarah mutlak diharapkan agar bisa mengapresiasi pengkajian sejarah masa sekarang dengan lebih bermakna serta memuaskan. Kajian tentang sejarah akan lebih tuntas, menarik, serta bermakna bagi kehidupan manusia pada hari ini serta esok bila unsur-unsur dasarnya bias ditemukan. Seorang peneliti sejarah yang mengetahui serta memahami filsafat sejarah akan bisa menemukan struktur dasar (hakekat) pada dalam penjelasan (eksplanasi) sejarah. Karena itu setiap pakar sejarah yang menggunakan sungguh-sungguh menemkuni profesinya menjadi seseorang sejarawan professional, bukan sejarawan amatiran, mau nir mau menganut beberapa pendapat yg mengakar pada filsafat sejarah

2. Logika (Mengkaji tentang sahih atau keliru)
Logika berhubungan dengan pengetahuan, serta berhubungan dengan bahasa. Disini bahasa dimengerti menjadi cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan serta dinyatakan. Maka logika adalah cabang filsafat yg mengusut kesehatan cara berfikir serta anggaran-anggaran yg harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan absah adanya. 

Kritik ilmu
Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori pada membagi ilmu-ilmu saat ilmu yg satu berkait dengan ilmu lain, metode-metode pada ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis kabar yang diberikan. 

Dari seluruh penerangan tadi bisa disimpulkan bahwa kekaguman atau keheranan, keraguan atau kesangsian, dan pencerahan akan keterbatasan merupakan 3 hal yang mendorong manusia utuk berfilsafat. Rasa heran dan menyangsikan ini mendorong insan buat berpikir lebih mendalam, menyeluruh serta kritis buat memperoleh kepastian serta kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh serta kritis misalnya ini disebut menggunakan berfilsafat. Berfilsafat bisa pula bermula menurut adanya suatu pencerahan akan keterbatasan dalam dirinya. Jika seseorang merasa bahwa beliau sangat terbatas serta terikat terutama dalam saat mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasannya itu manusia berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas, pastilah ada sesuatu yang tidak terbatas yg dijadikan bahan kemajuan buat menemukan kebenaran yg hakiki.