Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Pusaran Desentralisasi Dan Good Governance
Di era globalisasi (globalisation) serta perekonomian dunia yang pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin kentara bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang (Coleman, 1990). Para stakeholder yang bekerja di pada sistem perekonomian semakin yakin bahwa kapital nir hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, indera-alat, dan mesin-mesin, akan namun juga berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ insan.
Kandungan lain berdasarkan human capital selain pengetahun dan ketrampilan merupakan ‘kemampuan warga untuk melakukan asosiasi (bekerjasama) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal krusial bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun pula bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yg demikian ini diklaim menggunakan ‘kapital sosial’ (social capital), yaitu kemampuan warga buat bekerja bersama demi mencapai tujuan beserta pada suatu gerombolan serta organisasi (Coleman, 1990). Oleh karenanya nir galat apabila Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi kapital (capital) pada pada ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yg lebih luas dan dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (3) golongan, yaitu: (a) kapital ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), serta (c) kapital sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan indera-alat produksi.
Modal kultural, terinstitusionalisasi pada bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial.
Semakin mengemukanya pencermatan terhadap eksistensi potensi serta peran penting modal sosial pada pada sistem perekonomian dewasa ini, mulai terjadi saat para ahli serta pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah kejanggalan serta kegagalan implementasi ’mazab ekonomi neo-klasik’ yang pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian dunia baru dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan sang Fukuyama (1992), bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera oleh banyak penyakit. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa implementasi mazab neo-klasik yg dewasa ini diterapkan secara menyeluruh pada dalam sistem perekonomian global, telah melupakan apa yang ditekankan pada beberapa bagian berdasarkan pemikiran pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith.
Pemikiran Smith ini dituangkan dalam bukunya Theory of Moral Sentiments, dimana diungkapkan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial serta dalam dasarnya tidak mampu dipahami terpisah berdasarkan istiadat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan warga dimana proses ekonomi itu terjadi (Muller, 1992). Dengan demikian jauh di masa sebelumnya, yaitu pada abad XVIII, para pelopor mazab ekonomi klasik telah menegaskan bahwa tatanan ekonomi dunia baru yang akan berlangsung harus tidak boleh meninggalkan keberadaan potensi serta kiprah keterlibatan apa yang dianggap menggunakan istilah 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting menurut kontrak sosial ini antara lain apa yang mereka sebut menjadi ciri jaringan sosial, pola-pola imbal pulang, dan kewajiban-kewajiban beserta, dimana unsur-unsur penting ini dianggap menggunakan modal sosial (Fukuyama, 1992).
Keberadaan potensi serta peran krusial keterlibatan modal sosial di pada sistem perekonomian ini jauh di masa sebelumnya pula sudah ditegaskan sang para ekonom pelopor mazab ekonomi sosialis, dalam beberapa dekade setelah kelahiran mazab ekonomi klasik. Mark dan Engle menjadi pelopornya menjelaskan mengenai eksistensi modal sosial ini dengan istilah ’keterikatan yang memiliki solidaritas’ (bounded solidarity). Terminologi bounded solidarity mendeskripsikan mengenai kemungkinan munculnya pola interaksi serta kerjasama yg kuat pada suatu gerombolan .
A. Definisi Modal Sosial
Modal sosial (social capital) bisa didefinisikan sebagai kemampuan rakyat buat bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, pada dalam berbagai gerombolan . Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul pada permukaan karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bawa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional serta memiliki kepentingan diri (self interested) sebagai sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992). Singkatnya kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk semua aspek manusia, termasuk konduite ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis.
Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yg sangat kompleks tertancap dalam norma-kebiasaan serta anggaran-anggaran yang lebih luas. Oleh karenannya kegiatan ekonomi merepresentasikan bagian yg penting menurut kehidupan sosial dan diikat beserta oleh varietas yang luas berdasarkan kebiasaan-norma, aturan-anggaran, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-norma lain yg beserta-sama membangun warga (Muller, 1992). Serta organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat buat melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain serta selanjutnya sebagai kekuatan yg sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.
Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau norma-kebiasaan informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu grup yg memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses interaksi antar insan yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yg memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama buat laba dan kebajikan bersama.
Sejalan menggunakan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-interaksi yg tercipta serta norma-kebiasaan yg membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial pada rakyat dalam spektrum yang luas, yaitu menjadi perekat sosial (social glue) yg menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yg diwujudkan dalam konduite yg bisa mendorong kemampuan dan kapabilitas buat berhubungan dan berkoordinasi buat membuat kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), kapital sosial adalah menjadi setiap interaksi yg terjadi dan diikat oleh suatu agama (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), serta nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota grup buat menciptakan kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen serta Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, kapital sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama pada warga atau bangsa buat mencapai kapasitas hayati yang lebih baik, ditopang sang nilai-nilai dan norma yg menjadi unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu rakyat atau bangsa dan sejenisnya.
B. Dimensi Modal Sosial
Modal sosial (social capital) tidak sinkron definisi serta terminologinya dengan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital merupakan ‘pengetahuan’ serta ‘ketrampilan’ insan. Investasi human capital konvensional adalah pada bentuk misalnya halnya pendidikan universitas, pembinaan sebagai seseorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yg sempurna lainnya. Sedangkan kapital sosial merupakan kapabilitas yg ada berdasarkan agama umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial bisa dilembagakan dalam bentuk grup sosial paling kecil atau paling fundamental serta jua gerombolan -gerombolan warga paling besar misalnya halnya negara (bangsa).
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti kepercayaan , tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan buat menciptakan jenis komunitas moral yang nir sanggup diperoleh misalnya pada perkara bentuk-bentuk human capital. Akuisisi kapital sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas serta dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan.
Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu syarat dimana komunitas itu mau saling menyebarkan buat mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai beserta. Jika titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk dalam kepentingan-kepentingan komunitas gerombolan , misalnya kesetiaan, kejujuran, serta dependability. Modal sosial lebih didasarkan dalam kebajikan-kebajikan sosial generik.
Bank Dunia (1999) meyakini modal sosial merupakan sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, serta kebiasaan-norma yg menciptakan kualitas serta kuantitas interaksi sosial pada warga . Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau grup yg menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu menjadi perekat (social glue) yg menjaga kesatuan anggota gerombolan secara beserta-sama.
Dimensi kapital sosial tumbuh pada dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola hubungan sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock serta Narayan, 2000). Oleh karenanya Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial merupakan adalah gambaran menurut keterikatan internal yg mewarnai struktur kolektif serta memberikan kohesifitas dan laba-laba beserta menurut proses dinamika sosial yg terjadi pada pada warga .
Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yang menciptakan rakyat bersekutu buat mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999).
Dimensi modal sosial melekat pada struktur rekanan sosial serta jaringan sosial pada dalam suatu warga yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, membentuk iklim saling percaya, membawa saluran warta, dan tetapkan kebiasaan-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999).
Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) menggunakan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai beserta yang dibangkitkan oleh agama (trust). Dimana trust ini adalah adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, serta perilaku kooperatif yang timbul dari dalam sebuah komunitas rakyat yg berdasarkan pada norma-kebiasaan yang dianut bersama sang para anggotanya. Norma-norma tadi sanggup berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Setidaknya dengan mendasarkan dalam konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi berdasarkan modal sosial merupakan memberikan fokus dalam kebersamaan rakyat buat mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan serta penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-kebiasaan yg dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, serta bertingkah-laku , dan berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai serta unsur yang adalah ruh kapital sosial diantaranya: perilaku yg partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai serta diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-kebiasaan yang mendukungnya.
Unsur lain yang memegang peranan penting merupakan kemauan warga buat secara terus menerus proaktif baik pada mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama juga menggunakan penciptaan kreasi serta ide-ilham baru. Inilah jati diri modal sosial yg sebenarnya.
Oleh karenanya dari Hasbullah (2006), dimensi inti telaah menurut kapital sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat buat berafiliasi membentuk suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tadi diwarnai sang suatu pola interrelasi yang imbal kembali dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yg ditopang sang norma-norma serta nilai-nilai sosial yang positif dan bertenaga. Kekuatan tadi akan maksimal bila didukung oleh semangat agresif membuat jalinan interaksi diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai serta norma-kebiasaan yg mendukungnya.
C. Tipologi Modal Sosial
Mereka yang memiliki perhatian terhadap kapital sosial pada umumnya tertarik buat menyelidiki kerekatan hubungan sosial dimana rakyat terlibat didalamnya, terutama kaitannya menggunakan pola-pola interaksi sosial atau interaksi sosial antar anggota masyarakat atau kelompok pada suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik buat dikaji.
Dimensi lain yg juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara kapital sosial yg berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yg tidak sinkron pada output-hasil yang bisa dicapai dan pengaruh-efek yang bisa ada dalam proses kehidupan dan pembangunan rakyat.
1. Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)
Modal sosial terikat merupakan cenderung bersifat tertentu (Hasbullah, 2006). Apa yg sebagai karakteristik dasar yg inheren pada tipologi ini, sekaligus menjadi ciri khasnya, pada konteks ilham, relasi serta perhatian, merupakan lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan menggunakan berorientasi keluar (outward looking). Ragam rakyat yang menjadi anggota kelompok ini dalam biasanya homogenius (cenderung homogen).
Di pada bahasa lain bonding social capital ini dikenal jua sebagai karakteristik sacred society. Menurut Putman (1993), dalam rakyat sacred society dogma tertentu mendominasi serta mempertahankan struktur rakyat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai serta kebiasaan-norma yg menguntungkan level hierarki tertentu serta feodal.
Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yg bonded atau inward looking atau sacred, meskipun interaksi sosial yang tercipta mempunyai taraf kohesifitas yg bertenaga, akan namun kurang merefleksikan kemampuan rakyat tadi buat membentuk dan mempunyai modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar pada batas kelompok pada keadaan eksklusif, struktur hierarki feodal, kohesifitas yg bersifat bonding.
Salah satu kehawatiran poly pihak selama ini merupakan terjadinya penurunan keanggotaan pada perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas grup, terbatasnya jaringan-jaringan sosial yg bisa diciptakan, menurunnya saling mempercayai serta hancurnya nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan sosial yg tumbuh serta berkembang dalam suatu entitas sosial.
Menurut Woolcock (1998), dalam pola yg berbentuk bonding atau exclusive pada umumnya perbedaan makna hubungan yg terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan dalam pola yg berbentuk bridging atau inclusive lebih menunjuk ke ke pola outward looking.
Misalnya semua anggota grup warga asal dari suku yg sama. Apa yang sebagai perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yg turun temurun yang telah diakui serta dijalankan menjadi bagian dari rapikan konduite (code conduct) dan konduite moral (code of ethics). Mereka lebih konservatif dan mengutamakan solidarity making berdasarkan pada hal-hal yg lebih konkret buat membentuk diri dan grup masyarakatnya sinkron dengan tuntutan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg lebih terbuka.
Jalinan kohesifitas kultural yang tercipta belum tentu merefkesikam modal sosial dalam arti luas (beberapa dimensi). Ide serta nilai-nilai pada masyarakat dibentuk sang pengamalan kultural. Nuansa kehidupan merupakan spektrum orthodoxy, pada mana kohesifitas, kebersamaan, serta hubungan sosial cenderung lebih kuat serta intens, akan namun warga itu sendiri didominasi sang situasi yang sulit lantaran pengaruh yang kuat menurut hirarki sosial pada atasnya. Mereka yang bertenaga, kelas atau kepentingan, sering memakai apa yang dikatan sebagai kekerasan simbolik buat memaksa rakyat yg berada pada bawah garisnya.
Secara generik pola yg demikian ini akan lebih banyak membawa impak negatif dibandingkan dengan dampak positifnya. Kekuatan hubungan sosial terkadang berkecenderungan buat menjauhi, menghindar, bahkan dalam situasi yang ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain pada luar grup, class, asosiasi dan sukunya. Oleh karenanya di dalam keikatannya menggunakan upaya pembangunan rakyat pada negara-negara berkembang waktu ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara akurat mengenai kesamaan serta konfigurasi kapital sosial di masing-masing daerah sebagai galat satu kebutuhan utama.
Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru apabila dalam rakyat tradisonal yang socially inward looking grup-kelompok warga yg terbentuk dikatakan tidak mempunyai kapital sosial. Modal sosial itu terdapat, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas gerombolan . Kohesifitas kelompok yg terbentuk karena faktor keeratan interaksi emosional ke pada yg sangat kuat. Keeratan tersebut jua disebabkan sang pola nilai yg melekat pada setiap proses interaksi yang jua berpola tradisional.
Mereka jua miskin menggunakan prinsip-prinsip kehidupan rakyat modern yg mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yg dibangun atas prinsip pergaulan yg egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya berbagi pandangan baru baru, orientasi baru, dan nilai-nilai dan kebiasaan baru yang memperkaya nilai-nilai serta norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi bertenaga terhadap perubahan.
Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yg demikian bahkan akan menghambat interaksi yang kreatif menggunakan negara, menggunakan kelomok masyarakat lain, serta merusak pembangunan rakyat itu sendiri secara keseluruhan.
Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era terkini ini adalah masih kuatnya dominasi gerombolan warga bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan bertenaga pula tingkat akomodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yg dilakukan oleh anggota grup terhadap grup lain atau negara, yang berada di luar grup mereka.
Demikian pula sudah merupakan berita umum, bahwa tak jarang sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana serta para praktisi pembangunan dibentuk kaget serta gelisah mengamati output-output pembangunan yg dicapai. Antar wilayah pada suatu negara stimulus pembangunan yg dicapai cenderung sama, akan namun hasilnya jauh tidak selaras. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tadi diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu daerah atau daerah serta beberapa faktor lainnya, akan namun mengabaikan adanya varian kultural yg direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi kapital sosial.
2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)
Akibatnya, kelompok rakyat tersebut terisolasi serta sulit keluar menurut pola-pola kehidupan yang sudah turun temurun menjadi kebiasaan. Di negara-negara berkembang, pada dimensi tertentu, gerombolan masyarakat yg demikian pada dasarnya mewarisi kelimpah-ruahan kapital sosial pada satu dimensi, yaitu pada bentuk hubungan kekarabatan (kinship) atau kelompok-grup sosial tradisonal yang asal berdasarkan garis keturunan (lineage). Apa yang nir dimiliki adalah rentang radius jaringan (the radius of networks) yang menghubungkan mereka menggunakan gerombolan warga lainnya, lintas suku, lintas kelas sosial, lintas profesi, serta lintas lapangan pekerjaan. Korupsi contohnya, akan tumbuh subur dan sulit diberantas, karena apa yang dikorup oleh anggota grup akan menguntungkan bonding class mereka.
Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk kapital sosial yg menjembatani ini biasa pula dianggap bentuk terkini berdasarkan suatu pengelompokan, class, asosiasi, atau warga . Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut berdasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, dan (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri).
Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota pada suatu gerombolan masyarakat memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama. Setiap keputusan gerombolan berdasarkan konvensi yang egaliter berdasarkan setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok warga hanya menjalankan kesepakatan -konvensi yang sudah dipengaruhi oleh para anggota grup.
Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota gerombolan bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan pandangan baru yg dapat menyebarkan grup tersebut. Iklim kebebasan yg tercipta memungkinkan inspirasi-ide kreatif muncul berdasarkan dalam (kelompok), yaitu menurut majemuk pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya inspirasi-pandangan baru kolektif yg tumbuh dalam kelompok tadi.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai humanisme, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota serta orang lain yang merupakan prinsip dasar pada pengembangan asosiasi, class, kelompok, atau suatu rakyat. Kehendak bertenaga buat membantu orang lain, mencicipi penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yg dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar wangsit humanitarian.
Sebagai konsekuensinya, warga yang menyandarkan dalam bridging social capital umumnya heterogen dari aneka macam ragam unsur latar belakang budaya serta suku. Setiap anggota grup memiliki akses yang sama buat membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yg dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan buat lebih cepat berkembang dengan kemampuan membangun networking yang bertenaga, menggerakkan identitas yg lebih luas serta reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ilham yg lebih memungkinkan buat berkembang sesuai menggunakan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.
Mengikuti Colemen (1999), tipologi warga bridging social capital dalam gerakannya lebih menaruh tekanan dalam dimensi fight for (berjuang buat). Yaitu yg mengarah kepada pencarian jawaban bersama buat menyelesaikan perkara yang dihadapi sang kelompok (pada situasi tertentu, termasuk duduk perkara di pada kelompok atau duduk perkara yg terjadi pada luar kelompok tadi). Pada keadaan eksklusif jiwa gerakan lebih diwarnai sang semangat fight againts yg bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul serta kepercayaan -agama tradisional yang dianut sang gerombolan masyarakat. Pada kelompok warga yg demikian ini, konduite gerombolan yang secara umum dikuasai adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making).
Hal ini sangat tidak sama menggunakan gerombolan tradisional yang mempunyai pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yg berada pada piramida atas memiliki kewenangan serta hak- hak yg lebih akbar, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan serta keuntungan ekonomi.
Kebebasan (freedom of conscience) adalah jati diri kelompok serta anggota kelompok (freedom of conscience). Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya donasi akbar terhadap perkembangan organisasi.
Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu pencerahan yg bertenaga bahwa hidup yg berwarna warni, menggunakan beragam suku, warna kulit dan cara hidup adalah bagian menurut kekayaan insan. Pada spektrum ini kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berpikir yg berbeda berada pada titik yang minimal. Kelompok ini memiliki sikap serta pandangan yang terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar gerombolan masyarakatnya (outward looking).
Bentuk modal sosial yg menjembatani (bridging capital social) umumnya bisa memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan rakyat. Hasil-output kajian pada poly negara menerangkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk kapital sosial yg menjembatani ini memungkinan perkembangan pada banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hayati insan akan menaikkan serta bangsa menjadi jauh lebih kuat.
Persoalannya menurut Hasbullah (2006), liputan yang terdapat di negara-negara berkembang menampakan kecenderungan bahwa impak positif kapital sosial menurut prosedur outward looking tidak berjalan misalnya yg diidealkan. Walaupun asosiasi yg dibangun sang warga dengan keaggotaannya yg hiterogen dan dibuat dengan penekanan serta jiwa buat mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat (duduk perkara solving oriented), akan tetapi nir mampu bekerja secara optimal.
Buruknya unsur-unusr penopang seperti trust, dan kebiasaan-kebiasaan yg sudah mengalami kehancuran dampak represi rezim otoriter yang pengaruhnya cukup pada dalam kehidupan masyarakat, modal sosial yg terbentuk pun menjadi kurang sekuat serta seberpengaruh seperti yg dibutuhkan. Akibatnya tidak memiliki imbas yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup individu, juga bagi perkembangan warga dan bangsa secara lebih luas.
D. Parameter serta Indkator Modal Sosial
Modal sosial seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, dalam arti ia jua bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yg intim dan konsisten. Modal sosial memilih dalam jaringan, norma dan agama yang berpotensi pada produktivitas rakyat. Tetapi demikian, kapital sosial berbeda dengan modal finansial, karena kapital sosial bersifat kumulatif serta bertambah dengan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, kapital sosial tidak akan habis apabila digunakan, melainkan semakin semakin tinggi. Rusaknya modal sosial lebih seringkali disebabkan bukan lantaran dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda menggunakan kapital manusia, kapital sosial jua menunjuk dalam kemampuan orang buat berasosiasi menggunakan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar dalam norma-kebiasaan serta nilai-nilai bersama, asosiasi antar insan tersebut membuat agama yang dalam gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar serta terukur (Fukuyama, 1995).
Merujuk dalam Ridell (1997), terdapat tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) serta jaringan-jaringan (networks).
1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah asa yg tumbuh pada dalam sebuah warga yg ditunjukkan sang adanya perilaku amanah, teratur, dan kerjasama berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dianut bersama.
Kepercayaan sosial adalah penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) lalu mencatat bahwa pada rakyat yang memiliki taraf agama tinggi, anggaran-aturan sosial cenderung bersifat positif; interaksi-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: lima). Kepercayaan sosial pada dasarnya adalah produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yg baik ditandai oleh adanya lembaga-forum sosial yang kokoh; kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang serasi (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menyebabkan anomie serta perilaku anti sosial (Cox, 1995).
2. Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, asa-asa dan tujuan-tujuan yang diyakini serta dijalankan bersama sang sekelompok orang. Norma-kebiasaan bisa bersumber dari agama, panduan moral, juga baku-baku sekuler misalnya halnya kode etik profesional.
Norma-kebiasaan dibangun serta berkembang dari sejarah kerjasama pada masa kemudian serta diterapkan buat mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma bisa merupaka pra-syarat juga produk dari agama sosial.
3. Jaringan
Infrastruktur bergerak maju dari kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tadi memfasilitasi terjadinya komunikasi dan hubungan, memungkinkan tumbuhnya agama serta memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung mempunyai jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu menggunakan orang lain. Mereka lalu membangun inter-relasi yg kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya dan manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
Bersandar pada parameter pada atas, beberapa indikator kunci yg dapat dijadikan ukuran modal sosial diantaranya (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
a. Perasaan bukti diri;
b. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi;
c. Sistem agama serta ideologi;
d. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan;
e. Ketakutan-ketakutan;
f. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat;
g. Persepsi tentang akses terhadap pelayanan, sumber serta fasilitas (contohnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial);
h. Opini mengenai kinerja pemerintah yg sudah dilakukan terdahulu;
i. Keyakinan pada lembaga-lembaga warga serta orang-orang dalam umumnya;
j. Tingkat kepercayaan ;
k. Kepuasaan pada hidup serta bidang-bidang kemasyarakatan lainnya;
l. Harapan-harapan yang ingin dicapai pada masa depan;
Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis serta berdasar pada hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, kapital sosial bukan merupakan produk berdasarkan inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, kapital sosial bisa ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).