PERBEDAAN TUMBUH DAN BERKEMBANG PENJELASAN ARTI KATA DALAM BAHASA INDONESIA

Penjelasan Lengkap tentang Arti Kata Tumbuh serta Berkembang bersama Contohnya caraflexi.blogspot.com - Sering kita dengar kata tumbuh dan berkembang yang dipakai dalam satu kalimat. Misalnya: Usahanya sudah tumbuh dan berkembang menggunakan pesat. 

Sebenarnya apa disparitas antara arti kata tumbuh dan arti istilah berkembang. Keduanya  (kata tumbuh dan berkembang) mempunyai makna yang seakan-akan sama. Akan namun sebenarnya sangat tidak selaras bila dianalisis makna istilah secara mendalam.
Pertama, kita bahas perbedaan antara istilah tumbuh dan berkembang secara morfologis. Kata tumbuh tidak mendapat afiks (imbuhan) sementara istilah berkembang berasal berdasarkan kata dasar kembang. 

Penjelasan istilah kembang sudah terdapat pada postingan sebelumnya yg membandingkan antara kata bunga dan kembang yang berjudul: Perbedaan Bunga dan Kembang.
Kali ini perlu kita jelaskan dulu arti istilah tumbuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yg diterbitkan oleh pusat bahasa, istilah tumbuh memiliki tiga penerangan arti. Dari ketiga arti istilah tumbuh tersebut, arti yang ke 2 berkaitan erat dengan istilah berkembang. Berikut arti lengkapnya.

Tumbuh

1. muncul (hidup) serta bertambah akbar atau paripurna (mengenai benih flora; bagian tubuh misalnya rambut, gigi, mengenai penyakit kulit misalnya bisul, jerawat):
2 sedang berkembang (menjadi akbar, paripurna, serta sebagainya):
3 muncul; terbit; terjadi (sesuatu):
Dari ketiga arti pada atas, yg dimaksud menggunakan tumbuh adalah yang awalnya mini menjadi akbar, yang awalnya pendek sebagai tinggi, yang awalnya sempit sebagai lebar.
Seperti yg sudah dijelaskan pada awal, kata tumbuh berkaitan erat menggunakan istilah berkembang. Tumbuh pada pada dasarnya, yang awalnya nir terdapat sebagai ada.
Jika dibandingkan dengan berkembang, tumbuh mengandung makna yg awalnya nir terdapat sebagai terdapat, atau berubah wujud.
Misalnya, dalam kalimat:
Biji yang ditanam telah tumbuh menjadi bibit.

Dalam model kalimat di atas, istilah tumbuh jelas dipakai buat memperlihatkan hal yang berubah wujud. Yang awalnya berupa benih, sudah berubah menjadi bibit. Benih awalnya adalah biji-bijian, ad interim ketika mengalami proses tumbuh, berubah sebagai tanaman kecil yang dianggap bibit.
Sementara, istilah berkembang identik dengan bertambah. Misalnya, penggunaan istilah berkembang dalam bidang ilmu hayati.
Contoh Kalimat:
Ayam kampung bisa berkembang biak dengan alamiah.

Arti kata berkembang biak di atas menunjukkan makna bertambah. Yang awalnya hanya induknya saja bertambah dengan anak-anak ayam.
Dari penjelasan pada atas, jelas telah perbedaan antara tumbuh dan berkembang. Jika tumbuh identik dengan berubah menjadi dan semakin akbar. Sementara bila berkembang lebih identik dengan bertambah poly.

Semoga penerangan sederhana mengenai arti istilah tumbuh dan istilah kembang ini sanggup bermanfaat. Juga semakin mengasihi bahasa Indonesia yg sangat kaya. Salam!

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PUSARAN DESENTRALISASI DAN GOOD GOVERNANCE

Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Pusaran Desentralisasi Dan Good Governance
Di era globalisasi (globalisation) serta perekonomian dunia yg pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang (Coleman, 1990). Para stakeholder yang bekerja di pada sistem perekonomian semakin yakin bahwa kapital nir hanya berwujud indera-indera produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, serta mesin-mesin, akan namun pula berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. 

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan ketrampilan merupakan ‘kemampuan masyarakat buat melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain’. Kemampuan ini akan sebagai modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi jua bagi setiap aspek eksistensi sosial yg lain. Modal yang demikian ini diklaim dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan rakyat untuk bekerja beserta demi mencapai tujuan bersama dalam suatu grup serta organisasi (Coleman, 1990). Oleh karena itu nir salah jika Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi modal (capital) pada pada ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar indera-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga (3) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) kapital kultural (cultural capital), serta (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan menggunakan kepemilikan indera-indera produksi. 

Modal kultural, terinstitusionalisasi pada bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri berdasarkan kewajiban - kewajiban sosial. 

Semakin mengemukanya pencermatan terhadap eksistensi potensi serta peran penting modal sosial di pada sistem perekonomian dewasa ini, mulai terjadi saat para ahli dan pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah kejanggalan serta kegagalan implementasi ’mazab ekonomi neo-klasik’ yg pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian dunia baru dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan sang Fukuyama (1992), bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera sang banyak penyakit. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa implementasi mazab neo-klasik yang dewasa ini diterapkan secara menyeluruh di pada sistem perekonomian global, telah melupakan apa yg ditekankan pada beberapa bagian dari pemikiran pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith. 

Pemikiran Smith ini dituangkan pada bukunya Theory of Moral Sentiments, dimana diungkapkan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam dalam kehidupan sosial serta dalam dasarnya tidak mampu dipahami terpisah berdasarkan adat, moral, serta norma-norma warga dimana proses ekonomi itu terjadi (Muller, 1992). Dengan demikian jauh pada masa sebelumnya, yaitu dalam abad XVIII, para pelopor mazab ekonomi klasik sudah menegaskan bahwa tatanan ekonomi global baru yang akan berlangsung harus tidak boleh meninggalkan eksistensi potensi serta kiprah keterlibatan apa yang dianggap dengan istilah 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting menurut kontrak sosial ini diantaranya apa yg mereka sebut sebagai karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik , serta kewajiban-kewajiban bersama, dimana unsur-unsur penting ini disebut menggunakan modal sosial (Fukuyama, 1992). 

Keberadaan potensi serta peran penting keterlibatan modal sosial pada dalam sistem perekonomian ini jauh di masa sebelumnya jua sudah ditegaskan oleh para ekonom pelopor mazab ekonomi sosialis, dalam beberapa dasa warsa selesainya kelahiran mazab ekonomi klasik. Mark dan Engle menjadi pelopornya mengungkapkan mengenai keberadaan kapital sosial ini menggunakan kata ’keterikatan yg memiliki solidaritas’ (bounded solidarity). Terminologi bounded solidarity menggambarkan tentang kemungkinan munculnya pola hubungan serta kerjasama yg kuat pada suatu gerombolan . 

A. Definisi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) bisa didefinisikan sebagai kemampuan warga buat bekerja beserta, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai gerombolan . Sejumlah kejanggalan serta kegagalan tersebut muncul di bagian atas karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menduga bawa faktor-faktor kultural berdasarkan perilaku (behavior) insan menjadi makluk rasional serta mempunyai kepentingan diri (self interested) menjadi sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992). Singkatnya kehidupan ekonomi tidak sanggup dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk semua aspek insan, termasuk konduite ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis. 

Ditegaskan sang Smith bahwa motivasi ekonomi menjadi sesuatu yang sangat kompleks tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan serta aturan-aturan yang lebih luas. Oleh karenannya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang penting dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas berdasarkan norma-kebiasaan, anggaran-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan norma-norma lain yang beserta-sama membangun masyarakat (Muller, 1992). Serta organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, kapital sosial merupakan kemampuan rakyat untuk melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat krusial bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi pula setiap aspek keberadaan sosial yang lain. 

Fukuyama (1995) mendifinisikan, kapital sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu grup yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar insan yang ditopang sang jaringan, norma-kebiasaan, serta agama sosial yang memungkinkan efisien serta efektifnya koordinasi serta kerjasama buat laba dan kebajikan beserta. 

Sejalan menggunakan Fukuyama dan Cox, Partha serta Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial menjadi hubungan-hubungan yang tercipta dan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial pada rakyat pada spektrum yg luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yg menjaga kesatuan anggota gerombolan secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau kebiasaan-kebiasaan yang diwujudkan dalam konduite yg bisa mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk berafiliasi serta berkoordinasi buat membuat donasi akbar terhadap keberlanjutan produktivitas. 

Adapun dari Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah menjadi setiap interaksi yg terjadi serta diikat oleh suatu agama (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai beserta (shared value) yg mengikat anggota kelompok untuk menciptakan kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien serta efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menyebutkan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yg berkaitan dengan kolaborasi pada warga atau bangsa buat mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang sebagai unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu warga atau bangsa dan sejenisnya. 

B. Dimensi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya menggunakan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ insan. Investasi human capital konvensional adalah pada bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pembinaan sebagai seorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yg sempurna lainnya. Sedangkan kapital sosial merupakan kapabilitas yang muncul berdasarkan agama generik pada dalam sebuah rakyat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial bisa dilembagakan dalam bentuk grup sosial paling mini atau paling mendasar dan juga gerombolan -grup rakyat paling besar seperti halnya negara (bangsa). 

Modal sosial ditransmisikan melalui prosedur-mekanisme kultural misalnya kepercayaan , tradisi, atau norma sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial diperlukan buat menciptakan jenis komunitas moral yg nir mampu diperoleh misalnya pada masalah bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. 

Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu syarat dimana komunitas itu mau saling berbagi buat mencari titik temu kebiasaan-norma dan nilai-nilai bersama. Jika titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka dalam gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk dalam kepentingan-kepentingan komunitas grup, misalnya kesetiaan, kejujuran, serta dependability. Modal sosial lebih didasarkan dalam kebajikan-kebajikan sosial umum. 

Bank Dunia (1999) meyakini kapital sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yg membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial pada rakyat. Modal sosial bukanlah sekedar kumpulan jumlah institusi atau kelompok yg menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan menggunakan spektrum yg lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yg menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. 

Dimensi modal sosial tumbuh di pada suatu warga yang didalamnya berisi nilai serta norma dan pola-pola interaksi sosial pada mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karenanya Adler serta Kwon (2000) menyatakan, dimensi kapital sosial merupakan merupakan citra berdasarkan keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama menurut proses dinamika sosial yg terjadi pada pada rakyat. 

Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yg menciptakan masyarakat bersekutu buat mencapai tujuan beserta atas dasar kebersamaan, dan didalamnya diikat sang nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta serta Serageldin, 1999). 

Dimensi kapital sosial inheren pada struktur rekanan sosial dan jaringan sosial di pada suatu masyarakat yg membentuk aneka macam ragam kewajiban sosial, membentuk iklim saling percaya, membawa saluran kabar, dan memutuskan norma-kebiasaan, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota rakyat tadi (Coleman, 1999). 

Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) menggunakan tegas menyatakan, belum tentu kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai beserta yg dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laris itu otomatis menjadi kapital sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai beserta yang dibangkitkan sang agama (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-asa terhadap keteraturan, kejujuran, serta konduite kooperatif yang ada dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang berdasarkan dalam kebiasaan-norma yg dianut bersama sang para anggotanya. Norma-norma tersebut mampu berisi pernyataan-pernyataan yg berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. 

Setidaknya dengan mendasarkan dalam konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka bisa ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi berdasarkan kapital sosial adalah menaruh fokus dalam kebersamaan masyarakat buat mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, serta senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan serta upaya mencapai tujuan tadi, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, serta bertingkah-laku , dan berafiliasi atau membentuk jaringan dengan pihak lain. 

Beberapa acuan nilai dan unsur yg merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yg partisipatif, perilaku yang saling memperhatikan, saling memberi serta mendapat, saling percaya mempercayai dan diperkuat sang nilai-nilai serta norma-kebiasaan yg mendukungnya.

Unsur lain yg memegang peranan penting merupakan kemauan rakyat buat secara terus menerus agresif baik dalam mempertahakan nilai, menciptakan jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-wangsit baru. Inilah jati diri kapital sosial yang sebenarnya. 

Oleh karena itu dari Hasbullah (2006), dimensi inti jajak dari kapital sosial terletak dalam bagaimana kemampuan warga buat berafiliasi membentuk suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tadi diwarnai oleh suatu pola interrelasi yg imbal balik dan saling menguntungkan dan dibangun diatas agama yg ditopang sang kebiasaan-kebiasaan serta nilai-nilai sosial yang positif dan bertenaga. Kekuatan tadi akan maksimal apabila didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip perilaku yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi serta mendapat, saling percaya mempercayai serta diperkuat sang nilai-nilai dan kebiasaan-norma yg mendukungnya. 

C. Tipologi Modal Sosial 
Mereka yang mempunyai perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik buat menelaah kerekatan interaksi sosial dimana rakyat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola hubungan sosial atau interaksi sosial antar anggota masyarakat atau grup dalam suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan kegiatan mereka pada suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji. 

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan menggunakan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara kapital sosial yg berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya mempunyai akibat yang tidak sama dalam hasil-output yg dapat dicapai dan efek-pengaruh yg bisa timbul pada proses kehidupan dan pembangunan warga . 

1. Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) 
Modal sosial terikat merupakan cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang sebagai ciri dasar yg inheren pada tipologi ini, sekaligus sebagai karakteristik khasnya, pada konteks ide, relasi dan perhatian, merupakan lebih berorientasi ke pada (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yg sebagai anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). 

Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal jua sebagai karakteristik sacred society. Menurut Putman (1993), pada warga sacred society dogma tertentu mendominasi serta mempertahankan struktur masyarakat yg totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di pada pola hubungan sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu serta feodal. 

Hasbullah (2006) menyatakan, dalam mayarakat yg bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki taraf kohesifitas yg bertenaga, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut buat membentuk serta memiliki kapital sosial yg bertenaga. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas grup dalam keadaan tertentu, struktur hierarki feodal, kohesifitas yg bersifat bonding. 

Salah satu kehawatiran poly pihak selama ini merupakan terjadinya penurunan keanggotaan dalam perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas gerombolan , terbatasnya jaringan-jaringan sosial yg dapat diciptakan, menurunnya saling mempercayai serta hancurnya nilai-nilai serta norma-norma sosial yang tumbuh serta berkembang dalam suatu entitas sosial. 

Menurut Woolcock (1998), pada pola yang berbentuk bonding atau exclusive dalam umumnya perbedaan makna hubungan yg terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan pada pola yg berbentuk bridging atau inclusive lebih menunjuk ke ke pola outward looking. 

Misalnya semua anggota kelompok rakyat asal dari suku yang sama. Apa yg menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun temurun yang telah diakui serta dijalankan sebagai bagian menurut rapikan perilaku (code conduct) dan perilaku moral (code of ethics). Mereka lebih ortodok serta mengutamakan solidarity making berdasarkan pada hal-hal yang lebih konkret buat menciptakan diri dan grup masyarakatnya sinkron menggunakan tuntutan nilai-nilai serta norma-kebiasaan yang lebih terbuka. 

Jalinan kohesifitas kultural yg tercipta belum tentu merefkesikam kapital sosial dalam arti luas (beberapa dimensi). Ide dan nilai-nilai dalam warga dibuat sang pengamalan kultural. Nuansa kehidupan merupakan spektrum orthodoxy, di mana kohesifitas, kebersamaan, serta interaksi sosial cenderung lebih kuat serta intens, akan namun rakyat itu sendiri didominasi sang situasi yang sulit karena imbas yang kuat berdasarkan hirarki sosial di atasnya. Mereka yang bertenaga, kelas atau kepentingan, seringkali menggunakan apa yg dikatan menjadi kekerasan simbolik buat memaksa warga yg berada pada bawah garisnya. 

Secara generik pola yg demikian ini akan lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial terkadang berkecenderungan buat menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yg ekstrim mengidap kebencian terhadap warga lain pada luar kelompok, class, asosiasi dan sukunya. Oleh karenanya pada pada keikatannya menggunakan upaya pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang ketika ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara seksama mengenai kesamaan serta konfigurasi kapital sosial di masing-masing wilayah sebagai keliru satu kebutuhan primer. 

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah galat jika dalam rakyat tradisonal yang socially inward looking kelompok-gerombolan rakyat yang terbentuk dikatakan tidak mempunyai kapital sosial. Modal sosial itu terdapat, akan tetapi kekuatannya terbatas dalam satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas kelompok. Kohesifitas gerombolan yg terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional ke dalam yg sangat kuat. Keeratan tadi jua ditimbulkan sang pola nilai yang inheren pada setiap proses hubungan yg pula berpola tradisional. 

Mereka pula miskin dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas serta kompetisi yg dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain berdasarkan sifat serta tipologi ketertutupan sosial ini merupakan sulitnya berbagi ide baru, orientasi baru, serta nilai-nilai dan norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan kebiasaan yg sudah terdapat. Kelompok bonding social capital yg terbentuk dalam akhirnya mempunyai resistensi kuat terhadap perubahan. 

Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yg demikian bahkan akan Mengganggu interaksi yg kreatif menggunakan negara, dengan kelomok warga lain, serta merusak pembangunan rakyat itu sendiri secara holistik. 

Dampak negatif lain yg sangat menonjol di era terkini ini adalah masih kuatnya penguasaan grup warga bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan kuat juga taraf akomodasi rakyat terhadap berbagai konduite defleksi yang dilakukan sang anggota kelompok terhadap gerombolan lain atau negara, yang berada di luar kelompok mereka. 

Demikian pula telah adalah informasi umum, bahwa sering sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana serta para praktisi pembangunan dibentuk kaget serta gelisah mengamati output-output pembangunan yg dicapai. Antar wilayah pada suatu negara stimulus pembangunan yg dicapai cenderung sama, akan namun hasilnya jauh berbeda. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tadi diarahkan dalam varian human capital yg ada di suatu daerah atau wilayah serta beberapa faktor lainnya, akan namun mengabaikan adanya varian kultural yang direfleksikan sang adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi modal sosial. 

2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) 
Akibatnya, grup rakyat tadi terisolasi dan sulit keluar dari pola-pola kehidupan yg sudah turun temurun sebagai kebiasaan. Di negara-negara berkembang, dalam dimensi tertentu, kelompok masyarakat yg demikian dalam dasarnya mewarisi kelimpah-ruahan kapital sosial pada satu dimensi, yaitu dalam bentuk interaksi kekarabatan (kinship) atau gerombolan -gerombolan sosial tradisonal yang berasal menurut garis keturunan (lineage). Apa yg tidak dimiliki adalah rentang radius jaringan (the radius of networks) yg menghubungkan mereka dengan grup warga lainnya, lintas suku, lintas kelas sosial, lintas profesi, dan lintas lapangan pekerjaan. Korupsi misalnya, akan tumbuh fertile serta sulit diberantas, lantaran apa yg dikorup sang anggota kelompok akan menguntungkan bonding class mereka. 

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini biasa juga diklaim bentuk modern berdasarkan suatu pengelompokan, class, asosiasi, atau rakyat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut berdasarkan pada prinsip-prinsip universal mengenai: (a) persamaan, (b) kebebasan, dan (c) nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian (kemanusiaan, terbuka, serta berdikari). 

Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu gerombolan masyarakat memiliki hak-hak serta kewajiban yg sama. Setiap keputusan kelompok menurut konvensi yg egaliter berdasarkan setiap anggota kelompok. Pimpinan grup warga hanya menjalankan kesepakatan -kesepakatan yg telah ditentukan sang para anggota kelompok. 

Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota grup bebas berbicara, mengemukakan pendapat serta ilham yang bisa menyebarkan grup tersebut. Iklim kebebasan yg tercipta memungkinkan wangsit-pandangan baru kreatif ada dari pada (gerombolan ), yaitu berdasarkan majemuk pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya wangsit-pandangan baru kolektif yg tumbuh dalam kelompok tersebut. 

Prinsip kemajemukan serta humanitarian, bahwasanya nilai-nilai humanisme, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota serta orang lain yg merupakan prinsip dasar pada pengembangan asosiasi, group, gerombolan , atau suatu masyarakat. Kehendak bertenaga buat membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yg dihadapi orang lain, adalah adalah dasar-dasar ilham humanitarian. 

Sebagai konsekuensinya, rakyat yang menyandarkan pada bridging social capital umumnya tidak sejenis dari aneka macam ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota grup memiliki akses yg sama untuk menciptakan jaringan atau koneksi keluar kelompoknya menggunakan prinsip persamaan, humanisme, serta kebebasan yg dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan buat lebih cepat berkembang menggunakan kemampuan menciptakan networking yg bertenaga, menggerakkan bukti diri yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, dan akumulasi ide yang lebih memungkinkan buat berkembang sesuai menggunakan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. 

Mengikuti Colemen (1999), tipologi warga bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan dalam dimensi fight for (berjuang buat). Yaitu yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama buat menuntaskan kasus yang dihadapi sang grup (dalam situasi eksklusif, termasuk masalah di dalam gerombolan atau dilema yg terjadi pada luar kelompok tadi). Pada keadaan eksklusif jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan -kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada gerombolan rakyat yang demikian ini, perilaku gerombolan yg dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). 

Hal ini sangat berbeda dengan grup tradisional yg memiliki pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yang berada pada piramida atas memiliki wewenang dan hak- hak yg lebih akbar, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan serta laba ekonomi. 

Kebebasan (freedom of conscience) merupakan jati diri grup dan anggota grup (freedom of conscience). Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya donasi akbar terhadap perkembangan organisasi. 

Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu kesadaran yg bertenaga bahwa hidup yang berwarna warni, menggunakan beragam suku, rona kulit serta cara hidup adalah bagian menurut kekayaan manusia. Pada spektrum ini kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berpikir yang tidak sama berada dalam titik yg minimal. Kelompok ini memiliki sikap dan pandangan yang terbuka serta senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar kelompok masyarakatnya (outward looking). 

Bentuk kapital sosial yg menjembatani (bridging capital social) biasanya sanggup memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan warga . Hasil-output kajian pada banyak negara menerangkan bahwa menggunakan tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan perkembangan pada banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, meningkatkan kecepatan keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hayati manusia akan menaikkan serta bangsa menjadi jauh lebih bertenaga. 

Persoalannya dari Hasbullah (2006), fakta yg terdapat pada negara-negara berkembang menampakan kesamaan bahwa dampak positif modal sosial menurut prosedur outward looking tidak berjalan misalnya yang diidealkan. Walaupun asosiasi yang dibangun oleh rakyat menggunakan keaggotaannya yg hiterogen serta dibentuk dengan penekanan dan jiwa buat mengatasi problem sosial ekonomi rakyat (masalah solving oriented), akan namun nir mampu bekerja secara optimal. 

Buruknya unsur-unusr penopang seperti trust, dan norma-norma yang telah mengalami kehancuran akibat represi rezim otoriter yang pengaruhnya cukup pada pada kehidupan masyarakat, kapital sosial yg terbentuk pun menjadi kurang sekuat dan seberpengaruh misalnya yg diharapkan. Akibatnya nir memiliki efek yang signifikan bagi pemugaran kualitas hidup individu, juga bagi perkembangan rakyat dan bangsa secara lebih luas. 

D. Parameter serta Indkator Modal Sosial
Modal sosial mirip bentuk-bentuk kapital lainnya, pada arti dia juga bersifat produktif. Modal sosial bisa dijelaskan menjadi produk relasi manusia satu sama lain, khususnya rekanan yang intim serta konsisten. Modal sosial menunjuk dalam jaringan, kebiasaan dan kepercayaan yg berpotensi dalam produktivitas rakyat. Tetapi demikian, kapital sosial tidak sinkron dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah menggunakan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial nir akan habis bila dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih acapkali ditimbulkan bukan karena dipakai, melainkan lantaran ia tidak dipergunakan. Berbeda menggunakan modal manusia, modal sosial pula menunjuk pada kemampuan orang buat berasosiasi menggunakan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar pada kebiasaan-norma dan nilai-nilai beserta, asosiasi antar insan tersebut membentuk agama yang pada gilirannya mempunyai nilai ekonomi yg akbar dan terukur (Fukuyama, 1995).

Merujuk dalam Ridell (1997), terdapat tiga parameter kapital sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-kebiasaan (norms) dan jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), agama merupakan harapan yg tumbuh pada pada sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku amanah, teratur, serta kerjasama menurut kebiasaan-kebiasaan yang dianut bersama. 

Kepercayaan sosial adalah penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) lalu mencatat bahwa dalam rakyat yg mempunyai taraf agama tinggi, anggaran-anggaran sosial cenderung bersifat positif; interaksi-interaksi pula bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: 5). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk menurut modal sosial yg baik. Adanya kapital sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan kapital sosial akan mengakibatkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma
Norma-kebiasaan terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, asa-asa serta tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber berdasarkan kepercayaan , pedoman moral, juga standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. 

Norma-kebiasaan dibangun serta berkembang menurut sejarah kerjasama di masa lalu serta diterapkan buat mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-kebiasaan bisa merupaka pra-syarat maupun produk dari agama sosial.

3. Jaringan
Infrastruktur dinamis berdasarkan kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan hubungan, memungkinkan tumbuhnya agama dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yg kokoh. Orang mengetahui dan bertemu menggunakan orang lain. Mereka lalu menciptakan inter-rekanan yg kental, baik bersifat formal juga informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya dan manfaat-manfaat menurut partisipasinya itu.

Bersandar dalam parameter di atas, beberapa indikator kunci yg dapat dijadikan berukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
a. Perasaan bukti diri;
b. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi;
c. Sistem agama dan ideologi;
d. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan;
e. Ketakutan-ketakutan;
f. Sikap-sikap terhadap anggota lain pada masyarakat;
g. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, asal serta fasilitas (contohnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, agunan sosial);
h. Opini tentang kinerja pemerintah yang sudah dilakukan terdahulu;
i. Keyakinan pada lembaga-lembaga warga dan orang-orang pada umumnya;
j. Tingkat kepercayaan ;
k. Kepuasaan pada hayati serta bidang-bidang kemasyarakatan lainnya;
l. Harapan-asa yg ingin dicapai pada masa depan;

Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan berdasarkan bawah (bottom-up), tidak hierarkis serta berdasar dalam interaksi yg saling menguntungkan. Oleh karena itu, kapital sosial bukan adalah produk dari inisiatif serta kebijakan pemerintah. Tetapi demikian, modal sosial bisa ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PUSARAN DESENTRALISASI DAN GOOD GOVERNANCE

Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dalam Pusaran Desentralisasi Dan Good Governance
Di era globalisasi (globalisation) serta perekonomian dunia yang pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin kentara bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang (Coleman, 1990). Para stakeholder yang bekerja di pada sistem perekonomian semakin yakin bahwa kapital nir hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, indera-alat, dan mesin-mesin, akan namun juga berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ insan. 

Kandungan lain berdasarkan human capital selain pengetahun dan ketrampilan merupakan ‘kemampuan warga untuk melakukan asosiasi (bekerjasama) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal krusial bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun pula bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yg demikian ini diklaim menggunakan ‘kapital sosial’ (social capital), yaitu kemampuan warga buat bekerja bersama demi mencapai tujuan beserta pada suatu gerombolan serta organisasi (Coleman, 1990). Oleh karenanya nir galat apabila Bourdieu (1986) mengemukakan kritiknya terhadap terminologi kapital (capital) pada pada ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yg lebih luas dan dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (3) golongan, yaitu: (a) kapital ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), serta (c) kapital sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan indera-alat produksi. 

Modal kultural, terinstitusionalisasi pada bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial. 

Semakin mengemukanya pencermatan terhadap eksistensi potensi serta peran penting modal sosial pada pada sistem perekonomian dewasa ini, mulai terjadi saat para ahli serta pelaku ekonomi mulai merasakan adanya sejumlah kejanggalan serta kegagalan implementasi ’mazab ekonomi neo-klasik’ yang pro-globalisasi dan pro-liberalisasi perdagangan dalam menata perekonomian dunia baru dewasa ini. Sebagaimana ditegaskan sang Fukuyama (1992), bahwa perkembangan ekonomi dunia dewasa ini didera oleh banyak penyakit. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa implementasi mazab neo-klasik yg dewasa ini diterapkan secara menyeluruh pada dalam sistem perekonomian global, telah melupakan apa yang ditekankan pada beberapa bagian berdasarkan pemikiran pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith. 

Pemikiran Smith ini dituangkan dalam bukunya Theory of Moral Sentiments, dimana diungkapkan bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial serta dalam dasarnya tidak mampu dipahami terpisah berdasarkan istiadat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan warga dimana proses ekonomi itu terjadi (Muller, 1992). Dengan demikian jauh di masa sebelumnya, yaitu pada abad XVIII, para pelopor mazab ekonomi klasik telah menegaskan bahwa tatanan ekonomi dunia baru yang akan berlangsung harus tidak boleh meninggalkan keberadaan potensi serta kiprah keterlibatan apa yang dianggap menggunakan istilah 'kontrak sosial’ (social contract). Unsur penting menurut kontrak sosial ini antara lain apa yang mereka sebut menjadi ciri jaringan sosial, pola-pola imbal pulang, dan kewajiban-kewajiban beserta, dimana unsur-unsur penting ini dianggap menggunakan modal sosial (Fukuyama, 1992). 

Keberadaan potensi serta peran krusial keterlibatan modal sosial di pada sistem perekonomian ini jauh di masa sebelumnya pula sudah ditegaskan sang para ekonom pelopor mazab ekonomi sosialis, dalam beberapa dekade setelah kelahiran mazab ekonomi klasik. Mark dan Engle menjadi pelopornya menjelaskan mengenai eksistensi modal sosial ini dengan istilah ’keterikatan yang memiliki solidaritas’ (bounded solidarity). Terminologi bounded solidarity mendeskripsikan mengenai kemungkinan munculnya pola interaksi serta kerjasama yg kuat pada suatu gerombolan . 

A. Definisi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) bisa didefinisikan sebagai kemampuan rakyat buat bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, pada dalam berbagai gerombolan . Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul pada permukaan karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bawa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional serta memiliki kepentingan diri (self interested) sebagai sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 1992). Singkatnya kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk semua aspek manusia, termasuk konduite ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis. 

Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yg sangat kompleks tertancap dalam norma-kebiasaan serta anggaran-anggaran yang lebih luas. Oleh karenannya kegiatan ekonomi merepresentasikan bagian yg penting menurut kehidupan sosial dan diikat beserta oleh varietas yang luas berdasarkan kebiasaan-norma, aturan-anggaran, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-norma lain yg beserta-sama membangun warga (Muller, 1992). Serta organisasi (Coleman, 1999). Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinsikan, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat buat melakukan asosiasi (berafiliasi) satu sama lain serta selanjutnya sebagai kekuatan yg sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan namun juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. 

Fukuyama (1995) mendifinisikan, modal sosial menjadi serangkaian nilai-nilai atau norma-kebiasaan informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu grup yg memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses interaksi antar insan yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yg memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama buat laba dan kebajikan bersama. 

Sejalan menggunakan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-interaksi yg tercipta serta norma-kebiasaan yg membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial pada rakyat dalam spektrum yang luas, yaitu menjadi perekat sosial (social glue) yg menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yg diwujudkan dalam konduite yg bisa mendorong kemampuan dan kapabilitas buat berhubungan dan berkoordinasi buat membuat kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. 

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), kapital sosial adalah menjadi setiap interaksi yg terjadi dan diikat oleh suatu agama (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), serta nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota grup buat menciptakan kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen serta Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, kapital sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama pada warga atau bangsa buat mencapai kapasitas hayati yang lebih baik, ditopang sang nilai-nilai dan norma yg menjadi unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu rakyat atau bangsa dan sejenisnya. 

B. Dimensi Modal Sosial 
Modal sosial (social capital) tidak sinkron definisi serta terminologinya dengan human capital (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital merupakan ‘pengetahuan’ serta ‘ketrampilan’ insan. Investasi human capital konvensional adalah pada bentuk misalnya halnya pendidikan universitas, pembinaan sebagai seseorang mekanik atau programmer computer, atau menyelenggarakan pendidikan yg sempurna lainnya. Sedangkan kapital sosial merupakan kapabilitas yg ada berdasarkan agama umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial bisa dilembagakan dalam bentuk grup sosial paling kecil atau paling fundamental serta jua gerombolan -gerombolan warga paling besar misalnya halnya negara (bangsa). 

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti kepercayaan , tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan buat menciptakan jenis komunitas moral yang nir sanggup diperoleh misalnya pada perkara bentuk-bentuk human capital. Akuisisi kapital sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas serta dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. 

Menurut Burt (1992), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu syarat dimana komunitas itu mau saling menyebarkan buat mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai beserta. Jika titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk dalam kepentingan-kepentingan komunitas gerombolan , misalnya kesetiaan, kejujuran, serta dependability. Modal sosial lebih didasarkan dalam kebajikan-kebajikan sosial generik. 

Bank Dunia (1999) meyakini modal sosial merupakan sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, serta kebiasaan-norma yg menciptakan kualitas serta kuantitas interaksi sosial pada warga . Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau grup yg menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu menjadi perekat (social glue) yg menjaga kesatuan anggota gerombolan secara beserta-sama. 

Dimensi kapital sosial tumbuh pada dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola hubungan sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock serta Narayan, 2000). Oleh karenanya Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial merupakan adalah gambaran menurut keterikatan internal yg mewarnai struktur kolektif serta memberikan kohesifitas dan laba-laba beserta menurut proses dinamika sosial yg terjadi pada pada warga . 

Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yang menciptakan rakyat bersekutu buat mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999). 

Dimensi modal sosial melekat pada struktur rekanan sosial serta jaringan sosial pada dalam suatu warga yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, membentuk iklim saling percaya, membawa saluran warta, dan tetapkan kebiasaan-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). 

Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) menggunakan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai beserta yang dibangkitkan oleh agama (trust). Dimana trust ini adalah adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, serta perilaku kooperatif yang timbul dari dalam sebuah komunitas rakyat yg berdasarkan pada norma-kebiasaan yang dianut bersama sang para anggotanya. Norma-norma tadi sanggup berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. 

Setidaknya dengan mendasarkan dalam konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi berdasarkan modal sosial merupakan memberikan fokus dalam kebersamaan rakyat buat mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan serta penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-kebiasaan yg dipedomani menjadi acuan bersikap, bertindak, serta bertingkah-laku , dan berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain. 

Beberapa acuan nilai serta unsur yang adalah ruh kapital sosial diantaranya: perilaku yg partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai serta diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-kebiasaan yang mendukungnya.

Unsur lain yang memegang peranan penting merupakan kemauan warga buat secara terus menerus proaktif baik pada mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama juga menggunakan penciptaan kreasi serta ide-ilham baru. Inilah jati diri modal sosial yg sebenarnya. 

Oleh karenanya dari Hasbullah (2006), dimensi inti telaah menurut kapital sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat buat berafiliasi membentuk suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tadi diwarnai sang suatu pola interrelasi yang imbal kembali dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yg ditopang sang norma-norma serta nilai-nilai sosial yang positif dan bertenaga. Kekuatan tadi akan maksimal bila didukung oleh semangat agresif membuat jalinan interaksi diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, perilaku yg saling memperhatikan, saling memberi serta menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai serta norma-kebiasaan yg mendukungnya. 

C. Tipologi Modal Sosial 
Mereka yang memiliki perhatian terhadap kapital sosial pada umumnya tertarik buat menyelidiki kerekatan hubungan sosial dimana rakyat terlibat didalamnya, terutama kaitannya menggunakan pola-pola interaksi sosial atau interaksi sosial antar anggota masyarakat atau kelompok pada suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik buat dikaji. 

Dimensi lain yg juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara kapital sosial yg berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yg tidak sinkron pada output-hasil yang bisa dicapai dan pengaruh-efek yang bisa ada dalam proses kehidupan dan pembangunan rakyat. 

1. Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) 
Modal sosial terikat merupakan cenderung bersifat tertentu (Hasbullah, 2006). Apa yg sebagai karakteristik dasar yg inheren pada tipologi ini, sekaligus menjadi ciri khasnya, pada konteks ilham, relasi serta perhatian, merupakan lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan menggunakan berorientasi keluar (outward looking). Ragam rakyat yang menjadi anggota kelompok ini dalam biasanya homogenius (cenderung homogen). 

Di pada bahasa lain bonding social capital ini dikenal jua sebagai karakteristik sacred society. Menurut Putman (1993), dalam rakyat sacred society dogma tertentu mendominasi serta mempertahankan struktur rakyat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai serta kebiasaan-norma yg menguntungkan level hierarki tertentu serta feodal. 

Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yg bonded atau inward looking atau sacred, meskipun interaksi sosial yang tercipta mempunyai taraf kohesifitas yg bertenaga, akan namun kurang merefleksikan kemampuan rakyat tadi buat membentuk dan mempunyai modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar pada batas kelompok pada keadaan eksklusif, struktur hierarki feodal, kohesifitas yg bersifat bonding. 

Salah satu kehawatiran poly pihak selama ini merupakan terjadinya penurunan keanggotaan pada perkumpulan atau asosiasi, menurunnya ikatan kohesifitas grup, terbatasnya jaringan-jaringan sosial yg bisa diciptakan, menurunnya saling mempercayai serta hancurnya nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan sosial yg tumbuh serta berkembang dalam suatu entitas sosial. 

Menurut Woolcock (1998), dalam pola yg berbentuk bonding atau exclusive pada umumnya perbedaan makna hubungan yg terbentuk mengarah ke pola inward looking. Sedangkan dalam pola yg berbentuk bridging atau inclusive lebih menunjuk ke ke pola outward looking. 

Misalnya semua anggota grup warga asal dari suku yg sama. Apa yang sebagai perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yg turun temurun yang telah diakui serta dijalankan menjadi bagian dari rapikan konduite (code conduct) dan konduite moral (code of ethics). Mereka lebih konservatif dan mengutamakan solidarity making berdasarkan pada hal-hal yg lebih konkret buat membentuk diri dan grup masyarakatnya sinkron dengan tuntutan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan yg lebih terbuka. 

Jalinan kohesifitas kultural yang tercipta belum tentu merefkesikam modal sosial dalam arti luas (beberapa dimensi). Ide serta nilai-nilai pada masyarakat dibentuk sang pengamalan kultural. Nuansa kehidupan merupakan spektrum orthodoxy, pada mana kohesifitas, kebersamaan, serta hubungan sosial cenderung lebih kuat serta intens, akan namun warga itu sendiri didominasi sang situasi yang sulit lantaran pengaruh yang kuat menurut hirarki sosial pada atasnya. Mereka yang bertenaga, kelas atau kepentingan, sering memakai apa yang dikatan sebagai kekerasan simbolik buat memaksa rakyat yg berada pada bawah garisnya. 

Secara generik pola yg demikian ini akan lebih banyak membawa impak negatif dibandingkan dengan dampak positifnya. Kekuatan hubungan sosial terkadang berkecenderungan buat menjauhi, menghindar, bahkan dalam situasi yang ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain pada luar grup, class, asosiasi dan sukunya. Oleh karenanya di dalam keikatannya menggunakan upaya pembangunan rakyat pada negara-negara berkembang waktu ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara akurat mengenai kesamaan serta konfigurasi kapital sosial di masing-masing daerah sebagai galat satu kebutuhan utama. 

Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, adalah keliru apabila dalam rakyat tradisonal yang socially inward looking grup-kelompok warga yg terbentuk dikatakan tidak mempunyai kapital sosial. Modal sosial itu terdapat, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas gerombolan . Kohesifitas kelompok yg terbentuk karena faktor keeratan interaksi emosional ke pada yg sangat kuat. Keeratan tersebut jua disebabkan sang pola nilai yg melekat pada setiap proses interaksi yang jua berpola tradisional. 

Mereka jua miskin menggunakan prinsip-prinsip kehidupan rakyat modern yg mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yg dibangun atas prinsip pergaulan yg egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya berbagi pandangan baru baru, orientasi baru, dan nilai-nilai dan kebiasaan baru yang memperkaya nilai-nilai serta norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi bertenaga terhadap perubahan. 

Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yg demikian bahkan akan menghambat interaksi yang kreatif menggunakan negara, menggunakan kelomok masyarakat lain, serta merusak pembangunan rakyat itu sendiri secara keseluruhan. 

Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era terkini ini adalah masih kuatnya dominasi gerombolan warga bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putman, Leonardi, Nanetti, 1993). Konsekuensi akan bertenaga pula tingkat akomodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yg dilakukan oleh anggota grup terhadap grup lain atau negara, yang berada di luar grup mereka. 

Demikian pula sudah merupakan berita umum, bahwa tak jarang sekali sekelompok ilmuwan ekonomi, para perencana serta para praktisi pembangunan dibentuk kaget serta gelisah mengamati output-output pembangunan yg dicapai. Antar wilayah pada suatu negara stimulus pembangunan yg dicapai cenderung sama, akan namun hasilnya jauh tidak selaras. Selama ini kajian-kajian penyebab terjadinya disparsitas tadi diarahkan pada varian human capital yang ada di suatu daerah atau daerah serta beberapa faktor lainnya, akan namun mengabaikan adanya varian kultural yg direfleksikan oleh adanya variasi-variasi konfigurasi dan tipologi kapital sosial. 

2. Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) 
Akibatnya, kelompok rakyat tersebut terisolasi serta sulit keluar menurut pola-pola kehidupan yang sudah turun temurun menjadi kebiasaan. Di negara-negara berkembang, pada dimensi tertentu, gerombolan masyarakat yg demikian pada dasarnya mewarisi kelimpah-ruahan kapital sosial pada satu dimensi, yaitu pada bentuk hubungan kekarabatan (kinship) atau kelompok-grup sosial tradisonal yang asal berdasarkan garis keturunan (lineage). Apa yang nir dimiliki adalah rentang radius jaringan (the radius of networks) yang menghubungkan mereka menggunakan gerombolan warga lainnya, lintas suku, lintas kelas sosial, lintas profesi, serta lintas lapangan pekerjaan. Korupsi contohnya, akan tumbuh subur dan sulit diberantas, karena apa yang dikorup oleh anggota grup akan menguntungkan bonding class mereka. 

Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk kapital sosial yg menjembatani ini biasa pula dianggap bentuk terkini berdasarkan suatu pengelompokan, class, asosiasi, atau warga . Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut berdasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, dan (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). 

Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota pada suatu gerombolan masyarakat memiliki hak-hak serta kewajiban yang sama. Setiap keputusan gerombolan berdasarkan konvensi yang egaliter berdasarkan setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok warga hanya menjalankan kesepakatan -konvensi yang sudah dipengaruhi oleh para anggota grup. 

Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota gerombolan bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan pandangan baru yg dapat menyebarkan grup tersebut. Iklim kebebasan yg tercipta memungkinkan inspirasi-ide kreatif muncul berdasarkan dalam (kelompok), yaitu menurut majemuk pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya inspirasi-pandangan baru kolektif yg tumbuh dalam kelompok tadi. 

Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai humanisme, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota serta orang lain yang merupakan prinsip dasar pada pengembangan asosiasi, class, kelompok, atau suatu rakyat. Kehendak bertenaga buat membantu orang lain, mencicipi penderitaan orang lain, berimpati terhadap situasi yg dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar wangsit humanitarian. 

Sebagai konsekuensinya, warga yang menyandarkan dalam bridging social capital umumnya heterogen dari aneka macam ragam unsur latar belakang budaya serta suku. Setiap anggota grup memiliki akses yang sama buat membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yg dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan buat lebih cepat berkembang dengan kemampuan membangun networking yang bertenaga, menggerakkan identitas yg lebih luas serta reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ilham yg lebih memungkinkan buat berkembang sesuai menggunakan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. 

Mengikuti Colemen (1999), tipologi warga bridging social capital dalam gerakannya lebih menaruh tekanan dalam dimensi fight for (berjuang buat). Yaitu yg mengarah kepada pencarian jawaban bersama buat menyelesaikan perkara yang dihadapi sang kelompok (pada situasi tertentu, termasuk duduk perkara di pada kelompok atau duduk perkara yg terjadi pada luar kelompok tadi). Pada keadaan eksklusif jiwa gerakan lebih diwarnai sang semangat fight againts yg bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul serta kepercayaan -agama tradisional yang dianut sang gerombolan masyarakat. Pada kelompok warga yg demikian ini, konduite gerombolan yang secara umum dikuasai adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). 

Hal ini sangat tidak sama menggunakan gerombolan tradisional yang mempunyai pola hubungan antar anggota berbentuk pola vertikal. Mereka yg berada pada piramida atas memiliki kewenangan serta hak- hak yg lebih akbar, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam memperoleh kesempatan serta keuntungan ekonomi. 

Kebebasan (freedom of conscience) adalah jati diri kelompok serta anggota kelompok (freedom of conscience). Iklim inilah yang memiliki dan memungkinkan munculnya donasi akbar terhadap perkembangan organisasi. 

Pada dimensi kemajemukan terbangun suatu pencerahan yg bertenaga bahwa hidup yg berwarna warni, menggunakan beragam suku, warna kulit dan cara hidup adalah bagian menurut kekayaan insan. Pada spektrum ini kebencian terhadap suku, ras, budaya, dan cara berpikir yg berbeda berada pada titik yang minimal. Kelompok ini memiliki sikap serta pandangan yang terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan dunia di luar gerombolan masyarakatnya (outward looking). 

Bentuk modal sosial yg menjembatani (bridging capital social) umumnya bisa memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan rakyat. Hasil-output kajian pada poly negara menerangkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk kapital sosial yg menjembatani ini memungkinan perkembangan pada banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hayati insan akan menaikkan serta bangsa menjadi jauh lebih kuat. 

Persoalannya menurut Hasbullah (2006), liputan yang terdapat di negara-negara berkembang menampakan kecenderungan bahwa impak positif kapital sosial menurut prosedur outward looking tidak berjalan misalnya yg diidealkan. Walaupun asosiasi yg dibangun sang warga dengan keaggotaannya yg hiterogen dan dibuat dengan penekanan serta jiwa buat mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat (duduk perkara solving oriented), akan tetapi nir mampu bekerja secara optimal. 

Buruknya unsur-unusr penopang seperti trust, dan kebiasaan-kebiasaan yg sudah mengalami kehancuran dampak represi rezim otoriter yang pengaruhnya cukup pada dalam kehidupan masyarakat, modal sosial yg terbentuk pun menjadi kurang sekuat serta seberpengaruh seperti yg dibutuhkan. Akibatnya tidak memiliki imbas yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup individu, juga bagi perkembangan warga dan bangsa secara lebih luas. 

D. Parameter serta Indkator Modal Sosial
Modal sosial seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, dalam arti ia jua bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yg intim dan konsisten. Modal sosial memilih dalam jaringan, norma dan agama yang berpotensi pada produktivitas rakyat. Tetapi demikian, kapital sosial berbeda dengan modal finansial, karena kapital sosial bersifat kumulatif serta bertambah dengan sendirinya (self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, kapital sosial tidak akan habis apabila digunakan, melainkan semakin semakin tinggi. Rusaknya modal sosial lebih seringkali disebabkan bukan lantaran dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda menggunakan kapital manusia, kapital sosial jua menunjuk dalam kemampuan orang buat berasosiasi menggunakan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar dalam norma-kebiasaan serta nilai-nilai bersama, asosiasi antar insan tersebut membuat agama yang dalam gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar serta terukur (Fukuyama, 1995).

Merujuk dalam Ridell (1997), terdapat tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) serta jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan
Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah asa yg tumbuh pada dalam sebuah warga yg ditunjukkan sang adanya perilaku amanah, teratur, dan kerjasama berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dianut bersama. 

Kepercayaan sosial adalah penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) lalu mencatat bahwa pada rakyat yang memiliki taraf agama tinggi, anggaran-aturan sosial cenderung bersifat positif; interaksi-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya We expect others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: lima). Kepercayaan sosial pada dasarnya adalah produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yg baik ditandai oleh adanya lembaga-forum sosial yang kokoh; kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang serasi (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menyebabkan anomie serta perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma
Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, asa-asa dan tujuan-tujuan yang diyakini serta dijalankan bersama sang sekelompok orang. Norma-kebiasaan bisa bersumber dari agama, panduan moral, juga baku-baku sekuler misalnya halnya kode etik profesional. 

Norma-kebiasaan dibangun serta berkembang dari sejarah kerjasama pada masa kemudian serta diterapkan buat mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995). Norma-norma bisa merupaka pra-syarat juga produk dari agama sosial.

3. Jaringan
Infrastruktur bergerak maju dari kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tadi memfasilitasi terjadinya komunikasi dan hubungan, memungkinkan tumbuhnya agama serta memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung mempunyai jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu menggunakan orang lain. Mereka lalu membangun inter-relasi yg kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya dan manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar pada parameter pada atas, beberapa indikator kunci yg dapat dijadikan ukuran modal sosial diantaranya (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):
a. Perasaan bukti diri;
b. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi;
c. Sistem agama serta ideologi;
d. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan;
e. Ketakutan-ketakutan;
f. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat;
g. Persepsi tentang akses terhadap pelayanan, sumber serta fasilitas (contohnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial);
h. Opini mengenai kinerja pemerintah yg sudah dilakukan terdahulu;
i. Keyakinan pada lembaga-lembaga warga serta orang-orang dalam umumnya;
j. Tingkat kepercayaan ;
k. Kepuasaan pada hidup serta bidang-bidang kemasyarakatan lainnya;
l. Harapan-harapan yang ingin dicapai pada masa depan;

Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis serta berdasar pada hubungan yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, kapital sosial bukan merupakan produk berdasarkan inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, kapital sosial bisa ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).

PENGERTIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BIODIVERSITAS

Pengertian Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas)
Pengertian (menurut Society of American Foresters): Biodiversitas mengacu dalam macam serta kelimpahan spesies, komposisi genetiknya, serta komunitas, ekosistem serta bentang alam di mana mereka berada. 

Definisi yang lain menyatakan bahwa biodiversitas menjadi diversitas kehidupan pada seluruh bentuknya, dan dalam semua level organisasi. Dalam seluruh bentuknya menyatakan bahwa biodiversitas mencakup flora, binatang, jamur, bakteri dam mikroorganisme yg lain. Semua level organisasi menampakan bahwa biodiversitas mengacu pada diversitas gen, speses serta ekosistem. 

Diversitas genetik mencakup variasi pada material genetik, misalnya gen serta khromosom. Diversitas spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan menjadi variasi di antara dan di dalam spesies (termasuk spesies manusia), mencakup variasi satuan taksonomi misalnya filum, famili, genus dsb.

Diversitas genetik merupakan titik awal dalam memahami dimensi dari isu biodiversitas, namun pada level spesies serta ekosistem bidang kehutanan mempunyai impak akbar. 

Diversitas ekosistem atau bahkan dinamakan diversitas biogeografik berkaitan menggunakan variasi di pada wilayah (region) biogeografik, bentang alam (landscape) serta tempat asal. Kita harus menyadari bahwa biodiversitas selalu peduli dengan variabilitas makhluk hayati pada area atau wilayah yg spesifik. 

Belum semua aspek biodiversitas telah diberikan nama. Masih terdapat banyak bentuk variasi, seperti variasi musiman, variasi non-genetik ditimbulkan oleh efek lingkungan (variasi fenotipik). Juga terdapat variasi lantaran disparitas pada antara fase kehidupan (diversitas ontogenik) serta mode kehidupan (diversitas kultural). Namun, 3 bentuk diversitas tadi pada atas boleh dikatakan merupakan dimensi biodiversitas yang primer. 

Biodiversitas juga mengacu pada macam struktur ekologi, fungsi atau proses dalam seluruh level di atas. Biodiversitas terjadi dalam skala spasial yg mulai berdasarkan taraf lokal ke regional dan global.



Biodiversitas bisa pula dikelompokkan ke pada: diversitas komposisional, struktural dan fungsi Diversitas komposisional mencakup apa yang dikenal menggunakan diversitas spesies termasuk diversitas genetik serta ekosistem. Menjaga diversitas genetik sangat krusial bagi keberadaan diversitas spesies, sedangkan menjaga diversitas ekosistem krusial buat menyediakan habitat yg diperlukan buat mengonservasi berbagai spesies.

Diversitas struktural berkaitan menggunakan susunan spasial unit-unit fisik. Pada level tegakan, diversitas struktural dapat dikarakterisasi dengan jumlah tingkatan dalam hutan, contohnya kanopi tumbuhan primer, subkanopi, semak, tumbuhan herba. Pada level bentang alam, diversitas struktural dapat diukur dengan distribusi kelas-kelas umur pada suatu hutan atau susunan spasial menurut ekosistem yg berbeda.

Diversitas fungsional merupakan variasi pada proses-proses ekologi, misalnya pendauran unsur hara atau aliran energi. Ini merupakan komponen yang paling sulit buat diukur serta dipahami. Perlu dipahami bahwa ketiga komponen diversitas tadi saling berkaitan. Misalnya, perubahan dalam diversitas komposisional dan struktural, mengakibatkan perubahan dalam proses-proses ekologi. 

Ahli ekologi memberdakan biodiversitas dalam skala spasial pada tiga kategori: alpha, beta serta gamma . Diversitas alpha merupakan diversitas di pada suatu tempat asli. Diversitas beta adalah diversitas di antara habitat, sedangkan diversitas gamma merupakan diversitas pada antara geografi (diversitas skala geografi). 

Diversitas genetik
Diversitas genetik masih ada dalam empat level organisasi: pada antara spesies, di antara populasi, di pada populasi dan pada pada individu.

Diversitas pada antara spesies telah relatif jelas, sungguhpun kita seringkali tidak berpikir bahwa perbedaan pada antara spesies menjadi manifestasi berdasarkan diversitas genetik lantaran kita dapat membedakan spesies menggunakan gampang tanpa mengetahui komposisi gennya.

Diversitas genetik pada antara populasi menurut suatu spesies jua seringkali sangat besar . Di dunia pertanian contohnya terdapat berbagai macam varietas (padi, jagung), meskipun ini hasil seleksi protesis. Di spesies pohon perbedaan antara populasi pada spesies yang sama (dikenal dengan istilah provenans) acapkali akbar. 

Dalam populasi kebanyakan populasi alami, perbedaan genetik pada antara individu sering juga besar . Akhirnya diversitas genetik masih ada di pada suatu individu bilamana terdapat dua alel untuk gen yang sama (disparitas konfigurasi DNA yg menduduki lokus yg sama dalam suatu khromosom). 

Di masa lalu hanya sedikit perhatian diberikan dalam diversitas genetik dalam populasi alami, sungguhpun ini sangat krusial bagi kelestarian menurut bentuk-bentuk hayati, perkembangan diversitas spesies (evolusi) dan berfungsinya biosfer, ekosistem serta komunitas biologi. 

Bersarnya diversitas pada pada suatu spesies tergantung pada jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi menurut populasi dan sistem genetiknya. 

Peran penting pula dilakukan sang proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta pula faktor-faktor yg berpengaruh pada perubahan spasial serta temporal pada komposisi genetik berdasarkan spesies atau populasi. 

Diversitas genetik penting bagi kemampuan spesies serta populasi menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan dan karenanya adalah persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. 

Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies adalah perpaduan populasi yg tidak sama secara genetik satu sama lain. Perbedaan genetik ini diwujudkan sebagai perbedaan pada antara populasi pada sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, serta sejarah hayati (life history). Dengan istilah lain, sifat-sifat genetik (genotipe) mempengaruhi sifat-sifat yg diekspresikan (fenotipe). 

Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, memihak pada atau nir menguntungkan buat sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) – agregat total gen pada suatu populasi dalam suatu waktu, akan berubah waktu organisme menggunakan fenotipe yg kompatibel dengan lingkungan akan lebih bisa bertahan hayati pada jangka lama dan akan berkembang biak lebih poly serta meneruskan gen-gennya lebih banyak juga ke generasi berikutnya. 

Besarnya diversitas genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi. Banyak kegiatan konservasi peduli dengan penjagaan diversitas genetik flora atau fauna. Populasi kecil yang berbiak secara aseksual serta terisolasi, seringkali mempunyai diversitas genetik yg mini di antara individu, sedangkan dalam populasi besar dan berbiak secara seksual sering mempunyai variasi yang akbar. Dua faktor primer yang bertanggung pada jawab adanya variasi ini, yaitu cara bereproduksi (seksual atau aseksual) serta berukuran populasi. 

Cara reproduksi 
Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya menurut induk betina dan separuhnya lagi berdasarkan induk jantan, susunan genetiknya menggunakan demikian tidak sama dengan kedua induknya atau dengan individu yg lain di dalam populasi.

Adanya mutasi yang menguntungkan, yg dalam awalnya ada pada suatu individu bisa direkombinasi dalam kurun waktu eksklusif pada populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen pada populasi aseksual adalah mutasi (perubahan dalam material genetik yg diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan pada replikasi material genetik) atau terjadi karena imbas faktor eksternal (misal radiasi serta bahan kimia tertentu). Mutasi terjadi pada dalam gen yg terdapat pada molekul DNA- deoxyribonucleic acid.  
Populasi aseksual mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yang menguntungkan dalam individu aseksual yang tidak sinkron tidak mungkin mengalami rekombinasi gen serta timbul pada suatu individu misalnya layaknya pada populasi seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih besar pada populasi seksual daripada populasi aseksual.

Ukuran populasi
Dalam jangka panjang, diversitas genetik akan lebih lestari pada populasi akbar daripada pada populasi kecil. Melalui dampak damparan genetik (genetic drift- perubahan dalam lukang gen menurut suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena proses kebetulan), suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi mini menggunakan cepat.

Sebagai model, populasi memiliki 2 atau lebih bentuk gen (dinamakan alel). Tergantung alel mana suatu individu mewarisi, suatu fenotipe eksklusif akan didapatkan. Bila populasi permanen berukuran kecil dalam jangka ketika usang, mereka mungkin kehilangan galat satu alel dari setiap gen lantaran proses kebetulan. Kehilangan alel terjadi lantaran eror sampling. Ketika beberapa individu kawin, mereka bertukar gen. Bayangkan awalnya separuh populasi memiliki satu bentuk gen tertentu, dan separuhnya populasi yang lain memiliki bentuk gen yg lain. Lantaran kebetulan, pada populasi kecil pertukaran gen bisa menyebabkan semua individu pada generasi berikutnya memiliki alel yang sama. Satu-satunya cara bagi populasi ini mengadung variasi menurut gen ini lagi adalah melalui mutasi gen atau imigrasi individu berdasarkan populasi lain. Meminimalkan kehilangan diversitas genetik dalam populasi kecil merupakan dilema primer yang dihadapi dalam upaya perlindungan. 

Diversitas spesies (taksonomi)
Prokaryot : lima.500 spesies terdiri menurut bakteri 
Eukaryot : 
- kerajaan tumbuhan (plantae) : lumut-lumutan (17.000 spesies), pakuan, cycad, konifer (750 spesies), ginko, flora berbunga (250.000 spesies),
- kerajaan fauna : karang (lima.000 spesies), coleonterata (9.000 spesies), echinoderm (6.100 spesies), artoprod (750.000 spesies), ikan (19.000 spesies), amfibi (4.000 spesies), reptil (6.300 spesies), burung (9.000 spesies), mamal (4.100 spesies)
- Prostista dan jamur: 47.000 spesies.

Diversitas ekosistem (biogeografik)
Diversitas spesies ditentukan nir hanya sang jumlah spesies di pada komunitas biologi, contohnya kekayaan spesies (species richness), namun juga sang kelimpahan relatif individu (relative abundance) pada komunitas.

Kelimpahan spesies adalah jumlah individu per spesies serta kelimpahan relatif mengacu dalam kemerataan distribusi individu pada antara spesies dalam suatu komunitas. 

Dua komunitas mungkin sama-sama kaya pada spesies, tetapi tidak sama pada kelimpahan nisbi. Misalnya, dua komunitas mungkin masing-masing mengandung 10 spesies dan 500 individu, namun dalam komunitas yang pertama seluruh spesies sama-sama umum (misal, 50 individual buat setiap spesies), sementara dalam komunias yg ke 2 satu spesies secara signifikan jumlahnya lebih poly daripada empat spesies yg lain. Maka komunitas pertama dikatakan mempunyai kelimpahan nisbi yang lebih tinggi daripada komunitas kedua. 

Komponen diversitas spesies ini merespons berbeda dalam kondisi tempat asal yang tidak selaras. Suatu wilayah yg tidak mempunyai variasi tempat asli yang luas umumnya miskin spesies, tetapi beberapa spesies yg mampu menduduki wilayah ini mungkin berlimpah karena kompetisi dengan spesies lain untuk sumberdaya akan berkurang.

Tren pada kekayaan spesies mungkin mengindikasikan kondisi masa lalu serta kini dari suatu daerah. Kontinen antartika memiliki sedikit spesies karena lingkungannya yg keras, tetapi pulau-pulau mini pada tengah samudra miskin akan spesies lantaran sulit dicapai menurut lokasi lain. 

Gradien global juga berpengaruh pada kekayaan spesies. Gradien yang paling konkret merupakan garis lintang; terdapat lebih banyak spesies pada daerah tropis daripada pada wilayah temperit. Faktor-faktor ekologis berperan dalam perbedaan ini. Temperatur lebih tinggi, kepastian iklim, dan demam isu tumbuh yg lebih usang menciptakan daerah asal yang lebih aman sebagai akibatnya membuat diversitas spesies yg lebih besar . Hutan hutan hujan yang paling beragam, padang rumput tropis lebih beragam daripada padang rumput temperit. 

Faktor lain yg berpengaruh dalam kekayaan spesies dalam suatu area adalah jeda atau barier yang memisahkan area tersebut menggunakan sumber spesies. Probabilitas bahwa spesies akan mencapai suatu pulau pada samudra atau lembah terisolasi merupakan kecil. Binatang terutama yg tidak terbang kemungkinanannya jua kecil mencapai area seperti ini.

Berdasarkan pengalaman tumbuhan dan fauna pada suatu wilayah tidak sama dengan daerah lain. Mengapa terjadi ? Mengapa spesies yg sama nir dijumpai dalam suatu wilayah meskipun kondisinya cocok buat berkembang?

Kondisi genografis di seluruh dunia yg memiliki kondisi lingkungkan yang sama sanggup membuat tipe biota yg sama. Situasi ini secara efektif memisahkan biosfer ke dalam biom – komunitas ekologi yang mempunyai syarat iklim serta fitur geologi yg sama yg mendukung spesies dengan taktik hidup dan adaptasi yg sama. 

Hutan hujan tropis adalah galat satu tipe bioma terestrial, ini terletak pada beberapa tempat pada bumi di mana syarat iklim dan geologi menghasilkan lingkungan yg mirip. Bioma hutan hujan tropis mengandung komunitas hayati yg secara generik sama, tetapi spesiesnya nir sama dari satu hutan tropis ke hutan tropis yang lain. Namun, setiap hutan tropis akan mengandung organisme yang secara ekologis ekuivalen, yaitu spesies tidak sinkron tetapi memiliki daur hayati serupa serta cara mengikuti keadaan yg seperti dalam syarat lingkungan. 

Penyebaran hewan dan tumbuhan yg unik pada aneka macam bioma tidak dapat hanya dijelaskan melalui faktor iklim serta zonasi lintang. Peristiwa geologis misalnya damparan kontinen dan syarat iklim masa lalu wajib dipertimbangkan jua. 

PENGERTIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BIODIVERSITAS

Pengertian Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas)
Pengertian (berdasarkan Society of American Foresters): Biodiversitas mengacu pada macam dan kelimpahan spesies, komposisi genetiknya, serta komunitas, ekosistem dan bentang alam pada mana mereka berada. 

Definisi yg lain menyatakan bahwa biodiversitas sebagai diversitas kehidupan pada seluruh bentuknya, dan pada seluruh level organisasi. Dalam semua bentuknya menyatakan bahwa biodiversitas mencakup flora, hewan, jamur, bakteri dam mikroorganisme yg lain. Semua level organisasi menampakan bahwa biodiversitas mengacu pada diversitas gen, speses dan ekosistem. 

Diversitas genetik meliputi variasi pada material genetik, seperti gen dan khromosom. Diversitas spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan menjadi variasi di antara dan pada pada spesies (termasuk spesies insan), meliputi variasi satuan taksonomi seperti filum, keluarga, genus dsb.

Diversitas genetik adalah titik awal dalam tahu dimensi dari info biodiversitas, namun pada level spesies dan ekosistem bidang kehutanan mempunyai impak akbar. 

Diversitas ekosistem atau bahkan dinamakan diversitas biogeografik berkaitan dengan variasi pada pada daerah (region) biogeografik, bentang alam (landscape) dan tempat asal. Kita harus menyadari bahwa biodiversitas selalu peduli menggunakan variabilitas makhluk hayati pada area atau wilayah yg spesifik. 

Belum semua aspek biodiversitas telah diberikan nama. Masih masih ada poly bentuk variasi, seperti variasi musiman, variasi non-genetik ditimbulkan oleh efek lingkungan (variasi fenotipik). Juga terdapat variasi lantaran disparitas pada antara fase kehidupan (diversitas ontogenik) dan mode kehidupan (diversitas kultural). Namun, 3 bentuk diversitas tersebut di atas boleh dikatakan adalah dimensi biodiversitas yang primer. 

Biodiversitas pula mengacu dalam macam struktur ekologi, fungsi atau proses pada seluruh level pada atas. Biodiversitas terjadi dalam skala spasial yang mulai menurut taraf lokal ke regional dan dunia.



Biodiversitas dapat jua dikelompokkan ke pada: diversitas komposisional, struktural serta fungsi Diversitas komposisional mencakup apa yang dikenal dengan diversitas spesies termasuk diversitas genetik dan ekosistem. Menjaga diversitas genetik sangat krusial bagi eksistensi diversitas spesies, sedangkan menjaga diversitas ekosistem penting buat menyediakan tempat asli yang diharapkan buat mengonservasi berbagai spesies.

Diversitas struktural berkaitan menggunakan susunan spasial unit-unit fisik. Pada level tegakan, diversitas struktural dapat dikarakterisasi menggunakan jumlah tingkatan dalam hutan, contohnya kanopi flora utama, subkanopi, semak, tumbuhan herba. Pada level bentang alam, diversitas struktural bisa diukur dengan distribusi kelas-kelas umur dalam suatu hutan atau susunan spasial menurut ekosistem yg tidak sinkron.

Diversitas fungsional adalah variasi pada proses-proses ekologi, misalnya pendauran unsur hara atau genre energi. Ini merupakan komponen yang paling sulit buat diukur serta dipahami. Perlu dipahami bahwa ketiga komponen diversitas tersebut saling berkaitan. Misalnya, perubahan pada diversitas komposisional dan struktural, mengakibatkan perubahan dalam proses-proses ekologi. 

Ahli ekologi memberdakan biodiversitas pada skala spasial pada tiga kategori: alpha, beta dan gamma . Diversitas alpha merupakan diversitas pada dalam suatu habitat. Diversitas beta adalah diversitas di antara daerah asal, sedangkan diversitas gamma adalah diversitas pada antara geografi (diversitas skala geografi). 

Diversitas genetik
Diversitas genetik terdapat dalam empat level organisasi: di antara spesies, di antara populasi, pada pada populasi serta di pada individu.

Diversitas di antara spesies telah relatif jelas, sungguhpun kita tak jarang tidak berpikir bahwa perbedaan pada antara spesies sebagai manifestasi dari diversitas genetik lantaran kita bisa membedakan spesies dengan mudah tanpa mengetahui komposisi gennya.

Diversitas genetik di antara populasi berdasarkan suatu spesies jua tak jarang sangat besar . Di dunia pertanian contohnya terdapat berbagai macam varietas (padi, jagung), meskipun ini output seleksi buatan. Di spesies pohon disparitas antara populasi dalam spesies yg sama (dikenal menggunakan kata provenans) sering besar . 

Dalam populasi kebanyakan populasi alami, disparitas genetik di antara individu sering pula akbar. Akhirnya diversitas genetik masih ada di dalam suatu individu bilamana ada dua alel buat gen yang sama (perbedaan konfigurasi DNA yg menduduki lokus yg sama pada suatu khromosom). 

Di masa lalu hanya sedikit perhatian diberikan pada diversitas genetik pada populasi alami, sungguhpun ini sangat penting bagi kelestarian berdasarkan bentuk-bentuk biologi, perkembangan diversitas spesies (evolusi) dan berfungsinya biosfer, ekosistem dan komunitas hayati. 

Bersarnya diversitas pada pada suatu spesies tergantung dalam jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi dari populasi serta sistem genetiknya. 

Peran krusial pula dilakukan oleh proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta juga faktor-faktor yg berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada komposisi genetik berdasarkan spesies atau populasi. 

Diversitas genetik krusial bagi kemampuan spesies dan populasi mengikuti keadaan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta karenanya adalah persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. 

Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan perpaduan populasi yang tidak sama secara genetik satu sama lain. Perbedaan genetik ini diwujudkan sebagai perbedaan pada antara populasi pada sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, dan sejarah hidup (life history). Dengan istilah lain, sifat-sifat genetik (genotipe) menghipnotis sifat-sifat yg diekspresikan (fenotipe). 

Seleksi alami pada awalnya bekerja dalam level fenotipik, memihak kepada atau tidak menguntungkan buat sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) – agregat total gen pada suatu populasi pada suatu ketika, akan berubah ketika organisme menggunakan fenotipe yg kompatibel menggunakan lingkungan akan lebih mampu bertahan hayati dalam jangka lama serta akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak juga ke generasi berikutnya. 

Besarnya diversitas genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi. Banyak kegiatan konservasi peduli menggunakan penjagaan diversitas genetik tanaman atau fauna. Populasi kecil yg berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering mempunyai diversitas genetik yang kecil di antara individu, sedangkan dalam populasi akbar serta berbiak secara seksual acapkali mempunyai variasi yg akbar. Dua faktor utama yg bertanggung kepada jawab adanya variasi ini, yaitu cara bereproduksi (seksual atau aseksual) dan berukuran populasi. 

Cara reproduksi 
Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, membentuk genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya menurut induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, susunan genetiknya menggunakan demikian tidak sinkron menggunakan ke 2 induknya atau menggunakan individu yg lain pada pada populasi.

Adanya mutasi yg menguntungkan, yg pada awalnya muncul dalam suatu individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu eksklusif dalam populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen pada populasi aseksual merupakan mutasi (perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau terjadi lantaran efek faktor eksternal (misal radiasi serta bahan kimia eksklusif). Mutasi terjadi di pada gen yang masih ada dalam molekul DNA- deoxyribonucleic acid.  
Populasi aseksual mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yg menguntungkan pada individu aseksual yang tidak sinkron tidak mungkin mengalami rekombinasi gen serta ada pada suatu individu seperti layaknya dalam populasi seksual. Kombinasi gen yg menguntungkan akan lebih akbar pada populasi seksual daripada populasi aseksual.

Ukuran populasi
Dalam jangka panjang, diversitas genetik akan lebih lestari dalam populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui impak damparan genetik (genetic drift- perubahan dalam lukang gen menurut suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata lantaran proses kebetulan), suatu sifat genetik bisa hilang menurut populasi kecil menggunakan cepat.

Sebagai model, populasi mempunyai 2 atau lebih bentuk gen (dinamakan alel). Tergantung alel mana suatu individu mewarisi, suatu fenotipe eksklusif akan didapatkan. Bila populasi tetap berukuran mini dalam jangka waktu usang, mereka mungkin kehilangan salah satu alel menurut setiap gen lantaran proses kebetulan. Kehilangan alel terjadi lantaran eror sampling. Ketika beberapa individu kawin, mereka bertukar gen. Bayangkan awalnya separuh populasi mempunyai satu bentuk gen eksklusif, dan separuhnya populasi yg lain mempunyai bentuk gen yang lain. Karena kebetulan, dalam populasi kecil pertukaran gen dapat mengakibatkan semua individu dalam generasi berikutnya mempunyai alel yg sama. Satu-satunya cara bagi populasi ini mengadung variasi dari gen ini lagi merupakan melalui mutasi gen atau imigrasi individu menurut populasi lain. Meminimalkan kehilangan diversitas genetik pada populasi kecil merupakan dilema primer yang dihadapi dalam upaya perlindungan. 

Diversitas spesies (taksonomi)
Prokaryot : 5.500 spesies terdiri berdasarkan bakteri 
Eukaryot : 
- kerajaan flora (plantae) : lumut-lumutan (17.000 spesies), pakuan, cycad, konifer (750 spesies), ginko, tumbuhan berbunga (250.000 spesies),
- kerajaan hewan : karang (lima.000 spesies), coleonterata (9.000 spesies), echinoderm (6.100 spesies), artoprod (750.000 spesies), ikan (19.000 spesies), amfibi (4.000 spesies), reptil (6.300 spesies), burung (9.000 spesies), mamal (4.100 spesies)
- Prostista serta jamur: 47.000 spesies.

Diversitas ekosistem (biogeografik)
Diversitas spesies ditentukan nir hanya sang jumlah spesies di pada komunitas hayati, misalnya kekayaan spesies (species richness), namun pula sang kelimpahan relatif individu (relative abundance) pada komunitas.

Kelimpahan spesies adalah jumlah individu per spesies dan kelimpahan nisbi mengacu dalam kemerataan distribusi individu di antara spesies dalam suatu komunitas. 

Dua komunitas mungkin sama-sama kaya dalam spesies, tetapi tidak sama pada kelimpahan relatif. Misalnya, dua komunitas mungkin masing-masing mengandung 10 spesies serta 500 individu, tetapi dalam komunitas yang pertama seluruh spesies sama-sama generik (misal, 50 individual buat setiap spesies), ad interim dalam komunias yg kedua satu spesies secara signifikan jumlahnya lebih banyak daripada empat spesies yg lain. Maka komunitas pertama dikatakan mempunyai kelimpahan relatif yg lebih tinggi daripada komunitas kedua. 

Komponen diversitas spesies ini merespons tidak sinkron pada kondisi tempat asli yang tidak sama. Suatu wilayah yg nir mempunyai variasi tempat asli yang luas umumnya miskin spesies, namun beberapa spesies yang sanggup menduduki daerah ini mungkin berlimpah lantaran kompetisi menggunakan spesies lain buat sumberdaya akan berkurang.

Tren dalam kekayaan spesies mungkin mengindikasikan syarat masa lalu dan kini menurut suatu daerah. Kontinen antartika mempunyai sedikit spesies lantaran lingkungannya yang keras, namun pulau-pulau mini di tengah samudra miskin akan spesies karena sulit dicapai berdasarkan lokasi lain. 

Gradien dunia pula berpengaruh dalam kekayaan spesies. Gradien yang paling konkret adalah garis lintang; terdapat lebih banyak spesies pada wilayah tropis daripada di daerah temperit. Faktor-faktor ekologis berperan dalam perbedaan ini. Temperatur lebih tinggi, kepastian iklim, serta musim tumbuh yg lebih lama membangun tempat asal yang lebih aman sehingga membuat diversitas spesies yang lebih besar . Hutan hutan hujan yg paling majemuk, padang rumput tropis lebih majemuk daripada padang rumput temperit. 

Faktor lain yg berpengaruh dalam kekayaan spesies dalam suatu area adalah jarak atau barier yang memisahkan area tadi menggunakan sumber spesies. Probabilitas bahwa spesies akan mencapai suatu pulau pada samudra atau lembah terisolasi adalah mini . Binatang terutama yg nir terbang kemungkinanannya juga mini mencapai area seperti ini.

Berdasarkan pengalaman tanaman serta fauna pada suatu wilayah berbeda dengan daerah lain. Mengapa terjadi ? Mengapa spesies yg sama nir dijumpai dalam suatu daerah meskipun kondisinya cocok buat berkembang?

Kondisi genografis pada seluruh dunia yang mempunyai syarat lingkungkan yg sama sanggup membuat tipe biota yang sama. Situasi ini secara efektif memisahkan biosfer ke pada biom – komunitas ekologi yg memiliki syarat iklim dan fitur geologi yang sama yang mendukung spesies dengan taktik hidup serta adaptasi yg sama. 

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe bioma terestrial, ini terletak dalam beberapa tempat pada bumi di mana kondisi iklim dan geologi membuat lingkungan yg seperti. Bioma hutan hujan tropis mengandung komunitas hayati yang secara umum sama, tetapi spesiesnya nir sama berdasarkan satu hutan tropis ke hutan tropis yang lain. Tetapi, setiap hutan tropis akan mengandung organisme yang secara ekologis ekuivalen, yaitu spesies tidak selaras namun mempunyai daur hayati serupa serta cara beradaptasi yang mirip pada kondisi lingkungan. 

Penyebaran hewan serta tanaman yang unik pada berbagai bioma nir dapat hanya dijelaskan melalui faktor iklim dan zonasi lintang. Peristiwa geologis misalnya damparan kontinen serta kondisi iklim masa kemudian wajib dipertimbangkan juga.