PENGERTIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BIODIVERSITAS

Pengertian Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas)
Pengertian (menurut Society of American Foresters): Biodiversitas mengacu dalam macam serta kelimpahan spesies, komposisi genetiknya, serta komunitas, ekosistem serta bentang alam di mana mereka berada. 

Definisi yang lain menyatakan bahwa biodiversitas menjadi diversitas kehidupan pada seluruh bentuknya, dan dalam semua level organisasi. Dalam seluruh bentuknya menyatakan bahwa biodiversitas mencakup flora, binatang, jamur, bakteri dam mikroorganisme yg lain. Semua level organisasi menampakan bahwa biodiversitas mengacu pada diversitas gen, speses serta ekosistem. 

Diversitas genetik mencakup variasi pada material genetik, misalnya gen serta khromosom. Diversitas spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan menjadi variasi di antara dan di dalam spesies (termasuk spesies manusia), mencakup variasi satuan taksonomi misalnya filum, famili, genus dsb.

Diversitas genetik merupakan titik awal dalam memahami dimensi dari isu biodiversitas, namun pada level spesies serta ekosistem bidang kehutanan mempunyai impak akbar. 

Diversitas ekosistem atau bahkan dinamakan diversitas biogeografik berkaitan menggunakan variasi di pada wilayah (region) biogeografik, bentang alam (landscape) serta tempat asal. Kita harus menyadari bahwa biodiversitas selalu peduli dengan variabilitas makhluk hayati pada area atau wilayah yg spesifik. 

Belum semua aspek biodiversitas telah diberikan nama. Masih terdapat banyak bentuk variasi, seperti variasi musiman, variasi non-genetik ditimbulkan oleh efek lingkungan (variasi fenotipik). Juga terdapat variasi lantaran disparitas pada antara fase kehidupan (diversitas ontogenik) serta mode kehidupan (diversitas kultural). Namun, 3 bentuk diversitas tadi pada atas boleh dikatakan merupakan dimensi biodiversitas yang primer. 

Biodiversitas juga mengacu pada macam struktur ekologi, fungsi atau proses dalam seluruh level di atas. Biodiversitas terjadi dalam skala spasial yg mulai berdasarkan taraf lokal ke regional dan global.



Biodiversitas bisa pula dikelompokkan ke pada: diversitas komposisional, struktural dan fungsi Diversitas komposisional mencakup apa yang dikenal menggunakan diversitas spesies termasuk diversitas genetik serta ekosistem. Menjaga diversitas genetik sangat krusial bagi keberadaan diversitas spesies, sedangkan menjaga diversitas ekosistem krusial buat menyediakan habitat yg diperlukan buat mengonservasi berbagai spesies.

Diversitas struktural berkaitan menggunakan susunan spasial unit-unit fisik. Pada level tegakan, diversitas struktural dapat dikarakterisasi dengan jumlah tingkatan dalam hutan, contohnya kanopi tumbuhan primer, subkanopi, semak, tumbuhan herba. Pada level bentang alam, diversitas struktural dapat diukur dengan distribusi kelas-kelas umur pada suatu hutan atau susunan spasial menurut ekosistem yg berbeda.

Diversitas fungsional merupakan variasi pada proses-proses ekologi, misalnya pendauran unsur hara atau aliran energi. Ini merupakan komponen yang paling sulit buat diukur serta dipahami. Perlu dipahami bahwa ketiga komponen diversitas tadi saling berkaitan. Misalnya, perubahan dalam diversitas komposisional dan struktural, mengakibatkan perubahan dalam proses-proses ekologi. 

Ahli ekologi memberdakan biodiversitas dalam skala spasial pada tiga kategori: alpha, beta serta gamma . Diversitas alpha merupakan diversitas di pada suatu tempat asli. Diversitas beta adalah diversitas di antara habitat, sedangkan diversitas gamma merupakan diversitas pada antara geografi (diversitas skala geografi). 

Diversitas genetik
Diversitas genetik masih ada dalam empat level organisasi: pada antara spesies, di antara populasi, di pada populasi dan pada pada individu.

Diversitas pada antara spesies telah relatif jelas, sungguhpun kita seringkali tidak berpikir bahwa perbedaan pada antara spesies menjadi manifestasi berdasarkan diversitas genetik lantaran kita dapat membedakan spesies menggunakan gampang tanpa mengetahui komposisi gennya.

Diversitas genetik pada antara populasi menurut suatu spesies jua seringkali sangat besar . Di dunia pertanian contohnya terdapat berbagai macam varietas (padi, jagung), meskipun ini hasil seleksi protesis. Di spesies pohon perbedaan antara populasi pada spesies yang sama (dikenal dengan istilah provenans) acapkali akbar. 

Dalam populasi kebanyakan populasi alami, perbedaan genetik pada antara individu sering juga besar . Akhirnya diversitas genetik masih ada di pada suatu individu bilamana terdapat dua alel untuk gen yang sama (disparitas konfigurasi DNA yg menduduki lokus yg sama dalam suatu khromosom). 

Di masa lalu hanya sedikit perhatian diberikan dalam diversitas genetik dalam populasi alami, sungguhpun ini sangat krusial bagi kelestarian menurut bentuk-bentuk hayati, perkembangan diversitas spesies (evolusi) dan berfungsinya biosfer, ekosistem serta komunitas biologi. 

Bersarnya diversitas pada pada suatu spesies tergantung pada jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi menurut populasi dan sistem genetiknya. 

Peran penting pula dilakukan sang proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta pula faktor-faktor yg berpengaruh pada perubahan spasial serta temporal pada komposisi genetik berdasarkan spesies atau populasi. 

Diversitas genetik penting bagi kemampuan spesies serta populasi menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan dan karenanya adalah persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. 

Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies adalah perpaduan populasi yg tidak sama secara genetik satu sama lain. Perbedaan genetik ini diwujudkan sebagai perbedaan pada antara populasi pada sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, serta sejarah hayati (life history). Dengan istilah lain, sifat-sifat genetik (genotipe) mempengaruhi sifat-sifat yg diekspresikan (fenotipe). 

Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, memihak pada atau nir menguntungkan buat sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) – agregat total gen pada suatu populasi dalam suatu waktu, akan berubah waktu organisme menggunakan fenotipe yg kompatibel dengan lingkungan akan lebih bisa bertahan hayati pada jangka lama dan akan berkembang biak lebih poly serta meneruskan gen-gennya lebih banyak juga ke generasi berikutnya. 

Besarnya diversitas genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi. Banyak kegiatan konservasi peduli dengan penjagaan diversitas genetik flora atau fauna. Populasi kecil yang berbiak secara aseksual serta terisolasi, seringkali mempunyai diversitas genetik yg mini di antara individu, sedangkan dalam populasi besar dan berbiak secara seksual sering mempunyai variasi yang akbar. Dua faktor primer yang bertanggung pada jawab adanya variasi ini, yaitu cara bereproduksi (seksual atau aseksual) serta berukuran populasi. 

Cara reproduksi 
Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, menghasilkan genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya menurut induk betina dan separuhnya lagi berdasarkan induk jantan, susunan genetiknya menggunakan demikian tidak sama dengan kedua induknya atau dengan individu yg lain di dalam populasi.

Adanya mutasi yang menguntungkan, yg dalam awalnya ada pada suatu individu bisa direkombinasi dalam kurun waktu eksklusif pada populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen pada populasi aseksual adalah mutasi (perubahan dalam material genetik yg diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan pada replikasi material genetik) atau terjadi karena imbas faktor eksternal (misal radiasi serta bahan kimia tertentu). Mutasi terjadi pada dalam gen yg terdapat pada molekul DNA- deoxyribonucleic acid.  
Populasi aseksual mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yang menguntungkan dalam individu aseksual yang tidak sinkron tidak mungkin mengalami rekombinasi gen serta timbul pada suatu individu misalnya layaknya pada populasi seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih besar pada populasi seksual daripada populasi aseksual.

Ukuran populasi
Dalam jangka panjang, diversitas genetik akan lebih lestari pada populasi akbar daripada pada populasi kecil. Melalui dampak damparan genetik (genetic drift- perubahan dalam lukang gen menurut suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena proses kebetulan), suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi mini menggunakan cepat.

Sebagai model, populasi memiliki 2 atau lebih bentuk gen (dinamakan alel). Tergantung alel mana suatu individu mewarisi, suatu fenotipe eksklusif akan didapatkan. Bila populasi permanen berukuran kecil dalam jangka ketika usang, mereka mungkin kehilangan galat satu alel dari setiap gen lantaran proses kebetulan. Kehilangan alel terjadi lantaran eror sampling. Ketika beberapa individu kawin, mereka bertukar gen. Bayangkan awalnya separuh populasi memiliki satu bentuk gen tertentu, dan separuhnya populasi yang lain memiliki bentuk gen yg lain. Lantaran kebetulan, pada populasi kecil pertukaran gen bisa menyebabkan semua individu pada generasi berikutnya memiliki alel yang sama. Satu-satunya cara bagi populasi ini mengadung variasi menurut gen ini lagi adalah melalui mutasi gen atau imigrasi individu berdasarkan populasi lain. Meminimalkan kehilangan diversitas genetik dalam populasi kecil merupakan dilema primer yang dihadapi dalam upaya perlindungan. 

Diversitas spesies (taksonomi)
Prokaryot : lima.500 spesies terdiri menurut bakteri 
Eukaryot : 
- kerajaan tumbuhan (plantae) : lumut-lumutan (17.000 spesies), pakuan, cycad, konifer (750 spesies), ginko, flora berbunga (250.000 spesies),
- kerajaan fauna : karang (lima.000 spesies), coleonterata (9.000 spesies), echinoderm (6.100 spesies), artoprod (750.000 spesies), ikan (19.000 spesies), amfibi (4.000 spesies), reptil (6.300 spesies), burung (9.000 spesies), mamal (4.100 spesies)
- Prostista dan jamur: 47.000 spesies.

Diversitas ekosistem (biogeografik)
Diversitas spesies ditentukan nir hanya sang jumlah spesies di pada komunitas biologi, contohnya kekayaan spesies (species richness), namun juga sang kelimpahan relatif individu (relative abundance) pada komunitas.

Kelimpahan spesies adalah jumlah individu per spesies serta kelimpahan relatif mengacu dalam kemerataan distribusi individu pada antara spesies dalam suatu komunitas. 

Dua komunitas mungkin sama-sama kaya pada spesies, tetapi tidak sama pada kelimpahan nisbi. Misalnya, dua komunitas mungkin masing-masing mengandung 10 spesies dan 500 individu, namun dalam komunitas yang pertama seluruh spesies sama-sama umum (misal, 50 individual buat setiap spesies), sementara dalam komunias yg ke 2 satu spesies secara signifikan jumlahnya lebih poly daripada empat spesies yg lain. Maka komunitas pertama dikatakan mempunyai kelimpahan nisbi yang lebih tinggi daripada komunitas kedua. 

Komponen diversitas spesies ini merespons berbeda dalam kondisi tempat asal yang tidak selaras. Suatu wilayah yg tidak mempunyai variasi tempat asli yang luas umumnya miskin spesies, tetapi beberapa spesies yg mampu menduduki wilayah ini mungkin berlimpah karena kompetisi dengan spesies lain untuk sumberdaya akan berkurang.

Tren pada kekayaan spesies mungkin mengindikasikan kondisi masa lalu serta kini dari suatu daerah. Kontinen antartika memiliki sedikit spesies karena lingkungannya yg keras, tetapi pulau-pulau mini pada tengah samudra miskin akan spesies lantaran sulit dicapai menurut lokasi lain. 

Gradien global juga berpengaruh pada kekayaan spesies. Gradien yang paling konkret merupakan garis lintang; terdapat lebih banyak spesies pada daerah tropis daripada pada wilayah temperit. Faktor-faktor ekologis berperan dalam perbedaan ini. Temperatur lebih tinggi, kepastian iklim, dan demam isu tumbuh yg lebih usang menciptakan daerah asal yang lebih aman sebagai akibatnya membuat diversitas spesies yg lebih besar . Hutan hutan hujan yang paling beragam, padang rumput tropis lebih beragam daripada padang rumput temperit. 

Faktor lain yg berpengaruh dalam kekayaan spesies dalam suatu area adalah jeda atau barier yang memisahkan area tersebut menggunakan sumber spesies. Probabilitas bahwa spesies akan mencapai suatu pulau pada samudra atau lembah terisolasi merupakan kecil. Binatang terutama yg tidak terbang kemungkinanannya jua kecil mencapai area seperti ini.

Berdasarkan pengalaman tumbuhan dan fauna pada suatu wilayah tidak sama dengan daerah lain. Mengapa terjadi ? Mengapa spesies yg sama nir dijumpai dalam suatu wilayah meskipun kondisinya cocok buat berkembang?

Kondisi genografis di seluruh dunia yg memiliki kondisi lingkungkan yang sama sanggup membuat tipe biota yg sama. Situasi ini secara efektif memisahkan biosfer ke dalam biom – komunitas ekologi yang mempunyai syarat iklim serta fitur geologi yg sama yg mendukung spesies dengan taktik hidup dan adaptasi yg sama. 

Hutan hujan tropis adalah galat satu tipe bioma terestrial, ini terletak pada beberapa tempat pada bumi di mana syarat iklim dan geologi menghasilkan lingkungan yg mirip. Bioma hutan hujan tropis mengandung komunitas hayati yg secara generik sama, tetapi spesiesnya nir sama dari satu hutan tropis ke hutan tropis yang lain. Namun, setiap hutan tropis akan mengandung organisme yang secara ekologis ekuivalen, yaitu spesies tidak sinkron tetapi memiliki daur hayati serupa serta cara mengikuti keadaan yg seperti dalam syarat lingkungan. 

Penyebaran hewan dan tumbuhan yg unik pada aneka macam bioma tidak dapat hanya dijelaskan melalui faktor iklim serta zonasi lintang. Peristiwa geologis misalnya damparan kontinen dan syarat iklim masa lalu wajib dipertimbangkan jua. 

PENGERTIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BIODIVERSITAS

Pengertian Keanekaragaman Hayati (Biodiversitas)
Pengertian (berdasarkan Society of American Foresters): Biodiversitas mengacu pada macam dan kelimpahan spesies, komposisi genetiknya, serta komunitas, ekosistem dan bentang alam pada mana mereka berada. 

Definisi yg lain menyatakan bahwa biodiversitas sebagai diversitas kehidupan pada seluruh bentuknya, dan pada seluruh level organisasi. Dalam semua bentuknya menyatakan bahwa biodiversitas mencakup flora, hewan, jamur, bakteri dam mikroorganisme yg lain. Semua level organisasi menampakan bahwa biodiversitas mengacu pada diversitas gen, speses dan ekosistem. 

Diversitas genetik meliputi variasi pada material genetik, seperti gen dan khromosom. Diversitas spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan menjadi variasi di antara dan pada pada spesies (termasuk spesies insan), meliputi variasi satuan taksonomi seperti filum, keluarga, genus dsb.

Diversitas genetik adalah titik awal dalam tahu dimensi dari info biodiversitas, namun pada level spesies dan ekosistem bidang kehutanan mempunyai impak akbar. 

Diversitas ekosistem atau bahkan dinamakan diversitas biogeografik berkaitan dengan variasi pada pada daerah (region) biogeografik, bentang alam (landscape) dan tempat asal. Kita harus menyadari bahwa biodiversitas selalu peduli menggunakan variabilitas makhluk hayati pada area atau wilayah yg spesifik. 

Belum semua aspek biodiversitas telah diberikan nama. Masih masih ada poly bentuk variasi, seperti variasi musiman, variasi non-genetik ditimbulkan oleh efek lingkungan (variasi fenotipik). Juga terdapat variasi lantaran disparitas pada antara fase kehidupan (diversitas ontogenik) dan mode kehidupan (diversitas kultural). Namun, 3 bentuk diversitas tersebut di atas boleh dikatakan adalah dimensi biodiversitas yang primer. 

Biodiversitas pula mengacu dalam macam struktur ekologi, fungsi atau proses pada seluruh level pada atas. Biodiversitas terjadi dalam skala spasial yang mulai menurut taraf lokal ke regional dan dunia.



Biodiversitas dapat jua dikelompokkan ke pada: diversitas komposisional, struktural serta fungsi Diversitas komposisional mencakup apa yang dikenal dengan diversitas spesies termasuk diversitas genetik dan ekosistem. Menjaga diversitas genetik sangat krusial bagi eksistensi diversitas spesies, sedangkan menjaga diversitas ekosistem penting buat menyediakan tempat asli yang diharapkan buat mengonservasi berbagai spesies.

Diversitas struktural berkaitan menggunakan susunan spasial unit-unit fisik. Pada level tegakan, diversitas struktural dapat dikarakterisasi menggunakan jumlah tingkatan dalam hutan, contohnya kanopi flora utama, subkanopi, semak, tumbuhan herba. Pada level bentang alam, diversitas struktural bisa diukur dengan distribusi kelas-kelas umur dalam suatu hutan atau susunan spasial menurut ekosistem yg tidak sinkron.

Diversitas fungsional adalah variasi pada proses-proses ekologi, misalnya pendauran unsur hara atau genre energi. Ini merupakan komponen yang paling sulit buat diukur serta dipahami. Perlu dipahami bahwa ketiga komponen diversitas tersebut saling berkaitan. Misalnya, perubahan pada diversitas komposisional dan struktural, mengakibatkan perubahan dalam proses-proses ekologi. 

Ahli ekologi memberdakan biodiversitas pada skala spasial pada tiga kategori: alpha, beta dan gamma . Diversitas alpha merupakan diversitas pada dalam suatu habitat. Diversitas beta adalah diversitas di antara daerah asal, sedangkan diversitas gamma adalah diversitas pada antara geografi (diversitas skala geografi). 

Diversitas genetik
Diversitas genetik terdapat dalam empat level organisasi: di antara spesies, di antara populasi, pada pada populasi serta di pada individu.

Diversitas di antara spesies telah relatif jelas, sungguhpun kita tak jarang tidak berpikir bahwa perbedaan pada antara spesies sebagai manifestasi dari diversitas genetik lantaran kita bisa membedakan spesies dengan mudah tanpa mengetahui komposisi gennya.

Diversitas genetik di antara populasi berdasarkan suatu spesies jua tak jarang sangat besar . Di dunia pertanian contohnya terdapat berbagai macam varietas (padi, jagung), meskipun ini output seleksi buatan. Di spesies pohon disparitas antara populasi dalam spesies yg sama (dikenal menggunakan kata provenans) sering besar . 

Dalam populasi kebanyakan populasi alami, disparitas genetik di antara individu sering pula akbar. Akhirnya diversitas genetik masih ada di dalam suatu individu bilamana ada dua alel buat gen yang sama (perbedaan konfigurasi DNA yg menduduki lokus yg sama pada suatu khromosom). 

Di masa lalu hanya sedikit perhatian diberikan pada diversitas genetik pada populasi alami, sungguhpun ini sangat penting bagi kelestarian berdasarkan bentuk-bentuk biologi, perkembangan diversitas spesies (evolusi) dan berfungsinya biosfer, ekosistem dan komunitas hayati. 

Bersarnya diversitas pada pada suatu spesies tergantung dalam jumlah individu, kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi dari populasi serta sistem genetiknya. 

Peran krusial pula dilakukan oleh proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta juga faktor-faktor yg berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada komposisi genetik berdasarkan spesies atau populasi. 

Diversitas genetik krusial bagi kemampuan spesies dan populasi mengikuti keadaan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta karenanya adalah persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. 

Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan perpaduan populasi yang tidak sama secara genetik satu sama lain. Perbedaan genetik ini diwujudkan sebagai perbedaan pada antara populasi pada sifat morfologi, fisiologi, kelakuan, dan sejarah hidup (life history). Dengan istilah lain, sifat-sifat genetik (genotipe) menghipnotis sifat-sifat yg diekspresikan (fenotipe). 

Seleksi alami pada awalnya bekerja dalam level fenotipik, memihak kepada atau tidak menguntungkan buat sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool) – agregat total gen pada suatu populasi pada suatu ketika, akan berubah ketika organisme menggunakan fenotipe yg kompatibel menggunakan lingkungan akan lebih mampu bertahan hayati dalam jangka lama serta akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak juga ke generasi berikutnya. 

Besarnya diversitas genetik dalam populasi lokal sangat bervariasi. Banyak kegiatan konservasi peduli menggunakan penjagaan diversitas genetik tanaman atau fauna. Populasi kecil yg berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering mempunyai diversitas genetik yang kecil di antara individu, sedangkan dalam populasi akbar serta berbiak secara seksual acapkali mempunyai variasi yg akbar. Dua faktor utama yg bertanggung kepada jawab adanya variasi ini, yaitu cara bereproduksi (seksual atau aseksual) dan berukuran populasi. 

Cara reproduksi 
Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, membentuk genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya menurut induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, susunan genetiknya menggunakan demikian tidak sinkron menggunakan ke 2 induknya atau menggunakan individu yg lain pada pada populasi.

Adanya mutasi yg menguntungkan, yg pada awalnya muncul dalam suatu individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu eksklusif dalam populasi seksual. Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya. Satu-satunya sumber kombinasi gen pada populasi aseksual merupakan mutasi (perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke keturunannya). Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik) atau terjadi lantaran efek faktor eksternal (misal radiasi serta bahan kimia eksklusif). Mutasi terjadi di pada gen yang masih ada dalam molekul DNA- deoxyribonucleic acid.  
Populasi aseksual mengakumulasi variasi genetiknya hanya pada laju mutasi genya. Mutasi yg menguntungkan pada individu aseksual yang tidak sinkron tidak mungkin mengalami rekombinasi gen serta ada pada suatu individu seperti layaknya dalam populasi seksual. Kombinasi gen yg menguntungkan akan lebih akbar pada populasi seksual daripada populasi aseksual.

Ukuran populasi
Dalam jangka panjang, diversitas genetik akan lebih lestari dalam populasi besar daripada dalam populasi kecil. Melalui impak damparan genetik (genetic drift- perubahan dalam lukang gen menurut suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata lantaran proses kebetulan), suatu sifat genetik bisa hilang menurut populasi kecil menggunakan cepat.

Sebagai model, populasi mempunyai 2 atau lebih bentuk gen (dinamakan alel). Tergantung alel mana suatu individu mewarisi, suatu fenotipe eksklusif akan didapatkan. Bila populasi tetap berukuran mini dalam jangka waktu usang, mereka mungkin kehilangan salah satu alel menurut setiap gen lantaran proses kebetulan. Kehilangan alel terjadi lantaran eror sampling. Ketika beberapa individu kawin, mereka bertukar gen. Bayangkan awalnya separuh populasi mempunyai satu bentuk gen eksklusif, dan separuhnya populasi yg lain mempunyai bentuk gen yang lain. Karena kebetulan, dalam populasi kecil pertukaran gen dapat mengakibatkan semua individu dalam generasi berikutnya mempunyai alel yg sama. Satu-satunya cara bagi populasi ini mengadung variasi dari gen ini lagi merupakan melalui mutasi gen atau imigrasi individu menurut populasi lain. Meminimalkan kehilangan diversitas genetik pada populasi kecil merupakan dilema primer yang dihadapi dalam upaya perlindungan. 

Diversitas spesies (taksonomi)
Prokaryot : 5.500 spesies terdiri berdasarkan bakteri 
Eukaryot : 
- kerajaan flora (plantae) : lumut-lumutan (17.000 spesies), pakuan, cycad, konifer (750 spesies), ginko, tumbuhan berbunga (250.000 spesies),
- kerajaan hewan : karang (lima.000 spesies), coleonterata (9.000 spesies), echinoderm (6.100 spesies), artoprod (750.000 spesies), ikan (19.000 spesies), amfibi (4.000 spesies), reptil (6.300 spesies), burung (9.000 spesies), mamal (4.100 spesies)
- Prostista serta jamur: 47.000 spesies.

Diversitas ekosistem (biogeografik)
Diversitas spesies ditentukan nir hanya sang jumlah spesies di pada komunitas hayati, misalnya kekayaan spesies (species richness), namun pula sang kelimpahan relatif individu (relative abundance) pada komunitas.

Kelimpahan spesies adalah jumlah individu per spesies dan kelimpahan nisbi mengacu dalam kemerataan distribusi individu di antara spesies dalam suatu komunitas. 

Dua komunitas mungkin sama-sama kaya dalam spesies, tetapi tidak sama pada kelimpahan relatif. Misalnya, dua komunitas mungkin masing-masing mengandung 10 spesies serta 500 individu, tetapi dalam komunitas yang pertama seluruh spesies sama-sama generik (misal, 50 individual buat setiap spesies), ad interim dalam komunias yg kedua satu spesies secara signifikan jumlahnya lebih banyak daripada empat spesies yg lain. Maka komunitas pertama dikatakan mempunyai kelimpahan relatif yg lebih tinggi daripada komunitas kedua. 

Komponen diversitas spesies ini merespons tidak sinkron pada kondisi tempat asli yang tidak sama. Suatu wilayah yg nir mempunyai variasi tempat asli yang luas umumnya miskin spesies, namun beberapa spesies yang sanggup menduduki daerah ini mungkin berlimpah lantaran kompetisi menggunakan spesies lain buat sumberdaya akan berkurang.

Tren dalam kekayaan spesies mungkin mengindikasikan syarat masa lalu dan kini menurut suatu daerah. Kontinen antartika mempunyai sedikit spesies lantaran lingkungannya yang keras, namun pulau-pulau mini di tengah samudra miskin akan spesies karena sulit dicapai berdasarkan lokasi lain. 

Gradien dunia pula berpengaruh dalam kekayaan spesies. Gradien yang paling konkret adalah garis lintang; terdapat lebih banyak spesies pada wilayah tropis daripada di daerah temperit. Faktor-faktor ekologis berperan dalam perbedaan ini. Temperatur lebih tinggi, kepastian iklim, serta musim tumbuh yg lebih lama membangun tempat asal yang lebih aman sehingga membuat diversitas spesies yang lebih besar . Hutan hutan hujan yg paling majemuk, padang rumput tropis lebih majemuk daripada padang rumput temperit. 

Faktor lain yg berpengaruh dalam kekayaan spesies dalam suatu area adalah jarak atau barier yang memisahkan area tadi menggunakan sumber spesies. Probabilitas bahwa spesies akan mencapai suatu pulau pada samudra atau lembah terisolasi adalah mini . Binatang terutama yg nir terbang kemungkinanannya juga mini mencapai area seperti ini.

Berdasarkan pengalaman tanaman serta fauna pada suatu wilayah berbeda dengan daerah lain. Mengapa terjadi ? Mengapa spesies yg sama nir dijumpai dalam suatu daerah meskipun kondisinya cocok buat berkembang?

Kondisi genografis pada seluruh dunia yang mempunyai syarat lingkungkan yg sama sanggup membuat tipe biota yang sama. Situasi ini secara efektif memisahkan biosfer ke pada biom – komunitas ekologi yg memiliki syarat iklim dan fitur geologi yang sama yang mendukung spesies dengan taktik hidup serta adaptasi yg sama. 

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe bioma terestrial, ini terletak dalam beberapa tempat pada bumi di mana kondisi iklim dan geologi membuat lingkungan yg seperti. Bioma hutan hujan tropis mengandung komunitas hayati yang secara umum sama, tetapi spesiesnya nir sama berdasarkan satu hutan tropis ke hutan tropis yang lain. Tetapi, setiap hutan tropis akan mengandung organisme yang secara ekologis ekuivalen, yaitu spesies tidak selaras namun mempunyai daur hayati serupa serta cara beradaptasi yang mirip pada kondisi lingkungan. 

Penyebaran hewan serta tanaman yang unik pada berbagai bioma nir dapat hanya dijelaskan melalui faktor iklim dan zonasi lintang. Peristiwa geologis misalnya damparan kontinen serta kondisi iklim masa kemudian wajib dipertimbangkan juga. 

WTO SEBAGAI ORGANISASI PERDAGANGAN

WTO Sebagai Organisasi Perdagangan
Seiring berkembangnya zaman, dunia perdagangan internasional telah mengalami kemajuan yg sangat pesat. Negara sebagai galat satu aktor primer dalam perdagangan internasional sudah berusaha menyepakati sebuah prosedur atau anggaran supaya aktivitas perdagangan ini bisa lancar dan efektif berjalan. Kegiatan perdagangan ini dilakukan sang setiap negara secara dunia, maka tercetus sebuah pandangan baru buat membentuk sebuah aturan dalam mengatur bidang perdagangan internasional yang berlaku secara dunia. Salah satu anggaran yg diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang berbasis liberalisme ini beropini bahwa perdagangan internasional akan bekerja lebih efektif dan menguntungkan melalui pengurangan sampai penghilangan hambatan-hambatan berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui sang negara-negara pada saat itu dan dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen aturan sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-kendala dalam perdagangan internasional. Hingga dalam tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).

Kemajuan global perdagangan serta teknologi yang terjadi tidak selalu memberikan efek yg positif atau menguntungkan. Salah satu bidang yang terpengaruh sang kemajuan ini adalah bidang lingkungan. Lingkungan sering dikorbankan apabila harus beradu melawan laba berdasarkan sebuah perdagangan. Masalah lingkungan dan perdagangan ini bisa ditinjau berdasarkan beberapa sudut, yaitu: (1) ketika perdagangan internasional mempengaruhi keadaan lingkungan domestik menurut sebuah negara, (dua) waktu perdagangan internasional menghipnotis kasus ekologi lintas batas negara, serta (3) hubungan perdagangan internasional dengan “kepentingan bersama” (seperti lapisan ozon, jumlah pasokan ikan dan masalah Antartika). Timbulnya kasus antara bidang perdagangan serta lingkungan membuat negara-negara dunia buat menyepakati sebuah anggaran dalam menyelesaikan masalah ini. Berbagai upaya yg bersifat ramah lingkungan atau irit energi diterapkan di berbagai sektor, khususnya pada sector perdagangan dan perindustrian. Negara-negara tidak hanya berhenti pada termin praktik-praktik serta dorongan-dorongan saja, tetapi mereka juga tetapkan hal ini sebagai sebuah kasus yg harus ditanggapi secara serius, sehingga sine qua non sebuah perangkat hukum yang mengatur tentang hal ini. Dalam perkembangannya, masih ada banyak kesepakatan -konvensi pada bentuk perjanjian tentang pengaturan aturan lingkungan internasional. Kita bisa merogoh model dalam The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD).

Makalah ini akan berusaha menaruh pemahaman serta pemaparan interaksi antara perdagangan internasional menggunakan kelestarian lingkungan, baik pada taraf perjanjian multilateral, maupun pada kerangka GATT/WTO, dan menampilkan galat satu contoh kasus sengketa yang melibatkan aspek perdagangan serta lingkungan, yaitu The Tuna-Dolphin Case.

Hukum Lingkungan Internasional Dalam World Trade Organization
Sekilas Mengenai WTO
WTO (World Trade Organization) adalah sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan buat mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tariff serta perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yg disebut menggunakan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT menaruh dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
1. Membuat ketentuan-ketentuan buat merendahkan serta menghapuskan tarif, dan
2. Membuat kewajiban buat mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan serta rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).

Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran perundingan (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yg berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibentuk sebuah forum yg mengatur sistem perdagangan multilateral, sebagai akibatnya dalam tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri berdasarkan: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services serta The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.

Ketentuan pada Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
Dalam WTO masih ada banyak sekali jenis perjanjian-perjanjian yg mengatur tentang perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tadi beredar berbagai ketentuan yg menyangkut mengenai kasus lingkungan.

1. The General Agreement on Tariffs and Trade
a. Pasal I dan III: Non-subordinat (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat 2 prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam aturan perdagangan internasional. Prinsip pertama merupakan most-favoured nation (MFN) yg dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan spesifik yg diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tersebut jua wajib diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga pada (i) bea masuk serta biaya -porto, (ii) semua peraturan serta formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya -biaya , dan peraturan domestik berdasarkan produksi, penjualan dan penggunaan berdasarkan sebuah produk. Prinsip ke 2 adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yg berasal dari negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional berdasarkan suatu negara.

b. Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-restriksi bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak bisa menggunakan aneka macam restriksi selain quota impor/ekspor perizinan dan aneka macam hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.

c. Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT ini berbunyi:
Article XX
General exceptions

“Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures:

(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;

(g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ... ”

Pasal XX GATT adalah pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan menggunakan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua dispensasi pada perdagangan dengan dasar proteksi lingkungan, yaitu:
1. Keperluan buat melindungi kehidupan manusia, fauna atau tanaman ...(buah b);
2. Berhubungan dengan perlindungan asal daya alam yang terbatas, apabila upaya tersebut dibuat secara efektif pada hubungan menggunakan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g).

Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “diperlukan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:
1. Membuktikan adanya sebuah kebutuhan buat melindungi lingkungannya sendiri;
2. Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan pada rangka melakukan proteksi tadi; dan
3. Apabila sebuah upaya yg berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka wajib dipastikan upaya tersebut merupakan restriksi perdagangan pada tingkat paling rendah pada mencapai tujuan proteksi lingkungan.

Syarat ke 2 dan ketiga adalah sebuah tes atau ujian buat menentukan apakah memang diperlukan sebuah pengendalian perdagangan pada rangka melindungi lingkungan. Hal ini juga bertujuan buat mengurangi impak besar yg diakibatkan dari upaya-upaya proteksi lingkungan dan mengindari penggunaan gosip lingkungan menjadi kedok pada penggunaan pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasan-alasan terhadap informasi lingkungan sangat sulit buat dijelaskan, karena keterbatasan berita ilmiah yang dapat diberikan. Namun keliru satu bentuk upaya yg berhasil pada ranah WTO merupakan pada Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, perkara ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah pengaruh yg mempengaruhi udara dan air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya serta spesies yg berpindah loka (migratory).

Dalam buah g, dibutuhkan adanya suatu hukum pada rangka perlindungan asal daya alam yang terbatas. Hukum ini juga harus menaruh definisi tentang jenis-jenis berdasarkan asal daya alam yang digolongkan terbatas. Hukum yang ada secara bersama diimplementasikan dengan restriksi-pembatasan pada taraf domestik, baik pada segi manajemen, produksi, atau konsumsi yang bertujuan buat konservasi asal daya alam yg terbatas tersebut. Keseluruhan pengaturan pada Pasal XX ini harus memenuhi unsur dalam klausul pembukaan yang umumnya diistilahkan sebagai The Chapeau. The Chapeau ini menyatakan bahwa, meskipun sebuah tindakan atau upaya dapat dikategorikan dalam dispensasi Pasal XX, akan permanen bersifat melawan aturan berdasarkan The Chapeau, apabila terdapat (i) diskriminasi yg sewenang-wenang serta tidak dibenarkan antara negara-negara lain yang berada pada syarat yg sama serta (ii) sebuah kedok pembatasan dalam perdagangan internasional.

2. The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur tentang batasan-batasan berupa non-tarif yang bisa diberlakukan pada perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota memiliki hak buat memberlakukan baku teknis suatu barang juga jasa sinkron menggunakan ukuran nasionalnya masing-masing, serta mengatur supaya baku tersebut tidak menyebabkan kendala yang nir perlu terhadap perdagangan internasional.

Dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan menjadi keliru satu technical barriers pada perdagangan internasional adalah Pasal dua ayat (dua) yg berbunyi:

“Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”

3. The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-baku yang dibutuhkan buat melindungi manusia, hewan dan tanaman dari bahaya-bahaya eksklusif yg tercipta akibat perpindahan tumbuhan, hewan serta bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yg ingin dicapai oleh dominan negara-negara adalah menurut:
  1. Resiko yg asal menurut hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yg masuk ke pada wilayah negaranya bersama produk-produk yg diperdagangkan; dan
  2. Resiko menurut bahan kimia, pupuk, pestisida serta herbisida, racun, obat buat hewan pada bahan kuliner, minuman atau pakan fauna.
Kesepakatan ini pula mengatur hal-hal tertentu yg wajib dipenuhi supaya standar tadi bisa dibenarkan, misalnya suatu standar SPS nir boleh melebihi standar yang sudah berlaku secara internasional. Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok mengenai pengaplikasian SPS ini masih ada pada

Annex A
Definitions

“Sanitary or phytosanitary measure Any measure applied:
  1. to protect animal or plant life or health within the territory of the Member from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing organisms;
  2. to protect human or animal life or health within the territory of the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs;
  3. to protect human life or health within the territory of the Member from risks arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or
  4. to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the entry, establishment or spread of pests.”
Ketiga perjanjian di atas adalah perjanjian inti atau yang terpenting pada pengaturan tentang lingkungan serta perdagangan. Meskipun demikian, masih ada juga perjanjian-perjanjian lainnya dalam WTO yg juga menyinggung mengenai perkara lingkungan dan perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) serta General Agreement on Trade in Services (GATS).

Committee on Trade and The Environment
Pada bulan April 1994, sebuah pertemuan diadakan di Marrakesh yang dihadiri menteri-menteri anggota negara GATT. Pertemuan ini berhasil mengadopsi sebuah Keputusan tentang Perdagangan dan Lingkungan (Decisions on Trade and the Environment) buat mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan serta lingkungan melalui sistem perdagangan multilateral. Keputusan ini lalu membuat pembentukan Committee on Trade and The Environment (CTE). CTE ini didirikan sekaligus buat menggantikan kiprah GATT Group on Environmental Measures and International Trade. Pada dasarnya CTE bertujuan buat menelaah hubungan timbal-pulang antara perdagangan internasional dengan isu lingkungan hayati serta merekomendasi apakah diperlukan sebuah modifikasi terhadap sistem perdagangan multilateral buat (a) mendorong interaksi positif antara perdagangan serta lingkungan, (b) menghindari upaya perdagangan protektionis dengan memastikan ketanggapan terhadap tujuan-tujuan lingkungan berdasarkan Agenda 21 dan Deklarasi Rio, serta (c) memantau perdagangan pada tujuan buat kebaikan lingkungan, memantau aspek-aspek perdagangan pada upaya-upaya melestarikan lingkungan serta menaikkan efektifitas implementasi menurut “kedisiplinan multilateral” dalam mengatur upaya-upaya tadi.

Secara garis besar , terdapat 10 tugas yg diberikan kepada CTE dalam menanggapi gosip lingkungan dan perdagangan ini, yaitu:
1. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan upaya perdagangan pada tujuan kelestarian lingkungan, termasuk hal-hal yang berkaitan menggunakan perjanjian lingkungan multilateral;
2. Hubungan antara kebijakan lingkungan tentang perdagangan serta pengupayaan kelestarian lingkungan dengan efek penting dalam perdagangan serta ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral;
3. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral serta:
a. Pembiayaan dan pajak yang bertujuan buat lingkungan,
b. Persyaratan-persyaratan yg ditujukan buat lingkungan dalam produk-produk, termasuk standarisasi serta anggaran teknis, pegemasan, pelabelan serta siklus ulang;
4. Ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral sehubungan dengan transparansi perdagangan pada tujuan kelestarian lingkungan;
5. Hubungan antara prosedur penyelesaian sengketa pada sistem perdagangan multilateral serta dalam ketentuan perjanjian multilateral tentang lingkungan;
6. Dampak pengupayaan kelestarian lingkungan pada akses pasar, khususnya pada hubungan negara-negara berkembang, khususnya pada negara-negara yg paling terbelakang dalam pembangunan;
7. Masalah eskpor pada barang-barang yang dilarang secara domestik;
8. Ketentuan yg herbi Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights;
9. Program kerja yg diberikan oleh Decision on Trade in Services and the Environment;
10. Menyertakan badan-badan yang relevan dalam interaksi dengan organisasi antar-pemerintah dan non-pemerintah.

Penyelesaian Sengketa pada WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki prosedur pengaturan penyelesaian sengketa yg diatur pada GATT 1947, yaitu dalam Pasal XXII serta XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi pada rangka penyelesaian konkurensi yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap prosedur penyelesaian konkurensi ini pun dilakukan, diantaranya dengan banyak sekali perjanjian serta keputusan yang dibuat, yaitu:
  • The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII; 
  • The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979; 
  • The Decision on Dispute Settlement, pada Ministerial Declaration of 29 November 1982; 
  • The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok pada perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa merupakan saat diadopsi sebuah keputusan yg dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak bisa menuntaskan konkurensi melalui panel ini, jika metode konsultasi nir berhasil. Laporan panel ini diberikan serta diputuskan sang GATT Council.

WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yg dipimpin sang Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa pada WTo wajib melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan buat menyelesaikan konkurensi melalui konsultasi terlebih dahulu. Apabila dalam 60 hari tidak membuahkan output, maka penggugat dapat meminta DSB buat mendirikan sebuah Panel.

2. Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang pada memutuskan kasus yg terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yg akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibuat. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding.

3. Banding (Appeal)
Banding diajukan pada Appellate Body (yg terdiri dari tiga anggota yg dipilih secara rambang). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah berita-informasi aturan dan konklusi pada laporan yg dibentuk sang Panel, yang sudah dimuntahkan pada jangka 60-90 hari.

4. Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, wajib melaksanakan kewajibannya sehabis 30 hari putusan diadopsi DSB. Apabila anggota tadi gagal menjalankan kewajibannya (pada jangka saat tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka ke 2 negara dapat bernegoisasi buat menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap nir berhasil, maka pihak yg menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.

Konvensi pada Hukum Lingkungan Internasional yg Berkaitan dengan perdagangan
Selain WTO ternyata perjanjian mengenai perdagangan duga di atur dalam beberapa konvensi yang behubungan menggunakan lingkungan, hal ini dimaksudkan buat lebih mengatur perdagangan supaya sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12 Deklarasi Rio.

Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES)
CITES ditandatangani dalam lepas tiga Maret 1973 pada Washington D.C. Yang waktu itu penandatangan kesepakatan ini berjumlah 21 negara. Melalui kesepakatan ini, setiap negara peserta harus menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yg akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu kesepakatan yang mengatur perdagangan Internasional dan menjadi media perlindungan terhadap tumbuhan serta hewan yang terancam punah. Hal ini dilakukan buat melindungi spesies-spesies yg dilindungi serta memaksimalkan manfaatnya bagi insan pada masa sekarang dan masa yang akan tiba. Konvensi yg sudah telah diratifikasi sang 173 negara, semenjak Oman meratifikasinya dalam lepas 13 Maret 2008, dipercaya sebagai Magna Charta for Wildlife.

Tujuan primer dari kesepakatan ini adalah buat mencegah serta membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yg terancam punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tadi tidak hanya melindungi tanaman , namun jua fauna yg terancam kepunahan.spesies-spesies ang mempunyai kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu menurut 3 appendiks yg terdapat pada pada CITES, serta spesies tadi sebagai subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.

Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan berdasarkan peserta konvensi yg menyadari bahwa berbagai variasi satwa serta flora liar yang ada merupakan bagian berdasarkan sistem ekosistem bumi yg tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka wajib dilindungi buat generasi sekarang serta yg akan dating. Spesies-spesies tersebut mempunyai nilai penting dalam estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, serta ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional sebagai sebuah faktor yang krusial serta mendasar buat membangun perlindungan bagi spesies yg terancam punah tersebut berdasarkan eksploitasi hiperbola yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional. Dan semenjak berlaku pada tahun 1975, tidak terdapat lagi seekor spesies pun yang mengalami kepunahan.

Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies berdasarkan pada apakah suatu spesies terancam punah (dipandang dari populasi dan lain-lain). Secara generik berdasarkan CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :
  1. Spesies yang ternacam punah yg akan atau mampu saja terpengaruh dampak perdagangan yang dilakukan (Annex I)
  2. Spesies yang belum punah akan tetapi bila diperdagangkan secara akbar-besaran akan mengalami kepunahan (Annex II)
  3. Spesies yg belum punah tapi harus dilindungi buat mencegah kepunahan akibat perdagangan (Annex III)
Pengaturan serta Klasifikasi perdagangan
Secara keseluruhan, CITES adalah kesepakatan yang berlaku sebagai panduan generik buat mengatur hal-hal yg berkaitan menggunakan perdagangan segala jenis tanaman dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang bisa dilakukan sang negara anggota, perdagangan yg dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi negara peserta, hubungan antara aturan internasional serta peraturan domestik, serta amandemen terhadap konvensi itu sendiri.

Konvensi ini membagi proteksi ke pada 3 bagian yg termasuk pada dalam appendiks I, II, serta III yang setiap appendiks mengambarkan status spesies tersebut. Spesies yg pada golongkan dalam Appendiks I merupakan segala spesies yang terancam yg mungkin diakibatkan sang perdagangan internasional.

Appendiks II menunjukan spesies ayang pada waktu ini belum terancam oleh kepunahan tetapi bisa sebagai terancam bila taraf perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yg diatur pada regulasi atau peraturan nasional negara anggota buat menghindari ancaman terhadap kepunahan.

Sistem Perizinan Internasional
Pemberian izin ekspor dan impor
CITES mempunyai sebuah mekanisme perizinan yg wajib dipenuhi oleh negara anggotanya dalam melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies eksklusif yg termasuk pada pada daftar proteksi CITES. Izin yang diberikanpun bhineka dalam setiap spesies tergantung pada kategorisasi terhadap spesies tadi dalam apendiks CITES. Dalam konvensi ini masih ada 3 kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tadi;

A. Izin ekspor serta impor buat spesies dalam apendiks I
Segala spesies yang tercantum di dalam apendiks ini pada prinsipnya nir boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yg tercantum di pada apendiks pertama ini terancam sang kepunahan akibat atau yg dapat diakibatkan sang perdagangan. Untuk spesies yang tercantum pada dalam apendiks I tidak bisa diperdagangkan kecuali buat keadaan luar biasa, dan izin buat melakukan ekspor wajib dibuktikan melalui export permits yang dikeluarkan oleh management authority negara pengekspor.

Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor wajib memenuhi kondisi (hal ini berlaku juga dalam negara yang hendak melakukan ekspor ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor telah menaruh nasehat bahwa ekspor spesies tersebut nir akan melukai spesimen yang akan diekspor.
(dua) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yg diperoleh bukanlah hasil menurut penangkapan yang melanggar hukum proteksi spesies liar.
(tiga) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa pada pihak otoritas manajemen bahwa nir akan ada resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini bahwa izin impor atas spesimen tersebut sudah diberikan oleh otoritas negara pengimpor.

Dalam perkara ekspor ulang, petuah menurut otoritas ilmiah tidak diharapkan. Import permit dapat dikeluarkan sang management authority CITES bila persyaratan yg diatur dalam pasal III ayat

3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor sudah menasehati bahwa impor dilakukan bukan buat tujuan melukai spesimen tersebut;
(dua) Otoritas ilmiah negara pengimpor sudah konfiden bahwa negara penerima telah siap menaruh loka perlindungan serta perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan buat tujuan komersial.

B. Izin ekspor dan impor buat spesies pada apendiks II
Apendiks II mencakup spesies yg saat ini belum terancam oleh kepunahan, namun sangat rentan terhadap kepunahan jika perdagangan atas spesies ini tidak direlgulasi serta dilakukan pencegahan. Dalam hal perizinan untuk melakukan ekspor dan impor ketentuan yang belaku buat spesies pada apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya menggunakan memenuhi segala persyaratan pengekspor saja, tetapi tidak membutuhkan import permit.

C. Izin ekspor dan impor untuk spesies pada apendiks III
Apendiks III adalah kategori spesies yang dimasukan pada daftardaftar negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies tadi perlu dilindungi serta diharapkan kerjasama internasional buat melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya membutuhkan export permit saja, serta nir membutuhkan import permit.

Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan di atas, masih ada pengecualian terhadap ketentuanketentuan terhadap perdagangan terhadap fauna yg termasuk pada dalam apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang wajib dipenuhi menurut pasal VIII merupakan :
1) Spesimen masih ada pada dalam teritori negara peserta dan dalam keadaan transit, serta spesimen berada di bawah pengawasan dinas pabean;
2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V nir berlaku terhadap spesimen yang mempunyai akibat–dampak terhadap personal atau masalah tempat tinggal tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat dispensasi, yaitu bahwa dispensasi nir berlaku apabila :
a. Dalam perkara spesimen dalam apendiks I, spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya di luar negara tempat kediamannya, serta diimpor ke dalam negara tadi.
b. Dalam masalah spesimen dikategorikan di pada apendiks II, :
i. Spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya di luar negara tempat kediamannya serta dalam suatu negara di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tadi diimpor ke dalam negara kediaman pemiliknya;
iii. Negara pada mana terjadi pemindahan dari alam bebas menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke dalam salah satu apendiks CITES;
4) Spesimen yg adalah hasil berdasarkan penangkaran juga dikecualikan, spesimen yg didapatkan menurut hasil penangkaran hendaknya dipercaya menjadi spesimen berdasarkan spesies yang berada apendiks II;
5) Pengecualian juga berlaku bila otoritas manajemen negara pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen dari spesies flora serta satwa adalah hasil penangkaran atau pengembangbiakan secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian berdasarkan museum, ekspor buat eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan pada otoritas manajemen negara yang bersangkutan.

Covention on Biological Diversity (CBD)
Konvensi ini pertama kali berlaku pada lepas 29 Desember 2003.
Berbeda menggunakan kesepakatan -konvensi lainnya yg pada umunya mengatur tentang perlindungan dan perlindungan dalam spesies serta daerah asal tertentu atau hanya berlaku dalam suatu daerah regional eksklusif, CBD mengatur proteksi alam secara internasional dan lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity” sangatlah luas.

Dalam pasal 8 CBD mengatur tentang perlindungan in-situ (Konservasi di dalam daerah asal aslinya) dan pasal 9 mengatur mengenai perlindungan ex-situ (konservasi pada luar habitat orisinil dari spesies tersebut), misalnya kebun hewan.

Pasal 8 CBD menyatakan bahwa :
(a) “Establish a system of protected area or areas where social measures need to be taken to consever biological diversity
(b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of protected area or areas…”

Melalui kesepakatan ini negara peserta didorong buat membangun kawasan perlindungan dan berbagi pedoman buat penyeleksian, pembentukan, serta pengelolaan. Kawasan perlindungan ditinjau menjadi cara yang sempurna untuk menjaga keanekaragaman hayati.

Konvensi ini memiliki 3 tujuan utama yaitu:
i) Konservasi terhadap keanekaragaman hayati,
ii) Pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan komponen keanekaragaman hayati tadi melalui akses ke sumber genetik tadi,
iii) Alih teknologi yg sempurna guna, menggunakan pembiayaan yang memadai.
iv) Pembagian yg adil terhadap keuntungan yang didapat berdasarkan pemanfaatan komponen sumber daya

Pasal yang terkait menggunakan perdangangan
Walaupun nir mengatur secara eksklusif,namun terdapat beberapa pasal pada CBD yg berakitan dengan perdagangan, terutama yg mengatur mengenai, asal daya genetik (Genetic Resources). Pasal yg terkait dengan perdagangan merupakan pasal 15 tentang akses terhadap asal daya genetik :
  1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation.
  2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.
  3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention.
  4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions of this Article.
  5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party.
  6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation of, and where possible in, such Contracting Parties.
  7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of research and development and the benefits arising from the commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.
Disini memang disebutkan bahwa Negara mempunyai kedaulatan buat membatasi akses pada sumberdaya genetik, namun pada prekateknya sanggup saja Negara tersebut menaruh akses asalkan pihak yg membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya menjadi ganti pada berikan akses tersebut. 

Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage 
Konvensi ini dibuat waktu perang yg monoton berkecamuk di dunia (Perang Dunia I dan II) menyebabkan ancaman serta menyebabkan kerusakan terhadap poly loka peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah tadi nir hanya rusak tetapi pula hilang.

Karena hal tersebutlah maka ada wangsit buat menaruh perlindungan terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong pada pada Warisan Budaya maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah kesepakatan internasional yg bisa menaruh proteksi terhadap situs-situs tersebut.

Pada tahun 1972 pada konvensi Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan pada UNESCO buat memperluas rancangan kesepakatan tersebut, yang lalu menciptakan The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku dalam lepas 17 Desember 1975.

Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu konvensi bertujuan buat memastikan keselamatan serta perlindungan terhadap warisan budaya global tadi. Konvensi ini jua adalah konvensi yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan beserta global (common heritage of mankind).

Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yg bersinggungan menggunakan perdagangan adalah mengenai Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara wajib mengurangi pengaruh tempat tinggal kaca buat mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang sanggup mengurangi pengaruh rumah kacanya kurang dari yang targetkan sanggup memperjualbelikan “jatah”-nya pada Negara yang membutuhkan.

Basel Convention
Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi tentang ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban jika terjadi pencemaran, jadi bisa dikatakan bahwa konvensi ini mengatur mengenai perdagangan serta lingkungan sekaligus.

WTO SEBAGAI ORGANISASI PERDAGANGAN

WTO Sebagai Organisasi Perdagangan
Seiring berkembangnya zaman, global perdagangan internasional telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Negara menjadi keliru satu aktor primer pada perdagangan internasional telah berusaha menyepakati sebuah mekanisme atau aturan supaya kegiatan perdagangan ini dapat lancar dan efektif berjalan. Kegiatan perdagangan ini dilakukan oleh setiap negara secara dunia, maka tercetus sebuah inspirasi untuk membangun sebuah anggaran dalam mengatur bidang perdagangan internasional yg berlaku secara global. Salah satu anggaran yang diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yg berbasis liberalisme ini beropini bahwa perdagangan internasional akan bekerja lebih efektif serta menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-kendala berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada ketika itu serta dituangkan pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah forum semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan pada perdagangan internasional. Hingga dalam tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi konkret pada perdagangan internasional yg dinamakan World Trade Organization (WTO).

Kemajuan dunia perdagangan dan teknologi yg terjadi nir selalu memberikan impak yg positif atau menguntungkan. Salah satu bidang yg terpengaruh sang kemajuan ini adalah bidang lingkungan. Lingkungan tak jarang dikorbankan bila harus beradu melawan laba dari sebuah perdagangan. Masalah lingkungan serta perdagangan ini dapat dilihat berdasarkan beberapa sudut, yaitu: (1) saat perdagangan internasional mensugesti keadaan lingkungan domestik dari sebuah negara, (2) saat perdagangan internasional mensugesti perkara ekologi lintas batas negara, serta (tiga) hubungan perdagangan internasional dengan “kepentingan beserta” (misalnya lapisan ozon, jumlah pasokan ikan serta masalah Antartika). Timbulnya perkara antara bidang perdagangan serta lingkungan menciptakan negara-negara global buat menyepakati sebuah aturan dalam merampungkan masalah ini. Berbagai upaya yg bersifat ramah lingkungan atau irit energi diterapkan pada banyak sekali sektor, khususnya dalam sector perdagangan dan perindustrian. Negara-negara tidak hanya berhenti pada termin praktik-praktik serta dorongan-dorongan saja, namun mereka juga menetapkan hal ini menjadi sebuah perkara yg harus ditanggapi secara serius, sehingga harus ada sebuah perangkat hukum yang mengatur mengenai hal ini. Dalam perkembangannya, masih ada banyak konvensi-kesepakatan dalam bentuk perjanjian tentang pengaturan hukum lingkungan internasional. Kita bisa mengambil contoh dalam The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD).

Makalah ini akan berusaha menaruh pemahaman dan pemaparan hubungan antara perdagangan internasional menggunakan kelestarian lingkungan, baik pada taraf perjanjian multilateral, juga dalam kerangka GATT/WTO, serta menampilkan keliru satu contoh kasus konkurensi yang melibatkan aspek perdagangan dan lingkungan, yaitu The Tuna-Dolphin Case.

Hukum Lingkungan Internasional Dalam World Trade Organization
Sekilas Mengenai WTO
WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan dalam tahun 1994. WTO bertujuan buat mengatur sistem perdagangan global. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tariff dan perdagangan sudah terbentuk dalam tahun 1947 yg dianggap dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT menaruh 2 pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
1. Membuat ketentuan-ketentuan buat merendahkan serta menghapuskan tarif, dan
2. Membuat kewajiban buat mencegah atau menghapuskan jenis-jenis kendala dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).

Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran perundingan (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung dalam tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibentuk sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.

Ketentuan dalam Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
Dalam WTO terdapat berbagai jenis perjanjian-perjanjian yang mengatur tentang perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tersebut beredar banyak sekali ketentuan yang menyangkut tentang masalah lingkungan.

1. The General Agreement on Tariffs and Trade
a. Pasal I dan III: Non-subordinat (Non-discrimination)
Dalam GATT, masih ada 2 prinsip utama mengenai non-subordinat dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip pertama merupakan most-favoured nation (MFN) yang dinyatakan pada Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan spesifik yg diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tadi pula harus diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat serta meliputi juga kepada (i) bea masuk serta biaya -porto, (ii) seluruh peraturan dan formalitas mengenai ekspor serta impor, (iii) pajak internal, biaya -biaya , dan peraturan domestik berdasarkan produksi, penjualan dan penggunaan menurut sebuah produk. Prinsip ke 2 adalah prinsip national treatment dalam Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yang dari menurut negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.

b. Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif serta perizinan (Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai restriksi-restriksi bagi negara peserta pada hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan aneka macam restriksi selain quota impor/ekspor perizinan dan aneka macam hal yg berkaitan menggunakan ekspor/impor barang.

c. Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT ini berbunyi:
Article XX
General exceptions

“Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures:

(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;

(g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ... ”

Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting pada hal interaksi antara perdagangan menggunakan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua dispensasi dalam perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1. Keperluan buat melindungi kehidupan insan, fauna atau tumbuhan...(butir b);
2. Berhubungan menggunakan konservasi sumber daya alam yang terbatas, apabila upaya tersebut dibuat secara efektif pada interaksi dengan restriksi produksi domestic atau konsumsi (butir g).

Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “diperlukan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:
1. Membuktikan adanya sebuah kebutuhan buat melindungi lingkungannya sendiri;
2. Membuktikan adanya sebuah upaya yg berkaitan menggunakan perdagangan dalam rangka melakukan proteksi tadi; dan
3. Jika sebuah upaya yang berkaitan menggunakan perdangangan dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya tersebut adalah pembatasan perdagangan dalam taraf paling rendah pada mencapai tujuan proteksi lingkungan.

Syarat ke 2 dan ketiga merupakan sebuah tes atau ujian buat memilih apakah memang dibutuhkan sebuah pengendalian perdagangan dalam rangka melindungi lingkungan. Hal ini pula bertujuan buat mengurangi pengaruh akbar yg diakibatkan menurut upaya-upaya perlindungan lingkungan dan mengindari penggunaan gosip lingkungan sebagai kedok dalam penggunaan pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasan-alasan terhadap isu lingkungan sangat sulit buat dijelaskan, lantaran keterbatasan fakta ilmiah yang bisa diberikan. Tetapi keliru satu bentuk upaya yg berhasil pada ranah WTO merupakan pada Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, masalah ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah impak yang menghipnotis udara serta air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya serta spesies yg berpindah tempat (migratory).

Dalam buah g, dibutuhkan adanya suatu hukum pada rangka konservasi sumber daya alam yang terbatas. Hukum ini juga wajib menaruh definisi tentang jenis-jenis dari asal daya alam yg digolongkan terbatas. Hukum yang terdapat secara bersama diimplementasikan dengan pembatasan-restriksi dalam tingkat domestik, baik dalam segi manajemen, produksi, atau konsumsi yang bertujuan buat konservasi asal daya alam yang terbatas tadi. Keseluruhan pengaturan dalam Pasal XX ini harus memenuhi unsur dalam klausul pembukaan yang umumnya diistilahkan sebagai The Chapeau. The Chapeau ini menyatakan bahwa, meskipun sebuah tindakan atau upaya dapat dikategorikan dalam dispensasi Pasal XX, akan permanen bersifat melawan aturan berdasarkan The Chapeau, jika terdapat (i) subordinat yang sewenang-wenang dan nir dibenarkan antara negara-negara lain yang berada pada syarat yang sama dan (ii) sebuah kedok restriksi pada perdagangan internasional.

2. The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur tentang batasan-batasan berupa non-tarif yg bisa diberlakukan dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur 2 hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak buat memberlakukan baku teknis suatu barang juga jasa sinkron menggunakan ukuran nasionalnya masing-masing, serta mengatur supaya standar tadi tidak menimbulkan kendala yg tidak perlu terhadap perdagangan internasional.

Dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan menjadi keliru satu technical barriers pada perdagangan internasional adalah Pasal 2 ayat (dua) yang berbunyi:

“Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or paling aman, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”

3. The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini menaruh standar-baku yg dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan serta tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan flora, hewan serta bahan kuliner pada perdagangan. Perlindungan yg ingin dicapai oleh secara umum dikuasai negara-negara merupakan dari:
  1. Resiko yg berasal dari hama, penyakit, serta organisme pembawa penyakit yang masuk ke pada daerah negaranya beserta produk-produk yg diperdagangkan; dan
  2. Resiko menurut bahan kimia, pupuk, pestisida serta herbisida, racun, obat buat fauna dalam bahan kuliner, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan ini pula mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tadi bisa dibenarkan, misalnya suatu baku SPS tidak boleh melebihi standar yg telah berlaku secara internasional. Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok tentang pengaplikasian SPS ini masih ada pada

Annex A
Definitions

“Sanitary or phytosanitary measure Any measure applied:
  1. to protect animal or plant life or health within the territory of the Member from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing organisms;
  2. to protect human or animal life or health within the territory of the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs;
  3. to protect human life or health within the territory of the Member from risks arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or
  4. to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the entry, establishment or spread of pests.”
Ketiga perjanjian di atas adalah perjanjian inti atau yg terpenting dalam pengaturan mengenai lingkungan dan perdagangan. Meskipun demikian, terdapat jua perjanjian-perjanjian lainnya dalam WTO yang pula menyinggung mengenai masalah lingkungan serta perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) dan General Agreement on Trade in Services (GATS).

Committee on Trade and The Environment
Pada bulan April 1994, sebuah pertemuan diadakan di Marrakesh yang dihadiri menteri-menteri anggota negara GATT. Pertemuan ini berhasil mengadopsi sebuah Keputusan tentang Perdagangan serta Lingkungan (Decisions on Trade and the Environment) buat mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan serta lingkungan melalui sistem perdagangan multilateral. Keputusan ini lalu membentuk pembentukan Committee on Trade and The Environment (CTE). CTE ini didirikan sekaligus buat menggantikan kiprah GATT Group on Environmental Measures and International Trade. Pada dasarnya CTE bertujuan buat mempelajari interaksi timbal-kembali antara perdagangan internasional dengan isu lingkungan hayati serta merekomendasi apakah dibutuhkan sebuah modifikasi terhadap sistem perdagangan multilateral untuk (a) mendorong interaksi positif antara perdagangan serta lingkungan, (b) menghindari upaya perdagangan protektionis dengan memastikan ketanggapan terhadap tujuan-tujuan lingkungan berdasarkan Agenda 21 dan Deklarasi Rio, serta (c) memantau perdagangan dalam tujuan untuk kebaikan lingkungan, memantau aspek-aspek perdagangan pada upaya-upaya melestarikan lingkungan dan meningkatkan efektifitas implementasi berdasarkan “kedisiplinan multilateral” pada mengatur upaya-upaya tadi.

Secara garis besar , masih ada 10 tugas yang diberikan pada CTE dalam menanggapi info lingkungan dan perdagangan ini, yaitu:
1. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral serta upaya perdagangan dalam tujuan kelestarian lingkungan, termasuk hal-hal yg berkaitan menggunakan perjanjian lingkungan multilateral;
2. Hubungan antara kebijakan lingkungan mengenai perdagangan serta pengupayaan kelestarian lingkungan dengan efek krusial dalam perdagangan serta ketentuan tentang sistem perdagangan multilateral;
3. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan:
a. Pembiayaan dan pajak yg bertujuan buat lingkungan,
b. Persyaratan-persyaratan yang ditujukan buat lingkungan pada produk-produk, termasuk standarisasi serta aturan teknis, pegemasan, pelabelan dan daur ulang;
4. Ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral sehubungan dengan transparansi perdagangan pada tujuan kelestarian lingkungan;
5. Hubungan antara prosedur penyelesaian sengketa dalam sistem perdagangan multilateral dan dalam ketentuan perjanjian multilateral mengenai lingkungan;
6. Dampak pengupayaan kelestarian lingkungan pada akses pasar, khususnya pada interaksi negara-negara berkembang, khususnya dalam negara-negara yang paling kolot pada pembangunan;
7. Masalah eskpor pada barang-barang yang tidak boleh secara domestik;
8. Ketentuan yang herbi Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights;
9. Program kerja yg diberikan oleh Decision on Trade in Services and the Environment;
10. Menyertakan badan-badan yg relevan dalam hubungan dengan organisasi antar-pemerintah serta non-pemerintah.

Penyelesaian Sengketa pada WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT telah mempunyai prosedur pengaturan penyelesaian sengketa yg diatur pada GATT 1947, yaitu dalam Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian konkurensi yang terjadi antara ke 2 belah pihak. Seiring berkembangnya ketika, penyempurnaan terhadap prosedur penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan banyak sekali perjanjian dan keputusan yg dibuat, yaitu:
  • The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII; 
  • The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979; 
  • The Decision on Dispute Settlement, pada Ministerial Declaration of 29 November 1982; 
  • The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan prosedur penyelesaian sengketa adalah waktu diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak bisa menyelesaikan konkurensi melalui panel ini, apabila metode konsultasi tidak berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.

WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian konkurensi yang dipimpin oleh Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur pada Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa pada WTo harus melalui beberapa termin, yaitu:

1. Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan buat menyelesaikan konkurensi melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika pada 60 hari nir berakibat output, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan sebuah Panel.

2. Panel (The Panel)
Panel terdiri berdasarkan tiga orang pada memutuskan masalah yang terjadi pada sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yg akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara mufakat atau adanya upaya banding.

3. Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri berdasarkan tiga anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body bisa memperkuat, menambahkan, bahkan merubah berita-berita hukum serta kesimpulan dalam laporan yg dibentuk sang Panel, yg telah dimuntahkan pada jangka 60-90 hari.

4. Pengawasan berdasarkan Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, wajib melaksanakan kewajibannya sesudah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota tadi gagal menjalankan kewajibannya (pada jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara bisa bernegoisasi buat menyepakati sebuah kompensasi. Apabila hal ini masih permanen tidak berhasil, maka pihak yang menang bisa memohon biar pada DSB buat menerapkan pembalasan dalam bentuk hukuman perdagangan atau bentuk lainnya.

Konvensi pada Hukum Lingkungan Internasional yang Berkaitan menggunakan perdagangan
Selain WTO ternyata perjanjian mengenai perdagangan duga pada atur dalam beberapa konvensi yg behubungan dengan lingkungan, hal ini dimaksudkan buat lebih mengatur perdagangan agar sinkron dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12 Deklarasi Rio.

Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES)
CITES ditandatangani dalam tanggal tiga Maret 1973 di Washington D.C. Yg ketika itu penandatangan konvensi ini berjumlah 21 negara. Melalui kesepakatan ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan pada dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu kesepakatan yg mengatur perdagangan Internasional dan menjadi media perlindungan terhadap tumbuhan dan fauna yg terancam punah. Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yg dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yg akan tiba. Konvensi yg telah sudah diratifikasi oleh 173 negara, semenjak Oman meratifikasinya dalam lepas 13 Maret 2008, dipercaya menjadi Magna Charta for Wildlife.

Tujuan utama berdasarkan kesepakatan ini merupakan buat mencegah dan membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yg terancam punah atau produk-produk lain yg dihasilkannya. Konvensi tadi nir hanya melindungi tumbuhan, namun juga hewan yang terancam kepunahan.spesies-spesies ang mempunyai kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu dari 3 appendiks yang terdapat pada dalam CITES, dan spesies tersebut sebagai subjek menurut sistem perijinan impor dan ekspor.

Terbentuknya kesepakatan ini didasari sang pertimbangan dari peserta konvensi yg menyadari bahwa banyak sekali variasi satwa serta tanaman liar yang terdapat adalah bagian berdasarkan sistem ekosistem bumi yg nir terpisahkan. Hal tersebutlah yg membuat mereka harus dilindungi untuk generasi kini serta yang akan dating. Spesies-spesies tadi mempunyai nilai penting dalam keindahan, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang krusial serta mendasar buat menciptakan perlindungan bagi spesies yg terancam punah tersebut berdasarkan pendayagunaan hiperbola yg diakibatkan sang perdagangan Internasional. Dan semenjak berlaku pada tahun 1975, tidak ada lagi seekor spesies pun yg mengalami kepunahan.

Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies berdasarkan pada apakah suatu spesies terancam punah (dicermati dari populasi serta lain-lain). Secara generik berdasarkan CITES ada 3 penjabaran, yaitu :
  1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau mampu saja terpengaruh akibat perdagangan yg dilakukan (Annex I)
  2. Spesies yg belum punah akan tetapi jika diperdagangkan secara akbar-besaran akan mengalami kepunahan (Annex II)
  3. Spesies yg belum punah akan tetapi wajib dilindungi untuk mencegah kepunahan dampak perdagangan (Annex III)
Pengaturan serta Klasifikasi perdagangan
Secara keseluruhan, CITES adalah kesepakatan yang berlaku sebagai panduan generik untuk mengatur hal-hal yang berkaitan menggunakan perdagangan segala jenis tanaman dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan sang negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi negara peserta, hubungan antara aturan internasional dan peraturan domestik, dan amandemen terhadap kesepakatan itu sendiri.

Konvensi ini membagi perlindungan ke pada 3 bagian yang termasuk pada pada appendiks I, II, serta III yang setiap appendiks pertanda status spesies tadi. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies yang terancam yang mungkin diakibatkan sang perdagangan internasional.

Appendiks II membuktikan spesies ayang dalam saat ini belum terancam oleh kepunahan tetapi bisa sebagai terancam apabila taraf perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies pada appendiks IIIadalah kategori spesies yang diatur pada regulasi atau peraturan nasional negara anggota buat menghindari ancaman terhadap kepunahan.

Sistem Perizinan Internasional
Pemberian biar ekspor serta impor
CITES mempunyai sebuah mekanisme perizinan yg harus dipenuhi oleh negara anggotanya pada melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies eksklusif yang termasuk pada pada daftar proteksi CITES. Izin yg diberikanpun berbeda-beda pada setiap spesies tergantung pada kategorisasi terhadap spesies tadi pada apendiks CITES. Dalam kesepakatan ini masih ada 3 kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tadi;

A. Izin ekspor dan impor buat spesies pada apendiks I
Segala spesies yg tercantum pada dalam apendiks ini pada prinsipnya nir boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yg tercantum pada dalam apendiks pertama ini terancam sang kepunahan dampak atau yg bisa diakibatkan oleh perdagangan. Untuk spesies yg tercantum pada dalam apendiks I tidak bisa diperdagangkan kecuali buat keadaan luar biasa, dan biar buat melakukan ekspor harus dibuktikan melalui export permits yg dimuntahkan oleh management authority negara pengekspor.

Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor wajib memenuhi kondisi (hal ini berlaku juga pada negara yg hendak melakukan ekspor ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor sudah menaruh nasehat bahwa ekspor spesies tersebut nir akan melukai spesimen yang akan diekspor.
(dua) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yg diperoleh bukanlah output menurut penangkapan yang melanggar aturan proteksi spesies liar.
(3) Pada proses pengapalan, wajib dibuktikan bahwa pada pihak otoritas manajemen bahwa tidak akan terdapat resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga wajib meyakini bahwa izin impor atas spesimen tadi telah diberikan oleh otoritas negara pengimpor.

Dalam kasus ekspor ulang, petuah dari otoritas ilmiah tidak diperlukan. Import permit dapat dimuntahkan oleh management authority CITES jika persyaratan yang diatur dalam pasal III ayat

3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor sudah menasehati bahwa impor dilakukan bukan untuk tujuan melukai spesimen tersebut;
(dua) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah konfiden bahwa negara penerima telah siap memberikan tempat perlindungan dan perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan buat tujuan komersial.

B. Izin ekspor dan impor buat spesies pada apendiks II
Apendiks II meliputi spesies yg ketika ini belum terancam sang kepunahan, tetapi sangat rentan terhadap kepunahan jika perdagangan atas spesies ini nir direlgulasi serta dilakukan pencegahan. Dalam hal perizinan buat melakukan ekspor dan impor ketentuan yg belaku buat spesies dalam apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya menggunakan memenuhi segala persyaratan pengekspor saja, namun nir membutuhkan import permit.

C. Izin ekspor serta impor buat spesies dalam apendiks III
Apendiks III adalah kategori spesies yg dimasukan pada daftardaftar negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies tadi perlu dilindungi dan diperlukan kerjasama internasional buat melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya membutuhkan export permit saja, dan tidak membutuhkan import permit.

Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan pada atas, masih ada pengecualian terhadap ketentuanketentuan terhadap perdagangan terhadap fauna yang termasuk di pada apendiks I, II, dan III. Persyaratan yg harus dipenuhi menurut pasal VIII adalah :
1) Spesimen masih ada di dalam teritori negara peserta dan pada keadaan transit, dan spesimen berada pada bawah pengawasan dinas pabean;
2) Ketentuan pada pasal III, IV, serta V nir berlaku terhadap spesimen yg mempunyai akibat–akibat terhadap personal atau persoalan rumah tangga. Atas pengecualian ini, juga masih ada pengecualian, yaitu bahwa dispensasi tidak berlaku apabila :
a. Dalam masalah spesimen pada apendiks I, spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya pada luar negara loka kediamannya, dan diimpor ke dalam negara tersebut.
b. Dalam kasus spesimen mengkategorikan pada pada apendiks II, :
i. Spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya pada luar negara tempat kediamannya serta pada suatu negara di mana pemindahan berdasarkan alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tadi diimpor ke pada negara kediaman pemiliknya;
iii. Negara di mana terjadi pemindahan menurut alam bebas menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tadi dimasukkan ke pada keliru satu apendiks CITES;
4) Spesimen yang merupakan output berdasarkan penangkaran juga dikecualikan, spesimen yang didapatkan dari output penangkaran hendaknya dipercaya menjadi spesimen menurut spesies yang berada apendiks II;
5) Pengecualian jua berlaku bila otoritas manajemen negara pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen menurut spesies tanaman dan satwa adalah hasil penangkaran atau pengembangbiakan secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian dari museum, ekspor buat eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan dalam otoritas manajemen negara yg bersangkutan.

Covention on Biological Diversity (CBD)
Konvensi ini pertama kali berlaku dalam lepas 29 Desember 2003.
Berbeda dengan kesepakatan -konvensi lainnya yang dalam umunya mengatur tentang proteksi dan perlindungan dalam spesies dan daerah asal tertentu atau hanya berlaku pada suatu daerah regional tertentu, CBD mengatur perlindungan alam secara internasional serta lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity” sangatlah luas.

Dalam pasal 8 CBD mengatur mengenai konservasi in-situ (Konservasi di dalam habitat aslinya) dan pasal 9 mengatur tentang konservasi ex-situ (perlindungan pada luar tempat asal asli dari spesies tersebut), misalnya kebun hewan.

Pasal 8 CBD menyatakan bahwa :
(a) “Establish a system of protected area or areas where social measures need to be taken to consever biological diversity
(b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of protected area or areas…”

Melalui kesepakatan ini negara peserta didorong buat membangun tempat perlindungan dan mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pembentukan, dan pengelolaan. Kawasan konservasi dipandang sebagai cara yg sempurna buat menjaga keanekaragaman biologi.

Konvensi ini mempunyai tiga tujuan utama yaitu:
i) Konservasi terhadap keanekaragaman hayati,
ii) Pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan komponen keanekaragaman hayati tadi melalui akses ke asal genetik tadi,
iii) Alih teknologi yg sempurna guna, menggunakan pembiayaan yang memadai.
iv) Pembagian yang adil terhadap keuntungan yg didapat menurut pemanfaatan komponen asal daya

Pasal yg terkait menggunakan perdangangan
Walaupun tidak mengatur secara eksklusif,namun terdapat beberapa pasal dalam CBD yg berakitan dengan perdagangan, terutama yang mengatur tentang, sumber daya genetik (Genetic Resources). Pasal yg terkait menggunakan perdagangan adalah pasal 15 mengenai akses terhadap asal daya genetik :
  1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation.
  2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.
  3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention.
  4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions of this Article.
  5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party.
  6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation of, and where possible in, such Contracting Parties.
  7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of research and development and the benefits arising from the commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.
Disini memang disebutkan bahwa Negara mempunyai kedaulatan buat membatasi akses dalam sumberdaya genetik, namun pada prekateknya mampu saja Negara tadi menaruh akses asalkan pihak yang membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya sebagai ganti di berikan akses tadi. 

Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage 
Konvensi ini dibentuk ketika perang yg terus-menerus berkecamuk di global (Perang Dunia I dan II) mengakibatkan ancaman serta menyebabkan kerusakan terhadap banyak loka peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah tadi tidak hanya rusak namun juga hilang.

Karena hal tersebutlah maka ada ilham buat memberikan proteksi terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong pada dalam Warisan Budaya maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah kesepakatan internasional yang bisa memberikan proteksi terhadap situs-situs tadi.

Pada tahun 1972 pada kesepakatan Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan kepada UNESCO buat memperluas rancangan kesepakatan tersebut, yang lalu membentuk The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku dalam lepas 17 Desember 1975.

Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu kesepakatan bertujuan buat memastikan keselamatan dan perlindungan terhadap warisan budaya dunia tadi. Konvensi ini pula merupakan kesepakatan yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah serta warisan budaya yg dipercaya menjadi satu kesatuan warisan beserta global (common heritage of mankind).

Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yg bersinggungan menggunakan perdagangan adalah tentang Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara wajib mengurangi dampak rumah kaca buat mencegah Global Warming, tetapi Negara (maju) yg mampu mengurangi impak tempat tinggal kacanya kurang berdasarkan yg targetkan bisa memperjualbelikan “jatah”-nya pada Negara yg membutuhkan.

Basel Convention
Konvensi ini mengatur mengenai perdagangan limbah lebih khusus lagi tentang ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban bila terjadi pencemaran, jadi mampu dikatakan bahwa konvensi ini mengatur tentang perdagangan dan lingkungan sekaligus.