WTO SEBAGAI ORGANISASI PERDAGANGAN

WTO Sebagai Organisasi Perdagangan
Seiring berkembangnya zaman, dunia perdagangan internasional telah mengalami kemajuan yg sangat pesat. Negara sebagai galat satu aktor primer dalam perdagangan internasional sudah berusaha menyepakati sebuah prosedur atau anggaran supaya aktivitas perdagangan ini bisa lancar dan efektif berjalan. Kegiatan perdagangan ini dilakukan sang setiap negara secara dunia, maka tercetus sebuah pandangan baru buat membentuk sebuah aturan dalam mengatur bidang perdagangan internasional yang berlaku secara dunia. Salah satu anggaran yg diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas yang berbasis liberalisme ini beropini bahwa perdagangan internasional akan bekerja lebih efektif dan menguntungkan melalui pengurangan sampai penghilangan hambatan-hambatan berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui sang negara-negara pada saat itu dan dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen aturan sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-kendala dalam perdagangan internasional. Hingga dalam tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).

Kemajuan global perdagangan serta teknologi yang terjadi tidak selalu memberikan efek yg positif atau menguntungkan. Salah satu bidang yang terpengaruh sang kemajuan ini adalah bidang lingkungan. Lingkungan sering dikorbankan apabila harus beradu melawan laba berdasarkan sebuah perdagangan. Masalah lingkungan dan perdagangan ini bisa ditinjau berdasarkan beberapa sudut, yaitu: (1) ketika perdagangan internasional mempengaruhi keadaan lingkungan domestik menurut sebuah negara, (dua) waktu perdagangan internasional menghipnotis kasus ekologi lintas batas negara, serta (3) hubungan perdagangan internasional dengan “kepentingan bersama” (seperti lapisan ozon, jumlah pasokan ikan dan masalah Antartika). Timbulnya kasus antara bidang perdagangan serta lingkungan membuat negara-negara dunia buat menyepakati sebuah anggaran dalam menyelesaikan masalah ini. Berbagai upaya yg bersifat ramah lingkungan atau irit energi diterapkan di berbagai sektor, khususnya pada sector perdagangan dan perindustrian. Negara-negara tidak hanya berhenti pada termin praktik-praktik serta dorongan-dorongan saja, tetapi mereka juga tetapkan hal ini sebagai sebuah kasus yg harus ditanggapi secara serius, sehingga sine qua non sebuah perangkat hukum yang mengatur tentang hal ini. Dalam perkembangannya, masih ada banyak kesepakatan -konvensi pada bentuk perjanjian tentang pengaturan aturan lingkungan internasional. Kita bisa merogoh model dalam The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) dan Convention on Biological Diversity (CBD).

Makalah ini akan berusaha menaruh pemahaman serta pemaparan interaksi antara perdagangan internasional menggunakan kelestarian lingkungan, baik pada taraf perjanjian multilateral, maupun pada kerangka GATT/WTO, dan menampilkan galat satu contoh kasus sengketa yang melibatkan aspek perdagangan serta lingkungan, yaitu The Tuna-Dolphin Case.

Hukum Lingkungan Internasional Dalam World Trade Organization
Sekilas Mengenai WTO
WTO (World Trade Organization) adalah sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan buat mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tariff serta perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yg disebut menggunakan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT menaruh dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:
1. Membuat ketentuan-ketentuan buat merendahkan serta menghapuskan tarif, dan
2. Membuat kewajiban buat mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan serta rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).

Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran perundingan (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yg berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibentuk sebuah forum yg mengatur sistem perdagangan multilateral, sebagai akibatnya dalam tahun 1994 lahirlah WTO. Struktur dari WTO terdiri berdasarkan: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services serta The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.

Ketentuan pada Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
Dalam WTO masih ada banyak sekali jenis perjanjian-perjanjian yg mengatur tentang perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tadi beredar berbagai ketentuan yg menyangkut mengenai kasus lingkungan.

1. The General Agreement on Tariffs and Trade
a. Pasal I dan III: Non-subordinat (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat 2 prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam aturan perdagangan internasional. Prinsip pertama merupakan most-favoured nation (MFN) yg dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan spesifik yg diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tersebut jua wajib diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya. Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga pada (i) bea masuk serta biaya -porto, (ii) semua peraturan serta formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya -biaya , dan peraturan domestik berdasarkan produksi, penjualan dan penggunaan berdasarkan sebuah produk. Prinsip ke 2 adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yg berasal dari negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional berdasarkan suatu negara.

b. Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-restriksi bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak bisa menggunakan aneka macam restriksi selain quota impor/ekspor perizinan dan aneka macam hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.

c. Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT ini berbunyi:
Article XX
General exceptions

“Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures:

(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;

(g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ... ”

Pasal XX GATT adalah pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan menggunakan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua dispensasi pada perdagangan dengan dasar proteksi lingkungan, yaitu:
1. Keperluan buat melindungi kehidupan manusia, fauna atau tanaman ...(buah b);
2. Berhubungan dengan perlindungan asal daya alam yang terbatas, apabila upaya tersebut dibuat secara efektif pada hubungan menggunakan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g).

Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “diperlukan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:
1. Membuktikan adanya sebuah kebutuhan buat melindungi lingkungannya sendiri;
2. Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan pada rangka melakukan proteksi tadi; dan
3. Apabila sebuah upaya yg berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka wajib dipastikan upaya tersebut merupakan restriksi perdagangan pada tingkat paling rendah pada mencapai tujuan proteksi lingkungan.

Syarat ke 2 dan ketiga adalah sebuah tes atau ujian buat menentukan apakah memang diperlukan sebuah pengendalian perdagangan pada rangka melindungi lingkungan. Hal ini juga bertujuan buat mengurangi impak besar yg diakibatkan dari upaya-upaya proteksi lingkungan dan mengindari penggunaan gosip lingkungan menjadi kedok pada penggunaan pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasan-alasan terhadap informasi lingkungan sangat sulit buat dijelaskan, karena keterbatasan berita ilmiah yang dapat diberikan. Namun keliru satu bentuk upaya yg berhasil pada ranah WTO merupakan pada Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, perkara ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah pengaruh yg mempengaruhi udara dan air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya serta spesies yg berpindah loka (migratory).

Dalam buah g, dibutuhkan adanya suatu hukum pada rangka perlindungan asal daya alam yang terbatas. Hukum ini juga harus menaruh definisi tentang jenis-jenis berdasarkan asal daya alam yang digolongkan terbatas. Hukum yang ada secara bersama diimplementasikan dengan restriksi-pembatasan pada taraf domestik, baik pada segi manajemen, produksi, atau konsumsi yang bertujuan buat konservasi asal daya alam yg terbatas tersebut. Keseluruhan pengaturan pada Pasal XX ini harus memenuhi unsur dalam klausul pembukaan yang umumnya diistilahkan sebagai The Chapeau. The Chapeau ini menyatakan bahwa, meskipun sebuah tindakan atau upaya dapat dikategorikan dalam dispensasi Pasal XX, akan permanen bersifat melawan aturan berdasarkan The Chapeau, apabila terdapat (i) diskriminasi yg sewenang-wenang serta tidak dibenarkan antara negara-negara lain yang berada pada syarat yg sama serta (ii) sebuah kedok pembatasan dalam perdagangan internasional.

2. The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur tentang batasan-batasan berupa non-tarif yang bisa diberlakukan pada perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota memiliki hak buat memberlakukan baku teknis suatu barang juga jasa sinkron menggunakan ukuran nasionalnya masing-masing, serta mengatur supaya baku tersebut tidak menyebabkan kendala yang nir perlu terhadap perdagangan internasional.

Dalam The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan menjadi keliru satu technical barriers pada perdagangan internasional adalah Pasal dua ayat (dua) yg berbunyi:

“Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”

3. The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-baku yang dibutuhkan buat melindungi manusia, hewan dan tanaman dari bahaya-bahaya eksklusif yg tercipta akibat perpindahan tumbuhan, hewan serta bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yg ingin dicapai oleh dominan negara-negara adalah menurut:
  1. Resiko yg asal menurut hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yg masuk ke pada wilayah negaranya bersama produk-produk yg diperdagangkan; dan
  2. Resiko menurut bahan kimia, pupuk, pestisida serta herbisida, racun, obat buat hewan pada bahan kuliner, minuman atau pakan fauna.
Kesepakatan ini pula mengatur hal-hal tertentu yg wajib dipenuhi supaya standar tadi bisa dibenarkan, misalnya suatu standar SPS nir boleh melebihi standar yang sudah berlaku secara internasional. Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok mengenai pengaplikasian SPS ini masih ada pada

Annex A
Definitions

“Sanitary or phytosanitary measure Any measure applied:
  1. to protect animal or plant life or health within the territory of the Member from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing organisms;
  2. to protect human or animal life or health within the territory of the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs;
  3. to protect human life or health within the territory of the Member from risks arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or
  4. to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the entry, establishment or spread of pests.”
Ketiga perjanjian di atas adalah perjanjian inti atau yang terpenting pada pengaturan tentang lingkungan serta perdagangan. Meskipun demikian, masih ada juga perjanjian-perjanjian lainnya dalam WTO yg juga menyinggung mengenai perkara lingkungan dan perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) serta General Agreement on Trade in Services (GATS).

Committee on Trade and The Environment
Pada bulan April 1994, sebuah pertemuan diadakan di Marrakesh yang dihadiri menteri-menteri anggota negara GATT. Pertemuan ini berhasil mengadopsi sebuah Keputusan tentang Perdagangan dan Lingkungan (Decisions on Trade and the Environment) buat mengkoordinasikan kebijakan dalam perdagangan serta lingkungan melalui sistem perdagangan multilateral. Keputusan ini lalu membuat pembentukan Committee on Trade and The Environment (CTE). CTE ini didirikan sekaligus buat menggantikan kiprah GATT Group on Environmental Measures and International Trade. Pada dasarnya CTE bertujuan buat menelaah hubungan timbal-pulang antara perdagangan internasional dengan isu lingkungan hayati serta merekomendasi apakah diperlukan sebuah modifikasi terhadap sistem perdagangan multilateral buat (a) mendorong interaksi positif antara perdagangan serta lingkungan, (b) menghindari upaya perdagangan protektionis dengan memastikan ketanggapan terhadap tujuan-tujuan lingkungan berdasarkan Agenda 21 dan Deklarasi Rio, serta (c) memantau perdagangan pada tujuan buat kebaikan lingkungan, memantau aspek-aspek perdagangan pada upaya-upaya melestarikan lingkungan serta menaikkan efektifitas implementasi menurut “kedisiplinan multilateral” dalam mengatur upaya-upaya tadi.

Secara garis besar , terdapat 10 tugas yg diberikan kepada CTE dalam menanggapi gosip lingkungan dan perdagangan ini, yaitu:
1. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral dan upaya perdagangan pada tujuan kelestarian lingkungan, termasuk hal-hal yang berkaitan menggunakan perjanjian lingkungan multilateral;
2. Hubungan antara kebijakan lingkungan tentang perdagangan serta pengupayaan kelestarian lingkungan dengan efek penting dalam perdagangan serta ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral;
3. Hubungan antara ketentuan sistem perdagangan multilateral serta:
a. Pembiayaan dan pajak yang bertujuan buat lingkungan,
b. Persyaratan-persyaratan yg ditujukan buat lingkungan dalam produk-produk, termasuk standarisasi serta anggaran teknis, pegemasan, pelabelan serta siklus ulang;
4. Ketentuan mengenai sistem perdagangan multilateral sehubungan dengan transparansi perdagangan pada tujuan kelestarian lingkungan;
5. Hubungan antara prosedur penyelesaian sengketa pada sistem perdagangan multilateral serta dalam ketentuan perjanjian multilateral tentang lingkungan;
6. Dampak pengupayaan kelestarian lingkungan pada akses pasar, khususnya pada hubungan negara-negara berkembang, khususnya pada negara-negara yg paling terbelakang dalam pembangunan;
7. Masalah eskpor pada barang-barang yang dilarang secara domestik;
8. Ketentuan yg herbi Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights;
9. Program kerja yg diberikan oleh Decision on Trade in Services and the Environment;
10. Menyertakan badan-badan yang relevan dalam interaksi dengan organisasi antar-pemerintah dan non-pemerintah.

Penyelesaian Sengketa pada WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki prosedur pengaturan penyelesaian sengketa yg diatur pada GATT 1947, yaitu dalam Pasal XXII serta XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi pada rangka penyelesaian konkurensi yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap prosedur penyelesaian konkurensi ini pun dilakukan, diantaranya dengan banyak sekali perjanjian serta keputusan yang dibuat, yaitu:
  • The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII; 
  • The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979; 
  • The Decision on Dispute Settlement, pada Ministerial Declaration of 29 November 1982; 
  • The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok pada perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa merupakan saat diadopsi sebuah keputusan yg dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak bisa menuntaskan konkurensi melalui panel ini, jika metode konsultasi nir berhasil. Laporan panel ini diberikan serta diputuskan sang GATT Council.

WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yg dipimpin sang Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa pada WTo wajib melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan buat menyelesaikan konkurensi melalui konsultasi terlebih dahulu. Apabila dalam 60 hari tidak membuahkan output, maka penggugat dapat meminta DSB buat mendirikan sebuah Panel.

2. Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang pada memutuskan kasus yg terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yg akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibuat. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding.

3. Banding (Appeal)
Banding diajukan pada Appellate Body (yg terdiri dari tiga anggota yg dipilih secara rambang). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah berita-informasi aturan dan konklusi pada laporan yg dibentuk sang Panel, yang sudah dimuntahkan pada jangka 60-90 hari.

4. Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, wajib melaksanakan kewajibannya sehabis 30 hari putusan diadopsi DSB. Apabila anggota tadi gagal menjalankan kewajibannya (pada jangka saat tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka ke 2 negara dapat bernegoisasi buat menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap nir berhasil, maka pihak yg menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.

Konvensi pada Hukum Lingkungan Internasional yg Berkaitan dengan perdagangan
Selain WTO ternyata perjanjian mengenai perdagangan duga di atur dalam beberapa konvensi yang behubungan menggunakan lingkungan, hal ini dimaksudkan buat lebih mengatur perdagangan supaya sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12 Deklarasi Rio.

Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES)
CITES ditandatangani dalam lepas tiga Maret 1973 pada Washington D.C. Yang waktu itu penandatangan kesepakatan ini berjumlah 21 negara. Melalui kesepakatan ini, setiap negara peserta harus menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yg akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu kesepakatan yang mengatur perdagangan Internasional dan menjadi media perlindungan terhadap tumbuhan serta hewan yang terancam punah. Hal ini dilakukan buat melindungi spesies-spesies yg dilindungi serta memaksimalkan manfaatnya bagi insan pada masa sekarang dan masa yang akan tiba. Konvensi yg sudah telah diratifikasi sang 173 negara, semenjak Oman meratifikasinya dalam lepas 13 Maret 2008, dipercaya sebagai Magna Charta for Wildlife.

Tujuan primer dari kesepakatan ini adalah buat mencegah serta membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yg terancam punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tadi tidak hanya melindungi tanaman , namun jua fauna yg terancam kepunahan.spesies-spesies ang mempunyai kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu menurut 3 appendiks yg terdapat pada pada CITES, serta spesies tadi sebagai subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.

Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan berdasarkan peserta konvensi yg menyadari bahwa berbagai variasi satwa serta flora liar yang ada merupakan bagian berdasarkan sistem ekosistem bumi yg tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka wajib dilindungi buat generasi sekarang serta yg akan dating. Spesies-spesies tersebut mempunyai nilai penting dalam estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, serta ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional sebagai sebuah faktor yang krusial serta mendasar buat membangun perlindungan bagi spesies yg terancam punah tersebut berdasarkan eksploitasi hiperbola yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional. Dan semenjak berlaku pada tahun 1975, tidak terdapat lagi seekor spesies pun yang mengalami kepunahan.

Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies berdasarkan pada apakah suatu spesies terancam punah (dipandang dari populasi dan lain-lain). Secara generik berdasarkan CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :
  1. Spesies yang ternacam punah yg akan atau mampu saja terpengaruh dampak perdagangan yang dilakukan (Annex I)
  2. Spesies yang belum punah akan tetapi bila diperdagangkan secara akbar-besaran akan mengalami kepunahan (Annex II)
  3. Spesies yg belum punah tapi harus dilindungi buat mencegah kepunahan akibat perdagangan (Annex III)
Pengaturan serta Klasifikasi perdagangan
Secara keseluruhan, CITES adalah kesepakatan yang berlaku sebagai panduan generik buat mengatur hal-hal yg berkaitan menggunakan perdagangan segala jenis tanaman dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang bisa dilakukan sang negara anggota, perdagangan yg dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi negara peserta, hubungan antara aturan internasional serta peraturan domestik, serta amandemen terhadap konvensi itu sendiri.

Konvensi ini membagi proteksi ke pada 3 bagian yg termasuk pada dalam appendiks I, II, serta III yang setiap appendiks mengambarkan status spesies tersebut. Spesies yg pada golongkan dalam Appendiks I merupakan segala spesies yang terancam yg mungkin diakibatkan sang perdagangan internasional.

Appendiks II menunjukan spesies ayang pada waktu ini belum terancam oleh kepunahan tetapi bisa sebagai terancam bila taraf perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yg diatur pada regulasi atau peraturan nasional negara anggota buat menghindari ancaman terhadap kepunahan.

Sistem Perizinan Internasional
Pemberian izin ekspor dan impor
CITES mempunyai sebuah mekanisme perizinan yg wajib dipenuhi oleh negara anggotanya dalam melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies eksklusif yg termasuk pada pada daftar proteksi CITES. Izin yang diberikanpun bhineka dalam setiap spesies tergantung pada kategorisasi terhadap spesies tadi dalam apendiks CITES. Dalam konvensi ini masih ada 3 kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tadi;

A. Izin ekspor serta impor buat spesies dalam apendiks I
Segala spesies yang tercantum di dalam apendiks ini pada prinsipnya nir boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yg tercantum di pada apendiks pertama ini terancam sang kepunahan akibat atau yg dapat diakibatkan sang perdagangan. Untuk spesies yang tercantum pada dalam apendiks I tidak bisa diperdagangkan kecuali buat keadaan luar biasa, dan izin buat melakukan ekspor wajib dibuktikan melalui export permits yang dikeluarkan oleh management authority negara pengekspor.

Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor wajib memenuhi kondisi (hal ini berlaku juga dalam negara yang hendak melakukan ekspor ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor telah menaruh nasehat bahwa ekspor spesies tersebut nir akan melukai spesimen yang akan diekspor.
(dua) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yg diperoleh bukanlah hasil menurut penangkapan yang melanggar hukum proteksi spesies liar.
(tiga) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa pada pihak otoritas manajemen bahwa nir akan ada resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini bahwa izin impor atas spesimen tersebut sudah diberikan oleh otoritas negara pengimpor.

Dalam perkara ekspor ulang, petuah menurut otoritas ilmiah tidak diharapkan. Import permit dapat dikeluarkan sang management authority CITES bila persyaratan yg diatur dalam pasal III ayat

3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor sudah menasehati bahwa impor dilakukan bukan buat tujuan melukai spesimen tersebut;
(dua) Otoritas ilmiah negara pengimpor sudah konfiden bahwa negara penerima telah siap menaruh loka perlindungan serta perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan buat tujuan komersial.

B. Izin ekspor dan impor buat spesies pada apendiks II
Apendiks II mencakup spesies yg saat ini belum terancam oleh kepunahan, namun sangat rentan terhadap kepunahan jika perdagangan atas spesies ini tidak direlgulasi serta dilakukan pencegahan. Dalam hal perizinan untuk melakukan ekspor dan impor ketentuan yang belaku buat spesies pada apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya menggunakan memenuhi segala persyaratan pengekspor saja, tetapi tidak membutuhkan import permit.

C. Izin ekspor dan impor untuk spesies pada apendiks III
Apendiks III adalah kategori spesies yang dimasukan pada daftardaftar negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies tadi perlu dilindungi serta diharapkan kerjasama internasional buat melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya membutuhkan export permit saja, serta nir membutuhkan import permit.

Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan di atas, masih ada pengecualian terhadap ketentuanketentuan terhadap perdagangan terhadap fauna yg termasuk pada dalam apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang wajib dipenuhi menurut pasal VIII merupakan :
1) Spesimen masih ada pada dalam teritori negara peserta dan dalam keadaan transit, serta spesimen berada di bawah pengawasan dinas pabean;
2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V nir berlaku terhadap spesimen yang mempunyai akibat–dampak terhadap personal atau masalah tempat tinggal tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat dispensasi, yaitu bahwa dispensasi nir berlaku apabila :
a. Dalam perkara spesimen dalam apendiks I, spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya di luar negara tempat kediamannya, serta diimpor ke dalam negara tadi.
b. Dalam masalah spesimen dikategorikan di pada apendiks II, :
i. Spesimen tadi diperoleh sang pemiliknya di luar negara tempat kediamannya serta dalam suatu negara di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tadi diimpor ke dalam negara kediaman pemiliknya;
iii. Negara pada mana terjadi pemindahan dari alam bebas menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke dalam salah satu apendiks CITES;
4) Spesimen yg adalah hasil berdasarkan penangkaran juga dikecualikan, spesimen yg didapatkan menurut hasil penangkaran hendaknya dipercaya menjadi spesimen berdasarkan spesies yang berada apendiks II;
5) Pengecualian juga berlaku bila otoritas manajemen negara pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen dari spesies flora serta satwa adalah hasil penangkaran atau pengembangbiakan secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian berdasarkan museum, ekspor buat eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan pada otoritas manajemen negara yang bersangkutan.

Covention on Biological Diversity (CBD)
Konvensi ini pertama kali berlaku pada lepas 29 Desember 2003.
Berbeda menggunakan kesepakatan -konvensi lainnya yg pada umunya mengatur tentang perlindungan dan perlindungan dalam spesies serta daerah asal tertentu atau hanya berlaku dalam suatu daerah regional eksklusif, CBD mengatur proteksi alam secara internasional dan lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity” sangatlah luas.

Dalam pasal 8 CBD mengatur tentang perlindungan in-situ (Konservasi di dalam daerah asal aslinya) dan pasal 9 mengatur mengenai perlindungan ex-situ (konservasi pada luar habitat orisinil dari spesies tersebut), misalnya kebun hewan.

Pasal 8 CBD menyatakan bahwa :
(a) “Establish a system of protected area or areas where social measures need to be taken to consever biological diversity
(b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of protected area or areas…”

Melalui kesepakatan ini negara peserta didorong buat membangun kawasan perlindungan dan berbagi pedoman buat penyeleksian, pembentukan, serta pengelolaan. Kawasan perlindungan ditinjau menjadi cara yang sempurna untuk menjaga keanekaragaman hayati.

Konvensi ini memiliki 3 tujuan utama yaitu:
i) Konservasi terhadap keanekaragaman hayati,
ii) Pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan komponen keanekaragaman hayati tadi melalui akses ke sumber genetik tadi,
iii) Alih teknologi yg sempurna guna, menggunakan pembiayaan yang memadai.
iv) Pembagian yg adil terhadap keuntungan yang didapat berdasarkan pemanfaatan komponen sumber daya

Pasal yang terkait menggunakan perdangangan
Walaupun nir mengatur secara eksklusif,namun terdapat beberapa pasal pada CBD yg berakitan dengan perdagangan, terutama yg mengatur mengenai, asal daya genetik (Genetic Resources). Pasal yg terkait dengan perdagangan merupakan pasal 15 tentang akses terhadap asal daya genetik :
  1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation.
  2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.
  3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention.
  4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions of this Article.
  5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party.
  6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation of, and where possible in, such Contracting Parties.
  7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of research and development and the benefits arising from the commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.
Disini memang disebutkan bahwa Negara mempunyai kedaulatan buat membatasi akses pada sumberdaya genetik, namun pada prekateknya sanggup saja Negara tersebut menaruh akses asalkan pihak yg membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya menjadi ganti pada berikan akses tersebut. 

Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage 
Konvensi ini dibuat waktu perang yg monoton berkecamuk di dunia (Perang Dunia I dan II) menyebabkan ancaman serta menyebabkan kerusakan terhadap poly loka peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah tadi nir hanya rusak tetapi pula hilang.

Karena hal tersebutlah maka ada wangsit buat menaruh perlindungan terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong pada pada Warisan Budaya maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah kesepakatan internasional yg bisa menaruh proteksi terhadap situs-situs tersebut.

Pada tahun 1972 pada konvensi Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan pada UNESCO buat memperluas rancangan kesepakatan tersebut, yang lalu menciptakan The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku dalam lepas 17 Desember 1975.

Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu konvensi bertujuan buat memastikan keselamatan serta perlindungan terhadap warisan budaya global tadi. Konvensi ini jua adalah konvensi yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan beserta global (common heritage of mankind).

Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yg bersinggungan menggunakan perdagangan adalah mengenai Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara wajib mengurangi pengaruh tempat tinggal kaca buat mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang sanggup mengurangi pengaruh rumah kacanya kurang dari yang targetkan sanggup memperjualbelikan “jatah”-nya pada Negara yang membutuhkan.

Basel Convention
Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi tentang ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban jika terjadi pencemaran, jadi bisa dikatakan bahwa konvensi ini mengatur mengenai perdagangan serta lingkungan sekaligus.

Comments