Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam rakyat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan kehadiran seorang pemimpin yg selaras baik dengan kesukaan rakyat pendukungnya juga kondisi warga yg beragam. Berkaitan menggunakan hal itu, dalam artikel aku akan membahas mengenai tipologi kepemimpinan serta sifat pemimpin yang sinkron dengan cita rasa rakyat Jawa Tengah. Harapan terhadap munculnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yang ideal dalam dasarnya adalah cerminan berdasarkan kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.
Dalam artikel ini pula akan dibicarakan tentang sifat pemimpin dari contoh kepemimpinan tradisonal Jawa serta Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat pada pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan mengenai pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke dalam kelompok-gerombolan , pada antaranya yang terbesar merupakan Sunni dan Syiah. Kedua grup ini memiliki pemahaman mengenai kepemimpinan yg jauh tidak selaras walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk grup-gerombolan mini yg lain, contohnya kelompok Islam sekular.
Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa pula pada Indonesia. Sebagian tokoh Islam, keliru satunya adalah Abdurrahman Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi warga Indonesia yang plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik pada konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik pada taraf desa, kota juga pusat sudah dinodai serta dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik dalam kampanye yang nir ditepati sesudah seseorang terpilih menjadi pemimpin, serta praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh sang hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan warga pada pemimpinnya yang notabene selalu diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat ideal yg inheren pada seorang pemimpin?
1. Hipotesis mengenai Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain tentang tentang pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini bisa membantu kita buat tahu dan melakukan pembahasan dari alur yang sistematis.
Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu berdasarkan pakar politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) juga agama. Saya hanya akan membicarakan definisi yang relevan menggunakan utama pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seseorang menjadi pemimpin (leader) buat menghipnotis orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam menghipnotis kegiatan-aktivitas seorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).
Di pihak lain, dalam antropologi budaya, timbul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yg dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sementara menjadi suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yg dilakukan sang seorang atau suatu badan yg mendorong mobilitas masyarakat warga .
Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang buat mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang itu dapat dianggap mempunyai efek terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seorang atau sekelompok orang yang menerima dukungan atau pengakuan menurut warga . Dalam interaksi dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengungkapkan bahwa kepemimpinan wajib dikaitkan dengan 3 hal penting yaitu kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan.
Sementara itu ditinjau menurut sudut pandang agama (Islam), istilah kepemimpinan berasal berdasarkan kata ‘pemimpin’, adalah orang yg berada pada depan serta mempunyai pengikut, terlepas menurut persoalan apakah orang yang sebagai pemimpin itu menyesatkan atau nir. Dalam konteks Islam, setidaknya terdapat dua konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah serta khilafah. Masing-masing grup Islam memiliki pendefinisian tidak sama tentang kedua konsep itu, meskipun ada jua yang menyamakannya.
Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut pula sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah adalah penguasa tertinggi yang menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah jua dianggap sebagai imam (pemimpin) yg wajib ditaati (As-Salus, 1997: 16).
Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini bisa dipandang dalam sejarah kepemimpinan Islam sehabis Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama waktu Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib sebagai pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman merupakan khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya sebagai panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seseorang yg mengurus duduk perkara kepercayaan serta global sebagai wakil menurut Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara tersirat kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya meliputi ranah jabatan politik, nir melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah mencakup seluruh ranah kehidupan manusia baik itu kepercayaan juga politik.
Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri mengenai kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu pada kepemimpinan contoh Barat.
Meskipun gerombolan Sunni, Syiah, serta Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak sinkron mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat menggunakan demikian tidak mungkin bisa dipisahkan dari kasus kepemimpinan.
2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik di tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-ketua daerah, terutama pada Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-ketua daerah yg memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari ketua wilayah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu bisa dipandang menurut dari silsilahnya.
Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yg disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan oleh suatu panitia pada bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya bisa disimak pada kutipan di bawah ini.
Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan dari banyaknya hadiah pada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah sebagai suatu gelanggang konfrontasi yang ramai sekali. Alasan utama menurut konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).
Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada anugerah yg umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon ketua desa dalam masa kampanye melakukan banyak sekali cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari masyarakat masyarakat yg telah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji cantik kepada warga rakyat supaya mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik sang negara juga agama. Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar dan seolah-olah nir tersentuh oleh aturan.
Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam warga tradisional ataupun pedesaan ditentukan oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta agama pula memiliki efek yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.
b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yg terpilih harus menerima legitimasi dari anggotanya atau masyarakat masyarakat yg dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa memiliki wewenang buat memimpin secara resmi sesudah mendapat legitimasi dari dalam mekanisme yang sudah ditetapkan dalam norma-istiadat atau hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yg satu serta yang lain maupun dari ketika ke ketika.
Dalam warga tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-tuhan. Pada zaman kerajaan, prosedur buat melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan sang sebagian warga . Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, serta mimpi pula merupakan unsur-unsur yg berperan krusial baik pada pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8).
Oleh karenanya, buat menerima kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku ) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman terkini ini, kepemimpinan bisa jua diperoleh melalui pendidikan serta pemilihan menurut keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan dalam berbagai level nir lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).
Calon pemimpin yg berhasil terpilih harus menerima pengakuan menurut warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, karena mereka pada masa kini atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi sang masyarakat.
3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan warga Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan serta perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, pengajar, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya pula mengutamakan keselarasan pada hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yg demikian telah barang tentu sangat mensugesti rakyat Jawa dalam meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan serta kebudayaan. Jika hal ini dihubungkan menggunakan perkara kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin wajib bisa memberitahuakn sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), irit, disiplin, serta taat pada aturan (Koentjaraningrat, 1981: 64).
Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan mengenai sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara menjadi tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua pada kakawin Ramayana dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib menunjukkan perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan yang kuasa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–menjadi pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).
b. Model Islam dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi etos, etika kedaifan identik menggunakan menghargai orang lain (liyan) atau menduga diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan eksistensi orang lain pada menjalani kehidupan beserta yang semakin berat. Kehidupan pada etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menduga orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat sebagai sahabat, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib memiliki kualitas spiritual, terbebas berdasarkan segala dosa, mempunyai kemampuan sesuai menggunakan empiris, tidak terjebak dalam serta menjauhi kenikmatan global, serta harus mempunyai sifat adil. Adil dalam hal ini bisa dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu dalam tempatnya yg layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat dicermati menurut bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.
Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya merupakan bagaimana cara berbagi pluralisme pada konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, adalah jujur jabatan dan kekuasaan wajib dipakai sesuai dengan tuntutan Allah serta Rasul–Nya, berlaku adil, serta melindungi kepentingan warga .
Dengan demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam mengakibatkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ilham-inspirasi demokrasi, pluralisme, serta perlindungan hak-hak asasi insan cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.
Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat lima jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik dalam perorangan atau gerombolan . Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik rakyat serta tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda serta milik eksklusif pada luar prosedur aturan, serta keselamatan profesi.
Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam wajib menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, serta heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin serta kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya wajib berlandaskan dalam keagamaan dan pembebasan masyarakat buat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi serta hak asasi manusia absolut diharapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian menggunakan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan dan kemiskinan (Wahid, 1988).
Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan berarti bahwa negara Islam juga kepemimpinan Islam merupakan yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks membentuk kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat tidak wajib menjadi fondamen dan jiwa menurut agama serta negara.
Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan modal sosial yang dapat membuat energi positif serta memperkaya kultur bangsa, namun di sisi kebalikannya pula bisa sebagai energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg penting adalah bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis serta egaliter termasuk pada dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani dengan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.
Oleh karenanya, penting dibangun hubungan intersubjektif yg mampu melahirkan keikhlasan yg berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan semua bangsa. Harus ada mufakat antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu terdapat 2 prasyarat yg wajib dipenuhi, yaitu kejujuran sikap serta ucapan yang disertai menggunakan perilaku mengalah buat kepentingan bersama (Wahid, 2006).
c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut menghipnotis sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin harus senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan membuatkan potensi anak buah. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan menurut sudut pandang orang lain atau tenggang rasa.
Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin, (dua) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan serta terapkan inspirasi-ide baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan masyarakat, (lima) tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan acara serta rencana mengenai kepemimpinan, (7) belajarlah dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada output serta selesaikan sesuatu yang sudah dimulai, (9) gunakan kekuatan sebagai pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, serta petuah atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).
4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat dalam Pembangunan
Dalam mengungkapkan interaksi antara pemimpin serta warga dalam pembangunan, perlu dilihat berbagai variabel yg bisa dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya mempunyai dasar diantaranya mengabdi dalam kepentingan generik, memperhatikan warga baik pada dalam juga pada luar pekerjaan, dan membentuk komunikasi yg lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta hubungan yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang pada sebuah lembaga, baik itu di taraf desa, kota ataupun pusat. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa dilihat secara geometrik sebagai berikut.
Gambar Variabel-variabel yg menghipnotis keberhasilan kepemimpinan
Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin juga bisa dipengaruhi menurut bentuk kerja sama pada pembangunan yang nir hanya buat anggotanya, tetapi berdasarkan rakyat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini bisa diartikan sebagai bisnis atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terjadwal yg dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka training bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus memiliki kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan khusus (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung pada kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seorang pemimpin umumnya juga mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka serta sebagainya.
Masyarakat nir bisa berkiprah tanpa adanya pemimipin menjadi mediator dan motivator dan komunikator pada pembangunan pada aneka macam bidang. Pemimpin harus bisa menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, kiprah seseorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yg absolut lantaran keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yang demikian itu bisa digambarkan menggunakan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.
Hubungan antara pemimpin dan warga bisa jua digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak harus patuh pada bapaknya menjadi pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya seringkali kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).
Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol serta mengawasi serta menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yg baik akan dianggap oleh anggotanya menjadi cermin, guru, serta tokoh kunci (key person) dalam pembangunan.