BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya merupakan melakukan simulasi serta konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tadi.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sebagai akibatnya kata budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua pada kalangan akademisi. Tetapi demikian pada perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi misalnya halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yg adalah abstraksi dari kenyataan yang dapat diamati menurut banyak dimensi. Sehingga banyak pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi berdasarkan majemuk perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yg difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu pola berdasarkan perkiraan-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok eksklusif menggunakan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan menggunakan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-kasus tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara benar dan cara yang sempurna.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan dalam suatu organisasi yang menciptakan dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang mencakup perilaku, nilai-nilai, norma konduite dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-norma serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara fundamental dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), 2) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) herbi sesuatu yg bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh gerombolan -grup yang secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memperlihatkan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi., dua) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membangun perilaku menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya juga konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yang berimplikasi pada kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tersebut ditimbulkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi berdasarkan konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan grup aktivitas organisasional mana yg mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi nir membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), ada 3 alasan meliputi teoritis, realitas dan mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel krusial dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat menciptakan judgements tentang kinerja (performance) banyak sekali organisasi. Namun demikian, paling tidak terdapat 2 pandangan yang paling poly digunakan pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya menggunakan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis hasil yg sudah digunakan, termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan grup atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut menggunakan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi pada dalam organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yg berkembang pada khasanah akademik bisa dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh asal daya-asal daya yg dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan kentara antara aneka macam proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait memiliki efek bertenaga terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir jelas kriterianya atau seringkali berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hayati organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau aneka macam strategi pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan aneka macam konsepsualisasi organisasi yg berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan harus dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional serta ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tadi mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut bisa menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian serta kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memperlihatkan dukungan krusial bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki imbas terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama pada perusahaan yg memiliki budaya yang sesuai dengan taktik serta dapat menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga dipengaruhi sang aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta gambaran perusahaan (merk equity).

Pandangan tadi sejalan menggunakan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter serta Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter serta Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat peran primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi menurut penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki impak yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada dalam perussahaan terdiri berdasarkan orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat untuk menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian jua output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger dalam dekade 1980-an yang memberitahuakn bahwa merger seringkali mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over misalnya yg diperoleh berdasarkan sejumlah output riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung jua oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), serta Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi mengenai efek budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi sudah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari banyak sekali departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yg menemukan bukti empiris adanya dampak positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif pada peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional memiliki kiprah yg sangat strategis untuk mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg kemudian berakibat pula pada pendefinisian yg beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis dalam perspektif-perspektif individu dan aspek dari kenyataan perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite menurut seorang individu yg memimpin aktivitas-aktivitas suatu grup ke suatu tujuan yg ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan eksklusif. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan pembentukan awal dan pemeliharaan struktur dalam asa serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan menjadi proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin adalah mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial dan yg diharapkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap bisnis kolektif dan yg menyebabkan kesediaan buat melakukan bisnis yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses efek sosial (imbas yg sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain buat menstruktur aktivitas-aktivitas dan interaksi-hubungan pada dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung dalam preferensi metoda dari peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut langsung para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yg tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan dari perilaku, terbagi ke dalam 2 kategori. Kategori pertama adalah penelitian tentang sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan saat mereka, dan mencoba mengungkapkan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi serta tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yang efektif serta tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki serta cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi ditinjau menjadi hal krusial bukan saja untuk mensugesti bawahan, namun pula kawan sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mensugesti studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh fokus kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang kepada para pengikut. Studi ini jua berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan bisnis yang luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan dan misi organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana donasi kepemimpinan pada pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan mensugesti budaya dan kinerja organisasional telah cukup banyak ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya serta struktur organisasi supaya lebih konsisten dengan strategi-taktik manajemen buat mencapai sasaran organisasional. Hal tadi meliputi proses membentuk komitmen terhadap sasaran organisasi serta memberi agama pada para pengikut buat mencapai target tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin serta pengikut saling meningkatkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja pada organisasi dalam jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang adalah bentuk kepemimpinan terhadap bawahan menggunakan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yg relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi 3 dimensi yg memformulasikan teori kepemimpinan transformasional mencakup: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yg diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yg padanya seorang pemimpin menghipnotis para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat serta identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual merupakan sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap masalah-kasus dan mensugesti para pengikut buat memandang kasus-kasus menurut sebuah perspektif yang baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yg dikemukakan Bass dan Avioli (1990) menggunakan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yg didefinisikan menjadi sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, menggunakan simbol-simbol buat buat memfokuskan usaha-bisnis bawahan, dan memodelkan perilaku-konduite yang sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan pada para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) jua memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting pada dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan tentang pekerjaan yang diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus serta contingent rewards buat mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yang mencakup penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap penyimpangan yg konkret menurut standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan transformasional sebagai proses yg berbeda, tetapi nir saling tertentu, dan dari Bass pemimpin yang sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tadi pada waktu-saat serta situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional menggunakan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini sebagai kenyataan yg tak jarang dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sehingga karisma nir relatif pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yg membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan eksklusif menurut dalam komitmen terhadap impian.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas interaksi pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 mekanisme, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, tiga) pemodelan kiprah, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yg padanya seseorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yg tidak sama.

Berdasarkan uraian di atas, contoh berdasarkan penelitian digambarkan menjadi berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah menunjukkan dalam kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yg selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian bertenaga dalam mereka yg dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik konduite transformasional yg luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai impian atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan gambaran konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan menghipnotis budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Namun demikian poly fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian tak jarang disebabkan tatanan budaya telah sedemikian bertenaga melekat dalam organisasi tadi. 

Trice serta Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi tentang suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional memperlihatkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menampakan bahwa interaksi eksekutif puncak terhadap kinerja memperlihatkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan nir mempunyai banyak dampak terhadap kinerja kecuali mereka memiliki keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diharapkan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir menghipnotis budaya secara eksklusif, tetapi mempertegas hubungan antara budaya organisasi serta keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan dalam aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga pada pendekatan ini nir menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tadi memungkinkan jenis karakteristik fisik, intelegensia dan psikologi sebagai variabel situasional pada kaitannya menggunakan interaksi antara budaya organisasional serta keefektifan organisasional. 

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan pada artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam banyak sekali perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sebagai akibatnya tersusun peta awal menurut hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada aneka macam setting sehingga istilah budaya pada suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua di kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” adalah suatu konstruk, yg adalah abstraksi berdasarkan fenomena yg bisa diamati berdasarkan poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi dari beragam perspektif serta dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola menurut asumsi-perkiraan dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu grup tertentu menggunakan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi kasus-masalah yg muncul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yang telah berjalan dengan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat tahu, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan kasus-perkara tadi. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada dalam 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada taraf ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) dan filosofi menurut pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih serta cara yang tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yg dimiliki para anggota grup dalam suatu organisasi yg membentuk dan menghipnotis perilaku serta perilaku kelompok tersebut. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang meliputi perilaku, nilai-nilai, norma perilaku dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan menjadi perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional adalah norma-kebiasaan dan nilai-nilai yg mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), dua) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), tiga) herbi sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) didapatkan dan dipertahankan sang grup-kelompok yang secara beserta-sama menciptakan organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memberitahuakn empat fungsi krusial budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) menaikkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membangun konduite menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan juga sebagai “ruh” organisasi lantaran di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang akan sebagai kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya pula konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg majemuk yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yang dipakai pada pengukuran, taraf analisis yg appropriate dan grup kegiatan organisasional mana yang mencerminkan sentra perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tersebut tidak menciptakan konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), terdapat tiga alasan mencakup teoritis, empiris serta mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam sentra seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada aktivitas riset serta konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements mengenai kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak terdapat dua pandangan yg paling poly digunakan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya dengan melihat aneka macam jenis output yg telah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan kelompok atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di pada organisasi. Beberapa contoh keefektifan organisasional yang berkembang dalam khasanah akademik dapat dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka ketika serta terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan kentara antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait mempunyai imbas kuat terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir kentara kriterianya atau tak jarang berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hayati terjamin menjadi hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan nir kentara atau berbagai taktik pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg mengakibatkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak sinkron. Oleh karenanya setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yg sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian banyak persoalan organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian menampakan kegagalan organisasi lebih acapkali ditimbulkan sang pertarungan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Konflik tersebut mendorong Peters serta Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan serta kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat sebagai kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) menerangkan dukungan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang memiliki budaya yang sinkron dengan strategi serta dapat mempertinggi komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) berkata bahwa peningkatan kinerja organisasional jua ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, diantaranya: budaya organisasional, hubungan menggunakan pelanggan (customer elationship) dan citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada output studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri pada Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai impak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai imbas yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) sebagai faktor yg lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, tiga) bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat buat menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian juga output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger dalam dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel menggunakan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over misalnya yg diperoleh menurut sejumlah hasil riset realitas Kreitner serta Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi tentang dampak budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya imbas positif budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) mengungkapkan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional mempunyai kiprah yang sangat strategis buat mendorong serta meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek juga jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting buat menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan serta mengelola asal daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yg senantiasa menarik serta diperbincangkan bagi banyak kalangan yang lalu berakibat jua pada pendefinisian yang beragam serta kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yg dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu serta aspek berdasarkan fenomena perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite berdasarkan seorang individu yang memimpin kegiatan-kegiatan suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan adalah efek antar langsung yg dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses menghipnotis kegiatan-aktivitas sebuah grup yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin merupakan mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial serta yg dibutuhkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebesar jumlah orang yg sudah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses impak sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan sang seorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-kegiatan dan hubungan-interaksi pada dalam sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda berdasarkan peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mempelajari perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan dari ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan dalam atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang nir dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan mencoba menjelaskan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi misalnya kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menyebutkan keefektifan kepemimpinan pada kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan. Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja buat menghipnotis bawahan, tetapi pula mitra sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh penekanan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta pemberian kewenangan pada para pengikut. Studi ini pula berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan bisnis yg luar biasa dan pengorbanan eksklusif buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ gerombolan .
7. Kepemimpinan pada grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan menghipnotis budaya dan kinerja organisasional telah relatif poly ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dipercaya paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin membarui budaya serta struktur organisasi agar lebih konsisten dengan taktik-taktik manajemen buat mencapai target organisasional. Hal tersebut meliputi proses menciptakan komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi agama kepada para pengikut buat mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling mempertinggi diri ke tingkat moralitas serta motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) bisa diperlihatkan sang siapa saja pada organisasi pada jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan menggunakan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yg merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan dengan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menyebabkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap kasus-perkara serta mensugesti para pengikut buat memandang masalah-masalah berdasarkan sebuah perspektif yg baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman mengenai pengembangan pada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass serta Avioli (1990) dengan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim ilham (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan menjadi sejauh mana seseorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, memakai simbol-simbol buat buat memfokuskan bisnis-usaha bawahan, serta memodelkan konduite-perilaku yg sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan dalam para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional menjadi sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yg diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus dan contingent rewards buat menghipnotis motivasi. Komponen selanjutnya merupakan “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga dibubuhi oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yg meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap defleksi yg konkret dari standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional menjadi proses yang berbeda, namun tidak saling tertentu, serta dari Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan ke 2 jenis kepemimpinan tadi pada saat-saat dan situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana interaksi kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini menjadi kenyataan yg sering dibahas pada organisasi. Tetapi demikian poly pakar mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sebagai akibatnya karisma nir cukup pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik menggunakan kepemimpinan transformasional merupakan bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya permanen lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan dalam upaya menanamkan kesetiaan eksklusif berdasarkan pada komitmen terhadap asa.

Dalam interaksi dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan pemimpin serta budaya. Menurutnya para pemimpin memiliki potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 prosedur, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice serta Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan penemuan kultural yg padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yg drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru menggunakan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian pada atas, model berdasarkan penelitian digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah memberitahuakn pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi dalam komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yg sedemikian bertenaga pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik perilaku transformasional yg luar biasa sebagai akibatnya bisa mensugesti budaya warga mencapai hasrat atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan ilustrasi konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Tetapi demikian poly kenyataan pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem serta budaya organisasi pada keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian acapkali ditimbulkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat dalam organisasi tersebut. 

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya serta kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi mengenai suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yg terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak menghipnotis secara penting terhadap tatanan budaya usang dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menerangkan bahwa hubungan eksekutif zenit terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai poly dampak terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yg lebih baik. Secara generik penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sebagai akibatnya kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diperlukan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai karakteristik pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yg sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional. 

MENCERMATI DINAMIKA KONSEP KEPEMIMPINAN

Mencermati Dinamika Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan menjadi proses menghipnotis dan mengarahkan berbagai tugas yg berhubungan dengan kegiatan anggota gerombolan . Kepemimpinan pula diartikan menjadi kemampuan menghipnotis berbagai strategi dan tujuan, kemampuan mensugesti komitmen dan ketaatan terhadap tugas buat mencapai tujuan beserta; dan kemampuan mensugesti kelompok supaya mengidentifikasi, memelihara serta mengembangkan budaya organisasi (Shegdill pada Stoner dan Freeman 1989: 459-460). Unsur-unsur kepemimpinan berdasarkan Shegdill merupakan: (1) adanya keterlibatan anggota organisasi sebagai pengikut; (dua) distribusi kekuasaan pada antara pemimpin dengan anggota organisasi; (3) legitimasi diberikan kepada pengikut, dan (4) pemimpin menghipnotis pengikut melalui berbagai cara.

Beberapa pendapat pakar mengenai kepemimpinan juga tersaji sang Philip (2003: lima-6) sebagai berikut. Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses interaksi timbal kembali pemimpin serta pengikut pada memobilisasi banyak sekali sumber daya ekonomi, politik dan asal daya lainnya buat mencapai tujuan yg ditetapkan. Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau sekumpulan kegiatan yg teramati oleh pihak lain, berlangsung pada gerombolan , organisasi atau forum, serta melibatkan pemimpin serta pengikut yg bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan menjadi kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa yg nir disukai serta melaksanakan apa yg disukai.

Sesuai definisi kepeminpinan pakar pada atas dapat dipahami bahwa kepemimpinan mempunyai aneka macam makna, tergantung pada sudut pandang ahli, serta tergantung juga dalam konteksnya. Kepemimpinan adalah suatu proses menggerakan banyak sekali asal daya dan mempengaruhi orang lain agar berafiliasi buat pencapaian tujuan. Kapabilitas, imbas, proses, pemimpin, pengikut, penggerakan, kerjasama serta tujuan adalah unsur-unsur krusial kepemimpinan. Sebagai proses, kepemimpinan bisa dikategorikan ke dalam beberapa bagian yaitu: (1) melibatkan efek hadiah model serta persuasi, (dua) interaksi pada antara banyak sekali aktor baik sebagai pemimpin maupun sebagai pengikut, (tiga) hubungan ditentukan situasi dimana interaksi itu berlangsung. (4) proses meraih banyak sekali luaran misalnya pencapaian tujuan, kohesi gerombolan , dorongan atau perubahan budaya organisasi (Philip, 2003: 6).

Konsep kepemimpinan kontemporer menduga bahwa kepemimpinan adalah proses saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut buat mencapai tujuan beserta (Lussier serta Achua, 2001: 6). Elemen kunci kepemimpinan mencakup: pemimpin-pengikut, dampak, orang, perubahan serta tujuan yg akan dicapai. Pengikut artinya orang lain yg ditentukan sang pemimpin. Pengaruh adalah upaya pemimpin mensugesti orang lain menggunakan cara mengkomunikasikan gagasan, memperoleh tanggapan atas gagasan yang dikemukakan serta memotivasi pengikut agar mendukung dan mengimplementasikan gagasannya menggunakan melakukan perubahan. Pengaruh merupakan esensi kepemimpinan. Pemimpin yg efektif mensugesti pengikutnya pada berpikir bukan hanya buat kepentingannya sendiri, melainkan pula buat kepentingan bersama. Selanjutnya, meskipun kata orang nir dikemukakan secara khusus pada definisi kepemimpinan ini, namun setelah membaca elemen definisi kepemimpinan yang lain, maka bisa dipahami bahwa kepemimpinan adalah mengarahkan orang (lain). Definisi kepemimpinan ini mengandung makna bahwa pengikut yang baik juga menerangkan peran kepemimpinan bila dibutuhkan, artinya pengikut mampu saja menghipnotis pemimpinnya. Karena itu, definisi kepemimpinan kontemporer ini memberitahuakn bahwa proses menghipnotis terjadi antara pemimpin serta pengikut secara timbal pulang dan dua arah.

Perkembangan Gaya Kepemimpinan
Langkah yg perlu ditempuh dalam mengklasifikasikan gaya kepemimpinan adalah tahu pengertian gaya kepemimpinan serta menentukan tipologi kepemimpinan yang bisa dijadikan sebagai acuan yang bisa mencirikan sekaligus membedakan setiap gaya kepemimpinan. Istilah gaya sama dengan cara, teknik atau metode yg dipakai oleh pemimpin buat menghipnotis pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan kebiasaan perilaku yg digunakan oleh seorang pada saat mencoba menghipnotis perilaku orang lain (Thoha, 2001: 49). Menurut Kaplan dan Norton (2001: 350) bahwa, gaya kepemimpinan adalah ramuan yang paling kritis bagi keberhasilan pengukuran kinerja organisasi secara komprehensif. Gaya kepemimpinan yg dimaksud merupakan gaya kepemimpinan eksekutif senior yg berpengaruh terhadap semua anggota organisasi.

Gaya kepemimpinan dapat dicirikan dan dibedakan dengan fungsi kepemimpinan seperti uraian berikut. Gaya kepemimpinan dalam dasarnya mengandung arti berupa cara pemimpin herbi pengikut atau bawahannya. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan memiliki dua sifat, yakni berorentasi pada tugas serta berorentasi pada bawahan (Robbins, et.al., 1994: 473). Fungsi kepemimpinan pada dasarnya menyangkut dua hal pokok, yakni: (1) fungsi yg berkaitan menggunakan tugas yg disebut fungsi pemecahan masalah, serta (dua) fungsi pemeliharaan grup yg disebut fungsi sosial.

Menurut Robbins, et.al. (1994: 477) bahwa ada dua gaya kepemimpinan yang ekstrim yakni gaya kepemimpinan otokratis dan gaya kepemimpinan demokratis. Gaya otokratis dipahami sebagai gaya kepemimpinan yang berdasar pada kekuatan posisi serta penggunaan otoritas pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal serta keikutsertaan pengikut pada proses pemecahan kasus dan pengambilan keputusan. Dua kutub pemikiran mengenai gaya kepemimpinan ini sejalan dengan pendapat Robert Tannenbaum serta Warren H. Schmidt (1958) pada Robbins, et.al. (1994: 4780 serta Gibson (1997: 14) bahwa gaya kepemimpinan otokratis serta demokratis merupakan gaya kepemimpinan yg dapat ditempatkan dalam suatu kontinuum dari konduite pemimpin yg sangat otokratis pada satu ujung dan perilaku pemimpin yang sangat demokratis dalam ujung yang lain. Apalagi karena menggunakan istilah kunci yang sama yakni “kontinuum”, menggunakan merinci tujuh contoh keputusan pemimpin. Lantaran itu, gaya kepemimpinan yang lainnya dapat diposisikan dalam kontinuum pada antara ke 2 gaya kepemimpinan tersebut.

Beberapa gaya kepemimpinan yang terkenal di masa lalu bisa dikategorikan ke dalam kontinuum pembagian terstruktur mengenai gaya kepemimpinan ini. Misalnya, contoh Manajerial Grid berdasarkan Robert R. Blake serta Jane S. Mouton dalam Robbins, et.al. (1994: 474) yang merinci gaya kepemimpinan ke dalam empat gaya ekstrim, ditambah satu gaya yang berada di tengah-tengah buat menyeimbangkan keempat gaya yang berada pada empat sisi yang tidak selaras, merupakan galat satu contoh yang sempurna. Begitu juga gaya tiga dimensi menurut William J. Reddin yg pada dasarnya hanya adalah pengembangan gaya kepemimpinan yg diintrodusir berdasarkan hasil penelitian Universitas Ohio serta gaya yg dikembangkan sang Blake dan Mouton. Gaya kepemimpinan yg pula penting sebagai bagian dari teori perilaku adalah sistem manajemen menurut Rensist Likert (Robbins, et.al., 1994: 309) berupa desain empat sistem kepemimpinan.

Hal krusial yang bisa dipahami dari pelukisan posisi gaya kepemimpinan di atas ialah pemetaan gaya kepemimpinan pada aneka macam contoh – kontinuum, grid, 3 dimensi serta sistem manajemen – serta citra tentang konsep kepemimpinan terdahulu yang nir mempermasalahkan perbedaan ciri setiap gaya kepemimpinan, padahal cirinya cenderung tidak selaras ditinjau dari peta teori yg dibentuk. Dengan demikian, contoh kepemimpinan yang dibuat ini adalah wadah buat memetakan gaya kepemimpinan yg ada dan akan terdapat.

Level Analisis Teori Kepemimpinan
Untuk mengklasifikasi teori dan penelitian kepemimpinan bisa dilakukan dengan cara memahami level analisisnya (Lussier dan Achua, 2001: 14). Level analisis teori kepemimpinan minimal terdiri menurut empat, yakni individu, grup, organisasi dan warga . Lantaran itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan pada konsep proses dalam salah satu dari empat level tersebut.

Pertama, level individu. Level analisis ini terfokus dalam individu pemimpin serta hubungannya menggunakan individu lain (pengikutnya). Asumsi yg dianut artinya efektivitas kepemimpinan tidak bisa dipahami lebih jauh tanpa mengungkapkan bagaimana pemimpin dan pengikutnya saling menghipnotis satu sama lain sepanjang waktu.

Kedua, level grup. Level analisis ini terfokus pada interaksi antara pemimpin dengan grup pengikut kolektif yg disebut proses kelompok. Teori proses grup memfokuskan pada kontribusi seorang pemimpin terhadap efektivitas kelompok. Penelitian mendalam tentang beberapa grup kecil telah mengidentifikasi faktor determinan krusial bagi efektivitas gerombolan .

Ketiga, level organisasi. Level analisis ini terfokus pada organisasi sebagai akibatnya lazim dianggap proses organisasi. Kinerja organisasi pada jangka panjang tergantung pada penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan sumber daya yg diperlukan buat tetap hidup, dan dalam proses transformasi efektif yang digunakan oleh organisasi untuk menghasilkan produk dan jasa. Sebagian output penelitian terakhir dalam level organisasi memberitahuakn adanya pengaruh signifikan dari manajer level zenit terhadap kinerja organisasi (Lussier serta Achua, 2001: 14; Manz dan Sims, 2001: 2; Overton, 2002).

Keempat, level warga . Level analisis ini poly terfokus pada perilaku pemimpin informal dalam rakyat dalam umumnya. Corak kepemimpinan pada masyarakat sangat ditentukan oleh tatanan nilai serta keyakinan dan norma-norma (adat, kesusilaan, aturan, agama) yg berkembang dalam warga . 

Paradigma Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan adalah penerangan mengenai beberapa aspek kepemimpinan serta teori yang mempunyai nilai praktis karena digunakan buat tahu, memprediksi serta mengendalikan sukses kepemimpinan secara lebih baik. Minimal terdapat empat penjabaran teori kepemimpinan atau pendekatan penelitian buat menyebutkan kepemimpinan. Klasifikasi teori kepemimpinan – yg dalam tulisan ini dianggap gaya kepemimpinan mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan integratif.

Berdasarkan uraian pada atas nampak bahwa paradigma kepemimpinan merupakan bagian berdasarkan pola pikir yg mewakili cara berpikir, mempersepsikan, mempelajari, meneliti serta tahu kepemimpinan secara mendasar. Keempat pembagian terstruktur mengenai teori kepemimpinan utama tersebut pula mewakili perubahan kerangka berpikir kepemimpinan (Lussier dan Achua, 2001: 14-19). 

Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan dalam mulanya berdasarkan dalam perkiraan bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat. Peneliti lalu mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang membedakan dengan pengikutnya, dan pemimpin efektif dengan pemimpin tidak efektif. Teori pembawaan kepemimpinan mencoba menjelaskan karakteristik khusus kepemimpinan yg efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik serta psikologis dan kualitas, seperti level kemampuan yg tinggi, keagresifan, agama pada diri sendiri, daya persuasif yg dimiliki dan kekuasaannya dalam mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yg sukses. Dalam aneka macam asal dinyatakan bahwa, keberhasilan seorang pemimpin dipengaruhi oleh sifat serta perangai pemimpin tersebut. Sifat-sifat tersebut bisa berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).

Atas dasar pemikiran pada atas ada anggapan bahwa buat sebagai seorang pemimpin yang berhasil sangat dipengaruhi kemampuan langsung pemimpin. Karena itu, ada usaha menurut para ahli buat meneliti dan merinci kualitas seseorang pemimpin yg berhasil melaksanakan tugas kepemimpinannya, kemudian hasilnya diformulasikan ke dalam sifat-sifat generik seseorang pemimpin. Usaha tadi berkembang sebagai teori kepemimpinan yg diklaim “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).

Teori Sifat atau Pembawaan

(Sumber: Diadaptasi menurut Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

Bakat-bakat kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang membedakan para pemimpin dari bawahannya.
·Temuan historis memberitahuakn bahwa pemimpin serta bawahan dibedakan berdasarkan:
-intelijensi,
-dominasi
-agama diri
-tingkat tenaga dan aktivitas
-pengetahuan yang relevan menggunakan tugas
·Temuan kontemporer menerangkan bahwa:
-orang cenderung mempersepsikan seorang selaku pemimpin saat memberitahuakn talenta yg herbi intelijensi, maskulinitas dan dominasi
-orang mengharapkan pemimpin tersebut sebagai kredibel
-pemimpin yang kredibel adalah pemimpin yang amanah, berpandangan jauh ke depan serta cakap.
Daftar pembawaan digunakan sebagai prasyarat untuk mengusulkan calon buat menduduki posisi kepemimpinan. Calon yg bisa diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan merupakan yg memiliki semua pembawaan yg diidentifikasi. Tetapi, tidak satu pun yg menjadi daftar pembawaan universal yg dimiliki sang pemimpin sukses atau pembawaan yang mengklaim keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai bagaimana yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata output bisnis yang dilakukan oleh para pakar sangat heterogen sebagai akibatnya ada keraguan terhadap output tadi. Sisi positifnya merupakan meskipun nir terdapat daftar yang mengklaim keberhasilan kepemimpinan, tetapi pembawaan yg terkait dengan keberhasilan kepemimpinan bisa teridentifikasi.

Paradigma Teori Kepemimpinan Perilaku
Setelah pada athun baru lima puluhan diketahui bahwa penyelidikan mengenai ciri-karakteristik kepemimpinan nir berhasil, para ahli dan peneliti kepemimpinan memulai menilik tingkah laris pemimpin. Tingkah laris pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan. Lantaran itu, terdapat 2 dimensi primer kepemimpinan yang dikenal dengan nama konsiderasi dan struktur inisiasi. Dua macam kesamaan konduite kepemimpinan tadi pada hakekatnya nir dapat dilepaskan berdasarkan kasus fungsi serta gaya kepemimpinan.

Teori Gaya Keperilakuan

(Sumber: Diadaptasi menurut Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

·Studi Ohio State University mengidentifikasi dua dimensi penting konduite pemimpin
(1)Konsiderasi: menciptakan respek serta kepercayaan timbal-pulang menggunakan bawahan
(2)Inisiasi struktur: mengorganisir dan meredefinisi apa-apa yang akan dikerjakan sang anggota kelompok
·Studi Michigan University mengidentifikasi 2 gaya kepemimpinan yg sama menggunakan studi yang dilakukan sang Ohio State University.
= salah satu gaya terfokus dalam pekerja serta gaya yang satunya terfokus pada pekerjaan
·Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yg terbaik. Efektivitas gaya kepemimpinan eksklusif tergantung dalam situasi pada mana gaya tadi diterapkan.

Berdasarkan tabel pada atas dapat dipahami bahwa perilaku pemimpin yg efektif melakukan konsiderasi tergantung dalam aspek berikut: 
  • Kepuasan pengikut terhadap pemimpin tergantung dalam derajat konsiderasi yg ditunjukkan sang pemimpin.
  • Konsiderasi pemimpin lebih berpengaruh terhadap pengikut waktu pekerjaan tidak menyenangkan dan mendesak, dari dalam waktu pekerjaan menyenangkan dan nir mendesak.
  • Pemimpin yang menunjukkan konsiderasi dapat melakukan inisiasi struktur yg lebih banyak tanpa mengurangi kepuasan pengikutnya.
  • Konsiderasi yang diberikan menjadi respons terhadap kinerja yang baik akan menaikkan kemungkinan kinerja yang baik di masa depan.
Sedangkan perilaku pemimpin yang efektif melakukan inisiasi struktur adalah:
  • Inisiasi struktur yang memperjelas peran tambahan akan menaikkan kepuasan.
  • Inisiasi struktur akan menyurutkan kepuasan pengikut ketika struktur tadi sudah tersedia.
  • Inisiasi struktur akan mempertinggi kinerja waktu tugas nir jelas.
  • Inisiasi struktur tidak akan mensugesti kinerja waktu tugas kentara (Leadership, 2001: dua). 
Uraian pada atas memperjelas bahwa teori kepemimpinan perilaku mencoba menjelaskan keunikan gaya yang digunakan oleh pemimpin yg efektif, atau memahami sifat-sifat pekerjaan pemimpin. Sepuluh peran manajerial menurut Henry Minzberg merupakan galat satu model teori kepemimpinan konduite. Peneliti konduite menekankan pada penemuan cara mengklasifikasikan konduite yg bisa memberikan pemahanan mengenai kepemimpinan.

Paradigma Teori Kepemimpinan Kontigensi
Pada mulanya, teori kepemimpinan yg dibangun sang Fiedler ini menekankan dalam dua sasaran, yakni melakukan idenfikasi faktor-faktor krusial pada situasi eksklusif dan memperkirakan gaya atau perilaku kepemimpinan yg paling efektif pada situasi tertentu. Hasil penelitian Fiedler menampakan bahwa, pada situasi kerja selalu ada tiga elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni: hubungan pemimpin dengan bawahan, struktur tugas serta ketangguhan posisi pemimpin.

Teori kepemimpinan kontingensi menjelaskan gaya kepemimpinan yang sinkron dengan pemimpin, pengikut dan situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional, termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal serta ciri pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins, at.al., 1994: 483) yang dikembangkan berdasarkan teori kepemimpinan contoh kontingensi Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yg paling efektif merupakan gaya kepemimpinan yang diubahsuaikan dengan tingakat kedewasaan bawahan. Tetapi, Hersey dan Blanchard nir merinci dan memberikan definisi kedewasaan sebagai suatu tingkat kemantapan emosional.

Paradigma Teori Kepemimpinan Integratif
Pada paruh sampai akhir tahun 1970an, paradigma kepemimpinan mulai berubah menjadi kerangka berpikir integratif atau teori kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini memadukan teori pembawaan, perilaku serta kontingensi buat menjelaskan kesuksesan dan impak hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti berusaha mengungkapkan mengapa pengikut pemimpin eksklusif memiliki harapan bekerja keras dan rela berkorban buat mencapai tujuan kelompoknya. Di samping itu, menyebutkan bagaimana seseorang pemimpin secara efektif mempengaruhi perilaku pengikutnya, dan mengapa perilaku pemimpin yg sama dapat membawa impak yang tidak sama pada pengikutnya dalam situasi eksklusif.

Pendekatan Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah peneliti kepemimpinan kembali memakai teori sifat kepemimpinan, meskipun menggunakan perspektif yg tidak selaras (Robbins, at.al., 1994: 497). Lima teori kepemimpinan menurut pendekatan baru ini artinya teori atribusi, teori kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transaksional lawan transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley serta Maycunich, 2000) serta teori kepemimpinan super (Manz dan Sims, 2001) pula adalah gaya atau tipe kepemimpinan yang tergolong pada perspektif ini.

Tinjauan 3 teori kepemimpinan yang pertama atribusi, kharismatik serta transaksional lawan transformasional dapat diringkaskan menurut beberapa asal (Politis, 2001: 358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier dan Achua, 2001: 374-384 Bass serta Burns pada Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.

Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan menyebutkan disparitas hubungan sebab-akibat yg mensugesti orang. Jika terjadi suatu insiden, pemimpin mencoba menghubungkannya dengan suatu penyebab yang sifatnya internal dan eksternal. Dalam konteks kepemimpinan, teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan adalah astribusi yg dibuat orang tentang individu lain. Dengan memakai kerangka atribusi ini, peneliti menemukan bahwa orang mencirikan pemimpin menjadi menyandang karakteristik misalnya kecerdasan, kepribadian, keramah-tamahan, keterampilan lisan yang bertenaga, keagresifan, pemahaman dan kerajinan. Salah satu tema yg lebih menarik dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya konsisten atau nir bergeming dalam keputusan yang dibuat (Robbins, et.al., 1994: 167, 497-498).

Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan kharismatik merupakan suatu perluasan berdasarkan teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut menciptakan atribusi menurut kemampuan kepemimpinan yg heroik atau luar biasa apabila mengamati konduite-konduite tertentu. Beberapa penulis sudah mengidentifikasi ciri pribadi pemimpin kharismatik ini. Robert House yg populer menggunakan gagasannya tentang teori jalur-tujuan mengidentifikasi 3 ciri pemimpin kharismatik, yakni: agama diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan dalam keyakinan yg dianut (Robbins, et.al., 1994: 499-500). 

Setelah Warren Bennis mengusut 90 pemimpin yg paling efektif dan sukses pada Amerika perkumpulan disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yg sama yakni: memiliki visi atau pemahaman tujuan; bisa mengkomunikasikan visinya dalam istilah-kata yg kentara sebagai akibatnya para pengikutnya bisa dengan mudah memihak; bisa memberitahuakn konsistensi dan penekanan pada memburu visi kepemimpinannya; dan tahu kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu, analisis yang paling menyeluruh telah dirampungkan sang Congger dan Kanungo menurut Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yg dibentuk menyatakan bahwa pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yg ingin dicapai, memiliki komitmen langsung yg bertenaga pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan percaya diri, serta menjadi agen perubahan radikal, bukan manajer menurut status quo.

Menurut Bass (1985) bahwa kharisma adalah bagian penting dari kepemimpinan transformasional, namun kharisma itu sendiri tidak relatif buat proses transformasional. Pemimpin kharismatik lebih menurut sekedar percaya diri pada keyakinannya, melainkan jua melihat dirinya sendiri seperti mempunyai suatu tujuan serta takdir supranatural. Sementara itu, pengikutnya bukan saja mempercayai serta menghormati pemimpin yg kharismatik, melainkan pula memuja serta menyembah pemimpinnya menjadi seorang pahlawan yang melebihi insan atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik dipandang memiliki kebesaran, sekaligus sebagai katalisator prosedur psikodinamik pengikutnya.

Seorang pemimpin kharismatik lebih besar kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut membagi sama norma-kebiasaan, keyakinan dan fantasi yang dapat dijadikan sebagai basis bagi seruan emosional serta rasional sang pemimpin tadi. Namun, Bass jua menyatakan bahwa tanggapan seorang terhadap pemimpin kharismatik kemungkinannya akan sangat terpolarisasi, lantaran pemimpin kharismatik dicintai oleh beberapa orang namun dibenci sang yang lainnya. Tanggapan yang terpolarisasi ini membantu mengungkapkan mengapa demikian poly pemimpin politik yg kharismatik sebagai sasaran penghilangan nyawa.

Kata akhir yang perlu dipahami pada hal ini ialah kepemimpinan kharismatik mungkin nir selalu diharapkan buat mencapai taraf kinerja karyawan yang tinggi. Tetapi, pemimpin kharismatik mungkin paling tepat apabila tugas pengikut memiliki suatu komponen ideologis. Hal ini bisa mengungkapkan mengapa pemimpin kharismatik lebih dimungkinan muncul dalam konteks politik, kepercayaan , saat perang atau apabila suatu perusahaan bisnis memperkenalkan suatu produk yg benar-sahih baru (baca: produk kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam kehidupannya.

Kepemimpinan Transaksional lawan Transformasional
Hasil studi terakhir yg menarik mengenai 2 gaya kepemimpinan ini adalah perhatian yg diberikan dalam disparitas pemimpin transformasional berdasarkan pemimpin transaksional. Padahal, pemimpin transformasional jua kharismatik. Karena itu, acapkali terjadi tumpang-tindih topik ini menggunakan pembahasan kepemimpinan kharismatik.

Burns membedakan kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikutnya dengan memilih dalam kepentingan diri sendiri. Burns pula membedakan kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan yg mentransformasi imbas yg ditunjukkan menurut dalam kekuasaan birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan pada kekuatan legitimasi dan lebih menghormati peraturan serta trandisi, dari pada dampak yg berdasarkan atas pertukaran atau ilham. Hal ini berdasarkan dalam pemahaman bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, bukan sejumlah tindakan yg memiliki ciri-ciri sendiri. Burns menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antar hubungan yg berkembang, pada mana pemimpin secara terus-menerus membangkitkan tanggapan motivasi menurut pada pengikut serta memodifikasi perilaku pengikutnya dalam saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, pada sebuah proses serta arus balik yang nir pernah berhenti.

Bass (1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yang dibangun berdasarkan gagasan awal berdasarkan Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan , kekaguman, kesetiaan serta adanya rasa hormat terhadap pemimpinnya serta bawahan tadi termotivasi buat melakukan lebih menurut pada apa yang diperlukan darinya. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi pengikutnya menggunakan cara: (1) menciptakan pengikutnya lebih sadar tentang arti krusial hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (2) mendorong pengikutnya buat lebih mementingkan tim atau organisasi berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri; dan (tiga) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya dalam level yang lebih tinggi.

Formulasi teori Bass (1985) meliputi 3 unsur kepemimpinan transformasional, yakni: kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma didefisinikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikutnya menggunakan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah suatu proses yang di dalamnya pemimpin meningkatkan pencerahan pengikut terhadap berbagai kasus dan mempengaruhi para pengikutnya buat memandang banyak sekali masalah dari perspektif yang tidak selaras. Perhatian yang diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi dukungan, membesarkan hati serta memberi pengalaman mengenai perkembangan pada para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan sebagai sebuah pertukaran imbalan buat mendapatkan kepatuhan. 

Berdasarkan pengertian pada atas, kentara bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yg lebih luas dari dalam Burns. Salah satu komponen konduite transaksional yang diklaim konduite contingent rewards meliputi kejelasan mengenai pekerjaan yang diperlukan memperoleh imbalan dan menggunakan insentif serta contingent rewards buat mensugesti motivasi. Komponen kedua yg dianggap active management by exception, mencakup pemantauan para bawahan serta tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tadi sudah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yg dianggap passive management by exception ditambahkan oleh Bass dan rekannya. Termasuk ke dalam komponen ini adalah penggunaan contingent punishment dan tindakan pemugaran sebagai tanggapan atas penyimpangan berdasarkan baku kinerja. Bass memahami kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai proses yang tidak sinkron namun tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin yg sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut dalam saat dan situasi yg tidak selaras.

Kepemimpinan Transaksional versus Kepemimpinan Kharismatik

(Sumber: disesuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

Kepemimpinan Transaksional: terfokus pada hubungan interpersonal antara pemimpin serta para pengikut
·Pemimpin Transaksional
-Menggunakan ganjaran kontingen buat memotivasi pengikutnya
-Tindakan koreksi hanya dilakukan manakala pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja yg diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik: menekankan perilaku pemimpin simbolik yg mentransformasi para pengikut buat memprioritaskan tujuan beserta lebih dari kepentingan pribadi.
·Pemimpin Kharismatik
-Menggunakan pesan-pesan visioner serta inspirasional
-Berdasar pada komunikasi non-verbal
-Menyerukan nilai-nilai ideologis
-Berupaya menstimulasi pengikutnya secara intelektual
-Menunjukkan agama diri serta para pengikutnya
-Menetapkan harapan kinerja yg tinggi
Kebanyakan teori kepemimpinan yg disajikan sebelumnya – contohnya studi Ohio, contoh Fiedler, teori jalur tujuan serta model partisipasi pemimpin – memperkuat konsep kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya ke arah tujuan yg ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun di atas “fondasi” kepemimpinan transaksional, sebagai akibatnya membuat tingkat upaya serta kinerja bawahan yang melampaui apa yang terjadi menggunakan pendekatan transaksional semata. Lebih berdasarkan itu, kepemimpinan transformasional lebih berdasarkan dalam pemimpin kharismatik. Pemimpin yg semata-mata kharismatik dapat menghrapkan pengikutnya mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik dan tidak berkecimpung lebih jauh. Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan dalam diri pengikutnya kemampuan buat mempertanyakan tidak hanya pandangan yg mapan, melainkan pula pandangan yg ditetapkan sang pemimpin. 

Perbandingan Tipe Kepemimpinan
Perbandingan tipe kepemimpinan yang dibahas ini dia diwakili oleh tipe The Strong Man, The Transactor, Visionary Hero dan Superleader (Manz and Sims, 2001: 39). Pertama, the Strongman menggunakan wewenang dalam posisinya buat mensugesti orang lain supaya tunduk kepadanya lantaran rasa takut. Perilaku the strongman yang paling generik merupakan menginstruksikan, memerintah serta mengintimidasi.

Kedua, the Transactor, dikategorikan ke pada tipe interaksi pertukaran pemimpin menggunakan bawahan (orang lain). Pemimpin menanamkan imbas melalui dispensasi imbalan pada pertukaran sehingga pengikut mentaati apa yang diinginkan oleh pemimpin. Perilaku yang paling banyak dipakai oleh pemimpin ini artinya ganjaran personal serta material menjadi balikan menurut upaya, kinerja dan loyalitas orang terhadap kepemimpinannya (bandingkan menggunakan Model Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota).

Ketiga, the Visionary Hero dicirikan menggunakan kemampuan yg dimiliki sang pemimpin buat menciptakan motivasi yg tinggi serta menyerap visi masa depan. Pemimpin ini mempunyai kapasitas buat memberi kekuatan kepada orang lain buat merealisasikan visi yg ditetapkan. Jenis kepemimpinan ini terutama menyangkut proses pengaruh atas-bawah. Pemimpin adalah asal kebijakan serta arahan, dan cenderung menempati posisi sentral, sementara peran pengikut memudar dalam bayang-bayang pemimpin. Kewenangan pemimpin didasarkan dalam kapabilitas yang dimiliki dalam membangkitkan komitmen pengikutnya terhadap visi pemimpin. 

Keempat, the Superleadership, yaitu pemimpin yang mengarahkan orang lain supaya dapat mengarahkan dirinya sendiri. Pemimpin super dikenal juga menjadi pemimpin pemberdaya. Tipe pemimpin ini terutama terfokus dalam bawahan. Pemimpin menjadi “super” – mempunyai kekuatan dan kebijaksanaan sejumlah orang – karena membantu melejitkan kemampuan para pengikut yg mengelilinginya (Manz serta Sims, 2001: 45).

Model Pertukaran Pemimpin-Anggota

(Sumber: disesuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

·Model ini berdasarkan dalam gagasan bahwa satu berdasarkan dua tipe khusus membuatkan hubungan pertukaran timbal pulang pemimpin-anggota, dan pertukaran itu berhubungan dengan luaran pekerjan krusial.
-pertukaran pada gerombolan : kemitraan yg dicirikan menggunakan rasa saling percaya, respek dan menyukai
-pertukaran di luar gerombolan : kemitraan yang ditandai dengan kurangnya rasa saling percaya, respek serta menyukai.
·Hasil penelitian mendukung model ini.

Tugas pemimpin super adalah membantu pengikut menyebarkan keahlian kepemimpinannya secara berdikari agar menaruh sumbangan yg lebih besar pada organisasi. Pemimpin super mendorong inisiatif pengikutnya, mendorong rasa tanggung jawab individu, rasa percaya diri, penetapan tujuan diri sendiri, pemikiran peluang positif serta pemecahan masalah sendiri. Dengan kata lain, pemimpin super memberdayakan bawahannya sehingga gaya kepemimpinan ini sanggup dianggap sebagai tipe pemimpin pemberdaya. Luaran konduite yg dihasilkan oleh tipe kepemimpinan super merupakan kinerja jangka panjang tinggi, kepercayaan diri para pengikut tinggi, pengembangan pengikut tinggi, fleksibiltas sangat tinggi, penemuan tinggi, bisa bekerja tanpa pemimpin dan mengandalkan kerjasama tim. Berdasarkan uraian di atas, dibentuk contour perkembangan konsep dan gaya kepemimpinan dari masa ke masa misalnya terlihat dalam visualisasi berikut. 

Peta Perkembangan Konsep Kepemimpinan
(Diadaptasi dan dikembangkan berdasarkan Rachmany, 2003: 38)