KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI

Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam masyarakat Jawa Tengah serta warga Indonesia biasanya, diperlukan kehadiran seseorang pemimpin yang selaras baik menggunakan kesukaan rakyat pendukungnya maupun syarat rakyat yang majemuk. Berkaitan dengan hal itu, dalam artikel aku akan membahas tentang tipologi kepemimpinan dan sifat pemimpin yg sesuai menggunakan cita rasa warga Jawa Tengah. Harapan terhadap keluarnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yg ideal dalam dasarnya adalah cerminan menurut kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini jua akan dibicarakan mengenai sifat pemimpin berdasarkan contoh kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat kepada pencipta, leluhur, serta orang tua. Sementara itu dalam contoh kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke pada kelompok-gerombolan , di antaranya yg terbesar adalah Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yg jauh berbeda walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk gerombolan -grup kecil yang lain, contohnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa juga di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, galat satunya merupakan Abdurrahman Wahid, berusaha meredam disparitas pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi mengenai bagaimana cara mengatasi rakyat Indonesia yg plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat juga bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di taraf desa, kota juga sentra telah dinodai dan dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik pada kampanye yg tidak ditepati setelah seorang terpilih menjadi pemimpin, dan praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan rakyat kepada pemimpinnya yg notabene selalu diidolakan serta didambakan terutama mengenai tipe serta sifat-sifat ideal yg inheren dalam seseorang pemimpin?

1. Hipotesis tentang Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain mengenai ihwal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum menyampaikan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita buat tahu serta melakukan pembahasan menurut alur yg sistematis. 

Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) maupun kepercayaan . Saya hanya akan membicarakan definisi yg relevan menggunakan pokok pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seorang menjadi pemimpin (leader) buat mensugesti orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yg lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan menjadi suatu proses dalam mensugesti aktivitas-kegiatan seseorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yg sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan menjadi suatu kedudukan sosial serta menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks menurut hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki sang seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yang dilakukan sang seseorang atau suatu badan yang mendorong gerak warga rakyat.

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang untuk mensugesti orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seorang itu dapat disebut memiliki impak terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mensugesti orang atau pihak lain, sedangkan wewenang adalah kekuasaan seorang atau sekelompok orang yg menerima dukungan atau pengakuan menurut rakyat. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan 3 hal krusial yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. 

Sementara itu ditinjau berdasarkan sudut pandang agama (Islam), kata kepemimpinan dari berdasarkan istilah ‘pemimpin’, adalah orang yang berada pada depan serta memiliki pengikut, terlepas menurut problem apakah orang yang menjadi pemimpin itu menyesatkan atau tidak. Dalam konteks Islam, setidaknya ada 2 konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah. Masing-masing grup Islam mempunyai pendefinisian tidak sinkron tentang kedua konsep itu, meskipun terdapat juga yg menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah serta imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah merupakan penguasa tertinggi yg menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah pula diklaim sebagai imam (pemimpin) yg harus ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini dapat dilihat pada sejarah kepemimpinan Islam selesainya Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama saat Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib menjadi pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, serta Ustman adalah khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seorang yang mengurus persoalan agama serta global sebagai wakil dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi semua ranah kehidupan insan baik itu kepercayaan maupun politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan grup Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu dalam kepemimpinan model Barat. 

Meskipun kelompok Sunni, Syiah, dan Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak selaras tentang kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu warga haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat dengan demikian tidak mungkin dapat dipisahkan berdasarkan kasus kepemimpinan.

2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik pada tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung dalam kepemimpinan para ketua wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-kepala wilayah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala wilayah yg memerintah dalam masa belakangan masih keturunan berdasarkan ketua daerah yang berkuasa dalam masa sebelumnya. Hal itu bisa dilihat menurut dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yang disusun sang DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan sang suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yg memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini ditimbulkan norma rakyat desa menentukan seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas pada desa–desa yg makmur, sebagai akibatnya pemilihan lurah menjadi suatu sasana pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama berdasarkan konflik itu berpangkal dalam tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan dalam calon yg sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih nir hanya berdasarkan dalam keturunan, tetapi jua pada hadiah yang umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan pada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan bila para calon kepala desa dalam masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka menerima dukungan dari warga rakyat yang sudah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis pada rakyat warga agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini nir dibenarkan baik sang negara maupun kepercayaan . Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar serta seolah-olah tidak tersentuh sang aturan.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan pada warga tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi sang kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan sang Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta kepercayaan jua memiliki imbas yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.

b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi berdasarkan anggotanya atau rakyat warga yang dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa mempunyai wewenang buat memimpin secara resmi selesainya mendapat legitimasi dari dalam prosedur yang telah ditetapkan pada norma-norma atau hukum yg berlaku dalam warga yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yang satu serta yang lain maupun berdasarkan saat ke waktu.

Dalam rakyat tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-yang kuasa. Pada zaman kerajaan, mekanisme buat melegitimasi kepemimpinan seorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian rakyat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi pula adalah unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karena itu, buat menerima kekuasaan pada kepemimpinan, seorang harus menempuh banyak sekali jalan (laku ) yg panjang. Kekuasaan bisa pula diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan bisa pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan dari keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada aneka macam level tidak lagi berdasarkan terutama dalam keturunan, melainkan pada taraf pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yg berhasil terpilih wajib mendapatkan pengakuan dari warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seseorang pemimpin mempunyai wibawa, kewenangan, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi oleh masyarakat.

3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa biasanya pula mengutamakan keselarasan dalam hayati bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hayati dan pola pikir yg demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi warga Jawa pada meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan kasus kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hayati yg sederhana, amanah, adil, bertenggang rasa (tepa selira), ekonomis, disiplin, dan taat pada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang serta pitutur sudah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua dalam kakawin Ramayana serta Mahabarata, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin harus memberitahuakn perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh perilaku delapan dewa, pada antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, serta Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yg dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

b. Model Islam serta Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri menjadi sosok yang lemah serta membutuhkan eksistensi orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menganggap orang lain misalnya yg dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat menjadi teman, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib mempunyai kualitas spiritual, terbebas menurut segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan empiris, nir terjebak dalam dan menjauhi kenikmatan dunia, serta wajib memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami menjadi cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat ditinjau dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada rakyatnya.

Melihat kemajemukan rakyat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara membuatkan pluralisme dalam konteks menciptakan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, ialah amanah jabatan serta kekuasaan harus digunakan sesuai menggunakan tuntutan Allah dan Rasul–Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, meskipun Islam adalah kepercayaan mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam menyebabkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ide-pandangan baru demokrasi, pluralisme, dan proteksi hak-hak asasi manusia cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), masih ada 5 jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan atau grup. Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat serta tindakan badani pada luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga serta keturunan, keselamatan mal serta milik langsung di luar prosedur hukum, serta keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima agunan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai jika terjadi ekuilibrium antara kesamaan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir seluruh warga termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin wajib dibuktikan pada wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa dan bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu dalam modernisasi religiusitas, adalah harus berlandaskan dalam keagamaan serta pembebasan warga untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi insan mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada universalisme Islam masih ada beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan perilaku, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yg demikian bukan berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan Islam adalah yg ideal. Universalisme Islam serta pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks menciptakan kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat nir wajib menjadi fondamen dan jiwa dari kepercayaan dan negara.

Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia bisa ambiguitas, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan kapital sosial yang dapat membuat energi positif dan memperkaya kultur bangsa, tetapi di sisi sebaliknya juga bisa menjadi tenaga negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg krusial merupakan bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi dampak keanekaragaman itu tidak bisa dikelola menggunakan kebijakan politik yg demokratis serta egaliter termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani menggunakan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun interaksi intersubjektif yg sanggup melahirkan keikhlasan yg berdasarkan dalam nilai-nilai kebenaran serta kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada konsensus antarpemimpin serta ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu ada 2 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kejujuran perilaku dan ucapan yg disertai dengan perilaku mengalah buat kepentingan beserta (Wahid, 2006).

c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seorang tidak sinkron satu sama lain. Kepribadian ikut mensugesti sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin wajib senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak butir. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan berdasarkan sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk dalam pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seseorang pemimpin, (2) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan dan terapkan wangsit-wangsit baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan warga , (lima) tingkatkan kekuasaan serta hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan program serta planning tentang kepemimpinan, (7) belajarlah berdasarkan kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah pada output serta selesaikan sesuatu yang telah dimulai, (9) gunakan kekuatan menjadi pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).

4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat pada Pembangunan
Dalam menyampaikan hubungan antara pemimpin dan masyarakat pada pembangunan, perlu dilihat aneka macam variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki dasar antara lain mengabdi pada kepentingan umum, memperhatikan masyarakat baik pada pada juga pada luar pekerjaan, serta membangun komunikasi yg lancar dengan bawahan (warga ). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta interaksi yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu pada taraf desa, kota ataupun sentra. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa ditinjau secara geometrik menjadi berikut.

Gambar Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yg menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin pula bisa ditentukan berdasarkan bentuk kolaborasi pada pembangunan yang nir hanya untuk anggotanya, tetapi menurut masyarakat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini dapat diartikan menjadi usaha atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terencana yang dilakukan secara sadar sang suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin wajib memiliki kekuasaan yg bersumber dalam hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan spesifik (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung dalam kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seseorang pemimpin umumnya jua mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka dan sebagainya.

Masyarakat tidak dapat beranjak tanpa adanya pemimipin menjadi perantara dan motivator dan komunikator dalam pembangunan pada berbagai bidang. Pemimpin harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran seorang pemimpin tidak terdapat merupakan tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin serta rakyat adalah hal yg mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yg demikian itu bisa digambarkan menggunakan memakai sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan rakyat dapat pula digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak wajib patuh pada bapaknya sebagai pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi dan menggerakkan segala kegiatan pada masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan dianggap sang anggotanya menjadi cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) pada pembangunan.

KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI

Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam rakyat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan kehadiran seorang pemimpin yg selaras baik dengan kesukaan rakyat pendukungnya juga kondisi warga yg beragam. Berkaitan menggunakan hal itu, dalam artikel aku akan membahas mengenai tipologi kepemimpinan serta sifat pemimpin yang sinkron dengan cita rasa rakyat Jawa Tengah. Harapan terhadap munculnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yang ideal dalam dasarnya adalah cerminan berdasarkan kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini pula akan dibicarakan tentang sifat pemimpin dari contoh kepemimpinan tradisonal Jawa serta Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat pada pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan mengenai pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke dalam kelompok-gerombolan , pada antaranya yang terbesar merupakan Sunni dan Syiah. Kedua grup ini memiliki pemahaman mengenai kepemimpinan yg jauh tidak selaras walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk grup-gerombolan mini yg lain, contohnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa pula pada Indonesia. Sebagian tokoh Islam, keliru satunya adalah Abdurrahman Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi warga Indonesia yang plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik pada konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik pada taraf desa, kota juga pusat sudah dinodai serta dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik dalam kampanye yang nir ditepati sesudah seseorang terpilih menjadi pemimpin, serta praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh sang hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan warga pada pemimpinnya yang notabene selalu diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat ideal yg inheren pada seorang pemimpin?

1. Hipotesis mengenai Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain tentang tentang pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini bisa membantu kita buat tahu dan melakukan pembahasan dari alur yang sistematis. 

Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu berdasarkan pakar politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) juga agama. Saya hanya akan membicarakan definisi yang relevan menggunakan utama pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seseorang menjadi pemimpin (leader) buat menghipnotis orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam menghipnotis kegiatan-aktivitas seorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, timbul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yg dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sementara menjadi suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yg dilakukan sang seorang atau suatu badan yg mendorong mobilitas masyarakat warga .

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang buat mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang itu dapat dianggap mempunyai efek terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seorang atau sekelompok orang yang menerima dukungan atau pengakuan menurut warga . Dalam interaksi dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengungkapkan bahwa kepemimpinan wajib dikaitkan dengan 3 hal penting yaitu kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan. 

Sementara itu ditinjau menurut sudut pandang agama (Islam), istilah kepemimpinan berasal berdasarkan kata ‘pemimpin’, adalah orang yg berada pada depan serta mempunyai pengikut, terlepas menurut persoalan apakah orang yang sebagai pemimpin itu menyesatkan atau nir. Dalam konteks Islam, setidaknya terdapat dua konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah serta khilafah. Masing-masing grup Islam memiliki pendefinisian tidak sama tentang kedua konsep itu, meskipun ada jua yang menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut pula sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah adalah penguasa tertinggi yang menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah jua dianggap sebagai imam (pemimpin) yg wajib ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini bisa dipandang dalam sejarah kepemimpinan Islam sehabis Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama waktu Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib sebagai pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman merupakan khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya sebagai panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seseorang yg mengurus duduk perkara kepercayaan serta global sebagai wakil menurut Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara tersirat kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya meliputi ranah jabatan politik, nir melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah mencakup seluruh ranah kehidupan manusia baik itu kepercayaan juga politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri mengenai kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu pada kepemimpinan contoh Barat. 

Meskipun gerombolan Sunni, Syiah, serta Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak sinkron mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat menggunakan demikian tidak mungkin bisa dipisahkan dari kasus kepemimpinan.

2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik di tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-ketua daerah, terutama pada Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-ketua daerah yg memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari ketua wilayah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu bisa dipandang menurut dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yg disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan oleh suatu panitia pada bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya bisa disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan dari banyaknya hadiah pada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah sebagai suatu gelanggang konfrontasi yang ramai sekali. Alasan utama menurut konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada anugerah yg umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon ketua desa dalam masa kampanye melakukan banyak sekali cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari masyarakat masyarakat yg telah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji cantik kepada warga rakyat supaya mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik sang negara juga agama. Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar dan seolah-olah nir tersentuh oleh aturan.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam warga tradisional ataupun pedesaan ditentukan oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta agama pula memiliki efek yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.

b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yg terpilih harus menerima legitimasi dari anggotanya atau masyarakat masyarakat yg dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa memiliki wewenang buat memimpin secara resmi sesudah mendapat legitimasi dari dalam mekanisme yang sudah ditetapkan dalam norma-istiadat atau hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yg satu serta yang lain maupun dari ketika ke ketika.

Dalam warga tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-tuhan. Pada zaman kerajaan, prosedur buat melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan sang sebagian warga . Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, serta mimpi pula merupakan unsur-unsur yg berperan krusial baik pada pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karenanya, buat menerima kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku ) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman terkini ini, kepemimpinan bisa jua diperoleh melalui pendidikan serta pemilihan menurut keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan dalam berbagai level nir lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yg berhasil terpilih harus menerima pengakuan menurut warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, karena mereka pada masa kini atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi sang masyarakat.

3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan warga Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan serta perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, pengajar, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya pula mengutamakan keselarasan pada hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yg demikian telah barang tentu sangat mensugesti rakyat Jawa dalam meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan serta kebudayaan. Jika hal ini dihubungkan menggunakan perkara kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin wajib bisa memberitahuakn sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), irit, disiplin, serta taat pada aturan (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan mengenai sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara menjadi tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua pada kakawin Ramayana dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib menunjukkan perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan yang kuasa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–menjadi pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

b. Model Islam dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi etos, etika kedaifan identik menggunakan menghargai orang lain (liyan) atau menduga diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan eksistensi orang lain pada menjalani kehidupan beserta yang semakin berat. Kehidupan pada etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menduga orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat sebagai sahabat, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib memiliki kualitas spiritual, terbebas berdasarkan segala dosa, mempunyai kemampuan sesuai menggunakan empiris, tidak terjebak dalam serta menjauhi kenikmatan global, serta harus mempunyai sifat adil. Adil dalam hal ini bisa dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu dalam tempatnya yg layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat dicermati menurut bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.

Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya merupakan bagaimana cara berbagi pluralisme pada konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, adalah jujur jabatan dan kekuasaan wajib dipakai sesuai dengan tuntutan Allah serta Rasul–Nya, berlaku adil, serta melindungi kepentingan warga .

Dengan demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam mengakibatkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ilham-inspirasi demokrasi, pluralisme, serta perlindungan hak-hak asasi insan cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat lima jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik dalam perorangan atau gerombolan . Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik rakyat serta tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda serta milik eksklusif pada luar prosedur aturan, serta keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam wajib menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, serta heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin serta kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya wajib berlandaskan dalam keagamaan dan pembebasan masyarakat buat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi serta hak asasi manusia absolut diharapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian menggunakan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan dan kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan berarti bahwa negara Islam juga kepemimpinan Islam merupakan yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks membentuk kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat tidak wajib menjadi fondamen dan jiwa menurut agama serta negara.

Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan modal sosial yang dapat membuat energi positif serta memperkaya kultur bangsa, namun di sisi kebalikannya pula bisa sebagai energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg penting adalah bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis serta egaliter termasuk pada dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani dengan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun hubungan intersubjektif yg mampu melahirkan keikhlasan yg berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan semua bangsa. Harus ada mufakat antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu terdapat 2 prasyarat yg wajib dipenuhi, yaitu kejujuran sikap serta ucapan yang disertai menggunakan perilaku mengalah buat kepentingan bersama (Wahid, 2006).

c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut menghipnotis sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin harus senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan membuatkan potensi anak buah. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan menurut sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin, (dua) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan serta terapkan inspirasi-ide baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan masyarakat, (lima) tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan acara serta rencana mengenai kepemimpinan, (7) belajarlah dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada output serta selesaikan sesuatu yang sudah dimulai, (9) gunakan kekuatan sebagai pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, serta petuah atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).

4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat dalam Pembangunan
Dalam mengungkapkan interaksi antara pemimpin serta warga dalam pembangunan, perlu dilihat berbagai variabel yg bisa dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya mempunyai dasar diantaranya mengabdi dalam kepentingan generik, memperhatikan warga baik pada dalam juga pada luar pekerjaan, dan membentuk komunikasi yg lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta hubungan yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang pada sebuah lembaga, baik itu di taraf desa, kota ataupun pusat. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa dilihat secara geometrik sebagai berikut.

Gambar Variabel-variabel yg menghipnotis keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin juga bisa dipengaruhi menurut bentuk kerja sama pada pembangunan yang nir hanya buat anggotanya, tetapi berdasarkan rakyat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini bisa diartikan sebagai bisnis atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terjadwal yg dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka training bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus memiliki kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan khusus (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung pada kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seorang pemimpin umumnya juga mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka serta sebagainya.

Masyarakat nir bisa berkiprah tanpa adanya pemimipin menjadi mediator dan motivator dan komunikator pada pembangunan pada aneka macam bidang. Pemimpin harus bisa menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, kiprah seseorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yg absolut lantaran keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yang demikian itu bisa digambarkan menggunakan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan warga bisa jua digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak harus patuh pada bapaknya menjadi pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya seringkali kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol serta mengawasi serta menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yg baik akan dianggap oleh anggotanya menjadi cermin, guru, serta tokoh kunci (key person) dalam pembangunan.

MENCERMATI DINAMIKA KONSEP KEPEMIMPINAN

Mencermati Dinamika Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan menjadi proses menghipnotis dan mengarahkan berbagai tugas yg berhubungan dengan kegiatan anggota gerombolan . Kepemimpinan pula diartikan menjadi kemampuan menghipnotis berbagai strategi dan tujuan, kemampuan mensugesti komitmen dan ketaatan terhadap tugas buat mencapai tujuan beserta; dan kemampuan mensugesti kelompok supaya mengidentifikasi, memelihara serta mengembangkan budaya organisasi (Shegdill pada Stoner dan Freeman 1989: 459-460). Unsur-unsur kepemimpinan berdasarkan Shegdill merupakan: (1) adanya keterlibatan anggota organisasi sebagai pengikut; (dua) distribusi kekuasaan pada antara pemimpin dengan anggota organisasi; (3) legitimasi diberikan kepada pengikut, dan (4) pemimpin menghipnotis pengikut melalui berbagai cara.

Beberapa pendapat pakar mengenai kepemimpinan juga tersaji sang Philip (2003: lima-6) sebagai berikut. Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses interaksi timbal kembali pemimpin serta pengikut pada memobilisasi banyak sekali sumber daya ekonomi, politik dan asal daya lainnya buat mencapai tujuan yg ditetapkan. Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau sekumpulan kegiatan yg teramati oleh pihak lain, berlangsung pada gerombolan , organisasi atau forum, serta melibatkan pemimpin serta pengikut yg bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan menjadi kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa yg nir disukai serta melaksanakan apa yg disukai.

Sesuai definisi kepeminpinan pakar pada atas dapat dipahami bahwa kepemimpinan mempunyai aneka macam makna, tergantung pada sudut pandang ahli, serta tergantung juga dalam konteksnya. Kepemimpinan adalah suatu proses menggerakan banyak sekali asal daya dan mempengaruhi orang lain agar berafiliasi buat pencapaian tujuan. Kapabilitas, imbas, proses, pemimpin, pengikut, penggerakan, kerjasama serta tujuan adalah unsur-unsur krusial kepemimpinan. Sebagai proses, kepemimpinan bisa dikategorikan ke dalam beberapa bagian yaitu: (1) melibatkan efek hadiah model serta persuasi, (dua) interaksi pada antara banyak sekali aktor baik sebagai pemimpin maupun sebagai pengikut, (tiga) hubungan ditentukan situasi dimana interaksi itu berlangsung. (4) proses meraih banyak sekali luaran misalnya pencapaian tujuan, kohesi gerombolan , dorongan atau perubahan budaya organisasi (Philip, 2003: 6).

Konsep kepemimpinan kontemporer menduga bahwa kepemimpinan adalah proses saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut buat mencapai tujuan beserta (Lussier serta Achua, 2001: 6). Elemen kunci kepemimpinan mencakup: pemimpin-pengikut, dampak, orang, perubahan serta tujuan yg akan dicapai. Pengikut artinya orang lain yg ditentukan sang pemimpin. Pengaruh adalah upaya pemimpin mensugesti orang lain menggunakan cara mengkomunikasikan gagasan, memperoleh tanggapan atas gagasan yang dikemukakan serta memotivasi pengikut agar mendukung dan mengimplementasikan gagasannya menggunakan melakukan perubahan. Pengaruh merupakan esensi kepemimpinan. Pemimpin yg efektif mensugesti pengikutnya pada berpikir bukan hanya buat kepentingannya sendiri, melainkan pula buat kepentingan bersama. Selanjutnya, meskipun kata orang nir dikemukakan secara khusus pada definisi kepemimpinan ini, namun setelah membaca elemen definisi kepemimpinan yang lain, maka bisa dipahami bahwa kepemimpinan adalah mengarahkan orang (lain). Definisi kepemimpinan ini mengandung makna bahwa pengikut yang baik juga menerangkan peran kepemimpinan bila dibutuhkan, artinya pengikut mampu saja menghipnotis pemimpinnya. Karena itu, definisi kepemimpinan kontemporer ini memberitahuakn bahwa proses menghipnotis terjadi antara pemimpin serta pengikut secara timbal pulang dan dua arah.

Perkembangan Gaya Kepemimpinan
Langkah yg perlu ditempuh dalam mengklasifikasikan gaya kepemimpinan adalah tahu pengertian gaya kepemimpinan serta menentukan tipologi kepemimpinan yang bisa dijadikan sebagai acuan yang bisa mencirikan sekaligus membedakan setiap gaya kepemimpinan. Istilah gaya sama dengan cara, teknik atau metode yg dipakai oleh pemimpin buat menghipnotis pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan kebiasaan perilaku yg digunakan oleh seorang pada saat mencoba menghipnotis perilaku orang lain (Thoha, 2001: 49). Menurut Kaplan dan Norton (2001: 350) bahwa, gaya kepemimpinan adalah ramuan yang paling kritis bagi keberhasilan pengukuran kinerja organisasi secara komprehensif. Gaya kepemimpinan yg dimaksud merupakan gaya kepemimpinan eksekutif senior yg berpengaruh terhadap semua anggota organisasi.

Gaya kepemimpinan dapat dicirikan dan dibedakan dengan fungsi kepemimpinan seperti uraian berikut. Gaya kepemimpinan dalam dasarnya mengandung arti berupa cara pemimpin herbi pengikut atau bawahannya. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan memiliki dua sifat, yakni berorentasi pada tugas serta berorentasi pada bawahan (Robbins, et.al., 1994: 473). Fungsi kepemimpinan pada dasarnya menyangkut dua hal pokok, yakni: (1) fungsi yg berkaitan menggunakan tugas yg disebut fungsi pemecahan masalah, serta (dua) fungsi pemeliharaan grup yg disebut fungsi sosial.

Menurut Robbins, et.al. (1994: 477) bahwa ada dua gaya kepemimpinan yang ekstrim yakni gaya kepemimpinan otokratis dan gaya kepemimpinan demokratis. Gaya otokratis dipahami sebagai gaya kepemimpinan yang berdasar pada kekuatan posisi serta penggunaan otoritas pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal serta keikutsertaan pengikut pada proses pemecahan kasus dan pengambilan keputusan. Dua kutub pemikiran mengenai gaya kepemimpinan ini sejalan dengan pendapat Robert Tannenbaum serta Warren H. Schmidt (1958) pada Robbins, et.al. (1994: 4780 serta Gibson (1997: 14) bahwa gaya kepemimpinan otokratis serta demokratis merupakan gaya kepemimpinan yg dapat ditempatkan dalam suatu kontinuum dari konduite pemimpin yg sangat otokratis pada satu ujung dan perilaku pemimpin yang sangat demokratis dalam ujung yang lain. Apalagi karena menggunakan istilah kunci yang sama yakni “kontinuum”, menggunakan merinci tujuh contoh keputusan pemimpin. Lantaran itu, gaya kepemimpinan yang lainnya dapat diposisikan dalam kontinuum pada antara ke 2 gaya kepemimpinan tersebut.

Beberapa gaya kepemimpinan yang terkenal di masa lalu bisa dikategorikan ke dalam kontinuum pembagian terstruktur mengenai gaya kepemimpinan ini. Misalnya, contoh Manajerial Grid berdasarkan Robert R. Blake serta Jane S. Mouton dalam Robbins, et.al. (1994: 474) yang merinci gaya kepemimpinan ke dalam empat gaya ekstrim, ditambah satu gaya yang berada di tengah-tengah buat menyeimbangkan keempat gaya yang berada pada empat sisi yang tidak selaras, merupakan galat satu contoh yang sempurna. Begitu juga gaya tiga dimensi menurut William J. Reddin yg pada dasarnya hanya adalah pengembangan gaya kepemimpinan yg diintrodusir berdasarkan hasil penelitian Universitas Ohio serta gaya yg dikembangkan sang Blake dan Mouton. Gaya kepemimpinan yg pula penting sebagai bagian dari teori perilaku adalah sistem manajemen menurut Rensist Likert (Robbins, et.al., 1994: 309) berupa desain empat sistem kepemimpinan.

Hal krusial yang bisa dipahami dari pelukisan posisi gaya kepemimpinan di atas ialah pemetaan gaya kepemimpinan pada aneka macam contoh – kontinuum, grid, 3 dimensi serta sistem manajemen – serta citra tentang konsep kepemimpinan terdahulu yang nir mempermasalahkan perbedaan ciri setiap gaya kepemimpinan, padahal cirinya cenderung tidak selaras ditinjau dari peta teori yg dibentuk. Dengan demikian, contoh kepemimpinan yang dibuat ini adalah wadah buat memetakan gaya kepemimpinan yg ada dan akan terdapat.

Level Analisis Teori Kepemimpinan
Untuk mengklasifikasi teori dan penelitian kepemimpinan bisa dilakukan dengan cara memahami level analisisnya (Lussier dan Achua, 2001: 14). Level analisis teori kepemimpinan minimal terdiri menurut empat, yakni individu, grup, organisasi dan warga . Lantaran itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan pada konsep proses dalam salah satu dari empat level tersebut.

Pertama, level individu. Level analisis ini terfokus dalam individu pemimpin serta hubungannya menggunakan individu lain (pengikutnya). Asumsi yg dianut artinya efektivitas kepemimpinan tidak bisa dipahami lebih jauh tanpa mengungkapkan bagaimana pemimpin dan pengikutnya saling menghipnotis satu sama lain sepanjang waktu.

Kedua, level grup. Level analisis ini terfokus pada interaksi antara pemimpin dengan grup pengikut kolektif yg disebut proses kelompok. Teori proses grup memfokuskan pada kontribusi seorang pemimpin terhadap efektivitas kelompok. Penelitian mendalam tentang beberapa grup kecil telah mengidentifikasi faktor determinan krusial bagi efektivitas gerombolan .

Ketiga, level organisasi. Level analisis ini terfokus pada organisasi sebagai akibatnya lazim dianggap proses organisasi. Kinerja organisasi pada jangka panjang tergantung pada penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan sumber daya yg diperlukan buat tetap hidup, dan dalam proses transformasi efektif yang digunakan oleh organisasi untuk menghasilkan produk dan jasa. Sebagian output penelitian terakhir dalam level organisasi memberitahuakn adanya pengaruh signifikan dari manajer level zenit terhadap kinerja organisasi (Lussier serta Achua, 2001: 14; Manz dan Sims, 2001: 2; Overton, 2002).

Keempat, level warga . Level analisis ini poly terfokus pada perilaku pemimpin informal dalam rakyat dalam umumnya. Corak kepemimpinan pada masyarakat sangat ditentukan oleh tatanan nilai serta keyakinan dan norma-norma (adat, kesusilaan, aturan, agama) yg berkembang dalam warga . 

Paradigma Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan adalah penerangan mengenai beberapa aspek kepemimpinan serta teori yang mempunyai nilai praktis karena digunakan buat tahu, memprediksi serta mengendalikan sukses kepemimpinan secara lebih baik. Minimal terdapat empat penjabaran teori kepemimpinan atau pendekatan penelitian buat menyebutkan kepemimpinan. Klasifikasi teori kepemimpinan – yg dalam tulisan ini dianggap gaya kepemimpinan mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan integratif.

Berdasarkan uraian pada atas nampak bahwa paradigma kepemimpinan merupakan bagian berdasarkan pola pikir yg mewakili cara berpikir, mempersepsikan, mempelajari, meneliti serta tahu kepemimpinan secara mendasar. Keempat pembagian terstruktur mengenai teori kepemimpinan utama tersebut pula mewakili perubahan kerangka berpikir kepemimpinan (Lussier dan Achua, 2001: 14-19). 

Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan dalam mulanya berdasarkan dalam perkiraan bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat. Peneliti lalu mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang membedakan dengan pengikutnya, dan pemimpin efektif dengan pemimpin tidak efektif. Teori pembawaan kepemimpinan mencoba menjelaskan karakteristik khusus kepemimpinan yg efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik serta psikologis dan kualitas, seperti level kemampuan yg tinggi, keagresifan, agama pada diri sendiri, daya persuasif yg dimiliki dan kekuasaannya dalam mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yg sukses. Dalam aneka macam asal dinyatakan bahwa, keberhasilan seorang pemimpin dipengaruhi oleh sifat serta perangai pemimpin tersebut. Sifat-sifat tersebut bisa berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).

Atas dasar pemikiran pada atas ada anggapan bahwa buat sebagai seorang pemimpin yang berhasil sangat dipengaruhi kemampuan langsung pemimpin. Karena itu, ada usaha menurut para ahli buat meneliti dan merinci kualitas seseorang pemimpin yg berhasil melaksanakan tugas kepemimpinannya, kemudian hasilnya diformulasikan ke dalam sifat-sifat generik seseorang pemimpin. Usaha tadi berkembang sebagai teori kepemimpinan yg diklaim “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).

Teori Sifat atau Pembawaan

(Sumber: Diadaptasi menurut Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

Bakat-bakat kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang membedakan para pemimpin dari bawahannya.
·Temuan historis memberitahuakn bahwa pemimpin serta bawahan dibedakan berdasarkan:
-intelijensi,
-dominasi
-agama diri
-tingkat tenaga dan aktivitas
-pengetahuan yang relevan menggunakan tugas
·Temuan kontemporer menerangkan bahwa:
-orang cenderung mempersepsikan seorang selaku pemimpin saat memberitahuakn talenta yg herbi intelijensi, maskulinitas dan dominasi
-orang mengharapkan pemimpin tersebut sebagai kredibel
-pemimpin yang kredibel adalah pemimpin yang amanah, berpandangan jauh ke depan serta cakap.
Daftar pembawaan digunakan sebagai prasyarat untuk mengusulkan calon buat menduduki posisi kepemimpinan. Calon yg bisa diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan merupakan yg memiliki semua pembawaan yg diidentifikasi. Tetapi, tidak satu pun yg menjadi daftar pembawaan universal yg dimiliki sang pemimpin sukses atau pembawaan yang mengklaim keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai bagaimana yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata output bisnis yang dilakukan oleh para pakar sangat heterogen sebagai akibatnya ada keraguan terhadap output tadi. Sisi positifnya merupakan meskipun nir terdapat daftar yang mengklaim keberhasilan kepemimpinan, tetapi pembawaan yg terkait dengan keberhasilan kepemimpinan bisa teridentifikasi.

Paradigma Teori Kepemimpinan Perilaku
Setelah pada athun baru lima puluhan diketahui bahwa penyelidikan mengenai ciri-karakteristik kepemimpinan nir berhasil, para ahli dan peneliti kepemimpinan memulai menilik tingkah laris pemimpin. Tingkah laris pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan. Lantaran itu, terdapat 2 dimensi primer kepemimpinan yang dikenal dengan nama konsiderasi dan struktur inisiasi. Dua macam kesamaan konduite kepemimpinan tadi pada hakekatnya nir dapat dilepaskan berdasarkan kasus fungsi serta gaya kepemimpinan.

Teori Gaya Keperilakuan

(Sumber: Diadaptasi menurut Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

·Studi Ohio State University mengidentifikasi dua dimensi penting konduite pemimpin
(1)Konsiderasi: menciptakan respek serta kepercayaan timbal-pulang menggunakan bawahan
(2)Inisiasi struktur: mengorganisir dan meredefinisi apa-apa yang akan dikerjakan sang anggota kelompok
·Studi Michigan University mengidentifikasi 2 gaya kepemimpinan yg sama menggunakan studi yang dilakukan sang Ohio State University.
= salah satu gaya terfokus dalam pekerja serta gaya yang satunya terfokus pada pekerjaan
·Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yg terbaik. Efektivitas gaya kepemimpinan eksklusif tergantung dalam situasi pada mana gaya tadi diterapkan.

Berdasarkan tabel pada atas dapat dipahami bahwa perilaku pemimpin yg efektif melakukan konsiderasi tergantung dalam aspek berikut: 
  • Kepuasan pengikut terhadap pemimpin tergantung dalam derajat konsiderasi yg ditunjukkan sang pemimpin.
  • Konsiderasi pemimpin lebih berpengaruh terhadap pengikut waktu pekerjaan tidak menyenangkan dan mendesak, dari dalam waktu pekerjaan menyenangkan dan nir mendesak.
  • Pemimpin yang menunjukkan konsiderasi dapat melakukan inisiasi struktur yg lebih banyak tanpa mengurangi kepuasan pengikutnya.
  • Konsiderasi yang diberikan menjadi respons terhadap kinerja yang baik akan menaikkan kemungkinan kinerja yang baik di masa depan.
Sedangkan perilaku pemimpin yang efektif melakukan inisiasi struktur adalah:
  • Inisiasi struktur yang memperjelas peran tambahan akan menaikkan kepuasan.
  • Inisiasi struktur akan menyurutkan kepuasan pengikut ketika struktur tadi sudah tersedia.
  • Inisiasi struktur akan mempertinggi kinerja waktu tugas nir jelas.
  • Inisiasi struktur tidak akan mensugesti kinerja waktu tugas kentara (Leadership, 2001: dua). 
Uraian pada atas memperjelas bahwa teori kepemimpinan perilaku mencoba menjelaskan keunikan gaya yang digunakan oleh pemimpin yg efektif, atau memahami sifat-sifat pekerjaan pemimpin. Sepuluh peran manajerial menurut Henry Minzberg merupakan galat satu model teori kepemimpinan konduite. Peneliti konduite menekankan pada penemuan cara mengklasifikasikan konduite yg bisa memberikan pemahanan mengenai kepemimpinan.

Paradigma Teori Kepemimpinan Kontigensi
Pada mulanya, teori kepemimpinan yg dibangun sang Fiedler ini menekankan dalam dua sasaran, yakni melakukan idenfikasi faktor-faktor krusial pada situasi eksklusif dan memperkirakan gaya atau perilaku kepemimpinan yg paling efektif pada situasi tertentu. Hasil penelitian Fiedler menampakan bahwa, pada situasi kerja selalu ada tiga elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni: hubungan pemimpin dengan bawahan, struktur tugas serta ketangguhan posisi pemimpin.

Teori kepemimpinan kontingensi menjelaskan gaya kepemimpinan yang sinkron dengan pemimpin, pengikut dan situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional, termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal serta ciri pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins, at.al., 1994: 483) yang dikembangkan berdasarkan teori kepemimpinan contoh kontingensi Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yg paling efektif merupakan gaya kepemimpinan yang diubahsuaikan dengan tingakat kedewasaan bawahan. Tetapi, Hersey dan Blanchard nir merinci dan memberikan definisi kedewasaan sebagai suatu tingkat kemantapan emosional.

Paradigma Teori Kepemimpinan Integratif
Pada paruh sampai akhir tahun 1970an, paradigma kepemimpinan mulai berubah menjadi kerangka berpikir integratif atau teori kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini memadukan teori pembawaan, perilaku serta kontingensi buat menjelaskan kesuksesan dan impak hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti berusaha mengungkapkan mengapa pengikut pemimpin eksklusif memiliki harapan bekerja keras dan rela berkorban buat mencapai tujuan kelompoknya. Di samping itu, menyebutkan bagaimana seseorang pemimpin secara efektif mempengaruhi perilaku pengikutnya, dan mengapa perilaku pemimpin yg sama dapat membawa impak yang tidak sama pada pengikutnya dalam situasi eksklusif.

Pendekatan Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah peneliti kepemimpinan kembali memakai teori sifat kepemimpinan, meskipun menggunakan perspektif yg tidak selaras (Robbins, at.al., 1994: 497). Lima teori kepemimpinan menurut pendekatan baru ini artinya teori atribusi, teori kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transaksional lawan transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley serta Maycunich, 2000) serta teori kepemimpinan super (Manz dan Sims, 2001) pula adalah gaya atau tipe kepemimpinan yang tergolong pada perspektif ini.

Tinjauan 3 teori kepemimpinan yang pertama atribusi, kharismatik serta transaksional lawan transformasional dapat diringkaskan menurut beberapa asal (Politis, 2001: 358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier dan Achua, 2001: 374-384 Bass serta Burns pada Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.

Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan menyebutkan disparitas hubungan sebab-akibat yg mensugesti orang. Jika terjadi suatu insiden, pemimpin mencoba menghubungkannya dengan suatu penyebab yang sifatnya internal dan eksternal. Dalam konteks kepemimpinan, teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan adalah astribusi yg dibuat orang tentang individu lain. Dengan memakai kerangka atribusi ini, peneliti menemukan bahwa orang mencirikan pemimpin menjadi menyandang karakteristik misalnya kecerdasan, kepribadian, keramah-tamahan, keterampilan lisan yang bertenaga, keagresifan, pemahaman dan kerajinan. Salah satu tema yg lebih menarik dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya konsisten atau nir bergeming dalam keputusan yang dibuat (Robbins, et.al., 1994: 167, 497-498).

Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan kharismatik merupakan suatu perluasan berdasarkan teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut menciptakan atribusi menurut kemampuan kepemimpinan yg heroik atau luar biasa apabila mengamati konduite-konduite tertentu. Beberapa penulis sudah mengidentifikasi ciri pribadi pemimpin kharismatik ini. Robert House yg populer menggunakan gagasannya tentang teori jalur-tujuan mengidentifikasi 3 ciri pemimpin kharismatik, yakni: agama diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan dalam keyakinan yg dianut (Robbins, et.al., 1994: 499-500). 

Setelah Warren Bennis mengusut 90 pemimpin yg paling efektif dan sukses pada Amerika perkumpulan disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yg sama yakni: memiliki visi atau pemahaman tujuan; bisa mengkomunikasikan visinya dalam istilah-kata yg kentara sebagai akibatnya para pengikutnya bisa dengan mudah memihak; bisa memberitahuakn konsistensi dan penekanan pada memburu visi kepemimpinannya; dan tahu kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu, analisis yang paling menyeluruh telah dirampungkan sang Congger dan Kanungo menurut Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yg dibentuk menyatakan bahwa pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yg ingin dicapai, memiliki komitmen langsung yg bertenaga pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan percaya diri, serta menjadi agen perubahan radikal, bukan manajer menurut status quo.

Menurut Bass (1985) bahwa kharisma adalah bagian penting dari kepemimpinan transformasional, namun kharisma itu sendiri tidak relatif buat proses transformasional. Pemimpin kharismatik lebih menurut sekedar percaya diri pada keyakinannya, melainkan jua melihat dirinya sendiri seperti mempunyai suatu tujuan serta takdir supranatural. Sementara itu, pengikutnya bukan saja mempercayai serta menghormati pemimpin yg kharismatik, melainkan pula memuja serta menyembah pemimpinnya menjadi seorang pahlawan yang melebihi insan atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik dipandang memiliki kebesaran, sekaligus sebagai katalisator prosedur psikodinamik pengikutnya.

Seorang pemimpin kharismatik lebih besar kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut membagi sama norma-kebiasaan, keyakinan dan fantasi yang dapat dijadikan sebagai basis bagi seruan emosional serta rasional sang pemimpin tadi. Namun, Bass jua menyatakan bahwa tanggapan seorang terhadap pemimpin kharismatik kemungkinannya akan sangat terpolarisasi, lantaran pemimpin kharismatik dicintai oleh beberapa orang namun dibenci sang yang lainnya. Tanggapan yang terpolarisasi ini membantu mengungkapkan mengapa demikian poly pemimpin politik yg kharismatik sebagai sasaran penghilangan nyawa.

Kata akhir yang perlu dipahami pada hal ini ialah kepemimpinan kharismatik mungkin nir selalu diharapkan buat mencapai taraf kinerja karyawan yang tinggi. Tetapi, pemimpin kharismatik mungkin paling tepat apabila tugas pengikut memiliki suatu komponen ideologis. Hal ini bisa mengungkapkan mengapa pemimpin kharismatik lebih dimungkinan muncul dalam konteks politik, kepercayaan , saat perang atau apabila suatu perusahaan bisnis memperkenalkan suatu produk yg benar-sahih baru (baca: produk kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam kehidupannya.

Kepemimpinan Transaksional lawan Transformasional
Hasil studi terakhir yg menarik mengenai 2 gaya kepemimpinan ini adalah perhatian yg diberikan dalam disparitas pemimpin transformasional berdasarkan pemimpin transaksional. Padahal, pemimpin transformasional jua kharismatik. Karena itu, acapkali terjadi tumpang-tindih topik ini menggunakan pembahasan kepemimpinan kharismatik.

Burns membedakan kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikutnya dengan memilih dalam kepentingan diri sendiri. Burns pula membedakan kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan yg mentransformasi imbas yg ditunjukkan menurut dalam kekuasaan birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan pada kekuatan legitimasi dan lebih menghormati peraturan serta trandisi, dari pada dampak yg berdasarkan atas pertukaran atau ilham. Hal ini berdasarkan dalam pemahaman bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, bukan sejumlah tindakan yg memiliki ciri-ciri sendiri. Burns menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antar hubungan yg berkembang, pada mana pemimpin secara terus-menerus membangkitkan tanggapan motivasi menurut pada pengikut serta memodifikasi perilaku pengikutnya dalam saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, pada sebuah proses serta arus balik yang nir pernah berhenti.

Bass (1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yang dibangun berdasarkan gagasan awal berdasarkan Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan , kekaguman, kesetiaan serta adanya rasa hormat terhadap pemimpinnya serta bawahan tadi termotivasi buat melakukan lebih menurut pada apa yang diperlukan darinya. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi pengikutnya menggunakan cara: (1) menciptakan pengikutnya lebih sadar tentang arti krusial hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (2) mendorong pengikutnya buat lebih mementingkan tim atau organisasi berdasarkan pada kepentingan dirinya sendiri; dan (tiga) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya dalam level yang lebih tinggi.

Formulasi teori Bass (1985) meliputi 3 unsur kepemimpinan transformasional, yakni: kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma didefisinikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikutnya menggunakan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah suatu proses yang di dalamnya pemimpin meningkatkan pencerahan pengikut terhadap berbagai kasus dan mempengaruhi para pengikutnya buat memandang banyak sekali masalah dari perspektif yang tidak selaras. Perhatian yang diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi dukungan, membesarkan hati serta memberi pengalaman mengenai perkembangan pada para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan sebagai sebuah pertukaran imbalan buat mendapatkan kepatuhan. 

Berdasarkan pengertian pada atas, kentara bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yg lebih luas dari dalam Burns. Salah satu komponen konduite transaksional yang diklaim konduite contingent rewards meliputi kejelasan mengenai pekerjaan yang diperlukan memperoleh imbalan dan menggunakan insentif serta contingent rewards buat mensugesti motivasi. Komponen kedua yg dianggap active management by exception, mencakup pemantauan para bawahan serta tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tadi sudah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yg dianggap passive management by exception ditambahkan oleh Bass dan rekannya. Termasuk ke dalam komponen ini adalah penggunaan contingent punishment dan tindakan pemugaran sebagai tanggapan atas penyimpangan berdasarkan baku kinerja. Bass memahami kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai proses yang tidak sinkron namun tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin yg sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut dalam saat dan situasi yg tidak selaras.

Kepemimpinan Transaksional versus Kepemimpinan Kharismatik

(Sumber: disesuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

Kepemimpinan Transaksional: terfokus pada hubungan interpersonal antara pemimpin serta para pengikut
·Pemimpin Transaksional
-Menggunakan ganjaran kontingen buat memotivasi pengikutnya
-Tindakan koreksi hanya dilakukan manakala pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja yg diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik: menekankan perilaku pemimpin simbolik yg mentransformasi para pengikut buat memprioritaskan tujuan beserta lebih dari kepentingan pribadi.
·Pemimpin Kharismatik
-Menggunakan pesan-pesan visioner serta inspirasional
-Berdasar pada komunikasi non-verbal
-Menyerukan nilai-nilai ideologis
-Berupaya menstimulasi pengikutnya secara intelektual
-Menunjukkan agama diri serta para pengikutnya
-Menetapkan harapan kinerja yg tinggi
Kebanyakan teori kepemimpinan yg disajikan sebelumnya – contohnya studi Ohio, contoh Fiedler, teori jalur tujuan serta model partisipasi pemimpin – memperkuat konsep kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya ke arah tujuan yg ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun di atas “fondasi” kepemimpinan transaksional, sebagai akibatnya membuat tingkat upaya serta kinerja bawahan yang melampaui apa yang terjadi menggunakan pendekatan transaksional semata. Lebih berdasarkan itu, kepemimpinan transformasional lebih berdasarkan dalam pemimpin kharismatik. Pemimpin yg semata-mata kharismatik dapat menghrapkan pengikutnya mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik dan tidak berkecimpung lebih jauh. Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan dalam diri pengikutnya kemampuan buat mempertanyakan tidak hanya pandangan yg mapan, melainkan pula pandangan yg ditetapkan sang pemimpin. 

Perbandingan Tipe Kepemimpinan
Perbandingan tipe kepemimpinan yang dibahas ini dia diwakili oleh tipe The Strong Man, The Transactor, Visionary Hero dan Superleader (Manz and Sims, 2001: 39). Pertama, the Strongman menggunakan wewenang dalam posisinya buat mensugesti orang lain supaya tunduk kepadanya lantaran rasa takut. Perilaku the strongman yang paling generik merupakan menginstruksikan, memerintah serta mengintimidasi.

Kedua, the Transactor, dikategorikan ke pada tipe interaksi pertukaran pemimpin menggunakan bawahan (orang lain). Pemimpin menanamkan imbas melalui dispensasi imbalan pada pertukaran sehingga pengikut mentaati apa yang diinginkan oleh pemimpin. Perilaku yang paling banyak dipakai oleh pemimpin ini artinya ganjaran personal serta material menjadi balikan menurut upaya, kinerja dan loyalitas orang terhadap kepemimpinannya (bandingkan menggunakan Model Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota).

Ketiga, the Visionary Hero dicirikan menggunakan kemampuan yg dimiliki sang pemimpin buat menciptakan motivasi yg tinggi serta menyerap visi masa depan. Pemimpin ini mempunyai kapasitas buat memberi kekuatan kepada orang lain buat merealisasikan visi yg ditetapkan. Jenis kepemimpinan ini terutama menyangkut proses pengaruh atas-bawah. Pemimpin adalah asal kebijakan serta arahan, dan cenderung menempati posisi sentral, sementara peran pengikut memudar dalam bayang-bayang pemimpin. Kewenangan pemimpin didasarkan dalam kapabilitas yang dimiliki dalam membangkitkan komitmen pengikutnya terhadap visi pemimpin. 

Keempat, the Superleadership, yaitu pemimpin yang mengarahkan orang lain supaya dapat mengarahkan dirinya sendiri. Pemimpin super dikenal juga menjadi pemimpin pemberdaya. Tipe pemimpin ini terutama terfokus dalam bawahan. Pemimpin menjadi “super” – mempunyai kekuatan dan kebijaksanaan sejumlah orang – karena membantu melejitkan kemampuan para pengikut yg mengelilinginya (Manz serta Sims, 2001: 45).

Model Pertukaran Pemimpin-Anggota

(Sumber: disesuaikan berdasarkan Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

·Model ini berdasarkan dalam gagasan bahwa satu berdasarkan dua tipe khusus membuatkan hubungan pertukaran timbal pulang pemimpin-anggota, dan pertukaran itu berhubungan dengan luaran pekerjan krusial.
-pertukaran pada gerombolan : kemitraan yg dicirikan menggunakan rasa saling percaya, respek dan menyukai
-pertukaran di luar gerombolan : kemitraan yang ditandai dengan kurangnya rasa saling percaya, respek serta menyukai.
·Hasil penelitian mendukung model ini.

Tugas pemimpin super adalah membantu pengikut menyebarkan keahlian kepemimpinannya secara berdikari agar menaruh sumbangan yg lebih besar pada organisasi. Pemimpin super mendorong inisiatif pengikutnya, mendorong rasa tanggung jawab individu, rasa percaya diri, penetapan tujuan diri sendiri, pemikiran peluang positif serta pemecahan masalah sendiri. Dengan kata lain, pemimpin super memberdayakan bawahannya sehingga gaya kepemimpinan ini sanggup dianggap sebagai tipe pemimpin pemberdaya. Luaran konduite yg dihasilkan oleh tipe kepemimpinan super merupakan kinerja jangka panjang tinggi, kepercayaan diri para pengikut tinggi, pengembangan pengikut tinggi, fleksibiltas sangat tinggi, penemuan tinggi, bisa bekerja tanpa pemimpin dan mengandalkan kerjasama tim. Berdasarkan uraian di atas, dibentuk contour perkembangan konsep dan gaya kepemimpinan dari masa ke masa misalnya terlihat dalam visualisasi berikut. 

Peta Perkembangan Konsep Kepemimpinan
(Diadaptasi dan dikembangkan berdasarkan Rachmany, 2003: 38)