PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi mencakup banyak sekali aspek perubahan dalam aktivitas ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yang dicapai suatu negara sudah semakin tinggi, tidak mudah buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg mengakibatkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan pada jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita warga pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi menggunakan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra menurut pembangunan ekonomi meningkat, Dengan memakai data pendapatan perkapita selalu menggambarkan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai banyak sekali negara
2. Tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu berukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun eksklusif bila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk dan perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena akselerasi pertumbuhan ekonomi :
1. Hasrat negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang serta jasa yang diproduksikan pada suatu negara dalam suatu tahun eksklusif – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung dari :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yg berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga permanen – riil
Menurut harga yang berlaku pada tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif dalam perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air dan gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank dan forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan taraf kesejahteraan warga menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita nir sepenuhnya mencerminkan taraf kesejahteraan serta taraf pembangunan suatu negara, lantaran :
1. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber berdasarkan kenyataan bahwa taraf kesejahteraan warga bukan saja ditentukan sang tingkat pendapatan mereka tetapi pula sang faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri juga mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yang keliru / terlalu rendah terhadap negara miskin karena jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan tersebar di banyak sekali pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga kedua negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain memilih pendapatan berdasarkan tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian nir menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / saat senggang tinggi
- pembangunan ekonomi tidak hanya buat menaikkan pendapatan warga tetapi jua harus mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- imbas adat istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan dalam pembangunan ekonomi
Hasil analisis dari M.S. Ahluwalia ; tentang keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang aneka macam golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai taraf pendapatan tertentu atau kurang menurut itu

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi meliputi banyak sekali aspek perubahan dalam kegiatan ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yg dicapai suatu negara telah semakin tinggi, nir gampang buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan dalam jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra berdasarkan pembangunan ekonomi meningkat, Dengan menggunakan data pendapatan perkapita selalu mendeskripsikan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai aneka macam negara
2. Tingkat perkembangannya menurut tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu ukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian pada suatu tahun tertentu apabila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk serta perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena percepatan pertumbuhan ekonomi :
1. Impian negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang dan jasa yang diproduksikan dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung berdasarkan :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yang berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga tetap – riil
Menurut harga yang berlaku dalam tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif pada perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air serta gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan serta komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank serta forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan tingkat kesejahteraan rakyat menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan serta tingkat pembangunan suatu negara, karena :
1. Kelemahan-kelemahan yg bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan saja ditentukan oleh tingkat pendapatan mereka namun pula oleh faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri maupun mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yg galat / terlalu rendah terhadap negara miskin lantaran jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan beredar pada berbagai pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga ke 2 negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain menentukan pendapatan menurut tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian tidak menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / waktu senggang tinggi
- pembangunan ekonomi nir hanya buat menaikkan pendapatan rakyat namun pula wajib mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- impak tata cara istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan pada pembangunan ekonomi
Hasil analisis berdasarkan M.S. Ahluwalia ; mengenai keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang banyak sekali golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari itu

KONSEP PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
 Pembangunan serta pertumbuhan ekonomi satu sama lain nir dapat dipisahkan. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan menjadi suatu proses yang mengakibatkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Sedangkan kata pertumbuhan ekonomi memberitahuakn atau mengukur prestasi dari perkembangan ekonomi, atau diartikan menjadi kenaikan Gross Domestic Product/ Gross National Product tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih mini menurut tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Djojohadikusumo (1994) membedakan konserp pertumbuhan serta pembangunan ekonomi. Menurutnya pertumbuhan ekonomi serius pada peningkatan barang serta jasa pada aktivitas ekonomi warga , yang didasari sang paham Neo-Klasik serta Neo-Keynes. Sedangkan pembangunan ekonomi diartikan menjadi proses transformasi yg ditandai oleh perubahan struktural yaitu perubahan dalam landasan aktivitas ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi warga yg bersangkutan. Namun demikian pada umumnya para ekonom memberikan pengertian sama untuk kedua kata tadi. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi menjadi kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yang lebih generik, istilah pertumbuhan ekonomi umumnya dipakai buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara maju, sedangkan kata pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang (Arsyad, 1999).

Teori – teori tentang pertumbuhan yg telah dikenal luas salah satunya merupakan teori pertumbuhan neoklasik yg dikembangkan sang Solow. Teori ini dibentuk menjadi respon atas contoh Harord-Domar yg mengasumsikan rasio capital-output konstan. Model Solow mendefinisikan fungsi produksi yg mempunyai sifat bahwa faktor-faktornya saling bersubstitusi secara kontinyu, dan diasumsikan tiap faktor produksi mengalami diminishing return. Solow memulai menggunakan membangun fungsi produksi Y= F (K,L) 

Dimana Y adalah hasil yg merupakan fungsi berdasarkan jumlah kapital K dan tenaga kerja L. Solow mengasumsikan fungsi produksi ini adalah constant return to scale, yg berarti bahwa jika semua input dinaikkan menggunakan pengalian tertentu, hasil akan naik menggunakan pengalian yg sama. 

Teori Pertumbuhan Lewis (dalam Todaro, 2003) menyebutkan transformasi struktur perekonomian menurut pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih terbaru. Menurutnya, perekonomian terdiri menurut 2 sektor yaitu sektor tradisional pertanian yang tingkat produktivitasnya rendah dan sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi. Perhatian utama berdasarkan contoh ini diarahkan dalam terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, dan pertumbuhan hasil serta peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor terbaru. 

Karena pada biasanya tolok ukur menurut pembangunan ekonomi adalah taraf pertambahan produk domestik bruto seperti sudah di jelaskan sebelumnya, maka hal ini membuat pembangunan di negara-negara berkembang berorientasi dalam mengejar pertumbuhan yang tingi dalam rangka peningkatan pendapatan warga dan nasional melalui pertumbuhan pendapatan nasional (PDB), walaupun harus melakukan eksploitasi terhadap sumber-asal yang ada. Akan namun pada pelaksanaannya taktik ini ternyata nir menjamin adanya pemerataan distribusi pendapatan nasional bahkan lebih banyak merugikan warga bawah lantaran output pembangunan lebih terkonsentrasi dalam sekelompok orang saja. Hal ini ditandai menggunakan meningkatnya jumlah pengangguran, urbanisasi desa-kota, marginalisasi kemiskinan serta kerusakan lingkungan. Paradigm pembangunan seperti di atas yg hanya mengejar pertumbuhan yang tinggi perlu dikaji ulang pulang lantaran terbukti hanya akan membentuk ketidakmerataan distribusi pendapatan serta makin memperparah terjadinya kerusakan lingkungan. 

Adalah Kuznets (1955) yg berupaya mengkritisi contoh pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Menurutnya, pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hanya akan menciptakan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yg dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan terkikis oleh ekses-ekses negatif berdasarkan pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets tentang impak kelestarian lingkungan hayati terhadap pertumbuhan ekonomi ini secara teoritis diungkapkan menggunakan muncunya teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) menyatakan bahwa buat kasus pada negara sedang berkembang seiring dengan perjalanan ketika, kegiatan industri bisa merusak kelestarian alam dan lingkungan. Sebaliknya buat negara maju, seiring menggunakan bepergian waktu dalam kegiatan industrinya, maka kelestarian lingkungan hayati semakin sanggup dijamin keberadaannya. Berdasarkan dalam penemuannya tadi, bentuk kurva EKC adalah alfabet U terbalik (Munasinghe, 1999). 

Konsep Perubahan Struktural 
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sudah menyebabkan perubahan struktur perekonomiansi wilayah tadi. Secara sederhana perubahan struktur perekonomian dapat ditinjau menurut besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing sektor tadi, perekonomian bisa dibagi sebagai 3 komponen, perekonomian dengan struktur primer atau agraris, perekonomian menggunakan struktur sekunder atau industry, serta perekonomian menggunakan struktur tersier atau jasa (Amir Hidayat, 2004). 

Pembangunan harus bisa menghasilkan perubahan struktural yg seimbang yang tidak menyebabkan ketimpangan antar sektor perekonomian serta membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang bisa menjaga kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Kwik Kian Gie, 2002). 

Perubahan structural terus terjadi dalam perekonomian Indonesia, akan tetapi perubahan yg terjadi justru membuat ketimpangan antar sektor yang lalu menumbuhkan struktur ekonomi yg ringkih, struktur ekonomi yang dapat dengan mudah ditentukan perubahan-perubahan yg terjadi disuatu sektor tanpa bisa digantikan oleh sektor lainnya. Sebagai contoh, pembangunan industri yg kurang memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan asal daya alam dengan bijak justru dengan gampang bisa tergoyang sang perubahan-perubahan yang terjadi pada global luar. Secara generik struktur perekonomian suatu negara bisa dibagi pada tiga sektor yaitu sektor pertanian atau sektor primer, sektor industri atau sekunder serta sektor jasa atau tersier. Dari pengalaman sejarah pada negara-negara maju, terlihat bahwa tahap awal pembangunan ekonomi pada negara tadi donasi sektor pertanian sangat lebih banyak didominasi, namun akan terus menurun sampai pada tahap tertentu. Peran mayoritas sektor pertanian ini akan digantikan sang sektor industri atau jasa. Fenomena perubahan seperti ini diklaim sebagai proses transformasi struktural (Todaro, 2006). 

Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang membuat sisi hasil pada persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yg kentara pada perubahan struktur perekonomian adalah sejalan menggunakan meningkatnya pendapatan perkapita, donasi (share) sektor industri terhadap pembentukan produk domestik bruto pula semakin tinggi (Malcom Gillis et al, 1987). 

Syrquin (1988) mengungkapkan struktur yang acapkali dipakai pada pembangunan dan sejarah ekonomi mengacu dalam pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi serta faktor-faktor yang dipakai. 

Industrialisasi dianggap sebagai pusat proses berdasarkan perubahan struktural. Dalam hal ini (struktur menjadi komposisi berdasarkan agregat) perubahan struktur juga diterapkan dalam agregat lainnya yang sudah membawa proses industrialisasi seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling bekerjasama berdasarkan perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi seringkali diklaim transformasi struktural (structural transformation). Chenery (1988) jua menjelaskan bahwa konsep transformasi struktural demand, perdagangan, produksi dan tenaga kerja merupakan karakteristik dari pembangunan. 

Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan struktur pada tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi menurut pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yg dilakukan Chenery mengenai transformasi struktur produksi memberitahuakn bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser menurut yg semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2000). 

KONSEP PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
 Pembangunan serta pertumbuhan ekonomi satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat pada jangka panjang. Sedangkan kata pertumbuhan ekonomi memperlihatkan atau mengukur prestasi dari perkembangan ekonomi, atau diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product/ Gross National Product tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih akbar atau lebih mini berdasarkan taraf pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau nir. Djojohadikusumo (1994) membedakan konserp pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Menurutnya pertumbuhan ekonomi serius pada peningkatan barang dan jasa dalam aktivitas ekonomi rakyat, yang didasari oleh paham Neo-Klasik serta Neo-Keynes. Sedangkan pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses transformasi yg ditandai oleh perubahan struktural yaitu perubahan pada landasan aktivitas ekonomi juga dalam kerangka susunan ekonomi warga yang bersangkutan. Tetapi demikian dalam umumnya para ekonom menaruh pengertian sama buat kedua kata tadi. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sebagai kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yg lebih generik, kata pertumbuhan ekonomi umumnya dipakai buat menyatakan perkembangan ekonomi pada negara maju, sedangkan kata pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang (Arsyad, 1999).

Teori – teori mengenai pertumbuhan yg telah dikenal luas salah satunya adalah teori pertumbuhan neoklasik yg dikembangkan sang Solow. Teori ini dibentuk menjadi respon atas contoh Harord-Domar yang mengasumsikan rasio capital-output konstan. Model Solow mendefinisikan fungsi produksi yang memiliki sifat bahwa faktor-faktornya saling bersubstitusi secara kontinyu, serta diasumsikan tiap faktor produksi mengalami diminishing return. Solow memulai menggunakan membentuk fungsi produksi Y= F (K,L) 

Dimana Y merupakan hasil yang merupakan fungsi menurut jumlah kapital K serta energi kerja L. Solow mengasumsikan fungsi produksi ini adalah constant return to scale, yang berarti bahwa jika seluruh input dinaikkan dengan pengalian tertentu, hasil akan naik menggunakan pengalian yang sama. 

Teori Pertumbuhan Lewis (dalam Todaro, 2003) mengungkapkan transformasi struktur perekonomian berdasarkan pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih terkini. Menurutnya, perekonomian terdiri menurut 2 sektor yaitu sektor tradisional pertanian yg tingkat produktivitasnya rendah serta sektor industri perkotaan terbaru yg taraf produktivitasnya tinggi. Perhatian utama dari model ini diarahkan dalam terjadinya proses pengalihan energi kerja, dan pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor terbaru. 

Karena dalam umumnya tolok ukur berdasarkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertambahan produk domestik bruto seperti sudah pada jelaskan sebelumnya, maka hal ini membuat pembangunan pada negara-negara berkembang berorientasi dalam mengejar pertumbuhan yg tingi dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat dan nasional melalui pertumbuhan pendapatan nasional (PDB), walaupun wajib melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber yg ada. Akan namun pada pelaksanaannya taktik ini ternyata nir menjamin adanya pemerataan distribusi pendapatan nasional bahkan lebih poly merugikan rakyat bawah lantaran output pembangunan lebih terkonsentrasi pada sekelompok orang saja. Hal ini ditandai menggunakan meningkatnya jumlah pengangguran, urbanisasi desa-kota, marginalisasi kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Paradigm pembangunan seperti pada atas yang hanya mengejar pertumbuhan yg tinggi perlu dikaji ulang balik lantaran terbukti hanya akan menghasilkan ketidakmerataan distribusi pendapatan serta makin memperparah terjadinya kerusakan lingkungan. 

Adalah Kuznets (1955) yg berupaya mengkritisi model pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Menurutnya, pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian alam serta lingkungan hanya akan membangun kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan terkikis oleh ekses-ekses negatif dari pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets mengenai efek kelestarian lingkungan hayati terhadap pertumbuhan ekonomi ini secara teoritis diungkapkan menggunakan muncunya teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) menyatakan bahwa untuk perkara pada negara sedang berkembang seiring menggunakan perjalanan saat, aktivitas industri dapat Mengganggu kelestarian alam serta lingkungan. Sebaliknya buat negara maju, seiring menggunakan perjalanan waktu pada kegiatan industrinya, maka kelestarian lingkungan hidup semakin sanggup dijamin keberadaannya. Berdasarkan dalam penemuannya tersebut, bentuk kurva EKC adalah huruf U terbalik (Munasinghe, 1999). 

Konsep Perubahan Struktural 
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah telah menyebabkan perubahan struktur perekonomiansi wilayah tadi. Secara sederhana perubahan struktur perekonomian dapat dipandang menurut besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing sektor tadi, perekonomian dapat dibagi menjadi 3 komponen, perekonomian menggunakan struktur primer atau agraris, perekonomian dengan struktur sekunder atau industry, serta perekonomian dengan struktur tersier atau jasa (Amir Hidayat, 2004). 

Pembangunan harus bisa membuat perubahan struktural yang seimbang yang nir menimbulkan ketimpangan antar sektor perekonomian serta membentuk perekonomian yg sehat yaitu perekonomian yang sanggup menjaga transedental menurut satu generasi ke generasi berikutnya (Kwik Kian Gie, 2002). 

Perubahan structural terus terjadi dalam perekonomian Indonesia, akan namun perubahan yang terjadi justru menghasilkan ketimpangan antar sektor yang kemudian menumbuhkan struktur ekonomi yg ringkih, struktur ekonomi yg dapat dengan gampang dipengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi disuatu sektor tanpa bisa digantikan sang sektor lainnya. Sebagai model, pembangunan industri yg kurang memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan asal daya alam dengan bijak justru dengan mudah bisa tergoyang sang perubahan-perubahan yang terjadi di dunia luar. Secara generik struktur perekonomian suatu negara dapat dibagi dalam 3 sektor yaitu sektor pertanian atau sektor utama, sektor industri atau sekunder serta sektor jasa atau tersier. Dari pengalaman sejarah pada negara-negara maju, terlihat bahwa tahap awal pembangunan ekonomi di negara tersebut donasi sektor pertanian sangat lebih banyak didominasi, tetapi akan terus menurun hingga dalam tahap tertentu. Peran secara umum dikuasai sektor pertanian ini akan digantikan sang sektor industri atau jasa. Fenomena perubahan misalnya ini disebut menjadi proses transformasi struktural (Todaro, 2006). 

Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang membuat sisi hasil dalam persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yg jelas pada perubahan struktur perekonomian adalah sejalan menggunakan meningkatnya pendapatan perkapita, kontribusi (share) sektor industri terhadap pembentukan produk domestik bruto juga meningkat (Malcom Gillis et al, 1987). 

Syrquin (1988) menjelaskan struktur yg tak jarang dipakai pada pembangunan serta sejarah ekonomi mengacu dalam pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi serta faktor-faktor yang digunakan. 

Industrialisasi diklaim sebagai sentra proses menurut perubahan struktural. Dalam hal ini (struktur sebagai komposisi berdasarkan agregat) perubahan struktur jua diterapkan dalam agregat lainnya yg telah membawa proses industrialisasi seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling berafiliasi berdasarkan perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi seringkali dianggap transformasi struktural (structural transformation). Chenery (1988) juga mengungkapkan bahwa konsep transformasi struktural demand, perdagangan, produksi dan tenaga kerja merupakan ciri dari pembangunan. 

Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan struktur pada tahapan proses perubahan ekonomi, industri serta struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yg mengalami transformasi menurut pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yang dilakukan Chenery mengenai transformasi struktur produksi menerangkan bahwa sejalan menggunakan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yg semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2000). 

TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
Tujuan Instruktusional Khusus

  1. Agar mahasiswa bisa menjelaskan konsep berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi regional.
  2. Agar mahasiswa bisa menyebutkan 4 grup dalam teori-teori yang mendukung teori pertumbuhan ekonomi regional .
  3. Agar mahasiswa bisa mengungkapkan faktor-faktor yg mempengaruhi teori pertumbuhan ekonomi regional.
Pertumbuhan Ekonomi Regional

Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan dalam pengaruh disparitas karateristik space terhadap pertumbuhan ekonomi.

Faktor yg sebagai perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional
·Keuntungan Lokasi
·Aglomerasi Migrasi
·Arus lalu lintas kapital antar wilayah.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Nasional Þ faktor – faktornya :
·Modal
·Lapangan Kerja
·Kemajuan Tehnologi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dibagi atas 4 gerombolan
·Export Base - Models
·Neo Klassik Models
·Cumulative Causation Models
·Core Periphery Models
·Export Base Models

Dipelopori sang Douglas C. NorthKelompok ini berpendapatan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih poly dipengaruhi oleh jenis laba lokasi ( comperative advantage ) serta dapat dipakai sang daerah tadi menjadi kekuatan ekspor.

Keuntungan lokasi umumnya tidak sama setiap region hal ini tergantung dalam keadaan geografi daerah setempat.

Export Base Models berorientasi dalam prinsip Comperative advantage dan Comperative Competitive.

Model Neo Klassik

Penekanan analisanya dalam alat-alat fungsi produksi. Unsur-unsur yang memilih pertumbuhan ekonomi regional adalah kapital, energi kerja serta tehnologi. Selain itu dibahas secara mendalam perpindahan penduduk ( migrasi ) serta kemudian lintas kapital terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Model Neo Klassik mengatakan bahwa masih ada hubungan antara taraf pertumbuhan suatu negara menggunakan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) dalam negara yang bersangkutan.

Pada waktu proses pembangunan baru dimulai (NSB) taraf perbedaan kemakmuran antar daerah cenderung sebagai tinggi ( Divergence ) sedangkan bila proses proses pembangunan sudah berjalan dalam ketika lama ( Negara maju ) maka disparitas taraf kemakmuran antar wilayah cenderung menurun ( Convergence ) ÞTeori Simon Kuznet Alasan ( pada NSB )

  1. Lalu lintas orang dan kapital masih belum lancar
  2. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi
  3. Masih kuatnya tradisi yg menghalangi mobilitas penduduk yg menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan kapital antar wilayah.
Model Cumulative Causation ( Keynes )

Menurut Dixon serta Thirwall ( 1974 ) Setiap negara akan mengalami “ Verdoorn Effect “
Tidak terjadi Convergence pada perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah walaupun negar tsb.

Tergolong maju

Daerah maju tetap berkembang secara pesat karena adanya hubungan positip antara kemajuan tehnologi menggunakan tingkat laba perusahaan ( bisnis ). Sedangkan wilayah yg kurang berkembang akanm permanen berkembang secara lambat karena taraf laba yang diperoleh usahawan pada daerah ini rendah.

Peningkatan pemerataan pembangunan nir dapat hanya diserahkan dalam prosedur pasar. Tapi bisa dilakukan melalui campur tangan aktif dari pemerintah pada bentuk program-acara pembangunan daerah.

Model Core Periphery

Oleh John Friedman Menekankan analisanya pada hubungan yg erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota ( core ) serta desa ( periphery).menurut teori ini mobilitas langkah pembangunan wilayah perkotaan

Akan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan desa –desa sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan wilayah pedesaan sangat ditentukan sang arah pembangunan daerah perkotaan
Aspek hubungan antar daerah ( spatial interaction )

Menurut John Friedman

Hubungan Core Periphery bisa terjadi ditimbulkan lantaran :
1.perluasan pasar
2.penemuan asal-asal baru
3.perbaikan prasarana perhubungan
4.penyebaran tehnologi antar daerah 

TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
Tujuan Instruktusional Khusus

  1. Agar mahasiswa bisa mengungkapkan konsep menurut teori pertumbuhan ekonomi regional.
  2. Agar mahasiswa bisa menyebutkan 4 grup pada teori-teori yang mendukung teori pertumbuhan ekonomi regional .
  3. Agar mahasiswa dapat menyebutkan faktor-faktor yg menghipnotis teori pertumbuhan ekonomi regional.
Pertumbuhan Ekonomi Regional

Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan pada pengaruh disparitas karateristik space terhadap pertumbuhan ekonomi.

Faktor yg sebagai perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional
·Keuntungan Lokasi
·Aglomerasi Migrasi
·Arus kemudian lintas modal antar wilayah.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Nasional Þ faktor – faktornya :
·Modal
·Lapangan Kerja
·Kemajuan Tehnologi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dibagi atas 4 grup
·Export Base - Models
·Neo Klassik Models
·Cumulative Causation Models
·Core Periphery Models
·Export Base Models

Dipelopori oleh Douglas C. NorthKelompok ini berpendapatan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih poly ditentukan oleh jenis laba lokasi ( comperative advantage ) serta bisa digunakan oleh daerah tadi sebagai kekuatan ekspor.

Keuntungan lokasi umumnya tidak selaras setiap region hal ini tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat.

Export Base Models berorientasi dalam prinsip Comperative advantage serta Comperative Competitive.

Model Neo Klassik

Penekanan analisanya pada peralatan fungsi produksi. Unsur-unsur yang memilih pertumbuhan ekonomi regional merupakan kapital, tenaga kerja dan tehnologi. Selain itu dibahas secara mendalam perpindahan penduduk ( migrasi ) serta lalu lintas kapital terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Model Neo Klassik mengatakan bahwa masih ada interaksi antara taraf pertumbuhan suatu negara menggunakan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan.

Pada ketika proses pembangunan baru dimulai (NSB) taraf disparitas kemakmuran antar wilayah cenderung sebagai tinggi ( Divergence ) sedangkan jika proses proses pembangunan telah berjalan dalam ketika lama ( Negara maju ) maka disparitas taraf kemakmuran antar daerah cenderung menurun ( Convergence ) ÞTeori Simon Kuznet Alasan ( pada NSB )

  1. Lalu lintas orang serta modal masih belum lancar
  2. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi
  3. Masih kuatnya tradisi yg menghalangi mobilitas penduduk yg menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah.
Model Cumulative Causation ( Keynes )

Menurut Dixon serta Thirwall ( 1974 ) Setiap negara akan mengalami “ Verdoorn Effect “
Tidak terjadi Convergence dalam disparitas taraf kemakmuran antar daerah walaupun negar tsb.

Tergolong maju

Daerah maju permanen berkembang secara pesat lantaran adanya interaksi positip antara kemajuan tehnologi menggunakan tingkat keuntungan perusahaan ( bisnis ). Sedangkan daerah yg kurang berkembang akanm tetap berkembang secara lambat lantaran tingkat laba yg diperoleh usahawan dalam wilayah ini rendah.

Peningkatan pemerataan pembangunan tidak dapat hanya diserahkan dalam prosedur pasar. Tapi dapat dilakukan melalui campur tangan aktif menurut pemerintah pada bentuk program-acara pembangunan daerah.

Model Core Periphery

Oleh John Friedman Menekankan analisanya dalam hubungan yang erat dan saling mensugesti antara pembangunan kota ( core ) dan desa ( periphery).menurut teori ini mobilitas langkah pembangunan daerah perkotaan

Akan lebih poly dipengaruhi sang keadaan desa –desa sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan daerah pedesaan sangat dipengaruhi oleh arah pembangunan wilayah perkotaan
Aspek hubungan antar wilayah ( spatial interaction )

Menurut John Friedman

Hubungan Core Periphery dapat terjadi disebabkan karena :
1.perluasan pasar
2.penemuan asal-sumber baru
3.perbaikan prasarana perhubungan
4.penyebaran tehnologi antar wilayah 

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat menaikkan status serta kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat menyebarkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal serta Sudaryanto, 2008). 

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai kondisi pokok dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat utama pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar buat hasil-output usahatani, (2) teknologi yg senantiasa berkembang, (tiga) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (5) tersedianya pengangkutan yg lancar dan kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) pemugaran serta ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yang disarankan sang Mosher. 

Pembangunan pertanian pada Indonesia dilaksanakan secara terpola dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yg tertuang pada strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 

Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yg semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 
1. Repelita I: titik berat dalam sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian. 
2. Repelita II: titik berat dalam sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah sebagai bahan baku. 
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan dan menaikkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 
4. Repelita IV: titik berat dalam sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan mempertinggi industri pembuat mesin-mesin. 
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. 

Menurut Suhendra (2004) pada banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia dalam awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari sahih hal tadi, sehingga pembangunan jangka panjang dibuat secara bertahap. Pada termin pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri produsen sarana produksi peratnian. Pada termin ke 2, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, dibutuhkan bisa menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang harmonis dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal serta eksternal. 

Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara bersiklus dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih berdasarkan 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih menurut 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, taktik serta kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. 

Kebijakan buat menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai menggunakan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian adalah syarat mutlak bagi keberhasilan upaya membangun prakondisi tinggal landas. 

Pentingnya kiprah sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara pula dikemukakan oleh Meier (1995) menjadi berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) dengan menyediakan surplus yg dapat diinvestasikan berdasarkan tabungan serta pajak buat mendukung investasi dalam sektor lain yg berkembang, (tiga) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan menaikkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk dari sektor yg berkembang, serta (4) menggunakan menghapuskan hambatan devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor. 

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru sudah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya pada sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yg relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah menaikkan penerimaan devisa di satu pihak serta penghematan devisa pada lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada taraf tertentu sektor pertanian sudah bisa menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri. 

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kesamaan menurunnya harga produkproduk pertanian yg membuahkan negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh output penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yg ditunjukkan oleh output penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil taraf kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan sang nilai tukar petani (NTP) yang memiliki kecenderungan (demam isu) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya mampu berkembang pada kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi serta menerima intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dipercaya menjadi most-heavily regulated. 

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar dalam terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam taktik pembangunannya. Hal ini tidak terlepas berdasarkan imbas kerangka berpikir pembangunan ketika itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yg lalu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan besar -besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani. 

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh aplikasi pembangunan pertanian dari pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi dalam peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan pedoman horizontal, vertikal dan spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi serta pendapatan petani. 

Oleh karenanya, pengembangan komoditas tak jarang sangat tidak efisien serta keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi serta perlindungan pemerintah, dan kurang sanggup mendorong peningkatan pendapatan petani. 

Menyadari akan hal tersebut pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian wajib diubah berdasarkan pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. 

Memasuki era globalisasi yang dicirikan sang persaingan perdagangan internasional yg sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan aneka macam perlindungan lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien adalah pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan menggunakan hal tadi, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. 

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa imbas yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, taktik pembangunan pertanian wajib lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan kapital dan tenaga kerja terampil serta berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. 

Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian pada struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi serta kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan dalam sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yg menghasilkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat, maka Indonesia balik membuahkan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). 

Peran penting sektor pertanian telah terbukti menurut keberhasilan sektor pertanian dalam waktu krisis ekonomi pada menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yg memadai serta tingkat pertumbuhannya yg positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini sebagai pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan serta mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). 

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) menjadi berikut: 
1. Sektor pertanian masih permanen sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang primer perekonomian desa dimana sebagian akbar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa dalam rangka menaikkan pendapatan sebagian akbar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan pokok penduduk, sebagai akibatnya menggunakan percepatan pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan pada pasar global. 
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yang besar pada indeks harga konsumen, sebagai akibatnya dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor serta mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu mempertinggi kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian menggunakan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. 

Kabinet Indonesia Bersatu sudah memutuskan acara pembangunannya menggunakan memakai strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari taktik pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment serta pro-poor. 

Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tersebut dibuat melalui hal-hal sebagai berikut: 
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja serta membangun lapangan kerja baru. 
3. Revitalisasi pertanian serta perdesaan buat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. 

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran buat menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian pada pembangunan nasional menggunakan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengganti paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian nir hanya sekedar pembuat komoditas buat dikonsumsi. Pertanian harus ditinjau sebagai sektor yg multi-fungsi serta asal kehidupan sebagian besar warga Indonesia. 

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui 3 program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. 

Operasionalisasi acara peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup kondusif dan halal di setiap wilayah setiap waktu, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi acara pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan perlindungan serta kenaikan pangkat lainnya (Departemen Pertanian, 2005c). 

Industrialisasi Pertanian 
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan kenyataan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dicermati bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun juga menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, serta distribusipendapatan yg lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya energi kerja non pertanian, bahan standar buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat menerima lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan menentukan transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang. 

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). 

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian nir sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan output pertanian oleh sektor industri, namun jauh lebih luas menurut itu lantaran meliputi proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan semua rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada pula yg beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring menggunakan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi pada bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu sampai hilir. 

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui prosedur non pasar, sehingga ciri produk akhir yang dipasarkan bisa dijamin dan diadaptasi menggunakan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung pada asosiasi horizontal namun memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yg berkiprah pada seluruh bidang bisnis yang ada dalam satu alur produk vertikal (berdasarkan hulu sampai hilir) dalam satu grup usaha. 

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir seluruh negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian mini negara menggunakan jumlah penduduk yg sedikit serta kekayaan minyak atau asal daya alam (SDA) lainnya yg melimpah, misalnya Kuwait dan Libya, bisa berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yg tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta pada banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu dalam sektor-sektor utama (pertanian dan pertambangan) yg sanggup mencapai taraf pendapatan per kapita pada atas 500 US $ selama jangka panjang. 

Sektor industri diyakini bisa dijadikan sebagai sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya pada suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yg dihasilkan oleh sektor industri mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, dan sanggup membangun nilai tambah (value added) yg besar dibandingkan menggunakan produk-produk yang didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri memiliki variasi produk yang sangat majemuk dan sanggup memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri jua menaruh marjin laba yg lebih menarik bagi para pelaku usaha, serta proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dipercaya sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. 

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya adalah salah satu strategi yg wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur pada permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan serta Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian pada pembentukan PDB dari saat ke waktu dan peningkatan penyerapan energi kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia sudah memasuki proses industrialisasi. 

Proses industrialisasi pada Indonesia sudah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I sampai krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita warga mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Jika hanya mengandalkan menurut sektor pertanian serta sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih berdasarkan 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi homogen-rata sebanyak 7 persen per tahun serta taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). 

Menurut Simatupang serta Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu dalam kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini dapat pula diklaim sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. 

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yg saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa serta penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan serta pembibitan tumbuhan, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), dan industri alat dan mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang membuat komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah aktivitas ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut merupakan industri makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, dan industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran adalah aktivitas ekonomi yg berkaitan menggunakan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa serta penunjang merupakan aktivitas ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang dibutuhkan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan serta premi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, dan transportasi dan pergudangan.

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tadi dapat dilihat pada Gambar.

Gambar Sistem Agribisnis 
Sumber: Badan Agribisnis (1995) 

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yg termasuk ke pada jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yang dalam biasanya nir berlokasi pada perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, dan (b) industri pengolahan output pertanian, misalnya pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan butir, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain. 

Tambunan serta Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, serta kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai waktu ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yg mandiri. Hal ini disinyalir lantaran para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dipercaya menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan. 

Senada menggunakan hal tadi pada atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia merupakan lantaran kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang mini , sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif pada atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju pada Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian pula di Taiwan dalam dasa warsa 1950-an, yg menampakan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala mini serta berlokasi pada perdesaan mampu membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh. 

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi diantaranya menjadi berikut (Tambunan, 2001): 
1. Sektor pertanian yg kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah keliru satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya serta pembangunan ekonomi dalam umumnya sanggup berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti nir ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg bertenaga menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tersebut tinggi yang adalah galat satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai asal pendapatan eksklusif juga tidak pribadi menurut kegiatan pertanian, kentara sektor ini adalah motor utama penggerak industrialisasi. 

Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian pula berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian. 

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah galat satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, contohnya industri makanan dan minuman, industri tekstil serta pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yg baik di sektor pertanian sanggup membuat surplus di sektor tersebut dan ini sanggup menjadi asal investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi). 

Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa usaha buat memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar menggunakan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan sang sektor industri, baik sebagai penyedia bahan standar juga menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi sang imbas keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar. 

Pada Gambar, jumlah hasil berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah kuliner yg dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox adalah bahan standar atau komoditas pertanian yg diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan buat impor sebesar Om, menggunakan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa menghasilkan hasil sebanyak Oi. Misalkan volume produksi di sektor industri semakin tinggi ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebanyak Om'. Produksi semakin tinggi berarti jua kesempatan kerja dan pendapatan rakyat pada negara tadi pula meningkat, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner jua meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian tidak semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' nir bisa dipenuhi. Oleh sebab itu, pada bisnis menaikkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output pada sektor pertanian jua wajib ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. 

Gambar  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001) 

Ilustrasi pada atas menerangkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak bisa mempertinggi outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian. 

Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan 
Konsep dan Ukuran Kemiskinan 
Konsep mengenai kemiskinan sangat majemuk, mulai berdasarkan sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sampai pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau kondisi yg dialami seseorang atau gerombolan orang yg nir bisa menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, nir bisa memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam serta lingkungan hayati, rasa kondusif dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan juga laki-laki . 

Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi serta akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait serta saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak mempunyai loka tinggal, jika sakit tidak mempunyai dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak bisa membaca karena nir mampu bersekolah, nir memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. 

Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) merupakan menjadi berikut: 
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, nir dapat melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak bisa makan dua kali sehari, nir memiliki pakaian tidak sinkron buat di tempat tinggal , bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah dan tidak sanggup membawa anggota famili ke sarana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu famili makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel sandang baru, serta (c) luas lantai tempat tinggal paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan keluarga yang lantaran alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 
(a) dalam umumnya semua anggota famili makan 2 kali sehari atau lebih, (b) anggota famili memiliki pakaian berbeda buat pada rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yg layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari. 

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis serta kemiskinan ad interim. Kemiskinan absolut, adalah bila taraf pendapatan seorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), diantaranya kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan buat hidup serta bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seorang memiliki penghasilan pada atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan menggunakan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan kasus pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yg belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam perilaku seorang atau warga yang disebabkan sang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong perilaku serta norma hidup warga yg tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya serta keterisolasian (daerah-wilayah kritis asal daya alam dan wilayah terpencil), serta (c) rendahnya taraf pendidikan serta derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja serta ketidak berdayaan warga dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, serta (c) bencana alam atau efek berdasarkan suatu kebijakan tertentu yg mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 

Menurut Darwis serta Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan bisa dihitung menggunakan memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan menurut taraf produksi, contohnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan lantaran kesulitan buat memperoleh data pendapatan rumah tangga yang seksama. Untuk mengatasi kesulitan tadi, maka garis kemiskinan dipengaruhi dengan pendekatan pengeluaran yg digunakan menjadi proksi atau asumsi pendapatan rumah tangga. 

Garis kemiskinan yang digunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan konsumsi yg setara menggunakan dua 100 kalori per kapita ditambah menggunakan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan warga yang sesungguhnya karena pengeluaran utama pada luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). 

Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, bisa dihitung jumlah penduduk miskin pada suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara wilayah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan pada perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai menggunakan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di ke 2 daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan taraf harga kebutuhan pokok rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). 

Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas adalah menjadi berikut (Yudhoyono serta Harniati, 2004; Nanga,2006; serta Foster et al., 1984): 
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam famili dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya diklaim poverty headcount index, yg merupakan ukuran kasar menurut kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa poly orang miskin yang terdapat pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yg sama besarnya, nir ada disparitas antara penduduk yg paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin. 

2. Depth of poverty, yg mendeskripsikan taraf kedalaman kemiskinan pada suatu daerah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jeda atau perbedaan homogen-rata pendapatan orang miskin berdasarkan garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 

3. Severity of poverty, yang menerangkan kepelikan kemiskinan di suatu daerah, yang merupakan rata-rata dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yg memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini pula acapkali dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). 

Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yg dapat dibagi ke pada dua grup pendekatan yaitu asiomatic approach serta stochastic dominance. Pendekatan yang acapkali dipakai pada studi-studi realitas merupakan pendekatan pertama menggunakan 3 alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, serta (tiga) Gini coefficient. 

Rumus GE bisa dituliskan sebagai berikut:

dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di pada sampel, yi adalah pendapatan berdasarkan individu (1, 2, ....., n), serta y = (1/n) ∑ yi merupakan ukuran homogen-homogen pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan menurut semua individu di dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yang sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari gerombolan yg tidak sama pada dalam distribusi tadi. 

Dari persamaan (2.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson menjadi berikut:

dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), meningkat nilai ε maka semakin nir seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan pada distribusi pendapatan. 

Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan dalam setiap studi realitas mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:

dimana: G merupakan nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, serta F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang paripurna (setiap orang mendapat porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) pada suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. 

Dengan memakai grafik, rasio Gini dapat digambarkan menggunakan Kurva Lorenz seperti yg disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara wilayah pada dalam grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz serta garis kemerataan paripurna (yg membangun sudut 45 berdasarkan titik 0 sumbu Y dan X) terhadap wilayah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz 
Sumber: Tambunan (2001) 

Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dipandang dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu menggunakan tingkat kemiskinan p yang tidak sinkron. 

Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yg miskin serta 0 buat yg kaya (yg mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). 

Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 donasi seseorang dalam tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yg dinormalkan merupakan yg berada dalam daerah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yang lebih akbar, contohnya kontribusi buat P(z;α=tiga) menurut individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=tiga) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).

Gambar  Poverty Gaps serta FGT Indeks 
Sumber: Foster et al. (1984) 

Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang dapat dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hayati berdasarkan masyarakat dimana pendapatan sebagai acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. 

Kemiskinan Perdesaaan 
Desa sampai ketika ini tetap menjadi kantong primer kemiskinan. Pada tahun 1998 berdasarkan 49.lima juta jiwa penduduk miskin pada Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan berdasarkan 49.5 juta jiwa menjadi 37.lima juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, namun persentase kemiskinan pada wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan menurut 60 % tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yg menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, daerah perdesaan hingga waktu ini permanen sebagai kantong terbesar menurut pusat kemiskinan. 

Menurut Sumedi serta Supadi (2004), tingkat pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan lantaran sebagian akbar rakyat miskin pada perdesaan memiliki taraf pendapatan di lebih kurang batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya pemugaran struktur perekonomian yg berhasil menaikkan pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin pada perdesaan lebih akbar daripada pada perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin pada perdesaan pula lebih akbar. 

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mensugesti indeks kemiskinan pada daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis serta Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih berdasarkan 70 persen ketua tempat tinggal tangga miskin pada perdesaan tidak tamat SD dan kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumah tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yg lebih akbar dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota tempat tinggal tangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yang tidak tergolong miskin. 

Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menerangkan bahwa lebih berdasarkan 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja pada sektor pertanian pada perdesaan, disusul pada aktivitas pada sektor perdagangan menjadi pedagang kecil (10 persen), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada biasanya sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-aktivitas yang mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. 

Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yg minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif serta permodalan.

Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yang ditimbulkan oleh ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 % menurut 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan pada sektor pertanian juga ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yg terbatas jua menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik dua % tahun 2000 menjadi 10 %. 

Kondisi tersebut di atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yg menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai di perdesaan serta sangat berhubungan dengan: (a) pola kepemilikan lahan serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, dan (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari banyak sekali golongan rumah tangga mempunyai perbedaan pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan huma (land endowment) dan kapital manusia (human capital). Hal ini berarti masih ada hubungan yg tinggi antara baku hayati dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara baku hidup menggunakan taraf pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yg tergolong tidak memiliki huma dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yg terbatas, bila nir mendapat donasi dan transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus karam dalam kemiskinannya. 

Model Keseimbangan Umum 
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu pasar nir hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, impak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori keseimbangan parsial. 

Teori keseimbangan umum menyebutkan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yg saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga ekuilibrium yg terwujud adalah solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar. 

Menurut paham teori ekuilibrium umum, bila pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yg mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti oleh penyesuaian pada pasar yg bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada seluruh jenis barang di seluruh pasar yang berlaku bagi pembuat dan konsumen disebut sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis). 

Analisis ekuilibrium generik adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, diantaranya rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi contoh ekuilibrium umum menjadi sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi penyelesaiannya. John von Neuman selanjutnya berhasil mengambarkan adanya keseimbangan generik, menggunakan sebuah contoh dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model ekuilibrium generik versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik contoh ini memakai asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, serta bila n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. 

Pembuktian Walras tentang adanya titik ekuilibrium umum tadi dilakukan dengan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand nir tergantung dalam fungsi lainnya. 

Formula ini dapat dituliskan menjadi berikut:

Persamaan (2.5) pada atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi pada semua jenis barang atau komoditas yang diproduksi (Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui dalam saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula. 

Fondasi yg kokoh dari contoh keseimbangan umum berhasil dibangun sang Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yg pertanda bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, mempunyai solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta tidak masih ada skala pengembalian yg meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang nir kompetitif paripurna, titik keseimbangan generik nir selalu ada. 

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), masih ada 3 ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan sang Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan menurut solusi model diperoleh harga dan kuantitas berdasarkan setiap barang yg diidentifikasi sebagai ekuilibrium umum. Kedua, Herbert Scarf dalam tahun 1970 merumuskan penyelesaian contoh CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE menjadi sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan solusinya menghasilkan harga bayangan (shadow prices) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam syarat ekuilibrium generik. 

Uraian tersebut pada atas memberitahuakn bahwa contoh CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum contoh multimarket serta memakai ekuilibrium pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg tidak sama ke pada suatu keseimbangan. 

Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada pada keadaan ekuilibrium serta mempunyai struktur yang khusus buat mencapai ekuilibrium apabila masih ada guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001). 

Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, serta bentuk-bentuk fungsi menurut persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara umum mencakup produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. 

Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa menggunakan sitem persamaan yg komprehensif, contoh CGE memiliki keunggulan pada mengungkapkan impak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara holistik menurut suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan efek sosial ekonomi berdasarkan sebuah skenario yang luas yg meliputi beberapa hal. 

Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (contohnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan pada harga komoditas ekspor primer suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yg sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini jua telah digunakan buat melihat perubahan berukuran serta komposisi dalam pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan pada struktur sosial ekonomi domestik, misalnya perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, serta pembentukan kapital sumberdaya insan. 

Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa contoh CGE dapat dipakai buat mensimulasi impak dari kebijakan perdagangan serta impak perubahan ekonomi berdasarkan berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan contoh CGE tidak hanya pada contoh perdagangan internasional namun pula dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, serta perubahan transisi serta ekonomi pasar. 

Model tadi dapat menganalisis sensitivitas berdasarkan alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan dari sektor eksternal, ad interim analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat permanen. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan mencakup parameter elastisitas serta input-hasil data, sebagai akibatnya model CGE merupakan indera analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. 

Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar bisa diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi menurut Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yang dikutip sang Sadoulet serta de Janvry (1995). 

Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE 

Menurut Nicholson (1994), properties menurut kondisi ekuilibrium generik adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik namun nir seorangpun sebagai lebih buruk. Dengan demikian, apabila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka syarat ini dianggap pareto optimum.

Efisiensi pareto terjadi pada waktu ekuilibrium umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi asal (ekuilibrium produksi), efisiensi distribusi komoditas (ekuilibrium konsumsi) serta efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut pada perkara satu konsumen, 2 faktor produksi dan dua komoditas. 

Keseimbangan Produksi 
Nicholson (1994) beropini bahwa pembuat akan berada pada kondisi keseimbangan apabila marginal rate of technical substitution (MRTS) antara 2 faktor produksi yg digunakan sama menggunakan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) serta kapital (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. 

Pada perkara 2 perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang tidak sama yaitu x1 dan x2, ekuilibrium simultan yg terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8). 

Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi 
Sumber: Nicholson (1994) 

Paga Gambar, nampak bahwa ekuilibrium simultan antara 2 produk x1 serta x2 tercapai dalam waktu isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf output. Titik-titik singgung tadi membentuk kurva yg diklaim contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yg akan diproduksi dipengaruhi sang rasio harga faktor. Secara matematis pertarungan pada atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

dimana MRTS merupakan slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yang tercapai dalam ketika MRTS buat seluruh jenis hasil merupakan sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah hasil x1 dan x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, bisa dipengaruhi. 

Tingkat output x1 serta x2 yang diproduksi perusahaan harus sinkron menggunakan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 serta p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, diperlukan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)

Gambar  Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994) 

PPC diderivasi berdasarkan CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yang menggambarkan banyak sekali tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT). 

Berdasarkan definisi:


Keseimbangan Konsumsi 
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka wajib diketahui konsep taraf pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS memberitahuakn kesediaan seorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga nisbi ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat dipengaruhi menjadi berikut: 

Fungsi kepuasan U = f(X) menggunakan pendapatan (I), sebagai akibatnya didapatkan:



Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi 
Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai dalam waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menampakan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menampakan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila planning produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi berdasarkan ekuilibrium simultan ini adalah bahwa kombinasi hasil x1 dan x2 wajib optimal baik menurut sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.

Gambar  Keseimbangan Simultan Sektor Produksi serta Konsumsi 
Sumber: Nicholson (1994)