PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi mencakup banyak sekali aspek perubahan dalam aktivitas ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yang dicapai suatu negara sudah semakin tinggi, tidak mudah buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg mengakibatkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan pada jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita warga pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi menggunakan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra menurut pembangunan ekonomi meningkat, Dengan memakai data pendapatan perkapita selalu menggambarkan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai banyak sekali negara
2. Tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu berukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun eksklusif bila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk dan perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena akselerasi pertumbuhan ekonomi :
1. Hasrat negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang serta jasa yang diproduksikan pada suatu negara dalam suatu tahun eksklusif – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung dari :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yg berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga permanen – riil
Menurut harga yang berlaku pada tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif dalam perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air dan gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank dan forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan taraf kesejahteraan warga menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita nir sepenuhnya mencerminkan taraf kesejahteraan serta taraf pembangunan suatu negara, lantaran :
1. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber berdasarkan kenyataan bahwa taraf kesejahteraan warga bukan saja ditentukan sang tingkat pendapatan mereka tetapi pula sang faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri juga mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yang keliru / terlalu rendah terhadap negara miskin karena jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan tersebar di banyak sekali pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga kedua negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain memilih pendapatan berdasarkan tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian nir menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / saat senggang tinggi
- pembangunan ekonomi tidak hanya buat menaikkan pendapatan warga tetapi jua harus mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- imbas adat istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan dalam pembangunan ekonomi
Hasil analisis dari M.S. Ahluwalia ; tentang keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang aneka macam golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai taraf pendapatan tertentu atau kurang menurut itu

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi meliputi banyak sekali aspek perubahan dalam kegiatan ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yg dicapai suatu negara telah semakin tinggi, nir gampang buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan dalam jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra berdasarkan pembangunan ekonomi meningkat, Dengan menggunakan data pendapatan perkapita selalu mendeskripsikan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai aneka macam negara
2. Tingkat perkembangannya menurut tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu ukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian pada suatu tahun tertentu apabila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk serta perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena percepatan pertumbuhan ekonomi :
1. Impian negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang dan jasa yang diproduksikan dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung berdasarkan :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yang berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga tetap – riil
Menurut harga yang berlaku dalam tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif pada perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air serta gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan serta komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank serta forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan tingkat kesejahteraan rakyat menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan serta tingkat pembangunan suatu negara, karena :
1. Kelemahan-kelemahan yg bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan saja ditentukan oleh tingkat pendapatan mereka namun pula oleh faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri maupun mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yg galat / terlalu rendah terhadap negara miskin lantaran jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan beredar pada berbagai pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga ke 2 negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain menentukan pendapatan menurut tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian tidak menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / waktu senggang tinggi
- pembangunan ekonomi nir hanya buat menaikkan pendapatan rakyat namun pula wajib mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- impak tata cara istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan pada pembangunan ekonomi
Hasil analisis berdasarkan M.S. Ahluwalia ; mengenai keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang banyak sekali golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari itu

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional
A. Mukadimah
Hukum adalah produk politik, sebagai akibatnya ketika membahas politik aturan cenderung mendiskripsikan impak politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan aturan. Hukum adalah hasil tarik-menarik banyak sekali kekuatan politik yang mengejawantah pada produk aturan. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (aturan positif) menurut ius contituendum (hukum yg akan serta wajib ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan pada kehidupan warga . Politik hukum terkadang juga dikaitkan menggunakan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik aturan jua didefinisikan sebagai pembangunan hukum. Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sebagai akibatnya pembuatan undang-undang sarat menggunakan kepentingan-kepentingan eksklusif. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan serta pergumulan antar-kepentingan. 

Badan produsen undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan serta kepentingan yang ada dalam rakyat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan penghasil undang-undang sebagai penting lantaran pembuatan undang-undang terkini bukan sekadar merumuskan materi hukum secara standar berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan menciptakan putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan pada badan produsen undang-undang, intervensi-hegemoni berdasarkan luar nir bisa diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama sang golongan yg memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah pada bidang politik telah lazim, begitu juga pada negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai waktu ini pemerintah sangat mayoritas pada dalam mewarnai politik hukum pada Indonesia.

Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian mengenai bagaimana politik mempengaruhi aturan dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yg terdapat di belakang pembuatan serta penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi rakyat yg bersangkutan, karena hal itu terdapat hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu pada suatu rakyat.

Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik aturan itu adalah produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis pada banyak sekali grup serta budaya. Ketika elit politik Islam mempunyai daya tawar yg kuat dalam hubungan politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun mempunyai peluang yg sangat besar . Begitupula kebalikannya ketika menengok sejarah pada masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dipandang menjadi hukum jika diresepsi ke dalam hukum istiadat, itu pun dalam strata ketiga sesudah hukum Eropah serta hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India). Indonesia yang adalah negara jajahan Belanda, sudah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi serta proses perkembangan sistem aturan asing ke dalam hukum warga pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan aturan Islam merupakan tuntutan berdasarkan fenomena nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam pada bidang hukum, pencerahan berhukum pada syari’at Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah tewas dan selalu hidup pada sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal serta hukum norma mempunyai akar bertenaga buat tampil memperlihatkan konsep aturan dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima sang siapa saja serta pada mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan semua alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun pada realitanya sudah membumi dan menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), serta poly dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus masalah, tetapi khusus pada bidang ekonomi masih belum adalah undang-undang negara. Oleh karenanya pelembagaan aturan Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur perkara aktivitas di bidang ekonomi syari’ah adalah suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam khususnya, dan bagi para pelaku bisnis di bidang ekonomi syari’ah pada umumnya.

Secara sosiologis, aturan merupakan refleksi dari rapikan nilai yg diyakini warga menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan aturan yg berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi warga yang tumbuh serta berkembang bukan hanya yg bersifat kekinian, melainkan jua sebagai acuan pada mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Pluralitas agama, sosial serta budaya pada Indonesia tidak cukup menjadi alasan buat membatasi implementasi aturan Islam hanya sebagai aturan keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) contohnya, aturan perbankan dan perdagangan bisa diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah pada Indonesia pada perkembangannya sudah mengalami pertumbuhan yang signifikan, tetapi banyak menyisakan perseteruan karena belum terakomodir secara baik pada regulasi formil yg dijadikan acum oleh Pengadilan Agama sebagai forum yang berwenang menuntaskan duduk perkara tadi. Hal ini wajar, mengingat belum adanya aturan subtansial pada bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. 

Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas aturan dalam batas-batas eksklusif. Pemberlakuan aturan istiadat dan aturan agama buat lingkungan tertentu dan subyek hukum eksklusif merupakan lumrah lantaran nir mungkin memaksakan satu unifikasi aturan buat beberapa bidang kehidupan. Oleh karenanya nir perlu dipersoalkan apabila terhadap subyek hukum Islam -yg melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya masuk akal jua pada hubungan famili terkadang aturan tata cara setempat lebih dominan. 

Prinsip unifikasi hukum memang wajib jadi pedoman, namun sejauh unifikasi nir mungkin, maka pluralitas aturan haruslah secara realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima menjadi bagian dari tatanan hukum nasional. 

Untuk memenuhi kebutuhan aturan terhadap bidang-bidang yg tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan serta kewenangan yg terdapat padanya bisa mengakui atau mempertahankan aturan yang hidup dalam warga , sekalipun itu bukan produk hukum negara, misalnya aturan istiadat yang merupakan warisan nenek moyang, aturan Islam yg bersumber menurut ajaran kepercayaan serta aturan Barat yg merupakan peninggalan kolonialis.

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional
Dari perspektif sistem aturan nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yg oleh Friedman diklaim menjadi “people attitudes” yg mengandung hal-hal seperti pada atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia merupakan suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita serta asa-harapan. Dengan unsur-unsur tadi, paham negara kesatuan bagi masyarakat Indonesia memiliki makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional adalah pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, dari Solly Lubis, pada praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik dan hukum.

Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama sudah lama diakaui eksistensinya, tetapi masih belum mempunyai kitab aturan yg dijadikan standarisasi bagi hakim pada memutus perkara selevel KUHPdt. Suatu hal yang perlu dicatat merupakan sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif juga legislatif buat merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui acara legislasi nasional itu, hukum Islam nir hanya mejadi hukum positif, namun kadar hukum itu akan menjadi bagian terbesar dari aplikasi aturan termasuk diantaranya hukum Islam yg mengatur kasus ekonomi syari’ah. 

Pendekatan yang bisa dipakai menjadi upaya mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah ke pada hukum nasional merupakan meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des rechts). Menurut teori ini berlakunya sutu hukum wajib dapat dikembalikan pada aturan yang lebih tinggi kedudukannya yakni:
  1. Ada asa hukum (rechtsidee) yg adalah norma tak berbentuk.
  2. Ada kebiasaan antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yg dipakai menjadi mediator buat mencapai keinginan.
  3. Ada norma konkrit (concrete norm), menjadi output penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan.
D. Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri utamanya merupakan peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun memiliki sumber-asal tertulis pada al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para fuqaha (doktrin fikih) dalam umumnya tidak terkodifikasi pada bentuk buku perundang-undangan yg gampang dirujuki. Oleh karenanya, hukum Islam pada Indonesia misalnya halnya jua hukum tata cara, seringkali dilihat menjadi hukum tidak tertulis pada bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yg menghendaki pemberlakuan ekonomi syari’ah menjadi hukum positif pula wajib mengupayakan politik hukum melalui proses legislasi menggunakan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yg diajukan pada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan persetujuan. Berkenaan menggunakan proses legislasi, bisa dikatakan meliputi aktivitas mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.

Mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah pada bentuk Peraturan Perundang-undangan yg baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis serta politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tadi. Moral serta etika dalam dasarnya berisi nilai-nilai yg baik serta yg jelek, sedangkan nilai yang baik adalah pandangan serta cita-cita yang dijunjung tinggi yg di dalamnya terdapat nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan dan banyak sekali nilai lainnya yang dipercaya baik. 

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya harus sinkron menggunakan keyakinan umum atau pencerahan hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yg dibentuk ditaati sang rakyat. Hukum yg dibuat harus sinkron dengan “hukum yg hayati” (the living law) pada warga , namun produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), sebab bila masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan warga wajib dapat diprediksi serta terakumulasi pada peraturan perundang-undangan yg berorientasi masa depan. 

Landasan yuridis, adalah landasan aturan (yurisdische gelding) yg menjadi dasar wewenang (bevoegdheid competentie). Dasar aturan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seseorang pejabat atau suatu badan merupakan nir berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. 

Landasan Politis, adalah garis kebijaksanaan politik yang sebagai dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan serta pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan program legislasi nasional

Kecenderungan contoh pengembangan aturan Islam di Indonesia berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yang berkembang pada luar undang-undang). Diantara ke 2 jalur tadi, kesamaan pada jalur kedua lebih poly mewarnai praktek penerapan aturan Islam pada Pengadilan Agama. Hal ini dimaklumi lantaran proses legislasi aturan Islam pada Indonesia selalu menghadapi hambatan struktural dan kultural, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, para pendukung sistem aturan Islam belum tentu beranggapan bahwa aturan Islam itu menjadi suatu sistem yg belum final, perlu dikembangkan dalam konteks hukum nasional. Sedangkan hambatan eksternal yakni struktur politik yang ada belum tentu mendukung proses legislasi aturan Islam.

Kendatipun pada prakteknya legislasi bukan adalah kesamaan, namun pengembangan aturan Islam melalui jalur legislasi-terutama yang mengatur bidang ekonomi syari’ah- permanen diperlukan karena:
  1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syari’ah sifatnya urgen terkait dengan wewenang baru Pengadilan Agama pada menuntaskan sengketa pada bidang tadi, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Juga melihat kebutuhan aturan dewasa ini, legislasi adalah tuntutan obyektif, lantaran akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti serta mengikat secara yuridis formal.
  2. Materi aturan ekonomi syari’ah merupakan merupakan hukum privat Islam bukan aturan publik, sehingga apabila bidang ini diangkat ke jalur legislasi nir akan memunculkan konflik berfokus, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yg universal dan netral.
D. Prospek Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Ranah Sistem Hukum Nasional
Mengusung hokum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk dan proses. Dalam hal subtansi sebagaimana telah dikemukakan pada depan, yakni berupa doktrin-doktrin yg terdapat dalam kitab fikih, ijtihad serta fatwa para ulama, dan putusan hakim pada bentuk yurisprudensi dan yang telah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan –khususnya KHES-, merupakan acuan yg nir bisa diabaikan. Dalam hal bentuk, yg perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya diadaptasi dengan tingkatan hirarkis perundang-undangan di negara Republik Indonesia berdasarkan Tap MPRS Nomor XXX/1966. Sedangkan pada hal proses tergantung dalam yg dipilih, karena legislasi hukum ekonomi syari’ah menjurus pada bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah serta peraturan-peraturan dibawahnya, namun demikian melihat fenomena yang ada, lahirnya undang-undang mengenai ekonomi syari’ah memiliki peluang yg relatif akbar, bebarapa hal krusial yang berpotensi sebagai faktor pendukung yakni antara lain:
  • Subtansi aturan ekonomi syariah yg established (sudah mapan), disamping sudah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang sudah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun pada dalam warga , juga ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yg sudah lama digagas oleh para ahli aturan Islam pada Indonesia.
  • Produk legislasi merupakan produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam wajib menerima dukungan bunyi dominan di lembaga pembentuk hukum dan kabar politik menampakan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas pada Indonesia, namun memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk aturan nasional yang bernuansa Islami, misalnya halnya: 
  1. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya bisa dipandang pada pasal 1 ayat (12), Pasal 6 alfabet (u), pasal 7 alfabet ©, pasal 8 ayat (1) dan ayat (dua), pasal 11 ayat (1) serta ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) huruf ©.
  2. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yg semakin memperkuat kedudukan aktivitas ekonomi syari’ah pada Indonesia.
  3. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;
  4. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat;
  5. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 mengenai Nangroe Aceh Darussalam yg memberi swatantra spesifik kepada Daerah Istimewa Aceh buat menerapkan syari’at Islam, hal ini memberitahuakn bahwa ajaran Islam sudah terimplementasi pada kehidupan sehari-hari warga Islam. 
  6. Lahirnya UU No. Tiga Tahun 2006 menjadi hasil amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yg memberikan wewenang baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Dalam perjalanannya amandemen undang-undang ini nir menemui kendala yg berarti dibandingkan menggunakan lahirnya undang-undang sebelumnya.
  7. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Diharapkan menjadi kran pembuka terhadap Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.
  8. Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 dalam lepas 10 September 2008 mengenai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, meskipun ketika ini kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan bisa diperjuangkan melalui jalur legislasi menjadi buku undang-undang.
  • Selain yang berbentuk peraturan perundang-undangan pula berbentuk fatwa-fatwa para ulama yg diterbitkan sang Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Fatwa-fatwa tersebut sebagai dasar aplikasi aktivitas dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang membuka cabang syari’ah. Tetapi demikian fatwa-fatwa di atas belum mengakomodir semua item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Juga perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil saja berdasarkan fatwa-fatwa tersebut yg sudah terserap dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
  • 3) Materi aturan yg hendak diusung ke jalur legislasi meliputi hukum privat yg bersifat universal serta netral sebagai akibatnya nir memancing sentimen kepercayaan lain. Kemungkinan besar nir akan mengakibatkan gejolak sosial yg cost-nya sangat mahal.
  • Sistem politik Indonesia menaruh peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi buat melegislasikan hukum Islam.
  • Pada tataran yuridis konstitusional, dari Sila Pertama Pancasila serta Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, hukum Islam merupakan bagian dari aturan nasional serta harus ditampung pada pembinaan aturan nasional, serta sejalan dengan program legislasi nasional.
Dibalik peluang legislasi yang terbuka lebar, ada beberapa tantangan yg perlu diantisipasi yakni:
  1. Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yg sebagian menolak gagasan legislasi.
  2. Perbedaan pendapat pada kalangan intern Islam mengenai subtansi hukum (ekonomi syari’ah) yang yang akan diundangkan kemungkinan terdapat ikhtilafi (ada disparitas pendapat).
  3. Adanya resistensi menurut kalangan non muslim yang menduga legislasi aturan Islam “ekonomi syari’ah” di Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai warga negara kelas 2) dan ini jua dipicu sang sikap serta pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yg justru kontra produktif bagi perjuangan aturan Islam.
Hukum ekonomi syari’ah yang diusung ke jalur legislasi pada bentuk kitab atau buku undang-undang yang tersusun rapi, simpel serta sistematis bukan hanya berasal berdasarkan satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih dan di-tarjih (menguatkan galat satu menurut beberapa pendapat madzhab) menurut aneka macam pendapat madzhab fikih yg lebih sinkron dengan syarat dan kemaslahatan yg menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan perilaku ta’assub (fanatik) madzhab, seperti fikih madzhab Hanafi yg digunakan pada kerajaan Turki dalam tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yang dipakai pada daerah Mesir dan Suriah dan fikih madzhab Imam Malik yg digunakan di Irak.

E. Aspek Positif dan Aspek Negatif Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
a. Aspek-aspek Positif:
Selanjutnya perlu dikemukakan kelebihan serta kelemahan aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Algra serta Duyyendijk kelebihan menurut bentuk perundang-undangan dibandingkan menggunakan norma-kebiasaan lain merupakan:
1) Tingkat prediktibilitasnya tinggi. Adanya citra hukum secara niscaya sebelum suatu perbuatan itu dilakukan warga , sehingga sudah mampu diprediksi akibat hukumnya.
2) Perundang-undangan pula memberikan kepastian tentang nilai yg dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibentuk, maka sebagai pasti juga nilai yang hendak dilindungi sang peraturan tersebut. Oleh karenanya orang nir perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak. 

Sedangkan menurut ulama fikih, sisi positif aturan Islam dalam bentuk perundang-undangan diantaranya:
  1. Memudahkan para praktisi aturan buat merujuk hukum sinkron menggunakan keinginannya. Kitab-kitab fikih yang beredar di global Islam penuh dengan disparitas pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah, para hakim / praktisi hukum nir perlu lagi mentarjih aneka macam pendapat pada literatur fikih.
  2. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh menggunakan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi jua perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yg sama, sehingga sulit buat menentukan pendapat terkuat menurut sekian poly pendapat dalam satu madzhab. Keadaan misalnya ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang umum ) buat menentukan aturan yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yg berperkara tadi bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sebagai akibatnya hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yg sinkron dengan pendapat yang bertenaga akan lebih mudah dan mudah dirujuk oleh para hakim, apalagi pada zaman terkini ini para hakim dalam umumnya belum memenuhi kondisi-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan sang ulama.
  3. Menghindari perilaku taqlid madzhab di kalangan praktisi hukum, yang selama ini menjadi hambatan pada lembaga-forum aturan.
  4. Menciptakan unifikasi hukum bagi forum-lembaga peradilan. Jika hukum pada suatu negara nir hanya satu, maka akan timbul perbedaan keputusan antara satu peradilan dengan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi pula mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya.
b. Aspek-aspek Negatif: 
Di samping sisi positif juga kelebihan-kelebihan pada atas, aturan Islam pada bentuk perundang-undangan pula mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana dikemukakan sang Satjipto Rahardjo antara lain:
1) Norma-normanya sebagai kaku.
2) Mengabaikan perbedaan-disparitas atau karakteristik-ciri spesifik yang nir bisa disamaratakan begitu saja. 

Selain itu, buat mengganti hukum yg berbentuk perundang-undangan memerlukan rapikan cara tertentu, sehingga membutuhkan waktu, porto dan persiapan yg nir kecil. 

Sedangkan menurut Ibnu al-Muqaffa sisi negatif pelembagaan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Munculnya kekakuan aturan, sedangkan insan dengan segala dilema kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini tak jarang nir diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam duduk perkara ini ulama fikih menyatakan,”Hukum sanggup terbatas, sedangkan perkara yg terjadi nir terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam nir dimaksudkan berlaku sepanjang masa, namun hanya buat menjawab masalah yang timbul dalam suatu kondisi, masa, serta tempat eksklusif. Oleh karenanya, hukum senantiasa perlu diadaptasi dengan syarat, loka, zaman yang lain. Tidak sporadis ditemukan bahwa peristiwa yg menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan menggunakan aturan itu sendiri. Oleh karena itu. Adanya undang-undang bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
  2. Mandegnya upaya ijtihad. 
  3. Munculnya dilema taklid baru. 
c. Menakar Aspek Positif serta Aspek Negatif 
Menganalisa sisi positif dan sisi negatif, kekuatan serta kelemahan bentuk perundang-undangan menurut aturan Islam yang mengatur mengenai ekonomi syari’ah, maka dengan memperhatikan syarat yg berkembang pada Pengadilan Agama serta tradisi aturan yang dianut sang negara Indonesia, maka dari irit penulis, pelembagaan aturan ekonomi syari’ah pada bentuk perundang-undangan tetap merupakan pilihan tepat.

Kehadiran undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah tidak perlu diperdebatkan, keberadaannya di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat terutama pelaku bisnis syariah, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan menjadi landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan konkurensi ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagaimana teori kontrak social, maka diharapkan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya lantaran berhubungan dengan ketertiban umum pada pelaksanaannya.

Adapun pembentukan undang-undang yang mengatur kegiatan pada bidang ekonomi syari’ah yang akan datang berdasarkan ekonomis penulis, seharusnya mempertimbangkan:
1. Mendahulukan pengaturan aspek-aspek ekonomi syari’ah yg bersifat lex generalis menggunakan alasan kebutuhan terhadap undang-undang yang mengatur kasus ekonomi syari’ah sifatnya urgen, lantaran dasar aturan yg digunakan saat ini, baik oleh para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah maupun Hakim Pengadilan Agama dalam menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah merupakan KHES atau fikih muamalah. 
2. Dalam penyusunan undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah –disamping mengakibatkan KHES sebagai acuan primer- pula perlu mempertimbangkan beberapa fatwa yang sudah diterbitkan sang DSN, baik yg terserap pada PBI dan SEBI juga yang tidak terserap, karena telah konkret bahwa lahirnya fatwa-fatwa pada atas merupakan sebagai respon menurut beberapa konflik riil yang dimintakan fatwa berkenaan dengan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yg tengah berjalan. 
3. Perlu jua mempertimbangkan pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) pada menyelesaikan sengketa antara bank syari’ah dan nasabahnya, hal ini nantinya dapat dijadikan acuan dan masukan bagi Peradilan Agama pada merampungkan sengketa ekonomi syari’ah pada masa depan. Melihat masalah-kasus arbitrase syari’ah yang diajukan ke BASYARNAS, tampak dengan kentara bahwa masalah inti merupakan kontrak antara penyedia dana menjadi investor, bank sebagai pengelola dana, serta nasabah menjadi pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus jua sebagai pengelola dana pada satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana pada pihak lain. Kontrak yg paling generik dilakukan merupakan akad mudharabah, akad musyarakah, akad murabahah serta lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fikih aneka macam madzhab. Dalam penyelesaian konkurensi, BASYARNAS memakai 2 aturan yg tidak selaras, yaitu aturan Islam sebagaimana diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal KUHPerdata (khususnya mengenai perjanjian). Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syari’ah secara spesifik serta ekonomi syari’ah secara generik.
4. Disampng KHES, -buat penyempurnaan- perlu pula mempertimbangkan serta mengkomparasikan dengan Pasal-pasal dalam KUHD dan KUHPerdata khususnya yg berkenaan dengan perjanjian, karena:
a) Pasal-pasal tersebut selama ini sudah lazim pada gunakan dasar untuk mengadakan kontrak di bidang ekonomi di Indonesia, seperti jual beli, sewa menyewa perjanjian kerja, perjanjian bisnis dalam bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruiklening), peminjaman dengan bagi output, perjanjian pertanggungan (asuransi), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yg merupakan perjanjian-perjanjian dengan nama misalnya disebut pada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta perjanjian-perjanjian lain menggunakan nama apapun jua, atau bahkan tanpa nama, bila kaum muslimin menghendaki, maka melalui asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa sepenuhnya melakukannya berdasarkan ajaran-ajaran dan akhlak Islam, sebagai akibatnya seluruh perbuatannya tadi akan tunduk pada serta terhadapnya berlaku aturan Islam. Dengan demikian, maka praktis dalam seluruh kehidupan keperdataan atau muamalah, bagi umat Islam pada Indonesia sudah bisa diberlakukan hukum Islam, asalkan mereka menghendaki.

Seperti halnya dinyatakan pada pasal 1338 KUH Perdata yg menganut asas kebebasan berkontrak, ini berarti setiap individu anggota rakyat bebas membuat atau mengikat perjanjian menggunakan individu anggota mayarakat lain berdasarkan kehendaknya, sepanjang sesuai menggunakan undang-undang dan nir bertentangan menggunakan ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal tersebut pula tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Bahkan lebih berdasarkan itu, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yg membuatnya. Dari ketentuan pasal tadi, semua pakar aturan putusan bulat menyimpulkan bahwa pada hal hukum perjanjian, hukum positif (aturan yang berlaku) pada Indonesia menganut system “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas buat menciptakan perjanjian apa dan bagaimanapun pula, sepanjang pembuatannya dilakukan sinkron menggunakan undang-undang serta isinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta atau kesusilaan. Tetapi yang perlu mendapat stressing pada sini adalah aspek syariat yg menyangkut etika transaksi dan pemahaman batasan-batasan syariat yang mencakup rukun dan syarat-syarat akad yang masih ada pada asas-asas kontrak menurut hukun Islam yg mungkin pada penerapannya berbeda dengan kitab undang-undang hukum pidana.

Asas aturan ini pada keadaan bagaimanapun nir mungkin dihilangkan berdasarkan tatanan hidup umat insan pada masyarakat yg beradab, lantaran kebebasan individu merupakan merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak suatu kekuasaanpun, termasuk kekuasaan negara berhak mencabutnya. Asas kebebasan berkontrak di dalam kegiatan keperdataan tersebut sangat sinkron menggunakan pengertian “ibadah muamalah”.

Dengan kelarnya undang-undang yang mengatur ekonomi syari’ah, maka tidaklah mustahil, dalam masa-masa mendatang engkau muslimin Indonesia dalam menjalankan aktivitas usaha mereka pada segala bidang keperdataan, akan membuahkan undang-undang tadi menjadi landasannya. Masalahnya adalah sederhana, mereka ingin supaya semua kegiatan hayati mereka, sinkron dengan rasa keimanan serta keyakinannya, hal ini tidak bertentangan menggunakan jiwa Pancasila.

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Sistem Hukum Nasional
A. Mukadimah
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik aturan cenderung mendiskripsikan efek politik terhadap aturan atau impak sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum adalah output tarik-menarik banyak sekali kekuatan politik yg mengejawantah dalam produk hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (aturan yg akan dan wajib ditetapkan) buat memenuhi kebutuhan perubahan pada kehidupan warga . Politik aturan terkadang juga dikaitkan menggunakan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik aturan juga didefinisikan menjadi pembangunan aturan. Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa aturan merupakan instrumentasi menurut putusan atau hasrat politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antar-kepentingan. 

Badan produsen undang-undang adalah representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yg ada pada warga . Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pada badan penghasil undang-undang menjadi krusial lantaran pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi aturan secara standar berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan menciptakan putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan serta kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar nir dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama sang golongan yg memiliki kekuasaan serta kekuatan, baik secara sosial, politik juga ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah pada bidang politik sudah lazim, begitu jua di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat mayoritas pada dalam mewarnai politik aturan di Indonesia.

Menurut Mahfud MD, politik hukum juga meliputi pengertian tentang bagaimana politik mensugesti aturan dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yg terdapat pada belakang pembuatan dan penegakan aturan. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, lantaran hal itu ada hubungannya menggunakan ditaati atau tidaknya hukum itu pada suatu rakyat.

Senada dengan pendapat Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi pada kalangan elit politik yg berbasis pada banyak sekali kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yg kuat dalam hubungan politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun mempunyai peluang yang sangat besar . Begitupula sebaliknya saat menengok sejarah dalam masa penjajahan Belanda, posisi hukum Islam sangat termarjinalkan. Hukum Islam hanya dicermati sebagai hukum jika diresepsi ke pada aturan istiadat, itu pun pada tingkatan ketiga setelah hukum Eropah serta hukum Adat orang timur asing (Arab, China dan India). Indonesia yg merupakan negara jajahan Belanda, telah mengalami masa berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan sistem aturan asing ke dalam aturan rakyat pribumi.

B. Refleksi Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam merupakan tuntutan menurut fenomena nilai-nilai serta fikrah (pemikiran) umat Islam pada bidang hukum, kesadaran berhukum dalam syari’at Islam secara sosiologis dan kultural nir pernah mati serta selalu hayati dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan serta masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menampakan nilai-nilai ajaran Islam disamping kearifan lokal dan hukum adat mempunyai akar bertenaga buat tampil menawarkan konsep hukum menggunakan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima sang siapa saja dan di mana saja, lantaran Islam merupakan sistem nilai yg ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan semua alam (rahmatan lil ‘alamin). Syari’at Islam meskipun dalam realitanya telah membumi serta menjiwai setiap aktifitas sehari-hari bangsa Indonesia (khususnya umat Islam), dan poly dijadikan acuan Hakim Pengadilan Agama dalam memutus masalah, tetapi spesifik pada bidang ekonomi masih belum merupakan undang-undang negara. Oleh karena itu pelembagaan aturan Islam pada bentuk peraturan perundang-undangan yg mengatur masalah kegiatan pada bidang ekonomi syari’ah adalah suatu tuntutan kebutuhan hukum umat Islam khususnya, serta bagi para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah dalam biasanya.

Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi menurut rapikan nilai yang diyakini masyarakat menjadi suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan aturan yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi rakyat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yg bersifat kekinian, melainkan jua sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik pada masa depan.

Pluralitas kepercayaan , sosial dan budaya di Indonesia nir relatif sebagai alasan buat membatasi implementasi aturan Islam hanya sebagai aturan famili. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) contohnya, aturan perbankan serta perdagangan bisa diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yg signifikan, tetapi poly menyisakan konflik karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai forum yang berwenang merampungkan problem tersebut. Hal ini masuk akal, mengingat belum adanya hukum subtansial pada bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. 

Pembangunan aturan nasional secara obyektif mengakui pluralitas aturan dalam batas-batas eksklusif. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan eksklusif serta subyek aturan eksklusif merupakan wajar lantaran nir mungkin memaksakan satu unifikasi hukum buat beberapa bidang kehidupan. Oleh karenanya nir perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum Islam -yang melakukan kegiatan dibidang muamalah- diperlakukan aturan ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar jua dalam interaksi famili terkadang hukum adat setempat lebih lebih banyak didominasi. 

Prinsip unifikasi aturan memang harus jadi panduan, tetapi sejauh unifikasi nir mungkin, maka pluralitas aturan haruslah secara empiris diterima. Idealnya pluralitas aturan ini haruslah diterima menjadi bagian berdasarkan tatanan hukum nasional. 

Untuk memenuhi kebutuhan aturan terhadap bidang-bidang yang nir dapat diunifikasi, negara menggunakan segala kedaulatan serta wewenang yg ada padanya bisa mengakui atau mempertahankan aturan yang hayati pada rakyat, sekalipun itu bukan produk aturan negara, seperti aturan norma yang merupakan warisan nenek moyang, aturan Islam yang bersumber menurut ajaran agama dan hukum Barat yg adalah peninggalan kolonialis.

C. Mengusung Hukum Ekonomi Syari’ah ke Ranah Sistem Hukum Nasional
Dari perspektif sistem aturan nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yang sang Friedman dianggap sebagai “people attitudes” yang mengandung hal-hal misalnya di atas yakni: beliefs, values, ideas, expectations. Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia adalah suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita serta asa-asa. Dengan unsur-unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi warga Indonesia mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan unsur budaya. Oleh karenanya, dari Solly Lubis, dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa serta bermasyarakat secara mendasar (grounded, dogmatie) dimensi kultur seyogyanya mendahului dimensi politik dan aturan.

Berkaitan dengan subtansi hukum, meskipun Pengadilan Agama sudah lama diakaui eksistensinya, namun masih belum memiliki kitab aturan yang dijadikan standarisasi bagi hakim pada memutus perkara selevel KUHPdt. Suatu hal yg perlu dicatat merupakan sejauhmana kesungguhan lembaga eksekutif juga legislatif buat merumuskan undang-undang bagi para hakim Pengadilan Agama pada menjalankan tugasnya. Padahal justru melalui acara legislasi nasional itu, aturan Islam tidak hanya mejadi aturan positif, namun kadar aturan itu akan sebagai bagian terbesar menurut pelaksanaan aturan termasuk antara lain hukum Islam yg mengatur perkara ekonomi syari’ah. 

Pendekatan yg bisa digunakan sebagai upaya mentransformasikan aturan ekonomi syari’ah ke pada hukum nasional merupakan meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des rechts). Menurut teori ini berlakunya sutu hukum wajib bisa dikembalikan pada aturan yang lebih tinggi kedudukannya yakni:
  1. Ada hasrat hukum (rechtsidee) yg adalah kebiasaan abstrak.
  2. Ada kebiasaan antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yg digunakan menjadi mediator buat mencapai asa.
  3. Ada norma konkrit (concrete norm), sebagai output penerapan norma antara atau penegakannya di Pengadilan.
D. Urgensi Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yg ciri utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu aturan Islam walaupun mempunyai asal-sumber tertulis dalam al-Qur’an, as-Sunnah serta pendapat para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi pada bentuk buku perundang-undangan yang gampang dirujuki. Oleh karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya jua aturan istiadat, sering ditinjau menjadi aturan tidak tertulis pada bentuk perundang-undangan.

Berdasarkan gambaran pada atas, maka umat Islam yang menghendaki pemberlakuan ekonomi syari’ah menjadi hukum positif juga harus mengupayakan politik aturan melalui proses legislasi dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yg diajukan kepada badan legislatif (DPR) buat menerima persetujuan. Berkenaan dengan proses legislasi, bisa dikatakan mencakup kegiatan mempelajari, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU sanggup melalui Presiden atau melalui inisiatif DPR.

Mentransformasikan hukum ekonomi syari’ah pada bentuk Peraturan Perundang-undangan yg baik sekurang-kurangnya harus memenuhi empat landasan yakni: landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan politis.

Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral atau etika menurut bangsa tersebut. Moral serta etika dalam dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yg tidak baik, sedangkan nilai yang baik adalah pandangan dan harapan yg dijunjung tinggi yg di dalamnya terdapat nilai kebenaran, keadilan serta kesusilaan serta aneka macam nilai lainnya yg dipercaya baik. 

Landasan sosiologis, ketentuan-ketentuannya wajib sesuai dengan keyakinan generik atau pencerahan hukum warga . Hal ini krusial agar perundang-undangan yang dibentuk ditaati sang warga . Hukum yang dibuat wajib sinkron dengan “aturan yg hidup” (the living law) pada masyarakat, tetapi produk perundang-undangan nir sekedar merekam keadaan seketika (moment opname), sebab apabila masyarakat berubah, nilai-nilaipun berubah, kesamaan dan harapan rakyat wajib dapat diprediksi serta terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yg berorientasi masa depan. 

Landasan yuridis, adalah landasan hukum (yurisdische gelding) yang sebagai dasar kewenangan (bevoegdheid competentie). Dasar aturan wewenang membangun peraturan perundang-undangan sangat dibutuhkan, tanpa disebutkan dalam peraturan perundang-undangan seseorang pejabat atau suatu badan merupakan tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. 

Landasan Politis, adalah garis kebijaksanaan politik yg menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Tegasnya, sejalan dengan acara legislasi nasional

Kecenderungan contoh pengembangan hukum Islam di Indonesia berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur legislasi (melalui perundang-undangan) dan jalur non legislasi (yg berkembang pada luar undang-undang). Diantara ke 2 jalur tadi, kesamaan pada jalur ke 2 lebih poly mewarnai praktek penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Hal ini dimaklumi karena proses legislasi hukum Islam pada Indonesia selalu menghadapi hambatan struktural serta kultural, baik secara internal juga eksternal. Secara internal, para pendukung sistem aturan Islam belum tentu beranggapan bahwa aturan Islam itu menjadi suatu sistem yang belum final, perlu dikembangkan pada konteks aturan nasional. Sedangkan kendala eksternal yakni struktur politik yang terdapat belum tentu mendukung proses legislasi hukum Islam.

Kendatipun pada prakteknya legislasi bukan merupakan kecenderungan, tetapi pengembangan aturan Islam melalui jalur legislasi-terutama yg mengatur bidang ekonomi syari’ah- tetap dibutuhkan karena:
  1. Pengaturan terhadap bidang ekonomi syari’ah sifatnya urgen terkait dengan kewenangan baru Pengadilan Agama dalam merampungkan konkurensi dalam bidang tersebut, sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Juga melihat kebutuhan hukum dewasa ini, legislasi merupakan tuntutan obyektif, lantaran akan mendukung implementasi hukum Islam secara pasti dan mengikat secara yuridis formal.
  2. Materi aturan ekonomi syari’ah merupakan merupakan hukum privat Islam bukan aturan publik, sehingga apabila bidang ini diangkat ke jalur legislasi nir akan memunculkan perseteruan serius, baik ditingkat internal maupun eksternal karena sifatnya yang universal dan netral.
D. Prospek Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah dalam Ranah Sistem Hukum Nasional
Mengusung hokum ekonomi syari’ah ke jalur legislasi perlu memperhatikan tiga hal yaitu subtansi, bentuk serta proses. Dalam hal subtansi sebagaimana telah dikemukakan pada depan, yakni berupa doktrin-doktrin yg terdapat dalam kitab fikih, ijtihad serta fatwa para ulama, dan putusan hakim pada bentuk yurisprudensi serta yang sudah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan –khususnya KHES-, adalah acuan yg nir bisa diabaikan. Dalam hal bentuk, yg perlu diperhatikan yakni jangkauan berlakunya diadaptasi menggunakan tingkatan hirarkis perundang-undangan di negara Republik Indonesia berdasarkan Tap MPRS Nomor XXX/1966. Sedangkan pada hal proses tergantung dalam yg dipilih, lantaran legislasi aturan ekonomi syari’ah menjurus dalam bentuk undang-undang, prosesnya lebih sulit daripada bentuk peraturan pemerintah serta peraturan-peraturan dibawahnya, namun demikian melihat kenyataan yg terdapat, lahirnya undang-undang tentang ekonomi syari’ah mempunyai peluang yang cukup akbar, bebarapa hal penting yang berpotensi menjadi faktor pendukung yakni diantaranya:
  • Subtansi aturan ekonomi syariah yang established (telah mapan), disamping telah adanya KHES, penggunaan fikih-fikih produk imam madzhab yang telah teruji pelaksanaannya baik di lingkungan Pengadilan Agama maupun dalam dalam warga , jua ditunjang beberapa pemikiran fikih madzhab Indonesia yg sudah usang digagas oleh para ahli aturan Islam di Indonesia.
  • Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam wajib mendapatkan dukungan suara dominan di forum pembentuk aturan serta warta politik menampakan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan dominan pada Indonesia, tetapi memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir relatif memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk aturan nasional yang bernuansa Islami, seperti halnya: 
  1. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya bisa dicermati dalam pasal 1 ayat (12), Pasal 6 huruf (u), pasal 7 huruf ©, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat (1) serta ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) alfabet ©.
  2. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, yg semakin memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah pada Indonesia.
  3. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan haji;
  4. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat;
  5. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam yg memberi swatantra khusus kepada Daerah Istimewa Aceh buat menerapkan syari’at Islam, hal ini memperlihatkan bahwa ajaran Islam sudah terimplementasi pada kehidupan sehari-hari masyarakat Islam. 
  6. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai output amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan wewenang baru berupa penyelesaian konkurensi ekonomi syari’ah. Dalam perjalanannya amandemen undang-undang ini tidak menemui kendala yg berarti dibandingkan menggunakan lahirnya undang-undang sebelumnya.
  7. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Diharapkan menjadi kran pembuka terhadap Undang-Undang Ekonomi Syari’ah.
  8. Lahirnya PERMA No. 02 Tahun 2008 pada tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, meskipun ketika ini kedudukannya hanya sebagai kitab pedoman, namun ke depan dapat diperjuangkan melalui jalur legislasi menjadi kitab undang-undang.
  • Selain yang berbentuk peraturan perundang-undangan pula berbentuk fatwa-fatwa para ulama yg diterbitkan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar aplikasi kegiatan dibidang ekonomi syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yg membuka cabang syari’ah. Tetapi demikian fatwa-fatwa di atas belum mengakomodir seluruh item ekonomi syari’ah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Juga perlu dicatat bahwa hanya sebagian mini saja dari fatwa-fatwa tersebut yang sudah terserap pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI).
  • 3) Materi aturan yang hendak diusung ke jalur legislasi meliputi hukum privat yang bersifat universal serta netral sebagai akibatnya tidak memancing sentimen agama lain. Kemungkinan besar nir akan mengakibatkan gejolak sosial yg cost-nya sangat mahal.
  • Sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh serta berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi buat melegislasikan hukum Islam.
  • Pada tataran yuridis konstitusional, dari Sila Pertama Pancasila serta Pasal 29 UUD 1945, aturan Islam adalah bagian dari hukum nasional serta wajib ditampung dalam training hukum nasional, serta sejalan menggunakan acara legislasi nasional.
Dibalik peluang legislasi yg terbuka lebar, ada beberapa tantangan yg perlu diantisipasi yakni:
  1. Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yang sebagian menolak gagasan legislasi.
  2. Perbedaan pendapat pada kalangan intern Islam mengenai subtansi hukum (ekonomi syari’ah) yang yg akan diundangkan kemungkinan terdapat ikhtilafi (ada perbedaan pendapat).
  3. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi aturan Islam “ekonomi syari’ah” pada Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai masyarakat negara kelas dua) dan ini juga dipicu sang perilaku dan pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi perjuangan hukum Islam.
Hukum ekonomi syari’ah yg diusung ke jalur legislasi pada bentuk buku atau kitab undang-undang yg tersusun rapi, simpel serta sistematis bukan hanya asal berdasarkan satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih serta pada-tarjih (menguatkan galat satu dari beberapa pendapat madzhab) menurut banyak sekali pendapat madzhab fikih yang lebih sesuai dengan syarat dan kemaslahatan yg menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan perilaku ta’assub (fanatik) madzhab, seperti fikih madzhab Hanafi yg digunakan pada kerajaan Turki dalam tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yg digunakan pada wilayah Mesir dan Suriah dan fikih madzhab Imam Malik yang digunakan di Irak.

E. Aspek Positif dan Aspek Negatif Legislasi Hukum Ekonomi Syari’ah 
a. Aspek-aspek Positif:
Selanjutnya perlu dikemukakan kelebihan dan kelemahan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo yg mengutip pendapat Algra dan Duyyendijk kelebihan berdasarkan bentuk perundang-undangan dibandingkan menggunakan norma-kebiasaan lain adalah:
1) Tingkat prediktibilitasnya tinggi. Adanya citra aturan secara pasti sebelum suatu perbuatan itu dilakukan rakyat, sebagai akibatnya sudah bisa diprediksi dampak hukumnya.
2) Perundang-undangan pula memberikan kepastian mengenai nilai yg dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka sebagai niscaya jua nilai yg hendak dilindungi sang peraturan tadi. Oleh karenanya orang nir perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau nir. 

Sedangkan menurut ulama fikih, sisi positif aturan Islam pada bentuk perundang-undangan antara lain:
  1. Memudahkan para praktisi hukum buat merujuk aturan sinkron menggunakan keinginannya. Kitab-buku fikih yang beredar pada global Islam penuh dengan disparitas pendapat yg kadang-kadang membingungkan serta menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yg mengatur bidang ekonomi syari’ah, para hakim / praktisi aturan nir perlu lagi mentarjih banyak sekali pendapat pada literatur fikih.
  2. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi jua perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yang sama, sehingga sulit buat menentukan pendapat terkuat berdasarkan sekian banyak pendapat pada satu madzhab. Keadaan misalnya ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang awam) buat menentukan aturan yg akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yang berperkara tersebut bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sehingga hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki nir diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yg sinkron dengan pendapat yang bertenaga akan lebih praktis dan mudah dirujuk sang para hakim, apalagi di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-kondisi mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
  3. Menghindari perilaku taqlid madzhab di kalangan praktisi aturan, yang selama ini menjadi kendala pada forum-forum hukum.
  4. Menciptakan unifikasi aturan bagi lembaga-forum peradilan. Jika aturan dalam suatu negara tidak hanya satu, maka akan ada disparitas keputusan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, namun jua mengganggu stabilitas keputusan yg saling bertentangan antara satu peradilan menggunakan peradilan lainnya.
b. Aspek-aspek Negatif: 
Di samping sisi positif maupun kelebihan-kelebihan di atas, aturan Islam pada bentuk perundang-undangan pula mengandung kelemahan-kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo diantaranya:
1) Norma-normanya sebagai kaku.
2) Mengabaikan perbedaan-disparitas atau karakteristik-karakteristik spesifik yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. 

Selain itu, buat mengganti aturan yg berbentuk perundang-undangan memerlukan rapikan cara tertentu, sebagai akibatnya membutuhkan waktu, biaya serta persiapan yg tidak mini . 

Sedangkan menurut Ibnu al-Muqaffa sisi negatif pelembagaan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan adalah menjadi berikut:
  1. Munculnya kekakuan aturan, sedangkan insan menggunakan segala masalah kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini sering nir diiringi dengan aturan yang mengaturnya. Dalam masalah ini ulama fikih menyatakan,”Hukum bisa terbatas, sedangkan perkara yg terjadi nir terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan berlaku sepanjang masa, namun hanya buat menjawab problem yg muncul dalam suatu syarat, masa, dan loka tertentu. Oleh karena itu, aturan senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, loka, zaman yang lain. Tidak jarang ditemukan bahwa insiden yang menghendaki aturan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karenanya. Adanya undang-undang mampu memperlambat perkembangan aturan itu sendiri.
  2. Mandegnya upaya ijtihad. 
  3. Munculnya masalah taklid baru. 
c. Menakar Aspek Positif dan Aspek Negatif 
Menganalisa sisi positif dan sisi negatif, kekuatan serta kelemahan bentuk perundang-undangan menurut aturan Islam yang mengatur mengenai ekonomi syari’ah, maka dengan memperhatikan kondisi yg berkembang pada Pengadilan Agama serta tradisi aturan yang dianut oleh negara Indonesia, maka berdasarkan irit penulis, pelembagaan aturan ekonomi syari’ah pada bentuk perundang-undangan permanen adalah pilihan sempurna.

Kehadiran undang-undang yg mengatur kegiatan ekonomi syari’ah tidak perlu diperdebatkan, keberadaannya di satu sisi buat memenuhi kebutuhan hukum rakyat terutama pelaku usaha syariah, di sisi lain secara subtansial akan dijadikan menjadi landasan yuridis bagi hakim Pengadilan Agama dalam merampungkan sengketa ekonomi syari’ah. Selanjutnya sebagaimana teori kontrak social, maka diharapkan intervensi negara dalam pembentukan dan pengaturannya karena berhubungan dengan ketertiban generik dalam pelaksanaannya.

Adapun pembentukan undang-undang yang mengatur aktivitas pada bidang ekonomi syari’ah yg akan datang berdasarkan hemat penulis, seharusnya mempertimbangkan:
1. Mendahulukan pengaturan aspek-aspek ekonomi syari’ah yang bersifat lex generalis menggunakan alasan kebutuhan terhadap undang-undang yang mengatur kasus ekonomi syari’ah sifatnya urgen, karena dasar hukum yg dipakai ketika ini, baik sang para pelaku bisnis pada bidang ekonomi syari’ah maupun Hakim Pengadilan Agama dalam merampungkan konkurensi ekonomi syari’ah merupakan KHES atau fikih muamalah. 
2. Dalam penyusunan undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syari’ah –disamping membuahkan KHES sebagai acuan primer- juga perlu mempertimbangkan beberapa fatwa yg telah diterbitkan oleh DSN, baik yg terserap dalam PBI serta SEBI juga yg nir terserap, lantaran sudah nyata bahwa lahirnya fatwa-fatwa di atas adalah menjadi respon berdasarkan beberapa pertarungan riil yg dimintakan fatwa berkenaan menggunakan kegiatan di bidang ekonomi syari’ah yang tengah berjalan. 
3. Perlu pula mempertimbangkan pengalaman Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) pada merampungkan sengketa antara bank syari’ah serta nasabahnya, hal ini nantinya dapat dijadikan acuan dan masukan bagi Peradilan Agama pada menuntaskan sengketa ekonomi syari’ah di masa depan. Melihat masalah-masalah arbitrase syari’ah yang diajukan ke BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa problem inti merupakan kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, serta nasabah menjadi pengguna dana, atau antara bank sebagai investor serta sekaligus pula sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah menjadi pengguna dana pada pihak lain. Kontrak yang paling generik dilakukan adalah akad mudharabah, akad musyarakah, akad murabahah serta lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fikih berbagai madzhab. Dalam penyelesaian sengketa, BASYARNAS memakai dua hukum yang tidak sinkron, yaitu hukum Islam sebagaimana diformulasikan oleh DSN serta pasal-pasal KUHPerdata (khususnya tentang perjanjian). Hal itu dilakukan lantaran ketiadaan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara generik.
4. Disampng KHES, -buat penyempurnaan- perlu pula mempertimbangkan dan mengkomparasikan menggunakan Pasal-pasal dalam KUHD dan KUHPerdata khususnya yg berkenaan menggunakan perjanjian, alasannya adalah:
a) Pasal-pasal tersebut selama ini telah lazim di pakai dasar buat mengadakan kontrak di bidang ekonomi pada Indonesia, seperti jual beli, sewa menyewa perjanjian kerja, perjanjian usaha pada bentuk perserikatan perdata (maatschap), penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam pakai habis (verbruiklening), peminjaman dengan bagi hasil, perjanjian pertanggungan (iuran pertanggungan), pemberian kuasa, perjanjian penanggungan utang, dan perjanjian perdamaian, yg adalah perjanjian-perjanjian menggunakan nama seperti diklaim di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan perjanjian-perjanjian lain menggunakan nama apapun jua, atau bahkan tanpa nama, apabila kaum muslimin menghendaki, maka melalui asas kebebasan berkontrak sebagaimana disebutkan pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa sepenuhnya melakukannya dari ajaran-ajaran serta akhlak Islam, sebagai akibatnya seluruh perbuatannya tersebut akan tunduk kepada serta terhadapnya berlaku hukum Islam. Dengan demikian, maka simpel dalam seluruh kehidupan keperdataan atau muamalah, bagi umat Islam pada Indonesia sudah dapat diberlakukan aturan Islam, asalkan mereka menghendaki.

Seperti halnya dinyatakan dalam pasal 1338 KUH Perdata yang menganut asas kebebasan berkontrak, ini berarti setiap individu anggota warga bebas membuat atau mengikat perjanjian menggunakan individu anggota mayarakat lain menurut kehendaknya, sepanjang sinkron menggunakan undang-undang serta tidak bertentangan menggunakan ketertiban umum serta kesusilaan. Pasal-pasal tadi pula tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Bahkan lebih dari itu, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yg membuatnya. Dari ketentuan pasal tadi, seluruh pakar hukum sepakat menyimpulkan bahwa pada hal aturan perjanjian, aturan positif (hukum yg berlaku) di Indonesia menganut system “terbuka”. Artinya, setiap orang bebas buat menciptakan perjanjian apa dan bagaimanapun jua, sepanjang pembuatannya dilakukan sinkron dengan undang-undang serta isinya tidak bertentangan menggunakan ketertiban generik serta atau kesusilaan. Tetapi yang perlu mendapat stressing pada sini adalah aspek syariat yg menyangkut etika transaksi serta pemahaman batasan-batasan syariat yang meliputi rukun dan kondisi-syarat akad yg masih ada dalam asas-asas kontrak menurut hukun Islam yang mungkin dalam penerapannya tidak sinkron menggunakan KUHP.

Asas aturan ini dalam keadaan bagaimanapun nir mungkin dihilangkan menurut tatanan hayati umat insan pada warga yg beradab, karena kebebasan individu adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yg tidak suatu kekuasaanpun, termasuk kekuasaan negara berhak mencabutnya. Asas kebebasan berkontrak di pada kegiatan keperdataan tersebut sangat sesuai dengan pengertian “ibadah muamalah”.

Dengan kelarnya undang-undang yang mengatur ekonomi syari’ah, maka tidaklah tidak mungkin, pada masa-masa mendatang engkau muslimin Indonesia dalam menjalankan kegiatan usaha mereka di segala bidang keperdataan, akan berakibat undang-undang tadi menjadi landasannya. Masalahnya adalah sederhana, mereka ingin agar seluruh aktivitas hayati mereka, sesuai dengan rasa keimanan serta keyakinannya, hal ini nir bertentangan menggunakan jiwa Pancasila.

PENGERTIAN MULTIKULTURALISME APA ITU MULTIKULTURALISME

Pengertian Multikulturalisme, Apa Itu Multikulturalisme?
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.[1] Sebenarnya, terdapat 3 kata yg kerap digunakan secara bergantian buat menggambarkan warga yg terdiri keberagaman tadi –baik keberagaman agama, ras, bahasa, serta budaya yg berbeda-yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga aktualisasi diri itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yg lebih menurut satu’ (many); keragaman memperlihatkan bahwa keberadaan yg ’lebih berdasarkan satu’ itu bhineka, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan 2 konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya nisbi baru. 

Secara konseptual masih ada disparitas signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti menurut multikulturalisme adalah kesediaan mendapat kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan disparitas budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Jika pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih menurut satu), multikulturalisme menaruh penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama pada dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan istilah lain, adanya komunitas-komunitas yg berbeda saja tidak relatif; karena yang terpenting merupakan bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. 

Oleh karenanya, multikulturalisme menjadi sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition) terhadap semua disparitas sebagai entitas dalam masyarakat yg harus diterima, dihargai, dilindungi dan dijamin eksisitensinya.[2] 

Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme timbul pertama kali di Kanada serta Australia, kemudian pada Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Bikhu Parekh menggarisbawahi 3 perkiraan mendasar yg wajib diperhatikan pada kajian tentang multikulturalisme, yaitu: Pertama, dalam dasarnya insan akan terikat menggunakan struktur serta sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia nir mampu bersikap kritis terhadap sistem budaya tadi, akan namun mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai serta cara pandang mengenai kebaikan yang tidak selaras juga. Oleh karenanya, suatu budaya adalah satu entitas yg relatif sekaligus partial serta memerlukan budaya lain buat memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yg berhak memaksakan budayanya pada sistem budaya lain.[3] Ketiga, dalam dasarnya, budaya secara internal adalah entitas yg plural yg merefleksikan interaksi antar disparitas tradisi serta untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi serta bukti diri budaya, akan namun budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses serta terbuka.[4] 

1. Multikulturalisme pada Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yg cukup kontekstual menggunakan empiris warga kontemporer waktu ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap disparitas adalah prinsip nilai yg dibutuhkan insan pada tengah himpitan budaya global. Oleh karenanya, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme merupakan bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam rakyat yg keliru satunya pada pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.

Pendidikan menggunakan wawasan mutlikultural pada rumusan James A. Bank merupakan konsep, ilham atau falsafah menjadi suatu rangkaian agama (set of believe) dan penjelasan yg mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membangun membangun gaya hidup, pengalaman sosial, identitas langsung, kesempatan-kesempatan pendidikan berdasarkan individu, kelompok juga negara.[5] Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural merupakan proses pendidikan yang komperhensif serta fundamental bagi semua siswa. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk subordinat di sekolah, rakyat dengan mendapat serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, kepercayaan , ekonomi, gender serta lain sebagainya) yang terefleksikan pada antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-pengajar. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan taktik pedagogi, termasuk juga dalam setiap hubungan yg dilakukan di antara para pengajar, siswa serta keluarga serta keseluruhan suasana belajar­mengajar. 

Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam warga , pendidikan multikultural berbagi prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.[6] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur menjadi “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[7] 

Dari beberapa dua definisi di atas, hal yg harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan merupakan bukti diri, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas menjadi salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa siswa dan pengajar adalah satu individu atau kelompok yg merepresentasikan satu kultur tertentu pada warga . Identitas pada dasarnya melekat dengan sikap eksklusif ataupun grup rakyat, lantaran menggunakan bukti diri tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mensugesti satu sama lain, termasuk pula pada interaksi antar budaya yg tidak sinkron.

Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, bukti diri-bukti diri tersebut diasah melalui hubungan, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karenanya, identitas lokal atau budaya lokal adalah muatan yg sine qua non pada pendidikan multikultur.

Dalam rakyat ditemukan aneka macam individu atau gerombolan yang berasal berdasarkan budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut nir bisa dielakkan. Diversitas budaya itu sanggup ditemukan di kalangan peserta didik juga para guru yg terlibat -secara langsung atau nir- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu jua sanggup ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang terdapat dan berkembang pada konstelasi budaya, lokal, nasional serta global. Oleh karenanya, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai pada pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yg ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yg terdapat buat terlibat pada satu proses pendidikan.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan 5 dimensi yang sine qua non yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan pada kurikulum (content integration) yang pada dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yg tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan menggunakan mengetahui serta tahu secara komperhensif keragaman yg terdapat. Ketiga, pengurangan berpretensi (prejudice reduction) yg lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang serta kesempatan yang sama pada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yg kelima ini merupakan tujuan berdasarkan pendidikan multikultur yaitu supaya sekolah sebagai elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur rakyat yang tak seimbang pada struktur yang berkeadilan.[8]

Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa contoh pendidikan yang diperlukan pada Indonesia wajib memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan bukti diri lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yg menjadi, merupakan kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung yg terus berproses dan adalah bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali buat mengoptimalisasikan budaya lokal yg beriringan menggunakan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat bukti diri nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan bukti diri budaya lokal yang terdapat. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, merupakan pendidikan multikultural nir boleh terjebak dalam xenophobia, fanatisme serta fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun kepercayaan . Kelima, pendidikan multikultural adalah pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) serta pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yg majemuk (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang diajak mengenal budayanya sendiri serta selanjutnya dipakai buat berbagi budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diharapkan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama serta majemuk perbedaan yang terdapat. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan buat mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yg dipahami sang holistik komponen sosial-budaya yang beragam. [9]

Pendidikan Multikultur di Pesantren
1. Terminologi serta Histori Pesantren
Kata “pesantren” berasal dari “pe-santri-an”. Awalan “pe” dan akhiran “an” yg dilekatkan dalam istilah “santri” ini sanggup menyiratkan 2 arti. Pertama, pesantren sanggup bermakna “loka santri”, sama misalnya pemukiman (tempat bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (loka beristirahat), pemondokan (loka mondok) serta lain-lain. Kedua, pesantren juga mampu bermakna “proses mengakibatkan santri”, sama seperti kata pencalonan (proses membuahkan calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) serta lain-lain. Jelasnya, “santri” pada sini bisa menjadi objek menurut usaha-usaha yg dilakukan di suatu loka, tetapi pula mampu menjadi sosok personifikasi berdasarkan sasaran/tujuan yg akan dicapai lewat bisnis-bisnis tersebut.[10] 

Pada kenyataannya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam menggunakan karakteristik khas Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya nir ada lembaga pendidikan yg memiliki karakteristik dan tradisi persis misalnya pesantren, walau mungkin terdapat lembaga pendidikan tertentu pada beberapa negara lain yg dianggap mempunyai kemiripan menggunakan pesantren, misalnya ribâth, sakan dâkhilî, atau jam’iyyah. Tetapi ciri pesantren yang ada di Indonesia jelas spesial keindonesiaannya lantaran berhubungan erat menggunakan sejarah dan proses penyebaran Islam pada Indonesia.[11] 

Sejak tahap-tahap awal pengembangan Islam di Nusantara, para ulama pelaksana misi dakwah Islam (du’ât ilallâh), termasuk Wali Songo, telah melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Pelaksanaan dakwah ini, dalam mulanya mereka lakukan dengan cara berpindah-pindah berdasarkan satu tempat ke tempat yg lain (as-safar wat-tajwwul). Dengan cara ini, mereka sanggup menangani eksklusif duduk perkara umat secara kondisional serta regional, sebagai akibatnya Islam kemudian dikenal serta dipeluk sang banyak sekali lapisan rakyat dan suku pada Nusantara. 

Tetapi cara ini tidak bisa terus mereka lakukan. Seiring menggunakan usia yg semakin menua, para du’ât itu pun mulai menetap di suatu tempat guna melakukan pelatihan umat serta kaderisasi calon-calon du’ât di loka mereka masing-masing. Mereka bertempat tinggal, melaksanakan dakwah serta pendidikan. Para du’ât yg memilih jalur pendidikan ini lalu melahirkan banyak forum yang bernama “pesantren”, dan mereka pun mulai diklaim ”Kiai”.[12] 

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Selain menjadi lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama sebagai forum pendidikan. Fungsi ini memiliki 2 misi: Pertama, pendidikan umat secara umum buat mendidik serta menyiapkan pemuda-pemudi Islam sebagai umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, sebagai forum pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Dalam hal ini, tugas pesantren merupakan mendidik serta menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang bisa mewarisi sifat dan kepribadian para Nabi, serta siap melaksanakan tugas indzârul qawm.

Selain itu, pesantren juga dituntut buat berusaha mengembalikan gambaran serta fungsi forum-lembaga pendidikan Islam menjadi sentra pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama, sebagai realisasi dari wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip harapan supaya pesantren sebagai loka rujukan warga pada menjawab perseteruan-perseteruan keseharian mereka dari perspektif dan pandangan kepercayaan . 

Sejarah mencatat, pondok pesantren yg telah berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan output berdasarkan proses akulturasi tenang antara ajaran Islam yg dibawa para wali dan pedagang yg umumnya bernuansa mistis, menggunakan budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yg bersumber berdasarkan agama Hindu serta Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yg berdiri pada pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan adalah satu-satunya sistem pendidikan yg befungsi sebagai lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh rakyat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah bisa menerapkan sistem pendidikan berjenjang, dari pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak terdapat peraturan wajib belajar, pada budaya Indonesia masa lalu, anak yg berusia tujuh tahun ke atas, baik pria juga wanita, harus dipesantrenkan pada desanya.

Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara konstan serta sistematis, yg dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi spesifik kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka pula mengemban misi misionari, yg dimotori sang gerombolan Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit mulus (penjajah) versus pribumi, priyayi lawan warga biasa, Kristen versus Islam, dan tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren buat pindah menurut kota ke desa sampai pengaruh psikologis yang negatif pun nir terhindarkan. Seperti keluarnya kesamaan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik serta lain sebagainya. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif serta kezhaliman ini, pesantren terus bertahan dan melawan dalam bentuk sikap non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat pada sini sebagai model perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, pemberontakan umat Islam di Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat dan Aceh. Lantaran peran inilah, maka syahdan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan supaya pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.

Sebagai dampak dari pengaruh psikologis yang ada berdasarkan output propaganda kolonial pada atas, maka dalam era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yg sungguh ironis dan amat merugikan interaksi harmonis rakyat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri dan abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, sampai tercuatlah upaya sistematis yg bertujuan melakukan balik stigmatisasi Pesantren.

Dari hasil penilaian nir adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai dari UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, hingga UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya nir mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional, serta menafikan jasa berabad-abad pesantren dalam pembentukan sistem pendidikan nasional.[13] 

Namun, fenomena faktual ketika ini justru tengah menunjukkan kian bertenaga, akbar serta pentingnya kiprah Pesantren. Terbukti dengan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren menggunakan banyak sekali corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya pada pedesaan namun jua di perkotaan. Minat para orang tua buat mengirimkan putra-putrinya ke pesantren jua kian meningkat, termasuk di kalangan elit rakyat.

Dari hasil pengamatan serta kajian, para ahli serta pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun sekarang telah poly bermunculan sebagai tokoh krusial pada banyak sekali sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi donasi sangat akbar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren sang global pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan global internasional yg terus terjalin mulus. Hingga tak ayal bila banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren menjadi objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.

3. Pendidikan Multikuturalisme di Pondok Modern
Hingga sekarang, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yang secara garis akbar dapat diklasifikasi pada dua sistem primer: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren terkini. Ciri berdasarkan pesantren tradisinal adalah konsistensinya dalam melaksanakan sistem pendidikan murni dan nir terikat formalitas pengajaran (kelas) juga strata pendidikan serta ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri dalam pengkajian ilmu-ilmu kepercayaan . Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas serta modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran pada pada kelas) dan kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu. Dikotomi ilmu agama serta umum pula dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, tetapi dengan proporsi pendidikan agama lebih mendominasi. Sistem pendidikan yg digunakan pada pondok terbaru dinamakan sistem Mu’allimin. 

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah sebagai pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam guru formal pada kelas saja. Tapi pula dilakukan pada kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan dalam bentuk pedagogi materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pedagogi pada pondok terbaru yg didominasi bahasa asing (Arab serta Inggris) menjadi pengantar, nir melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme murid (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer serta wajib diajarkan menggunakan medium bahasa Indonesia pula.

Dalam bidang non formal, pesantren menggunakan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki poly saat buat menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola generik yang nyaris diberlakukan pada banyak sekali pondok terbaru merupakan sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam anggaran serta disiplin pondok. Salah satunya pada urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok terkini, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, semua santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman.

Seperti halnya pada Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor jua memutuskan regulasi supaya setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka jua akan mengalami perpindahan antarkamar pada asrama yang mereka huni. Hal ini ditujukan buat memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan serta membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi serta budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri tidak berdasarkan pada daerah dari atau suku. Bahkan, penempatan sudah diatur sedemikian rupa oleh pengasuh pondok, serta secara aporisma diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri menurut wilayah eksklusif menempati sebuah kamar yang sama. 

Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar maksimal nir boleh dihuni sang tiga orang lebih santri dari satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke pada semangat yg lebih universal. Di samping itu, supaya santri pula dapat belajar kehidupan bermasyarakat yg lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional beserta para santri mancanegara.[14] Namun, penerapan pola pendidikan ini, menurut Syukri Zarkasyi, tidak berarti menafikan unsur daerah. Lantaran unsur kedaerahan sudah diakomodir dalam aktivitas wilayah yg dianggap “konsulat”, yg ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya buat diarahkan menolaknya sebagai sumber fanatisme kedaerahan.

Pendidikan multikulturalisme lainnya pada intensitas pendidikan pondok terbaru merupakan diberlakukannya aturan mengikat yg melarang santri berbicara memakai bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan Inggris, saat masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia pada beberapa kesempatan dan kepentingan. Pendisiplinan santri pada pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yg melanggarnya akan diberi sanksi bervariasi yg edukatif.

Pendidikan toleransi atas disparitas jua kental diajarkan pada sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran serta ijtihad diajarkan pada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka buat memaksakan wangsit. Sikap toleransi terhadap disparitas pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok terkini.

Dengan sistem Mu’allimin yg didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan pada pendidikan formal, bisa dilalui pondok terkini. Pada KBK, hambatan utamanya merupakan keterbatasan saat ajar buat memberi pemahaman penuh sebuah materi pada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding saat formal pembelajaran pada dalam kelas. Keterbatasan masa pedagogi pada kelas ini pun dapat tertanggulangi pondok pesantren menggunakan adanya banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan para guru buat melengkapi pedagogi pada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan saat serta menciptakan pedagogi sebagai efektif. Ditambah lagi dengan arus utama sistem pendidikan pada pondok terkini yang tidak mengenal dibagi dua pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler.[15] 

Keutamaan pendidikan multikulturalisme di pondok terkini jua tercermin menurut muatan/isi kurikulum yg jelas mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam grup bidang studi Dirasah Islamiyah, menjadi contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, kenyataan serta dinamika keagamaan pada global. Materi ini sangat substansial pada pendidikan multikulturalisme, lantaran santri diwawaskan berbagai disparitas fundamental keyakinan agama mereka (Islam) dengan agama-agama lain di dunia. Materi ini sangat potensial membangun pencerahan toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui ketika hidup bermasyarakat kelak.

Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok terbaru menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni besar Khutbatul ‘Arsy menggunakan galat satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya seluruh elemen santri, menurut kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah dan budaya loka domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan buat menjadi pencerah awal serta pewawasan kebhinekaan budaya pada lingkungan yg akan mereka huni.

Keadaan Pendidikan Islam pada Indonesia
Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam nir terlepas menurut sejarah Islam dalam umumnya. Karena itulah, periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tadi dalam dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak umat Islam dalam masa itu dan pada masa yang akan tiba yg dianggap menjadi kebutuhan hayati (need of life). Usaha yang dimiliki, jika kita teliti atau perhatikan lebih mendalam, merupakan upaya buat melaksanakan isi kandungan Al-Qur'an terutama yg tertuang dalam surat Al-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yg mula-mula diterima Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat jibril pada gua Hira. Ini adalah keliru satu model berdasarkan opersionalisasi penyampaian berdasarkan pendidikan tersebut.

Prof. Dr. Harudn Nasution, secara garis akbar membagi sejarah Islam ke dalam 3 periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan terkini.

Selanjutnya, pembahasan mengenai lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti penahapan perkembangan menjadi berikut:
  1. Periode pelatihan pendidikan Islam, berlangsung pada masa nab Muhammad SAW. Selama sekitar dari 23 tahun, yaitu semenjak dia mendapat wahyu pertama menjadi tanda kerasulannya hingga wafat.
  2. Periode pertubuhan pendidikan, berlangsung semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan Bani Umaiyah, yg diwarnai oleh penyebaran Islam ke pada lingkungan budaya bangsa pada luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli
  3. Periode kejayaan pendidikan Islam, berlangsung semenjak permulaan Daulah bani Abbasiyah sampai menggunakan jatuhnya kota Bagdad yg diwarnai sang perkembangan secara pesat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai zenit kejayaannya.
  4. Tahap kemuduran pendidikan berlangsung semenjak jatuhnya kota Bagdad hingga menggunakan jatuhnya Mesir sang Napoleon sekirat abad ke-18 M. Yg ditandai oleh lemahnya kebudayaan Islam berpindahnya sentra-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban insan ke global Barat.
  5. Tahap pembaharuan pendidikan Islam, berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon dalam akhir abad ke-18 M. Hingga kini , yg pada tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya serta pendidikan terkini berdasarkan global Barat ke dunia Islam.
Sementara itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan menggunakan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya kegiatan pendidikan Islam tadi adalah pengalaman serta pengetahuan yang krusial bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara kuantitas juga kualitas.

Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya pada aneka macam aspek sosial, politik, budaya. Oleh karenanya, untuk melacak sejarah pendidikan Islam pada Indonesia menggunakan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun pertumbuhan oraganisasi serta kelembagaannya nir mungkin dilepaskan berdasarkan fase-fase yang dilaluinya.

Fase-fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi sebagai;
  1. Periode masuknya Islam ke Indonesia
  2. Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi
  3. Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam (proses politik)
  4. Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942)
  5. Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945)
  6. Periode kemerdekaan I Orde usang (1945 – 1965)
  7. Periode kemerdekaan II Orde Baru/Pembangunan (1966- sekarang)

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002), h. 2-6.
[2] Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 pada depan kuliah terbuka di Princenton University. Mulanya gagasanya merupakan gagasan politik yg lalu berkembang pada kajian lain, flsafat, sosiologi, budaya serta lainnya. Gagasanya ditentukan sang padangan Jean-Jacques Rousseau pada Discourse Inequality dan kesamaan prestise (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber dalam pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia merupakan sama. Kedua, pada dasarnya budaya pada warga merupakan bhineka, sang karenanya membutuhkan hal yg ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh seluruh element sosial-budaya, termasuk jua negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” pada Amy Gutman. Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), h. 18.
[3] Raz J.. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 375.
[4] Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J.. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), h. 177.
[5] James A.bank serta Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), h. 28.
[6] Sonia Nieto. Language, Culture and Teaching (Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum, 2002), h. 29.
[7] Bikhu Parekh. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), h. 230.
[8] James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” pada James A. Banks dan Cherry A. McGee, op. Cit., h. 3-24.
[9] H.A.R. Tilaar, op. Cit., h. 185-190.
[10] KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA, Masa Depan Pendidikan Pesantren Agenda yg Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing, 2008
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] KH Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, Jakarta: Taj Publishing, 2008.
[14] KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press, 2005. H. 125
[15] Ibid. H. 155. Didukung sang output wawancara menggunakan KH Nurhadi Ihsan MA, Direktur KMI Pondok Modern Gontor, Penanggungjawab bidang kurikulum Pondok Modern Gontor, lepas 18 Oktober 2008.