PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi mencakup banyak sekali aspek perubahan dalam aktivitas ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yang dicapai suatu negara sudah semakin tinggi, tidak mudah buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg mengakibatkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan pada jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita warga pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi menggunakan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra menurut pembangunan ekonomi meningkat, Dengan memakai data pendapatan perkapita selalu menggambarkan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai banyak sekali negara
2. Tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu berukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun eksklusif bila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk dan perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena akselerasi pertumbuhan ekonomi :
1. Hasrat negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang serta jasa yang diproduksikan pada suatu negara dalam suatu tahun eksklusif – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung dari :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yg berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga permanen – riil
Menurut harga yang berlaku pada tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif dalam perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air dan gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank dan forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan taraf kesejahteraan warga menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita nir sepenuhnya mencerminkan taraf kesejahteraan serta taraf pembangunan suatu negara, lantaran :
1. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber berdasarkan kenyataan bahwa taraf kesejahteraan warga bukan saja ditentukan sang tingkat pendapatan mereka tetapi pula sang faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri juga mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yang keliru / terlalu rendah terhadap negara miskin karena jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan tersebar di banyak sekali pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga kedua negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain memilih pendapatan berdasarkan tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian nir menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / saat senggang tinggi
- pembangunan ekonomi tidak hanya buat menaikkan pendapatan warga tetapi jua harus mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- imbas adat istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan dalam pembangunan ekonomi
Hasil analisis dari M.S. Ahluwalia ; tentang keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang aneka macam golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai taraf pendapatan tertentu atau kurang menurut itu

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Ekonomi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan
Pembangunan ekonomi meliputi banyak sekali aspek perubahan dalam kegiatan ekonomi, taraf pembangunan ekonomi yg dicapai suatu negara telah semakin tinggi, nir gampang buat diukur secara kuantitatif

Definisi pembangunan ekonomi dasawasa tahun 1960-an :
Suatu proses yg menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat secara berketerusan dalam jangka panjang.

Indikator pembangunan ekonomi :
  • Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat pertambahan gdp > taraf pertambahan penduduk
  • Peningkatan gdp dibarengi dengan perombakan struktur ekonomi tradisional ke modernisasi pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi negara.
Sebagai citra berdasarkan pembangunan ekonomi meningkat, Dengan menggunakan data pendapatan perkapita selalu mendeskripsikan :
1. Taraf pembangunan ekonomi yg dicapai aneka macam negara
2. Tingkat perkembangannya menurut tahun ke tahun

Pertumbuhan ekonomi
Suatu ukuran kuantitatif yg menggambarkan perkembangan suatu perekonomian pada suatu tahun tertentu apabila dibandingkan menggunakan tahun sebelumnya

Indikator :
  • kenaikan gdp tanpa memandang tingkat pertambahan penduduk serta perubahan struktur organisasi ekonomi.
  • pertumbuhan ekonomi menyatakan perkembangan ekonomi negara maju.
sebab-karena percepatan pertumbuhan ekonomi :
1. Impian negara buat mengejar ketinggalan
2. Pertumbuhan penduduk
3. Adanya keharusan negara maju buat membantu nysb
4. Adanya perikemanusiaan thd nysb

Pendapatan nasional :
Nilai barang dan jasa yang diproduksikan dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu – secara konseptual dinamakan PDB – produk domestik bruto.

Nilai PDB bisa dihitung berdasarkan :
a. Harga berlaku – nominal
Menurut harga yang berlaku dalam tahun PDB dihitung

b. Harga tetap – riil
Menurut harga yang berlaku dalam tahun dasar perhitungan – base year metode penghitungan pendapatan nasional
1. Metode produksi
2. Metode pendapatan
3. Metode pengeluaran

Terdapat 11 sektor produktif pada perhitungan pendapatan nasional :
1. Pertanian
2. Industri pengolahan
3. Pertambangan serta galian
4. Listrik
5. Air serta gas
6. Bangunan
7. Pengangkutan serta komunikasi
8. Perdagangan
9. Bank serta forum keuangan
10. Sewa rumah
11. Pertahanan
12. Jasa lainnya

Pendapatan perkapita pertahun perlu diketahui buat :
1. Membandingkan tingkat kesejahteraan rakyat menurut masa ke masa
2. Membandingkan laju perkembangan ekonomi antara banyak sekali negara
3. Melihat berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.

Tingkat pendapatan perkapita tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan serta tingkat pembangunan suatu negara, karena :
1. Kelemahan-kelemahan yg bersumber menurut ketidaksempurnaan pada menghitung pendapatan nasional dan pendapatan perkapita.
2. Kelemahan-kelemahan yang bersumber menurut kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bukan saja ditentukan oleh tingkat pendapatan mereka namun pula oleh faktor-faktor lain.

Kelemahan ad 1.
1. Kelemahan metodologis dan statistis dalam menghitung pendapatan perkapita pada nilai mata uang sendiri maupun mata uang asing.
2. Terjadi penafsiran yg galat / terlalu rendah terhadap negara miskin lantaran jenis-jenis kegiatan pada negara miskin terdiri berdasarkan unit-unit mini dan beredar pada berbagai pelosok shg nir dimasukkan dalam variabel perhitungan pendapatan nasional.
3. Nilai tukar resmi mata uang suatu negara menggunakan valuta asing nir mencerminkan perbandingan harga ke 2 negara, walaupun pada teori dikatakan nilai tukar ini menyatakan harga.

Kelemahan ad 2
faktor-faktor lain menentukan pendapatan menurut tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara
1. Faktor ekonomi :
- struktur umur penduduk
- distribusi pendapatan nir merata, sebagian tidak menikmati hasil pembangunan.
- corak pengeluaran warga berbeda
- masa lapang / waktu senggang tinggi
- pembangunan ekonomi nir hanya buat menaikkan pendapatan rakyat namun pula wajib mengurangi jumlah pengangguran.

2. Faktor non ekonomi :
- impak tata cara istiadat
- keadaan iklim serta alam sekitar
- ketidakbebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat serta bertindak

Distribusi pendapatan pada pembangunan ekonomi
Hasil analisis berdasarkan M.S. Ahluwalia ; mengenai keadaan distribusi pendapatan :

1. Distribusi pendapatan relatif
Perbandingan jumlah pendapatan yg diterima sang banyak sekali golongan penerima pendapatan

2. Ditribusi pendapatan mutlak
Persentase jumlah penduduk yang pendapatannya mencapai tingkat pendapatan tertentu atau kurang dari itu

TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
Tujuan Instruktusional Khusus

  1. Agar mahasiswa bisa menjelaskan konsep berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi regional.
  2. Agar mahasiswa bisa menyebutkan 4 grup dalam teori-teori yang mendukung teori pertumbuhan ekonomi regional .
  3. Agar mahasiswa bisa mengungkapkan faktor-faktor yg mempengaruhi teori pertumbuhan ekonomi regional.
Pertumbuhan Ekonomi Regional

Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan dalam pengaruh disparitas karateristik space terhadap pertumbuhan ekonomi.

Faktor yg sebagai perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional
·Keuntungan Lokasi
·Aglomerasi Migrasi
·Arus lalu lintas kapital antar wilayah.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Nasional Þ faktor – faktornya :
·Modal
·Lapangan Kerja
·Kemajuan Tehnologi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dibagi atas 4 gerombolan
·Export Base - Models
·Neo Klassik Models
·Cumulative Causation Models
·Core Periphery Models
·Export Base Models

Dipelopori sang Douglas C. NorthKelompok ini berpendapatan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih poly dipengaruhi oleh jenis laba lokasi ( comperative advantage ) serta dapat dipakai sang daerah tadi menjadi kekuatan ekspor.

Keuntungan lokasi umumnya tidak sama setiap region hal ini tergantung dalam keadaan geografi daerah setempat.

Export Base Models berorientasi dalam prinsip Comperative advantage dan Comperative Competitive.

Model Neo Klassik

Penekanan analisanya dalam alat-alat fungsi produksi. Unsur-unsur yang memilih pertumbuhan ekonomi regional adalah kapital, energi kerja serta tehnologi. Selain itu dibahas secara mendalam perpindahan penduduk ( migrasi ) serta kemudian lintas kapital terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Model Neo Klassik mengatakan bahwa masih ada hubungan antara taraf pertumbuhan suatu negara menggunakan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) dalam negara yang bersangkutan.

Pada waktu proses pembangunan baru dimulai (NSB) taraf perbedaan kemakmuran antar daerah cenderung sebagai tinggi ( Divergence ) sedangkan bila proses proses pembangunan sudah berjalan dalam ketika lama ( Negara maju ) maka disparitas taraf kemakmuran antar wilayah cenderung menurun ( Convergence ) ÞTeori Simon Kuznet Alasan ( pada NSB )

  1. Lalu lintas orang dan kapital masih belum lancar
  2. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi
  3. Masih kuatnya tradisi yg menghalangi mobilitas penduduk yg menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan kapital antar wilayah.
Model Cumulative Causation ( Keynes )

Menurut Dixon serta Thirwall ( 1974 ) Setiap negara akan mengalami “ Verdoorn Effect “
Tidak terjadi Convergence pada perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah walaupun negar tsb.

Tergolong maju

Daerah maju tetap berkembang secara pesat karena adanya hubungan positip antara kemajuan tehnologi menggunakan tingkat laba perusahaan ( bisnis ). Sedangkan wilayah yg kurang berkembang akanm permanen berkembang secara lambat karena taraf laba yang diperoleh usahawan pada daerah ini rendah.

Peningkatan pemerataan pembangunan nir dapat hanya diserahkan dalam prosedur pasar. Tapi bisa dilakukan melalui campur tangan aktif dari pemerintah pada bentuk program-acara pembangunan daerah.

Model Core Periphery

Oleh John Friedman Menekankan analisanya pada hubungan yg erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota ( core ) serta desa ( periphery).menurut teori ini mobilitas langkah pembangunan wilayah perkotaan

Akan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan desa –desa sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan wilayah pedesaan sangat ditentukan sang arah pembangunan daerah perkotaan
Aspek hubungan antar daerah ( spatial interaction )

Menurut John Friedman

Hubungan Core Periphery bisa terjadi ditimbulkan lantaran :
1.perluasan pasar
2.penemuan asal-asal baru
3.perbaikan prasarana perhubungan
4.penyebaran tehnologi antar daerah 

TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional
Tujuan Instruktusional Khusus

  1. Agar mahasiswa bisa mengungkapkan konsep menurut teori pertumbuhan ekonomi regional.
  2. Agar mahasiswa bisa menyebutkan 4 grup pada teori-teori yang mendukung teori pertumbuhan ekonomi regional .
  3. Agar mahasiswa dapat menyebutkan faktor-faktor yg menghipnotis teori pertumbuhan ekonomi regional.
Pertumbuhan Ekonomi Regional

Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan pada pengaruh disparitas karateristik space terhadap pertumbuhan ekonomi.

Faktor yg sebagai perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional
·Keuntungan Lokasi
·Aglomerasi Migrasi
·Arus kemudian lintas modal antar wilayah.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Nasional Þ faktor – faktornya :
·Modal
·Lapangan Kerja
·Kemajuan Tehnologi
Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional dibagi atas 4 grup
·Export Base - Models
·Neo Klassik Models
·Cumulative Causation Models
·Core Periphery Models
·Export Base Models

Dipelopori oleh Douglas C. NorthKelompok ini berpendapatan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih poly ditentukan oleh jenis laba lokasi ( comperative advantage ) serta bisa digunakan oleh daerah tadi sebagai kekuatan ekspor.

Keuntungan lokasi umumnya tidak selaras setiap region hal ini tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat.

Export Base Models berorientasi dalam prinsip Comperative advantage serta Comperative Competitive.

Model Neo Klassik

Penekanan analisanya pada peralatan fungsi produksi. Unsur-unsur yang memilih pertumbuhan ekonomi regional merupakan kapital, tenaga kerja dan tehnologi. Selain itu dibahas secara mendalam perpindahan penduduk ( migrasi ) serta lalu lintas kapital terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Model Neo Klassik mengatakan bahwa masih ada interaksi antara taraf pertumbuhan suatu negara menggunakan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan.

Pada ketika proses pembangunan baru dimulai (NSB) taraf disparitas kemakmuran antar wilayah cenderung sebagai tinggi ( Divergence ) sedangkan jika proses proses pembangunan telah berjalan dalam ketika lama ( Negara maju ) maka disparitas taraf kemakmuran antar daerah cenderung menurun ( Convergence ) ÞTeori Simon Kuznet Alasan ( pada NSB )

  1. Lalu lintas orang serta modal masih belum lancar
  2. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi
  3. Masih kuatnya tradisi yg menghalangi mobilitas penduduk yg menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah.
Model Cumulative Causation ( Keynes )

Menurut Dixon serta Thirwall ( 1974 ) Setiap negara akan mengalami “ Verdoorn Effect “
Tidak terjadi Convergence dalam disparitas taraf kemakmuran antar daerah walaupun negar tsb.

Tergolong maju

Daerah maju permanen berkembang secara pesat lantaran adanya interaksi positip antara kemajuan tehnologi menggunakan tingkat keuntungan perusahaan ( bisnis ). Sedangkan daerah yg kurang berkembang akanm tetap berkembang secara lambat lantaran tingkat laba yg diperoleh usahawan dalam wilayah ini rendah.

Peningkatan pemerataan pembangunan tidak dapat hanya diserahkan dalam prosedur pasar. Tapi dapat dilakukan melalui campur tangan aktif menurut pemerintah pada bentuk program-acara pembangunan daerah.

Model Core Periphery

Oleh John Friedman Menekankan analisanya dalam hubungan yang erat dan saling mensugesti antara pembangunan kota ( core ) dan desa ( periphery).menurut teori ini mobilitas langkah pembangunan daerah perkotaan

Akan lebih poly dipengaruhi sang keadaan desa –desa sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan daerah pedesaan sangat dipengaruhi oleh arah pembangunan wilayah perkotaan
Aspek hubungan antar wilayah ( spatial interaction )

Menurut John Friedman

Hubungan Core Periphery dapat terjadi disebabkan karena :
1.perluasan pasar
2.penemuan asal-sumber baru
3.perbaikan prasarana perhubungan
4.penyebaran tehnologi antar wilayah 

PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN

PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN - Sumberdaya biologi bahari khususnya perikanan tangkap adalah sumberdaya уаng unik уаіtu open acces serta common property sehingga pada pemanfaatannya kemungkinan аkаn mengalami overfishing bila ditangani dеngаn konsep ramah lingkungan dan keberlanjutan.

Hal іnі dikarenakan buat memanfaatkan potensi sumberdaya ikan tеrѕеbut harus dilakukan pendayagunaan dеngаn penangkapan оlеh nelayan. Sehingga diperlukan ѕuаtu usaha pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan tеrѕеbut supaya dараt dibatasi buat generasi уаng аkаn datang.

Dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan bаhwа pengelolaan sumberdaya ikan аdаlаh ѕеmuа upaya уаng dilakukan bertujuan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus atau berkelanjutan (sustainable).

PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN

Mеnurut Fauzy dan Anna (2005) paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami perubahan dаrі paradigma perlindungan (hayati) kе kerangka berpikir rasionalisasi (ekonomi) kеmudіаn kе paradigma sosial/komunitas. Wаlаuрun demikian, ketiga kerangka berpikir tеrѕеbut mаѕіh tetap relevan dalam kaitan dеngаn pembangunan perikanan уаng berkelanjutan serta wajib mengakomodasi ketiga aspek tadi.

Konsep pembangunan perikanan уаng berkelanjutan sendiri mengandung bеbеrара aspek, аntаrа lаіn :

Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi)
Dalam pandangan іnі memelihara keberlanjutan stok/biomass sebagai akibatnya tіdаk melewati daya dukungya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dаrі ekosistim menjadi pertimbangan utama.

Socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan sosio-ekonomi)
Konsep іnі mengandung makna bаhwа pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dаrі kesejahteraan pelaku perikanan baik dalam taraf individu ataupun pada termin industri perikanan. Dеngаn istilah lаіn mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat уаng lebih tinggi adalah pertimbangan pada kerangka keberlanjutan ini.

Community sustainability (keberlanjutan masyarakat)
Konsep іnі mengandung makna bаhwа keberlanjutan kesejahteraan dаrі sisi komunitas atau masyarakat haruslah sebagai perhatian membangunan perikanan уаng berkelanjutan.

Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan)
Dalam kerangka іnі keberlanjutan kelembagaan уаng menyangkut pada regulasi serta kebijakan tеntаng pengelolaan perikanan tangkap misalnya : kegiatan memelihara aspek finansial serta administrasi уаng sehat merupakan prasyarat dаrі ketiga pembanguan berkelanjutan dі atas.

Dеngаn dеmіkіаn јіkа ѕеtіар komponen ditinjau ѕеbаgаі komponen уаng krusial buat menunjang holistik proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan perikanan уаng berkesinambungan harus sanggup memelihara tingkat prioritas dаrі ѕеtіар komponen sustainable tadi. Dеngаn kata lаіn keberlanjutan sistim аkаn menurun mеlаluі kebijakan уаng ditujukan hаnуа buat mencapai satu elemen keberlanjutan saja.

Alder et.al (2000) pada Fauzy dan Anna (2005) pendekatan уаng holisti tеrѕеbut harus mengakomodasi berbagai komponen уаng menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Komponen tеrѕеbut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologi serta aspek etis. Dаrі ѕеtіар komponen atau dimensi terdapat bеbеrара atribut уаng wajib dipenuhi ѕеbаgаі keberlanjutan.

Bеbеrара komponen tеrѕеbut merupakan:

Ekologi: tingkat pendayagunaan, keragaman rekruitmen, perubahan berukuran tangkap, serta output tangkapan ikan sampingan (by catch) dan produktifitas primer.
Ekonomi: donasi perikanan terhadap GDP, penyerapan energi kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi serta alternatif income.
Sosial: pertumbuhan komunitas, status permasalahan, tingkat pendidikan, serta pengetahuan lingkungan (environmental awareness).
Teknologi: lama trip, tempat pendaratan, selektifitas indera, rumpon (Fish Aggregating Device’s/FADs), berukuran kapal serta impak ѕаmріng dаrі alat tangkap.
Etik: kesetaraan, ilegal fishing, mitigasi terhadap daerah asal, mitigasi terhadap ekosistim serta perilaku terhadap limbah serta by catch.
Keseluruhan komponen іnі diharapkan ѕеbаgаі prasarat dаrі dipenuhinya pembangunan perikanan уаng berkelanjutan sebagaimana diamanatkan pada Fisheries and Agriculture Organitation (FAO) code of conduct for responsible fisheries. Jika kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik іnі tіdаk dipenuhi maka pembangunan perikanan аkаn mengarah kе degradasi lingkungan, over-pendayagunaan dan destructive fishing practices.

Hal іnі dipicu оlеh cita-cita buat memenuhi kepentingan sesaat (generasi sekarang) atau masa sekarang sebagai akibatnya taraf pendayagunaan sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa buat memperoleh manfaat уаng sebesar-besarnya buat masa sekarang. Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi уаng “quick yielding” уаng ѕеrіng bersifat tіdаk konstruktif seperti penangkapan ikan dеngаn menggunakan bom.

Adapun mеnurut Gulland (1982) tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup :

Tujuan уаng bersifat fisik-biologik, уаіtu dicapainya taraf pemanfaatan dalam dalam level maksimum уаng lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY).

Tujuan уаng bersifat ekonomik, уаіtu tercapainya laba maksimum dаrі pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dаrі perikanan.

Tujuan уаng bersifat sosial, уаіtu tercapainya manfaat sosial уаng maksimal , contohnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya permasalahan kepentingan diantara nelayan serta anggota masyarakat lainnya.

Dwiponggo (1983) dalam Purwanto (2003) mengatakan bаhwа tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan dараt dicapai dеngаn :

Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dеngаn memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.

Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan.

Menjaga keanekaragaman biologi (plasma nutfah) уаng menghipnotis ciri-karakteristik, sifat dan bentuk kehidupan.
Mengembangkan perikanan dan teknologi уаng sanggup menumbuhkan industi уаng mengamankan sumberdaya secara konsisten serta bertanggung jawab.
Bеrdаѕаrkаn prinsip tеrѕеbut maka Purnomo (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan harus mempunyai taktik ѕеbаgаі bеrіkut :

Menjaga struktur komunitas jenis ikan уаng produktif serta efisien supaya harmonis dеngаn proses perubahan komponen habitat dеngаn dinamika аntаrа populasi.
Mengurangi laju intensitas penangkapan supaya sesuai dеngаn kemampuan produksi dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas уаng optimal dan lestari dараt terjamin.
Mengendalikan dan mencegah ѕеtіар bisnis penangkapan ikan уаng dараt menyebabkan kerusakan-kerusakan juga pencemaran lingkungan perairan secara pribadi juga tіdаk eksklusif.

KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI

Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam masyarakat Jawa Tengah serta warga Indonesia biasanya, diperlukan kehadiran seseorang pemimpin yang selaras baik menggunakan kesukaan rakyat pendukungnya maupun syarat rakyat yang majemuk. Berkaitan dengan hal itu, dalam artikel aku akan membahas tentang tipologi kepemimpinan dan sifat pemimpin yg sesuai menggunakan cita rasa warga Jawa Tengah. Harapan terhadap keluarnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yg ideal dalam dasarnya adalah cerminan menurut kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini jua akan dibicarakan mengenai sifat pemimpin berdasarkan contoh kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat kepada pencipta, leluhur, serta orang tua. Sementara itu dalam contoh kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke pada kelompok-gerombolan , di antaranya yg terbesar adalah Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yg jauh berbeda walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk gerombolan -grup kecil yang lain, contohnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa juga di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, galat satunya merupakan Abdurrahman Wahid, berusaha meredam disparitas pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi mengenai bagaimana cara mengatasi rakyat Indonesia yg plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat juga bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di taraf desa, kota juga sentra telah dinodai dan dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik pada kampanye yg tidak ditepati setelah seorang terpilih menjadi pemimpin, dan praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan rakyat kepada pemimpinnya yg notabene selalu diidolakan serta didambakan terutama mengenai tipe serta sifat-sifat ideal yg inheren dalam seseorang pemimpin?

1. Hipotesis tentang Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain mengenai ihwal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum menyampaikan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita buat tahu serta melakukan pembahasan menurut alur yg sistematis. 

Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) maupun kepercayaan . Saya hanya akan membicarakan definisi yg relevan menggunakan pokok pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seorang menjadi pemimpin (leader) buat mensugesti orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yg lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan menjadi suatu proses dalam mensugesti aktivitas-kegiatan seseorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yg sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan menjadi suatu kedudukan sosial serta menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks menurut hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki sang seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yang dilakukan sang seseorang atau suatu badan yang mendorong gerak warga rakyat.

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang untuk mensugesti orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seorang itu dapat disebut memiliki impak terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mensugesti orang atau pihak lain, sedangkan wewenang adalah kekuasaan seorang atau sekelompok orang yg menerima dukungan atau pengakuan menurut rakyat. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan 3 hal krusial yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. 

Sementara itu ditinjau berdasarkan sudut pandang agama (Islam), kata kepemimpinan dari berdasarkan istilah ‘pemimpin’, adalah orang yang berada pada depan serta memiliki pengikut, terlepas menurut problem apakah orang yang menjadi pemimpin itu menyesatkan atau tidak. Dalam konteks Islam, setidaknya ada 2 konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah. Masing-masing grup Islam mempunyai pendefinisian tidak sinkron tentang kedua konsep itu, meskipun terdapat juga yg menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah serta imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah merupakan penguasa tertinggi yg menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah pula diklaim sebagai imam (pemimpin) yg harus ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini dapat dilihat pada sejarah kepemimpinan Islam selesainya Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama saat Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib menjadi pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, serta Ustman adalah khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seorang yang mengurus persoalan agama serta global sebagai wakil dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi semua ranah kehidupan insan baik itu kepercayaan maupun politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan grup Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu dalam kepemimpinan model Barat. 

Meskipun kelompok Sunni, Syiah, dan Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak selaras tentang kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu warga haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat dengan demikian tidak mungkin dapat dipisahkan berdasarkan kasus kepemimpinan.

2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik pada tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung dalam kepemimpinan para ketua wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-kepala wilayah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala wilayah yg memerintah dalam masa belakangan masih keturunan berdasarkan ketua daerah yang berkuasa dalam masa sebelumnya. Hal itu bisa dilihat menurut dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yang disusun sang DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan sang suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yg memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini ditimbulkan norma rakyat desa menentukan seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas pada desa–desa yg makmur, sebagai akibatnya pemilihan lurah menjadi suatu sasana pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama berdasarkan konflik itu berpangkal dalam tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan dalam calon yg sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih nir hanya berdasarkan dalam keturunan, tetapi jua pada hadiah yang umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan pada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan bila para calon kepala desa dalam masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka menerima dukungan dari warga rakyat yang sudah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis pada rakyat warga agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini nir dibenarkan baik sang negara maupun kepercayaan . Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar serta seolah-olah tidak tersentuh sang aturan.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan pada warga tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi sang kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan sang Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta kepercayaan jua memiliki imbas yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.

b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi berdasarkan anggotanya atau rakyat warga yang dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa mempunyai wewenang buat memimpin secara resmi selesainya mendapat legitimasi dari dalam prosedur yang telah ditetapkan pada norma-norma atau hukum yg berlaku dalam warga yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yang satu serta yang lain maupun berdasarkan saat ke waktu.

Dalam rakyat tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-yang kuasa. Pada zaman kerajaan, mekanisme buat melegitimasi kepemimpinan seorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian rakyat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi pula adalah unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karena itu, buat menerima kekuasaan pada kepemimpinan, seorang harus menempuh banyak sekali jalan (laku ) yg panjang. Kekuasaan bisa pula diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan bisa pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan dari keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada aneka macam level tidak lagi berdasarkan terutama dalam keturunan, melainkan pada taraf pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yg berhasil terpilih wajib mendapatkan pengakuan dari warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seseorang pemimpin mempunyai wibawa, kewenangan, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi oleh masyarakat.

3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa biasanya pula mengutamakan keselarasan dalam hayati bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hayati dan pola pikir yg demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi warga Jawa pada meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan kasus kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hayati yg sederhana, amanah, adil, bertenggang rasa (tepa selira), ekonomis, disiplin, dan taat pada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang serta pitutur sudah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua dalam kakawin Ramayana serta Mahabarata, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin harus memberitahuakn perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh perilaku delapan dewa, pada antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, serta Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yg dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

b. Model Islam serta Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri menjadi sosok yang lemah serta membutuhkan eksistensi orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menganggap orang lain misalnya yg dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat menjadi teman, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib mempunyai kualitas spiritual, terbebas menurut segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan empiris, nir terjebak dalam dan menjauhi kenikmatan dunia, serta wajib memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami menjadi cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat ditinjau dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada rakyatnya.

Melihat kemajemukan rakyat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara membuatkan pluralisme dalam konteks menciptakan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, ialah amanah jabatan serta kekuasaan harus digunakan sesuai menggunakan tuntutan Allah dan Rasul–Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, meskipun Islam adalah kepercayaan mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam menyebabkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ide-pandangan baru demokrasi, pluralisme, dan proteksi hak-hak asasi manusia cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), masih ada 5 jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan atau grup. Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat serta tindakan badani pada luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga serta keturunan, keselamatan mal serta milik langsung di luar prosedur hukum, serta keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima agunan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai jika terjadi ekuilibrium antara kesamaan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir seluruh warga termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin wajib dibuktikan pada wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa dan bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu dalam modernisasi religiusitas, adalah harus berlandaskan dalam keagamaan serta pembebasan warga untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi insan mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada universalisme Islam masih ada beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan perilaku, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yg demikian bukan berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan Islam adalah yg ideal. Universalisme Islam serta pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks menciptakan kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat nir wajib menjadi fondamen dan jiwa dari kepercayaan dan negara.

Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia bisa ambiguitas, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan kapital sosial yang dapat membuat energi positif dan memperkaya kultur bangsa, tetapi di sisi sebaliknya juga bisa menjadi tenaga negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg krusial merupakan bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi dampak keanekaragaman itu tidak bisa dikelola menggunakan kebijakan politik yg demokratis serta egaliter termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani menggunakan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun interaksi intersubjektif yg sanggup melahirkan keikhlasan yg berdasarkan dalam nilai-nilai kebenaran serta kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada konsensus antarpemimpin serta ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu ada 2 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kejujuran perilaku dan ucapan yg disertai dengan perilaku mengalah buat kepentingan beserta (Wahid, 2006).

c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seorang tidak sinkron satu sama lain. Kepribadian ikut mensugesti sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin wajib senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak butir. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan berdasarkan sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk dalam pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seseorang pemimpin, (2) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan dan terapkan wangsit-wangsit baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan warga , (lima) tingkatkan kekuasaan serta hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan program serta planning tentang kepemimpinan, (7) belajarlah berdasarkan kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah pada output serta selesaikan sesuatu yang telah dimulai, (9) gunakan kekuatan menjadi pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).

4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat pada Pembangunan
Dalam menyampaikan hubungan antara pemimpin dan masyarakat pada pembangunan, perlu dilihat aneka macam variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki dasar antara lain mengabdi pada kepentingan umum, memperhatikan masyarakat baik pada pada juga pada luar pekerjaan, serta membangun komunikasi yg lancar dengan bawahan (warga ). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta interaksi yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu pada taraf desa, kota ataupun sentra. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa ditinjau secara geometrik menjadi berikut.

Gambar Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yg menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin pula bisa ditentukan berdasarkan bentuk kolaborasi pada pembangunan yang nir hanya untuk anggotanya, tetapi menurut masyarakat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini dapat diartikan menjadi usaha atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terencana yang dilakukan secara sadar sang suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin wajib memiliki kekuasaan yg bersumber dalam hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan spesifik (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung dalam kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seseorang pemimpin umumnya jua mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka dan sebagainya.

Masyarakat tidak dapat beranjak tanpa adanya pemimipin menjadi perantara dan motivator dan komunikator dalam pembangunan pada berbagai bidang. Pemimpin harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran seorang pemimpin tidak terdapat merupakan tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin serta rakyat adalah hal yg mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yg demikian itu bisa digambarkan menggunakan memakai sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan rakyat dapat pula digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak wajib patuh pada bapaknya sebagai pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi dan menggerakkan segala kegiatan pada masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan dianggap sang anggotanya menjadi cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) pada pembangunan.

KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI

Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam rakyat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya, diharapkan kehadiran seorang pemimpin yg selaras baik dengan kesukaan rakyat pendukungnya juga kondisi warga yg beragam. Berkaitan menggunakan hal itu, dalam artikel aku akan membahas mengenai tipologi kepemimpinan serta sifat pemimpin yang sinkron dengan cita rasa rakyat Jawa Tengah. Harapan terhadap munculnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yang ideal dalam dasarnya adalah cerminan berdasarkan kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini pula akan dibicarakan tentang sifat pemimpin dari contoh kepemimpinan tradisonal Jawa serta Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat pada pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan mengenai pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke dalam kelompok-gerombolan , pada antaranya yang terbesar merupakan Sunni dan Syiah. Kedua grup ini memiliki pemahaman mengenai kepemimpinan yg jauh tidak selaras walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk grup-gerombolan mini yg lain, contohnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa pula pada Indonesia. Sebagian tokoh Islam, keliru satunya adalah Abdurrahman Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi warga Indonesia yang plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik pada konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik pada taraf desa, kota juga pusat sudah dinodai serta dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik dalam kampanye yang nir ditepati sesudah seseorang terpilih menjadi pemimpin, serta praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh sang hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan warga pada pemimpinnya yang notabene selalu diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat ideal yg inheren pada seorang pemimpin?

1. Hipotesis mengenai Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain tentang tentang pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini bisa membantu kita buat tahu dan melakukan pembahasan dari alur yang sistematis. 

Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu berdasarkan pakar politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) juga agama. Saya hanya akan membicarakan definisi yang relevan menggunakan utama pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seseorang menjadi pemimpin (leader) buat menghipnotis orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam menghipnotis kegiatan-aktivitas seorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, timbul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yg dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sementara menjadi suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yg dilakukan sang seorang atau suatu badan yg mendorong mobilitas masyarakat warga .

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang buat mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang itu dapat dianggap mempunyai efek terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seorang atau sekelompok orang yang menerima dukungan atau pengakuan menurut warga . Dalam interaksi dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengungkapkan bahwa kepemimpinan wajib dikaitkan dengan 3 hal penting yaitu kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan. 

Sementara itu ditinjau menurut sudut pandang agama (Islam), istilah kepemimpinan berasal berdasarkan kata ‘pemimpin’, adalah orang yg berada pada depan serta mempunyai pengikut, terlepas menurut persoalan apakah orang yang sebagai pemimpin itu menyesatkan atau nir. Dalam konteks Islam, setidaknya terdapat dua konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah serta khilafah. Masing-masing grup Islam memiliki pendefinisian tidak sama tentang kedua konsep itu, meskipun ada jua yang menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut pula sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah adalah penguasa tertinggi yang menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah jua dianggap sebagai imam (pemimpin) yg wajib ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini bisa dipandang dalam sejarah kepemimpinan Islam sehabis Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama waktu Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib sebagai pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman merupakan khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya sebagai panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seseorang yg mengurus duduk perkara kepercayaan serta global sebagai wakil menurut Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara tersirat kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya meliputi ranah jabatan politik, nir melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah mencakup seluruh ranah kehidupan manusia baik itu kepercayaan juga politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri mengenai kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu pada kepemimpinan contoh Barat. 

Meskipun gerombolan Sunni, Syiah, serta Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak sinkron mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat menggunakan demikian tidak mungkin bisa dipisahkan dari kasus kepemimpinan.

2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik di tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-ketua daerah, terutama pada Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-ketua daerah yg memerintah pada masa belakangan masih keturunan dari ketua wilayah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu bisa dipandang menurut dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yg disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan oleh suatu panitia pada bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya bisa disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yang memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan dari banyaknya hadiah pada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah sebagai suatu gelanggang konfrontasi yang ramai sekali. Alasan utama menurut konflik itu berpangkal pada tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih tidak hanya didasarkan pada keturunan, namun juga pada anugerah yg umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon ketua desa dalam masa kampanye melakukan banyak sekali cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari masyarakat masyarakat yg telah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji cantik kepada warga rakyat supaya mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini tidak dibenarkan baik sang negara juga agama. Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar dan seolah-olah nir tersentuh oleh aturan.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan dalam warga tradisional ataupun pedesaan ditentukan oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta agama pula memiliki efek yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.

b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yg terpilih harus menerima legitimasi dari anggotanya atau masyarakat masyarakat yg dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa memiliki wewenang buat memimpin secara resmi sesudah mendapat legitimasi dari dalam mekanisme yang sudah ditetapkan dalam norma-istiadat atau hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yg satu serta yang lain maupun dari ketika ke ketika.

Dalam warga tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-tuhan. Pada zaman kerajaan, prosedur buat melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan sang sebagian warga . Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, serta mimpi pula merupakan unsur-unsur yg berperan krusial baik pada pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karenanya, buat menerima kekuasaan dalam kepemimpinan, seseorang harus menempuh berbagai jalan (laku ) yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman terkini ini, kepemimpinan bisa jua diperoleh melalui pendidikan serta pemilihan menurut keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan dalam berbagai level nir lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yg berhasil terpilih harus menerima pengakuan menurut warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, karena mereka pada masa kini atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi sang masyarakat.

3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan warga Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan serta perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, pengajar, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa umumnya pula mengutamakan keselarasan pada hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir yg demikian telah barang tentu sangat mensugesti rakyat Jawa dalam meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan serta kebudayaan. Jika hal ini dihubungkan menggunakan perkara kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin wajib bisa memberitahuakn sikap hidup yang sederhana, jujur, adil, bertenggang rasa (tepa selira), irit, disiplin, serta taat pada aturan (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang dan pitutur telah mengajarkan mengenai sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara menjadi tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua pada kakawin Ramayana dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin wajib menunjukkan perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan yang kuasa, di antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, dan Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–menjadi pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

b. Model Islam dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi etos, etika kedaifan identik menggunakan menghargai orang lain (liyan) atau menduga diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan eksistensi orang lain pada menjalani kehidupan beserta yang semakin berat. Kehidupan pada etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menduga orang lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat sebagai sahabat, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib memiliki kualitas spiritual, terbebas berdasarkan segala dosa, mempunyai kemampuan sesuai menggunakan empiris, tidak terjebak dalam serta menjauhi kenikmatan global, serta harus mempunyai sifat adil. Adil dalam hal ini bisa dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu dalam tempatnya yg layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat dicermati menurut bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.

Melihat kemajemukan masyarakat Indonesia, maka tantangannya merupakan bagaimana cara berbagi pluralisme pada konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, adalah jujur jabatan dan kekuasaan wajib dipakai sesuai dengan tuntutan Allah serta Rasul–Nya, berlaku adil, serta melindungi kepentingan warga .

Dengan demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam mengakibatkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ilham-inspirasi demokrasi, pluralisme, serta perlindungan hak-hak asasi insan cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat lima jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik dalam perorangan atau gerombolan . Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik rakyat serta tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda serta milik eksklusif pada luar prosedur aturan, serta keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam wajib menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, serta heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslimin serta kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin harus dibuktikan dalam wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya wajib berlandaskan dalam keagamaan dan pembebasan masyarakat buat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi serta hak asasi manusia absolut diharapkan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian menggunakan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan dan kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan berarti bahwa negara Islam juga kepemimpinan Islam merupakan yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks membentuk kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat tidak wajib menjadi fondamen dan jiwa menurut agama serta negara.

Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan modal sosial yang dapat membuat energi positif serta memperkaya kultur bangsa, namun di sisi kebalikannya pula bisa sebagai energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg penting adalah bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis serta egaliter termasuk pada dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani dengan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun hubungan intersubjektif yg mampu melahirkan keikhlasan yg berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan semua bangsa. Harus ada mufakat antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu terdapat 2 prasyarat yg wajib dipenuhi, yaitu kejujuran sikap serta ucapan yang disertai menggunakan perilaku mengalah buat kepentingan bersama (Wahid, 2006).

c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seseorang berbeda satu sama lain. Kepribadian ikut menghipnotis sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin harus senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan membuatkan potensi anak buah. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan menurut sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seorang pemimpin, (dua) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan serta terapkan inspirasi-ide baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan masyarakat, (lima) tingkatkan kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan acara serta rencana mengenai kepemimpinan, (7) belajarlah dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada output serta selesaikan sesuatu yang sudah dimulai, (9) gunakan kekuatan sebagai pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, serta petuah atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).

4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat dalam Pembangunan
Dalam mengungkapkan interaksi antara pemimpin serta warga dalam pembangunan, perlu dilihat berbagai variabel yg bisa dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya mempunyai dasar diantaranya mengabdi dalam kepentingan generik, memperhatikan warga baik pada dalam juga pada luar pekerjaan, dan membentuk komunikasi yg lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta hubungan yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang pada sebuah lembaga, baik itu di taraf desa, kota ataupun pusat. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa dilihat secara geometrik sebagai berikut.

Gambar Variabel-variabel yg menghipnotis keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin juga bisa dipengaruhi menurut bentuk kerja sama pada pembangunan yang nir hanya buat anggotanya, tetapi berdasarkan rakyat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini bisa diartikan sebagai bisnis atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terjadwal yg dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka training bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus memiliki kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan khusus (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung pada kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seorang pemimpin umumnya juga mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka serta sebagainya.

Masyarakat nir bisa berkiprah tanpa adanya pemimipin menjadi mediator dan motivator dan komunikator pada pembangunan pada aneka macam bidang. Pemimpin harus bisa menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, kiprah seseorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yg absolut lantaran keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yang demikian itu bisa digambarkan menggunakan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan warga bisa jua digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak harus patuh pada bapaknya menjadi pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya seringkali kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol serta mengawasi serta menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yg baik akan dianggap oleh anggotanya menjadi cermin, guru, serta tokoh kunci (key person) dalam pembangunan.