KONSEP PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
 Pembangunan serta pertumbuhan ekonomi satu sama lain nir dapat dipisahkan. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan menjadi suatu proses yang mengakibatkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Sedangkan kata pertumbuhan ekonomi memberitahuakn atau mengukur prestasi dari perkembangan ekonomi, atau diartikan menjadi kenaikan Gross Domestic Product/ Gross National Product tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih mini menurut tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Djojohadikusumo (1994) membedakan konserp pertumbuhan serta pembangunan ekonomi. Menurutnya pertumbuhan ekonomi serius pada peningkatan barang serta jasa pada aktivitas ekonomi warga , yang didasari sang paham Neo-Klasik serta Neo-Keynes. Sedangkan pembangunan ekonomi diartikan menjadi proses transformasi yg ditandai oleh perubahan struktural yaitu perubahan dalam landasan aktivitas ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi warga yg bersangkutan. Namun demikian pada umumnya para ekonom memberikan pengertian sama untuk kedua kata tadi. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi menjadi kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yang lebih generik, istilah pertumbuhan ekonomi umumnya dipakai buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara maju, sedangkan kata pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang (Arsyad, 1999).

Teori – teori tentang pertumbuhan yg telah dikenal luas salah satunya merupakan teori pertumbuhan neoklasik yg dikembangkan sang Solow. Teori ini dibentuk menjadi respon atas contoh Harord-Domar yg mengasumsikan rasio capital-output konstan. Model Solow mendefinisikan fungsi produksi yg mempunyai sifat bahwa faktor-faktornya saling bersubstitusi secara kontinyu, dan diasumsikan tiap faktor produksi mengalami diminishing return. Solow memulai menggunakan membangun fungsi produksi Y= F (K,L) 

Dimana Y adalah hasil yg merupakan fungsi berdasarkan jumlah kapital K dan tenaga kerja L. Solow mengasumsikan fungsi produksi ini adalah constant return to scale, yg berarti bahwa jika semua input dinaikkan menggunakan pengalian tertentu, hasil akan naik menggunakan pengalian yg sama. 

Teori Pertumbuhan Lewis (dalam Todaro, 2003) menyebutkan transformasi struktur perekonomian menurut pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih terbaru. Menurutnya, perekonomian terdiri menurut 2 sektor yaitu sektor tradisional pertanian yang tingkat produktivitasnya rendah dan sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi. Perhatian utama berdasarkan contoh ini diarahkan dalam terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, dan pertumbuhan hasil serta peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor terbaru. 

Karena pada biasanya tolok ukur menurut pembangunan ekonomi adalah taraf pertambahan produk domestik bruto seperti sudah di jelaskan sebelumnya, maka hal ini membuat pembangunan di negara-negara berkembang berorientasi dalam mengejar pertumbuhan yang tingi dalam rangka peningkatan pendapatan warga dan nasional melalui pertumbuhan pendapatan nasional (PDB), walaupun harus melakukan eksploitasi terhadap sumber-asal yang ada. Akan namun pada pelaksanaannya taktik ini ternyata nir menjamin adanya pemerataan distribusi pendapatan nasional bahkan lebih banyak merugikan warga bawah lantaran output pembangunan lebih terkonsentrasi dalam sekelompok orang saja. Hal ini ditandai menggunakan meningkatnya jumlah pengangguran, urbanisasi desa-kota, marginalisasi kemiskinan serta kerusakan lingkungan. Paradigm pembangunan seperti di atas yg hanya mengejar pertumbuhan yang tinggi perlu dikaji ulang pulang lantaran terbukti hanya akan membentuk ketidakmerataan distribusi pendapatan serta makin memperparah terjadinya kerusakan lingkungan. 

Adalah Kuznets (1955) yg berupaya mengkritisi contoh pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Menurutnya, pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hanya akan menciptakan kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yg dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan terkikis oleh ekses-ekses negatif berdasarkan pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets tentang impak kelestarian lingkungan hayati terhadap pertumbuhan ekonomi ini secara teoritis diungkapkan menggunakan muncunya teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) menyatakan bahwa buat kasus pada negara sedang berkembang seiring dengan perjalanan ketika, kegiatan industri bisa merusak kelestarian alam dan lingkungan. Sebaliknya buat negara maju, seiring menggunakan bepergian waktu dalam kegiatan industrinya, maka kelestarian lingkungan hayati semakin sanggup dijamin keberadaannya. Berdasarkan dalam penemuannya tadi, bentuk kurva EKC adalah alfabet U terbalik (Munasinghe, 1999). 

Konsep Perubahan Struktural 
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sudah menyebabkan perubahan struktur perekonomiansi wilayah tadi. Secara sederhana perubahan struktur perekonomian dapat ditinjau menurut besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing sektor tadi, perekonomian bisa dibagi sebagai 3 komponen, perekonomian dengan struktur primer atau agraris, perekonomian menggunakan struktur sekunder atau industry, serta perekonomian menggunakan struktur tersier atau jasa (Amir Hidayat, 2004). 

Pembangunan harus bisa menghasilkan perubahan struktural yg seimbang yang tidak menyebabkan ketimpangan antar sektor perekonomian serta membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang bisa menjaga kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Kwik Kian Gie, 2002). 

Perubahan structural terus terjadi dalam perekonomian Indonesia, akan tetapi perubahan yg terjadi justru membuat ketimpangan antar sektor yang lalu menumbuhkan struktur ekonomi yg ringkih, struktur ekonomi yang dapat dengan mudah ditentukan perubahan-perubahan yg terjadi disuatu sektor tanpa bisa digantikan oleh sektor lainnya. Sebagai contoh, pembangunan industri yg kurang memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan asal daya alam dengan bijak justru dengan gampang bisa tergoyang sang perubahan-perubahan yang terjadi pada global luar. Secara generik struktur perekonomian suatu negara bisa dibagi pada tiga sektor yaitu sektor pertanian atau sektor primer, sektor industri atau sekunder serta sektor jasa atau tersier. Dari pengalaman sejarah pada negara-negara maju, terlihat bahwa tahap awal pembangunan ekonomi pada negara tadi donasi sektor pertanian sangat lebih banyak didominasi, namun akan terus menurun sampai pada tahap tertentu. Peran mayoritas sektor pertanian ini akan digantikan sang sektor industri atau jasa. Fenomena perubahan seperti ini diklaim sebagai proses transformasi struktural (Todaro, 2006). 

Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang membuat sisi hasil pada persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yg kentara pada perubahan struktur perekonomian adalah sejalan menggunakan meningkatnya pendapatan perkapita, donasi (share) sektor industri terhadap pembentukan produk domestik bruto pula semakin tinggi (Malcom Gillis et al, 1987). 

Syrquin (1988) mengungkapkan struktur yang acapkali dipakai pada pembangunan dan sejarah ekonomi mengacu dalam pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi serta faktor-faktor yang dipakai. 

Industrialisasi dianggap sebagai pusat proses berdasarkan perubahan struktural. Dalam hal ini (struktur menjadi komposisi berdasarkan agregat) perubahan struktur juga diterapkan dalam agregat lainnya yang sudah membawa proses industrialisasi seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling bekerjasama berdasarkan perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi seringkali diklaim transformasi struktural (structural transformation). Chenery (1988) jua menjelaskan bahwa konsep transformasi struktural demand, perdagangan, produksi dan tenaga kerja merupakan karakteristik dari pembangunan. 

Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan struktur pada tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi menurut pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yg dilakukan Chenery mengenai transformasi struktur produksi memberitahuakn bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser menurut yg semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2000). 

KONSEP PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
 Pembangunan serta pertumbuhan ekonomi satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat pada jangka panjang. Sedangkan kata pertumbuhan ekonomi memperlihatkan atau mengukur prestasi dari perkembangan ekonomi, atau diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product/ Gross National Product tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih akbar atau lebih mini berdasarkan taraf pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau nir. Djojohadikusumo (1994) membedakan konserp pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Menurutnya pertumbuhan ekonomi serius pada peningkatan barang dan jasa dalam aktivitas ekonomi rakyat, yang didasari oleh paham Neo-Klasik serta Neo-Keynes. Sedangkan pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses transformasi yg ditandai oleh perubahan struktural yaitu perubahan pada landasan aktivitas ekonomi juga dalam kerangka susunan ekonomi warga yang bersangkutan. Tetapi demikian dalam umumnya para ekonom menaruh pengertian sama buat kedua kata tadi. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sebagai kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yg lebih generik, kata pertumbuhan ekonomi umumnya dipakai buat menyatakan perkembangan ekonomi pada negara maju, sedangkan kata pembangunan ekonomi buat menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang (Arsyad, 1999).

Teori – teori mengenai pertumbuhan yg telah dikenal luas salah satunya adalah teori pertumbuhan neoklasik yg dikembangkan sang Solow. Teori ini dibentuk menjadi respon atas contoh Harord-Domar yang mengasumsikan rasio capital-output konstan. Model Solow mendefinisikan fungsi produksi yang memiliki sifat bahwa faktor-faktornya saling bersubstitusi secara kontinyu, serta diasumsikan tiap faktor produksi mengalami diminishing return. Solow memulai menggunakan membentuk fungsi produksi Y= F (K,L) 

Dimana Y merupakan hasil yang merupakan fungsi menurut jumlah kapital K serta energi kerja L. Solow mengasumsikan fungsi produksi ini adalah constant return to scale, yang berarti bahwa jika seluruh input dinaikkan dengan pengalian tertentu, hasil akan naik menggunakan pengalian yang sama. 

Teori Pertumbuhan Lewis (dalam Todaro, 2003) mengungkapkan transformasi struktur perekonomian berdasarkan pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih terkini. Menurutnya, perekonomian terdiri menurut 2 sektor yaitu sektor tradisional pertanian yg tingkat produktivitasnya rendah serta sektor industri perkotaan terbaru yg taraf produktivitasnya tinggi. Perhatian utama dari model ini diarahkan dalam terjadinya proses pengalihan energi kerja, dan pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor terbaru. 

Karena dalam umumnya tolok ukur berdasarkan pembangunan ekonomi adalah tingkat pertambahan produk domestik bruto seperti sudah pada jelaskan sebelumnya, maka hal ini membuat pembangunan pada negara-negara berkembang berorientasi dalam mengejar pertumbuhan yg tingi dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat dan nasional melalui pertumbuhan pendapatan nasional (PDB), walaupun wajib melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber yg ada. Akan namun pada pelaksanaannya taktik ini ternyata nir menjamin adanya pemerataan distribusi pendapatan nasional bahkan lebih poly merugikan rakyat bawah lantaran output pembangunan lebih terkonsentrasi pada sekelompok orang saja. Hal ini ditandai menggunakan meningkatnya jumlah pengangguran, urbanisasi desa-kota, marginalisasi kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Paradigm pembangunan seperti pada atas yang hanya mengejar pertumbuhan yg tinggi perlu dikaji ulang balik lantaran terbukti hanya akan menghasilkan ketidakmerataan distribusi pendapatan serta makin memperparah terjadinya kerusakan lingkungan. 

Adalah Kuznets (1955) yg berupaya mengkritisi model pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Menurutnya, pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian alam serta lingkungan hanya akan membangun kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam beberapa periode sebelumnya justru akan terkikis oleh ekses-ekses negatif dari pertumbuhan itu sendiri. Analisis Kuznets mengenai efek kelestarian lingkungan hayati terhadap pertumbuhan ekonomi ini secara teoritis diungkapkan menggunakan muncunya teori Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori Environmental Kuznets Curve (EKC) menyatakan bahwa untuk perkara pada negara sedang berkembang seiring menggunakan perjalanan saat, aktivitas industri dapat Mengganggu kelestarian alam serta lingkungan. Sebaliknya buat negara maju, seiring menggunakan perjalanan waktu pada kegiatan industrinya, maka kelestarian lingkungan hidup semakin sanggup dijamin keberadaannya. Berdasarkan dalam penemuannya tersebut, bentuk kurva EKC adalah huruf U terbalik (Munasinghe, 1999). 

Konsep Perubahan Struktural 
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah telah menyebabkan perubahan struktur perekonomiansi wilayah tadi. Secara sederhana perubahan struktur perekonomian dapat dipandang menurut besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing sektor tadi, perekonomian dapat dibagi menjadi 3 komponen, perekonomian menggunakan struktur primer atau agraris, perekonomian dengan struktur sekunder atau industry, serta perekonomian dengan struktur tersier atau jasa (Amir Hidayat, 2004). 

Pembangunan harus bisa membuat perubahan struktural yang seimbang yang nir menimbulkan ketimpangan antar sektor perekonomian serta membentuk perekonomian yg sehat yaitu perekonomian yang sanggup menjaga transedental menurut satu generasi ke generasi berikutnya (Kwik Kian Gie, 2002). 

Perubahan structural terus terjadi dalam perekonomian Indonesia, akan namun perubahan yang terjadi justru menghasilkan ketimpangan antar sektor yang kemudian menumbuhkan struktur ekonomi yg ringkih, struktur ekonomi yg dapat dengan gampang dipengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi disuatu sektor tanpa bisa digantikan sang sektor lainnya. Sebagai model, pembangunan industri yg kurang memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan asal daya alam dengan bijak justru dengan mudah bisa tergoyang sang perubahan-perubahan yang terjadi di dunia luar. Secara generik struktur perekonomian suatu negara dapat dibagi dalam 3 sektor yaitu sektor pertanian atau sektor utama, sektor industri atau sekunder serta sektor jasa atau tersier. Dari pengalaman sejarah pada negara-negara maju, terlihat bahwa tahap awal pembangunan ekonomi di negara tersebut donasi sektor pertanian sangat lebih banyak didominasi, tetapi akan terus menurun hingga dalam tahap tertentu. Peran secara umum dikuasai sektor pertanian ini akan digantikan sang sektor industri atau jasa. Fenomena perubahan misalnya ini disebut menjadi proses transformasi struktural (Todaro, 2006). 

Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang membuat sisi hasil dalam persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yg jelas pada perubahan struktur perekonomian adalah sejalan menggunakan meningkatnya pendapatan perkapita, kontribusi (share) sektor industri terhadap pembentukan produk domestik bruto juga meningkat (Malcom Gillis et al, 1987). 

Syrquin (1988) menjelaskan struktur yg tak jarang dipakai pada pembangunan serta sejarah ekonomi mengacu dalam pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi serta faktor-faktor yang digunakan. 

Industrialisasi diklaim sebagai sentra proses menurut perubahan struktural. Dalam hal ini (struktur sebagai komposisi berdasarkan agregat) perubahan struktur jua diterapkan dalam agregat lainnya yg telah membawa proses industrialisasi seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling berafiliasi berdasarkan perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi seringkali dianggap transformasi struktural (structural transformation). Chenery (1988) juga mengungkapkan bahwa konsep transformasi struktural demand, perdagangan, produksi dan tenaga kerja merupakan ciri dari pembangunan. 

Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan struktur pada tahapan proses perubahan ekonomi, industri serta struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yg mengalami transformasi menurut pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yang dilakukan Chenery mengenai transformasi struktur produksi menerangkan bahwa sejalan menggunakan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yg semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2000). 

NEOLIBERALISME REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA SWATANTRA DESENTRALISASI

Neo-liberalisme, Reformasi, Administrasi Negara, Swatantra, Desentralisasi 
Desentralisasi telah berlangsung lebih dari satu dasa warsa di Indonesia. Seiring menggunakan genderang reformasi politik dan administrasi, terbitnya Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999, memindahkan urusan serta kewenangan dari pemerintah sentra ke pemerintah daerah menyebabkan perubahan sangat akbar pada rapikan interaksi pemerintah pusat-wilayah. Titik berat desentralisasi pada level pemerintah kabupaten/kota meredusir pola kekuasaan berpangku dalam pemerintah provinsi. 

Permasalahan demi permasalahan muncul seiring menggunakan merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah kabupaten/kota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa asal daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya walaupun buat itu harus bersinggungan menggunakan wewenang tetangganya. Konflik tersebut tidaklah belum pelik jika kita telisik lebih jauh, bahwa titik pertarungan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat mengklaim kesejahteraan rakyat pada wilayah.

Namun demikian, masalah desentralisasi di masa kini berdasarkan penulis tidaklah spesial karena pada masa kemudian, tepatnya dalam periode masa pemerintahan transisi berdasarkan Republik Indonesia Serikat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan pemekaran, konflik kewenangan antar elit wilayah, pertentangan sentra serta daerah, selalu diwarnai sang politik uang, praktik cronyism, terjadi pulang pada masa kini . Pada akhirnya, reformasi administrasi negara melalui desentralisasi akhirnya seperti nir peduli masa kemudian.

Bagian goresan pena pada bawah ini akan membahas bagaimana selama melakukan reformasi administrasi negara pada hal desentralisasi cenderung melupakan sejarah pembentukan negara Indonesia pada masa lalu. Terlupakan atau sengaja melupakan sejarah berpengaruh akbar terhadap perseteruan pelaksanaan desentralisasi yang ketika ini menitikberatkan dalam wilayah kabupaten/kota. Dengan menguraikannya ke pada beberapa tahapan, yaitu: pertama, konsep desentralisasi: antara langit serta bumi; ke 2, desentralisasi periode transisi (1949-1950): pembelaran menurut sejarah; ketiga, desentralisasi periode reformasi administrasi negara; keempat, desentralisasi ditinjau menurut harapan dan kenyataan; kelima, perseteruan titik berat desentralisasi di kabupaten/kota; serta keenam, tinjauan kritis dalam kesalahan reformasi administrasi negara pada desentralisasi.

Konsep Desentralisasi: Antara Langit dan Bumi
Bila kita melihat ke belakang, peta politik dunia di tahun 1980an menerangkan bahwa revolusi neo-liberal merebak ke semua dunia. Revolusi tersebut menyerang kepercayaan perananan negara menjadi pengatur pada bidang kebijakan-kebijakan sosial serta ekonomi. Konsep welfare state dipertentangkan menggunakan konsep limited government yang diusung ideologi neo-liberal. 

Kejatuhan tembok Berlin pada Jerman semakin mengukuhkan kedigdayaan ideologi neo-liberal mengatasi sosialis, yang diakhiri menggunakan hancurnya episode perang dingin, menggunakan bubarnya negara sosialis komunis Uni Soviet pada tahun 1991. Sejalan dengan berakhirnya perang dingin, rejim otoriter di global ketigapun turut berakhir.

Neo-liberal membawa beberapa prinsip, antara lain adalah memaksakan keterbukaan pasar, memperkecil peranan negara, dan menegakkan demokrasi lebih kuat. Diharapkan, ketiga prinsip utama tersebut bisa menumbuhkan rakyat sipil kuat serta pemerintah skala mini tanpa campur tangan politis. Tujuan akhirnya adalah terciptanya good governance dengan agunan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam kehidupan sosial serta politik memperkuat sistem demokratis. 

Masyarakat sipil bertenaga bersama pemerintahan yang ukuran mini tanpa campur tangan politis merupakan prasyarat dari desentralisasi. Desentralisasi menginginkan peranan negara (sentra) kecil serta demokrasi bertenaga. Peranan negara kecil secara logika neo-liberal akan membuka pasar, menumbuhkan perekonomian karena terdapatnya persaingan usaha, yg selanjutnya akan menaikkan standar hidup masyarakat.

Pandangan neo-liberal seperti ini dipakai buat menjustifikasi pelaksanaan desentralisasi pada negara dunia ketiga mendapat tentangan berdasarkan Robison serta Hadiz (2004), yg menandakan kuatnya “sifat delusi dari pandangan neo-liberalis ini, dan menerangkan ketahanan oligarki-oligarki politis dan hemat pada Indonesia.”

Oleh karenanya perlu kita sadari bahwa konsep desentralisasi yang dihembuskan sang Barat tersebut sebenarnya adalah bentuk pendelegasian wewenang sentra ke daerah yg nir khusus. Sejarah desentralisasi di Indonesia cukup panjang buat menata struktur pendelegasian wewenang antara pusat serta wilayah, jauh sebelum ideologi neo-liberal merambah dunia. Sehingga, alasan bahwa desentralisasi diperlukan Indonesia buat menata kembali struktur kelembagaan formal di daerah yang mengakibatkan keruntuhan perekonomian Indonesia pada tahun 1997, merupakan tidak cukup. 

Nordholt dan van Klinken (2007) mengungkapkan bahwa, “merupakan terlalu simplisistis buat menyimpulkan bahwa negara pada Indonesia sudah melemah dari tahun 1998.” Mereka mendasarkan kesimpulannya menurut pengalaman banyak sekali negara berdekatan Indonesia yang terkena imbas krisis seperti Thailand yang sebelum kejatuhan perekonomiannya telah memiliki bangunan institutsi-institusi formal dan jaringan informal pada tiap provinsinya penuh dengan aktifitas ekonomi dan politik illegal dan kerap diwarnai menggunakan tindak kriminalitas. Pendapat tadi diperkuat sang Mc Vey (2000) serta Phongpaichit et al. (1998), keduanya mengungkapkan, bahwa birokrat, politisi, militer, polisi, dan penjahat memelihara hubungan yg intim sebagai akibatnya perbedaan profesi diantara mereka kabur. 

Sehingga Indonesia dalam tahun 1998 masih dapat dikatakan memiliki struktur kelembagaan daerah yg relatif memadai buat suksesnya desentralisasi. Persoalannya, mengapa desentralisasi di Indonesia justru mengundang lebih poly pertarungan ketimbang menuntaskan masalah.

Genderang desentralisasi terlanjut ditabuh, tidak terdapat langkah mundur bisa dilakukan sang pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti halnya dikemukakan oleh Kent Eaton (2001) proses desentralisasi “selalu beranjak bolak baik pada dalam garis lurus desentralisasi [sehingga] desentralisasi selalu bukan adalah proses yg bisa dibalikkan, akan namun bisa dibalikkan apabila berkenaan dengan kewenangan antara pemerintah sentra serta daerah” (back and forth along the decentralization continuum.…decentralization is always not an irreversible process, but it is a reversible process between central and local regions) memberikan justifikasi bahwa Undang-undang Pemda Nomor 22/1999-pun bisa berubah seperti sekarang, yaitu menjadi Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004. 

Perundangan baru, diklaim juga Undang-undang Otonomi Daerah, menebar kecurigaan di antara elit pemerintah kabupaten/kota yg selama ini sudah hidup menggunakan nyaman di bawah naungan perundangan lama . Ketenangan elit kabupaten/kota terusik mengingat Undang-undang Nomor 32/2004 kembali menarik wewenang pemerintah kabupaten/kota pada hal pengelolaan sumber daya manusia serta juga menggariskan secara jelas tata penyelenggaraan pemilihan ketua daerah dan titik singgung wewenang pemerintah provinsi serta kabupaten/kota yang selama berlakunya perundangan lama menjadi persoalan.

Perjalanan Undang-undang Nomor 32/2004 pula nir mulus. Selain kecurigaan yang terus tumbuh pada kalangan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat serta provinsi menjadi penanggungjawab wilayah administratif dan perpanjangan tangan pemerintah sentra, tinjauan yuridis atau judicial review terhadap pasal pemilihan kepala daerah (pilkada) menurut calon independen-pun bergulir di Mahkamah Konstitusi. Pengajuan tinjauan tadi dilakukan oleh pihak-pihak independen minus dukungan partai politik yg merasa dirugikan dengan proses pilkada, mengharuskan pencalonan ketua daerah menurut partai politik. Pasal tersebut bertentangan menggunakan semangat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yg menaruh kesempatan sama kepada setiap warga negara buat menduduki jabatan pemerintahan. Akhirnya Undang-undang Nomor 32/2004 diamandemen sebagian sebagai Undang-undang Nomor 12/2008.

Desentralisasi seperti bagai langit serta bumi, jauh antara asa denga kenyataan, bagi bangsa Indonesia, perubahan ke arah pemerintahan lebih demokratis di masa depan sebagai sekedar janji. Menurut Maria Dolores G. Alicias (2005), “kebijakan desentralisasi bertujuan mempercepat tercapainya tujuan-tujuan pembangunan dan demokrasi….melingkupi paling kurang empat hal: pertama, ekspansi partisipasi dalam aktivitas politik, sosial dan ekonomi yg emperkuat proses demokrasi; ke 2, perbaikan pemugaran pelayanan generik yang makin efisien dan efektif; ketiga, pemugaran kinerja pemerintahan daerah melalui pertanggungjawaban publik, transparansi atas proses-proses kerjanya dan responsif atas kebutuhan dan aspirasi warga ; keempat, perluasan akses dalam pengambilan keputusan politik bagi daerah dan grup yang terpinggirkan sehingga distribusi asal-asal makin merata.

Desentralisasi Periode Transisi (1949-1950): Pembelajaran Dari Sejarah
Praktek pemerintahan daerah pada saat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengalami pemerintahan dengan bangunan negara federasi. Republik Indonesia tidaklah berumur lama , lantaran susunan negara memang didesain oleh Pemerintah Belanda buat men-fait-a-compli pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) dalam ketika itu.

Pemulihan kedaulatan Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Belanda dalam lepas 27 Desember 1949, dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi bentuk komitmen konvensi dalam Konferensi Meja Bundar. Di pada RIS, kedudukan NRI adalah keliru satu negara bagian penyusun RIS. Pemerintahan daerah diatur oleh masing-masing negara atau daerah bagian.

Pada transisi ini, pemerintah daerah mengalami dualisme kebijakan, yaitu pemerintah negara bagian Republik Indonesia (RI), berkedudukan di Yogyakarta, menjalankan pemerintahannya berdasarkan Undang-undang Nomor 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan di akhir masa berlakunya RIS, sebelum penggabungan menggunakan NRI, Negara bagian yg tergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan peraturan utama tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang NIT Nomor 44/1950. Peraturan baru tadi menjelaskan bahwa ada 13 wilayah–wilayah yang telah terbentuk dengan peraturan yg dianggap Regeling tot vorming v/d Staat Oost-Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikembalikan, dengan meleburkan antara pemerintah RIS dengan NRI, diawali menggunakan penggabungan negara bagian Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan lainnya. Selain itu, penggabungan diupayakan supaya pemberontakan yg ada untuk memecah belah persatuan Indonesia seperti peristiwa Westerling pada Bandung, Andi Azis pada Makassar, dan Soumokil pada Maluku Selatan, tidak bermunculan di daerah lainnya.

Untuk lebih lengkapnya, ikhtisar pemerintahan wilayah pada masa pemerintahan RIS, hasil konferensi Meja Bundar, adalah menjadi berikut:

Sumber: Diolah menurut Muslimin (1960: 44).

Sejarah negara federasi sebagai NKRI menandai berakhirnya upaya Belanda mengembalikan atau mempertahankan kekuasaannya pada Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah, maka perbedaan antara cara pemerintahan pada kepulauan Jawa-Madura serta wilayah pada luar Jawa-Madura sedikit demi sedikit dihilangkan. Secara garis akbar, pemerintah wilayah pada Indonesia pada tahun 1950 merupakan sebagai berikut:
  • Daerah Indonesia dibagi pada 8 provinsi yg dikepalai oleh seseorang Gubernur. Provinsi ini hanya wilayah administratif saja. 
  • Daerah provinsi dibagi pada daerah-wilayah karesidenan. Oleh karena belum ada ketentuan baru tentang batas-batas dan jumlah karesidenan [sesuai Peraturan Peralihan UUD dan PP 1945 No. 2], jumlah karesidenan berdasarkan batas-batas yg usang masih dilanjutkan, sebelum diadakan peraturan atau perubahan baru. 
  • Disamping Gubernur serta Residen diadakan Komite Nasional Daerah, yg asalnya hanya badan Pembantu dari Gubernur dan Residen. (Muslimin, 1959: 28). 
Di masa transisi menurut RIS kembali ke bangunan NKRI, desentralisasi pada masa sesudah kemerdekaan lebih diwarnai oleh derasnya arus desentralisasi politis dibandingkan dengan desentralisasi fungsional juga kebudayaan. Dengan demikian, NKRI menggunakan semua aturan-aturan yang diwarisinya menurut RIS walaupun mengundang konsekuensi terdapatnya kebijakan tumpang tindih tentang pemerintahan daerah, terhitung mulai menurut Undang-undang Nomor 22/1948, Undang-undang NIT Nomor 44/1950, dan terakhir SGO, SGOB dan perundangan lainnya.

Baru selesainya enam setengah tahun kemudian, pada lepas 18 Januari 1957, terbitlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, berbicara tentang satu UU swatantra wilayah menggugurkan perundangan sebelumnya yang tidak beraturan. Daerah-daerah swatantrapun bermunculan, mengundang gejolak instabilitas politik di pada negeri lantaran adanya terlalu dipaksakan. UU baru belum memuat ketentuan mengenai isi tempat tinggal tangga daerah otonomi, belum ada perincian urusan, hanya menyebutkan bidang-bidang urusan secara generik. 

Dapat ditebak selanjutnya bahwa wilayah-daerah otonomi terutama di luar Jawa-Madura, belum berpengalaman sebagai akibatnya belum dapat bekerja karena tidak adanya penyerahan secara nyata wewenang menurut pemerintahan negara bagian RI di Yogyakarta yg sudah diambil alih sang NKRI sebagai pengganti RIS. Berseberangan menggunakan wilayah swatantra berdasarkan output bentukan NIT, wilayah-daerah tersebut diatur dengan memakai Undang-undang serta Peraturan Pemerintah lebih rinci sehingga penyerahan urusan-urusan dengan berpedoman urusan di Jawa-Madura, dapat segera dilaksanakan. 

Undang-undang Nomor 1/1957 mensyaratkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pemilihan dari: 
  • Kepala Daerah, 
  • Ketua serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, 
  • Anggota Dewan Pemda (DPD). 
Masalah demi masalah desentralisasi pada pemerintahan daerah bermunculan seiring menggunakan perkembangan sejarah yg tidak dapat meninggalkan warisan sejarahnya. Namun, para petinggi negeri waktu itu putusan bulat bahwa anggaran yg simpang siur harus ditegaskan, sehingga perlu dibentuk keseragaman pada seluruh daerah Indonesia. Undang-undang Nomor 1/1957 telah berusahan menerangkan bisnis menyeragamkan atau uniformitet di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yg sangat berseberangan secara prinsip dengan otonomi rancangan Pemerintah Belanda di masa kemudian. Pemerintah Belanda menginginkan disparitas-disparitas perlakuan administratifdi dalam daerah-daerah otonomnya dengan memberlakukan peraturan berbeda, sebagai akibatnya mengakibatkan gejolak ketimpangan antara negara-negara bagian.

Tujuan menyeragamkan peraturan tentang pemerintahan daerah merupakan baik lantaran berusaha menghilangkan anasir-anasir jahat politik devide et impera Belanda terhadap daerah-daerah Indonesia. Perbedaan susunan administrasi pemerintah antara pulau ditiadakan, sehingga pemerintah NKRI bisa memulihkan kecurigaan akan adanya diskriminasi jilid II, menciptakan perbedaan antara satu wilayah menggunakan wilayah lainnya.

Walaupun begitu, perjalanan sejarah mewarisi cerita lain lantaran di saat transisi dari pemerintahan RIS ke NKRI, ternyata taraf kemajuan dan kemampuan wilayah bhineka. Inilah yang sering terlupakan oleh pemuka negeri yang begitu cepatnya ingin melakukan perubahan atau reform sehinga justru mengakibatkan sentimen subordinat pemerintah sentra terhadap daerah-wilayah kepulauan Indonesia.

Perbedaan jelas terlihat dari aplikasi pemerintahan di daerah otonomi Jawa-Madura, dimana wilayah-wilayah tadi sudah memiliki pengalaman menjalankan pemerintahan dari warisan administratif kolonial Belanda, yaitu adanya provinsi, kabupaten, dan desa otonom terutama pada Jawa, sudah mengalami pendemokrasian. Tidak demikian halnya dengan pada luar Jawa-Madura, pemerintahan mengalami kemunduran karena kekurangan modal dasar pemerintahan yg relatif kuat. Pembentukan daerah otonomi di luar Jawa-Madura hanya dilakukan menggunakan penggabungan wilayah-wilayah administratif tanpa menghiraukan wilayah-daerah otonomi lebih dahulu hidup pada sana.

Akibatnya wilayah-daerah swatantra luar Jawa-Madura terseok-seok perjalanannya, bahkan pada Sumatera, kabupaten-kabupaten kota akbar dan kota kecil yang seyogianya telah terbentuk berdasarkan hasil Undang-undang Nomor 22/1948, ternyata baru 7 tahun setelahnya terbentuk, yaitu di akhir tahun 1956. Kabupaten-kabupaten yang telah ada sebelumnya sesudah Indonesia merdeka tahun 1945, sudah ada, tetapi tidak berjalan lantaran kurang pengalaman, miskin energi pakar, serta kekeringan sumber daya keuangan sendiri.

Pembentukan wilayah otonomi pada daerah bekas NIT juga sama nasibnya dengan daerah di luar Jawa-Madura, namun lebih parah karena tidak ada sama sekali pembentukan daerah baru. Pembentukan wilayah swatantra lebih pada pertimbangan politis, melahirkan wilayah-wilayah tingkat I Aceh, Irian Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Pemerintah pusat mengalami kesulitan besar dengan ilham penyeragaman tersebut lantaran wilayah-wilayah swatantra pada luar Jawa-Madura nir menerima perlakuan adil, mengakibatkan kesalahpahaman, dianaktirikan, dan diulur-ulur waktu pada pembentukannya. Persoalan demikian nampaknya bukan merupakan sesuatu yang istimewa karena negara Indonesia masih belia, perlu poly belajar. Kecemburuan antara satu wilayah menggunakan wilayah lainnya akan memberikan pemahaman berharga akan bentuk desentralisasi yg lebih masuk akal pada hal proporsi kewenangan juga pengaturan batas daerah administratif pemerintahan wilayah.

Celakanya, mengapa persoalan desentralisasi di masa pemerintahan transisi RIS ke NKRI justru terulang di masa reformasi administrasi negara, tepatnya 58 tahun setelah insiden sejarah berlalu? Mengapa terdapat stigma kesenjangan pembangunan antara pusat dan wilayah? Mengapa jua, desentralisasi periode reformasi administrasi negara justru memunculkan kecurigaan daerah akan kembalinya kekuasaan pusat terhadap daerah? Dan terakhir, mengapa pula banyak bermunculan ketidakpuasan wilayah sebagai akibatnya menginginkan dirinya buat lepas berdasarkan NKRI? Apakah desentralisasi di masa kini , saat reformasi administrasi negara ditegakkan, lupa belajar berdasarkan sejarah?

Desentralisasi Periode Reformasi Administrasi Negara: Lupa Belajar Dari Sejarah
Seperti sudah dijelaskan pada bagian tulisan sebelumnya bahwa taktik desentralisasi di Indonesia adalah buah berdasarkan adopsi ideologi neo-liberalisme di global, terutama pada negara-negara Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, dan Asia. Institusi internasional yg gencar mensosialisasikan desentralisasi merupakan World Bank menggunakan janji desentralisasi akan merangsang ekonomi serta demokrasi.

Di Indonesia, ideologi neo-liberal bertemu menggunakan gerakan reformasi pasca kejatuhan Orde Baru, membentuk bentuk desentralisasi seperti tahun 1950an. Bedanya, titik berat desentralisasi kali ini berada pada tingkat kabupaten/kotamadya bukan di provinsi. Dapat dibayangkan bahwa pergeseran titik berat desentralisasi menurut provinsi ke kabupaten/kota membawa impak pada proses fragmentasi politis. Dampak kurang menyenangkan ini sering dianggap sebagai konsekuensi berdasarkan strategi devide et impera atau divide and rule pemerintah pusat terhadap daerah menggunakan maksud: membangun fragmentasi administratif serta mempertahankan kontrol fiskal di sentra.

Di titik ini, tampaknya pemerintah mengalami amnesia, lupa dalam sejarah, karena demikian hebatnya goncangan perkawinan antara ideologi neo-liberal menggunakan gerakan reformasi, sebagai akibatnya problem-problem tidak khas desentralisasi di masa kemudian timbul balik serta dianggap menjadi suatu yang unik pada masa sekarang. Perpindahan secara cepat pola administrasi pemerintahan tersentralistis sebagai desentralisasi mengabaikan aneka dilema di daerah, termasuk harapan kuat buat menyeragamkan aturan desentralisasi dimana daerah-daerah memang sejatinya tidaklah seragam.

Di periode reformasi administrasi negara, konflik lama kerap timbul pada dalam pelaksanaan desentralisasi, terutama menguatnya tarik menarik antara wewenang sentra serta wilayah. Penetapan titik berat desentralisasi pada daerah yg dulunya bernama tingkat II atau kini diklaim hanya menjadi kabupaten/kota saja menyisakan beberapa kegundahan akan ketepatan pengambilan kebijakan desentralisasi pasca kejatuhan Orde Baru.

Memang ironis, bahwa upaya buat membangun administrasi negara yang terkini yang misalnya diinginkan sang Max Weber, terbangun berdasarkan kelas birokrasi rasional, bertumpu pada aspek profesionalitas dan prestasi menjadi public servant, ternyata masih sulit buat dibangun. Sepanjang era reformasi, birokrasi terutama pada daerah malah kian terperangkap sebagai alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi wilayah mulai Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, sampai Bupati/Wakil Bupati, nir terlepas berdasarkan jaringan dukungan parpol.

Pada awalnya, Departemen Dalam Negeri menggunakan UU Nomor 22/1999 merancang devolusi kekuasaan agar pemerintah lebih dekat dengan warga serta memperbesar tingkat transparansi. Hal ini serupa dengan UU Nomor 1/1957, dimana saat itu pemerintah berpikiran bahwa para gubernur, bupati serta walikota nir lagi ditunjuk pusat, akan namun dipilih oleh parlemen wilayah. Bahkan rencananya, pemerintah wilayah selanjutnya akan dipilih pribadi oleh warga . UU Nomor 1/1957 memperbolehkan adanya partai politik pada wilayah, membuka kesempatan para pemain politik lokal buat masuk ke pada pemerintahan. Sedangkan UU Nomor 22/1999 nir menyinggung masalah partai politik daerah.

Sedikit demi sedikit UU Nomor 22/1999 memunculkan persoalan antara lain adalah besarnya kesempatan terjadinya money politics, lantaran ketua wilayah yang otonom akan leluasa memakai kekuasaannya buat korupsi dan DPRD sebagal forum perwakilan daerah memiliki kekuasaan mengganti kepala wilayah menurut seleranya. Kedua kewenangan elit lokal ini menjadi pangkal penyakit desentralisasi di tahun 1999.

Oleh karenanya juga, pemerintahan Presiden Megawati memandang bahwa desentralisasi dalam keadaan yang membahayakan sehingga UU Nomor 22/1999 harus dirubah (diganti) menggunakan UU baru yang selanjutnya sebagai UU Nomor 32/2004. Malley (2004) berkata bahwa pemerintahan Megawati “tidak hanya sekedar mengamanemen tapi mengganti sama sekali” perundangan mengenai desentralisasi, dengan melakukan: pelucutan terhadap kekuasaan bupati yang dapat diberhentikan oleh sentra bila terbukti korupsi atau membahayakan keamanan serta DPRD sehingga nir dapat membarui bupati/walikota sesuka hatinya.”

Titik berat desentralisasi dalam wilayah kabupaten/kota menyisakan dilema diantaranya yaitu:
  • munculnya ketegangan horizontal wilayah kaya versus miskin karena masing-masing daerah mementingkan wilayahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam mengumpulkan PAD misalnya; 
  • perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat lawan daerah; 
  • banyaknya birokrat wilayah yg pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif menjalankan pekerjaannya; 
  • DPRD menjadi sangat lamban pada bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji sendiri buat kepentingan pengembalian dana ke kas partai serta jua memperbesar anggaran bepergian dinas; 
  • Pemerintah daerah menjadi mesin pembelanjaan (Ray dan Good Paster, 2005); 
  • Beban keuangan wilayah dari pajak ekstra nir memperhatikan lingkungan; 
  • Tidak adanya koordinasi pada taraf supra-regional, garis batas tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangat kabur; 
  • Merebaknya politik bukti diri yg ditandai menggunakan menguatnya egoisme sektoral karena pembangunan bertumpu dalam asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral. 
  • Peranan polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban serta tentara sebagai penjaga persatuan serta kesatuan pada wilayah terabaikan. 
Desentralisasi ternyata nir menciptakan birokrasi pemerintahan kabupaten/kota belajar, terbukti menurut banyaknya bupati/walikota yang nir mempunyai kemampuan teknis menyusun Propeda (Program Pembangunan Daerah). Banyak diantara mereka harus mengontrak konsultan, yg dalam akhirnya membengkakkan porto pengeluaran, buat merancang visi, misi, serta strategi daerah sinkron menggunakan potensi, sumberdaya, serta masalah wilayah. Terlebih lagi kuallitas SDM pada daerah masih rendah sebagai akibatnya tidak sanggup mendongkrak penguatan kelembagaan daerah.

Kedua UU berbicara tentang desentralisasi yg menitikberatkan pada daerah kabupaten/kota dengan pertimbangan:
  • mendekatkan pelayanan publik pemerintah kepada rakyatnya; 
  • cakupan wilayah provinsi terlalu luas serta kelembagaannya terlalu besar dalam mendorong roda ekonomi menuju pasar bebas; 
  • demokrasi bisa tumbuh lebih baik jika pemerintahannya berskala kecil; 
  • partisipasi masyarakat sipil pada pembangunan bisa lebih aktif karena dekat dengan pemerintah serta pengusaha (good governance); 
  • daerah kabupaten/kota umumnya, walau nir semuanya, memiliki pusat-pusat kekuatan ekonomi yg sudah dikelola dengan baik, seperti halnya sumber daya alam, kebudayaan, dan lainnya; 
  • kesejahteraan masyarakat bisa lebih diperhatikan sang pemerintah; 
  • penciptaan lapangan pekerjaan pada wilayah terutama pada bidang administrasi pemerintahan bisa menyerap angkatan kerja berasal berdasarkan putra daerah. 
Sebaliknya apabila titik berat desentralisasi diberikan kepada provinsi, terdapat beberapa pertimbangan pemerintah pusat bahwa:
  • desentralisasi dalam wilayah berskala luas akan menjauhkan kontrol pusat terhadap daerah; 
  • pusat akan kesulitan mengintervensi kebijakan provinsi yang sudah demikian otonomnya sehingga memungkinkan mempertajam hasrat berpisah berdasarkan NKRI; 
  • pertimbangan politis bahwa provinsi akan mengalami kendala mendistribusikan kewenangan serta kesejahteraan secara adil terhadap kabupaten/kota pada bawahnya karena demikian luasnya cakupan kewenangan yang dimilikinya; 
  • adanya kekhawatiran tidak meratanya distribusi asal daya insan yang bisa mengelola wilayah lantaran terpusat pada provinsi; 
  • masyarakat akan dirugikan karena pemerintah provinsi akan fokus pada membagi-bagi wewenang ketimbang memperhatikan aspirasi rakyat dan pertumbuhan demokrasi pada tiap bagian penyusun provinsi. 
Secara garis akbar, reformasi administrasi negara di dalam desentralisasi pemerintahan, ternyata belum membawa impak positif bagi warga , memperpendek rantai wewenang antara sentra serta daerah. Kontribusi desentralisasi pada mensejahterakan rakyat juga tidak kunjung terealisasi.

Memang penitikberatan desentralisasi pada kabupaten/kota masih belum mengembirakan. Banyak sekali problem yg harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak dan merta mengakibatkan demokratisasi, good governance, serta penguatan rakyat sipil di taraf daerah. 

Namun demikian, desentralisasi bukanlah proses irreversible, ingat proses yg tidak bisa dikembalikan, bukan pergeseran wewenang antara pusat serta wilayah. Sehingga, agar desentralisasi sukses, hal yg perlu dilakukan adalah menata pulang kelembagaan desentralisasi beserta kewenangan menggunakan memperhatikan aspirasi warga bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.

KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam dan politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak menurut para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terbaru dan neo terbaru, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba menaruh sebuah penjelasan hubungan antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.

Pada zaman terkini, usaha Islam terkonsentrasi dalam dua kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan dengan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya adalah kembali pada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, usaha politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yang terutama merupakan pembebasan dari imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat menciptakan kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yang despotik dan imperialisme Barat menjadi sangat lokal, yang didasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan besar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya dan kekhalifahan ke bentuk negara yang didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, pada fase selanjutnya, bukti diri ke-Islam-an pada struktur negara-bangsa (nation-state) yg berdasarkan atas nasionalisme tadi, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, sebagai dampak dari pengaruh besar arus demokratisasi pada belahan dunia ketiga.

Perdebatan mengenai bentuk negara dan mekanisme pemerintahan dalam negara yang berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin buku kudus al-Qur’an ini, sangat membutuhkan ketika serta penyesuaian-penyesuaian dengan syarat negara yg berdasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras berdasarkan politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yang lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca usaha ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian menurut strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya menggunakan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan sang Nurcholish Madjid serta teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, menjadi upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, kepercayaan tidak hanya dipahami sebagai dimensi yg utuh skral (kudus) menggunakan segala pirantinya. Tetapi terdapat bagian-bagian yang berubah, karena sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, berdasarkan Nurcholish merupakan jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar pada berislam warga bisa membedakan antara kenyataan sosial, yang sifatnya berbah-ubah serta fenomena wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karenanya, berdasarkan Amien Rais, nir ada perintah dalam Islam buat menegakkan Negara Islam. Yang terdapat merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg harus ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran nir menerangkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk dunia saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, menjadi suatu negara yang aneh dalam zaman terbaru ini, dan para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menyebutkan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang kemasyarakatan dan politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut bisa dikatakan paralel dalam gagasannya. Walaupun pada derivasi instrumentalnya lalu bhineka. Namun pada luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg telah tersebut pada atas, ihwal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi serta reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula dari gagasan kedua tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Lantaran konsistensinya dalam melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien tentang High Politics dan Low Politics, menjadi baku dasar kategorisasi konduite politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral dalam politik Islam ke 2 tokoh tadi, serta lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam kembali bermunculan, mengindikasikan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum terselesaikan. Dan akhirnya kini diiringi menggunakan kenyataan euphoria reformasi, tema dan aksi mengenai politik Islam tadi muncul kembali. Di sini amatlah krusial kiranya buat meneliti mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” dengan asa bisa menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, pada mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan utama perkara yang akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais mengenai etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta perbedaan dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, kitab yg adalah disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, adalah buku yang mengupas panjang lebar duduk perkara interaksi Islam serta negara dipandang menurut 3 masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi sebagai upaya perjuangan Islam menjadi dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru menjadi periode penjinakan idealisme dan aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly menunjuk terhadap pola taktik usaha politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi interaksi Islam serta negara dalam kajian kitab ini lebih nampak berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yang tadi pada atas, terdapat kajian lain yg lebih spesifik lagi tentang interaksi Islam serta negara, yaitu kitab yg dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih khusus menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat 3 asumsi dasar hubungan antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua, interaksi yang bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah hubungan yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini nir tidak sama jauh menggunakan apa yang ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental lantaran rentetan waktunya yg lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan jua nir mampu lepas dari generalisasi politik Islam berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton pada bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, mengungkapkan lebih khusus lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan menjadi grup Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam tentang pemikiran Neo-Modernisme Islam pada Indonesia yg terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental dari dalam kajian mengenai politik Islamnya. Walaupun ada, tetapi sedikit sekali yg dikaji secara mendalam menurut bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), merupakan buku dari output desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam kitab ini, gagasan tentang politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yang dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang mengkategorikan fundamentalis. Kajian pada kitab ini sangat detail dan mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih spesifik terhadap perkara politik kepartaian dan segala hal yang menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam kitab Membaca Pikiran Gus Dur serta Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara pada menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terkini sangat menerima titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terkini, yang disepakti sang kedua tokoh tadi, pula nir mampu terlepas dari rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat jelas, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam kedua tokoh tadi pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur serta Amien Rais, adalah kitab yg sunting oleh Arief Affandi buat menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais dan Gus Dur. Dalam kitab ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian menurut polemik strategi perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural dan struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam agama sangat mendapat penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang menurut pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini bisa ditinjau dari 3 alasan. Pertama, berdasarkan judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang berdasarkan syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yang dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi dia tegaskan bahwa risalahnya itu menyampaikan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diharapkan sang pemimpin dan rakyat. Ketiga, dalam pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya berdasarkan ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa serta ayat 59 ditujukan pada masyarakat. (Taimiyah, 1966 : tiga-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, merupakan Muhammad Husein Haikal yg jua beropini sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam menjadi bagian dari sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laku serta muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar buat tetapkan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang beropini bahwa Islam tidak memutuskan bentuk pemerintahan, dan memiliki kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya berpendapat bahwa sistem pemerintahan bisa diadaptasi dengan kehendak umat melalui ijtihad dan nir berdasar kan kepada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan serta warga mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam memelihara dasar-dasar kepercayaan , serta menafsirkannya selama dia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa asumsi yang tersebut di atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan pada masa ini masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam menjadi sumber etik-moral dalam menetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan model pngetatan terhadap syari’at menggunakan mendirikan kekhilafahan dunia atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta apa perbedaan dan titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini adalah :
  1. Menambah perihal pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam menjadi bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yg lain.
  3. Memberikan kontribusi pemikiran politik Islam dalam matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis dalam buku-buku serta goresan pena-tulisan lain yang berkaitan dengan kajian ini. Dalam hal ini, data yang dibutuhkan diambil dari karya Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais yang sekaligus sebagai data utama dan didukung sang karya-karya lain yg herbi obyek kajian ini yang sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan dan mensistematisasikan data-data, kemudian diformulasikan sesuai menggunakan utama konflik yang terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yang sudah diklasifikasikan serta disistematisasaikan menggunakan memakai dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori dan konsep pendekatan yg sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yang benar.
2. Analisis Data
Data yg telah dikelola, akan dianalisis menggunakan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman dan penangkapan terhadap arti dan perbedaan makna atau tentang ekspresi manusia yang dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan langsung adalah ekuilibrium kegiatan dan insiden pada kehidupan setiap orang sebagai mata rantai yg nir terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian dengan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, manusia memang harus pulang kepada naturnya, yaitu fitrah insan yang kudus (hanif). Dan dari sini jua Nurcholish Madjid menciptakan dasar teologis tentang Islam menjadi agama kemanusiaan yg nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yang sekaligus sebagai inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, misalnya yg telah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu sebagai dasar ceramah-ceramah juga tulilsan-tulisannya,baik mengenai kepercayaan Islam juga politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial menggunakan Tuhan, yaitu bahwa insan, semenjak berdasarkan kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya adalah kelahiran manusia pada kesucian berasal (fitrah), serta diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu apabila andai kata nir ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terang), yg mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik serta sahih; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan menjadi makhluk yg lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya memiliki potensi buat salah , karena “terpesona” oleh hal-hal menarik pada jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali dengan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi manusia adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama insan, maupun di akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yg nisbi sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah absolut, serta sama sekali tidak mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat langsung, sehingga tidak terdapat pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar buat memilih dan memilih sedniri perilaku moral serta etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, serta insan akan sama derajat dengan makhluk yg lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai zenit segala makhluk Allah, yg diciptakan olehnya dalam sebaik-baik kreasi, yg dari asalnya berharkat dan prestise dengan tinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya di daratan juga dilautan; 
  11. setiap pribadi insan adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, misalnya membunuhnya, tanpa alasan yg absah maka dia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, serta barangsiapa berbuat baik pada seorang, misalnya menolong hidupnya, maka beliau bagaikan berbuat baik pada seluruh umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap eksklusif insan harus berbuat baik pada sesamanya, menggunakan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan interaksi kemasyarakatan yang tenang dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang buat menentukan serta menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang benar serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud menggunakan baik apabila nir disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan menurut perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah menggunakan para teman beliau, yaitu sebagai berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis pada pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yg selanjutnya sebagai dasar kehidupan warga zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan dengan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yg diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa mengambarkan sikap-sikap lemah lembut, ikhlas dan penuh pengertian pada orang lain;
  3. beliau nir kejam, serta nir pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun pada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar seluruh hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah membuat keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dilihat dari segi proses sejarah serta perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tadi bisa dicermati dari dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan serta berujung dalam usaha Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi perihal politik Islam modern, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai berdasarkan negara menjadi elemen kekuasaan yg akan sanggup mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terbaru menurut segala aspeknya telah nir lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang mencakup seluruh orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan serta perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yg adalah kekuatan spiritual yg mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil menurut konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut merupakan sutau penyimpangan interaksi proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara merupakan galat satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional dan kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual dan eksklusif. Antara kepercayaan dan negara memang tidak mampu dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan pada dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama acapkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik serta agama dan politik serta dakwah. Bahkan ada kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi tidak baik lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau menurut kaca mata agama serta dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik adalah salah satu aktivitas krusial, mengingat bahwa suatu warga hanya mampu hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal pada sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian krusial peranan politik dalam rakyat terkini, sehingga poly orang beropini bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, aturan, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai kepercayaan dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yg dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai kepercayaan , agar masyarakat bisa melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas serta kekuasaan, serta hal ini merupakan syarat buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi menggunakan nilai-nilai agama yang bersifat mutlak.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan menggunakan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara penguasaan serta submisi, antara yg memerintah serta yg diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi aktivitas manusia yang berkenaan dengan tindakan insan dalam mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell menaruh pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What pada sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, merupakan perkara-masalah yg menentukan bentuk pengelolaan politik suatu warga (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan pertarungan kepentiangan antargolongan pada masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri serta lain sebagainya, merupakan contoh-contoh aktivitas politik yang nir bisa dilepaskan dari fondasi moral serta etik yg dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik jika tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, serta menuju revolusi sosial ke arah warga tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik apabila bisa memberi keuntungan praktis serta manfaat material, walaupun hanya menurut pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik jika beliau bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai menggunakan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat banyak sekali kenyataan politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yg terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menerangkan perilaku yang tegas terhadap korupsi, mengajak warga luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tadi dalam hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, menciptakan kelompok penekan, mambangun di lobi, dan berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tadi sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu loka serta loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi adalah jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka setuju buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah pada al-Qur’an serta Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah pula akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan warga , hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-sahih naratif. Jika demikian halnya, maka negara Islam itu nir akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok serta sangat tepat buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-huma dia akan sebagai usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-perkara modern yg timbul sejalan menggunakan dinamika rakyat manusia, dan pasti nir akan harmonis dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, berdasarkan Amien, menggunakan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan menciptakan negara sesuai menggunakan kemauan manusiawinya sendiri, serta terlepas menurut ajaran-ajaran utama (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, menciptakan suatu negara yg terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yg pada dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid
Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid adalah prinsip dasar pada menciptakan sistem moral-etik dalam berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar pada tauhid, formulasi teologis pada kontek politik terkini serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern kini ini. Misalnya dalam menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada derivasi 5 konsekwensi yang terdiri menurut unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Jika diperas, maka reformulasi tauhid tersebut merupakan bentuk kosmopolitanisme dari pandang kehidupan dunia serta akhirat yg tidak terpisahkan. 

Begitu halnya dengan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg telah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid pada samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam masyarakat modern, jua menuntut pandangan yg wajar dan berdasarkan apa adanya pada dunia dan masalahnya, yang dalam pada dasarnya beliau formulasikan pada bentuk sekularisasi. Bahkan akibat dari pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam merupakan “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid serta Amien Rais sering menggunakan terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yg dikontekstualisasikan pada bahasa politik terkini, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah adalah tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya tidak menolak terhadap gagasan demokrasi lantaran dengan asumsi dasar bahwa Islam sangat sesuai menggunakan prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tersebut tidak selaras menggunakan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal serta Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia nir mau memakai terminologi al-Qur’an pada rangka merumuskan suatu sistem politik maupun pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yang masih ada dalam al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal jua demokrasi. Walaupun sebenarnya secara ide Husein Haikal jua tidak menolak istilah demokrasi tadi. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu memiliki maknanya yang ganda. Yaitu dalam satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi dalam kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu kepercayaan . Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yang tidak sesuai menggunakan moral-etis warga beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak selaras. Dan lantaran titik pandang ini jua yang menciptakan track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid dalam konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan problem sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish adalah desakralisasi dan rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diharapkan umat Islam bisa membedakan antara urusan global yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan afiksasi eksklusif dari pandangan hidup tauhid, yang mendesakralisasikan kehidupan etos selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu adalah respon kepercayaan terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terbaru, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini tidak sama menggunakan sekularisme sebagaimana yang dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama sepakat dengan istilan tidak terdapat Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an juga Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih krusial adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta menciptakan suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas insan juga pendayagunaan golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam sudah dipandang negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah ialah suatu negara mengguakan Islam menjadi dasar negara, jika ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yg nir mempunyai konstitusi, dan baginya adalah aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tersebut adalah tindakan dan tentang yang apologetis serta utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini dapat dipandang berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya adalah apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yang mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai menurut negara sebagai elemen kekuasaan yg akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sesuai menggunakan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya telah nir lagi sebagai kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya nir perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menyebutkan bahwa Islam yang hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat. Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam adalah tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam nir mengajarkan negara menurut kepercayaan sebagaimana yg ada pada Kristen. Namun Islam hanya mengajarkan moral-etis buat masyarakat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yg dikatakan oleh Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yg berlandaskan kepercayaan .

KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam serta politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya sebagai perbincangan (discourse) pada khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan fenomena sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak berdasarkan para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terkini serta neo terkini, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba memberikan sebuah penerangan interaksi antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang bhineka.

Pada zaman modern, perjuangan Islam terkonsentrasi pada 2 kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan menggunakan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya merupakan pulang kepada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, perjuangan politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yg terutama adalah pembebasan berdasarkan imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat membentuk kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yg despotik serta imperialisme Barat sebagai sangat lokal, yang berdasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan akbar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya serta kekhalifahan ke bentuk negara yg didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, dalam fase selanjutnya, identitas ke-Islam-an dalam struktur negara-bangsa (nation-state) yg didasarkan atas nasionalisme tersebut, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, menjadi dampak dari pengaruh akbar arus demokratisasi di belahan dunia ketiga.

Perdebatan tentang bentuk negara dan prosedur pemerintahan dalam negara yg berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin kitab suci al-Qur’an ini, sangat membutuhkan waktu serta penyesuaian-penyesuaian menggunakan syarat negara yg didasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras menurut politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yg lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca perjuangan ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian berdasarkan strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya dengan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dan teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, sebagai upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, agama nir hanya dipahami menjadi dimensi yg utuh skral (suci) dengan segala pirantinya. Namun masih ada bagian-bagian yang berubah, lantaran sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, menurut Nurcholish adalah jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar dalam berislam rakyat bisa membedakan antara kenyataan sosial, yg sifatnya berbah-ubah dan kenyataan wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, kata Islamic State atau Negara Islam tidak terdapat dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karena itu, berdasarkan Amien Rais, tidak terdapat perintah pada Islam untuk menegakkan Negara Islam. Yang ada merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg wajib ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sinkron menggunakan petunjuk dan peraturan Allah swt., juga Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran tidak menunjukkan secara jelas, tetapi dalam bentuk global saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, sebagai suatu negara yg aneh dalam zaman terbaru ini, serta para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menjelaskan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri telah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam pada bidang kemasyarakatan serta politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut dapat dikatakan paralel pada gagasannya. Walaupun dalam derivasi instrumentalnya kemudian berbeda-beda. Namun di luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg sudah tersebut di atas, perihal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi dan reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula berdasarkan gagasan ke 2 tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Karena konsistensinya pada melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien mengenai High Politics serta Low Politics, sebagai baku dasar kategorisasi perilaku politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral pada politik Islam kedua tokoh tadi, dan lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam balik bermunculan, menandakan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum selesai. Dan akhirnya sekarang diiringi menggunakan fenomena euphoria reformasi, tema serta aksi tentang politik Islam tersebut muncul kembali. Di sini amatlah penting kiranya buat meneliti tentang pemikiran kedua tokoh tadi, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” menggunakan asa dapat menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, di mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan pokok kasus yg akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik serta Negara Islam di Indonesia serta disparitas dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais pada Indonesia waktu ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, buku yg merupakan disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, merupakan buku yang mengupas panjang lebar problem interaksi Islam dan negara dilihat berdasarkan tiga masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi menjadi upaya perjuangan Islam sebagai dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru sebagai periode penjinakan idealisme serta aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly mengarah terhadap pola taktik perjuangan politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi hubungan Islam serta negara pada kajian buku ini lebih nampak dari pada kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yg tersebut pada atas, masih ada kajian lain yg lebih spesifik lagi mengenai interaksi Islam serta negara, yaitu buku yang dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih spesifik menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat tiga perkiraan dasar interaksi antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), ke 2, hubungan yg bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah interaksi yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini tidak tidak selaras jauh dengan apa yg ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental karena rentetan waktunya yang lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan juga tidak mampu tanggal berdasarkan generalisasi politik Islam menurut pada kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton dalam bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, menyebutkan lebih spesifik lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan sebagai gerombolan Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam mengenai pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia yang terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental berdasarkan pada kajian tentang politik Islamnya. Walaupun terdapat, namun sedikit sekali yang dikaji secara mendalam dari bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) serta Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), adalah buku menurut hasil desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam buku ini, gagasan mengenai politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yg dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang dikategorikan fundamentalis. Kajian dalam kitab ini sangat lebih jelasnya serta mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih khusus terhadap masalah politik kepartaian dan segala hal yg menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam buku Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara dalam menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terbaru sangat mendapatkan titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terbaru, yang disepakti oleh ke 2 tokoh tadi, jua tidak sanggup terlepas menurut rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat kentara, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam ke 2 tokoh tersebut pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, adalah buku yg sunting sang Arief Affandi untuk menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais serta Gus Dur. Dalam buku ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian dari polemik taktik perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural serta struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam kepercayaan sangat menerima penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang dari pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini dapat dipandang berdasarkan 3 alasan. Pertama, dari judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang dari syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yg dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi beliau tegaskan bahwa risalahnya itu membicarakan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diperlukan oleh pemimpin serta warga . Ketiga, pada pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya menurut ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa dan ayat 59 ditujukan kepada warga . (Taimiyah, 1966 : 3-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, adalah Muhammad Husein Haikal yg pula berpendapat sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam sebagai bagian menurut sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laris dan muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar untuk memutuskan sistem pemerintahan yg berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa Islam nir menetapkan bentuk pemerintahan, serta mempunyai kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya beropini bahwa sistem pemerintahan dapat diadaptasi menggunakan kehendak umat melalui ijtihad serta nir berdasar kan pada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yg sama pada memelihara dasar-dasar agama, serta menafsirkannya selama ia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa perkiraan yg tadi pada atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan kontemporer masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam sebagai asal etik-moral pada tetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan contoh pngetatan terhadap syari’at dengan mendirikan kekhilafahan global atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais mengenai etika politik serta Negara Islam di Indonesia dan apa disparitas serta titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais pada Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini merupakan :
  1. Menambah tentang pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam sebagai bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yang lain.
  3. Memberikan donasi pemikiran politik Islam pada matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yg obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis pada buku-kitab dan goresan pena-goresan pena lain yg berkaitan menggunakan kajian ini. Dalam hal ini, data yg diharapkan diambil berdasarkan karya Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais yang sekaligus menjadi data primer dan didukung oleh karya-karya lain yang berhubungan dengan obyek kajian ini yg sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul akan diolah menggunakan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan serta mensistematisasikan data-data, lalu diformulasikan sesuai dengan pokok perseteruan yg terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yg telah diklasifikasikan serta disistematisasaikan dengan menggunakan dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori serta konsep pendekatan yang sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yg sahih.
2. Analisis Data
Data yg sudah dikelola, akan dianalisis dengan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman serta penangkapan terhadap arti dan nuansa atau mengenai ekspresi manusia yg dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan eksklusif adalah keseimbangan kegiatan dan peristiwa pada kehidupan setiap orang menjadi mata rantai yg tidak terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian menggunakan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, insan memang harus kembali pada naturnya, yaitu fitrah manusia yang kudus (hanif). Dan berdasarkan sini pula Nurcholish Madjid membentuk dasar teologis mengenai Islam sebagai kepercayaan kemanusiaan yang nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yg sekaligus menjadi inti pemikiran keagamaan Nurcholish yg mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, seperti yg sudah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu menjadi dasar ceramah-ceramah maupun tulilsan-tulisannya,baik mengenai agama Islam maupun politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat pada suatu perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa insan, sejak dari kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai sentra orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya ialah kelahiran insan pada kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh pada kesucian itu apabila seandainya tidak ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian dari itu bersemayam pada hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terperinci), yang mendorongnya buat senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yg baik serta benar; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik pada hal-hal yg bersifat segera), maka setiap pribadinya mempunyai potensi buat salah , lantaran “tergoda” oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali menggunakan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari serta memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi insan adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik pada dunia ini sesama manusia, maupun pada akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang relatif sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban pada akhirat adalah mutlak, serta sama sekali nir mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban absolut kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat pribadi, sehingga nir ada pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap langsung manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar untuk menentukan dan memilih sedniri konduite moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, dan insan akan sama derajat menggunakan makhluk yang lain, jadi nir akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan menjadi zenit segala makhluk Allah, yang diciptakan olehnya pada sebaik-baik kreasi, yg menurut asalnya berharkat dan martabat setinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya pada daratan maupun dilautan; 
  11. setiap pribadi insan merupakan berharga, seharga humanisme sejagad. Maka barangsiapa merugikan seseorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka beliau bagaikan merugikan seluruh umat manusia, dan barangsiapa berbuat baik kepada seorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik pada semua umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap pribadi manusia wajib berbuat baik pada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yg lain, serta dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yg damai serta terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang untuk memilih dan menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat serta pikiran orang lain itu membangun inti ajaran mengenai musyawarah.” Dalam Islam kata musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang sahih serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud dengan baik bila tidak disertai menggunakan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan dari perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah dengan para sahabat beliau, yaitu menjadi berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis dalam aplikasi bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yang selanjutnya sebagai dasar kehidupan masyarakat zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan menggunakan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yang diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa menerangkan sikap-perilaku lemah lembut, tulus serta penuh pengertian kepada orang lain;
  3. beliau tidak kejam, serta tidak pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun kepada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, menjadi kelanjutan wajar semua hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah menciptakan keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dicermati menurut segi proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kesamaan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tersebut bisa dilihat menurut dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tadi direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam usaha Islam politik yg mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme menjadi kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi di kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai dari negara sebagai elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur dan menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya sudah tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yg meliputi seluruh orang, buat mengatur kehidupan beserta (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata merupakan struktur atau susunan dan formasi hukum, yang tegak berdiri pada atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil berdasarkan konsepsi mengenai “Negara Islam” tadi merupakan sutau penyimpangan hubungan proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara adalah keliru satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional serta kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual serta langsung. Antara kepercayaan serta negara memang tidak sanggup dipisahkan, namun antara keduanya itu permanen wajib dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama seringkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir terdapat keterkaitan fungsional serta organik antara politik dan kepercayaan dan politik serta dakwah. Bahkan terdapat kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, serta pelbagai konotasi buruk lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau berdasarkan kaca mata agama dan dakwah, pandangan politik seperti ini pula sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas serta etika yg bersumber pada ajaran tauhid. Jika moralitas serta etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, serta bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik merupakan galat satu aktivitas penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya sanggup hidup secara teratur jikalau beliau hayati serta tinggal dalam sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian penting peranan politik pada warga modern, sebagai akibatnya banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik wajib mengindahkan nilai-nilai kepercayaan serta fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah merupakan politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yang dimaksud menggunakan sekulerisasi serta komponen-komponennya merupakan, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai agama, agar rakyat bisa melakukan perubahan serta pembangunan menggunakan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan kondisi buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, agar manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai kepercayaan yang bersifat absolut.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas interaksi antara superordinasi dan subordinasi, antara dominasi serta submisi, antara yg memerintah serta yang diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi kegiatan insan yang berkenaan dengan tindakan insan pada mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell memberikan pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What di sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, adalah perkara-kasus yang menentukan bentuk pengelolaan politik suatu rakyat (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan permasalahan kepentiangan antargolongan dalam rakyat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri dan lain sebagainya, merupakan contoh-model aktivitas politik yg nir dapat dilepaskan menurut fondasi moral dan etik yang dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik merupakan baik apabila tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, dan menuju revolusi sosial ke arah masyarakat tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik jika bisa memberi laba mudah dan manfaat material, walaupun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik bila ia bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai dengan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat berbagai fenomena politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat 2 jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) serta politik kualitas rendah atau politik yang terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menunjukkan sikap yg tegas terhadap korupsi, mengajak rakyat luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tersebut pada hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, mambangun pada lobi, serta berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yg membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan dalam tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yg dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur serta tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai konvensi bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka putusan bulat buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua konklusi ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak dalam tiadanya perintah dalam al-Qur’an serta Sunnah supaya mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Apabila umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an serta Sunnah jua akan menaruh tuntunan naratif tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan masyarakat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yg benar-sahih terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat sempurna buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-lahan ia akan sebagai lama (out of date), serta nir dapat lagi mempunyai kemampuan menanggulangi kasus-masalah terkini yg ada sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, serta pasti nir akan serasi dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, dari Amien, dengan demikian nir berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membentuk negara sinkron dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas menurut ajaran-ajaran pokok (fundamentals) kepercayaan Islam. Bagi Amien, membentuk suatu negara yg terlepas berdasarkan fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yg sekularistis, yg kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya diklaim-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais dan Nurcholish Madjid
Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid merupakan prinsip dasar pada membentuk sistem moral-etik pada berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar dalam tauhid, formulasi teologis dalam kontek politik modern serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern sekarang ini. Misalnya pada menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada afiksasi 5 konsekwensi yg terdiri berdasarkan unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Apabila diperas, maka reformulasi tauhid tadi adalah bentuk kosmopolitanisme berdasarkan pandang kehidupan dunia dan akhirat yang tak terpisahkan. 

Begitu halnya menggunakan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg sudah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia serta lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid di samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam rakyat terkini, jua menuntut pandangan yg wajar serta berdasarkan apa adanya kepada global dan masalahnya, yang pada pada dasarnya ia formulasikan dalam bentuk sekularisasi. Bahkan akibat menurut pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam adalah “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid dan Amien Rais sering memakai terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yang dikontekstualisasikan pada bahasa politik modern, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah merupakan tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya nir menolak terhadap gagasan demokrasi karena dengan perkiraan dasar bahwa Islam sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi tadi sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tadi tidak sinkron dengan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal dan Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia tidak mau menggunakan terminologi al-Qur’an dalam rangka merumuskan suatu sistem politik juga pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yg masih ada pada al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal juga demokrasi. Walaupun sebenarnya secara wangsit Husein Haikal jua tidak menolak kata demokrasi tersebut. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu mempunyai maknanya yang ganda. Yaitu pada satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi pada kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu agama. Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yg tidak sesuai menggunakan moral-etis masyarakat beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak sinkron. Dan lantaran titik pandang ini pula yang membuat track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid pada konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan dilema sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish merupakan desakralisasi serta rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diperlukan umat Islam dapat membedakan antara urusan dunia yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan derivasi langsung menurut etos tauhid, yg mendesakralisasikan kehidupan pandangan hidup selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu merupakan respon agama terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terkini, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini nir sama menggunakan sekularisme sebagaimana yg dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama putusan bulat menggunakan istilan nir ada Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an maupun Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak terdapat perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta membangun suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia juga eksploitasi golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam telah dilihat negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah merupakan suatu negara mengguakan Islam sebagai dasar negara, kalau ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yang tidak memiliki konstitusi, serta baginya merupakan aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tadi adalah tindakan dan wacana yang apologetis dan utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini bisa dicermati dari dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tadi direspon pada apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung pada perjuangan Islam politik yg mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa lalu. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi ihwal politik Islam terkini, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai dari negara menjadi elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, dari Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya sudah tidak lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan aturan Islam, melainkan hukum yg mencakup semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat mengungkapkan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme warga . Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam merupakan tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam tidak mengajarkan negara dari kepercayaan sebagaimana yang terdapat pada Kristen. Tetapi Islam hanya mengajarkan moral-etis buat rakyat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yang dikatakan sang Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yang berlandaskan kepercayaan .